Anda di halaman 1dari 10

TUMBUH KEMBANG ANAK DISABILITAS FISIK

TUNANETRA DAN BUTA WARNA PARSIAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tumbuh Kembang Disabilitas Anak

Dosen Pengampu:

Latifah Nur Ahyani, S.Psi., M.A., Psikolog

Disusun Oleh:

1. Helwina Ananda Ronaya (202360001)


2. Elsa Rahmadhea prihastika (202360004)
3. Resnandya Crysa Az-Zahra (202360011)
4. Naili Sayyidah Mardliyah (202360035)
5. Tria Sisca Susilawati (202360041)
6. Angela Nurun Khoirunisa (202360051)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2024
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk ciptaan tuhan yang sempurna, namun mungkin
beberapa ciptaan tuhan ada yang cacat atau bisa disebut disabilitas. Dalam kamus
besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan sebagai orang yang menyandang
(menderita) sesuatu, sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa yang berasal dari
kata serapan Bahasa inggris disability yang berarti cacat atau ketidakmampuan.
Disabilitas memiliki banyak macam mulai dari penyandang cacat, penyandang tuna,
seseorang berkekurangan, anak luar biasa dengan istilah difabel. Istilah difabel
merupakan kepanjangan dari Differently abled people atau orang yang memiliki
kemampuan berbeda.
Penyebab terjadinya disabilitas memiliki berbagai faktor, baik genetik maupun
non-genetik. Faktor genetik meliputi kelainan kromosom dan kelainan gen tunggal.
Faktor non-genetik seperti usia ibu saat hamil, kondisi sosial ekonomi, lingkungan,
riwayata sebelum melahirkan (peningkatan usia ibu, kehamilan ganda dan hipertensi
ibu), perinatal (kelahiran premature dan gawat janin) dan neonatal (jenis kelamin
laki_laki, BBLR dan infeksi neonatal) yang dapat meningkatkan risiko kecacatan.
Penyandang disabilitas di Indonesia terdiri dari kelainan fisik meliputi tunadaksa,
tunarungu, tunanetra.

B. Tujuan
1. Untuk memberikan penjelasan mengenai materi disabilitas fisik.
2. Untuk memberikan penjelasan mengenai materi tunanetra.
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Tumbuh Kembang Anak Disabilitas.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Disabilitas Fisik


Disabilitas adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan untuk
melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal
bagi seorang manusia. Disabilitas (disability) atau cacat adalah mereka yang memiliki
keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu yang lama
atau bahkan selamanya sehingga ketika berhadapan dengan hambatan, tantangan dan
rintangan dapat menghalangi partisipasi penuh dan keefektifan para penyandang
dalam bermasyarakat berdasarkan kesetaraan (Sholeh, 2015). Sedangkan fisik adalah
anggota badan atau tubuh yang dapat dilihat dan dirasakan oleh alat indra manusia.
Disabilitas fisik adalah terganggunya fungsi gerak tubuh, pendengaran,
penglihatan dan kemampuan dalam berbicara. Antara lain amputasi (kehilangan
anggota tubuh), lumpuh, layuh, atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), stroke,
kusta dan orang kecil (bertubuh kerdil). Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit,
kecelakaan, atau dapat juga disebabkan karena kelainan bawaan. Penyandang
disabilitas fisik terlihat kelainan pada bentuk anggota tubuh, anggota gerak atau otot,
berkurangnya fungsi otot, tulang, sendi maupun saraf-sarafnya.

B. Pengertian Tunanetra
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “tuna” mengandung beberapa
arti harfiah yaitu luka, rusak, kurang dan tidak memiliki. Kata “tuna” berasal dari
bahasa Jawa Kuno yang berarti rusak atau rugi. Penggunaan kata tuna diperkenalkan
pada awal tahun 1960an sebagai istilah dari kekurangan yang dialami oleh seseorang
pada fungsi organ tubuh atau fisiknya. Kata tuna dimaksudkan untuk memperhalus
kata cacat untuk menghormati penyandangnya (Widinarsih, 2019). Tunanetra adalah
individu yang memiliki hambatan atau keterbatasan dalam penglihatannya. Karena
keterbatasan atau ketidakmampuan penyandang tunanetra untuk dapat melihat,
mengakibatkan keterbatasan pada penyandang dalam menerima stimulus atau
informasi melalui indra penglihatan (mata). Berdasarkan tingkat kebutaanya,
tunanetra dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu buta total dan kerusakan sebagian
(low vision). Buta total adalah ketika penyandang tidak dapat melihat sama sekali
karena tidak ada cahaya yang masuk kedalam mata. Sedangkan kerusakan sebagian
(low vision) adalah keadaan penglihatan penyandang yang masih dapat melihat atau
masih mempunyai sisa penglihatan walaupun hanya sedikit karena terdapat sedikit
cahaya yang masuk kedalam matanya., penglihatan penyandang kerusakan mata
sebagian (low vision) ini dapat dibantu dengan menggunakan alat khusus seperti kaca
pembesar (Yulianti & Sopandi, 2019).
Tidak berfungsinya indra penglihatan dari penyandang menyebabkan
keterbatasan dan kehilangan kemampuan penyandang untuk memperoleh informasi
yang biasanya diperoleh oleh indra penglihatan seperti keterbatasan dalam
memperoleh pengalaman, mengenal lingkungan, berpindah tempat serta saat
berintraksi dengan lingkungan sekitar. Keadaan ini terjadi karena kerusakan secara
anatomis pada organ mata sehingga penyandang tunanetra tidak dapat melihat dengan
detail dan jelas serta tidak dapat melihat secara langsung keadaan disekitar dan
disekelilingnya. Maka dari itu, penyandang tunanetra mengandalkan fungsi indra
lainnya seperti indra perabaan, pendengaran, pengecapan dan penciuman untuk dapat
melakukan kegiatan dan aktivitas kesehariannya (Muthmainnah, 2015).
a. Penyebab Tunanetra
Tunanetra dapat terjadi pada saat prenatal (sebelum kelahiran) dan postnatal (setelah
kelahiran.
1. Prenatal (Sebelum Kelahiran)
Tunanetra pada saat sebelum kelahiran disebabkan oleh faktor keturunan. Hal
ini dapat terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau dari
orangtua penyandang tunanetra. Faktor keturunan ini bernama Retinitis
Pigmentosa yaitu penyakit dari retina yang umumnya merupakan keturunan.
Gejala awal dari faktor keturunan ini adalah sulit melihat saat dimalam hari dan
akhirnya perlahan akan menyebabkan memburuknya retina pada mata. Selain itu
dapat disebabkan juga saat pertumbuhan anak dalam kandungan dan ibu
mengalami gangguan waktu hamil seperti memiliki penyakit tuberculosis (TBC),
infeksi atau luka yang dialami ibu saat masa kehamilan contohnya seperti rubella
atau cacar air sehingga dapat berdampak buruk bagi janinya karena akan merusak
mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pada janin yang sedang
berkembang, infeksi karena penyakit kotor seperti tumor karena tumor terjadi
pada otak dan berhubungan dengan indra penglihatan dan kurangnya vitamin
tertentu saat sedang mengandung janin.
2. Postnatal (Setelah Kelahiran)
Penyebab tunanetra dapat terjadi ketika setelah bayi lahir antara lain
disebabkan ketika bayi terbentur dengan alat atau benda keras diwaktu persalinan,
mengalami penyakit mata karena kurangnya vitamin A (xeropthalmia), karena
virus (trachoma), penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata
menjadi keruh dan mata berwarna putih (cataract), bayi yang premature biasanya
ditempatkan di inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi sehingga saat
bayi dikeluarkan dari inkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat
menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan
meninggalkan bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini menyebabkan
kerusakan pada selaput jala (retina) dan terjadi tunanetra total. Selain itu tunanetra
dapat disebabkan juga karena terjadinya kecelakaan seperti masuknya benda
keras, tajam, cairan kimia atau kecelakaan lain yang menyebabkan ketunanetraan
(Kurniawan, 2015).
C. Buta Warna
Buta warna adalah ketidakmampuan seseorang untuk membedakan beberapa warna
yang dapat dibedakan oleh orang lain. Penyakit ini disebabkan oleh mutase pada gen
opsin gelombang Panjang (OPN1LW), gen opsin gelombang menengah (OPN1MW),
gen opsin gelombang pendek (OPN1SW). keadaan ini diturunkan dengan pola X-
linked atau bisa juga didapat setelah lahir. Penyakit ini biasnaya diturunkan secara
herediter dari orangtua kea nak dengan pola terkait kromoson X resesif (X-linked
recessive). Pola penurunan ini ditunjukkan dengan adanya pewarisan dari seorang ibu
kepada anak laki-laki sehingga si anak menderita buta warna, apabila alel diwariskan
kepada anak perempuannya, maka anak perempuan tersebut akan menjadi pembawa
(carier).

a. Penyebab Buta Warna


Buta warna adalah kondisi yang seringkali diturunkan secara genetic, tetapi
dapat juga didapat karena disebabkan oleh kerusakan pada mata, nervus, atau
otak. Ketika seseorang mengalami buta warna, mata merka tidak mampu
menghasilkan keseluruhan pigmen yang dibutuhkan untuk mata berfungsi
dengan normal. Cacat mata ini merupakan kelainan genetic yang diturunkan
oleh ayah atau ibu. Buta warna karena yang diturunkan dibagi menjadi tiga.
Monokromasi (buta warna total), Dikromasi (hanya dua sel kerucut yang
berfungsi), dan Anomalus Trikomasi (tiga sel kerucut berfungsi, salah satunya
kurang baik). Dari semua jenis buta warna, kasus yang paling umum adalah
anomalus trikomasi, khususnya deutranumali, yang mencapai angka 5% pada
pria. Sebenarnya, penyebab buta warna tidak hanya karena ada kelainan pada
kromoson x, namun dapat mempunyai kaitan dengan Sembilan belas
kromosom dan gen-gen lain yang berbeda. Beberapa penyakit yang diturunkan
seperti distrofi sel kerucut dan akromatopsia juga dapat menyebabkan
seseorang menjadi buta warna.
Selain itu, buta warna yang didapat, dapat terjadi pada:
1. Trauma. Kecelakaan atau pukulan yang menyebabkan kerusakan pada
mata dapat menyebakan buta warna.
2. Obat. Beberapa antibiotic (obat-obat anti TBC), barbiturate, obat-obat
hipertensi.
3. Toksin industry. bahan-bahan kimia dengan kadar tinggi dapat
menyebabkan buta warna, seperti karbon monoksida dan karbon disulfide.
4. Umur. Pada umur diatas 60 tahun dapat terjadi perubahan dalam kapasitas
pengelihatan warna.

Kasus 1: Resiliensi siswa Tunanetra dalam Kegiatan Olahraga

Berdasarkan penyebab ketunanetraan, disabilitas netra dapat berasal dari prenatal


maupun postnatal. Disabilitas netra yang mengalami kebutaan ketika prenatal dan disabilitas
netra yang mengalami kebutaan ketika postnatal akan memiliki penerimaan diri yang berbeda
satu sama lainnya. Hal ini dikarenakan disbailitas netra pernatal telah mengalami kebutaan
sejak ia dilahirkan (semenjak kecil), sedangkan disbilitas Netra postnatal mengalami
kebutaan ketika telah melihat dunia (bukan dari sejak lahir). Disabilitas netra prenatal
cenderung lebih menerima keadaannya dibandingkan dengan disabilitas netra postnatal. Hal
ini dikarenakan ketika mengalami disbailitas netra pada usia dewasa dapat mengakibatkan
depresi, persepsi diri yang tidak tepat, sangat menurunnya motivasi dan rendahnya harga diri.
Berbeda halnya dengan disabilitas netra prenatal yang cenderung akan lebih mampu
memnerima dirinya karena tidak dapat melihat dunia sejak dilahirkan.

Resiliensi atau ketahanan adalah kemampuan indivisu untuk menavigasi jalan mereka
ke sumber daya psikologis, social, budaya, dan fisik yang menpang kesejahteraan mereka,
dan kapasitas mereka secara individu dan kolektif untuk mengeosiasikan agar sumber daya
iini disediakan dan dialami dengan cara yang bermakna secara budaya. Resiliensi yang tinggi
berkorelasi dengan harga diri, kebahagaiaan, kesejahteraan, dan kecemasan rendah.

Salah satu factor tunanetra yang disebabkan sejak lahir menjadikan siswa tunanetra
kurang mendapatkan kesempatan terlibat dalam berbabagi aspek dalam kehidupan,
khususnya dalam kegiatan olahraga. Pada saat mengajar, guru membantu siswa untuk
melakukan yang diinstruksikan, sampai siswa disuruh untuk meraba gerak yang dilakukan
guru untuk mengikuti. Kemudian guru suka memberikan nasihat agar siswa tetap melakukan
olahraga, karena dengan olahraga memiliki manfaat selain untuk menjaga kebugaran jasmani.
Walaupun sudah mengikuti tetap saja siswa tunanetra tidak menyukai pembelajaran
Pendidikan jasmani dan mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan Pendidikan jasmani.
Selain dalam proses pembelajaran Pendidikan jasmani, salah satu Upaya guru adalah
membawa siswa tunanetra yang berminat untuk melakukan olahraga dengan berbincang dan
memberikan bimbingan konseling dengan siswa secara individu untuk mengajak siswa
melakukan olahraga.

Walaupun sebenarnya siswa tunanetra mengikuti pembelajaran Pendidikan jasmani


dengan adanya beberapa hambatan mereka tetap mengikuti kegiatan tersebut dan jika
mengalami kesulitan mereka lebih memilih untuk melakukan kegitaan olahraga yang lebih
mudah seperti berjalan santai. Ini berkaitan dnegan resiliensi yang dilakukan oleh siswa
tunanetra. Hasil tersebut senada dan mendukung dengan hasil penelitian terdahulu yang
menyatakan bahwa relisiensi dipandang sebagai suatu hal yang wajar untuk diatasi (Solihin,
Ginanjar and Widyawan, 2020).

Kasus 2: Buta Warna Parsial

Buta warna parsial merupakan buta warna yang menyebakan penderita tidak dapat
melihat beberapa perbedaan warna yang disebabkan kerusakan maupun anomaly pada sel
kerucut retina. Pada beberapa kasus, buta warna parsial dibagi menjadi dua yaitu buta warna
merah-hijau dan biru-kuning.

Buta warna jenis ini akan memiliki ciri dan karakter yaitu melihat warna bitu tampak
kehijauan. Selain itu pengidap kondisi ini akan sulit membedakan warna merah muda dengan
kuning dan merah. Melihat warna biru terlihat seperti hijau. Selain itu, pengidap akan melihat
warna kuning seperti abu-abu atau ungu terang.

Buta warna parsial biasanya terjadi bila salah satuanggota keluarga memiliki kelainan
pada fotopigmen, yaitu molekul yang bertugas dalam mendeteksi warna dalam sel-sel pada
retina. Selain karena adanya factor keturunan, buta warna dapat disebabkan oleh paparan zat
kimia berbahaya atau cidera fisik pada beberapa area tubuh, seperti mata, saraf pengelihatam,
bagian otak yang ertugas memproses informasi mata. Tak hanya itu, katarak dan usia juga
dapat menjadi penyebab seseorang mengalami buta warna.
Buta warna parsial memiliki dua golongan, yaitu kesulitan membedakan warna pada
gradasi merah-hijau, dan sulit membedakan warna biru-kunig. Ketika pengidap kesulitas
membedakan warna merah-hijau, kondisi ini disebbakan oleh berkuranganya fungsi sel
kerucut merah atau kerucut hijau. Buta warn aini terbagi menjadi beberapa macam yaitu:

- Deuteranopia, yaitu ketika pengidap melihat warna merah menjadi kuning kecoklatan
dan warna hijau menjadi krem.
- Protanopia, yaitu ketika pengidap melihat warna merah tampak hitam, warna jingga
dan hijau akan terlihat kuning, dan sulit membedakan warna ungu dan biru.
- Protanomaly, yaitu ketika pengidap melihat warna jingga, merah dan kuning tampak
lebih gelap menyerupai warna hijau.
- Deuteranomaly, yaitu ketika pengidap melihat warna hijau dan kuning menjadi
kemerahan, dan sulit membedakan warna ungu dan biru.
- Tritanomaly, yaitu ketika pengidap melihat warna biru tampak lebih hijau, serta sulit
membedakan kuning dan merah.
- Tritanopia, yaitu ketika pengidap melihat warna biru lebih tampak hijau dan warna
kuning tampak menjadi ungu atau abu-abu muda.

Untuk mengatasinya, pengidap dapat menggunakan lensa kontak yang dapat membantu
membedakan warna. Sedangkan untuk mendiagnosis kondisi ini, dibutuhkan sebuah tes
guna memastikan seseorang memang benar mengidap buta warna parsial (Putra, Fiolana
and Kusumastutie, 2021).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyandang disabilitas fisik terlihat kelainan pada bentuk anggota tubuh, anggota
gerak atau otot, berkurangnya fungsi otot, tulang, sendi maupun saraf-sarafnya. Salah satu
jenis disabilitas fisik adalah tunanetra. Disabilitas adalah suatu keterbatasan atau
kehilangan kemampuan untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-
batas yang dipandang normal bagi seorang manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, I. (2015). Implementasi Pendidikan bagi Siswa Tunanetra di Sekolah Dasar Inklusi. Jurnal
Pendidikan Islam, 4, 1049–1050.

Muthmainnah, R. N. (2015). Pemahaman Siswa Tunanetra (Buta Total Sejak Lahir dan Sejak
Waktu Tertentu). Jurnal Pendidikan Matematika & Matematika, 1(1), 15–19.

Sholeh, A. (2015). Islam dan Penyandang Disabilitas Telaah Hak Aksesibilitas Penyandang
Disabilitas dalam Sistem Pendidikan di Indonesia. JURNAL PALASTREN, 8(2), 301.

Widinarsih, D. (2019). Penyandang Disabilitas di Indonesia: Perkembangan Istilah dan Definisi.


Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, 20(2), 127–142.

Yulianti, I., & Sopandi, A. A. (2019). Pelaksanaan Pembelajaran Orientasi dan Mobilitas bagi
Anak Tunanetra di SLB Negeri 1 Bukittinggi. Jurnal Penelitian Pendidikan Kebutuhan
Khusus, 62.

Putra, A.P., Fiolana, F.A. and Kusumastutie, D.A.W. (2021) ‘Penerapan Koreksi Warna Pada
Citra Bagi Penyandang Buta Warna Parsial’, Jurnal Teknik Elektro dan Komputer TRIAC,
8(1), pp. 26–29. Available at: https://doi.org/10.21107/triac.v8i1.10246.

Solihin, A.O., Ginanjar, A. and Widyawan, D. (2020) ‘Resiliensi siswa tunanetra dalam
kegiatan olahraga’, Jurnal SPORTIF : Jurnal Penelitian Pembelajaran, 6(2), pp. 423–438.
Available at: https://doi.org/10.29407/js_unpgri.v6i2.14497.

Anda mungkin juga menyukai