Anda di halaman 1dari 8

TUMBUH KEMBANG ANAK DISABILITAS

DISABILITAS MENTAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tumbuh Kembang Anak Disabilitas
Dosen pengampu: Ibu Latifah Nur Ahyani, S.Psi., M.A, Psikolog

Disusun Oleh:

1. Helwina Ananda Ronaya (202360001)


2. Elsa Rahmadhea prihastika (202360004)
3. Resnandya Crysa Az-Zahra (202360011)
4. ⁠Naili Sayyidah Mardliyah (202360035)
5. Tria Sisca Susilawati (202360041)
6. ⁠Angela Nurun Khoirunisa (202360051)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2024
BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Semua manusia di dunia ini pasti memiliki kondisi yang berbeda-beda serta tidak ada
yang sama, baik itu kondis fisik maupun psikis atau kondisi lainnya. Sebagai manusia, kita
diciptakan menjadi makhluk hidup yang paling sempurna karena memiliki akal untuk berpikir
dan untuk bertindak. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita harus banyak-banyak untuk
bersyukur dan sangat tidak pantas jika masih memandang sesama manusia dengan pandangan
yang buruk. Seperti halnya para penyandang disabilitas, mereka adalah orang-orang yang sama
seperti manusia pada umumnya. Sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing, memiliki perbedaan dan juga memiliki kehidupan masing-masing.
Penyandang disabilitas adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan pada fisik,
psikis, mental, intelektual dan sensori sehingga menyebabkan penyandang memiliki
keterbatasan ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dalam jangka waktu yang lama
bahkan selamanya. Para penyandang disabilitas sering kali dianggap remeh dan dipandang
sebelah mata oleh kebanyakan orang. Para penyandang disabilitas juga memiliki rasa sedih dan
memiliki rasa senang. Seharusnya, sebagai manusia kita harus saling menghargai dan
mendukung tanpa ada rasa merendahkan satu sama lain karena semua manusia memiliki hak
untuk dihargai, dilindungi dan dihormati.
Oleh karena itu, penyandang disabilitas sering mengalami kesulitan dalam melakukan
aktivitas dan kegiatan sehari-harinya serta seringkali mengalami hambatan saat ingin
mengembangkan diri sehingga sangat membutuhkan bantuan dari orang lain ketika akan
melakukan suatu hal. Ada beberapa macam golongan disabilitas antara lain disabilitas fisik,
kognitif, mental atau perilaku dan disabilitas sensori.
Salah satu penyandang disabilitas yang belum mendapatkan perhatian cukup dari
pemerintah adalah penyandang disabilitas mental. Hal ini disayangkan, karena jumlah
penyandang disabilitas mental di Indonesia cukup besar, lebih dari 2,9 juta orang penduduk
Indonesia usia 10 tahun ke atas, mengalami gangguan perilaku dan atau emosional. Dari 2,9 juta
orang penduduk Indonesia yang mengalami gangguan mental atau perilaku tersebut, sebagian
besarnya belum mendapatkan bantuan untuk menangani keadaan mereka. Tanpa bantuan yang
tepat, dikhawatirkan permasalahannya akan semakin memburuk karena dengan gangguan
perilaku dan emosional ini dapat membahayakan keselamatan dirinya, maupun orang lain.

B. TUJUAN
1. Untuk memberikan penjelasan mengenai disabilitas mental.
2. Unutk memberikan materi tentang psikososial dan disabilitas perkembangan.
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah tumbuh kembang anak disabilitas.
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Pengertian Disabilitas

Pada awalnya disabilitas merupakan istilah dari kata “cacat”, namun karena kata tersebut
kurang baik dan menimbulkan rasa negatif serta diskriminatif maka kata tersebut dirubah
menjadi “disabilitas”. Disabilitas adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
keterbatasan pada anggota fisik, mental dan sensoriknya sehingga berpengaruh pada
perkembangannya. Sehingga mempengaruhi kemampuan untuk melakukan suatu aktivitas
yang dianggap normal oleh manusia pada umumnya. Oleh karena itu, penyandang disabilitas
sering mengalami kesulitan saat melakukan kegiatan atau aktivitas sehari-harinya dan sangat
memerlukan bantuan dari orang lain. Karena keterbatasan itu, para penyandang disabilitas juga
sering kali dipandang sebelah mata dan dipandang buruk oleh orang-orang di sekitarnya serta
sering kali dianggap merepotkan orang lain. Banyak dari mereka yang mendapatkan perlakuan
buruk dari lingkungan sekitarnya, padahal semua manusia di dunia ini memiliki hak, posisi dan
kewajiban yang sama sehingga para penyandang disabilitas juga berhak dan sangat layak untuk
dapat dihargai, dilindungi dan dihormati. Dari banyaknya stigma buruk tersebut, maka tidak
jarang para penyandang disabilitas akhirnya memilih untuk berusaha melakukan aktivitasnya
sendiri agar tidak selalu menggantungkan kesehariannya pada orang lain (Allo, 2022).

B. Pengertian Disabilitas Mental


Disabilitas mental adalah suatu kondisi yang terjadi pada seseorang karena memiliki
gangguan atau masalah pada jiwanya, seperti terganggunya fungsi berpikir, fungsi psikologis,
fungsi emosi dan fungsi perilakunya serta telah dinyatakan mengidap gangguan mental tersebut
oleh seorang ahli profesional. Seseorang dinyatakan memiliki gangguan disabilitas mental jika,
kondisi seseorang tersebut menyebabkan kesulitan untuk berkonsentrasi, berpikir, mengambil
keputusan, dan kesulitan untuk menunjukkan isi pikirannya. Disabilitas mental sering
dipandang sebagai abnormalitas yang tidak dapat disembuhkan akan tetapi dapat di hadapi, di
dukung dan di perhatikan dengan baik agar memiliki hak kebebasan untuk berekspresi di
lingkungan sekitarnya (Oetopo et al., 2022).
C. Jenis Disabilitas Mental

Disabilitas mental memiliki 2 (dua) kelompok yaitu disabilitas psikososial dan disabilitas
perkembangan.
1. Disabilitas Psikososial
Disabilitas psikososial atau sering disebut dengan gangguan jiwa adalah kondisi
seseorang yang menyebabkan gangguan pada proses berpikir, berkonsentrasi,
berperasaan, berperilaku dan berinteraksi sosial. Ciri-ciri dari gangguan ini di tandai
dengan perubahan suasana hati yang sangat cepat dan drastis, menarik diri dari
lingkungan, suka menyendiri, tidak percaya diri, sulit tidur, mudah lelah, perubahan
nafsu makan yang drastis, berbicara tidak teratur, sering merasakan cemas dan panik
secara tiba-tiba bahkan sampai menyakiti fisik sendiri. Sehingga gangguan ini sering
tidak disadari dan tidak dapat terlihat langsung oleh orang-orang di sekitar
penyandangnya, karena gangguan ini bisa terjadi pada siapa saja. Berikut adalah
gangguan dari disabilitas psikososial antara laini:
a. Gangguan cemas
Yaitu kekhawatiran berlebihan yang berakibat terganggunya aktifitas sehari-
hari. Gangguan ini di tandai dengan: rasa khawatir yang berlebihan, menghindar
dari lingkungan, merasa takut, tidak tenang dan gelisah, jantung berdetak kencang,
sesak nafas, pusing, mual dan konsentrasi terganggu.
b. Gangguan depresi
Yaitu perasaan hampa yang berakibat pada keputusan dengan jangka waktu
yang lama dan terus menerus. Gangguan ini di tandai dengan ciri-ciri: merasa sedih
berkepanjangan dan terlihat muram, kehilangan minat dan hobi, merasa hampa dan
putus asa, perubahan pola makan yang sangat cepat, menyakiti diri sendiri dan
memiliki pikiran untuk bunuh diri.
c. Gangguan bipolar
Yaitu perasaan atau suasana hati yang drastis antara fase mania (perasaan
bahagia dan semangat berlebihan) dan fase depresi. Gangguan bipolar di tandai
dengan: merasa bahagia dan terlalu bersemangat, konsentrasi mudah teralihkan dan
mudah marah, sering merasa tidak perlu tidur karena berawal dari kurangnya
kebutuhan tidur, penuh dengan ide-ide baru dan bersikap gegabah serta mudah
emosi.
d. Skizofrenia
Yaitu gangguan yang menyebabkan seseorang tidak bisa membedakan antara
khayalan dan kenyataan. Gangguan skizofrenia di tandai dengan: sering mengalami
halusinasi (melihat dan mendengar sesuatu yang tidak nyata), delusi (tidak dapat
membedakan antara imajinasi dan kenyataan), mengalami waham (meyakini
sesuatu yang tidak nyata), pikiran kacau dan ucapannya sering membingungkan dan
emosi yang tidak dapat di kontrol.
e. Gangguan kepribadian
Yaitu sifat-sifat karakteristik yang emosional sehingga merusak dan merugikan
lingkungan sekitarnya. Gangguan ini di tandai dengan: tidak memiliki empati dan
tidak merasa menyesal setelah melakukan keburukan, bersifat arogan dan
berperilaku agresif, memiliki emosi yang tidak terkontrol, memiliki pemikiran dan
perilaku yang tidak wajar dan sering berbuat kenakalan yang sangat tidak wajar
(Basuni et al., n.d.).

2. Disabilitas Perkembangan
Disabilitas perkembangan adalah kondisi gangguan yang terjadi pada seseorang
serta berpengaruh pada kemampuan untuk berinteraksi sosial. Berikut adalah gangguan
dari disabilitas perkembangan antara lain:
1. Autis (autisme)
Yaitu gangguan perkembangan saraf yang mempengaruhi kemampuan
seseorang dalam bekomunikasi, berinteraksi dan berperilaku. Gangguan autis di
tandai dengan: menghindari tatapan mata orang lain, mengalami kesulitan dalam
berteman, memiliki gangguan dalam berbicara, sering melakukan gerakan secara
berulang-ulang dan sering mengikuti kata-kata yang didengar dari orang lain
(membeo).

2. Hiperaktif
Yaitu gangguan perhatian, emosi dan perilaku yang sangat aktif dan sulit untuk
di kendalikan. Gangguan hiperaktif di tandai dengan: kondisi yang tidak bisa diam,
tidak mengenal lelah, memiliki perilaku yang tidak sabar namun memiliki
kemampuan untuk memberikan perhatian dan tanggung jawab serta sering
menghabiskan waktu untuk mengerjakan sesuatu yang menarik perhatian diri
sendiri (Effendy, 2017).
D. Faktor Disabilitas Mental

Disabilitas mental disebabkan oleh gangguan pada otak yang bisa terjadi akibat beberapa faktor
antara lain:
1. Cedera, yaitu misalnya karena kecelakaan lalu lintas atau saat berolahraga.
2. Kelainan genetik, seperti down syndrome dan hipotiroidisme.
3. Mengidap penyakit yang mempengaruhi fungsi otak, seperti infeksi pada otak misalnya
meningitis dan tumor otak.
4. Gangguan saat kehamilan, diakibatkan karena kekurangan nutrisi, infeksi, konsumsi
obat-obatan tertentu, minum-minuman beralkohol (preeklamsia).
5. Gangguan saat melahirkan, yaitu seperti kekurangan oksigen atau kelahiran prematur.

KASUS 1: GANGGUAN KECEMASAN SOSIAL PADA REMAJA

Ansietas atau kecemasan adalah suatu keadaan khawatir bahwa sesuatu yang buruk
akan segera terjadi. Banyak hal yang mungkin menjadi sumber kecemasan seseorang, misalnya
relasi sosial, Pendidikan, pekerjaan, atau Kesehatan. Ketika seseorang merasa sedikit cemas
akan hal diatas masih dapat dikatan normal, bahkan adaptif. Kecemasaan bermanfaat jika hal
tersebut mendorong seseorang untuk melakukan hal yang lebih bauk sebagai antisipasi atas
kecemasannya.

Kecemasan sosial adalah kondisi mental yang menyebabkan kecemasan irasional atau
ketakutan berada di tempat umum yang ramai. Orang yang mengidap kecemasan sosial
mengalami oerasaan tak nyaman dalam kehadiran orang-orang lain, yang selalu disertai oleh
perasaan malu. Kecemasan sosial ditandai dengan rasa takut yang berlebihan sedang diamati
oleh orang lain dan menghindari kegiatan sosial yang membangkitkan.
Remaja dengan gangguan kecemasan sosial ini, seringkali takut dihakimi, diejek, atau
dipermalukan du depan orang lain. Mereka cenderung menghindari situasi sosial atau
mengalami dengan rasa gugup. Sebagian dari mereka juga mengalami kecemsan yang
berhubungan dengan performa di depan public seoerti berpidato, bertanding olahraga, menari,
atau memainkan alat music diatas panggung. Mereka bisa mengkhawatirkannya selama
berminggu-minggu sampai akhirnya mengindari situasi dimana mereka perlu tampil.
Beberapa penelitian membuktikan efektivitas terapi kognitif perilaku untuk mengatasi
gangguan kecemasan seperti gangguan obsesif kompulsif, somatisasi, serangan panik, ganggan
kecemasan menyeluruh, bahkan untuk remaja dan gangguan depresi hingga stress pasca
trauma. Secara umum, Antony dan Swinson (2000) menyimpulkan bahwa terapi kognitif
perilaku untuk mengatasi kecemasan sosial terdiri dari tiga strategi utama, yakni memasukkan
di dalamnya terapi kognitif, exposure atau mengahdapi langsung situasu yang menakutkannya,
dan ditambahkan dengan pelatihan ketrampilan sosial (Asrori & Hasanat, 2022).
KASUS 2: PENERIMAAN SEORANG AYAH TERHADAP ANAK AUTIS

Berkeluarga merupakan anugerah tersendiri dalam sebuah kehidupan individu. Orang


tua mengharapkan anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas, dan berhasil dalam
pendidikannya, namun keadaan akan berubah bila orang tua memiliki anak dengan kebutuhan
khusus (ABK). Menurut Mangunsong (1998) reaksi yang muncul pada orang tua ketika
anaknya dikatakan memiliki permasalahan pada kondisi fisik maupun kesehatan adalah tidak
percaya, terjadi goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa
anak mereka. Bukan hal yang mudah bagi orang tua untuk percaya bahwa anaknya dikatakan
bermasalah, apalagi anaknya dikatakan menyandang autisme.
Beberapa orang tua ada yang tidak membiarkannya berinteraksi dengan orang lain
bahkan mereka cenderung melarang anaknya untuk melakukan sesuatu hal sendiri tanpa
bantuan mereka. Ayah sebagai kepala keluarga berperan sebagai sumber penghasilan dan
pembentukan karakter pada keluarga. Ayah memiliki peranan tersendiri dalam membesarkan
anak autis. Ayah akan cenderung mengajarkan banyak hal kepada anak-anaknya tentang hidup
dengan cara mereka masing-masing. Peran Ayah memiliki kontribusi yang sama terhadap
perkembangan anak dengan gangguan autis, terutama dalam bidang bahasa dan bermain
simbolis (Febrianto & Darmawanti, 2016).
Penerimaan ayah terhadap anak yang memiliki gangguan autisme memerlukan
pengetahuan yang luas tentang autisme itu sendiri, sehingga ayah akan memahami arti dari
autisme yang sebenarnya. Masing-masing individu ayah memiliki peran dan bentuk
keterlibatan yang berbeda-beda. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang
bersumber dari personal ayah, kondisi anak, sosial, budaya, dan lingkungan. Adapun contoh
aktivitas pengasuhan secara langsung yang dilakukan, yaitu: (Asfari, 2022)
1. Melakukan aktivitas bersama anak dengan bermain atau belajar.
2. Peran perawatan langsung seperti menyuapi dan memandikan anak.
3. Mengantarkan anak mengikuti terapi atau pergi ke sekolah.
4. Memenuhi kebutuhan finansial.
5. Mencari informasi mengenai pengobatan, terapi, sekolah, dan perawatan lain yang
dibutuhkan
BAB 3 PENUTUP
A. KESIMPULAN
Disabilitas mental merupakan gangguan atau masalah pada jiwanya, seperti
terganggunya fungsi berpikir, fungsi psikologis, fungsi emosi dan fungsi perilakunya serta
telah dinyatakan mengidap gangguan mental tersebut oleh seorang ahli profesional. Seseorang
dinyatakan memiliki gangguan disabilitas mental jika, kondisi seseorang tersebut
menyebabkan kesulitan untuk berkonsentrasi, berpikir, mengambil keputusan, dan kesulitan
untuk menunjukkan isi pikirannya. Jenis disablitas mental yang dapat di temukan antara lain:
disabilitas psikososial dan disabilitas perkembangan.
Disabilitsa psikososial disebut dengan gangguan jiwa adalah kondisi seseorang yang
menyebabkan gangguan pada proses berpikir, berkonsentrasi, berperasaan, berperilaku dan
berinteraksi sosial. Disabilitas sosial meliputi: gangguan cemas, gangguan depresi, gangguan
kepribadian, bipolar dan skizofrenia. Sedangkan disabilitas perkembangan adalah gangguan
yang terjadi pada seseorang serta berpengaruh pada kemampuan untuk berinteraksi sosial
seperti autis dan hiperaktif. Disabiltas mental dapat disebabkan karena cedera, kelainan
genetik, gangguan saat kehamilan, dan penggunaan obat-obat tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Allo, E. A. T. (2022). Penyandang Disabilitas di Indonesia. Nusantara: Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial, 9(2), 808–809. https://doi.org/10.31604/jips.v9i2.2022.807-812
Basuni, U., Nianggolan, Y., Prawardani, G., Hidayat, A. H., Refliandra, R., Fatmawati,
Setyawati, M., Dhiniyanti, N., Hidayat, A. H., & Lindawati. (n.d.). Mengenal Anak
Dengan Disabilitas Psikososial (U. Basuni, Y. Nianggolan, G. Prawardani, A. H. Hidayat,
R. Refliandra, Fatmawati, M. Setyawati, N. Dhiniyanti, A. H. Hidayat, & Lindawati,
Eds.). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Oetopo, A., S, C. T., & Hazmi, F. Al. (2022). Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Mental
Melalui Pelatihan Membatik di Yayasan Jiwa Layang. Diklus: Jurnal Pendidikan Luar
Sekolah, 6(2), 128. https://doi.org/10.21831/diklus.v6i2.47968

Effendy, M. (2017). Menjadi Orang Tua Hebat Untuk Keluarga dengan Anak yang Memiliki
Disabilitas (Sukiman & P. Raraswati, Eds.). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Asfari, H. (2022). Peran yang Terlupakan: Pengasuhan Ayah pada Keluarga dengan Anak
Berkebutuhan Khusus di Indonesia. Psyche 165 Journal, 15(1), 1–6.
https://doi.org/10.35134/jpsy165.v15i1.140
Asrori, A., & Hasanat, N. ui. (2022). Terapi Kognitif Perilaku Intuk Mengatasi Gangguan
Kecemasan Sosial. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 3(1), 89–107.
Febrianto, A. S., & Darmawanti, I. (2016). Studi Kasus Penerimaan Seorang Ayah Terhadap
Anak Autis. Jurnal Psikologi Teori Dan Terapan, 7(1), 50.
https://doi.org/10.26740/jptt.v7n1.p50-61

Anda mungkin juga menyukai