Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE) DENGAN GNC


(GLOMERULOSNEFRITIS KRONIS) + HEMODIALISA

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. Definisi
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang berlangsung
pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap yang mengakibatkan
penumpukan sisa metabolit (toksik uremik)sehingga ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan
biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit (Hudak & Gallo, 1996).

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001;
1448). Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat selama berbulan-bulan atau bertahun-
tahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan bertahap dalam
gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², sebagai berikut:

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal
(Sumber: Chonchol, 2005)
B. Etiologi
Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%)
(Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas,
akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus
(Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer
dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik
lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari
pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus
memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai
semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi.
Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan
adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering
ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa
diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa
darahnya (Waspadji, 1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi
primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut
juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).

d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang
tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik,
kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan
kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah
penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar
baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada
fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada
istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).

C. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat
penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney
Foundation, 2009).

D. Klasifikasi
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui penghitungan
nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR dokter akan memeriksakan
sampel darah penderita ke laboratorium untuk melihat kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin
adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam
darah oleh ginjal yang sehat.

Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :

 Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)


 Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
 Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
 Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
 Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test )
dapat digunakan dengan rumus :

Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )

72 x creatini serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

Stadium 1

Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum
merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini
disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi
100 persen, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam
stadium 1. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk
penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.

Stadium 2

Sama seperti pada stadium awal, tanda – tanda seseorang berada pada stadium 2 juga
dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik.
Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit
lainnya seperti diabetes dan hipertensi.

Stadium 3

Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat yaitu
diantara 30 s/d 59 ml/min. dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa
metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada stadium ini muncul
komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang.
Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :

 Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.


 Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat
lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat penderita
akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan.
Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada
dalam tubuh.
 Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi
coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa
bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil
di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami
oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.
 Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
 Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke seorang ahli ginjal
hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan rekomendasi terbaik serta terapi – terapi
yang bertujuan untuk memperlambat laju penurunan fungsi ginjal. Selain itu sangat
disarankan juga untuk meminta bantuan ahli gizi untuk mendapatkan perencanaan diet
yang tepat. Penderita GGK pada stadium ini biasanya akan diminta untuk menjaga
kecukupan protein namun tetap mewaspadai kadar fosfor yang ada dalam makanan
tersebut, karena menjaga kadar fosfor dalam darah tetap rendah penting bagi
kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus membatasi asupan kalsium
apabila kandungan dalam darah terlalu tinggi. Tidak ada pembatasan kalium kecuali
didapati kadar dalam darah diatas normal. Membatasi karbohidrat biasanya juga
dianjurkan bagi penderita yang juga mempunyai diabetes. Mengontrol minuman
diperlukan selain pembatasan sodium untuk penderita hipertensi.
Stadium 4

Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15 – 30 persen saja dan apabila seseorang
berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani
terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi
penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu
besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia,
penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya.

Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah :

 Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.


 Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat
lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat penderita
akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan.
Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada
dalam tubuh.
 Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi
coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa
bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang air
kecil di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami
oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.
 Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi tidak
terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau
pernafasan yang tidak enak.
 Sulit berkonsentrasi
Stadium 5 (gagal ginjal terminal)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja secara
optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi agar
penderita dapat bertahan hidup.

Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :

 Kehilangan napsu makan


 Nausea.
 Sakit kepala.
 Merasa lelah.
 Tidak mampu berkonsentrasi.
 Gatal – gatal.
 Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
 Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
 Keram otot
 Perubahan warna kulit

E. Prognosis
Pada penyakit gagal ginjal dini (mikro albuminuria)sudah mempunyai prognostik
morbiditas dan mortalitas kardio vaskuler. Dengan memberatnya kelainan ginjal, disertai
dengan penurunan fungsi ginjal, prognosis terbukti semakin buruk,menuju gagal ginjal yang
memerlukan dialisis, komplikasi organ target yang mengurangi kualitas hidup dan
meningkatkan angka kematian ( Suhardjono, 2001 ).

F. Tanda Dan Gejala


Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifesotasi klinik mengenai
dihampir semua sistem tubuh manusia, seperti:

 Gangguan pada Gastrointestinal


Dapat berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan dengan terbentuknya zat
toksik (amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu oleh bakteri
usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul
stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif hampir
dijumpai pada 90 % kasus Gagal Ginjal Kronik, bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum
dan kolitis uremik.

 Kulit
Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan gatal
akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.

 Hematologi
Anemia merupakan gejala yang hampr selalu ada pada Gagal Ginjal Kronik. Apabila
terdapat penurunan fungsi ginjal tanpa disertai anemia perlu dipikirkan apakah suatu Gagal
Ginjal Akut atau Gagal Ginjal Kronik dengan penyebab polikistik ginjal yang disertai
polistemi. Hemolisis merupakan sering timbul anemi, selain anemi pada Gagal Ginjal Kronik
sering disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai
trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu sehingga pertahanan
seluler terganggu, sehingga pada penderita Gagal Ginjal Kronik mudah terinfeksi, oleh
karena imunitas yang menurun.

 Sistem Saraf Otot


Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg
syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa
kelemahan, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan
kesadaran atau koma.

 Sistem Kardiovaskuler
Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme terjadinya
hipertensi pada Gagal Ginjal Kronik oleh karena penimbunan garam dan air, atau sistem
renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai
akibat kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial.
Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan elektrolit.

 Sistem Endokrin
Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai pada Gagal
Ginjal Kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan menstruasi sampai aminore.
Toleransi glukosa sering tergangu paa Gagal Ginjal Kronik, juga gangguan metabolik vitamin
D.

 Gangguan lain
Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan elektrolit dan
asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik, hiperkalemia, hiperforfatemi,
hipokalsemia.

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna,
mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar,
2006).

G. Pemeriksaan Penunjang
 Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah,
HB, mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal
berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
 Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari 78
g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan
kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat
- Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan
sintesis karena kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.

 Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular
massa.
 Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam
ureter, terensi.
 Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas.
 Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histoligis.
 Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.

Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dan Tangan : Dapat menunjukan demineralisasi.

H. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :

1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang (Smeltzer & Bare, 2001)
I. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
(Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan
keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis
mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).
Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali.
Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau
serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena
dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari
GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan
obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal,
dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia,
muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan
yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow
fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien
anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual
urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality.
Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar,
2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

GLOMERULOSNEFRITIS KRONIS

1. Definisi
a. Glomerulonefritis kronis adalah suatu kelainan yang terjadi pada beberapa penyakit,
dimana terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi ginjal selama bertahun-
tahun. Biasannya lanjutan dari GNA
b. Glomerulonefritis kronik adalah suatu gejala yang menggambarkan penyakit
peradangan pada glomerulos tahap akhir, yang ditandai dengan kerusakan glomerulos
secara progresif lambat akibat glomerulonefritis yang perkembangannya perlahan -
lahan dan membahayakan serta berlangsung lama (10 – 30 tahun).
2. Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui. Pada 50% penderita ditemukan glomerulopati sebagai
penyebabnya, meskipun tidak pernah timbul gejala-gejalnya. Penyebab bervariasi:
Perjalanan Cepat dan Perjalanan Lambat
a. PRIMER (Respon Imun terhadap Patogen, Etiologi belum diketahui)
1. Streptococcus group A Beta Hemolitikus
2. Syphilis, Abses viseral, Endocarditis bacterial, Hepatitis,Mononucleosis
infeksi
3. Measles, Mumps, Cytomegalovial infection
4. Beberapa parasit, jamur, infeksi virus
b. SEKUNDER ( Berkaitan dengan infeksi sistemik) SLE, Progresive systemic
sclerosis, Trombositopenia purpura Gagal ginjal post partum, Goodpasture’s
syndrome Wegner’s granulomatosis Polyarteritis nodusa, Hemolitic uremic sindrome
3. Patofisiologi
GNK memiliki karakteristik kerusakan glomerulos secara progresif lambat dan
kehilangan filtrasi renal secara perlahan – lahan. Ukuran ginjal sedikit berkurang sekitar
seperlima dari ukuran normal dan terdiri dari jaringan fibrosa yang luas. Korteks mengecil
menjadi lapisan yang tebalnya 1 sampai 2 mm atau kurang. Berkas jaringan parut merusak
korteks, menyebabkan permukaan ginjal kasar dan irreguler. Sejulah glomerulus dan
tubulusnya berubah menjadi jaringan parut dan cabang – cabang arteri menebal. Akhirnya
terjadi kerusakan glomerulus yang parah, menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir.
4. Manifestasi Klinis
1. Nyeri tumpul pinggang belakang
2. Sakit kepala, hipertensi
3. Perubahan pola eliminasi urine
4. Dysuria
5. Menurun output urine
6. Kesulitan bernafas
7. Orthopnea
8. Nocturnal/dyspnea pada saat pengerahan tenaga
9. Perubahan BB, rales pada suara paru
10. Pelebaran pada vena leher, adanya suara jantung tiga (S3)
11. Edema pada wajah, kelopok mata, tangan dan jaringan perifer
12. Fatigue dan malaise
13. Anoreksia, nausea dan/muntah
14. urine berwana merah ke coklat-coklatan.
5. Komplikasi
1. Malnutrisi
2. Infeksi sekunder
3. Gangguan koagulasi
4. Akselerasi aterosklerosis
6. Penatalaksanaan Medis
1. Bed-rest total
2. Monitor TTV setiap 4 jam
3. Monitor BUN, Creatinin dan Protein urine
4. Mengganti cairan yang hilang
5. Monitor intake-Output
6. Diet: Pembatasan cairan dan Na, tinggi KH & rendah protein, Rendah K Bila Ada
gagal ginjal.
7. Antibiotik jika ada infeksi
8. Korticosteroid & Cytotoxic
9. Anti Hypertensi
10. Diuretik
11. Plasmapheresis

Diagnosa
a. Urinalisis (analisa air kemih) menunjukkan adanya protein, darah atau beberapa
kelainan lainnya.
b. Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan.
c. USG ginjal, CT scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan ginjal.
d. Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk glomerulonefritis kronis atau
pembentukan jaringan parut yang tidak spesifik pada glomeruli.
Pengobatan
a. Pengobatan tergantung kepada penyebab penyakit serta jenis dan beratnya gejala.
b. Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala-gejalanya.
c. Untuk mengendalikan tekanan darah tinggi diberikan obat anti-hipertensi dan
pembatasan asupan garam, cairan serta protein.
d. Untuk mengatasi gagal ginjal dan memperpanjang harapan hidup penderita,
dilakukan dialisa atau pencangkokan ginjal.
7. Pengkajian
1. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat infeksi streptoccokus beta hemolitikus
b. Riwayat penyakit SLE dan penyakit autoimun
c. Riwayat pembedahan dan prosedur invasive
d. Masalah urologi atau ginjal
e. Perubahan status berkemih meliputi; Frekwensi berkemih, perubahan warna,
kejernihan dan bau
f. pengetahuan pasien tentang proses penyakit.
2. Pemeriksaan Fisik (Lihat pada manifestasi klinis)
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisa
b. Urine tampung 24 jam
c. IVP
d. Serum Creatinin
e. Serum Protein
f. Biopsy Ginjal
g. Kultur Lendir tenggorokan dan darah
h. EKG
i. Antistrepolysin
8. Diagnosa Keperawatan
1. ketidakmampuan dalam aktifitas b.d Penurunan protein dan disfungsi ginjal
2. resiko kelebihan volume cairan b.d Retensi air dan disfungsi ginjal
3. resiko infeksi (uti, lokal, sistemik) b.d Penekanan pada sistem imun
4. resiko perubahan perfusi jaringan: Serebral cardiopulmonary b.d resiko Krisis
hipertensi
5. kurang pengetahuan b.d kurang Informasi tentang proses penyakit, Perawatan di rumah
dan instruksi Tindakan lanjut
9. Perencanaan
Diagnosa keperawatan 1

ketidakmampuan dalam aktifitas b.d Penurunan protein dan disfungsi ginjal

Tujuan : Pasien akan meningkat toleransi terhadap aktifitas


Kriteria hasil :
- Mengikuti rencana aktiftas
- TD dalam batas normal tanpa pengeluaran protein berlebihan
Rencana Tindakan

 Monitor adanya penurunan protein scr. Berlebihan (Proteinuria, Albuminuria)


 Gunakan diet protein untu mengganti protein yang hilang
 Berikan diet tinggi Kalori, diet tinggi KH
 Anjurkan Bedrest
 Berikan latihan dalam batas aktifitas yang dianjurkan
 Rencanakan aktifitas dengan memberikan periode waktu istirahat

Diagnosa keperawatan 2.

Resiko kelebihan volume cairan b.d Retensi air dan disfungsi ginjal
Tujuan : Pasien akan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Kriteria hasil :
- Tidak memperlihatkan Tanda-tanda kelebihan cairan dan elektrolit
- Intake dan output dalam keadaan seimbang
Rencana tindakan

 Monitor dan laporkan tanda dan gejala kelebihan cairan


 Ukur dan dokumentasikan intake dan output setiap 4 – 8 jam
 Catat jumlah dan karakteristik urine; laporkan bila ada penurunan output urine
pada dokter
 Timbang BB setiap hari, dengan timbangan dan waktu yang sama
 Ukur BJ urin setiap 8 jam, lapor bila ada peningkatan
 Konsultasikan ke ahli diet untuk pembatasan Natrium dan Protein.
 Berikan cairan sesuai dengan cairan yang hilang
 Berikan batu es untuk mengontrol haus
 Monitor hasil pemeriksaan elektrolit, laporkan bila ada
 ketidaknormalan
 Kaji efektifitas pemeberian elektrolit scr. Parenteral/oral

Diagnosa keperawatan 3.

Resiko infeksi (uti, lokal, sistemik) b.d Penekanan pada sistem imun

Tujuan : Pasien akan memperlihatkan tidak adannya tanda-tanda infeksi


Kriteria hasil :
- Memiliki hasil pemeriksaan temperatur dan lab dalam batas normal
- Memiliki suara paru yang bersih
- Urinnya bening dan kuning
- Kulit utuh
Rencana tindakan

 Kaji efektifitas pemeberian imunosupresive


 Monitor serum sel darah merah, antibodi, nilai set T
 Periksa Temp. tubuh setiap 4 jam
 Catat karakteristik urine
 Hindari pemasangan kateter pada saluran perkemihan
 Jika dipasang kateter, pertahankan closed gravity drain system
 Monitor adanya Tanda & gejala UTI, lakukan tindakan pencegahan UTI
 Asuskultasi suara paru setiap 4 jam
 Anjurkan untuk batuk dan nafas dalam
 Instruksikan pasien u/ menghindari orang yang menglamai infeksi
 Lakukan tindakan untuk mencegah kerusakan kulit
 Anjurkan untuk ambulasi lebih awal

HEMODIALISIS

A. Definisi
Hemodialisis adalah suatu proses memisahkan sisa metabolisme yang tertimbun dalam
darah dan mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit juga asam basa melalui sirkulasi
ekstrakorporeal dengan menggunakan ginjal buatan. Beberapa aspek yang mempunyai
hubungan erat dengan masalah keperawatan antara lain : Ginjal buatan, Dialisat, Pengolahan
Air, AksesDarah, Antikoagulan, tekhnik Hemodialisa, Perawatan Pasien Hemodialisa,
Kompliokasi akut hemodialisa dan pengelolaannya, peranan perawat yang bekerja di luar HD
(ruang perawatan biasa)
1. Ginjal Buatan
Suatu alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, bila
fungsi kedua ginjal sudah tidak memadai lagi, mengatur keseimbangan cairan dan
elektrolit, mengeluarkan racun-racun atau toksin yang merupakan komplikasi dari Gagal
Ginjal. Sedangkan fungsi hormonal/ endokrin tidak dapat diambil alih oleh ginjal buatan.
Dengan demikian ginjal buatan hanya berfungsi sekitar 70-80 % saja dari ginjal alami
yang normal.
Macam-macam ginjal buatan :
a. Paraller-Plate Diyalizer
Ginjal pertama kali ditemukan dan sudah tidak dipakai lagi, karena darah dalam
ginjal ini sangat banyak sekitar 1000 cc, disamping cara menyiapkannya sangat sulit
dan membutuhkan waktu yang lama.
b. Coil Dialyzer
Ginjal buatan yang sudah lama dan sekarang sudah jarang dipakai karena
volume darah dalam ginjal buatan ini banyak sekitar 300 cc, sehingga bila terjadi
kebocoran pada ginjal buatan darah yang terbuang banyak. Ginjal ini juga
memerlukan mesin khusus, cara menyiapkannya juga memerlukan waktu yang
lama.
c. Hollow Fibre Dialyzer
Ginjal buatan yang sangat banyak saat ini karena volume darah dalam ginjal
buatan sangat sedikit sekitar 60-80 cc, disamping cara menyiapkannya mudah dan
cepat.

2. Dialisat
Adalah cairan yang terdiri dari air, elektrolit dan zat-zat lain supaya mempunyai tekanan
osmotik yang sama dengan darah.
Fungsi Dialisat pada dialisit:
a. Untuk mengeluarkan dan menampung cairan dan sisa metabolisme
b. Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa

Tabel perbandingan darah dan dialisat :


Komponen elektrolit Darah Dialisat
Natrium/sodium 136mEq/L 134mEq/L
Kalium/potassium 4,6mEq/L 2,6mEq/L
Kalsium 4,5mEq/L 2,5mEq/L
Chloride 106mEq/L 106mEq/L
Magnesium 1,6mEq/L 1,5mEq/L

Ada 3 cara penyediaan cairan dialisat :


a. Batch Recirculating
Cairan dialisat pekat dicampur air yang sudah diolah dengan perbandingan 1 :
34 hingga 120 L dimasukan dalam tangki air kemudian mengalirkannya ke ginjal
buatan dengan kecepatan 500 – 600 cc/menit
b. Batch Recirculating/single pas
Hampir sama dengan cara batch recirculating hanya sebagian langsung buang.
c. Proportioning Single pas
Air yang sudah diolah dan dialisat pekat dicampus secara konstan oleh
porpropotioning dari mesin cuci darah dengan perbandingan air : dialisat = 34 : 1
cairan yang sudah dicampur tersebut dialirkan keginjal buatan secara langsung
dan langsung dibuang, sedangkan kecepatan aliran 400 – 600 cc/menit
3. Pengolahan air/ Water Treatment
Tujuan :
a. Mencegah infeksi nosokongial (sepsis
b. Mencegah intoksikasi (trace element).
Air untuk mencampur dialisat pekat tidak perlu steril tetapi seharusnya tidak
mengandung zat/elektrolit, mikroorganisme dan benda-benda asing lainnya. Pada
kenyataannya kandungan air biasanya cukup bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh letak
geografis jenis sumber air, musim, sistim instalasi dan penjernihan air.
4. Akses Darah
Hemodialisme akan efektif jika dialisme dilakukan sekitar 2-6 jam/minggu pada pasien
baru, sedangkan pada pasien yang sudah stabil dan menjalani kronik hemodialisa
sekitar 6 – 18 jam /minggu. Untuk mendapatkan aliran darah yang besar ( sekitar 200 -
300 cc/menit) selama 2jam sangatlah sulit. Biasannya pada pasien akut kita lakukan
pada vena vemoralis, sehingga dapat diperoleh aliran darah yang besar. Pada pasien
dengan program HD berkala yaitu 2 -3 kali/minggu harus disiapkan penyambungan
pembuluha darah arteri dan vena.
Ada 2 macam cara :
a. Pintas (shunt) eksternal
Kanula khusus yang mengalirkan darah arteri langsung ke vena yang
berdekatan. Kanula arteri dan vena dihubungan dengan konektor sehingga pada
saat dialisa konektor dibuka lalu kanula arteri dihubungkan ke slang yang
mengalirkan darah ke ginjal buatan dan kanula vena untuk memasukkan darah
kembali ketubuh penderita. Komplikasi yang sering terjadi, seperti pembekuan darah
infeksi, oleh karena itu pemakaian pintas ini biasanya dibatasi lama pamakaiannya,
paling lama 6 bulan. Hal ini jarang dilakukan lagi.
b. Fistula Arteriovenisa Interna
Fistula Arteriovenisa Interna pertama kali dibuat oleh Brescia dan Cimino pada
tahun 1966 yaitu menghubungan arteri dan vena yang berdekatan dengan cara
operatif, biasanya dilakukan pada daerah tangan. Aliran dan tekanan darah dalam
vena akan meningkat sehingga menyebabkan pelebaran lumen vena dan
arterialisasi vena secara perlahan-lahan. Dengan demikian memudahkan penusukan
pembuluh darah sesuai dengan yang diharapkan.
c. Antikoagulan
Selama hemodialisa berlangsung diperlukan antikoagulan agar tidak terjadi
pembekuan darah, yang biasanya digunakan heparin.
Pemakaian heparin ini dikenal dengan heparinisasi, macam heparinisasi :
1) Heparinisasi sistemik
Digunakan pada hemodialisa kronik yang stabil. Bolus heparin 1000 – 5000 unit tiap
jam. Pada jam terakhir tidak diberikan lagi.
2) Heparinisasi regional (sedang haid) bolus heparin tetap diberikan sebanyak 1000 –
5000 unit, selanjutnya diinfuskan sebelum ginjal buatan dan protamine sulfat,
sesudah ginjal buatan, sebelum darah masuk kedalam tubuh penderita. Jadi heparin
diberikan pada sirkulasi ekstrakorporeal saja.
3) Heparinisasi minimal
Diberikan hanya 500 unit saja pada awal tusukan karena penderita cenderung
berdarah selanjutnya tidak diberikan lagi.
5. Teknik hemodialisa
Sebelum berbicara tentang tekhnik hemodialisa terlebih dahulu menjelaskan beberapa
istilah :
a. Sirkulasi ekstrakorporeal
b. Sirkulasi diluar tubuh selama terjadi hemodialisa.
c. Sirkulasi sistemik
d. Sirkulasi dalam tubuh
e. Selaput semipermiabel
f. Selaput yang sangat tipis mempunyai pori-pori halus, hanya dapa dilihat dengan
mikroskop.
g. Blood pump (Roller Pump)
h. Pompa mesin hemodialisa yang gunanya mengalirkan darah dari sirkulasi sistemik
ke sirkulasi ekstrakorporea dan kembali lagi ke sirkulasi sistemik selama proses
hemodialisa.
i. Blood Lines, selang darah yang mengalirkan darah dari tubuh penderita ke dyalizer
disebut arteria blood lines/inlet, sedangkan selang yang mengalirkan darah dari
dyalizer ke tubuh penderita disebut venous blood line/outlet.
6. Persiapan mesin dan perangkat HD
a. Pipa pembuangan sudah masuk dalam saluran pembuangan
b. Sambungkan kabel mesin dengan stop kontak
c. Hidupkan mesin ke rinse selama 15-30 menit
d. Pindahkan ke posisi dialyze lalu sambungkan slang dialisat ke jaringan tempat
dialisat yang telah disiapkan
e. Tunggu sampai lampu hijau
f. Tes conductivity dan temperatur
g. Gantungkan saline normal sebanyak 4 flatboth yang telah diberikan heparin
sebanyak 25-30 unit dalam masing-masing flatboth
h. Siapkan ginjal buatan sesuai dengan kebutuhan pas
i. Siapkan blood lines dan AV fiskula sebanyak2
j. Ginjal buatan dan blood lines diisi saline normal (primin)
k. Sambungkan dialisatelines pada ginjal buatan
l. Sambil mempersiapkan pasien slang inlet dan outlet disambungkan lalu jalankan
blood pump (sirkulasi tertutup).

7. Persiapan Penderita :
Indikasi hemodialisa
a. Segera/ indikasi mutlak : over hidrasi atau edema paru, hiperkalemi, aliguri berat
atau anuria, asidosis, hipertensi maligma.
b. Dini/ profilaksis : gejala uremia (mual muntah) perubahan mental, penyakit tulang,
gangguan pertumbuhan dan seks, perubahan kualitas hidup.
Bila penderita baru yang datang di ruang HD, sebelum kita melakukan HD terlebih
dahulu periksa kembali hasil-hasil pemeriksaan yang penting (Hb, hematokrit, ureum,
kreatinin, dan HbsAg), hal ini perlu untuk menentukan tindak lanjut sperlu untuk
menentukan tindak lanjut suatu HD.
Langkah-langkah HD
a. Timbang dan catat BB
b. Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk menginterpretasikan
kelebihan cairan)
c. Tentukan akses darah yang akan ditusuk.
d. Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine 10% lalu alcohol 70%
kemudian ditutup pakai duk steril.
e. Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil :spuit 2,5cc sebanyak 1, spuit 1
cc 1 buah, mangkok kecil berisi saline 0,9% dan kasa steri
f. Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonestdan heparin.
g. Pakai masker dan sarung tangan steril.
h. Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan ditusu
i. Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak 2000unit pada inlet
sedangkan outlet sebanyak 1000 unit.
j. Siap sambungkan ke sirkulasi tertutup yang telah disediakan.
k. Aliran darah permulaan sampai 7 menit 75 ml/menitkemudian dinaikkan perlahan
sampai 200 ml/menit.
l. Tentukan TMP sesuai dengan kenaikkan berat badan.
m. Segera ukur kemabali tekanan darah, nadi, pernapasan, akses darah yang
digunakan dicatat dalam status yang telah tersedia.
8. Perawatan pasien Hemodialisa
Terbagi 3 yaitu ;
a. Perawatan sebelum hemodialisa
 Mempersiapkan perangkat HD
 Mempersiapkan mesin HD
 Mempersiapkan cara pemberian heparin
 Mempersiapkan pasien baru dengan memperhatikan factor BioPsikososial, agar
penderita dapat bekerja sama dalam hal program HD
 Mempersiapkan akses darah
 Menimbang berat bada, mengukur tekanan darah, nadi, pernapasan
 Menentukan berat badan kering
 Mengambil pemeriksaan rutin dan sewaktu

b. Perawatan Selama Hemodialisa


Selama HD berjalan ada 2 hal pokok yang diobservasi yaitu penderita dan mesin HD
1) Observasi terhadap pasien HD
 Tekanan darah, nadi diukur setiap 1 jam lalu dalam status
 Dosis pemberian heparin dicatat setiap 1 jam dalam status
 Cairan yang masuk perparenteral maupun peroral dicatat jumlahnya dalam status
 Akses darah dihentikan
2) Observasi terhadap mesin HD
 Kecepan aliran darah /Qb, kecepatan aliran dialisat/Qd dicatat setiap 1 jam
 Tekanan negatif, tekanan positif, dicatat setiap jam
 Suhu dialisa, conductivity diperhatikan bila perlu diukur
 Jumlah cairan dialisa, jumlah air diperhatikan setiap jam
 Ginjal buatan, slang darah, slang dialisat dikontrol setiap 1 jam.
c. Perawatan sesudah Hemodialisa
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu cara menghentikan HD pada pasien
dan mesin HD
1) Cara mengakhiri HD pada pasien
 Ukur tekanan darah nadi sebelum slang inlet dicabut
 Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
 Kecilkan aliran darah menjadi 75 ml/menit
 Cabut AV fistula intel/ lalu bilas slang inlet memakai saline normal sebanyak 50-100
cc, lalu memakai udara hingga semua darah dalam sirkulasi ekstrakorporeal kembali
ke sirkulasi sistemik
 Tekan pada bekas tusukan inlet dan outlet selama 5-10 menit, hingga darah berhenti
dari luka tusukan
 Tekanan darah, nadi, pernapasan ukur kembali lalu catat
 Timbang berat badan lalu dicatat
 Kirimkan darah ke laboratorium
2) Cara mengakhiri mesin HD
 Kembalikan tekanan negative, tekanan positif, ke posisi nol
 Sesudah darah kembali ke sirkulasi sistemik cabut selang dialisat lalu kembalikan ke
Hansen connector
 Kembalikan tubing dialisat pekat pada konektornya
 Mesin ke posisi rinse, lalu berikan cairan desifektan (hipoclhoride pekat) sebanyak
250 cc, atau cairan formalin 3% sebanyak 250 cc
 Formalin dibiarkan selama 1-2 x 24 jam, baru mesin dirinsekan kembali.
9. Pengkajian
Pengkajian Pre HD
a. Riwayat penyakit, tahap penyakit
b. Usia
c. Keseimbangan cairan, elektrolit
d. Nilai laboratorium: Hb, ureum, creatinin, PH
e. Keluhan subyektif: sesak nafas, pusing, palpitasi
f. Respon terhadap dialysis sebelumnya
g. Status emosional
h. Pemeriksaan fisik: BB, suara nafas, edema, TTV, JVP
i. Sirkuit pembuluh darah.
10. Pengkajian Post HD
a. Tekanan darah: hipotensi
b. Keluhan: pusing, palpitasi
c. Komplikasi HD: kejang, mual, muntah, dsb
11. Rencana keperawatan:
Diagnosa kep./ Rencana keperawatan
No masalah kolaborasi Tujuan & criteria Intervensi Rasional
hasil
1 Pola nafas tidak Pola nafas efektif 1. Kaji penyebab nafas 1. Untuk menentukan tindakan
efektif b.d: setelah dilakukan tidak efektif yang harus segera
· Edema paru tindakan HD 4-5 2. Kaji respirasi & nadi dilakukan
· Asidosis metabolic jam, dengan 3. Berikan posisi semi 2. Menentukan tindakan
· Hb ≤ 7 gr/dl criteria: fowler 3. Melapangkan dada klien
· Pneumonitis a. nafas 16-28 4. Ajarkan cara nafas sehingga nafas lebih
· perikarditis x/m yang efektif longgar
b. edema paru 5. Berikan O2 4. Hemat energi sehingga
hilang 6. Lakukan SU pada nafas tidak semakin berat
c. tidak saat HD 5. Hb rendah, edema, paru
sianosis 7. Kolaborasi pneumonitis, asidosis,
pemberian tranfusi perikarditis menyebabkan
darah suplai O2 ke jaringan <
8. Kolaborasi 6. SU adalah penarikan secara
pemberian antibiotic cepat pada HD,
9. Kolaborasi foto torak mempercepat pengurangan
10. Evaluasi kondisi klien edema paru
pada HD berikutnya 7. Untuk ↑Hb, sehingga suplai
O2 ke jaringan cukup
8. Untuk mengatasi infeksi
paru & perikard
9. Follou up penyebab nafas
tidak efektif
10. Mengukur keberhasilan
tindakan dan untuk follou up
kondisi klien

2 Resiko cedera b.d Pasien tidak 1. Kaji kepatenan AV 1. AV yg sudah tidak baik bila
akses vaskuler & mengalami cedera shunt sebelum HD dipaksakan bisa terjadi
komplikasi dg kriteria: 2. Monitor kepatenan rupture vaskuler
sekunder terhadap a. kulit pada kateter sedikitnya 2. Posisi kateter yg berubah
penusukan & sekitar AV setiap 2 jam dapat terjadi rupture
pemeliharaan akses shunt utuh/tidak 3. Kaji warna kulit, vaskuler/emboli
vaskuler rusak keutuhan kulit, 3. Kerusakan jaringan dapat
b. Pasien tidak sensasi sekitar shun didahului tanda kelemahan
mengalami 4. Monitor TD setelah pada kulit, lecet bengkak,
komplikasi HD HD ↓sensasi
5. Lakukan heparinisasi 4. Posisi baring lama stlh HD
pada shunt/kateter dpt menyebabkan
pasca HD orthostatik hipotensi
6. Cegah terjadinya 5. Shunt dapat mengalami
infeksi pd area sumbatan & dapat
shunt/penusukan dihilangkan dg heparin
kateter 6. Infeksi dpt mempermudah
kerusakan jaringan
3 Kelebihan volume Keseimbangan 1. Kaji status cairan 1. 1-6 Pengkajian merupakan
cairan b.d: volume cairan 2. Timbang bb pre dan dasar untuk memperoleh data,
penurunan haluaran tercapai setelah post hd pemantauan 7 evaluasi dari
urine, diet cairan dilakukan HD 4-5 3. Keseimbangan intervensi
berlebih, retensi jam dengan masukan dan 7. Pembatasan cairan akan
cairan & natrium kriteria: haluaran menetukan dry weight,
a. BB post HD 4. Turgor kulit dan haluaran urine & respon
sesuai dry edema terhadap terapi
weight 5. Distensi vena leher 8. UF & TMP yang sesuai
b. edema hilang 6. Monitor vital sign akan ↓ kelebihan volume
c. Retensi 16-28 7. Batasi masukan cairan sesuai dg target BB
x/ caira, pada saat edeal/dry weight
d. kadar natrium priming & wash out 9. Sumber kelebihan cairan
darah 132-145 hd dapat diketahui
mEq/l 8. Lakukan hd dengan 10. Pemahaman ↑kerjasama
uf & tmp sesuai dg klien & keluarga dalam
kenaikan bb pembatasan cairan
interdialisis 11. Kebersihan mulut
9. Identifikasi sumber mengurangi kekeringan
masukan cairan mulut, sehingga ↓ keinginan
masa interdialisis klien untuk minum
10. Jelaskan pada
keluarga & klien
rasional pembatasan
cairan
11. Motivasi klien untuk ↑
kebersihan mulut
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses


keperawatan), Bandung.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa:
Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan
untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa;
Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
McCloskey&Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classifications, Second edisi, By
Mosby-Year book.Inc,Newyork
NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification, Philadelphia, USA
University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome Classifications,
Philadelphia, USA
Puji Rahardjo, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilit II, Edisi III, BP FKUI Jakarta.
Hundak, Gallo, 1996, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume II, Jakarta, EGC.
Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta : EGC
Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa:
Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
volume 2. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai