Anda di halaman 1dari 6

Catatan terbuka untuk ARBAIN RAMBEY/KOMPAS

by Bung Deny on Monday, March 15, 2010 at 11:22am

Photo Story di dalam Jurnalisme Kita

Foto jurnalistik adalah foto yang menyampaikan informasi kepada publik. Satu foto jurnalistik—biasa
disebut foto tunggal (single photo)—menyampaikan informasi yang sangat terbatas; lebih banyak
foto ditampilkan lebih banyak pula informasi yang bisa disampaikan. Penggunaan lebih dari satu foto
ini di dalam jurnalisme biasa dikenal sebagai photo story. Sampai saat ini belum ada istilah baku
dalam bahasa Indonesia untuk istilah photo story ini. Biarlah istilah itu kita pakai saja untuk
sementara ini.

Dalam penggunaannya di Indonesia, istilah photo story ini sering kali disamakan–dipertukarkan—
dengan esai foto (photo essay). Kalau pun dianggap tidak sama, maka yang terjadi adalah pengertian
photo story dianggap mencakup esai foto di dalamnya: esai foto adalah anggauta keluarga photo
story; padahal per definisi esai foto dibedakan dari/dengan photo story.

Melalui catatan ini, izinkan saya mengusulkan istilah baru, yaitu: foto jamak. Istilah ini saya pilih
karena langsung bisa dibedakan pengertiannya dari foto tunggal. Yang satu tunggal, yang banyak
jamak. Saya terilhami oleh penggunaan single image – multiple images di dalam bahasa Inggris.
Meskipun ada istilah single photo, harus diakui bahwa multiple photos sangat jarang kita temui;
bahkan mungkin pula tidak ada atau tidak dipakai.

Pengertian foto jamak mencakup photo story dan esai foto karena kedua-duanya menggunakan
lebih dari satu foto di dalam presentasinya. Jika ada istilah lain yang lebih tepat, tentu saja itu akan
lebih baik.

Foto jamak bisa kita perbincangkan dari beberapa aspeknya, yaitu:

Pertama: Jenis-jenis atau ragam bentuk foto jamak.


Kedua: Teknik-teknik dasar bercerita/bertutur di dalam foto jamak.
Terakhir: Elemen-elemen atau unsur-unsur cerita di dalam photo story.

Berikut adalah penjelasanya.

Ragam Bentuk Foto Jamak

Sejauh ini jurnalisme mengenal 2 ragam bentuk utama foto jamak, yaitu: photo story dan photo
essay.
Photo story sendiri, jika diperiksa lebih dalam, memiliki dua bentuk yang bisa pula dibedakan, yaitu
yang naratif dan yang deskriptif.

Yang Naratif (Narrative Photo Story)

Narrative Photo Story atau yang di dalam perbincangan atau di dalam teks-teks rujukan lebih sering
disebut sebagai Photo Story saja adalah tutur yang memiliki tema tertentu dan sedikitnya sebuah
alur kisah/cerita spesifik di dalamnya. Strukturnya terbentuk dari komplikasi dan resolusi.
Komplikasi adalah persoalan atau isue utama yang disorot, yang diliput dan yang dilaporkan. Di
dalam jurnalisme, lazimnya komplikasi berpusar pada masalah-masalah dasar dan cukup signifikan
sehingga orang-orang dapat mengaitkan dirinya dengan masalah tersebut (relevan); atau bisa juga
berupa karakter atau portrait seseorang yang bisa dijadikan teladan, sumber inspirasi; atau
membangkitkan empati dan solidaritas. Resolusi adalah perubahan yang terjadi pada
situasi/keadaan – atau pada karakter, sang tokoh - yang disorot tersebut; biasanya berupa aksi-
aksi/tindakan untuk mengatasi komplikasi. Rangkaian aksi yang menandai perubahan-perubahan –
dari komplikasi ke resolusi – ini lah yang membentuk alur (plot) cerita atau story. Tanpa perubahan
tak akan ada cerita; tak ada alur; tak ada kisah di dalamnya.
Yang naratif bergantung pada kelengkapan elemen/unsur cerita dan alur yang kukuh di dalamnya.

Yang Deskriptif (Descriptive)

Bila pewarta-foto hanya ingin merekam sesuatu yang mempesonanya atau menarik perhatiannya,
tanpa mengikuti perkembangan atau perubahan-perubahan yang terjadi, ia bisa memilih bentuk
deskriptif ini sebagai laporan akhirnya. Bentuk ini berupa suatu paket rangkaian foto-foto hasil
observasi dan liputan yang memiliki tema atau isue tertentu; sering kali bisa tanpa permasalahan
apa pun di dalamnya; yang disajikan tanpa alur yang tegas. Semacam paparan saja. Pendek kata:
sebuah kompilasi.
Yang deskriptif bertumpu pada jumlah – banyak/sedikit – foto yang membentuknya; bukan pada alur
cerita. Urutan tak terlalu penting; susunan bisa dipertukarkan tanpa merubah cerita yang hendak
disampaikan.
Hampir semua foto jamak yang terbit di Indonesia adalah bentuk/ragam deskriptif ini.

Contoh-contoh yang digunakan KOMPAS dalam rubrik KLINIK FOTOGRAFI: baik yang berupa seri
potret (edisi cetak Selasa 2 Maret 2010) dan tentang penambangan marmer (Selasa 9 Maret 2010)
dua-duanya adalah berbentuk deskriptif. Bukan naratif. Tak ada komplikasi-resolusi apa pun di
dalam contoh-contoh tersebut. Silahkan periksa.

Esai Foto (Photo Essay)

Esai foto dibedakan dengan tegas dari photo story karena memang berbeda fungsi dan karakternya.
Jika photo story adalah tentang fakta dan peristiwa sebagai informasi utama yang dihantarkannya;
esai foto melampaui itu. Esai foto bertujuan utama untuk menyampaikan pendapat atau opini secara
sekaligus, fakta dan peristiwa hanyalah pelengkapnya. Ia menganalisa dari pada melaporkan suatu
gejala, peristiwa atau isue tertentu. Ia adalah rangkaian argumen yang menyatakan sudut pandang
tertentu dari si pewarta–foto (dan/atau redaksi).
Karena karakter dan fungsinya itu, esai foto sangat mengandalkan keberadaan teks atau kata-kata
yang mendampinginya; tidak sekedar caption – yang memang merupakan syarat wajib di dalam
jurnalisme. Kerja sama foto dan teks menghasilkan efek-efek khusus yang sangat kuat di dalam
penyampaian opini atau pernyataan pendapat. (Tentang hubungan foto dan teks akan dibahas
dalam catatan tersendiri).

Kembali kepada contoh-contoh foto jamak yang digunakan KOMPAS dalam rubrik KLINIK
FOTOGRAFI, terutama yang terakhir yang disebut sebagai esai foto oleh pengasuhnya: tentang
penambangan marmer (Selasa 9 Maret 2010). Periksalah! Tak ada argumen atau opini apa pun di
dalamnya. Dia juga tidak menganalisa apa pun. Sebuah rangkaian paparan belaka!

Tentang Teknik-teknik Dasar Bercerita/bertutur

Bentuk tuturan dan cara bertutur tentu saja berbeda. Kita tak bisa membandingakan cara dengan
bentuk, atau sebaliknya.

Setidaknya ada 4 (empat) cara atau teknik dasar di dalam bertutur, yaitu:
1. Sanding: cara diptik (diptych) dan cara triptik (triptych);
2. Seri (series);
3. Sikuen (sequence);
4. Blok (Block);

Suatu foto jamak bisa menggunakan hanya salah satu dari teknik-teknik dasar tersebut di dalam
tuturannya; bisa pula menggunakan lebih dari satu cara atau kombinasi dari teknik-teknik dasar
tersebut.

Sanding: cara diptik (diptych) dan cara triptik (triptych)

Sanding atau menampilkan dua foto berbeda secara berdampingan atau bersebelahan (diptych)
digunakan tidak hanya untuk membandingkan dua foto tersebut (atau isinya), tetapi di dalam
tuturan sengaja digunakan untuk mendapatkan apa yang disebut efek ketiga (Third effect).

Sudah lama para praktisi visual menyadari bahwa saat 2 (dua) buah gambar disandingkan (Diptych),
pengaruh individual dari masing-masing gambar akan dikombinasikan dan ditingkatkan oleh
interpretasi dan tindak evaluatif pembacanya. Matematikanya: 1 + 1 > 2.
Jika yang disandingkan secara bersamaan itu berjumlah 3 (tiga), maka disebut triptych. Sandingan
tiga foto ini juga akan menghadirkan efek yang serupa, lebih kompleks bahkan; yang tentu saja, tidak
disebut efek ketiga.

Para esais sangat menyenangi efek yang ditimbulkan oleh cara sanding ini; karena dengan
mendampingkan dua atau tiga foto secara bersamaan, tidak hanya informasi dari dua/tiga foto itu
yang disajikan kepada pembaca, tetapi secara bersamaan foto-foto tersebut akan ‘memprovokasi’
atau mendorong sang pembaca untuk aktif mengaitkan, menafsirkan dan memaknai kehadiran foto-
foto tersebut. Efek ini melampaui informasi – fakta dan persitiwa - yang disampaikan oleh masing-
masing foto tersebut karena memberi ruang bagi kehadiran pembaca beserta subyektifitasnya.

Seri (Series)

Teknik series adalah bila tuturan menggunakan foto-foto yang saling berkaitan: yaitu yang memiliki
sinonim visual dan elemen gambar yang sama.
Mirip seperti pengertian sinonim di dalam bahasa lisan dan tulisan, sinonim visual berarti gambar-
gambar yang berbeda yang memiliki kesamaan arti: isi editorialnya atau pun sudut pandangnya.
Sedang yang dimaksud dengan elemen gambar adalah: tema, obyek atau subyek (tokoh), komposisi,
gaya (style), mood, perspektif, warna, pencahayaan dan teknik kamera. Elemen gambar sangat
menentukan kekuatan teknik bertutur seri ini; semakin banyak kesamaan elemen gambar yang bisa
diterapkan ke dalam setiap foto di dalam seri, semakin kuat lah tuturannya.

Contoh A, B, C dan D yang disebut sebagai Foto Komposit dalam rubrik KLINIK FOTOGRAFI (KOMPAS
edisi Selasa 2 Maret 2010) adalah contoh gamblang dari penggunaan teknik seri ini. Masing-masing
contoh – A, B, C dan D – memiliki apa yang dimaksud dengan sinonim visual dan elemen-elemen
gambar itu.

Sikuen (Sequence)

Sikuen adalah penempatan gambar secara berurutan sesuai kronologis: yang lebih awal mendahuli
yang kemudian. Urutan peristiwa - sesuai aliran waktu linier – merupakan efek utama dari teknik
dasar ini; baik itu peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam periode waktu yang sangat singkat,
maupun yang cukup lama, atau pun lama sekali.
Banyak sekali penutur yang menyukai teknik yang satu ini; karena sikuen bisa memperlihatkan
pergerakan (aspek sinematografis) di dalam cerita; menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa
berikutnya; beberapa peristiwa dan hubungan sebab-akibat di dalamnya menjadi lebih masuk akal
dan bisa dipercaya jika dituturkan dengan cara ini.

Contoh D yang disebut sebagai Foto Komposit dalam rubrik KLINIK FOTOGRAFI (KOMPAS edisi Selasa
2 Maret 2010) adalah contoh bagus dari penggunaan teknik sikuen ini, selain juga menggunakan
kombinasi teknik seri di dalam tuturannya. Empat foto di contoh D menunjukkan api yang menyala
besar di tangan kosong Demian, Sang Pesulap, berangsur-angsur secara berurutan mengecil, hampir
padam, di foto terakhir.
Jika Anda membalik urutannya, maka ceritanya menjadi sama sekali lain; berlawanan dengan proses
yang diceritakan oleh contoh tersebut.

Blok (Block)

Jika sejumlah gambar berbeda, yang masing-masing bingkai (frame) mengisolasi satu aspek yang
unik dan menarik secara visual, dan mampu memperkaya isi cerita, digunakan secara bersamaan di
dalam satu tuturan, itu lah yang disebut blok. Susunannya bebas, tak ada urutan, tak ada aturan.

Jika teknik sanding, seri dan sikuen menuntut kita berdisiplin di dalam pemotretan dan terus berlatih
untuk menguasainya; teknik yang satu ini justru begitu mudah sehingga kita bisa menguasainya
tanpa perlu berlatih atau mempelajarinya sekali pun; kita semua natural born blocker.

Sekali lagi. Mari kita tengok kembali photo story penambangan marmer (KLINIK FOTOGRAFI KOMPAS
Selasa 9 Maret 2010). Kita telah tahu bahwa dari ragam bentuknya, photo story ini termasuk di
dalam ragam tutur deskriptif.

Kali ini, perhatikanlah bagaimana foto-foto yang ada digunakan dan ditempatkan di dalamnya. Mari
bermain-main sebentar: bayangkan jika Anda adalah editor atau sang fotografernya. Anda bisa
mengurangi atau menambah foto-foto yang ada dengan foto-foto lain hasil liputan tentang
penambangan marmer tersebut; Anda juga bisa mengubah urutan tata letaknya.

Jika Anda benar-benar melakukan permainan tersebut, maka Anda sedang mempraktekan teknik
dasar blok tersebut. Berubahkah ceritanya? Tak ada perubahan apa pun, bukan? Kecuali
pengurangan dan penambahan informasi akibat penambahan/pengurangan jumlah foto yang Anda
lakukan itu.

Kombinasi ragam bentuk photo story deskriptif dan penggunaan teknik/cara bertutur blok sangat
populer di kalangan pewarta foto dan media massa di Indonesia. Sampai-sampai keduanya menjadi
tak terpisahkan, bahkan identik adanya. Juga sangat mendominasi! Sehingga hampir-hampir kita tak
pernah, kalau tidak sama sekali, menemui ragam bentuk yang lain; tidak juga cara bertutur yang lain.

Tentang Elemen-elemen atau Unsur-unsur Cerita di dalam Photo Story.

Jurnalisme tidak asing dengan 5W+1H: Who, What, When, Where, Why dan How.

Informasi yang berkualitas baik adalah jika mengandung unsur-unsur atau elemen informasi tersebut
secara lengkap. Pewarta-foto juga akrab dengan 5W+1H tersebut: kita semua wajib menulis caption
lengkap yang memenuhi unsur-unsur tersebut.
Persis. Sama juga. Photo story juga dituntut untuk memenuhi unsur-unsur informasinya selengkap
mungkin. Photo Story–yang naratif maupun yang deskriptif–yang baik adalah jika disusun dari
elemen-elemen pembentuknya secara lengkap. Karena visual, unsur-unsur informasi di dalam
tuturannya tentu saja berbeda rupa.

Elemen-elemen atau unsur-unsur pembentuk tuturan di dalam sebuah photo story adalah:
pembuka/pengantar, potret, interaksi, penanda utama, detil dan penutup.

Pembuka/Pengantar (Establising Shot).


Gambar pertama yang mampu menarik dan menggiring pembaca masuk ke dalam cerita, biasanya
membawa kita ke lokasi cerita (scene) dan menambatkan suatu nada (tone) tertentu; tak jarang
memuat elemen penting lainnya, terutama karakter penting di dalam tuturan: sang tokoh.

Potret (Portrait; portraiture).


Foto potret dari sang tokoh (character) atau pelaku-pelaku utama dalam cerita. Bisa berupa potret
tunggal bisa pula potret kelompok (group portrait).

Interaksi (Interaction).
Hubungan antar pelaku cerita atau pelaku dengan lingkungannya, baik secara fisik, emosi, psikologis
atau secara professional. Rangkaian interaksi membentuk plot cerita. Unsur ini memberi cerita suatu
kedalaman emosi lewat tampilan ekspresi wajah, sorot mata dan bahasa gerak (gesture) si tokoh.

Penanda Utama (Signature).


Sebenarnya sebuah penanda utama adalah elemen interaksi juga, namun sebuah interaksi yang
menjadi momen penentu; satu foto yang, bila terpaksa, bisa mewakili keseluruhan cerita, yang
menandai atau menggambarkan adanya perubahan.
Sebuah penanda utama biasanya berupa suatu ‘moment shot’ - sepersekian detik yang membeku -
dimana aksi, si tokoh atau tokoh-tokoh yang terlibat dan lingkungannya terangkai dalam suatu
komposisi yang memberi kesan mendalam (drama).

Detil (Detail).
Detil adalah sesuatu yang semula tampak biasa, dilihat sepintas lalu saja, padahal kehadirannya
sangat penting di dalam cerita. Detil di dalam tuturan berfungsi ‘menyandera’ perhatian; untuk
sesaat pembaca akan berhenti dan meluangkan waktu lebih untuk menelitinya. Karena kelebihan
tersebut detil juga berfungsi untuk menentukan langkah kecepatan (pace) alur cerita.
Ia bisa berupa apa saja, tidak harus suatu benda; tidak harus close-up pula; yang penting
signifikansinya.

Penutup (Clincher).
Foto terakhir yang menggambarkan situasi akhir atau penegasan; berfungsi untuk menutup cerita.

Untuk mendapatkan elemen/unsur pembentuk cerita yang selengkap mungkin, majalah LIFE yang
sangat melegenda itu melengkapi fotografernya dan para kontributornya dengan guidance untuk
memastikan bahwa mereka tidak akan lupa atau melewatkannya saat di lokasi liputan/pemotretan.
Di samping itu LIFE juga mengingatkan mereka untuk memperhatikan gaya visual majalah tersebut
melalui petunjuk berikut:

OVERALL Wide-angle atau aerial shot untuk menentukan lokasi.


MEDIUM Difokuskan pada satu aktifitas atau group.
CLOSE-UP Satu elemen yang penting atau signifikan dalam cerita.

Tentang Apa yang disebut sebagai Foto Komposit.


Melalui rubrik KLINIK FOTOGRAFI di harian KOMPAS edisi cetak Selasa 9 Maret 2010 pewarta-foto
senior kondang Arbain Rambey memperkenalkan istilah ‘Foto Komposit’ ke dalam jurnalisme
Indonesia. Foto komposit, menurut Arbain, adalah penggabungan beberapa foto sekaligus menjadi
seakan satu foto saja.

Saya telah berusaha mencari tahu lebih banyak tentang istilah tersebut di dalam buku-buku rujukan
yang saya gunakan untuk menulis catatan ini; antara lain “PHOTOJOURNALISM: The Professionals’
Approach” karya Kenneth Kobré dan beberapa buku lainnya tentang jurnalisme foto, namun sayang,
saya gagal menemukannya. Mungkin karena kurang tekun mencarinya atau karena kurang teliti;
atau bahan bacaan saya yang memang sangat terbatas.

Yang agak-agak mendekati istilah tersebut hanya lah ‘to compose’ dan ‘composition’ yaitu istilah
yang merujuk kepada upaya membuat atau menyusun komposisi di dalam pemotretan (foto
tunggal); kemudian, yang merujuk pada usaha menyusun dan menggabungkan beberapa foto
menjadi satu komposisi di dalam foto jamak; dan yang terkahir, yang berkaitan dengan komposisi
tata letak atau layout suatu halaman cetak (atau elektronik).

Saya menduga bahwa istilah ‘Foto Komposit’ ini memang temuan ‘genuine’ Saudara Arbain; sama
seperti saya yang nekat mengusulkan ‘Foto Jamak’ melalui catatan ini.

Tabik.

Depok, 15 Maret 2010.


Ahmad Deny Salman.

LINKs ke artikel KOMPAS yg saya rujuk:


http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/02/04305559/foto.komposit.dalam.dunia.jurnalistik
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/09/03523542/foto.seri.dan.foto.esai

Anda mungkin juga menyukai