Anda di halaman 1dari 61

PENGARUH DINDING BATA BERTULANG

TERHADAP KINERJA STRUKTUR RANGKA


DENGAN DINDING PENGISI (INFILLED FRAME)

PROPOSAL

Oleh :

Made Khrisna Adi Negara


NIM: 1504105090

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
2018

1
i
BAB I
1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rangka dengan Dinding Pengisi (infilled frame) merupakan struktur yang
komposisinya terdiri atas balok dan kolom berbahan baja atau beton bertulang yang
terhubung menjadi portal lalu diisi dengan dinding berupa batako atau batu bata.
Fungsi dinding pengisi dalam bangunan rangka disebut sebagai komponen non-
struktural (SNI 03-2847 2002) yang berarti secara pasif menerima beban aksial atau
gravitasi pada struktur bangunan. Hal itu mengakibatkan kecenderungan kekakuan
dan kekuatan dinding pengisi tersebut tidak terlalu diperhitungkan dalam
perencanaan. Namun akan berbahaya jika komponen tersebut berinteraksi dengan
portal struktur yang ditempatinya, terutama bila dikenakan beban lateral (gempa
bumi) yang besar.
Umumnya pada perencanaan bangunan komersial, publik, maupun
bangunan tempat tinggal, banyak menggunakan metode dinding pengisi tanpa
tulangan (unreinforced masonry wall) yang berimplikasi pada lemahnya interaksi
dinding pengisi dengan portal rangka bangunan akibat gaya lateral. Hal tersebut
dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Age dkk. (2011) dengan
menyimpulkan bahwa dinding pengisi tanpa tulangan lebih lemah menahan gaya
lateral dibandingkan dengan gaya aksial.
Akibat dari lemahnya dinding pengisi dari pengaruh gaya lateral yang
besar tersebut, maka komponen itu sendiri menjadi kontributor kerusakan yang
besar dalam struktur bangunan. Menurut penelitian yang dilakukan Antonius dkk.
(2004) disimpulkan bahwa dinding pengisi berada pada peringkat kedua pemegang
peranan signifikan dalam faktor kerusakan bangunan akibat gempa, dengan
komponen struktur yang menjadi kontributor terbesarnya.
Jenis kerusakan dinding pengisi yang dihasilkan akibat kegagalannya
menahan gaya lateral sangat beragam seperti retak, terbelah atau bahkan runtuh
total. Keruntuhan total dinding pengisi merupakan jenis kerusakan yang cukup fatal
dan kemungkinan besar bisa memakan korban jiwa. Maka dari itu untuk

1
menghindari hal tersebut, perencanaan maupun penelitian yang komprehensif
mengenai struktur rangka dengan dinding pengisi yang baik menjadi sangat
penting. Dimana jika dinding diasumsikan sebagai komponen struktur, maka
dinding disebut sebagai dinding pengisi (infill wall) sementara struktur rangka yang
diisi dengan dinding pengisi disebut dengan rangka dinding pengisi (infill frame).
Karena struktur rangka dinding pengisi memiliki inersia yang cukup besar
dibanding struktur rangka terbuka (open frame), maka dari itu perencanaan maupun
penelitian harus menghasilkan perumusan yang penting untuk mengukur interaksi
antara dinding pengisi dengan struktur rangka.
Sejauh ini terdapat beberapa penelitian yang telah mengajukan metode
dalam memodel dinding pengisi, salah satunya yaitu Smith dan Coull (1991)
dengan mengajukan model makro yang membahas tentang perilaku rangka dinding
pengisi sebagai rangka dengan strut diagonal, dan dinding dianggap memperkaku
rangka melalui mekanisme geser dan rangka batang, sementara dalam model mikro
dianggap dinding sebagai elemen bidang dan bidang kontak antara dinding pengisi
dan rangka model sebagai elemen interface atau elemen join satu dimensi.
Reinforced Masonry Wall (RMW) merupakan metode perencanaan
dinding pengisi yang cukup lama diketahui di dunia konstruksi, dimana bata atau
batako masonry berongga dipasangkan besi tulangan berukuran tertentu secara
vertikal melalui rongga bata tersebut, serta dipasangkan pula besi tulangan arah
horizontal pada bed joint antar bata serta ditanam dengan semen mortar (Eurocodes,
2009). Pada artikel Reinforced Brick Masonry dalam Gobrik.com (1996) Teknik ini
mampu menambah kekuatan tarik maupun geser pada dinding, dimana besi
tulangan tersebut memikul gaya tarik tambahan, sementara bata masonry memikul
gaya tekan secara bersamaan. Sehingga kedua material ini bersinergi dan
mendukung satu sama lain menghasilkan fungsi material yang maksimal dalam
menahan gaya gravitasi maupun gaya lateral.
Melalui penelitian ini, dikaji secara seksama perencanaan dinding pengisi
bata bertulang serta pengaruhnya melalui kinerja struktur rangka berdasarkan
kepada konsep reinforced masonry wall serta meninjau evaluasi kinerja strukturnya
dengan Analisis Statik Pushover. Analisis Nonlinear Statik Pushover (ATC-40,
1996) merupakan komponen performance-based design yang bertujuan untuk

2
mengetahui kinerja suatu struktur akibat dari efek gempa yang sangat kuat. Dengan
memberikan gaya lateral yang bersifat incremental hingga struktur mengalami fase
runtuh, maka ditentukanlah target perpindahan yang terjadi untuk menentukan level
kinerja struktur (level performance) melalui metode displacement coefficient
menurut FEMA (Federal Emergency Management Agency).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan diangkat dan dibahas melalui
penelitian ini ialah :
Bagaimana pengaruh dinding bata bertulang terhadap kinerja struktur
rangka dinding pengisi?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian yang akan diraih adalah untuk mengetahui
pengaruh dinding bata bertulang terhadap kinerja struktur rangka dinding pengisi.

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat penelitian yang akan didapat adalah sebagai bahan
pertimbangan maupun acuan bagi pelaksana proyek bangunan dalam
merencanakan dinding pengisi.

1.5 Batasan Penelitian


Berikut batasan yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah :
 Digunakan software SAP2000 V20.2.0 dalam memodel serta
menganalisis pengaruh dinding bata bertulang beserta struktur
rangkanya.
 Struktur rangka dalam penelitian ini adalah berupa struktur beton
bertulang.
 Analisis Nonlinear Statik Pushover yang dilakukan mengacu pada
FEMA 273.

3
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rangka Dinding Pengisi (RDP)


Struktur rangka yang terdiri dari portal dan diisi dengan dinding yang
terbuat dari batako/bata disebut sebagai rangka dinding pengisi. Selain dari bahan
bata/batako, dinding pengisi juga bisa tersusun atas kayu, plywood, batu kapur dan
lain-lain yang memiliki bobot yang cukup ringan. Dinding pengisi pada komponen
struktur cukup penting, mengingat kegunaan utamanya sebagai penyekat antar
ruangan serta pemisah keadaan luar ruangan pada bangunan. Tentu kehadiran
dinding pengisi untuk memenuhi kebutuhan primernya pada bangunan berimplikasi
pada beban yang timbul akibat dinding pengisi itu sendiri. Secara struktural,
dinding pengisi memberikan pengaruh berupa memperkaku rangka struktur
terhadap beban lateral. Jika bahan yang digunakan dalam dinding pengisi cukup
lunak dan fleksibel maka perilaku rangka struktur dalam menahan beban lateral
tidak akan terpengaruh karena bahan tersebut menyesuaikan deformasinya sesuai
dengan deformasi pada rangka struktur utama. Namun umumnya bahan yang
digunakan ialah bata/batako yang keras dan kaku, dimana keberadaannya di antara
struktur rangka akan menimbulkan interaksi yang merubah kekakuan struktur
rangka, terutama saat menerima beban lateral akibat dari pengaruh eksternal yaitu
beban gempa dan beban angin.
Terdapat dua efek yang timbul akibat dari interkasi antara portal struktur
maupun dinding yaitu efek positif dan efek negatif. Efek positif timbul akibat dari
meningkatknya kekakuan struktur terutama saat menerima beban lateral.
Sedangkan efek negatif timbul apabila lantai paling bawah suatu bangunan
memiliki dinding lebih sedikit dari lantai di atasnya sehingga kekakuan lantai
bawah lebih lemah dibandingkan dengan lantai di atas. Efek tersebut menghasilkan
suatu bahaya pada bangunan yang disebut dengan soft storey. Kolom tingkat paling
bawah gagal menahan beban dikarenakan kolom tingkat di atasnya jauh lebih kaku
yang merupakan akibat tak terduga antara dinding pengisi dengan rangka struktur
(Dewabroto,2005; Kermani et.al.,2008).

4
Maka dari itu diperlukan tinjauan yang khusus dan mendetail untuk
menyelidiki interaksi antara dinding pengisi sebagai komponen struktural dengan
rangka struktur berupa portal yang disebut sebagai Rangka Dinding Pengisi (RDP).
Dalam menyelidikinya, diperlukan metoda dan model analisis yang mumpuni untuk
memperhitungkan RDP serta menganalisis sifat material yang non-linear dan getas.
Permodelan RDP dikelompokkan menjadi dua yaitu model makro dan model mikro
berupa model elemen hingga.
2.1.1 Model Makro
Menggunakan dinding pengisi untuk mengaku rangka struktur
menghasilkan sebuah karakteristik yang diinginkan, mengatasi kekurangan salah
satu dari komponen tersebut. Besarnya kekakuan pada dinding pengisi secara
signifikan mengaku pula rangka struktur yang relatif fleksibel. Dinding pengisi
secara struktural mengaku rangka struktur, beberapa pada bidang geser dan
sebagiannya lagi pada strut diagonal di rangka struktur.

(a) (b)
Gambar 2.1 (a) Perilaku Interaksi Dinding Pengisi dengan Rangka Struktur. (b) Arah
Pengaku Pada Rangka Struktur.
Sumber : Smith dan Coull (1991)

Dilihat pada Gambar 2.1a rangka dinding pengisi diilustrasikan sebagai


perilaku tertentu dimana ketika rangka struktur menerima beban horizontal, maka
terjadi deformasi lentur secara ganda di sekitar kolom dan balok. Translasi pada
ujung atas kolom di setiap lantainya serta perpendekan pada sudut diagonal rangka
struktur menyebabkan menyusutan yang menyebabkan terjadinya kontak pada

5
dinding sehingga mengakibatkan gaya tekan, khususnya di pojok diagonal dinding.
Hal tersebut mirip dengan analogi yang menggambarkan arah gaya akibat interaksi
dari kedua komponen tersebut pada Gambar 2.1b.
Terdapat tiga moda kegagalan pada dinding pengisi yang timbul akibat
interaksinya dengan rangka struktur. Moda pertama ialah kegagalan pada bidang
geser, dimana terjadi keruntuhan di sepanjang noda dinding dan menghasilkan
rongga akibat gaya geser horizontal pada join horizontal dinding. Moda yang kedua
ialah keretakan yang terjadi sejajar dengan arah diagonal dinding. Dan yang ketiga
ialah tegangan tarik yang tegak lurus sumbu diagonal pada dinding, tegangan ini
terjadi pada daerah tengah dinding dimana keretakan sumbu diagonal menyebar
dari daerah tengah tersebut. Ketika tegangan tarik mencapai maksimum, daerah
pojok dinding berusaha menahannya hingga terjadi kegagalan dan runtuh dimana
garis keruntuhannya tegak lurus pula dengan sumbu diagonal dinding seuai pada
Gambar 2.2a. (Smith dan Coull, 1991)

(a)

(b)

Gambar 2.2 Kegagalan Pada Dinding Pengisi (a), Kegagalan


Pada Rangka Struktur (b).
Sumber : Smith dan Coull (1991)

6
Perilaku rangka struktur juga bisa digambarkan pada Gambar 2.2b,
dimana kolom tarik berada pada sisi kiri, sedangkan kolom tekan berada pada sisi
kanan. Dinding berinteraksi dengan rangka struktur tidak secara terpusat di pojok
dinding, namun di seluruh bagian balok dan kolom yang berdekatan langsung pada
pojok dinding yang mengalami gaya tekan, dimana rangka struktur juga menerima
gaya geser serta gaya lentur dalam jumlah yang kecil. Akibatnya rangka struktur,
khususnya pada sambungan balok dan kolom mengalami kegagalan oleh gaya
aksial atau geser dan gaya tarik pada ujung bawah kolom tarik.
Teori strut diagonal tunggal yang dikemukakan oleh Smith dan Coull
(1991) masih dianggap kurang mewakili efek dari dinding pengisi pada rangka
struktur terkait dengan momen dan gaya geser yang bekerja pada rangka struktur.
Maka dari itu dilakukan penelitian yang masif, khususnya oleh Asteris (2008)
mengusulkan pembuatan model struktur rangka dinding pengisi dengan 6 strut
diagonal bersilangan yang hanya menerima gaya tekan, dimana masing-masing 3
strut dalam satu diagonal seperti ditunjukan pada Gambar 2.3b. Diperbanyaknya
jumlah strut diagonal maka akan lebih panjang jarak tinjauan yang dimuat di sekitar
bentang kolom dan balok yang berdekatan gaya tekan pojok dinding pengisi.

Gambar 2.3 (a) Struktur Rangka Dinding Pengisi, (b) Permodelan Rangka Dinding
Pengisi dengan 6 strut diagonal.
Sumber : Asteris (2008)

7
Penelitian dilanjutkan dengan menambah variabel baru dalam
menentukan efek interaksi pada dinding pengisi tersebut. Menurut Amato et.al
(2009) diusulkan penambahan tinjauan/variabel baru berupa penambahan beban
vertikal bersamaan dengan pengaruh beban lateral. Hasil yang didapatkan ialah
bahwa model yang diusulkan tersebut memberikan nilai w/d yang jauh lebih besar
dari nilai yang diusulkan oleh Mainstone (1971) yang diadopsi dalam FEMA 356.
Untuk aspek rasio L/h=1, nilai w/d yang diusulkan stidak-tidaknya 2 kali lebih besar
dari nilai yang dianjurkan dalam FEMA 356, dimana w adalah lebar strut, d adalah
tebal dinding pengisi, L adalah jarak antar as kolom, dan h adalah tinggi kolom.

Gambar 2.4 Beban Vertikal Pada Rangka Dinding Pengisi (RDP)

Sumber : Lila et.al (2015)

Dalam memodel Rangka Dinding Pengisi menggunakan metode strut


diagonal, dinding pengisi dianalogikan sebagai batang tekan yang terkoneksi dalam
join balok kolom rangka struktur, dipasang secara diagonal dengan menggunakan
elemen frame dalam program aplikasi, khususnya dalam program SAP2000. Ujung
pada strut dipasang sendi agar sifat dari strut diagonal mendekati perilaku dinding
pengisi. (Das dan Murty, 2004)
Untuk menentukan tegangan yang terjadi pada dinding pengisi yang
dimodel dengan ekuivalen diagonal strut, diuraikan gaya aksial yang terjadi pada
strut ke arah vertikal serta arah horizontal dan membagi gaya terebut ke luar strut
diagonal. Hasil yang didapatkan gaya aksial strut kea rah vertikal dinamain sebagai
tegangan tekan pada dinding pengisi sedangkan gaya pada arah horizontal

8
diidentitaskan sebagai komponen tegangan geser dinding. Menurut Das dan Murty
(2004) diformulasikan luas strut sebagai :
𝐴𝑒 = 𝑊𝑑𝑠. 𝑡 (2.1)
Dimana, rumus dari lebar strut diagonal menurut Das dan Murty (2004) ialah :
𝑊𝑑𝑠 = 0,75(𝜆. 𝐻)−0,4 . 𝑑 (2.2)
Selain formula dari Das dan Murty (2004) yang diadopsi menurut Mainstone (1971)
terdapat beberapa rumus pendekatan yang menghitung lebar strut diagonal antara
lain :
a. Paulay dan Priestley (1992)
d
Wds = (2.3)
4

b. Liauw dan Kwan (1984)


(0,95𝐻.𝑐𝑜𝑠𝜃)
𝑊𝑑𝑠 = (2.4)
√𝜆.𝐻

c. Holmes (1961)
𝑑
𝑊𝑑𝑠 = (2.5)
3

d. Smith dan Carter (1969)


1 0,064
1 −0,445 0,335𝑑( )
𝑊𝑑𝑠 = 0,58 ( ) . (𝜆. 𝐻) 𝐻 (2.6)
𝐻

Untuk nilai 𝜆 diformulasikan sebagai berikut :


4 𝐸𝑖.𝑡.𝑠𝑖𝑛2𝜃
𝜆=√ (2.7)
4.𝐸𝑐.𝐼𝑐.𝐻𝑖

Dimana, Ec adalah modulus elastisitas material beton, Ei adalah modulus elastisitas


material rangka dinding, t adalah tebal dinding pengisi, d adalah panjang strut
diagonal, θ adalah sudut dari strut diagonal, H adalah tinggi kolom, dan Hi adalah
tinggi dinding pengisi, sementara Ic adalah momen inersia kolom.
2.1.2 Model Mikro
Semua dimodel menggunakan metode elemen hingga, berdasarkan tiga
jenis yang mewakili karakteristik yang berbeda dalam rangka dinding pengisi
dalam kasusnya menerima beban lateral. Pada model rangka dinding pengisi ini,
rangka struktur dimodel menggunakan elemen balok (beam element), dinding
pengisi menggunakan elemen bidang (plane element) dan interaksi antara keduanya

9
menggunakan elemen satu dimensi berupa elemen join (joint element). (Asteris,
2008).
Menurut Mallick dan Severn (1967), Mallick dan Garg (1971) mereka
menyarankan pendekatan elemen hingga untuk menganalisis dinding pengisi
terlebih dahulu, mengidentifikasi permasalahan berdasarkan interaksi antara rangka
struktur dengan dinding pengisi. Dinding pengisi disimulasikan sebagai elemen
hingga persegi linear elastis, dengan memiliki 2 derajat kebebasan (DOF) di setiap
empat noda, sementara rangka struktur dimodel sebagai elemen balok (beam
element) dengan mengabaikan deformasi aksial yang terjadi. Hal ini merupakan
konsekuensi dari asumsi bahwa interaksi antara rangka struktur dengan dinding
pengisi secara konsisten hanya menerima gaya normal. Pada model ini gelincir
(slip) antara rangka struktur dengan dinding pengisi juga diperhitungkan,
menganggap bahwa gaya geser gesek (frictional shears forces) bekerja di bidang
kontaknya. Model ini diakui memberikan hasil yang sesuai dengan hasil
eksperimen di laboratorium apabila batasan rasio antara tinggi dengan lebar dari
dinding pengisi tidak lebih dari dua.
Digunakan tiga jenis tipe elemen untuk mempelajari perilaku pada
rangka dinding pengisi dengan memberikan beban yang konstan. Pertemuan antara
rangka struktur dan dinding pengisi dimodel menggunakan elemen batang
sederhana yang memiliki kemampuan mensimulasikan pemisahan (separation) dan
gelincir (slip). Panel dinding pengisi dimodel menggunakan elemen bidang
tegangan berbentuk segitiga. Ketika terjadi tarik, material berlaku ideal sebagai
bahan getas linear elastis. Sebelum terjadi keretakan, material diasumsikan sebagai
isotropik dan akhirnya setelah terjadi keretakan, material berubah menjadi
anisotropik. Diasumsikan bahwa saat terjadi retak secara terbuka, modulus
elastisitas (E) bekerja tegak lurus terhadap garis retak dan besar nilai modulus geser
(G) yang bekerja sejajar dengan garis retak adalah nol. Sedangkan saat terjadi retak
tertutup, modulus elastisitas (E) bekerja seperti semula dan gaya geser diasumsikan
bekerja sebagai gaya gesek. Saat terjadi tekan, dinding pengisi diasumsikan
menerima gaya secara non-linear. Walaupun sebelumnya material dianggap sebagai
komponen biaksial, namun tetap diasumsikan sebagai komponen uniaksial

10
berdasarkan hasil eksperimen yang menunjukan salah satu dari tegangan utama
yang jauh lebih kecil dari yang lain. (Liauw et.al.,1984; Asteris,2008)
Dalam memodel rangka dinding pengisi, elemen shell diguanakan dalam
memodel dinding pengisi dengan menambahkan komponen kontak sebagai
penghubung antara rangka struktur dan dinding pengisi. Komponen kontak tersebut
ialah elemen Gap, dimana elemen Gap merupakan elemen yang bersifat
penghubung (link) yang tersedia pada program permodelan, khususnya program
SAP2000. (Dorji Jigme, 2009)
Alasan dengan dipilihnya elemen Gap dibandingkan dengan jenis elemen
penghubung lainnya sesuai pada Gambar 2.5 ialah karena elemen Gap merupakan
komponen elemen yang lebih menggambarkan situasi sesuai dengan model rangka
dinding pengisi yaitu disimulasikannya jarak tertentu antara rangka struktur dengan
dinding pengisi. Berat elemen Gap diasumsikan bernilai nol.

Gambar 2.5 Jenis Komponen Elemen Penghubung

Sumber : CSI Analysis Reference Manuals SAP2000

Ditunjukkan pada Gambar 2.5 nilai i dan j merupakan titik ujung atau
simpul dari elemen Gap itu sendiri. Simpul atau titik ujung yang dimaskdu ialah
noda dari elemen frame maupun noda dari elemen shell dengan k diidentifikasikan
sebagai nilai kekakuan dari elemen Gap. Untuk nilai kekakuan efektif gap dapat
dipilih atau ditentukan berdasarkan pada Tabel 2.1 namun untuk nilai efektif
damping ditentukan sebesar 0,05 dan sama dengan nilai damping untuk struktur
beton.

11
Tabel 2.1 Kekakuan Gap (Kg) dalam N/mm.

Kekakuan Gap
Kekakuan Gap
Ei.t x 106 (Kg) dengan µ
(Kg) dengan µ = 0
(N/mm) =1
(N/mm)
(N/mm)
0,2 1600 4500
0,5 12500 23000
1,0 30000 50000
1,5 50000 70000
2,0 63000 107000
2,5 70000 120000
3,0 82000 130000
Sumber : Dorji Jigme (2009)

Ketiadaan informasi yang pasti mengenai koefisien gesek µ, Doudomis


dan Mitsopoulou (1995) dalam Dorji (2009) menggunakan dua analisis secara
terpisah, dengan nilai µ=0 dan nilai µ=1 untuk model yang memiliki permukaan
kontak. Analisis statis digunakan untuk mempelajari kebutuhan kekakuan dari
elemen Gap untuk menghasilkan nilai perpindahan (displacement) yang sama. Pada
saat penelitian berlangsung, nilai kekakuan elemen Gap divariasikan dan
menghasilkan hasil perpindahan yang sesuai dengan hasil pada teori, sehingga
tercatat pula nilai kekakuan elemen Gap (kg). Prosedur yang sama
diimplementasikan berulang kali dengan mengubah nilai kekuatan pada material
dinding pengisi, khususnya pada nilai modulus elastisitas (E) dari 1 GPa hingga 15
GPa. Sementara untuk parameter tertentu seperti beban horizontal, jenis material,
ukuran material serta ketebalan dinding pengisi diasumsikan sama sehingga
menghasilkan Tabel 2.1.
Kekakuan elemen Gap sesuai pada Tabel 2.1 digunakan untuk dua kasus
ekstrim, ketiadaan kontak gesek dan 100% terjadi kontak gesek. Kasus ekstrim
tersebut mungkin tidak akan terjadi di lapangan akibat penggunaan mortar untuk
mengisi kekososngan antara rangka struktur dan dinding pengisi. Terdapat nilai
rata-rata dari kekakuan elemen Gap yang dibutuhkan untuk mensimulasikan

12
kekuatan dari material dinding pengisi yang berbeda-beda dengan perkiraan nilai
koefisien kontak gesek µ=0,5 sesuai yang ditunjukan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Hubungan Kekakuan Elemen Gap (Kg) dan Kekakuan Dinding Pengisi (ki)

Sumber : Dorji Jigme (2009)

Hubungan secara linear antara elemen Gap dengan kekakuan dinding


pengisi sesuai pada Gambar 2.6 bisa digunakan untuk memodel elemen
penghubung antara rangka struktur dengan dinding pengisi ataupun menentukan
respon struktur secara global dalam sistem rangka dinding pengisi pada bangunan.
Dalam melakukan simulasi interaksi antara rangka struktur dengan dinding pengisi
dengan menggunakan elemen Gap, dibutuhkan sedikit kekakuan yang dibutuhkan
untuk kekuatan dinding pengisi yang rendah dan dibutuhkan lebih banyak kekakuan
yang dibutuhkan untuk kekuatan dinding pengisi yang lebih besar. Hubungan antara
kekakuan dinding pengisi dengan kekakuan elemen Gap diformulasikan dalam
persamaan berikut :
𝐾𝑔 = 0,0378𝐾𝑖 + 347 (2.8)

𝐾𝑖 = 𝐸𝑖. 𝑡 (2.9)
Dimana Ki merupakan kekakuan dari panel dinding pengisi, sedangkan Kg adalah
kekakuan dari elemen Gap dan Ei merupakan modulus elastisitas dari dinding
pengisi.
Analisis diulang sekali lagi menggunakan kekakuan elemen Gap yang
tercatat dalam persamaan𝐾𝑔=0,0378𝐾𝑖 + 347
(2.8. Kurva defleksi yang terjadi antara rangka dinding pengisi dengan rangka

13
terbuka dapat dibandingkan dalam Gambar 2.7, dimana rangka dinding pengisi
memiliki kekakuan yang lebih besar daripada rangka terbuka dengan memasukan
beban lateral.

Gambar 2.7 Defleksi antara Rangka Dinding Pengisi dengan Rangka Terbuka
Sumber : Dorji Jigme (2009)

2.2 Tegangan Pada Dinding Pengisi (Infills)


Penggunaan elemen shell sebagai permodelan dinding pengisi akan dapat
langsung memberikan nilai tegangan pada dinding pengisi. Tegangan dasar pada
elemen shell diidentifikasi sebagai S11, S12,S22,S13, dan S23. Untuk arah gaya
S21 selalu sama dengan S12,sehingga tidak perlu menentukan S21 lagi jika arah
dan besar gaya S12 telah ditentukan. Tegangan Sij (dimana i sama dengan 1 atau 2
dan j sama dengan 1,2, atau 3) adalah tegangan yang terjadi di muka i pada elemen
pada arah j. Arah j mengacu pada arah sumbu lokal pada elemen shell. Sehingga
tegangan S11 bekerja pada bidang 1 pada elemen (tegak lurus pada sumbu lokal 1)
dan bekerja pada arah sejajar di sumbu lokal 1 (bekerja secara arah normal pada
bidang 1). Pada contoh lain, tegangan S12 bekerja pada bidang 1 pada elemen
(tegak lurus pada sumbu lokal 1) dan bekerja pada arah sejajar di sumbu lokal 2
(tegangan bekerja sejajar pada bidang 1, seperti tegangan geser). Berikut
ditunjukkan contoh dari masing-masing jenis tegangan dasar pada elemen shell.
Menurut SAP dilaporkan tegangan internal untuk elemen shell dalam empat titik
sudut yang menggambarkan permukaan dari elemen tersebut sesuai yang tertera
pada Gambar 2.8. (CSIAmerica.com, 2007)

14
Gambar 2.8 Jenis Tegangan Dasar Pada Elemen Shell
Sumber : CSI America (2007)

Tegangan internal pada elemen shell ditentukan dari sisi atas dan bawah.
Sisi atas dan bawah dari elemen shell ditentukan secara relatif berdasarkan sumbu
lokal 3. Sisi sumbu lokal positif 3 dianggap sisi atas dari elemen. Sehingga pada
Gambar 2.9 menunjukkan tegangan internal pada sisi atas elemen termasuk
tegangan pada titik A dan C dan tegangan internal pada sisi bawah termasuk
tegangan pada titik B dan D.

Distribusi yang
memungkinkan pada
tegangan S11 yang
bekerja pada elemen
shell.

SAP menetapkan tegangan internal


S11 hanya pada sisi pojok atas dan
bawah, yaitu pada titik A,B,C, dan D

Gambar 2.9 Sisi dan Titik Tegangan yang Bekerja pada Elemen Shell

Sumber : CSI America (2007)


15
Tegangan geser transversal yang diperhitungkan dalam SAP2000 yaitu
pada S13 dan S23 ialah nilai rata-rata. Distribusi tegangan geser transversal
diperkirakan berbentuk secara parabolik, bernilai nol di sisi atas dan bawah dan
bernilai maksimum ataupun minimum di tengah permukaan elemen. Perkiraan nilai
maksimum ataupun minimum tegangan geser transversal bernilai 1,5 kali lebih
besar dari tegangan geser rata-rata. (CSI America, 2007)

Gambar 2.10 Tegangan Arah Positif pada Elemen Shell

Sumber : CSI America (2007)

Pada Gambar 2.10 diilustrasikan arah positif pada tegangan internal


elemen shell diantaranya ialah S11,S12,S22,S13, dan S23. Ditunjukan pula arah
positif pada tegangan utama, yaitu S-Max dan S-Min, dan arah positif pada
tegangan geser transversal maksimal yaitu S-Max-V. Untuk nilai S13 dan S23 pada
sudut tertentu, nilai tegangan geser transversal maksimum, S-Max-V
diformulasikan dalam rumus sebagai berikut :

𝑆 − 𝑀𝐴𝑥𝑉 = √𝑆̅132 + 𝑆232 (2.10)


Menurut Agarwal dan Manish (2006), nilai tegangan ijin pada dinding
ditentukan sebagai berikut :
 Tegangan ijin geser sebesar 0,34 MPa – 3,4 MPa
 Tegangan terik lentur ijin maksimum sebesar 4,10 MPa – 4,69 MPa

16
 Tegangan tekan ijin dinding pengisi sama dengan kuat tekan dinding
(f’m=5,11 MPa)
2.3 Keruntuhan Rangka Dinding Pengisi (Infilled Frame)
Menurut Asteris, et.al. (2011) berdasarkan beberapa eksperimen dan hasil
analisa yang berlangsung selama lima dekade terakhir (Thomas, 1953; Wood,1958;
Mainstone, 1962; Liauw dan Kwan, 1983; Mehrabi dan Shing, 1997) terdapat
beberapa moda kegagalan dalam rangka dinding pengisi masonry dan
diklasifikasikan ke dalam lima kategori utama yaitu :
 The Corner Crushing (CC) mode, atau disebut sebagai keretakan di
daerah sudut pada dinding setidaknya salah satu dari setiap sudut
yang diberi beban. Moda ini terjadi akibat lemahnya panel dinding
pengisi dan dikelilingi oleh rangka struktur yang kuat dengan join
yang lemah pula.
 The Diagonal Compression (DC) mode, atau disebut sebagai
keruntuhan tekan diagonal. Keruntuhan ini terjadi akibat tipisnya
ketebalan dinding pengisi mengakibatkan efek tekuk di luar bidang
dinding.
 The Sliding Shear (SS) mode, atau disebut sebagai keruntuhan geser.
Hal tersebut terjadi akibat adanya gaya geser horizontal yang besar
dan meruntuhkan bata pengisi (bed joint) pada dinding. Kekuatan
mortar sebagai perekat antar bata yang lemah menjadi penyebab
utama moda ini bisa terjadi.
 The Diagonal Cracking (DK) mode, atau disebut sebagai keruntuhan
di sekitar garis diagonal dinding yang mengalami gaya tekan dimana
akan berlanjut menjadi keruntuhan geser (SS mode). Hal ini
disebabkan oleh lemahnya rangka struktur atau lemahnya join pada
rangka namun dinding pengisi cenderung kuat.
 The Frame Failure (FF) mode, atau disebut sebagai keruntuhan pada
rangka struktur dimana sendi penghubung antara kolom dan balok
pada rangka bersifat plastis. Keruntuhan ini disebabkan oleh
lemahnya rangka struktur beserta join penyusunnya disamping
kuatnya dinding pengisi.

17
Berikut merupakan ilustrasi yang menggambarkan moda-moda
keruntuhan pada rangka dinding pengisi yang ditampilkan pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11 Mode Keruntuhan Pada Rangka Dinding Pengisi (Infilled Frame)

Sumber : Asteris et.al. (2011)

Semua moda keruntuhan tersebut sesuai dengan hasil perhitungan yang di


kemukakan oleh Wood (1978) dimana urutan keakuratan pada moda keruntuhan
dinding yang berbeda-beda diformulasikan berdasarkan kekuatan beban lateral
relatif antara dinding pengisi dengan rangka struktur yaitu :
8𝑀𝑝
𝑚= (2.11)
𝑓′ 𝑤.𝑡𝑤.𝐿𝑤 2

dimana Mp adalah kapasitas momen plastis dari sudut pada rangka struktur, f’w
adalah gaya tekan pada dinding pengisi, tw merupakan ketebalan pada dinding

18
pengisi dan Lw adalah panjang dari panel dinding pengisi. Jika nilai Mp kurang
dari 1, makan keruntuhan yang terjadi ialah keruntuhan moda CC, DC, DK, dan FF.
Sedangkan keruntuhan SS terjadi jika nilai Mp lebih dari sama dengan 1. (Ghosh
and Made, 2002; Asteris et.al.,2011)
Berdasarkan hasil analisa metode elemen hingga dan termasuk elemen
penghubung dalam interaksi rangka struktur dengan dinding pengisi, Ghosh dan
Made (2002) mengkonfirmasi validasi dari perumusan dari Wood (1978) sesuai
8𝑀𝑝
yang ditunjukan pada Persamaan 𝑚= 𝑓′𝑤.𝑡𝑤.𝐿𝑤2

(2.11. Sangat memungkinkan bahwa moda keruntuhan CC dan SS secara praktik


sangat penting berdasarkan Comité Euro-International du Béton (1996) sejak moda
DC sangat jarang terjadi dan memerlukan ketebalan dinding yang sangat tipis untuk
membentuk efek tekuk keluar bidang dinding ketika dinding menerima beban.
Moda keruntuhan DK tidak dianggap sebagai moda runtuh, disebabkan bahwa
dinding pengisi masih bisa menahan beban tambahan ketika terjadi keretakan.
Walaupun moda FF perlu dipertimbangkan dalam rangka struktur beton bertulang,
tetapi ketika diuji dengan rangka struktur baja dan diisi dengan dinding hollow
concrete masonry block moda ini sulit terjadi. Pola keruntuhan ini nyatanya hanya
berlaku pada dinding pengisi tanpa lubang di sisi diagonal panel dinding. (El-
Dakhakhni et.al., 2003; Asteris et.al., 2011)
2.4 Modulus Elastisitas
Modulus elastisitas atau disebut sebagai Modulus Young merupakan nilai
perbandingan antara tegangan dan regangan aksial dalam deformasi yang elastis.
Sehingga modulus elastisitas menunjukkan kecenderungan suatu material untuk
berubah bentuk dan kembali lagi seperti semula bila diberi beban. (SNI 2826-2008).

Gambar 2.12 Hubungan Tegangan dan Regangan


19
Sumber : Souisa (2011)
Di dalam daerah linear dari grafik tegangan-regangan, garis linear
digambarkan sebagai nilai perbandingan antara tegangan dengan regangan, dimana
perbandingan terhadap kedua variabel tersebut merupakan konstanta karakteristik
suatu bahan. (Kane and Sternheim, 1976; Souisa, 2011)
Menurut Blatt (1986) hubungan antara tegangan dan regangan mengikuti
hukum Hooke untuk elastisitas, dan batas limit elastis dari suatu material, dan hal
ini menunjukan bahwa tegangan berbanding lurus dengan regangan. Setiap material
memiliki modulus elastisitas (E) tersendiri yang memberikan gambaran mengenai
perilaku material itu apabila mengalami beban tarik atau beban tekan. Bila nilai E
semakin mengecil, akan semakin mudah bagi material untuk mengalami
perpanjangan maupun perpendekan dan begitu pula sebaliknya.
Setiap material memiliki karakteristik tegangan regangan yang berbeda,
khususnya pada material beton maupun tulangan beton itu sendiri, menurut
SAP2000 dalam Technical Notes menjelaskan beberapa jenis material beserta
karakteristik modulus elastisitasnya dalam bentuk kurva analisis tegangan dan
regangan.
2.4.1 Kurva Parameter Tegangan dan Regangan Pada Tulangan (Rebar)
Terdapat dua tipe kurva parameter tegangan dan regangan pada tulangan
(rebar) yaitu kurva model sederhana dan kurva model empiris. Kedua jenis ini
cukup identik hingga mencapai zona getas pada tulangan dimana kurva model
sederhana menggunakan bentuk parabolik sempurna sedangkan kurva model
empiris lebih menggunakan kurva parabolik yang cukup tidak beraturan sesuai
dengan situasi di lapangan.

Gambar 2.13 Kurva Tegangan dan Regangan Umum Pada Tulangan (Rebar)

Sumber : CSI America (2007) 20


Berdasarkan pada kurva tegangan dan regangan tulangan secara umum
sesuai pada Gambar 2.13 ditunjukkan nilai ɛ ialah regangan tulangan, f ialah
tegangan tulangan, fy adalah tegangan leleh tulangan, fu tegangan ultimate pada
tulangan, sementara nilai ɛy adalah regangan leleh pada tulangan dan nilai ɛsh
merupakan nilai regangan ketika berada pada zona getas pada regangan (strain
hardening).
Kurva tegangan-reganan pada tulangan secara detail memiliki tiga zona
yaitu zona elastis, zona plastis penuh, dan zona regangan menggetas (strain
hardening). Berdasarkan zona tersebut, maka digambarkanlah kurva tegangan dan
regangan pada tulangan seusai yang tercantum dalam Gambar 2.14 beserta
persamaan yang mendukung. (CSI America, 2007)

Gambar 2.14 Kurva Regangan dan Tegangan Pada Tulangan (Rebar)

Sumber : CSI America (2007)

Untuk nilai ɛ ≤ ɛy, atau berada pada zona elastis, maka formula yang
digunakan untuk menghitung nilai tegangan (f) pada tulangan ialah :
𝑓 = 𝐸𝜀 (2.12)
Untuk nilai ɛy < ɛ ≤ ɛsh, atau berada pada zona plastis penuh, maka
formula yang digunakan untuk menghitung nilai tegangan (f) pada tulangan ialah :

21
𝑓 = 𝑓𝑦 (2.13)
Untuk nilai ɛsh < ɛ < ɛu, atau berada pada zona getas pada regangan (strain
hardening) terdapat dua formula yang digunakan ketika terjadi dua keadaan tertentu
yaitu :
 Untuk kurva model sederhana,
ɛ−ɛ𝑠ℎ
𝑓 = 𝑓𝑦 + (𝑓𝑢 − 𝑓𝑦)√ (2.14)
ɛ𝑢−ɛ𝑠ℎ

 Untuk kurva model empiris,


𝑚(ɛ−ɛ𝑠ℎ)+2 (ɛ−ɛ𝑠ℎ)(60−𝑚)
𝑓 = 𝑓𝑦 ( + ) (2.15)
60(ɛ−ɛ𝑠ℎ)+2 2(30𝑟+1)2

Dimana,
𝑟 = ɛ𝑢 − ɛ𝑠ℎ (2.16)
𝑓𝑢
(𝑓𝑦)(30𝑟+1)2 −60𝑟−1
𝑚= (2.17)
15𝑟 2

2.4.2 Kurva Parameter Tegangan dan Regangan Pada Beton Sederhana


(Simple Concrete)
Garis tekan pada kurva parameter regangan dan tegangan pada beton
sederhana terdiri dari garis parabola dan garis linear. Berikut beberapa identitas
yang menentukan parameter dari kurva yaitu nilai ɛ merupakan nilai regangan pada
beton, nilai f ialah nilai tegangan pada beton, f’c ialah nilai kuat tekan pada beton,
sedangkan nilai ɛ’c ialah nilai regangan tekan saat mencapai f’c, dan ɛu ialah nilai
kapasitas ultimate dari beton.

Gambar 2.15 Kurva Regangan dan Tegangan Pada Beton Sederhana


Sumber : CSI America (2007)

22
Kurva parameter regangan dan tegangan beton sederhana ditentukan oleh
beberapa persamaan yaitu :
 Untuk ɛ ≤ ɛ’c, atau berada pada zona/ garis parabola, maka
persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai tegangan (f)
ialah :
ɛ ɛ 2
𝑓 = 𝑓′𝑐 {2 ( ) − ( ) } (2.18)
ɛ′𝑐 ɛ′𝑐

 Untuk ɛ’c < ɛ < ɛu, atau berada pada zona/ garis linear, maka
persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai tegangan (f)
ialah :
ɛ−ɛ′𝑐
𝑓 = 𝑓 ′ 𝑐 {1 − 0,2 ( )} (2.19)
ɛ𝑢−ɛ′𝑐

2.4.3 Kurva Parameter Tegangan dan Regangan Pada Beton Tak


Terkekang (Unconfined Concrete)
Menurut Mander, et.al. (1984) mengusulkan kurva parameter tegangan
dan regangan pada beton tak terkekang menjadi dua bagian, yaitu pada bagian
lengkung (curved) dan bagian linear.

Gambar 2.16 Kurva Parameter Tegangan dan Regangan Pada Beton Tak Terkekang
(Unconfined Concrete)
Sumber : CSI America (2007)

Untuk ɛ ≤ 2ɛ’c, atau berada pada garis lengkung (curved), maka persamaan
yang digunakan untuk menentukan nilai tegangan (f) ialah :

23
𝑓′ 𝑐.𝑥.𝑟
𝑓= (2.20)
𝑟−1+𝑥 𝑟

Untuk 2 ɛ’c < ɛ < ɛu, atau berada pada garis linear, maka persamaan yang
digunakan untuk menentukan nilai tegangan (f) ialah :
2𝑓′ 𝑐.𝑟 ɛ𝑢−ɛ
𝑓=( )( ) (2.21)
𝑟−1+2𝑟 ɛ𝑢−2ɛ′𝑐

Dimana,
ɛ
𝑥= (2.22)
ɛ′𝑐
𝐸
𝑟= 𝑓′𝑐 (2.23)
𝐸−
ɛ′𝑐

Dengan nilai modulus elastisitas beton (Ec) ditentukan dengan dua kondisi
berdasarkan SNI 03-2847-2002 yaitu :
 Untuk nilai wc diantara 1500 kg/m3 dan 2500 kg/m3, nilai modulus
elastisitas beton (Ec) yang digunakan ialah :
𝐸𝑐 = 𝑤𝑐1,5 . 0,043. √𝑓′𝑐 (2.24)

 Untuk beton normal nilai modulus elastisitasnya (Ec) ditentukan


melalui :
𝐸𝑐 = 4700. √𝑓′𝑐 (2.25)

2.4.4 Kurva Parameter Tegangan dan Regangan Pada Dinding Bata


Menurut Hemant et.al. (2007) material dinding pengisi (masonry walls)
bersifat non-elastis, tidak homogen dan anisotropik dan dipadukan pada dua
material yang memiliki sifat yang berbeda yaitu bata yang kaku dan mortar yang
relatif lunak. Pada beban lateral, dinding pengisi tidak berperilaku elastis walaupun
ketika terjadi deformasi yang kecil. Dinding sangat lemah saat menerima gaya tarik
karena terbuat dari dua material yang berbeda dan terdistribusi pada jarak yang
tidak terlalu dekat dan ikatan di antaranya cukup lemah.
Untuk material dinding, hubungan parameter tegangan dan regangan
pasangan dinding bata terdiri dari dua bagian yaitu bagian lengkung (parabolic
variation) dan bagian linear (linear variation). Pada bagian lengkung digunakan
persamaan kurva sehingga f’m turun sampai pada angka 90%, yang kemudian
berlaku persamaan linear hingga f’m turun sampai pada angka 20%. Untuk mortar
tanpa kapur, persamaan linear digunakan hingga regangan mencapai 2ɛ’m, atau dari
24
titik awal {ɛm@0,9f’m , 0,9f’m} hingga titik akhir {2ɛ’m , 0,2f’m}. Sedangkan untuk
mortar dengan kapur, persamaan linear digunakan hingga regangan mencapai
2,75ɛ’m , atau dari titik awal {ɛm@0,9f’m , 0,9f’m} hingga titik akhir {2,75ɛ’m ,
0,2f’m}.

Gambar 2.17 Hubungan Parameter Tegangan dan Regangan Pada Dinding Bata

Sumber : Hemant et.al. (2007)

Persamaan pada bagian lengkung (parabolic variation) atau (f’m ≤ 0,9f’m) ialah :
𝑓𝑚 𝜀𝑚 𝜀𝑚 2
=2 −( ) (2.26)
𝑓′𝑚 𝜀′𝑚 𝜀′𝑚

Persamaan pada bagian lurus (linear variation) atau (0,9f’m < fm ≤ 0,2f’m) ialah :
 Untuk mortar tanpa kapur (ɛm@0,9f’m < ɛm < 2ɛ’m) digunakan :
𝑓𝑚−0,9𝑓′𝑚 𝜀𝑚 −ɛ𝑚@0,9𝑓’𝑚
= (2.27)
0,2𝑓′ 𝑚−0,9𝑓′𝑚 2𝜀′𝑚 −ɛ𝑚@0,9𝑓’𝑚

 Untk mortar dengan kapur (ɛm@0,9f’m < ɛm ≤ 2,75ɛ’m) digunakan :


𝑓𝑚−0,9𝑓′𝑚 𝜀𝑚 −ɛ𝑚@0,9𝑓’𝑚
= (2.28)
0,2𝑓′ 𝑚−0,9𝑓′𝑚 2,75𝜀′𝑚 −ɛ𝑚@0,9𝑓’𝑚

Dengan,
𝑓′ 𝑚
𝜀′𝑚 = 𝐶𝑗 (2.29)
𝐸𝑚0,7

0,27
𝐶𝑗 = (2.30)
𝑓𝑗 0,25

25
Dimana nilai Cj merupakan nilai faktor dari kuat tekan mortar, nilai fj ialah kuat
tekan mortar (MPa), nilai fm adalah tegangan pada dinding bata (MPa), nilai f’m
kuat tekan pada dinding bata (MPa) dan 𝜀′𝑚 ialah nilai regangan pada dinding bata
ketika mencapai f’m. Nilai 𝜀𝑚 sendiri merupakan nilai regangan dinding bata dan
nilai Em ialah modulus elastisitas pada dinding bata. Untuk nilai ɛ𝑚@0,9𝑓’𝑚 ialah
nilai regangan pasangan dinding bata saat mencapai 0,9f’m. (Hemant et.al., 2007)
2.4.5 Kurva Parameter Tegangan dan Regangan Pada Bata Masonry
Menurut Hendry et.al. (2004) bata masonry secara umum dinyatakan
sebagai material linear-elastis, walaupun dalam test mengindikasi bahwa hubungan
tegangan dan regangannya diperkirakan berbentuk parabola sesuai pada Gambar
2.18. Pada kondisi tertentu, tegangan pada bata masonry bergantung pada beban
ultimate, dan oleh karenanya asumsi kurva tegangan-regangan yang berbentuk
linear bisa diterima untuk perhitungan deformasi struktural. Didapat formula yang
digunakan untuk menentukan nilai modulus elastisitas bata masonry yaitu :
𝐸 = 700. 𝜎′𝑐 (2.31)

Dimana nilai 𝜎′𝑐 ialah kuat runtuh pada bata masonry. Nilai tersebut dapat
mewakili hingga 75% dari kekuatan ultimate. Untuk menentukan deformasi jangka
panjang, penurunan nilai E sangat dibutuhkan pada zona setengah hingga sepertiga
dari kurva.

Gambar 2.18 Kurva Parameter Tegangan dan Regangan Pada Bata Masonry
Sumber : Hendry et.al. (2004)

26
2.5 Analisis Kinerja Struktur
Dalam meneliti dan memodel struktur rangka dinding pengisi bata
bertulang harus menghasilkan hasil akhir yang sesuai dengan perencanaan tahan
gempa berbasis kinerja (performance-based seismic design) yang merupakan
proses yang didapat untuk perencanaan bangunan baru maupun perkuatan
(upgrade) bangunan yang sudah ada, dengan pemahaman yang realistic terhadap
resiko keselamatan jiwa (life safety), kesiapan untuk dihuni setelah kejadian gempa
(occupancy) dan kerugian harta benda (economic loss) yang mungkin terjadi akibat
gempa. Proses perencanaan tahan gempa berbasis kinerja dimulai dengan membuat
model rencana bangunan kemudian melakukan simulasi kinerjanya terhadap
berbagai kejadian gempa. Setiap simulasi memberikan informasi tingkat kerusakan
(level of damage), ketahanan struktur, sehingga dapat memperkirakan berapa besar
resikonya terhadap keselamatan jiwa, kesiapa dihuni dan kerugian harta benda.
NEHRP dan FEMA 273 (2000) sebagai acuan klasik dalam perencanaan
berbasis kinerja, membuat model level kinerja struktur pasca gempa. Operational
(O) yaitu tidak adak kerusakan berarti pada struktur dan non-struktur, Immediate
Occupancy (IO) yaitu tidak ada kerusakan yang berarti pada struktur, dimana
kekuatan dan kekakuannya kira-kira hamper sama dengan kondisi sebelum gempa,
Life-Safety (LS) yaitu terjadi kerusakan komponen struktur, kekakuan berkurang,
tetapi masih mempunyai ambang yang cukup terhadap keruntuhan dan tidak
menimbulkan korban jiwa. Komponen non struktur masih ada tetapi tidak berfungsi
lagi dan baru dapat dipakai lagi jika sudah dilakukan perbaikan. Collapse
Prevention (CP) yaitu kerusakan yang berarti pada komponen struktur dan non
struktur. Kekuatan struktur dan kekakuannya berkurang banyak, dan dikatakan
hampir runtuh. Kecelakaan akibat kejatuhan material bangunan yang rusak sangat
mungkin terjadi.
Dijelaskan kualitatif level kinerja (performance levels) FEMA 273 yang
digambarkan bersama dengan suatu kurva hubungan gaya dan perpindahan yang
menunjukkan perilaku struktur secara menyeluruh (global) terhadap beban lateral.
Kurva hasil analisis static non-linier khusus yang dikenal sebagai analisis pushover,
dan disebut sebagai kurva pushover.

27
Gambar 2.19 Kurva Analisa Pushover (FEMA 273)

2.6 Reinforced Masonry Wall (RMW)


Dinding bertulang atau disebut sebagai reinforced masonry wall sudah
diperkenalkan pertama kali pada awal abad ke-19 saat digunakan oleh Sir Marc
Brunel untuk membangun kotak penyediaan air bersih, di setiap pinggir Thames
River dan terus berkembang selama berabad-abad hingga digunakan dalam
konstruksi bangunan pada pembangunan Church of St Jean de Montmarre di Paris
pada tahun 1900. (Eurocodes, 2009).
2.6.1 Umum
Menurut Matsumura (1988) reinforced masonry wall merupakan struktur
yang terdiri dari dinding geser, bahannya berupa bata hollow ataupun bata tanah liat
dan diisi dengan tulangan baja yang diharapkan mampu menahan gaya lateral dari
luar bangunan yaitu berupa beban angin ataupun beban gempa. Hamann et.al.
(1939) juga berpendapat bahwa reinforced masonry wall merupakan material
struktur komposit yang terdiri dari bata yang menerima beban dan beban itu
tersalurkan menuju tulangan baja yang memiliki panjang tertentu. Kedua material
utama ini terikat menjadi satu dan mampu menahan gaya resultan secara komposit
bukan hanya menerima gaya tekan melainkan gaya tarik dan gaya geser yang terjadi
pada struktur bangunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa reinforced masonry
wall merupakan dinding bata dengan jenis tertentu yang diperkuat dengan

28
tambahan tulangan baja yang berfungsi secara komposit untuk menahan gaya tekan,
gaya tarik maupun gaya geser yang terjadi pada struktur bangunan.
2.6.2 Material
Menurut Robert et.al. (1986) dalam acuannya pada BS 5628:1985
menyatakan bahwa kekuatan karakteristik secara minimum yang dibutuhkan
dinding untuk menahan kuat tekan ialah 7 N/mm2. Untuk memenuhi kuat tekan
yang disyaratkan maka diperlukan material yang mumpuni dengan spesifikasi-
spesifikasi teknis yang telah tersedia.
 Bata Pengisi
Berupa bata/batako ataupun bata berlubang dengan jenis
lubangan yang bervariasi. Menurut Robert et.al. (1986) terdapat
penggunaan bata hollow dari ukuran 440 x 215 x 215 mm, hingga
berukuran 390 x 190 x 190 mm sesuai dengan kaidah pada BS
5628:1985 pada pembuatan reinforced masonry wall. Mosele et.al.
(2008) dalam penelitiannya yaitu Developing Innovative Systems
for Reinforced Masonry Walls menggunakan bata tanah liat
berlubang besar (large hollow clay units), menurutnya penggunaan
bata jenis ini bisa memperkuat kapasitas dinding dan mempererat
ikatan antara beton pengisi pada bata dengan material bata itu
sendiri melalui komposisi beton yang lebih banyak.

Gambar 2.20 Large Hollow Clay Units


Sumber : Mosele et.al. (2008)

 Besi Tulangan
Menurut Robert et.al. (1986) dalam rujukannya terhadap
BS 5628:1985 digunakan tulangan besi dengan standarisasi yang

29
telah ditentukan. Berikut daftar ukuran besi tulangan yang tersedia
sesuai dengan pabrikasi British Standard.

Tabel 2.2 Ukuran Besi Tulangan Sesuai BS 5628:1985

Berikut pula daftar luasan per meter lebar yang terhitung jika
dipasang besi tulangan dengan jarak tertentu dengan ukuran besi
tulangan yang ditentukan sesuai pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Luasan Sesuai Jarak Tulangan dalam mm2 per meter lebar (BS 5628:1985)

 Besi Tulangan Pada Bata Pengisi (Bed Joint)


Menurut BS 5628: 1985 disebutkan beberapa tipe tulangan
pada bed joint dimana tegangan leleh yang dibutuhkan ialah 500
N/mm2. Terdapat tiga tipe utama dalam pemasangan tulangan bed
joint yaitu tipe lattice, tipe woven wire, dan tipe ladder.

30
Gambar 2.21 Tipe Pemasangan Tulangan Bed Joint
Sumber : British Standard BS 5628:1985

Tipe pertama ialah dimana dua besi disusun secara parallel


dan disambung dengan besi tulangan zig-zag di tengahnya. Tipe ini
diberi tambahan bubuk epoksi poliester pada besi tulangan yang
berfungsi sebagai anti karat. Tabel 2.4 menunjukan indikator pada
ukuran tulangan yang diijinkan serta luasan zig-zag yang
dibutuhkan.

Tabel 2.4 Kaidah Pemasangan Tulangan Bed Joint Tipe Pertama (BS 5628:1985)

Tipe kedua berupa besi tulangan tarik dengan ukuran 1,25


mm dan besi pengikat yang ringan berukuran 0,71 mm, dan
diperlukan bubuk anti karat pada tulangan. Pada table ditentukan
ukuran tulangan yang diperlukan ditambah dengan luasan ikatan
efektif.

Tabel 2.5 Kaidah Pemasangan Tulangan Bed Joint Tipe Kedua (BS 5628:1985)

31
Pada tipe ketiga terdiri dari tulangan yang disusun secara
paralel menyerupai bentuk tangga sederhana, dengan tulangan
utama berukuran 3,58 mm, sedangkan tulangan melintang
berukuran 2,5 mm.

Tabel 2.6 Kaidah Pemasangan Tulangan Bed Joint Tipe Ketiga (BS 5628:1985)

 Mortar Semen
Mortar semen merupakan campuran antara semen, pasir beserta air
yang dicampur merata hingga berbentuk seperti lumpur. Mortar
berfungsi sebagai pengikat antar bata dalam dinding pengisi
maupun pengikat antara dinding pengisi dengan rangka struktur.
Menurut kaidah BS 5628 dan BS 5390 merekomendasikan teknis
mencampur dan menggunakan mortar. Proporsi campuran
mempengaruhi kuat tekan pada mortar tersebut. Berikut
rekomendasi proporsi penggunaan mortar secara umum.

Tabel 2.7 Proporsi Campuran Mortar (BS 5628, BS 5390)


Tipe Mortar (Proporsi dalam Volume) Kuat Tekan saat 28 Hari
No. Tes Tes
Semen:Kapur:Pasir Semen : Pasir Semen:Pasir:Plasticiser
Laboratorium Lapangan
1 1:0 - 1/4:3 - - 16 N/mm2 11 N/mm2
2 1:0,5:4 – 4,5 1:2,5 – 3,5 1:3 - 4 6,5 N/mm2 4,5 N/mm2
3 1:1:5 - 6 1:4 - 5 1:5 - 6 3,6 N/mm2 2,5 N/mm2
4 1:2:8 - 9 1:5,5 – 6,5 1:7 - 8 1,5 N/mm 2
1,0 N/mm2

2.6.3 Desain Makro Reinforced Masonry Wall


Pada dinding pengisi bata yang diberikan bantuan tulangan (reinforced
brickwall) terdapat beberapa metode yang diterapkan dalam pemasangan tulangan,
dimana tulangan besi yang ditanam dalam mortar dan tulangan yang ditanam dalam
campuran beton.

32
Gambar 2.22 Metode Pemasangan Tulangan pada Dinding Bata
Sumber : Hendry et.al. (2004)

Berdasarkan pada Gambar 2.22, Tipe A(i) sangat cocok digunakan pada
dinding bata bertulang yang ringan ketika tulangan diletakkan pada bed joint untuk
meningkatkan kekuatan dinding dalam menahan gaya lateral. Tipe A(ii) sangat
pantas digunakan untuk mengontrol dinding dari gaya gempa maupun beban yang
tak terduga (accidental damage). Sedangkan Tipe B(i) dan (ii) spasi untuk
penulangan lebih besar dan diisi dengan agregat beton yang kecil.
a. Hubungan Tegangan dan Regangan
Hubungan tegangan dan regangan pada bata masonry yang telah
ditampilkan pada Gambar 2.18 serta diperkirakan berbentuk parabola sebelumnya,
selanjutnya dibentuk menjadi sederhana membentuk garis linear dengan nilai
tegangan bernilai konstan dan sama dengan fk / ymm dikarenakan kombinasi
komposit antara kedua material tersebut.

Gambar 2.23 Kurva Parameter Tegangan dan Regangan Reinforced Masonry Wall
Sumber : Hendry et.al. (2004)

33
b. Perilaku Struktur
 Beban Lateral.
Menurut U.S. Army Corps of Engineers (1992) hampir semua
dinding pengisi masonry didesain secara vertikal dan
menyalurkan beban lateral kea tap, lantai ataupun pondasi.
Biasanya dinding didesain sebagai balok sederhana memanjang
di antara struktur utama. Bekerja sebagai balok sederhana
walaupun dengan tulangan, dibutuhkan untuk mengendalikan
keretakan lentur secara horizontal atau untuk menyediakan
penghubung secara berkelanjutan dalam jangka waktu tertentu.
Pada keadaan tertentu ketika sistem pilar tersedia, dinding
masonry didesain membentang secara horizontal di antara pilar-
pilar tersebut untuk selanjutnya membentang secara vertikal
untuk menyalurkan beban lateral ke elemen struktur horizontal
yang berada di atas maupun di bawahnya.
 Beban Aksial
Beban diterima oleh dinding dari atap, lantai, ataupun balok dan
ditransfer kembali secara aksial ke pondasi. Ketika resultan gaya
aksial adalah gaya tarik dari gaya angkat angin (wind uplift
loadings), mortar tidak akan bekerja untuk melawan gaya
tersebut. Namun tulangan yang telah mumpunilah yang akan
mengikat sisi atas dinding dengan balok struktur dan sisi bawah
dinding dengan pondasi. Jika resultan gaya vertikal yang bekerja
pada dinding tidak berpusat pada titik tengah dinding, maka
dikatakan gaya tersebut tidak konsentris. Hal itu bisa terjadi
akibat adanya momen tambahan akibat rotasi pada lantai ataupun
elemen atap yang terikat dengan dinding. Beban aksial bekerja
pada dinding dengan dua macam beban yaitu :
1. Uniform Loads
Uniform loads atau beban seragam bekerja pada dinding
sebagai beban garis, memberikan tegangan disepanjang bentang
dinding secara linear.

34
2. Concentrated Loads
Ketika beban terpusat tidak bekerja pada elemen struktural
seperti kolom, maka beban tersebut akan tersalurkan ke
sepanjang bentang dinding dengan besaran sama dengan
lebar bentang ditambah empat kali ketebalan dinding.
 Beban Kombinasi
Efek dari kombinasi beban lateral dan aksial bisa diasumsikan
bekerja menurut interaksi persamaan linear atau mungkin
dikombinasikan dengan menggunakan metoda lain yang sesuai
dengan kaidah rekayasa konstruksi.
c. Persamaan dalam Desain Reinforced Masonry Wall
Persamaan yang digunakan dalam mendesain dinding ini ditunjukan untuk
menghitung gaya lentur maupun gaya aksial pada dinding. Beban lateral seperti
beban angin maupun beban gempa akan diaplikasikan secara internal maupun
eksternal pada semua eksterior dinding. Terdapat dua kondisi dimana besar momen
ketika menerima beban angin dan besar momen ketika menerima beban aksial
eksentris dimasukan dalam perhitungan, sedangkan kondisi selanjutnya tidak
diperhitungkan sesuai pada Gambar 2.24 Diagram Pada Dinding Reinforced
Masonry, dengan (a) Beban Angin dan Momen Aksial Eksentris diperhitungkan,
(b) Beban Angin dan Momen Aksial Eksentris tidak diperhitungkan.
1) Persamaan Lentur
Reaksi horizontal di sisi bawah dinding akibat efek kombinasi beban
eksentris dan beban lateral disimbolkan Ra dan ditentukan dengan formula sebagai
berikut :
𝑤.ℎ 𝑃.𝑒 𝑙𝑏
𝑅𝑎 = ± (𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 ) (2.32)
2 12ℎ 𝑓𝑡

Dimana P merupakan beban aksial dalam satuan pound per ft panjang dinding, e
merupakan jarak dari as dinding menuju titik P, dalam inchi. Nilai h merupakan
tinggi dinding dalam ft, sedangkan w merupakan beban lateral pada dinding dalam
satuan psf.

35
(a)

(b)

Gambar 2.24 Diagram Pada Dinding Reinforced Masonry, dengan (a)


Beban Angin dan Momen Aksial Eksentris diperhitungkan, (b) Beban
Angin dan Momen Aksial Eksentris tidak diperhitungkan.
Sumber : U.S. Army Corps Engineers (1992)

Momen yang berada pada jarak x dari sisi bawah dinding merupakan nilai Mx yang
ditentukan dengan rumus :
𝑤.𝑥 2
𝑀𝑥 = 𝑅𝑎 𝑥 − (2.33)
2

Jika persamaan 𝑀𝑥= 𝑅𝑎 𝑥 − 𝑤. 𝑥22 (2.33


untuk kondisi dengan beban angin dan momen aksial eksentris diperhitungkan
d
i
t 𝑃𝑒𝑥 𝑤.ℎ.𝑥
𝑀𝑥 = + (2.34)
a 12ℎ 2

Persamaan
m Mx bisa disederhanakan menjadi :
𝑃.𝑒 𝑤(ℎ−𝑥)
b 𝑀𝑥 = 𝑥 [ + ] (2.35)
12ℎ 2
a
Ketika jarak spasi antar tulangan (Sx) diperhitungkan, maka persamaannya akan
h
menjadi :
𝑆𝑥 𝑃.𝑒 𝑤(ℎ−𝑥)
𝑀𝑥 = [ + ] (2.36)
d 12 12ℎ 2

a)
e Ketika w = 0 dan nilai P eksentris, nilai momen lentur maksimum pada sisi atas
pada
n dinding ketika x = h maka persamaannya menjadi :
g
a 36
n

p
𝑆.𝑃.𝑒
𝑀𝑚𝑎𝑥 = (2.37)
(12)(12)

b) Ketika w > 0 dan P tidak eksentris, momen lentur maksimum di tengah


ketinggian dinding (x = h/2) maka persamaannya menjadi :
𝑆.𝑤.ℎ2
𝑀𝑚𝑎𝑥 = (2.38)
(12)(8)

c) Ketika w > 0, dan P eksentris, momen akibat w dan Pe diperhitungkan, lokasi


momen maksimumnya bisa ditentukan dengan mendiferensialkan persamaan
momen terhadap x, mengatur persamaannya menjadi sama dengan nilai nol, dan
𝑃𝑒𝑥 𝑤.ℎ.𝑥
didapat nilai x. Untuk melakukan operasi ini pada persamaan 𝑀𝑥= +
12ℎ 2

(2.34, lokasi x ketika momen maksimum terjadi bisa ditentukan dengan rumus :
𝑑𝑀𝑥 𝑤.ℎ 𝑃𝑒
= + −𝑥 =0 (2.39)
𝑑𝑥 2 12ℎ

Sehingga nilai x,
ℎ 𝑃𝑒
𝑥= + (2.40)
2 12𝑤.ℎ

Perlu ditegaskan kembali bahwa momen maksimum akan terjadi jika momen akibat
beban aksial eksentris dan momen akibat beban lateral diperhitungkan. Dengan
ℎ 𝑃𝑒
melakukan subtitusi persamaan 𝑥= +
2 12𝑤.ℎ
𝑤.𝑥 2
(2.40 ke dalam persamaan𝑀𝑥=𝑅𝑎 𝑥 −
2

(2.33, nilai momen maksimum per panjang dinding sama dengan jarak spasi
tulangan S dapat ditentukan dengan :
𝑆(𝑅𝑎 )2
𝑀𝑚𝑎𝑥 = (2.41)
2𝑤

Persamaan yang telah ditentukan di atas bisa digunakan pula pada kondisi dimana
momen akibat beban lateral dan momen akibat beban lateral eksentris tidak
diperhitungkan.
2) Persamaan Tekan Aksial
Tegangan aksial di ketinggian h pada dinding ditentukan dengan
persamaan sebagai berikut :
𝑃+𝑤2 (ℎ−𝑥)
𝑓𝑎 = (2.42)
𝐴𝑒

Dimana w2 adalah berat dinding dalam satuan psf, nilai Ae merupakan luasan efektif
pada dinding dalam satuan in2/ft.

37
a) Ketika x = h (sisi atas dinding), tidak ada beban dinding dan persamaannya
menjadi :
𝑃
𝑓𝑎 = (2.43)
𝐴𝑒

b) Ketika x = 0 (sisi bawah dinding) seluruh beban dinding diperhitungkan dan


persamaannya menjadi :
𝑃+𝑤2 ℎ
𝑓𝑎 = (2.44)
𝐴𝑒

3) Tegangan Kombinasi
a) Pada dinding menerima beban aksial tekan dan tegangan lentur, dinding
masonry akan didesain menurut persamaan interaksi yaitu :
𝑓 𝑓𝑏 𝑓 𝑀𝑥
[𝑎+ ] 𝑜𝑟 [ 𝑎 + ] ≤ 1,0 (2.45)
𝐹𝑎 𝐹𝑏 𝐹𝑎 𝑀𝑟𝑚

Sejak 33% overstress diijinkan ketika beban angin ataupun beban seismik
d
i
p 𝑓 𝑓𝑏 𝑓 𝑀𝑥
[𝑎+ ] 𝑜𝑟 [ 𝑎 + ] ≤ 1,33 (2.46)
𝐹𝑎 𝐹𝑏 𝐹𝑎 𝑀𝑟𝑚
e
b) Dinding yang menerima beban kombinasi aksial dan lentur, tulangannya didesain
r
menggunakan persamaan interaksi sebagai berikut :
h
𝑀𝑥 𝑓
i − 𝑎 ≤ 1,0 (2.47)
𝑀𝑟𝑠 𝐹𝑎

tDengan 33% overstress diijinkan ketika beban angin atau beban seismic
udiperhitungkan, tegangan ijin dan momen resisten (resisting moment) pada
npersamaan di atas akan membesar 33% atau persamaan interaksinya akan menjadi
gseperti berikut :
k 𝑀𝑥 𝑓𝑎
− ≤ 1,33 (2.48)
𝑀𝑟𝑠 𝐹𝑎
a
4)
n Persamaan Geser

, Tegangan geser yang terjadi pada sisi bawah dinding ditentukan oleh
persamaan berikut :
𝑅𝑎
t 𝑃𝑣 = (2.49)
𝑏𝑤 .𝑑
e
g
a
n 38
g
a
n
Dimana bw ialah lebar efektif dinding masonry ketika menerima gaya geser keluar
garis bidang (out-of-plane). Sedangkan nilai d adalah ketebalan efektif pada dinding
masonry. (U.S. Army Corps Engineers, 1992)

d. Efek P-Delta
Efek P-Delta merupakan penambahan nilai momen dan defleksi yang
dihasilkan dari perpindahan pada setengah tinggi sisi dinding (akibat dari beban
lateral dan beban eksentris) oleh total beban aksial, P di titik atas dinding dan berat
dari setengah sisi atas dinding. Ketika rasio tinggi dan nominal tebal dinding kurang
dari 24, Efek P-Delta akan kecil dan bisa diabaikan. Untuk dinding dengan rasio
tinggi dan tebal nya lebih dari 24, maka defleksi pada setengah tinggi dinding, Δs,
bisa diperhitungkan dengan rumus :
 Ketika Mmid < Mcr maka,
(5)(𝑀𝑚𝑖𝑑)(ℎ2 )(144)
∆𝑠 = (2.50)
48𝐸𝑚 𝐼𝑔

 Ketika Mcr < Mmid < Mr maka,


(5)(𝑀𝑐𝑟)(ℎ2 )(144) (5)(𝑀𝑚𝑖𝑑−𝑀𝑐𝑟)(ℎ2 )(144)
∆𝑠 = + (2.51)
48𝐸𝑚 𝐼𝑔 48𝐸𝑚 𝐼𝑐𝑟

Dimana nilai Mmid ialah momen di setengah tinggi panel dinding termasuk efek P-
Delta dalam inch-pound, nilai Em ialah modulus elastisitas psi = 1000 f’m,
sedangkan nilai Ig merupakan momen inersia kotor pada penampang melintang
dinding, Icr ialah momen inersia retak pada penampang melintang dinding, Mcr
ialah momen retak pada dinding masonry, dan untuk nilai Mrm adalah momen
resisten ijin (allowable resisting moment) pada dinding masonry. (U.S. Army Corps
Engineers, 1992).
2.6.4 Desain Mikro Reinforced Masonry Wall
Menurut Mavros (2015) Permodelan dengan elemen hingga dalam
perhitungannya menggunakan program komputer telah berkembang secara pesat
yang bertujuan untuk melakukan simulasi perilaku non-linear pada dinding
reinforced masonry dan beton bertulang. Skema permodelannya mengadopsi
pendekatan mengenai keretakan, yang dimodel dalam elemen shell serta elemen
kontak (interface) untuk menggambarkan perilaku dinding dan beton. Tulangan

39
dimodel menggunakan elemen rangka batang dengan konsep material yang bersifat
uniaksial dan menggambarkan perilaku tulangan yang inelastis dalam beban yang
bekerja secara berulang. Elemen penghubung yang unik dengan konsep material
yang mumpuni telah dikembangkan untuk menggambarkan interaksi tulangan
dengan dinding atau beton yang menyelimutinya.
Perilaku struktur dinding reinforced masonry dan beton bertulang dalam
menerima gaya gempa tentu sangat kompleks, mengevaluasi kekuatan seismiknya
secara mendetail merupakan pekerjaan yang menantang. Model elemen hingga
yang baik ialah struktur dinding pengisi dimodel secara tiga dimensi dan mampu
menggambarkan komponen retak geser diagonal, leleh lentur, dan gaya geser
horizontal secara tepat dengan penampang persegi bahkan dengan fenomena bond-
slip dan dowel action. Dalam memodel struktur dinding reinforced masonry wall
maka diperlukan elemen ataupun komponen yang mendukung untuk
menggambarkan perilaku dinding secara eksplisit sesuai dengan situasi yang
sesungguhnya.
a) Elemen Rangka Batang (Truss Element)
Besi tulangan pada dinding masonry dan struktur rangka beton
bertulang adalah hal yang sangat penting dan mampu
memberikan efek secara signifikan kepada struktur tersebut dan
perilakunya harus digambarkan secara akurat. Komponen atau
elemen yang dapat bekerja secara aksial maupun lentur untuk besi
tulangan adalah elemen penampang balok berserat (fiber-section
beam element). Setiap seratnya bersifat non-linear uniaksial yang
menggambarkan perilaku besi itu sendiri. Elemen rangka batang
memiliki satu serat berseberangan dengan elemen balok yang
memiliki beberapa serat untuk menahan perilaku lentur. Maka
dari itu elemen rangka batang secara permodelan tidak
menggunakan elemen balok, dan tentu digunakan ketika
kegagalan pada struktural terjadi karena perilaku lentur pada
tulangan. (Mavros, 2015)
b) Elemen Shell

40
Penggunaan elemen shell dalam permodelan ditentukan untuk
menggambarkan perilaku struktur ketika dinding menerima gaya
yang bekerja pada bidang (in-plane) ataupun gaya yang diluar
atau tegak lurus dengan bidang (out-of-plane). Elemen shell
dimodel secara berlapis dengan beberapa layer di sepanjang
ketebalannya.
c) Elemen Kontak Retak Kohesif (Cohesive Crack Interface)
Elemen ini digunakan dalam model untuk melokalisasi perilaku
retak yang terjadi pada tegangan di dalam maupun di luar bidang
(in or out-of plane). Elemen ini diformulasikan oleh
Koutromanos (2015) untuk menganalisis elemen shell. Kontak
tersebut bisa digambarkan sebagai daerah kinematis yang
mengalami keretakan secara tiga dimensi dan tentu bertujuan
untuk menangkap perilaku beton bertulang dan dinding masonry
yang menerima beban multi-aksial secara berulang.

Gambar 2.25 Skema Permodelan Dengan Komponen-Komponen Pendukung


Sumber : Marvros (2015)

d) Elemen Kontak (Interface Element)


Elemen kontak berfungsi pada model untuk menghubungkan
elemen shell dengan elemen truss untuk tulangan, ataupun
elemen shell dengan dengan elemen pada rangka struktur.

41

Gambar 2.26 Skema Interface Element


Gambar 2.27 Model Elemen Intarface Besi Tulangan dengan Beton, (a) Model
Fisik, (b) Model Elemen Hingga, (c) Elemen dengan Ukuran Tidak Sesuai
Sumber : Marvros (2015)

Gambar 2.28 Interface Element


Sumber : Marvros (2015)

1. Konsep Bond-Slip
Konsep bond-slip ditunjukkan oleh Murcia and Shing
(2014) dan diadopsi pada model ini untuk menggambarkan
hubungan tegangan dan regangan arah tengensial pada elemen
kontak. Bond-slip merupakan tergelincirnya tulangan lepas dari
ikatan sesungguhnya dengan beton ataupun material lain. Ikatan

42
pada tulangan mengalami degradasi diakibatkan oleh tulangan
yang cenderung mengalami gaya tarik, ataupun tulangan yang
terkelincir sedikit demi sedikit secara berulang. Terdapat tiga
parameter yaitu peak bond strength (τmax) yaitu kuat ikatan
puncak, gaya gelincir ketika mencapai peak bond strength (Speak)
dan jarak bersih antar tulangan (SR). Dimana rumus untuk setiap
parameternya yaitu :
𝑓′𝑐 0,75
𝜏𝑚𝑎𝑥 = 2,4 ( ) (2.52)
5,0

𝑆𝑝𝑒𝑎𝑘 = 0,07𝑑𝑏 (2.53)

𝑆𝑅 = 0,5𝑑𝑏 (2.54)
Dimana nilai db merupakan diameter pada tulangan.
2. Konsep Dowel Action
Dowel action merupakan kapasitas dari besi tulangan untuk
menyalurkan gaya geser paralel terhadap sumbu retak geser
ketika ada pergerakan antara dua sisi retak tersebut. Jika besi
tulangan dibungkus oleh beton yang mumpuni maka perilaku
mekanisme dowel action untuk deformasi yang kecil disebabkan
oleh kapasitas lentur dari tulangan dan kuat lentur pada beton.
Untuk deformasi yang besar, beban aksial pada tulangan bekerja
secara paralel terhadap garis retak yang menyebabkan kapasitas
dowel action yang besar.
Menurut Mavros (2015) estimasi nilai kapasitas dari dowel
tersebut ditentukan dalam rumus :
𝐹𝑦 = √2𝑀𝑝𝑙. 𝑑𝑏. 𝑓𝑐𝑏 (2.55)
𝛼
𝑓𝑐𝑏 = 𝑓′𝑐1,2 (2.56)
𝑑𝑏

𝛼 = 2. 𝑑𝑏 + 0,5 (2.57)
𝑓𝑦.𝑑𝑏3
𝑀𝑝𝑙 = (2.58)
6

Dimana nilai fcb adalah kuat lentur pada beton dan Mpl adalah
momen plastis pada besi tulangan.

43
2.7 Penelitian Rangka Dinding Pengisi
Penelitian mengenai rangka dinding pengisi banyak dilakukan dan masih
tetap dilakukan hingga saat ini dikarenakan perilaku dinding pengisi terhadap
kinerja struktur secara keseluruhan sangat menarik untuk diteliti dan untuk
mendapatkan permodelan yang relevan dengan perilaku dinding pengisi pada
kenyataannya di lapangan.
Kakaletsis dan Karayannis (2009) melakukan penelitian laboratorium
mengenia perilaku struktur rangka dinding pengisi dengan bukaan. Dalam
penelitiannnya, terdapat 10 model yang diuji dimana berupa rangka tanpa dinding
pengisi (bare frame), struktur rangka dengan dinding solid, dan struktur rangka
dinding pengisi dengan bukaan. Pada penelitian ini dilakukan kajian lebih
mendalam terhadap model struktur rangka tanpa dinding pengisi (bare frame) dan
struktur rangka dengan dinding solid sesuai kebutuhan terhadap acuan bagi
permodelan untuk menggambarkan secara lebih dekat terhadap perilaku struktur
rangka dengan dinding bata bertulang.

Gambar 2.29 Model Struktur Rangka Beton Bertulang Pada Eksperimen Kakaletsis dan
Karayannis (2009).

Adapun sifat-sifat material yang digunakan sesuai pada eksperimen yang


dilaksanakan oleh Kakaletsis dan Karayannis (2009) ialah sebagai berikut :

Tabel 2.8 Sifat Material pada Eksperiman Kakaletsis dan Karayannis (2009)

Sifat Mekanik Nilai Besaran


Campuran Semen/Plester
Kuat Tekan fm 1,53 MPa
Unit Batu Bata
Kuat Tekan fbc 3,10 MPa

44
Pasangan Bata

Kuat tekan (tegak lurus) untuk rongga fc 2,63 MPa

Modulus Elastisitas (tegak lurus) untuk rongga E 666,06 MPa

Kuat Tekan (sejajar) untuk rongga fc90 5,11 MPa

Modulus elastisitas (sejajar) untuk rongga E90 670,3 MPa

Koefisien Gesek µ 0,77


Modulus Geser G 259,39 MPa

Kuat Geser Tanpa Tegangan Normal Fvo 0,08 MPa

0,38 MPa/0,25 MPa


0,33 MPa/0,22 MPa
Kuat Geser Dengan Tegangan Normal fv/fn 0,39 MPa/0,30 MPa
0,21 MPa/ 0,37 MPa
0,20 MPa/0,70 MPa
Rangka Beton
Kuat Tekan f’c 28,51 MPa
Baja Batang

Kuat leleh/tarik runtuh longitudinal baja fy/fu 390,47 MPa/516,27 MPa

Kuat leleh/ tarik runtuh transversal baja fy/fu 212,2 MPa/321,07 MPa

Pada eksperimen di laboratorium, untuk menciptakan beban lateral yang


bekerja pada model digunakan alat double action hydraulic actuator sedangkan
untuk beban vertikal menggunakan hydraulic jacks dipasang dengan empat strands
di bagian atas di setiap kolom, yang konstan dan terus-menerus disesuaikan selama
pengujian. Tingkat beban tekan aksial per kolom ini ditetapkan sebesar 50 kN
dengan rata-rata tegangan tekan sebesar 0,1 untuk kekuatan tekan.

45

Gambar 2.30 Hubungan antara lateral load dan lateral displacement beserta pola
kegagalan model bare frame (atas) dan model dinding solid (bawah)

Sumber : Kakaletsis dan Karayannis (2009)


Berdasarkan hasil eksperimen pada model struktur rangka tanpa dinding
pengisi (bare frame), retak pertama kali dibentuk di bagian bawah kolom, dimana
momen di sekitar bagian tersebut merupakan yang terbesar dan nilai tekan aksial
yang terkecil dengan nilai drift 0,4% diikuti dengan retak balok di dekat permukaan
kolom dengan nilai drift 0,6%. Pengikisan dan penghancuran beton dalam kolom
yang diamati dengan nilai drift sebesar 2,8%
Sementara hasil eksperimen yang mengarah pada dinding solid
menyatakan bahwa perilaku non-linear pertama kali terjadi pada dinding tersebut.
Terjadi keretakan dalam bentuk retak miring di sekitar sudut tekan atas dengan
perkiraan sudut 45 derajat dan kemudian diikuti dengan retak geser horizontal di
sepanjang bed joint pada bata pengisi di pertengahan tinggi panel dinding dengan
nilai drift sebesar 0,3%. Selanjutnya sendi plastis yang diperlihatkan di bagian atas
dan bagian bawah kolom terjadi dengan nilai drift 1,1%. Kegagalan sebagian besar
terjadi pada penghancuran di garis diagonal dinding pengisi dengan nilai drift
sebesar 1,9%.

46
3 BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Umum
Diperlukan metode yang tepat agar tujuan serta sasaran dari suatu
penelitian mendekati hasil yang diharapkan atau bahkan tepat sesuai dengan hasil
yang direncanakan. Dipertimbangkan segala faktor yang mempengaruhi jalannya
penelitian seperti waktu dan biaya sehingga penelitian tersebut berjalan tepat, padat
dan efisien. Berawal dari permasalahan yang timbul di lapangan serta dampak-
dampak yang cukup merugikan di kehidupan masyarakat, maka digagaslah suatu
ide disertai dengan dukungan berbagai literatur sebagai pedoman atau teori agar
realisasi dari ide tersebut mendekati dengan apa yang telah diharapkan. Studi
literatur mencakup segala usaha yang diperlukan untuk mengumpulkan berbagai
teori maupun acuan tertentu sehingga penelitian yang akan dilakukan sesuai dengan
teori yang terkait, khususnya dalam pelaksanaan prosedur kerja. Mengingat akan
pentingnya dilakukan studi literatur, maka disarankan agar tinjauan pustaka
didukung oleh banyak referensi. Referensi yang diambil bisa berupa buku, jurnal,
skripsi maupun tesis yang didapat dari internet, perpustakaan, maupun
laboratorium. Berdasarkan referensi yang telah dikaji serta hasil-hasil eksperimen
yang mendukung, maka metode yang digunakan pada penelitian ini ialah metode
strut diagonal dan Metode Elemen Hingga (MEH) yang sudah diuraikan secara
mendetail di Bab II.
Dari beberapa referensi yang didapatkan, yang digunakan sebagai rujukan
ialah penelitian yang dilakukan oleh Kakaletsis dan Karayannis (2009) tentang
eksperimen struktur reinforced masonry terhadap performa seismik di
laboratorium. Hasil analisis yang diharapkan dapat mendekati hasil pengujian di
laboratorium tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku struktur

47
dinding pengisi bata bertulang dengan menggunakan permodelan layered shell
element pada program SAP2000.
3.2 Penentuan Desain Struktur
Penelitian dilakukan sesuai dengan spesifikasi eksperimen yang
ditunjukan pada Kakaletsis dan Karayannis (2009) merupakan struktur rangka
beton bertulang portal satu tingkat. Berikut rincian desain untuk struktur rangka
terbuka (bare frame) dari eksperimen tersebut, beserta model rangka dinding
pengisi tanpa tulangan, dan rangka dinding pengisi bata bertulang.

Gambar 3.1 Model Rangka Terbuka (Bare Frame) (M1)

48
Gambar 3.2 Potongan Balok Rangka
Gambar 3.3 Potongan Balok Dasar dan Kolom

Gambar 3.4 Dimensi Bata Masonry Berlubang


Sumber : NationalMasonry.com (2013)

49
Gambar 3.5 Dimensi Bata Ringan
Gambar 3.6 Model Rangka Dinding Pengisi Tanpa Tulangan (M2)

50
Gambar 3.7 Model Rangka Dinding Pengisi Bata Bertulang (M3)
3.2.1 Data Material Struktur Rangka
Data material struktur rangka sesuai dengan eksperimen di laboratorium
merupakan struktur rangka beton bertulang, dengan mutu beton (f’c) sebesar 28,51
MPa. Modulus elastisitas (E) dihitung dengan rumus :
𝐸𝑐 = 𝑤𝑐1,5 . 0,043. √𝑓 ′ 𝑐

𝐸𝑐 = 24001,5 . 0,043. √28,51 = 26995,04 𝑀𝑃𝑎


Berdasarkan PPPURG 1987, digunakan berat volume dari beton bertulang
(wc) sebesar 2400 kg/m3. Untuk tulangan yang digunakan pada struktur beton
bertulang yaitu baja tulangan polos dengan tegangan leleh (fy) dan tegangan tarik
(fu) yaitu :
 Tulangan Longitudinal : fy = 390,47 MPa
fu = 516,27 MPa
 Tulangan Transversal : fy = 212,20 MPa
fu = 321,07 MPa
Berdasarkan PPPURG 1987, digunakan berat volume dari baja (ws) sebesar 7850
kg/m3 dan untuk modulus elastisitas (Es) sebesar 200000 MPA, berdasarkan SNI
03-2847-2013.
Didapat grafik hubungan tegangan dan regangan dari material beton
sebagai berikut :

35

30

25
Tegangan (MPa)

20

15

10

0
0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005
Regangan

Gambar 3.8 Hubungan Tegangan dan Regangan Pada Material Beton

51
3.2.2 Data Material Dinding
Dalam penelitian ini, digunakan mutu dari dinding pengisi (f’m) sebesar
5,11 MPa, modulus elastisitasnya (Em) sebesar 670,30 MPa, dan modulus gesernya
(G) sebesar 259, 39 MPa disesuaikan pada data eksperimen di laboratorium.
Sehingga diperoleh grafik hubungan antara tegangan dan regangan pada material
dinding yaitu :

5
Tegangan (MPa)

0
0 0.004 0.008 0.012 0.016 0.02
Regangan

Gambar 3.9 Hubungan Tegangan dan Regangan Pada Material Dinding

3.2.3 Pembebanan Struktur


Analisa dan perencanaan pada struktur rangka ini digunakan pembebanan
berupa beban vertikal dan beban lateral. Penjelasan lebih detail untuk kedua jenis
beban tersebut diuraikan sebagai berikut :
a. Beban Vertikal
Pada eksperimen di laboratorium, beban vertikal setiap kolom
dilakukan dengan memasang alat hydraulic jacks, setiap kolom diset sama
dengan 50 kN. Dalam analisis beban vertikal terpusat sebesar 50 kN
diletakkan pada masing-masing joint di atas kolom.
b. Beban Lateral
Pembebanan struktur dinding pengisi pada eksperimen
laboratorium menggunakan double action hydraulic actuator yang
didefinisikan sebagai beban lateral ialah beban siklik. Dalam analisis
digunakan pembebanan static satu arah dengan mengambil nilai beban

52
lateral berdasarkan grafik hubungan lateral load dan lateral displacement
envelopes. Nilai beban lateral awal digunakan sebesar 10 kN sampai
mencapai beban lateral puncak sesuai pada grafik sebagai berikut :

Gambar 3.10 Hubungan Lateral Load dan Lateral Displacement Envelopes

3.3 Material Beton dan Dinding Non-Linear


Dalam permodelan dilakukan analisis dengan mengubah parameter
Modulus Secant (Esi) dari material beton dan dinding yang dibuat non-linear,
dimana adanya penurunan nilai dari Modulus Secant (Esi). Perbandingan antara
beban lateral yang dikenakan dan beban lateral puncak dianggap sama dengan

53
perbandingan antara tegangan yang terjadi dan tegangan puncak, yang dituliskan
dalam persamaan sebagai berikut :
P f
= (3.1)
Pmax f′

Dari persamaan di atas maka didapatkan nilai tegangan pada setiap beban
lateral yang dikenakan. Setelah didapatkan nilai tegangan, dengan menggunakan
𝑓′ 𝑐.𝑥.𝑟
persamaan 𝑓= (2.20
𝑟−1+𝑥 𝑟

untuk material beton dan persamaan 𝐸𝑐= 4700. √𝑓′𝑐


(2.25 untuk material dinding maka didapatkan nilai regangan. Garis Modulus
Secant (Esi) disesuaikan dengan grafik hubungan tegangan dan regangan,
menggunakan rumus Hukum Hooke yaitu:
fn −f(n−1)
En = (3.2)
εn −ε(n−1)

Hasil dari Modulus Secant (Esi) untuk Model M2 disajikan pada Tabel 3.1
Penurunan Modulus Secant (Esi) pada material beton dan dinding Model M2

Tabel 3.1 Penurunan Modulus Secant (Esi) pada material beton dan dinding Model M2

Beban Lateral Modulus Secant (MPa)


n
(kN) Esi(c) beton Esi(b) dinding
1 0 26995,04 783,84
2 10 26862,65 756,19
3 20 26081,19 698,65
4 30 24613,34 655,88
5 40 22512,01 584,33
6 44 20551,08 535,63
7 50 19092,26 507,44
8 60 15974 425,67
9 70 11384,65 329,62
10 79,5 3777 137,22

Selain Modulus Secant (Esi) terjadi pula penurunan momen inersia (I)
pada elemen struktur kolom dan balok. Momen inersia (I) mulai berkurang saat

54
elemen struktur mulai mengalami keretakan. Selanjutnya penurunan terjadi secara
teratur setiap menaikkan beban lateral yang terjadi hingga batas nilai koefisien
sesuai peraturan beton SNI 2847-2013, dimana untuk balok adalah 0,35 dan untuk
kolom 0,7 terlampir dalam lampiran B. Koefisien momen inersia untuk setiap
kenaikan beban lateral pada Model M2 disajikan pada

Tabel 3.2 Koefisien penurunan momen inersia elemen struktur pada Model M2

Beban Lateral (kN) Koefisien Inersia Kolom Koefisien Inersia Balok


0 1I 1I
10 1I 1I
20 1I 1I
30 1I 1I
40 1I 1I
44 0,95I 1I
50 0,9I 1I
60 0,85I 1I
70 0,8I 1I
79,5 0,7I 1I

3.4 Penetapan Model


Adapun model struktur rangka dinding pengisi yang dianalisis dalam
eksperimen yang dilakukan Kakaletsis dan Karayannis (2009), dimana terdapat
10 model yang dianalisis, maka melalui penelitian ini diambil 2 model yang akan
dijadikan acuan yaitu model rangka terbuka atau model M1 pada penelitian ini
dan model rangka dinding pengisi atau model M2 yang sesuai pada penelitian
ini. Model M3 dilakukan secara mandiri melalui penelitian ini berdasarkan
parameter dan acuan dari kedua model eksperimen tersebut.

55
3.5 Kerangka Penelitian

Mulai

Mendefinisikan data pada SAP2000


berupa data bahan, dimensi komponen
struktur, dan pembebanan

Pemodelan struktur rangka Pemodelan struktur dinding pengisi


Pemodelan struktur rangka terbuka.
dinding pengisi tanpa bata bertulang (infilled frame)
(M1)
tulangan (unreinforced (M3)
masonry wall) (M2)

Analisis dan Desain

Cek Desain
Tidak OK

OK
Analisis Pushover

Perbandingan Hasil Kinerja


Struktur

Interpretasi Hasil dan


Kesimpulan

Selesai

3.6 Uraian
Bagan alir analisis pada kerangka penelitian 6.1 dapat diuraikan
sebagai berikut.

56
1. Mendefinisikan dan memasukkan data struktur pada program
SAP2000 yang meliputi modulus elastisitas beton (Ec), kuat
tekan beton (f’c), modulus elastisitas baja (Es), tegangan leleh
baja tulangan (fy), tegangan putus baja tulangan (fu), estimasi
dimensi struktur (dimensi balok, dan kolom), dan beban vertikal
(gravitasi) serta beban horizontal (beban gempa). Pembebanan
gempa dilakukan dengan metode autoload menggunakan
peraturan IBC 2009.
2. Melakukan pemodelan dengan membuat tiga buah model, yaitu
model struktur rangka terbuka, model struktur dinding pengisi
tanpa tulangan (unreinforced masonry wall), dan model struktur
rangka dinding pengisi bata bertulang (infilled frame).
3. Kontrol kekuatan dan kekakuan elemen struktur dengan
mengecek terjadinya overstressed pada elemen-elemen struktur
dan syarat simpangan yang ditentukan. Jika tidak memenuhi
syarat kekuatan dan kekakuan, kembali dilakukan percobaan
pada estimasi dimensi pada model yang belum OK.
4. Setelah ketiga model tersebut dinyatakan memenuhi syarat
kekakuan dan kekuatan, maka selanjutnya dilakukan analisis
pushover pada ketiga tipe model struktur tersebut sesuai pada
kaidah FEMA.
5. Didapat hasil analisis struktur berupa simpangan atau deformasi
pada model. Dilakukan perbandingan terhadap level kinerja
struktur ketiga tipe model struktur tersebut. Hasil perbandingan
yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel atau grafik hubungan
antara gaya yang bekerja (F) dengan besarnya simpangan yang
terjadi (u).
6. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, langkah terakhir
adalah melakukan interpretasi terhadap hasil tersebut yang
diuraikan pada Bab IV. Pembahasan dilakukan berdasarkan hasil
analisis yang ditinjau untuk mengetahui kinerja struktur dari
model struktur rangka terbuka, model struktur rangka dinding

57
pengisi tanpa tulangan (unreinforced masonry wall), dan model
struktur rangka dinding pengisi bata bertulang (infilled frame).
4 DAFTAR PUSTAKA

Dewobroto, W. 2005. Analisis Inelastis Portal-Dinding Pengisi dengan Equivalent


Diagonal Strat. Jurnal Teknik Sipil ITB. Edisi Vol. 12/4, Oktober 2005.
Smith, B.S. and Coull, A. 1991. Tall Building Structures; Analysis and Design.
John Wiley and Sons, Inc.
Asteris, P.G. 2008. Finite Element Micro-Modeling of Infilled Frames. Electronic
Journal of Structural Engineering (8) 2008.
Das, D. and Murty, C.V.R . 2004. Brick masonry infill in seismic design of RC
framed buildings: Part I – Cost implications. July 2004 - The Indian
Concrete Journal.
Dorji, J. 2009. Seismic Performance of Brick Infilled RC Frame Structures in Low
and Medium Rise Buildings in Bhutan. (Unpublished Thesis for Master
Degree, Queensland University of Technology, 2009)
Anonim. 2007. CSI Analysis Reference Manual for SAP2000, ETABS, and SAFE.
Computer and Structures, Inc. Berkeley, CA. USA.
Souisa, M. 2011. Analisis Modulus Elastisitas dan Angka Poisson Bahan Uji Tarik.
Jurnal Barekeng. Vol. 5 No. 2 Hal. 9-14.
Kaushik, H.B., Rai, D.C., and Jain, S.K. 2006. Code Approaches to Seismic Design
of Masonry-Infilled Reinforced Concrete Frames: A State-of-the-Art
Review. Earthquake Spectra, Volume 22, No. 4, pages 961– 983.
Hendry, A.W., Sinha, B.P., and Davies, S.R. 2004. Desing of Masonry Structure.
3th Edition of Load Bearing Brickwork Design. Department of Civil
Engineering, UK.
Eurocodes. 2009. EU Legislation/Standardisation for Construction.
Matsumura, A. 1988. Shear Strength of Reinforced Masonry Walls. Proc., 9th Worf
Conferences on Earthquake Engineering. Vol. 7, Pp 121-126.
Robert, J.J., Edgell, G.J., and Rathbone, A.J. 2006. Handbook to BS 5628: Part 2.
3th Edition. Palladian Publications Limited, London.

58
British Standard (BS) 5628. 1985. British Standard Code of Practice for Use of
Masonry.
Departments of The Army, The Navy, and The Air Force. 1992. Masonry Structural
Design For Building.
Mavros, M. 2015. Experimental and Numerical Investigation of the Seismic
Performance of Reinforced Masonry Structures. (Unpublished
Dissertation for Doctoral Degree, University of California, San Diego,
2015).
Kakaletsis, D., and Karayannis, C. 2009. Experimental Investigation of Infilled r/c
Frames With Eccentric Openings. Department of Civil Engineering,
Democritus University of Thrace, Xanthi.

59

Anda mungkin juga menyukai