Proposal V2 PDF
Proposal V2 PDF
PROPOSAL
Oleh :
1
i
BAB I
1 BAB I PENDAHULUAN
1
menghindari hal tersebut, perencanaan maupun penelitian yang komprehensif
mengenai struktur rangka dengan dinding pengisi yang baik menjadi sangat
penting. Dimana jika dinding diasumsikan sebagai komponen struktur, maka
dinding disebut sebagai dinding pengisi (infill wall) sementara struktur rangka yang
diisi dengan dinding pengisi disebut dengan rangka dinding pengisi (infill frame).
Karena struktur rangka dinding pengisi memiliki inersia yang cukup besar
dibanding struktur rangka terbuka (open frame), maka dari itu perencanaan maupun
penelitian harus menghasilkan perumusan yang penting untuk mengukur interaksi
antara dinding pengisi dengan struktur rangka.
Sejauh ini terdapat beberapa penelitian yang telah mengajukan metode
dalam memodel dinding pengisi, salah satunya yaitu Smith dan Coull (1991)
dengan mengajukan model makro yang membahas tentang perilaku rangka dinding
pengisi sebagai rangka dengan strut diagonal, dan dinding dianggap memperkaku
rangka melalui mekanisme geser dan rangka batang, sementara dalam model mikro
dianggap dinding sebagai elemen bidang dan bidang kontak antara dinding pengisi
dan rangka model sebagai elemen interface atau elemen join satu dimensi.
Reinforced Masonry Wall (RMW) merupakan metode perencanaan
dinding pengisi yang cukup lama diketahui di dunia konstruksi, dimana bata atau
batako masonry berongga dipasangkan besi tulangan berukuran tertentu secara
vertikal melalui rongga bata tersebut, serta dipasangkan pula besi tulangan arah
horizontal pada bed joint antar bata serta ditanam dengan semen mortar (Eurocodes,
2009). Pada artikel Reinforced Brick Masonry dalam Gobrik.com (1996) Teknik ini
mampu menambah kekuatan tarik maupun geser pada dinding, dimana besi
tulangan tersebut memikul gaya tarik tambahan, sementara bata masonry memikul
gaya tekan secara bersamaan. Sehingga kedua material ini bersinergi dan
mendukung satu sama lain menghasilkan fungsi material yang maksimal dalam
menahan gaya gravitasi maupun gaya lateral.
Melalui penelitian ini, dikaji secara seksama perencanaan dinding pengisi
bata bertulang serta pengaruhnya melalui kinerja struktur rangka berdasarkan
kepada konsep reinforced masonry wall serta meninjau evaluasi kinerja strukturnya
dengan Analisis Statik Pushover. Analisis Nonlinear Statik Pushover (ATC-40,
1996) merupakan komponen performance-based design yang bertujuan untuk
2
mengetahui kinerja suatu struktur akibat dari efek gempa yang sangat kuat. Dengan
memberikan gaya lateral yang bersifat incremental hingga struktur mengalami fase
runtuh, maka ditentukanlah target perpindahan yang terjadi untuk menentukan level
kinerja struktur (level performance) melalui metode displacement coefficient
menurut FEMA (Federal Emergency Management Agency).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan diangkat dan dibahas melalui
penelitian ini ialah :
Bagaimana pengaruh dinding bata bertulang terhadap kinerja struktur
rangka dinding pengisi?
3
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Maka dari itu diperlukan tinjauan yang khusus dan mendetail untuk
menyelidiki interaksi antara dinding pengisi sebagai komponen struktural dengan
rangka struktur berupa portal yang disebut sebagai Rangka Dinding Pengisi (RDP).
Dalam menyelidikinya, diperlukan metoda dan model analisis yang mumpuni untuk
memperhitungkan RDP serta menganalisis sifat material yang non-linear dan getas.
Permodelan RDP dikelompokkan menjadi dua yaitu model makro dan model mikro
berupa model elemen hingga.
2.1.1 Model Makro
Menggunakan dinding pengisi untuk mengaku rangka struktur
menghasilkan sebuah karakteristik yang diinginkan, mengatasi kekurangan salah
satu dari komponen tersebut. Besarnya kekakuan pada dinding pengisi secara
signifikan mengaku pula rangka struktur yang relatif fleksibel. Dinding pengisi
secara struktural mengaku rangka struktur, beberapa pada bidang geser dan
sebagiannya lagi pada strut diagonal di rangka struktur.
(a) (b)
Gambar 2.1 (a) Perilaku Interaksi Dinding Pengisi dengan Rangka Struktur. (b) Arah
Pengaku Pada Rangka Struktur.
Sumber : Smith dan Coull (1991)
5
dinding sehingga mengakibatkan gaya tekan, khususnya di pojok diagonal dinding.
Hal tersebut mirip dengan analogi yang menggambarkan arah gaya akibat interaksi
dari kedua komponen tersebut pada Gambar 2.1b.
Terdapat tiga moda kegagalan pada dinding pengisi yang timbul akibat
interaksinya dengan rangka struktur. Moda pertama ialah kegagalan pada bidang
geser, dimana terjadi keruntuhan di sepanjang noda dinding dan menghasilkan
rongga akibat gaya geser horizontal pada join horizontal dinding. Moda yang kedua
ialah keretakan yang terjadi sejajar dengan arah diagonal dinding. Dan yang ketiga
ialah tegangan tarik yang tegak lurus sumbu diagonal pada dinding, tegangan ini
terjadi pada daerah tengah dinding dimana keretakan sumbu diagonal menyebar
dari daerah tengah tersebut. Ketika tegangan tarik mencapai maksimum, daerah
pojok dinding berusaha menahannya hingga terjadi kegagalan dan runtuh dimana
garis keruntuhannya tegak lurus pula dengan sumbu diagonal dinding seuai pada
Gambar 2.2a. (Smith dan Coull, 1991)
(a)
(b)
6
Perilaku rangka struktur juga bisa digambarkan pada Gambar 2.2b,
dimana kolom tarik berada pada sisi kiri, sedangkan kolom tekan berada pada sisi
kanan. Dinding berinteraksi dengan rangka struktur tidak secara terpusat di pojok
dinding, namun di seluruh bagian balok dan kolom yang berdekatan langsung pada
pojok dinding yang mengalami gaya tekan, dimana rangka struktur juga menerima
gaya geser serta gaya lentur dalam jumlah yang kecil. Akibatnya rangka struktur,
khususnya pada sambungan balok dan kolom mengalami kegagalan oleh gaya
aksial atau geser dan gaya tarik pada ujung bawah kolom tarik.
Teori strut diagonal tunggal yang dikemukakan oleh Smith dan Coull
(1991) masih dianggap kurang mewakili efek dari dinding pengisi pada rangka
struktur terkait dengan momen dan gaya geser yang bekerja pada rangka struktur.
Maka dari itu dilakukan penelitian yang masif, khususnya oleh Asteris (2008)
mengusulkan pembuatan model struktur rangka dinding pengisi dengan 6 strut
diagonal bersilangan yang hanya menerima gaya tekan, dimana masing-masing 3
strut dalam satu diagonal seperti ditunjukan pada Gambar 2.3b. Diperbanyaknya
jumlah strut diagonal maka akan lebih panjang jarak tinjauan yang dimuat di sekitar
bentang kolom dan balok yang berdekatan gaya tekan pojok dinding pengisi.
Gambar 2.3 (a) Struktur Rangka Dinding Pengisi, (b) Permodelan Rangka Dinding
Pengisi dengan 6 strut diagonal.
Sumber : Asteris (2008)
7
Penelitian dilanjutkan dengan menambah variabel baru dalam
menentukan efek interaksi pada dinding pengisi tersebut. Menurut Amato et.al
(2009) diusulkan penambahan tinjauan/variabel baru berupa penambahan beban
vertikal bersamaan dengan pengaruh beban lateral. Hasil yang didapatkan ialah
bahwa model yang diusulkan tersebut memberikan nilai w/d yang jauh lebih besar
dari nilai yang diusulkan oleh Mainstone (1971) yang diadopsi dalam FEMA 356.
Untuk aspek rasio L/h=1, nilai w/d yang diusulkan stidak-tidaknya 2 kali lebih besar
dari nilai yang dianjurkan dalam FEMA 356, dimana w adalah lebar strut, d adalah
tebal dinding pengisi, L adalah jarak antar as kolom, dan h adalah tinggi kolom.
8
diidentitaskan sebagai komponen tegangan geser dinding. Menurut Das dan Murty
(2004) diformulasikan luas strut sebagai :
𝐴𝑒 = 𝑊𝑑𝑠. 𝑡 (2.1)
Dimana, rumus dari lebar strut diagonal menurut Das dan Murty (2004) ialah :
𝑊𝑑𝑠 = 0,75(𝜆. 𝐻)−0,4 . 𝑑 (2.2)
Selain formula dari Das dan Murty (2004) yang diadopsi menurut Mainstone (1971)
terdapat beberapa rumus pendekatan yang menghitung lebar strut diagonal antara
lain :
a. Paulay dan Priestley (1992)
d
Wds = (2.3)
4
c. Holmes (1961)
𝑑
𝑊𝑑𝑠 = (2.5)
3
9
menggunakan elemen satu dimensi berupa elemen join (joint element). (Asteris,
2008).
Menurut Mallick dan Severn (1967), Mallick dan Garg (1971) mereka
menyarankan pendekatan elemen hingga untuk menganalisis dinding pengisi
terlebih dahulu, mengidentifikasi permasalahan berdasarkan interaksi antara rangka
struktur dengan dinding pengisi. Dinding pengisi disimulasikan sebagai elemen
hingga persegi linear elastis, dengan memiliki 2 derajat kebebasan (DOF) di setiap
empat noda, sementara rangka struktur dimodel sebagai elemen balok (beam
element) dengan mengabaikan deformasi aksial yang terjadi. Hal ini merupakan
konsekuensi dari asumsi bahwa interaksi antara rangka struktur dengan dinding
pengisi secara konsisten hanya menerima gaya normal. Pada model ini gelincir
(slip) antara rangka struktur dengan dinding pengisi juga diperhitungkan,
menganggap bahwa gaya geser gesek (frictional shears forces) bekerja di bidang
kontaknya. Model ini diakui memberikan hasil yang sesuai dengan hasil
eksperimen di laboratorium apabila batasan rasio antara tinggi dengan lebar dari
dinding pengisi tidak lebih dari dua.
Digunakan tiga jenis tipe elemen untuk mempelajari perilaku pada
rangka dinding pengisi dengan memberikan beban yang konstan. Pertemuan antara
rangka struktur dan dinding pengisi dimodel menggunakan elemen batang
sederhana yang memiliki kemampuan mensimulasikan pemisahan (separation) dan
gelincir (slip). Panel dinding pengisi dimodel menggunakan elemen bidang
tegangan berbentuk segitiga. Ketika terjadi tarik, material berlaku ideal sebagai
bahan getas linear elastis. Sebelum terjadi keretakan, material diasumsikan sebagai
isotropik dan akhirnya setelah terjadi keretakan, material berubah menjadi
anisotropik. Diasumsikan bahwa saat terjadi retak secara terbuka, modulus
elastisitas (E) bekerja tegak lurus terhadap garis retak dan besar nilai modulus geser
(G) yang bekerja sejajar dengan garis retak adalah nol. Sedangkan saat terjadi retak
tertutup, modulus elastisitas (E) bekerja seperti semula dan gaya geser diasumsikan
bekerja sebagai gaya gesek. Saat terjadi tekan, dinding pengisi diasumsikan
menerima gaya secara non-linear. Walaupun sebelumnya material dianggap sebagai
komponen biaksial, namun tetap diasumsikan sebagai komponen uniaksial
10
berdasarkan hasil eksperimen yang menunjukan salah satu dari tegangan utama
yang jauh lebih kecil dari yang lain. (Liauw et.al.,1984; Asteris,2008)
Dalam memodel rangka dinding pengisi, elemen shell diguanakan dalam
memodel dinding pengisi dengan menambahkan komponen kontak sebagai
penghubung antara rangka struktur dan dinding pengisi. Komponen kontak tersebut
ialah elemen Gap, dimana elemen Gap merupakan elemen yang bersifat
penghubung (link) yang tersedia pada program permodelan, khususnya program
SAP2000. (Dorji Jigme, 2009)
Alasan dengan dipilihnya elemen Gap dibandingkan dengan jenis elemen
penghubung lainnya sesuai pada Gambar 2.5 ialah karena elemen Gap merupakan
komponen elemen yang lebih menggambarkan situasi sesuai dengan model rangka
dinding pengisi yaitu disimulasikannya jarak tertentu antara rangka struktur dengan
dinding pengisi. Berat elemen Gap diasumsikan bernilai nol.
Ditunjukkan pada Gambar 2.5 nilai i dan j merupakan titik ujung atau
simpul dari elemen Gap itu sendiri. Simpul atau titik ujung yang dimaskdu ialah
noda dari elemen frame maupun noda dari elemen shell dengan k diidentifikasikan
sebagai nilai kekakuan dari elemen Gap. Untuk nilai kekakuan efektif gap dapat
dipilih atau ditentukan berdasarkan pada Tabel 2.1 namun untuk nilai efektif
damping ditentukan sebesar 0,05 dan sama dengan nilai damping untuk struktur
beton.
11
Tabel 2.1 Kekakuan Gap (Kg) dalam N/mm.
Kekakuan Gap
Kekakuan Gap
Ei.t x 106 (Kg) dengan µ
(Kg) dengan µ = 0
(N/mm) =1
(N/mm)
(N/mm)
0,2 1600 4500
0,5 12500 23000
1,0 30000 50000
1,5 50000 70000
2,0 63000 107000
2,5 70000 120000
3,0 82000 130000
Sumber : Dorji Jigme (2009)
12
kekuatan dari material dinding pengisi yang berbeda-beda dengan perkiraan nilai
koefisien kontak gesek µ=0,5 sesuai yang ditunjukan pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Hubungan Kekakuan Elemen Gap (Kg) dan Kekakuan Dinding Pengisi (ki)
𝐾𝑖 = 𝐸𝑖. 𝑡 (2.9)
Dimana Ki merupakan kekakuan dari panel dinding pengisi, sedangkan Kg adalah
kekakuan dari elemen Gap dan Ei merupakan modulus elastisitas dari dinding
pengisi.
Analisis diulang sekali lagi menggunakan kekakuan elemen Gap yang
tercatat dalam persamaan𝐾𝑔=0,0378𝐾𝑖 + 347
(2.8. Kurva defleksi yang terjadi antara rangka dinding pengisi dengan rangka
13
terbuka dapat dibandingkan dalam Gambar 2.7, dimana rangka dinding pengisi
memiliki kekakuan yang lebih besar daripada rangka terbuka dengan memasukan
beban lateral.
Gambar 2.7 Defleksi antara Rangka Dinding Pengisi dengan Rangka Terbuka
Sumber : Dorji Jigme (2009)
14
Gambar 2.8 Jenis Tegangan Dasar Pada Elemen Shell
Sumber : CSI America (2007)
Tegangan internal pada elemen shell ditentukan dari sisi atas dan bawah.
Sisi atas dan bawah dari elemen shell ditentukan secara relatif berdasarkan sumbu
lokal 3. Sisi sumbu lokal positif 3 dianggap sisi atas dari elemen. Sehingga pada
Gambar 2.9 menunjukkan tegangan internal pada sisi atas elemen termasuk
tegangan pada titik A dan C dan tegangan internal pada sisi bawah termasuk
tegangan pada titik B dan D.
Distribusi yang
memungkinkan pada
tegangan S11 yang
bekerja pada elemen
shell.
Gambar 2.9 Sisi dan Titik Tegangan yang Bekerja pada Elemen Shell
16
Tegangan tekan ijin dinding pengisi sama dengan kuat tekan dinding
(f’m=5,11 MPa)
2.3 Keruntuhan Rangka Dinding Pengisi (Infilled Frame)
Menurut Asteris, et.al. (2011) berdasarkan beberapa eksperimen dan hasil
analisa yang berlangsung selama lima dekade terakhir (Thomas, 1953; Wood,1958;
Mainstone, 1962; Liauw dan Kwan, 1983; Mehrabi dan Shing, 1997) terdapat
beberapa moda kegagalan dalam rangka dinding pengisi masonry dan
diklasifikasikan ke dalam lima kategori utama yaitu :
The Corner Crushing (CC) mode, atau disebut sebagai keretakan di
daerah sudut pada dinding setidaknya salah satu dari setiap sudut
yang diberi beban. Moda ini terjadi akibat lemahnya panel dinding
pengisi dan dikelilingi oleh rangka struktur yang kuat dengan join
yang lemah pula.
The Diagonal Compression (DC) mode, atau disebut sebagai
keruntuhan tekan diagonal. Keruntuhan ini terjadi akibat tipisnya
ketebalan dinding pengisi mengakibatkan efek tekuk di luar bidang
dinding.
The Sliding Shear (SS) mode, atau disebut sebagai keruntuhan geser.
Hal tersebut terjadi akibat adanya gaya geser horizontal yang besar
dan meruntuhkan bata pengisi (bed joint) pada dinding. Kekuatan
mortar sebagai perekat antar bata yang lemah menjadi penyebab
utama moda ini bisa terjadi.
The Diagonal Cracking (DK) mode, atau disebut sebagai keruntuhan
di sekitar garis diagonal dinding yang mengalami gaya tekan dimana
akan berlanjut menjadi keruntuhan geser (SS mode). Hal ini
disebabkan oleh lemahnya rangka struktur atau lemahnya join pada
rangka namun dinding pengisi cenderung kuat.
The Frame Failure (FF) mode, atau disebut sebagai keruntuhan pada
rangka struktur dimana sendi penghubung antara kolom dan balok
pada rangka bersifat plastis. Keruntuhan ini disebabkan oleh
lemahnya rangka struktur beserta join penyusunnya disamping
kuatnya dinding pengisi.
17
Berikut merupakan ilustrasi yang menggambarkan moda-moda
keruntuhan pada rangka dinding pengisi yang ditampilkan pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Mode Keruntuhan Pada Rangka Dinding Pengisi (Infilled Frame)
dimana Mp adalah kapasitas momen plastis dari sudut pada rangka struktur, f’w
adalah gaya tekan pada dinding pengisi, tw merupakan ketebalan pada dinding
18
pengisi dan Lw adalah panjang dari panel dinding pengisi. Jika nilai Mp kurang
dari 1, makan keruntuhan yang terjadi ialah keruntuhan moda CC, DC, DK, dan FF.
Sedangkan keruntuhan SS terjadi jika nilai Mp lebih dari sama dengan 1. (Ghosh
and Made, 2002; Asteris et.al.,2011)
Berdasarkan hasil analisa metode elemen hingga dan termasuk elemen
penghubung dalam interaksi rangka struktur dengan dinding pengisi, Ghosh dan
Made (2002) mengkonfirmasi validasi dari perumusan dari Wood (1978) sesuai
8𝑀𝑝
yang ditunjukan pada Persamaan 𝑚= 𝑓′𝑤.𝑡𝑤.𝐿𝑤2
Gambar 2.13 Kurva Tegangan dan Regangan Umum Pada Tulangan (Rebar)
Untuk nilai ɛ ≤ ɛy, atau berada pada zona elastis, maka formula yang
digunakan untuk menghitung nilai tegangan (f) pada tulangan ialah :
𝑓 = 𝐸𝜀 (2.12)
Untuk nilai ɛy < ɛ ≤ ɛsh, atau berada pada zona plastis penuh, maka
formula yang digunakan untuk menghitung nilai tegangan (f) pada tulangan ialah :
21
𝑓 = 𝑓𝑦 (2.13)
Untuk nilai ɛsh < ɛ < ɛu, atau berada pada zona getas pada regangan (strain
hardening) terdapat dua formula yang digunakan ketika terjadi dua keadaan tertentu
yaitu :
Untuk kurva model sederhana,
ɛ−ɛ𝑠ℎ
𝑓 = 𝑓𝑦 + (𝑓𝑢 − 𝑓𝑦)√ (2.14)
ɛ𝑢−ɛ𝑠ℎ
Dimana,
𝑟 = ɛ𝑢 − ɛ𝑠ℎ (2.16)
𝑓𝑢
(𝑓𝑦)(30𝑟+1)2 −60𝑟−1
𝑚= (2.17)
15𝑟 2
22
Kurva parameter regangan dan tegangan beton sederhana ditentukan oleh
beberapa persamaan yaitu :
Untuk ɛ ≤ ɛ’c, atau berada pada zona/ garis parabola, maka
persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai tegangan (f)
ialah :
ɛ ɛ 2
𝑓 = 𝑓′𝑐 {2 ( ) − ( ) } (2.18)
ɛ′𝑐 ɛ′𝑐
Untuk ɛ’c < ɛ < ɛu, atau berada pada zona/ garis linear, maka
persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai tegangan (f)
ialah :
ɛ−ɛ′𝑐
𝑓 = 𝑓 ′ 𝑐 {1 − 0,2 ( )} (2.19)
ɛ𝑢−ɛ′𝑐
Gambar 2.16 Kurva Parameter Tegangan dan Regangan Pada Beton Tak Terkekang
(Unconfined Concrete)
Sumber : CSI America (2007)
Untuk ɛ ≤ 2ɛ’c, atau berada pada garis lengkung (curved), maka persamaan
yang digunakan untuk menentukan nilai tegangan (f) ialah :
23
𝑓′ 𝑐.𝑥.𝑟
𝑓= (2.20)
𝑟−1+𝑥 𝑟
Untuk 2 ɛ’c < ɛ < ɛu, atau berada pada garis linear, maka persamaan yang
digunakan untuk menentukan nilai tegangan (f) ialah :
2𝑓′ 𝑐.𝑟 ɛ𝑢−ɛ
𝑓=( )( ) (2.21)
𝑟−1+2𝑟 ɛ𝑢−2ɛ′𝑐
Dimana,
ɛ
𝑥= (2.22)
ɛ′𝑐
𝐸
𝑟= 𝑓′𝑐 (2.23)
𝐸−
ɛ′𝑐
Dengan nilai modulus elastisitas beton (Ec) ditentukan dengan dua kondisi
berdasarkan SNI 03-2847-2002 yaitu :
Untuk nilai wc diantara 1500 kg/m3 dan 2500 kg/m3, nilai modulus
elastisitas beton (Ec) yang digunakan ialah :
𝐸𝑐 = 𝑤𝑐1,5 . 0,043. √𝑓′𝑐 (2.24)
Gambar 2.17 Hubungan Parameter Tegangan dan Regangan Pada Dinding Bata
Persamaan pada bagian lengkung (parabolic variation) atau (f’m ≤ 0,9f’m) ialah :
𝑓𝑚 𝜀𝑚 𝜀𝑚 2
=2 −( ) (2.26)
𝑓′𝑚 𝜀′𝑚 𝜀′𝑚
Persamaan pada bagian lurus (linear variation) atau (0,9f’m < fm ≤ 0,2f’m) ialah :
Untuk mortar tanpa kapur (ɛm@0,9f’m < ɛm < 2ɛ’m) digunakan :
𝑓𝑚−0,9𝑓′𝑚 𝜀𝑚 −ɛ𝑚@0,9𝑓’𝑚
= (2.27)
0,2𝑓′ 𝑚−0,9𝑓′𝑚 2𝜀′𝑚 −ɛ𝑚@0,9𝑓’𝑚
Dengan,
𝑓′ 𝑚
𝜀′𝑚 = 𝐶𝑗 (2.29)
𝐸𝑚0,7
0,27
𝐶𝑗 = (2.30)
𝑓𝑗 0,25
25
Dimana nilai Cj merupakan nilai faktor dari kuat tekan mortar, nilai fj ialah kuat
tekan mortar (MPa), nilai fm adalah tegangan pada dinding bata (MPa), nilai f’m
kuat tekan pada dinding bata (MPa) dan 𝜀′𝑚 ialah nilai regangan pada dinding bata
ketika mencapai f’m. Nilai 𝜀𝑚 sendiri merupakan nilai regangan dinding bata dan
nilai Em ialah modulus elastisitas pada dinding bata. Untuk nilai ɛ𝑚@0,9𝑓’𝑚 ialah
nilai regangan pasangan dinding bata saat mencapai 0,9f’m. (Hemant et.al., 2007)
2.4.5 Kurva Parameter Tegangan dan Regangan Pada Bata Masonry
Menurut Hendry et.al. (2004) bata masonry secara umum dinyatakan
sebagai material linear-elastis, walaupun dalam test mengindikasi bahwa hubungan
tegangan dan regangannya diperkirakan berbentuk parabola sesuai pada Gambar
2.18. Pada kondisi tertentu, tegangan pada bata masonry bergantung pada beban
ultimate, dan oleh karenanya asumsi kurva tegangan-regangan yang berbentuk
linear bisa diterima untuk perhitungan deformasi struktural. Didapat formula yang
digunakan untuk menentukan nilai modulus elastisitas bata masonry yaitu :
𝐸 = 700. 𝜎′𝑐 (2.31)
Dimana nilai 𝜎′𝑐 ialah kuat runtuh pada bata masonry. Nilai tersebut dapat
mewakili hingga 75% dari kekuatan ultimate. Untuk menentukan deformasi jangka
panjang, penurunan nilai E sangat dibutuhkan pada zona setengah hingga sepertiga
dari kurva.
Gambar 2.18 Kurva Parameter Tegangan dan Regangan Pada Bata Masonry
Sumber : Hendry et.al. (2004)
26
2.5 Analisis Kinerja Struktur
Dalam meneliti dan memodel struktur rangka dinding pengisi bata
bertulang harus menghasilkan hasil akhir yang sesuai dengan perencanaan tahan
gempa berbasis kinerja (performance-based seismic design) yang merupakan
proses yang didapat untuk perencanaan bangunan baru maupun perkuatan
(upgrade) bangunan yang sudah ada, dengan pemahaman yang realistic terhadap
resiko keselamatan jiwa (life safety), kesiapan untuk dihuni setelah kejadian gempa
(occupancy) dan kerugian harta benda (economic loss) yang mungkin terjadi akibat
gempa. Proses perencanaan tahan gempa berbasis kinerja dimulai dengan membuat
model rencana bangunan kemudian melakukan simulasi kinerjanya terhadap
berbagai kejadian gempa. Setiap simulasi memberikan informasi tingkat kerusakan
(level of damage), ketahanan struktur, sehingga dapat memperkirakan berapa besar
resikonya terhadap keselamatan jiwa, kesiapa dihuni dan kerugian harta benda.
NEHRP dan FEMA 273 (2000) sebagai acuan klasik dalam perencanaan
berbasis kinerja, membuat model level kinerja struktur pasca gempa. Operational
(O) yaitu tidak adak kerusakan berarti pada struktur dan non-struktur, Immediate
Occupancy (IO) yaitu tidak ada kerusakan yang berarti pada struktur, dimana
kekuatan dan kekakuannya kira-kira hamper sama dengan kondisi sebelum gempa,
Life-Safety (LS) yaitu terjadi kerusakan komponen struktur, kekakuan berkurang,
tetapi masih mempunyai ambang yang cukup terhadap keruntuhan dan tidak
menimbulkan korban jiwa. Komponen non struktur masih ada tetapi tidak berfungsi
lagi dan baru dapat dipakai lagi jika sudah dilakukan perbaikan. Collapse
Prevention (CP) yaitu kerusakan yang berarti pada komponen struktur dan non
struktur. Kekuatan struktur dan kekakuannya berkurang banyak, dan dikatakan
hampir runtuh. Kecelakaan akibat kejatuhan material bangunan yang rusak sangat
mungkin terjadi.
Dijelaskan kualitatif level kinerja (performance levels) FEMA 273 yang
digambarkan bersama dengan suatu kurva hubungan gaya dan perpindahan yang
menunjukkan perilaku struktur secara menyeluruh (global) terhadap beban lateral.
Kurva hasil analisis static non-linier khusus yang dikenal sebagai analisis pushover,
dan disebut sebagai kurva pushover.
27
Gambar 2.19 Kurva Analisa Pushover (FEMA 273)
28
tambahan tulangan baja yang berfungsi secara komposit untuk menahan gaya tekan,
gaya tarik maupun gaya geser yang terjadi pada struktur bangunan.
2.6.2 Material
Menurut Robert et.al. (1986) dalam acuannya pada BS 5628:1985
menyatakan bahwa kekuatan karakteristik secara minimum yang dibutuhkan
dinding untuk menahan kuat tekan ialah 7 N/mm2. Untuk memenuhi kuat tekan
yang disyaratkan maka diperlukan material yang mumpuni dengan spesifikasi-
spesifikasi teknis yang telah tersedia.
Bata Pengisi
Berupa bata/batako ataupun bata berlubang dengan jenis
lubangan yang bervariasi. Menurut Robert et.al. (1986) terdapat
penggunaan bata hollow dari ukuran 440 x 215 x 215 mm, hingga
berukuran 390 x 190 x 190 mm sesuai dengan kaidah pada BS
5628:1985 pada pembuatan reinforced masonry wall. Mosele et.al.
(2008) dalam penelitiannya yaitu Developing Innovative Systems
for Reinforced Masonry Walls menggunakan bata tanah liat
berlubang besar (large hollow clay units), menurutnya penggunaan
bata jenis ini bisa memperkuat kapasitas dinding dan mempererat
ikatan antara beton pengisi pada bata dengan material bata itu
sendiri melalui komposisi beton yang lebih banyak.
Besi Tulangan
Menurut Robert et.al. (1986) dalam rujukannya terhadap
BS 5628:1985 digunakan tulangan besi dengan standarisasi yang
29
telah ditentukan. Berikut daftar ukuran besi tulangan yang tersedia
sesuai dengan pabrikasi British Standard.
Berikut pula daftar luasan per meter lebar yang terhitung jika
dipasang besi tulangan dengan jarak tertentu dengan ukuran besi
tulangan yang ditentukan sesuai pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Luasan Sesuai Jarak Tulangan dalam mm2 per meter lebar (BS 5628:1985)
30
Gambar 2.21 Tipe Pemasangan Tulangan Bed Joint
Sumber : British Standard BS 5628:1985
Tabel 2.4 Kaidah Pemasangan Tulangan Bed Joint Tipe Pertama (BS 5628:1985)
Tabel 2.5 Kaidah Pemasangan Tulangan Bed Joint Tipe Kedua (BS 5628:1985)
31
Pada tipe ketiga terdiri dari tulangan yang disusun secara
paralel menyerupai bentuk tangga sederhana, dengan tulangan
utama berukuran 3,58 mm, sedangkan tulangan melintang
berukuran 2,5 mm.
Tabel 2.6 Kaidah Pemasangan Tulangan Bed Joint Tipe Ketiga (BS 5628:1985)
Mortar Semen
Mortar semen merupakan campuran antara semen, pasir beserta air
yang dicampur merata hingga berbentuk seperti lumpur. Mortar
berfungsi sebagai pengikat antar bata dalam dinding pengisi
maupun pengikat antara dinding pengisi dengan rangka struktur.
Menurut kaidah BS 5628 dan BS 5390 merekomendasikan teknis
mencampur dan menggunakan mortar. Proporsi campuran
mempengaruhi kuat tekan pada mortar tersebut. Berikut
rekomendasi proporsi penggunaan mortar secara umum.
32
Gambar 2.22 Metode Pemasangan Tulangan pada Dinding Bata
Sumber : Hendry et.al. (2004)
Berdasarkan pada Gambar 2.22, Tipe A(i) sangat cocok digunakan pada
dinding bata bertulang yang ringan ketika tulangan diletakkan pada bed joint untuk
meningkatkan kekuatan dinding dalam menahan gaya lateral. Tipe A(ii) sangat
pantas digunakan untuk mengontrol dinding dari gaya gempa maupun beban yang
tak terduga (accidental damage). Sedangkan Tipe B(i) dan (ii) spasi untuk
penulangan lebih besar dan diisi dengan agregat beton yang kecil.
a. Hubungan Tegangan dan Regangan
Hubungan tegangan dan regangan pada bata masonry yang telah
ditampilkan pada Gambar 2.18 serta diperkirakan berbentuk parabola sebelumnya,
selanjutnya dibentuk menjadi sederhana membentuk garis linear dengan nilai
tegangan bernilai konstan dan sama dengan fk / ymm dikarenakan kombinasi
komposit antara kedua material tersebut.
Gambar 2.23 Kurva Parameter Tegangan dan Regangan Reinforced Masonry Wall
Sumber : Hendry et.al. (2004)
33
b. Perilaku Struktur
Beban Lateral.
Menurut U.S. Army Corps of Engineers (1992) hampir semua
dinding pengisi masonry didesain secara vertikal dan
menyalurkan beban lateral kea tap, lantai ataupun pondasi.
Biasanya dinding didesain sebagai balok sederhana memanjang
di antara struktur utama. Bekerja sebagai balok sederhana
walaupun dengan tulangan, dibutuhkan untuk mengendalikan
keretakan lentur secara horizontal atau untuk menyediakan
penghubung secara berkelanjutan dalam jangka waktu tertentu.
Pada keadaan tertentu ketika sistem pilar tersedia, dinding
masonry didesain membentang secara horizontal di antara pilar-
pilar tersebut untuk selanjutnya membentang secara vertikal
untuk menyalurkan beban lateral ke elemen struktur horizontal
yang berada di atas maupun di bawahnya.
Beban Aksial
Beban diterima oleh dinding dari atap, lantai, ataupun balok dan
ditransfer kembali secara aksial ke pondasi. Ketika resultan gaya
aksial adalah gaya tarik dari gaya angkat angin (wind uplift
loadings), mortar tidak akan bekerja untuk melawan gaya
tersebut. Namun tulangan yang telah mumpunilah yang akan
mengikat sisi atas dinding dengan balok struktur dan sisi bawah
dinding dengan pondasi. Jika resultan gaya vertikal yang bekerja
pada dinding tidak berpusat pada titik tengah dinding, maka
dikatakan gaya tersebut tidak konsentris. Hal itu bisa terjadi
akibat adanya momen tambahan akibat rotasi pada lantai ataupun
elemen atap yang terikat dengan dinding. Beban aksial bekerja
pada dinding dengan dua macam beban yaitu :
1. Uniform Loads
Uniform loads atau beban seragam bekerja pada dinding
sebagai beban garis, memberikan tegangan disepanjang bentang
dinding secara linear.
34
2. Concentrated Loads
Ketika beban terpusat tidak bekerja pada elemen struktural
seperti kolom, maka beban tersebut akan tersalurkan ke
sepanjang bentang dinding dengan besaran sama dengan
lebar bentang ditambah empat kali ketebalan dinding.
Beban Kombinasi
Efek dari kombinasi beban lateral dan aksial bisa diasumsikan
bekerja menurut interaksi persamaan linear atau mungkin
dikombinasikan dengan menggunakan metoda lain yang sesuai
dengan kaidah rekayasa konstruksi.
c. Persamaan dalam Desain Reinforced Masonry Wall
Persamaan yang digunakan dalam mendesain dinding ini ditunjukan untuk
menghitung gaya lentur maupun gaya aksial pada dinding. Beban lateral seperti
beban angin maupun beban gempa akan diaplikasikan secara internal maupun
eksternal pada semua eksterior dinding. Terdapat dua kondisi dimana besar momen
ketika menerima beban angin dan besar momen ketika menerima beban aksial
eksentris dimasukan dalam perhitungan, sedangkan kondisi selanjutnya tidak
diperhitungkan sesuai pada Gambar 2.24 Diagram Pada Dinding Reinforced
Masonry, dengan (a) Beban Angin dan Momen Aksial Eksentris diperhitungkan,
(b) Beban Angin dan Momen Aksial Eksentris tidak diperhitungkan.
1) Persamaan Lentur
Reaksi horizontal di sisi bawah dinding akibat efek kombinasi beban
eksentris dan beban lateral disimbolkan Ra dan ditentukan dengan formula sebagai
berikut :
𝑤.ℎ 𝑃.𝑒 𝑙𝑏
𝑅𝑎 = ± (𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 ) (2.32)
2 12ℎ 𝑓𝑡
Dimana P merupakan beban aksial dalam satuan pound per ft panjang dinding, e
merupakan jarak dari as dinding menuju titik P, dalam inchi. Nilai h merupakan
tinggi dinding dalam ft, sedangkan w merupakan beban lateral pada dinding dalam
satuan psf.
35
(a)
(b)
Momen yang berada pada jarak x dari sisi bawah dinding merupakan nilai Mx yang
ditentukan dengan rumus :
𝑤.𝑥 2
𝑀𝑥 = 𝑅𝑎 𝑥 − (2.33)
2
Persamaan
m Mx bisa disederhanakan menjadi :
𝑃.𝑒 𝑤(ℎ−𝑥)
b 𝑀𝑥 = 𝑥 [ + ] (2.35)
12ℎ 2
a
Ketika jarak spasi antar tulangan (Sx) diperhitungkan, maka persamaannya akan
h
menjadi :
𝑆𝑥 𝑃.𝑒 𝑤(ℎ−𝑥)
𝑀𝑥 = [ + ] (2.36)
d 12 12ℎ 2
a)
e Ketika w = 0 dan nilai P eksentris, nilai momen lentur maksimum pada sisi atas
pada
n dinding ketika x = h maka persamaannya menjadi :
g
a 36
n
p
𝑆.𝑃.𝑒
𝑀𝑚𝑎𝑥 = (2.37)
(12)(12)
(2.34, lokasi x ketika momen maksimum terjadi bisa ditentukan dengan rumus :
𝑑𝑀𝑥 𝑤.ℎ 𝑃𝑒
= + −𝑥 =0 (2.39)
𝑑𝑥 2 12ℎ
Sehingga nilai x,
ℎ 𝑃𝑒
𝑥= + (2.40)
2 12𝑤.ℎ
Perlu ditegaskan kembali bahwa momen maksimum akan terjadi jika momen akibat
beban aksial eksentris dan momen akibat beban lateral diperhitungkan. Dengan
ℎ 𝑃𝑒
melakukan subtitusi persamaan 𝑥= +
2 12𝑤.ℎ
𝑤.𝑥 2
(2.40 ke dalam persamaan𝑀𝑥=𝑅𝑎 𝑥 −
2
(2.33, nilai momen maksimum per panjang dinding sama dengan jarak spasi
tulangan S dapat ditentukan dengan :
𝑆(𝑅𝑎 )2
𝑀𝑚𝑎𝑥 = (2.41)
2𝑤
Persamaan yang telah ditentukan di atas bisa digunakan pula pada kondisi dimana
momen akibat beban lateral dan momen akibat beban lateral eksentris tidak
diperhitungkan.
2) Persamaan Tekan Aksial
Tegangan aksial di ketinggian h pada dinding ditentukan dengan
persamaan sebagai berikut :
𝑃+𝑤2 (ℎ−𝑥)
𝑓𝑎 = (2.42)
𝐴𝑒
Dimana w2 adalah berat dinding dalam satuan psf, nilai Ae merupakan luasan efektif
pada dinding dalam satuan in2/ft.
37
a) Ketika x = h (sisi atas dinding), tidak ada beban dinding dan persamaannya
menjadi :
𝑃
𝑓𝑎 = (2.43)
𝐴𝑒
3) Tegangan Kombinasi
a) Pada dinding menerima beban aksial tekan dan tegangan lentur, dinding
masonry akan didesain menurut persamaan interaksi yaitu :
𝑓 𝑓𝑏 𝑓 𝑀𝑥
[𝑎+ ] 𝑜𝑟 [ 𝑎 + ] ≤ 1,0 (2.45)
𝐹𝑎 𝐹𝑏 𝐹𝑎 𝑀𝑟𝑚
Sejak 33% overstress diijinkan ketika beban angin ataupun beban seismik
d
i
p 𝑓 𝑓𝑏 𝑓 𝑀𝑥
[𝑎+ ] 𝑜𝑟 [ 𝑎 + ] ≤ 1,33 (2.46)
𝐹𝑎 𝐹𝑏 𝐹𝑎 𝑀𝑟𝑚
e
b) Dinding yang menerima beban kombinasi aksial dan lentur, tulangannya didesain
r
menggunakan persamaan interaksi sebagai berikut :
h
𝑀𝑥 𝑓
i − 𝑎 ≤ 1,0 (2.47)
𝑀𝑟𝑠 𝐹𝑎
tDengan 33% overstress diijinkan ketika beban angin atau beban seismic
udiperhitungkan, tegangan ijin dan momen resisten (resisting moment) pada
npersamaan di atas akan membesar 33% atau persamaan interaksinya akan menjadi
gseperti berikut :
k 𝑀𝑥 𝑓𝑎
− ≤ 1,33 (2.48)
𝑀𝑟𝑠 𝐹𝑎
a
4)
n Persamaan Geser
, Tegangan geser yang terjadi pada sisi bawah dinding ditentukan oleh
persamaan berikut :
𝑅𝑎
t 𝑃𝑣 = (2.49)
𝑏𝑤 .𝑑
e
g
a
n 38
g
a
n
Dimana bw ialah lebar efektif dinding masonry ketika menerima gaya geser keluar
garis bidang (out-of-plane). Sedangkan nilai d adalah ketebalan efektif pada dinding
masonry. (U.S. Army Corps Engineers, 1992)
d. Efek P-Delta
Efek P-Delta merupakan penambahan nilai momen dan defleksi yang
dihasilkan dari perpindahan pada setengah tinggi sisi dinding (akibat dari beban
lateral dan beban eksentris) oleh total beban aksial, P di titik atas dinding dan berat
dari setengah sisi atas dinding. Ketika rasio tinggi dan nominal tebal dinding kurang
dari 24, Efek P-Delta akan kecil dan bisa diabaikan. Untuk dinding dengan rasio
tinggi dan tebal nya lebih dari 24, maka defleksi pada setengah tinggi dinding, Δs,
bisa diperhitungkan dengan rumus :
Ketika Mmid < Mcr maka,
(5)(𝑀𝑚𝑖𝑑)(ℎ2 )(144)
∆𝑠 = (2.50)
48𝐸𝑚 𝐼𝑔
Dimana nilai Mmid ialah momen di setengah tinggi panel dinding termasuk efek P-
Delta dalam inch-pound, nilai Em ialah modulus elastisitas psi = 1000 f’m,
sedangkan nilai Ig merupakan momen inersia kotor pada penampang melintang
dinding, Icr ialah momen inersia retak pada penampang melintang dinding, Mcr
ialah momen retak pada dinding masonry, dan untuk nilai Mrm adalah momen
resisten ijin (allowable resisting moment) pada dinding masonry. (U.S. Army Corps
Engineers, 1992).
2.6.4 Desain Mikro Reinforced Masonry Wall
Menurut Mavros (2015) Permodelan dengan elemen hingga dalam
perhitungannya menggunakan program komputer telah berkembang secara pesat
yang bertujuan untuk melakukan simulasi perilaku non-linear pada dinding
reinforced masonry dan beton bertulang. Skema permodelannya mengadopsi
pendekatan mengenai keretakan, yang dimodel dalam elemen shell serta elemen
kontak (interface) untuk menggambarkan perilaku dinding dan beton. Tulangan
39
dimodel menggunakan elemen rangka batang dengan konsep material yang bersifat
uniaksial dan menggambarkan perilaku tulangan yang inelastis dalam beban yang
bekerja secara berulang. Elemen penghubung yang unik dengan konsep material
yang mumpuni telah dikembangkan untuk menggambarkan interaksi tulangan
dengan dinding atau beton yang menyelimutinya.
Perilaku struktur dinding reinforced masonry dan beton bertulang dalam
menerima gaya gempa tentu sangat kompleks, mengevaluasi kekuatan seismiknya
secara mendetail merupakan pekerjaan yang menantang. Model elemen hingga
yang baik ialah struktur dinding pengisi dimodel secara tiga dimensi dan mampu
menggambarkan komponen retak geser diagonal, leleh lentur, dan gaya geser
horizontal secara tepat dengan penampang persegi bahkan dengan fenomena bond-
slip dan dowel action. Dalam memodel struktur dinding reinforced masonry wall
maka diperlukan elemen ataupun komponen yang mendukung untuk
menggambarkan perilaku dinding secara eksplisit sesuai dengan situasi yang
sesungguhnya.
a) Elemen Rangka Batang (Truss Element)
Besi tulangan pada dinding masonry dan struktur rangka beton
bertulang adalah hal yang sangat penting dan mampu
memberikan efek secara signifikan kepada struktur tersebut dan
perilakunya harus digambarkan secara akurat. Komponen atau
elemen yang dapat bekerja secara aksial maupun lentur untuk besi
tulangan adalah elemen penampang balok berserat (fiber-section
beam element). Setiap seratnya bersifat non-linear uniaksial yang
menggambarkan perilaku besi itu sendiri. Elemen rangka batang
memiliki satu serat berseberangan dengan elemen balok yang
memiliki beberapa serat untuk menahan perilaku lentur. Maka
dari itu elemen rangka batang secara permodelan tidak
menggunakan elemen balok, dan tentu digunakan ketika
kegagalan pada struktural terjadi karena perilaku lentur pada
tulangan. (Mavros, 2015)
b) Elemen Shell
40
Penggunaan elemen shell dalam permodelan ditentukan untuk
menggambarkan perilaku struktur ketika dinding menerima gaya
yang bekerja pada bidang (in-plane) ataupun gaya yang diluar
atau tegak lurus dengan bidang (out-of-plane). Elemen shell
dimodel secara berlapis dengan beberapa layer di sepanjang
ketebalannya.
c) Elemen Kontak Retak Kohesif (Cohesive Crack Interface)
Elemen ini digunakan dalam model untuk melokalisasi perilaku
retak yang terjadi pada tegangan di dalam maupun di luar bidang
(in or out-of plane). Elemen ini diformulasikan oleh
Koutromanos (2015) untuk menganalisis elemen shell. Kontak
tersebut bisa digambarkan sebagai daerah kinematis yang
mengalami keretakan secara tiga dimensi dan tentu bertujuan
untuk menangkap perilaku beton bertulang dan dinding masonry
yang menerima beban multi-aksial secara berulang.
41
1. Konsep Bond-Slip
Konsep bond-slip ditunjukkan oleh Murcia and Shing
(2014) dan diadopsi pada model ini untuk menggambarkan
hubungan tegangan dan regangan arah tengensial pada elemen
kontak. Bond-slip merupakan tergelincirnya tulangan lepas dari
ikatan sesungguhnya dengan beton ataupun material lain. Ikatan
42
pada tulangan mengalami degradasi diakibatkan oleh tulangan
yang cenderung mengalami gaya tarik, ataupun tulangan yang
terkelincir sedikit demi sedikit secara berulang. Terdapat tiga
parameter yaitu peak bond strength (τmax) yaitu kuat ikatan
puncak, gaya gelincir ketika mencapai peak bond strength (Speak)
dan jarak bersih antar tulangan (SR). Dimana rumus untuk setiap
parameternya yaitu :
𝑓′𝑐 0,75
𝜏𝑚𝑎𝑥 = 2,4 ( ) (2.52)
5,0
𝑆𝑅 = 0,5𝑑𝑏 (2.54)
Dimana nilai db merupakan diameter pada tulangan.
2. Konsep Dowel Action
Dowel action merupakan kapasitas dari besi tulangan untuk
menyalurkan gaya geser paralel terhadap sumbu retak geser
ketika ada pergerakan antara dua sisi retak tersebut. Jika besi
tulangan dibungkus oleh beton yang mumpuni maka perilaku
mekanisme dowel action untuk deformasi yang kecil disebabkan
oleh kapasitas lentur dari tulangan dan kuat lentur pada beton.
Untuk deformasi yang besar, beban aksial pada tulangan bekerja
secara paralel terhadap garis retak yang menyebabkan kapasitas
dowel action yang besar.
Menurut Mavros (2015) estimasi nilai kapasitas dari dowel
tersebut ditentukan dalam rumus :
𝐹𝑦 = √2𝑀𝑝𝑙. 𝑑𝑏. 𝑓𝑐𝑏 (2.55)
𝛼
𝑓𝑐𝑏 = 𝑓′𝑐1,2 (2.56)
𝑑𝑏
𝛼 = 2. 𝑑𝑏 + 0,5 (2.57)
𝑓𝑦.𝑑𝑏3
𝑀𝑝𝑙 = (2.58)
6
Dimana nilai fcb adalah kuat lentur pada beton dan Mpl adalah
momen plastis pada besi tulangan.
43
2.7 Penelitian Rangka Dinding Pengisi
Penelitian mengenai rangka dinding pengisi banyak dilakukan dan masih
tetap dilakukan hingga saat ini dikarenakan perilaku dinding pengisi terhadap
kinerja struktur secara keseluruhan sangat menarik untuk diteliti dan untuk
mendapatkan permodelan yang relevan dengan perilaku dinding pengisi pada
kenyataannya di lapangan.
Kakaletsis dan Karayannis (2009) melakukan penelitian laboratorium
mengenia perilaku struktur rangka dinding pengisi dengan bukaan. Dalam
penelitiannnya, terdapat 10 model yang diuji dimana berupa rangka tanpa dinding
pengisi (bare frame), struktur rangka dengan dinding solid, dan struktur rangka
dinding pengisi dengan bukaan. Pada penelitian ini dilakukan kajian lebih
mendalam terhadap model struktur rangka tanpa dinding pengisi (bare frame) dan
struktur rangka dengan dinding solid sesuai kebutuhan terhadap acuan bagi
permodelan untuk menggambarkan secara lebih dekat terhadap perilaku struktur
rangka dengan dinding bata bertulang.
Gambar 2.29 Model Struktur Rangka Beton Bertulang Pada Eksperimen Kakaletsis dan
Karayannis (2009).
Tabel 2.8 Sifat Material pada Eksperiman Kakaletsis dan Karayannis (2009)
44
Pasangan Bata
Kuat leleh/ tarik runtuh transversal baja fy/fu 212,2 MPa/321,07 MPa
45
Gambar 2.30 Hubungan antara lateral load dan lateral displacement beserta pola
kegagalan model bare frame (atas) dan model dinding solid (bawah)
46
3 BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Umum
Diperlukan metode yang tepat agar tujuan serta sasaran dari suatu
penelitian mendekati hasil yang diharapkan atau bahkan tepat sesuai dengan hasil
yang direncanakan. Dipertimbangkan segala faktor yang mempengaruhi jalannya
penelitian seperti waktu dan biaya sehingga penelitian tersebut berjalan tepat, padat
dan efisien. Berawal dari permasalahan yang timbul di lapangan serta dampak-
dampak yang cukup merugikan di kehidupan masyarakat, maka digagaslah suatu
ide disertai dengan dukungan berbagai literatur sebagai pedoman atau teori agar
realisasi dari ide tersebut mendekati dengan apa yang telah diharapkan. Studi
literatur mencakup segala usaha yang diperlukan untuk mengumpulkan berbagai
teori maupun acuan tertentu sehingga penelitian yang akan dilakukan sesuai dengan
teori yang terkait, khususnya dalam pelaksanaan prosedur kerja. Mengingat akan
pentingnya dilakukan studi literatur, maka disarankan agar tinjauan pustaka
didukung oleh banyak referensi. Referensi yang diambil bisa berupa buku, jurnal,
skripsi maupun tesis yang didapat dari internet, perpustakaan, maupun
laboratorium. Berdasarkan referensi yang telah dikaji serta hasil-hasil eksperimen
yang mendukung, maka metode yang digunakan pada penelitian ini ialah metode
strut diagonal dan Metode Elemen Hingga (MEH) yang sudah diuraikan secara
mendetail di Bab II.
Dari beberapa referensi yang didapatkan, yang digunakan sebagai rujukan
ialah penelitian yang dilakukan oleh Kakaletsis dan Karayannis (2009) tentang
eksperimen struktur reinforced masonry terhadap performa seismik di
laboratorium. Hasil analisis yang diharapkan dapat mendekati hasil pengujian di
laboratorium tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku struktur
47
dinding pengisi bata bertulang dengan menggunakan permodelan layered shell
element pada program SAP2000.
3.2 Penentuan Desain Struktur
Penelitian dilakukan sesuai dengan spesifikasi eksperimen yang
ditunjukan pada Kakaletsis dan Karayannis (2009) merupakan struktur rangka
beton bertulang portal satu tingkat. Berikut rincian desain untuk struktur rangka
terbuka (bare frame) dari eksperimen tersebut, beserta model rangka dinding
pengisi tanpa tulangan, dan rangka dinding pengisi bata bertulang.
48
Gambar 3.2 Potongan Balok Rangka
Gambar 3.3 Potongan Balok Dasar dan Kolom
49
Gambar 3.5 Dimensi Bata Ringan
Gambar 3.6 Model Rangka Dinding Pengisi Tanpa Tulangan (M2)
50
Gambar 3.7 Model Rangka Dinding Pengisi Bata Bertulang (M3)
3.2.1 Data Material Struktur Rangka
Data material struktur rangka sesuai dengan eksperimen di laboratorium
merupakan struktur rangka beton bertulang, dengan mutu beton (f’c) sebesar 28,51
MPa. Modulus elastisitas (E) dihitung dengan rumus :
𝐸𝑐 = 𝑤𝑐1,5 . 0,043. √𝑓 ′ 𝑐
35
30
25
Tegangan (MPa)
20
15
10
0
0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005
Regangan
51
3.2.2 Data Material Dinding
Dalam penelitian ini, digunakan mutu dari dinding pengisi (f’m) sebesar
5,11 MPa, modulus elastisitasnya (Em) sebesar 670,30 MPa, dan modulus gesernya
(G) sebesar 259, 39 MPa disesuaikan pada data eksperimen di laboratorium.
Sehingga diperoleh grafik hubungan antara tegangan dan regangan pada material
dinding yaitu :
5
Tegangan (MPa)
0
0 0.004 0.008 0.012 0.016 0.02
Regangan
52
lateral berdasarkan grafik hubungan lateral load dan lateral displacement
envelopes. Nilai beban lateral awal digunakan sebesar 10 kN sampai
mencapai beban lateral puncak sesuai pada grafik sebagai berikut :
53
perbandingan antara tegangan yang terjadi dan tegangan puncak, yang dituliskan
dalam persamaan sebagai berikut :
P f
= (3.1)
Pmax f′
Dari persamaan di atas maka didapatkan nilai tegangan pada setiap beban
lateral yang dikenakan. Setelah didapatkan nilai tegangan, dengan menggunakan
𝑓′ 𝑐.𝑥.𝑟
persamaan 𝑓= (2.20
𝑟−1+𝑥 𝑟
Hasil dari Modulus Secant (Esi) untuk Model M2 disajikan pada Tabel 3.1
Penurunan Modulus Secant (Esi) pada material beton dan dinding Model M2
Tabel 3.1 Penurunan Modulus Secant (Esi) pada material beton dan dinding Model M2
Selain Modulus Secant (Esi) terjadi pula penurunan momen inersia (I)
pada elemen struktur kolom dan balok. Momen inersia (I) mulai berkurang saat
54
elemen struktur mulai mengalami keretakan. Selanjutnya penurunan terjadi secara
teratur setiap menaikkan beban lateral yang terjadi hingga batas nilai koefisien
sesuai peraturan beton SNI 2847-2013, dimana untuk balok adalah 0,35 dan untuk
kolom 0,7 terlampir dalam lampiran B. Koefisien momen inersia untuk setiap
kenaikan beban lateral pada Model M2 disajikan pada
Tabel 3.2 Koefisien penurunan momen inersia elemen struktur pada Model M2
55
3.5 Kerangka Penelitian
Mulai
Cek Desain
Tidak OK
OK
Analisis Pushover
Selesai
3.6 Uraian
Bagan alir analisis pada kerangka penelitian 6.1 dapat diuraikan
sebagai berikut.
56
1. Mendefinisikan dan memasukkan data struktur pada program
SAP2000 yang meliputi modulus elastisitas beton (Ec), kuat
tekan beton (f’c), modulus elastisitas baja (Es), tegangan leleh
baja tulangan (fy), tegangan putus baja tulangan (fu), estimasi
dimensi struktur (dimensi balok, dan kolom), dan beban vertikal
(gravitasi) serta beban horizontal (beban gempa). Pembebanan
gempa dilakukan dengan metode autoload menggunakan
peraturan IBC 2009.
2. Melakukan pemodelan dengan membuat tiga buah model, yaitu
model struktur rangka terbuka, model struktur dinding pengisi
tanpa tulangan (unreinforced masonry wall), dan model struktur
rangka dinding pengisi bata bertulang (infilled frame).
3. Kontrol kekuatan dan kekakuan elemen struktur dengan
mengecek terjadinya overstressed pada elemen-elemen struktur
dan syarat simpangan yang ditentukan. Jika tidak memenuhi
syarat kekuatan dan kekakuan, kembali dilakukan percobaan
pada estimasi dimensi pada model yang belum OK.
4. Setelah ketiga model tersebut dinyatakan memenuhi syarat
kekakuan dan kekuatan, maka selanjutnya dilakukan analisis
pushover pada ketiga tipe model struktur tersebut sesuai pada
kaidah FEMA.
5. Didapat hasil analisis struktur berupa simpangan atau deformasi
pada model. Dilakukan perbandingan terhadap level kinerja
struktur ketiga tipe model struktur tersebut. Hasil perbandingan
yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel atau grafik hubungan
antara gaya yang bekerja (F) dengan besarnya simpangan yang
terjadi (u).
6. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, langkah terakhir
adalah melakukan interpretasi terhadap hasil tersebut yang
diuraikan pada Bab IV. Pembahasan dilakukan berdasarkan hasil
analisis yang ditinjau untuk mengetahui kinerja struktur dari
model struktur rangka terbuka, model struktur rangka dinding
57
pengisi tanpa tulangan (unreinforced masonry wall), dan model
struktur rangka dinding pengisi bata bertulang (infilled frame).
4 DAFTAR PUSTAKA
58
British Standard (BS) 5628. 1985. British Standard Code of Practice for Use of
Masonry.
Departments of The Army, The Navy, and The Air Force. 1992. Masonry Structural
Design For Building.
Mavros, M. 2015. Experimental and Numerical Investigation of the Seismic
Performance of Reinforced Masonry Structures. (Unpublished
Dissertation for Doctoral Degree, University of California, San Diego,
2015).
Kakaletsis, D., and Karayannis, C. 2009. Experimental Investigation of Infilled r/c
Frames With Eccentric Openings. Department of Civil Engineering,
Democritus University of Thrace, Xanthi.
59