Anda di halaman 1dari 5

CONTOH KASUS DISKRIMINASI ETNIS, RAS, DAN GENDER

1. Diskriminasi Etnis di Yogyakarta

Dalam beberapa bulan terakhir ini, seorang penduduk Yogyakarta berusia 60-an, berupaya
menghubungi Sultan Hamengkubuwono X untuk menanyakan tentang hak kepemilikan tanah di
kota kelahirannya yang ia anggap diskriminatif.

Siput Lokasari mulai mengontak Sultan beberapa bulan lalu untuk meminta Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta ini membatalkan Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta yang dikeluarkan pada 1975 lalu, berisi larangan warga nonpribumi memiliki tanah.
"Kenapa harus ada diskriminasi ras... Orang Tionghoa bekerja setengah mati mengumpulkan
uang sedikit demi sedikit dan beli tanah hak milik, kenapa hak milik dipaksa untuk dirampas
dikembalikan ke negara dan orang tersebut diberi hak sewa. Orang Tionghoa ataupun orang
India yang diangggap non pribumi... Kenapa sampai begitu?" kata Siput kepada BBC Indonesia.

Kisah traumatis di balik kerusuhan Mei, Di mana Anda saat kerusuhan Mei 1998? Tanah
yang dimaksud Siput adalah yang dibeli istrinya di Kulon Progo seluas 1.000 m2 sekitar enam
bulan lalu dan sampai kini tak bisa diubah menjadi hak milik atas namanya karena -seperti
dikutipnya dari pejabat Badan Pertanahan Nasional setempat- "Istri bapak orang Cina."

Upaya untuk menuntut hak juga dilakukan sejumlah penduduk Yogyakarta lain termasuk
oleh Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) melalui Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, beberapa tahun lalu.

Komnas HAM sendiri memberikan rekomendasi kepada Gubernur Yogyakarta untuk


mencabut kebijakan yang disebut 'diskiriminatif' itu.

2. Rasisme Masih Ada di Amerika

Masalah-masalah rasial terus memegang peran kunci dalam kehidupan di Amerika. Kurang dari
dua pekan yang lalu, Senat Amerika menyatakan permintaan maaf kepada warga kulit hitam karena tidak
mengambil tindakan selama seabad yang lalu untuk mencegah terjadinya ‘lynching.’ Lynching adalah
penganiayaan, penggantungan, penembakan atau penikaman oleh massa. Dulu, pelaku kejahatan-
kejahatan seperti ini tidak dihukum.

Ribuan warga kulit hitam Amerika tewas akibat lynching dari tahun 1880an sampai 1960an. Pada
hari Senat menyatakan permintaan maaf, Mahkamah Agung membatalkan hukuman mati terhadap
seorang warga kulit hitam, karena jaksa penuntut dengan sengaja menyingkirkan semua warga kulit hitam
dari dewan yuri dalam sidang ini. Mulai sekarang, pemilihan yuri di Amerika harus mempertimbangkan
factor ini. Ini adalah satu lagi upaya untuk membuat warga kulit hitam berpartisipasi penuh dalam
kehidupan di Amerika. Beberapa pengadilan dilakukan akhir-akhir ini untuk kasus pembunuhan berdasar
ras yang terjadi di Amerika bagian selatan lebih dari 40 tahun yang lalu, pada saat gencar-gencarnya
gerakan Hak Sipil.

Waktu itu negara bagian tidak mau mengadilinya. Kalau pemerintah federal melakukannya, yuri
setempat tidak mau menyatakan terdakwa bersalah. Tetapi yang berumur 80 tahun pekan lalu dinyatakan
bersalah dalam pembunuhan tahun 1964 terhadap tiga orang pekerja hak sipil di luar kota Philadelphia,
Mississippi. Dakwaan diajukan oleh negara bagian Mississippi. Yuri setempat, yang terdiri dari sembilan
warga kulit putih dan tiga orang kulit hitam, menyatakan Killen bersalah, dan ia dijatuhi hukuman penjara
60 tahun. Berita mengenai vonis ini menjadi berita utama di seluruh Amerika. Vonis ini dapat dikatakan
kecil, dan sudah sangat terlambat, tetapi menjadi lambang kemenangan dalam perang sejak lama melawan
rasisme di Amerika. Empatpuluh satu tahun setelah kejadian, Killen baru diadili.

Pembunuhan terhadap ketiga orang aktivis hak sipil itu, dua warga kulit putih dan seorang kulit
hitam, mencekam Amerika. Tahun 1964 ratusan orang datang ke Mississippi, negara bagian yang dengan
resmi melakukan pemisahan antara warga kulit hitam dan kulit putih. Mereka datang untuk berpartisipasi
dalam Freedom Summer, atau Musim Panas Kebebasan. Tujuan utamanya adalah mendukung tuntutan
warga kulit hitam bagi hak untuk memilih. Perang Saudara mengakhiri perbudakan tahun 1865.

Tetapi seratus tahun kemudian, beberapa negara bagian tetap tidak memberikan kepada warga kulit
hitam akses ke tempat umum, warga kulit hitam mendapat pendidikan di sekolah-sekolah yang kurang
baik, dan sangat sulit bagi mereka untuk memberikan suara dalam pemilihan. Sistem segregasi, atau
pemisahan ras, sering ditegakkan dengan kekerasan. Tahun 1960an, di bawah pimpinan Martin Luther
King Jr., warga kulit hitam Amerika mempersoalkan sistem itu. Banyak warga kulit putih yang
mendukung mereka, di badan-badan legislatif dan di lapangan.

Undang-undang Hak Asasi dan Undang-Undang Hak Pilih tahun 1964 dan 1965 menyingkirkan
banyak perintang hak sipil untuk warga non-kulit putih. Tahun 1964 kurang dari tujuh persen warga kulit
hitam di Mississippi terdaftar sebagai pemilih. Sekarang, 75 persen dari mereka terdaftar, dan separuh
dari semua pejabat pilihan rakyat adalah orang kulit hitam. Ketika Undang-Undang Hak Pilih disahkan, di
seluruh Amerika hanya ada sekitar 100 warga kulit hitam yang menduduki jabatan melalui pemilihan.
Sekarang, jumlahnya hampir 10 ribu orang. Mengapa pengadilan Killen dilakukan begitu lama setelah
terjadinya pembunuhan? Sebuah kelompok yang terdiri dari warga kulit hitam dan kulit putih di
Philadelphia, Mississippi akhirnya berhasil menyeret Killen, yang sesumbar sendiri bahwa ia
merencanakan pembunuhan itu, ke pengadilan, karena mereka ingin menghapuskan stigma ini dari kota
mereka.

Apa arti semua ini? Artinya, ras masih merupakan masalah yang rumit di Amerika. Tetapi dalam
isu-isu hukum penting, mayoritas warga Amerika mendukung usaha sekuat tenaga untuk mengurangi
ketidaksetaraan, meskipun mungkin prosesnya menyakitkan dan memalukan. Tidaklah sehat untuk
menutup-nutupi luka lama yang tidak pernah sembuh. Menjatuhkan hukuman 60 tahun penjara terhadap
seorang manula, minta maaf dalam hal lynching, dan mengubah undang-undang mengenai susunan yuri,
adalah tiga langkah kecil. Isu-isu sulit, terutama yang menyangkut ekonomi, tetap ada antara warga kulit
putih dan kulit hitam di Amerika, dan sekarang dengan warga keturunan Hispanik, kelompok minoritas
terbesar di Amerika. Warga keturunan Asia juga kadang-kadang mengalami diskriminasi ras.
Meskipun peristiwa-peristiwa yang baru terjadi menunjukkan bahwa di Amerika masih ada rasisme
dan intoleransi, peristiwa-peristiwa itu juga menunjukkan kencenderungan Amerika untuk menempatkan
penyakit-penyakit sosial dalam pengadilan terbuka. Warga Amerika lebih suka mengalami publisitas
buruk daripada memendam masalah-masalah sosial yang ada. Mereka tahu bahwa hanya dengan cara
inilah masalah-masalah yang ada akan dapat diselesaikan. (voa/howell/djoko)

3. Peran Perempuan Di Bidang Pangan Tak Diperhatikan

JAKARTA. Pada peringatan hari perempuan internasional yang jatuh pada 8 Maret 2012 ,sejumlah
LSM di bidang pangan mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan pangan yang memperhatikan
peran perempuan. Sebab, berdasarkan penelitian dan kesaksian para LSM ini, peran perempuan di sektor
pangan sangat besar. Contoh kebijakan yang dikritik ialah penggunaan benih hibrida. Pemerintah tidak
menyadari, penggunaan benih padi hibrida akan mengurangi peran perempuan sekaligus bisa mengurangi
penghasilan perempuan. Pasalnya, benih hibrida hanya digunakan untuk satu kali masa tanam sehingga
petani harus membeli benih hibrida yang baru dari pabrikan.

Padahal peran petani perempuan dalam pemuliaan benih selama ini cukup besar karena perempuan
dianggap lebih teliti. Di daerah lain, banyak petani perempuan masih hidup miskin. Bahkan di Karawang,
Jawa Barat, saat ini semakin banyak perempuan yang berprofesi sebagai pemungut sisa-sisa hasil panen
(profesi yang di masyarakat setempat disebut blo-on) demi memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal
sepuluh tahun lalu, profesi ini dicibir oleh para petani sendiri. Namun sekarang banyak keluarga petani,
sebagian besar dari mereka ialah perempuan, menjalani profesi blo-on ini dengan jangkauan wilayah
semakin luas hingga lintas kecamatan. “Dimana perhatian pemerintah kepada mereka?,” tanya
Said..Sedangkan di sektor perkebunan sawit, saat ini peran perempuan masih terpinggirkan. Meski
banyak perempuan menjadi buruh sawit, namuh mereka tidak berhak ditulis namanya dalam surat tanah
maupun tidak berhak atas perjanjian tentang pekerjaan. Ahmad Surambo, aktivis Sawit Watch, tidak
memperkirakan jumlah buruh perempuan di perkebunan sawit.

Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, mengatakan mulai saat ini
pemerintah harus benar-benar menjadikan perempuan sebagai subyek dalam setiap kebijakan di bidang
pangan. “Jika pemerintah bisa meningkatkan kesejahteraan perempuan, maka ketersediaan pangan dan
pemberantasan kemiskinan dengan sendirinya akan terselesaikan, “kata Tejo. Di sisi lain, data BPS
menunjukkan, faktor pangan menyumbang hingga 73,53% terhadap garis kemiskinan. Dengan kata lain,
kemiskinan banyak disebabkan akibat kekurangan pangan. “Selama perempuan belum terangkat taraf
hidupnya, persoalan pangan dan kemiskinan tidak akan cepat selesai,” tutur Tejo.

Analisis tentang kasus gender dan marginalitas perempuan dalam kasus peran perempuan dalam
sector pangan di katakana sebagai ketidak adilan gender antara perempuan dan laki-laki. Sebagai kaum
yang di anggap tidak berperan penting (perempuan) di masyarakat maka ketidak adilan itulah yang di
permasalahkan dalam kasus ini. Sector pangan yang banyak di kelola oleh kaum perempuan justru yang
membutuhkan ketelatenan dan kesabaran agar menjadi baik. Seperti pemuliaan benih, tidak semua laki-
laki bisa melakukan hal tersebut dengan baik. Didalam kasus ini perempuan di kesampingkan karena
adanya system teknologi yang maju, dan perempuan di biarkan hidup dengan cara tidak produktif dan jika
masih bekerja, perempuan di jadikan buruh yang paling bawah, sehingga gaji atau penghasilannya sangat
sedikit di banding dengan kaum laki-laki. Yang di harapkan penulis dalam kasus ini salah satunya agar
pemerintah bisa meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan dalam system pangan, agar kesediaan
pangan masyarakat dapat meningkat. Dan pemberantasan kemiskinan dengan adanya kaum perempuan
sebagai buruh harus di pertimbangkan dan di naikkan taraf hidupnya. Permasalah ini sering terjadi, karena
kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kaum perempuan dalam sector pembangunan bangsa dan
negara.

4. Perempuan Indonesia Dipukuli di Korsel

BUSAN – Seorang perempuan Indonesia mengklaim dirinya mengalami diskriminasi dan dipukuli
oleh seorang penjaga kelab malam di Busan, Korea Selatan (Korsel). Menurutnya, serangan tersebut
dilakukan karena status kewarganegaraannya.

Perempuan bernama Jessica Setia itu menderita luka cukup serius di bibirnya dan lebam di bagian
dagu. Insiden tersebut terjadi di sebuah kelab malam pada Jumat 1 September 2017. Perempuan berusia
21 tahun itu mengaku, si penjaga sangat kasar dan berlaku rasis tanpa alasan jelas.

“Mereka membiarkan temanku, yang berkewarganegaraan Korsel, masuk dengan mudah. Namun,
ketika tiba giliran saya dan teman yang berasal dari Indonesia, ia menyulitkan kami (untuk masuk ke
kelab),” ujar Jessica Setia, sebagaimana dikutip dari Korea Herald, Senin (4/9/2017).

Mahasiswi di Korsel selama dua tahun itu menambahkan, ketika melihat temannya yang bernama
Gabrielle itu didorong keluar oleh penjaga dan kartu identitasnya dibuang ke trotoar, Setia langsung
mendorong sang penjaga.

Perkelahian tidak terhindarkan dan mulut Jessica Setia dipukul oleh sang penjaga hingga robek
sepanjang 0,5 sentimeter (cm) dan berdarah. Ia langsung dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan
delapan jahitan di bibirnya. Sementara itu, Gabrielle mengaku bahwa selisih paham tersebut sudah sering
dirasakannya selama di Korea.

“Sudah terbiasa dengan perilaku orang yang memandang saya rendah karena berasal dari
Indonesia. Saya pikir dia tidak menyukai orang asing jadi mungkin sedikit kasar kepada kami karena
kami bukan orang Kaukasus berkulit putih. Ketika kami marah dan menunjukkan kepadanya, saya yakin
dia marah,” terang Gabrielle.

Pihak kelab malam membantah ada perlakukan diskriminatif berdasarkan etnis atau gender saat
kejadian. Kelab malam yang tidak diketahui namanya itu menyesalkan kritik yang diarahkan karena
argumen tersebut dinilai hanya sepihak.

“Kelab kami mengecek seluruh identitas pengunjung, tanpa memandang etnis, lewat prosedur yang
sama. Tidak ada diskriminasi ras sama sekali,” bunyi pernyataan resmi pihak kelab malam di Busan.

Petugas jaga di Pos Polisi Busan Seomyeon menyatakan bahwa penyelidikan sedang berlangsung.
Mereka yang terlibat akan dipanggil untuk memberikan kesaksian pada Senin pagi waktu setempat.
Cerita pemukulan tersebut menjadi viral di sosial media setelah diunggah oleh rekan Jessica,
Joshua Irwin, ke Facebook. Unggahan tersebut direspons lebih dari 1.000 orang pengguna, dibagikan
lebih dari 650 kali, dan dikomentari pengguna 200 orang hingga Minggu 3 September sore.

5. Diskriminasi Etnis Tionghoa Mei 1998

Jika kita berbicara tentang diskriminasi terhadap orang etnis Tionghoa, yang oleh mereka dirasakan
sebagai ketidak adilan yang sangat mendalam, kita harus melihat jauh kebelakang bahwa sebetulnya
ketidak adilan itu sudah mereka rasakan sejak zaman kolonial (Mely G. Tan, 2008: 273). Dimana seperti
pada zaman itu orang Tionghoa diisolasikan, diintimidasi sehingga diliputi rasa ketakutan, dan dengan
demikian mudah diatur dan dikambing hitamkan.

Sejak masa kemerdekaan, orang Tionghoa sudah dinisbatkan sebagai masalah yang sangat
membimbangkan. Disatu sisi mereka dibutuhkan karena kekuatan ekonominya, dilain pihak mereka juga
banyak dibenci karena bagai mana tidak, sebagai mana kita ketahui semua, etnis Tionghoa merupakan
satu kelompok minoritas yang hanya berjumlah 3-4% dari penduduk Indonesia, tetapi menguasai 70%
sektor swasta dalam perekonomian Indonesia.

Lebih luas lagi, pada masa pemerintahan orde baru, sentimen terhadap orang etnis Tionghoa
ditunjukkan melalui berbagai bentuk kebijakan dan produk hukum yang diskriminatif. Diantara sekian
banyak produk hukum yang diskriminatif tersebut ada beberapa diantaranya yang paling mencolok,
diantaranya Inpres No. 14 Tahun 1967 dan Kepres No. 240 1967. Yang pada hakikatnya memaksa
masyarakat kaum Tionghoa pada masa itu untuk menanggalkan tradisi, kebudayaan, adat kebiasaan
bahkan merubah nama asli mereka menjadi nama yang lebih terdengar keindonesiaan. Peraturan lain
adalah yang termasuk kedalam TAP MPRS No. 32, 1966 mengenai pelarangan penggunaan bahasa dan
aksara mandarin di media masa dan nama toko/perusahaan.

Puncaknya, kerusuhan dahsyat di Jakarta dipertengahan Mei 1998 yang jelas ditujukan pada orang
etnis Tionhoa dengan serangan kepada daerah bisnis, pertokoan dan pemukiman yang kebanyakan
dimiliki oleh orang etnis Tionghoa (Mely G. Tan, 2008: 276).

Demikian sekilas balik sejarah yang menunjukkan betapa berbahayanya sikap diskriminatif rasial bagi
bangsa yang plural seperti Indonesia. Maka sebagai anak bangsa yang tentu peduli dengan kemanusiaan
dan mendambakan keadilan, mari kita hindari prilaku-prilaku diskriminatif dan menjunjung tinggi
toleransi. Karena sesungguhnya, perbedaan adalah kekuatan.

Anda mungkin juga menyukai