Anda di halaman 1dari 6

A.A.

Navis
Suber : http://id.wikipedia.org/wiki/A.A._Navis

A.A. Navis

Lahir 17 November 1924

Kampuang Jao,Padangpanjang, Sumatera

Barat, Hindia Belanda

Meninggal 22 Maret 2003 (umur 78)

Padang, Sumatera Barat

Kebangsaan Indonesia

Almamater INS Kayutanam

Pekerjaan Sastrawan, budayawan

Agama Islam

Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padangpanjang, Sumatera Barat, 17
November 1924 – meninggal 22 Maret2003 pada umur 78 tahun) adalah
seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A.
Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah
cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos,
apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap
pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu
putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia
mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia
akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin
dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.

Kehidupan Pribadi
Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Navis telah lama mengidap
komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari sebelum meninggal dunia, ia masih meminta
puterinya untuk membalas surat kepada KongresBudaya Padang bahwa dia tidak dbisa ikut
Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir
kepada Balai Pustaka. Ia meninggalkan satu orang isteri, Aksari Yasin, yang dinikahi
tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni Dini Akbari, Lusi Berbasari ,Dedi Andika, Lenggogini,
Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman
Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.

Sebelum dikebumikan, sejumlah tokoh, budayawan, seniman, pejabat, akademikus, dan masyarakat
umum melayat ke rumah duka di Jalan Bengkuang Nomor 5, Padang. Di antaranya; Ketua
Pengurus Pusat Muhammadiyah A Syafii Maarif, Gubernur Sumbar Zainal Bakar,
mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, dan mantanGubernur Sumbar Hasan Basri Durin, serta
penyair Rusli Marzuki Saria.

Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini menjulang dalam
sastra Indonesia sejak cerpennya yang fenomenal, Robohnya Surau Kami, terpilih menjadi satu dari
tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah, (1955). Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah
yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam
neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi
miskin.

Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya Robohnya Surau Kami,
juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata
nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif,
konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.
Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan
dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia seorang sastrawan
intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan
internasional. Ia menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya.
Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai
mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi.

Buah karya
Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian
dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai
bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan
antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam
maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel
terbarunya,Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.

Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:

 Surau Kami (1955)


 Bianglala (1963)
 Hujan Panas (1964)
 Kemarau (1967)
 Saraswati
 Si Gadis dalam Sunyi (1970)
 Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
 Di Lintasan Mendung (1983)
 Dialektika Minangkabau (editor, 1983)
 Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
 Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
 Cerita Rakyat Sumbar (1994)
 Jodoh (1998)

Sebagai seorang penulis, ia tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku
terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya
Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75
tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang
pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep, 1975), Cerita 3 Malam, Kisah
Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina, 1979), Kisah
Seorang Pengantin, Maria, Nora, dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an, dan ada yang ditulis
tahun 1950-an.

Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai.
"Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan kadang-kadang
memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan
yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan
tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu
termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta.

Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri
harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis,
sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? "Soalnya, senjata saya hanya menulis," katanya. Baginya,
menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk
mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis
cerpen, ya menulis cerpen," katanya seperti dikutip Kompas, Minggu, 7 Desember 1997.

Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus
diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik
untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah
bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon
pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.
Pandangan-pandangan A.A. Navis
Ia menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan,
menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api; lewat saja. Itu
banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari
ketenaran.

Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai perguruan
tinggi, orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak
diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan
membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan
tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap
generasi-generasi akibat dari kekuasaan.

Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang merupakan
strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap, strategi pembodohan ini harus
dilawan, harus diperbaiki. "Tapi saya pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi.
Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan
orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa
kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi," katanya.

Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra. "Sekarang sastra itu
fungsinya apa?" tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir
kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti
menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang
buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tapi bukan artinya sastra
memuja yang jahat. Ia melihat, perkembangan sastra di Indonesia sedang macet. Banyak karya-
karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak
tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam.
Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-
orang yang munafik, umpamanya.

Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia diberi pilihan alat
kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk
menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar bahwa mungkin justeru ia yang orang pertama kali
ditembak. Sebab, "semua orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor," katanya seperti
pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.

Perihal orang Minang, dirinya sendiri, keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu
pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang
benar galia (galir), ibarat pepatah "tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua" (terhimpit maunya di
atas, terkurung maunya di luar). Itulah A.A. Navis "Sang Kepala Pencemooh".

Karya tulis[sunting | sunting sumber]

 Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005)


 Gerhana: novel (2004)
 Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002)
 Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 3 (2001)
 Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001)
 Dermaga Lima Sekoci (2000)
 Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999)
 Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999)
 Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 2 (1998)
 Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)
 Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994)
 Surat dan Kenangan Haji (1994)
 Cerita Rakyat dari Sumatera Barat (1994)
 Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990)
 Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986)
 Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
 Di Lintasan Mendung (1983)
 Dialektika Minangkabau (editor) (1983)
 Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975)
 Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970)
 Kemarau (1967)
 Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963)
 Hudjan Panas (1963)
 Robohnya Surau Kami (1955)

Anda mungkin juga menyukai