Anda di halaman 1dari 2

Secara harfiah tawakkal bermakna menyerahkan diri.

Para ulama mendefinisikan tawakkal sebagai sikap berserah diri


kepada qadha dan qadar Allah. Sikap ini menumbuhkan satu keyakinan bahwa segala ketentuan bagi manusia, didasarkan
pada ketentuan Allah. Sikap tawakkal bertumpu pada satu kalimat, yaitu berawal dari Allah dan berakhir kepada Allah.
Berawal dari Allah artinya meyakini bahwa semua peristiwa yang terjadi pada kita bersumber dari Allah. Pihak lain
hanya berkedudukan sebagai media, sarana. Berakhir kepada Allah, memberikan jalan yang terang dan jelas bagi solusi
kehidupan. Allahlah sang penentu, orang lain dan iktiar kita adalah sarana. Dengan tawakkal pikiran kita satu, tujuan kita
satu, andalan kita satu, yaitu Allah yang Maha Kuasa atas segalanya. Allah adalah satu-satunya Pemelihara kehidupan
kita, sebagaimana firmanNya dalam surah Al-Ahzab (33) ayat 3:

ً ‫اَّلل ِ َو ِك‬
‫يل‬ َّ ‫َو ت َ َو كَّ ْل عَ ل َ ى‬
َّ ِ ‫َّللا ِ ۚ َو كَ ف َ ٰى ب‬
“dan bertawakkallah kepada Allah, dan cukuplah Allah sebagai pemelihara”.
Dengan demikian tawakkal akan menuntun kita pada jalan yang lurus dan tujuan yang fokus. Tawakkal kepada Allah
membuat kita berpikir sederhana tetapi mendapatkan hasil yang luar biasa.
Manusia adalah makhluk yang terbatas, lemah, dan tidak stabil emosinya. Semua itu menunjukkan bahwa manusia tidak
bisa hidup sendiri. Oleh karena itu, manusia memiliki dua karakter, yakni sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk
sosial. Sebagai makhluk individu, dia berusaha menunjukkan jati dirinya, menampilkan kelebihannya, menghebatkan
pencitraan diri, sehingga terkadang mengganggu manusia yang lain. Sebagai makhluk sosial, dia perlu teman, perlu
bantuan, perlu dukungan orang lain agar kedudukannya sebagai makhluk individu terealisir.
Kesadaran akan keterbatasan dirinya, membuat manusia mencari kekuatan yang lebih hebat dari dirinya. Oleh karena itu,
semestinya dia mencari kehebatan itu pada Yang Maha Hebat, Yang Maha Kuasa, yang tidak akan ditemukannya pada
diri makhluk manapun. Maka, kekuatan yang hebat itu diyakini hanya dimiliki oleh Sang Pencipta, Allah Sang Khalik,
yang menjadi sumber kehebatan bagi semua makhluk. Keyakinan inilah yang membentuk sikap hidupnya menjadi
manusia yang hanya memasrahkan hidupnya kepada Allah. Dia hanya menyerahkan semua takdir kehidupannya kepada
Allah. Inilah yang membuat hidupnya fokus. Bekerja tidak hanya untuk mengumpulkan harta, tetapi dijadikan sebagai
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga bekerjanya bernilai ibadah, dilakukan dengan ikhlas, professional,
karena pekerjaan adalah amanah bagi dirinya. Orang yang seperti ini tidak hanya mementingkan hasil kerja, yaitu upah
atau gaji yang diterima. Dia lebih mengutamakan proses bekerja, yaitu menjaga kebaikan selama bekerja, karena yang
dituju bukan hanya gaji, tetapi keberkahan.
Di dalam al-Qur’an dan Hadis, banyak dijelaskan tentang alasan mengapa tawakkal itu penting. Diantaranya adalah:
Pertama, orang yang bertawakkal akan dicukupkan kebutuhan hidupnya. Di dalam surat At-Talaq ayat 3 Allah berfirman:

َّ ‫ق‬
َ ‫َّللا‬ ِ َّ ‫س ب ُه ُ ۚ َو َم ْن ي َ ت‬ َّ ‫ب ۚ َو َم ْن ي َ ت َ َو كَّ ْل عَ ل َ ى‬
ْ ‫َّللا ِ ف َ ُه َو َح‬ ُ ْ‫َو ي َ ْر ُز قْ ه ُ ِم ْن َح ي‬
ُ ‫ث ََل ي َ ْح ت َ ِس‬
‫ي َ ْج ع َ ْل ل َ ه ُ َم ْخ َر ًج ا‬
“barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah
melakukan apa yang dikehendakinya. Sungguh Allah telah menetapkan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.
Secara jelas, ayat di atas menyebutkan adanya hubungan atau korelasi antara tawakkal dengan ketercukupan hidup.
Semakin berkualitas tawakkal seseorang, maka semakin terjamin kebutuhan hidupnya.
Kedua, tawakkal berfungsi sebagai solusi masalah kehidupan. Allah menggambarkan fungsi tawakkal ini dalam surat
Ibrahim (14) ayat 12:

‫ص ب ِ َر ان عَ ل َ ٰى َم ا آ ذ َيْ ت ُ ُم و ن َا ۚ َو عَ ل َ ى ا‬
ِ ‫َّللا‬ ‫َو َم ا ل َ ن َا أ َ اَّل ن َ ت َ َو كا َل عَ ل َ ى ا‬
ْ َ ‫َّللا ِ َو ق َ دْ هَ د َا ن َا سُ ب ُل َ ن َا ۚ َو ل َ ن‬
‫ف َ لْ ي َ ت َ َو كا ِل الْ ُم ت َ َو ِك ل ُو َن‬

“mengapa kami tidak bertawakkal kepada Allah, padahal Dia telah memberi hidayah, dan kami akan bersabar terhadap
gangguan yang kamu lakukan. Dan hanya kepada Allahlah orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri”.
Ayat di atas menggambarkan penyesalan bagi mereka yang tidak bertawakkal ketika mendapatkan masalah. Padahal
Allah senantiasa hadir dan dekat dengan mereka, menunggu mereka mendekatkan diri dan meminta petunjukNya. Mereka
tidak sadar bahwa Allah adalah Maha Mendengar, Pemberi Hidayah, Pengabul Doa bagi semua masalah yang mereka
hadapi. Tawakkal bukanlah pilihan terakhir ketika ada masalah, tetapi harus menjadi pilihan pertama untuk menemukan
solusinya.
Ketiga, tawakkal menjadi garansi ketersediaan rizki. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Umar r.a, Rasullah Saw
bersabda:
“jika kalian benar-benar bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan member rizki, seperti Dia memberi rizki
kepada seekor burung, yang keluar di pagi hari dengan perut kosong dan kembali di sore hari dengan perut
kenyang”.
Hadis di atas adalah gambaran indah kehidupan, bahwa kita memang perlu belajar kepada makhluk Allah yang lain.
Banyak pelajaran positif yang kita dapat jika kita mau sejenak merenungkan alam semesta ini. Benar bahwa semua
ciptaan Allah tidak ada yang sia-sia, semuanya memiliki fungsi, termasuk fungsi edukasi atau pembelajaran bagi kita
sebagai manusia.
Sifat tawakkal menenteramkan kehidupan, membuat kita tetap bersemangat bekerja. Kepasrahan kepada Allah dapat
memunculkan energi yang luar biasa, karena Allah Yang Maha Kuat mengalirkan kekuatanNya ke dalam kekuatan kita.
Keyakinan bahwa Allah akan selalu memberikan yang terbaik, membuat kita konsisten melakukan kebaikan, karena
kebaikan adalah jalan Tuhan. Setiap pelaku kebaikan sesungguhnya dia sedang berjalan dengan Tuhan. Di saat dia rapuh
dan lemah, maka Tuhan akan menguatkannya, di saat dia kekurangan, maka Tuhan akan mencukupkannya. Oleh karena
itu tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bertawakkal, maka bertawakkallah kepada Allah.
Kunci Tawakkal
Pertama, tawakkal berbasis pada keimanan. Keimanan yang dimaksud adalah kepercayaan atau keyakinan penuh
kepada Allah. Sikap tawakkal mempersyaratkan adanya iman dalam hati, keyakinan bahwa Allah Maha Segalanya. Tanpa
keimanan, maka tawakkal menjadi tidak ada artinya, apalagi kalau kepercayaan itu bukan kepada Allah, maka sikap ini
tidak disebut tawakkal.
Imam al-Ghazali juga menegaskan adanya hubungan yang erat antara iman (tauhid) dengan tawakkal. Iman adalah dasar
dari tawakkal. Prinsip ketauhidan itu terletak pada kalimat “lailaaha illallaah wahdahuu laa syariika lahu, lahu al-mulku
wa lahu al-hamdu”. Orang yang hatinya dikuasai oleh makna kalimat tersebut, maka ia menjadi orang yang bertawakkal
dengan sesungguhnya.
Kedua, tawakkal berhubungan dengan ikhtiar atau usaha. Tawakkal adalah berserah diri kepada Allah setelah
berusaha, bukan tanpa usaha. Oleh karena itu tawakkal tidak akan berarti tanpa didahului oleh usaha atau ikhtiar
maksimal. Ikhtiar wajib hukumnya, sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah jasmaniah yang diberikan Allah kepada
manusia. Manusia yang tidak berikhtiar adalah manusia yang mengingkari nikmat Allah kepadanya.
Iman dan ikhtiar dalam tawakkal ibarat dua sisi mata uang, bisa dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Dalam
prakteknya, kedua kunci ini menjadi faktor penentu benar tidaknya tawakkal seseorang. Jika tawakkalnya tidak
memberikannya energi positif dalam dirinya, berarti ada yang kurang tepat di dalam melaksanakannya. Gambaran nyata
orang yang bertawakkal adalah mereka yang memiliki etos ibadah dan etos kerja yang tinggi. Tekun di dalam beribadah,
sebagai bukti nyata keimanannya kepada Allah, dan tekun bekerja atau berusaha, sebagai bukti kuatnya ikhtiar untuk
memperbaiki kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai