Anda di halaman 1dari 216

yan� •

SISI KELAM PRAKTIK POLITIK DAN KEKUASAAN

DALAM SEJARAH KAUM M U S L I M


Kebenaran

yang Hilang

Sisi Kelam Prakrik Politik dan

Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim


Farag Fouda

Kebenaran

yang Hilang

Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan

dalam Sejarah Kaum Muslim

.
,"* •.
,;,-'
.... x. .

'

Departemen Agama

Badan Litbang dan Diklar

Balai Penditian dan Pengembangan Agama Jakarta


KEBENARAN YANG HILANG

Sisi Kelam Prakuk Politik dan Kekuasaan

dalam Sejarah Kaum Muslim

Judul Asli: Al-Haqiqah al-Ghaybah

Pengarang: Farag Fouda

Penerbit: Dar wa Matabi' al-Musraqbal, Aleksandria, Mesir

Cerakan II, 2003

Penerjemah: Novriantoni

Penyuntmg terjemahan: Kholid Oawam dan Saiful Bahri

Penyelaras Akhir: Rudy Harisyah Alam

Cerakan I, Desember 2007

Oiterbitkan oleh

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta

lkkerjasama dengan Yayasan Waka.f Paramadina

Ala mat:

Jalan R.awa Kuning No. 6 Pulo Gebang Cakung

Jakarta 13950

Tdp. (021) 4800725 Fax. (021) 4800712

Hak cipta dilindungi undang-undang

Ail rights rrurvrd

Tata Lerak: Abu Maula

Kulit Muka.: Ago


Kata Sambutan

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta

Ors. A. Malik MTT, M.Si

Dalam kairan dengan pelaksanaan rugas dan fungsi kepenelician,

salah satu kendala utama yang umumnya dihadapi oleh para peneliti

bidang kajian agama dan kemasyarakatan, baik para peneliti yang

berada dalam lingkungan Departemen Agama maupun instansi

penelitian pemerintah lainnya, adalah kendala akses terhadap

informasi murakhir menyangkur perkembangan teori maupun hasil­

hasil penelitian bidang kajian dimaksud. Kendala akses itu sendiri

dipengaruhi oleh setidaknya dua faktor yang saling rerkait. Pertama,

informasi rnutakhir mengenai hasil perkembangan reori maupun

hasil-hasil penelitian lapangan umumnya tersedia dalam sumber­

sumber bacaan berbahasa asing. Kedua, kemampuan penguasaan

bahasa para penelici untuk mengakses berbagai informasi rersebut

juga masih belum memadai dan tidak meraca.

Oleh karena itu, mulai tahun 2007, Balai Penelitian dan

Pengembangan Agama Jakarta merintis suatu kegiaran baru dalam

rangka program pengembangan kapasitas SOM peneliti, khususnya

di lingkungan Departemen Agama, yakni kegiatan penerjemahan

dan penerbitan buku-buku hasil terjemahan. Kegiatan ini

dimaksudkan untuk menjembatani antara kebutuhan peneliti akan

berbagai informasi, baik berupa reori maupun data-data, clan

keterbatasan akses peneliti terhadap berbagai informasi dimaksud.

Buku Kebenaran yang Hilang karya Farag Fouda-yang diter­

jemahkan dari buku asli berbahasa Arab berjudul al-Haqiqah al-

v
Ghaybah----ini adalah salah satu buah dari upaya tersebut di atas.

Buku ini merupakan upaya menyingkap kembali sisi-sisi kelam

dari praktik politik dan kekuasaan dalam sejarah kaum Muslim­

sejak era Khulafa al-Rasyidin hingga memasuki era Umayyah dan

Abbasiyah-yang selama ini jarang terungkap ke khalayak luas,

kendati fakta-fakta sejarah iru sesungguhnya relah terekam dalam

karya-karya sarjana Muslim klasik. Penulis buku ini menawarkan

suacu sudut pandang atau cara pembacaan baru yang kriris rerhadap

pengalaman praktik policik dan kekuasaan rezim-rezim kaum

Muslim, yang selama ini dipandang sebagai zaman keemasan dan

kegemilangan sejarah kaum Muslim, yang oleh sebagian kaum

Muslim dewasa ini dijadikan sebagai inspirasi dan ripe-ideal bagi

upaya mewujudkan suacu model 'negara-agami pada masa modern.

Kami berharap bahwa penerbitan buku ini dapat memberi

manfaat dalam meningkatkan wawasan para penelici khususnya,

baik di lingkungan Deparremen Agama maupun di lingkungan

inscansi penelitian pemerintah lainnya, serra masyarakat Indonesia

pada umumnya, menyangkut bidang kajian sejarah politik dan

kekuasaan kaum Muslim.

Akhirnya, kami menyampaikan penghargaan yang setinggi­

tingginya kepada pihak-pihak yang turut membantu kesuskesan

penerbitan buku ini.

. A. Malik MTT, M.Si

NIP 150210160

VI
Daftar Isi

Kata Sambucan-v

Kara Pengantar Edisi Terjemahan-ix

Mukadimah-1

Bab I:

Kebenaran yang Hilang-5

Bab II:

Pembacaan Baru

terhadap Sejarah al-Khulafa' al-Rasyidun 45

Bab Ill:

Pembacaan Baru

terhadap Sejarah Umayyah 91

Bab IV:

Pembacaan Baru

terhadap Sejarah Abbasiyah 117

Bab V:

Penurup: Lalu Apa 177

..

VII
Kata Pengantar Edisi Terjemahan

Faraj Faudah dan

Jalan Menuju Toleransi

Samsu Rizal Panggabean

pakah kita harus mendengarkan Faraj Faudah! Lahir pada

1945, ia adalah dokror di bidang ekonomi pertanian. la

juga pernah berafiliasi dengan parrai politik, seperti Partai

Wafd clan Partai lstiqlal. Terapi, ia lebih dikenal sebagai pemikir,

penggiat hak asasi manusia, dan komenraror sosial. Mesrinya, ini

semua bukan kegiaran yang berbahaya. Namun, pada 8 Juni 1992,

Faraj Faudah (juga sering ditulis Farag Fouda/Fuda, termasuk

dalam edisi terjemahan Indonesia ini) ditembak mati di Madinat

al-Nasr, Kairo. Seorang anaknya clan beberapa orang lain rerluka

parah dalam insiden yang sama. Ia dibunuh dua penyerang ber­

topeng dari kelompok J amaah Islamiyah ( Gamaa Islamiyya). Me­

ngapa?

Beberapa hari sebelum dibunuh, tanggal 3 Juni, sekelompok

ulama dari Universitas al-Azhar mengeluarkan pernyaraan bahwa

Faudah, berdasarkan pikiran clan tulisannya, telah menghujat

agama dan karenanya keluar dari Islam. lni berarti, ia adalah

musuh Islam clan halal darahnya. Di sini, labelisasi halal berarti

boleh dibunuh. Sebelumnya, kelompok ulama yang sama mener-

IX
Kebenar:m yang H,lang

bickan daftar nama-nama orang yang memusuhi Islam dan Faudah

berada di urutan pertama. Para pembunuhnya bertolak dari dua

1
dokumen ini.

Boleh jadi, kepurusan membunuh Faudah relah diambil

beberapa bulan sebelumnya. Pada bulan Januari 1992, berlang­

sung debar hebar dalam rangka Pameran Buku Kairo. Ada dua

kubu yang berdebac. Yang saru rerdiri dari Faudah clan Muhammad

Ahmad Khalafallah (lahir 1916), clan kubu yang lain rerdiri dari

Muhammad al-Ghazali ( 1 9 1 7 - 1 9 9 6 ) , Ma'mun al-Hudaibi, clan

Muhammad lmara. Konon, 30.000 orang menghadiri debar yang

2
sempar difilmkan rerapi ridak pernah dirayangkan ke publik. Dalam

konreks polarisasi ideologis di Mesir kerika itu, kubu percama adalah

sekularis, clan kubu kedua adalah Islamis. Yang diperdebarkan

adalah hubungan antara agama clan polirik, negara clan agama,

penerapan syariat Islam, dan institusi khilafah.

Masalah-masalah yang diperdebarkan di atas, rentu saja, bukan

masalah baru. Jauh sebelumnya, sejakawal abad ke-20, ropik-ropik

3
rersebur relah dibicarakan kalangan ulama clan cendekiawan Mesir.

Akan rerapi, baru pada rahun 1980-an, clan berlangsung hingga

awal 1990-an, polemik kedua kubu mencapai puncaknya. Pada

masa ini, gelombang besar Islamisme menerpa negara-negara Timur

Tengah termasuk Mesir. Dari gelombang ini, muncul berbagai

kelompok radikal clan ganas yang belum rentu saling menyukai

satu sama lain. Mereka menyerang gereja Kristen Koptik, memalak

1
Ana Belen Soage, "Faraj Fawda, or the Cost of Freedom of Expression,"

Middle East &view o


f International Affairs, Vol. 1 1 , No. 2 (june 2007), him.

30-31.
2
Lila Abu-Lughod, "Dramatic Reversals: Political Islam and Egyptian

Television," dalam Joel Beinin & Joe Stork (ed.), Polttical Islam. Essays from

Middle East Report (London: l.B. Tauris, 1997), him. 269-282.


3
Samsu Rizal Panggabean, "Din, Dunya, dan Daulah," Ensiklnpedi Tematis

Dunia Islam Jilid 6 (lakarta: Ichriar Baru van Hoeve, 2002), him. 45-81.

x
bisnis mereka, meneror pejabat pemerintah yang, menurut mereka,

lalim, clan menyerang wisarawan asing yang datang ke Mesir untuk

mengagumi berhala clan warisan Firaun. Salah satu di antara

kelompok ganas ini adalah Jamaah Islamiyah pimpinan Syeikh Umar

Abdurrahman, yang belakangan terkenal karena keterlibatannya

dalam serangkaian serangan terorisme, termasuk di Amerika Serikar.

Di lain pihak, kaum sekularis yang sebelumnya tidak secara

konfrontatif mengomentari isu-isu yang sensitifbagi masyarakat

luas, mulai tampil berani dalam debar publik dan polemik di

media massa. Mereka dengan sungguh-sungguh clan konsisten

menenrang tuntutan utama kalangan Islamis, seperti pemben­

tukan negara Islam, penerapan syariat termasuk hukum kriminal

(hudad) di Mesir, dan lain-lain. Faraj Faudah adalah yang paling

berani dan lantang di antara para kritikus ini. Juru bicara lain

adalah Muhammad Said al-Asymawi (lahir 1932), Salah Isa, Rifat

al-Said, Mustafa al-Faki, Muhammad Hasanain Haikal, Usama

al-Baz. Tulisan-tulisan mereka dengan tajam mengupas kele­

4
mahan-kelemahan dalam pandangan kaum Islamis.

Selain itu, pada masa yang sama, tun tu tan penerapan syariat

Islam sudah menjadi wacana publik yang menjangkau masyarakat

luas clan tak terbatas di lingkungan ulama. Karenanya, kontroversi

mengenai gagasan negara Islam atau penerapan syariat Islam

memiliki efek yang lebih luas di masyarakat yang latar belakangnya

berbeda-beda. Para pembunuh Faudah adalah pemuda-pemuda

yang tidak lulus perguruan tinggi clan mereka mencari natkah

seraburan sebagai pekerja tidak tram pi!. Ten tu saja, tingkat kese­

jahteraan dan pendidikan yang rendah bukan rintangan berpar-

4
Alexander Flores, "Secularism, lntegralism, and Political Islam: The

Egyptian Debate," dalam Beinin & Stork (ed.) Political Islam. Essays from

Middle East Report, him. 83-94; Moataz A. Farrah, Egypt's Ideological

Polarization: A Challenge to Liberal Democracy (Mesir: Center for Political

Researh & Studies, Desember 2005).

.
XI
Kebenar:m yang H,lang

tisipasi dalam kegiatan keagamaan. Dalam parrisipasi tersebur,

pembagian tugas juga berlaku: Ulama mengeluarkan fatwa,

pembunuh mengeksekusi korban berdasarkan fatwa tersebut. "Ya,

kami membunuhnya," kara Jamaah Islamiyah, "al-Azhar menetap­

5
kan hukuman, kami mengeksekusi."

Pada gilirannya, ulama pun memainkan perannya. AI-Azhar

tidak mengutuk pembunuhan Faudah. Ma'mun al-Hudaibi,

pemimpin Ikhwanul Muslimun, membenarkan pembunuhan

tersebur. Ketika menjadi saksi dalam kasus pengadilan pembunuh

Faudah, Muhammad al-Ghazali mengatakan seorang muslim yang

telah murrad atau keluar dari agama Islam dapat dibunuh. Ketika

diranya siapa yang akan melaksanakan hukuman bunuh rersebur,

maka jawabnya adalah pemerinrah; tetapi, dapar dilakukan siapa

saja jika pemerintah tidak bertindak. Al-Ghazali menambahkan

bahwa di dalam Islam tidak ada hukuman bagi orang yang bertindak

6
seperti iru. Pengadilan tidak sependapat: Pembunuh Faudah

dijatuhi hukuman mati pada 1993 dan dieksekusi pada 1994.

Akan tetapi, peran ulama dalam mendukung dan membenar­

kan pembunuhan Faudah tidak hanya membuktikan pembagian

rugas tersebur. Hal yang sama juga menunjukkan beta pa kejamnya

perang-saudara ideologis di Mesir ketika icu. Selain itu, pada akhir

dasawarsa 1980-an, perang saudara sudah sampai ke ujung diskusi.

Segala dalil dan penjelasan telah dikeluarkan kedua pihak. Tak

ada lagi argumen baru. Yang terjadi adalah pengulangan-peng­

ulangan argumen yang tak berdampak apa-apa bagi pihak-pihak

yang terlibar kontroversi. Keridakselarasan di anrara kedua pihak

sudah nyata, dan benturan yang lebih keras ridak lagi terjadi

5
Geneive Abdo, No God But God. Egypt and the Triumph offs/am (New

York: Oxford University Press, 2000), him. 68.


6
Ibid.

..

XII
pada cingkat debat dan diskusi incelekcual, terapi pada perebucan

7
kekuasaan dan pengaruh negara.

Najib Mahfuz, pemenang Nobel kesusastraan pada 1988,

masih mengajak pembacanya supaya menggunakan cara-cara damai

dalam menangani dan menyelesaikan perang saudara tersebut.

Bertukar pikiran dan berdialog adalah proses canpa ujung. ''Agresi

cidak dapar dibenarkan. Diskusi, bukan kekerasan, adalah cara

menangani perbedaan pandangan," katanya kecika mengomenrari

8
pembunuhan Faudah. Terapi. Mahfuz sendiri, pada 14 Okcober

1994, dicikam berkali-kali oleh orang-orang yang bermaksud

membunuhnya. Hanya berkat pertolongan Allah sastrawan besar,

yang ketika itu berumur 82 cahun dan sakic-sakican, dapar selamar

dari serangan pengecut yang mengaku melaksanakan tugasnya

berdasarkan perincah Syeikh Umar Abdurrahman.

Demikianlah, kaum Islamis yang radikal hanyut rerbawa

amarah dan menggunakan jurus lain di luar persuasi dan adu

argumen. Cara-cara terse but rermasuk melakukan sweeping buku­

buku karya penulis sekuler, meminta penguasa supaya menarik

buku tertenru dari peredaran, melakukan intimidasi, dan

pembunuhan. Setelah kemariannya, di meja Faudah diremukan

setumpuk surar ancaman dari kelompok radikal dan eksrremis.

Di bulan Juli 1990, ulama al-Azhar berhasil meminta supaya

buku Faudah yang mengecam Syeikh al-Azhar dicarik dari

peredaran. Lima buku al-Ashmawi, disira utusan al-Azhar dari

Pameran Buku Kairo serelah Presiden Mesir tak sudi memenuhi

9
tuntutan mereka supaya buku-buku tersebut diberangus.

7
A. Flores, "Secularism, lntegralism, and Political Islam: The Egyptian

Debate," him. 93.


8
St. Sunardi, The Ecstasy o
f Creation. The Birth o
f Modern Egyptian

Society in Najih Mahfuz' Trilogy (Yogyakarta: Program Magister Ilmu Religi

dan Budaya Universiras Sanara Dharma, tanpa tahun), him. 2.


9
!hid.

XIII
Kebenar:m yang H,lang

Pemerintah Presiden Husni Mubarak (berkuasa sejak 1 9 8 1 )

juga terlibat perang saudara melawan kelompok garis keras dan

eksrrem. SesekaJi, pemerinrah memenuhi tuntutan mereka supaya

buku, film, atau acara televisi tertenru dihentikan. Tetapi, peme­

rintah juga tak segan memakai kekerasan, dengan menggunakan

aparat militer, polisi, dan pengadilan militer khusus. Bahkan,

serupa kelompok ekstremis, aparat keamanan memiliki daftar nama

yang akan menjadi target operasi pembunuhan-bukan yang akan

ditangkap dan diadili sesuai hukum yang berlaku. Amnesti

International dalam laporannya mengatakan bahwa aparat

keamanan Mesir tampak diberi izin membunuh tan pa perlu kuatir

akan diadili.!''

Faraj Faudah dan para pengkritik kaum Islamis lainnya harus

dipuji karena tidak terperosok perbuatan nista serupa membunuh

lawan diskusi dan memberangus karyanya. Terapi, di antara

mereka ada yang amat mahir menggunakan ironi dan sarir dalam

melancarkan kritik. Tujuannya memperkuat persuasi dan argumen.

Tetapi, banyak pendengar dan pembacanya justru merasa ke­

yakinan-keyakinan mereka dicemooh dan ditertawakan habis­

habisan tan pa belas kasihan. Melalui satir dan ironi yang dipubli­

kasikan kaum sekularis, kaum Islamis tidak hanya tampak bodoh,

korup, dan tak bermoral, tetapi juga munafik.

Faudah ialah raja satir dan ironi. Dalam mengkritik pandangan

dan rafsiran kaum Islamis, ia tidak semata-mata mengungkapkan

fakra sejarah yang menururnya relah hilang dari memori mereka.

Ia sering menggunakan fakta rersebut untuk menunjukkan

keadaan yang bertolak-belakang dari yang dipahami lawan

debatnya, dan melakukannya dengan selera humor yang rajam.

Yang menarik, seperri tampak di buku ini, fakra-fakra tersebut

10
John Esposito, The Islamic Threat. Myth or Reality. Edisi ke-3 (New

York: Oxford University Press, 1999), him. 99 .

XIV
dia ambil dari kicab-kicab klasik yang dihormati, yang sebenarnya

tersimpan cak jauh dari jangkauan pihak-pihak yang ia kricik­

sehingga semakin menambah bobot ironi.

Tentang pandangan yang menganggap periode salaf yakni

zaman para sahabat Nabi dan al-Khulafa' al-Rasyidun, sebagai

zaman keemasan yang dirindukan, Faudah menulis bahwa itu

adalah zaman biasa. Tidak banyak yang gemilang dari masa itu.

Malah, ada banyak jejak memalukan. Tiga dari empat a!-Khulafa'

yang kacanya al-Rasyidun wafac karena pembunuhan policik yang

terjadi di tengah polarisasi atau perang saudara di kalangan peng­

ikur-pengikut Nabi yang, menurut riwayat, relah dijamin akan

masuk surga.

Khalifah keciga dari em pat khalifah al-Rasyidun, Usman bin

Affan, tewas dibunuh dan jenazahnya cidak diperlakukan dengan

hormat. Jasadnya baru dapar dimakamkan di hari keciga secelah

ia wafat-sangat ridak lazim bagi umat Islam yang selalu mengantar

jenazah ke pemakaman selekas mungkin. Ketika prosesi pema­

kaman berlangsung, sebagian Muslim tidak mau menyembah­

yangkannya. Bahkan, ada yang melempari, meludahi, dan mema­

rahkan salah satu persendian mayac Usman. Akhirnya, ia tidak

diperkenankan dikuburkan di pemakaman Muslim, sehingga

harus dimakamkan di kuburan Yahudi. Para pembunuh Usman,

sementara iru, bebas berkeliaran. Penggantinya, Ali bin Abi

Thalib, cak kuasa menahan apalagi menghukum mereka.

Pertanyaan kica, culis Faudah, adalah, kemarahan apa yang

berada di balik perilaku para Sahabat Nabi ini?

Mengapa mereka begicu dendam kesumat sekalipun hanya

rerhadap mayat yang cidak berdaya? Mereka seakan-akan cidak

mengindahkan kenyataan bahwa Usman rermasuk jajaran orang­

orang yang pertama masuk Islam. Mereka juga tidak memper­

hacikan umurnya yangsudah 83 cahun. Mereka melupakan bahwa

ia adalah suami salah seorang purri Nabi. Mereka bahkan menolak

xv
Kebenar:m yang H,lang

menyalari dan menguburkannya di pekuburan umat Islam. Usman

diposisikan sebagai orang paling hina clan paling sial di antara

umat Islam.

Tentang anggapan mengenai keucamaan insrirusi khilafah

sebagai unit policik umat Islam, yang melandasi keinginan mene­

gakkan kembali kekhalifahan, Faudah mengedepankan fakca-fakca

yang dilupakan perspekcif roman tis terhadap khilafah. Ada banyak

khalifuh, baik dari sejarah dinasti Umayah maupun Abbasiyah, yang

brengsek, brutal, dan biadab. Pendiri Dinasti Abbasiyah, yang

dijuluki "Si Penjagal," mengundang 90 anggoca keluarga Umayah

makan malam dan menyiksa sebelum membunuh mereka. Kebiasa­

an para khalifah yang buruk dan hedonis-sepeni gemar minum

minuman keras, main perempuan, dan berprilaku seksual menyim­

pang, adalah beberapa contoh yang dikemukakan Faudah dari

sejarah panjang kekhalifahan.

Karena itu, kira mungkin bertanya-tanya, dan kira memang

berhak bertanya: Mengapa orang-orang yang menuntut kem­

balinya khilafah begicu membenci bar, mencela biduan, dan

mengkafir-kafirkan para penarinya? Bukankah icu kelanjutan dari

masa lalu dan bahkan bagian darinya?

Tidak lupa ia juga menunjukkan contoh-contoh centang

penindasan terhadap ulama, dan penggunaan ulama untuk

membenarkan kekuasaan yang korup. Pada masa Yazid bin Abdul

Malik, khalifah kesembilan dinasti Umayah yang gemar meng­

umbar nafsu, puluhan ulama mengeluarkan fatwa yang menga­

cakan ia cidak akan diadili di hari kiamat dan cidak akan diazab.

Sebagian ulama lain, seperti Hasan al-Bashri dan Washil bin Atha,

cakluk dikooptasi khalifah.

Di dalam fikih siyasah ada hadis yang mengacakan para imam

dan khalifah haruslah mereka yang berasal dari suku Quraisy.

Faudah menilai hadis ini cidak lebih dari juscifikasi terhadap

kekuasaan dinasti Umayah dan Abbasiyah. Terhadap ulama dan

XVI
para pendukung penegakan kembali khilafah, yang masih meneri­

ma ajaran hadis ini sebagai syarat khalifah, Faudah menulis:

Karena itu, ada baiknya bila para pendukung konsep khilafah

di zaman modern ini menunjukkan kepada kita cara bagaimana

menenrukan nasab kita. Siapa cahu kira adalah orang-orang Qu­

raisy can pa sengaja. Dengan modal itu, kita bisa pula berkecim­

pungdi dunia politik, mengincar kekuasaan, dan mencampakkan

akal pikiran.

Bagi Faudah, khilafah dalam sejarahnya cak lebih dari sistem

kekuasaan rotaliter yang berselubung agama. Ia memperranyakan

label "Islam" khilafah dan berusaha menunjukkan bahwa yang

sering rampak dari sejarah policik Islam justru hal-hal yang

berlawanan dengan Islam. Karena ia memisahkan Islam dari

praktik kekuasaan atas nama Islam, maka prakcik khilafah dalam

sejarah dapar dikritik, dicela, dan dibahas dengan menggunakan

tolok ukur ilmu politik, demokrasi, clan hak asasi manusia.

Faudah menulis buku yang, menururnya, ingin dihindari

banyak orang." Soalnya, "kebanyakan orang hanya ingin mende­

ngarkan apa yang mereka sukai," kacanya di dalam mukadimah

buku.

Dan kemungkinan terburuk yang saya pikirkan dari para

pembaca perbincangan seperti ini adalah kecenderungan uncuk

langsung apriori terhadap apa yang dikemukakan kepada mereka

atau menganggapnya suatu cindakan kriminal. Yang lebih pahit

lagi adalah, ketika anda mengemukakan persoalan seperti itu, anda

akan menjumpai penolakan dengan cuduhan-tuduhan kafir dan

terlalu mengagung-agungkan penggunaan akal.

Faudah memang menganut prinsip pemisahan policik dari

agama, anrara negara dan Islam. Menurucnya, pemisahan ini perlu

dilakukan demi kebaikan agama dan negara: Agama terhindar

dari manipulasi policisi, dan pemerincahan terlaksana canpa beban

parcikularisme keagamaan. Selaras dengan ini, Faudah menentang

..

XVII
Kebenar:m yang H,lang

penerapan syariat karena menururnya penerapan syariat hanya

akan mengarah ke negara keagamaan (daulah diniyyah). Ia menen­

tang segala bentuk kerahiban dan kekudusan dalam dunia polirik

karena kehidupan polirik didasarkan aras kepentingan dan keha­

rusan sosial.

la juga mengecam prioritas beragama yang menekankan hal

yang remeh-temeh seperti jenggot, pakaian model Pakistan,

menggunakan siwak, ratacara masuk kamar kecil, mencari tahu

di mana Dajjal akan muncul. Pada saar yang sama, hal-hal yang

lebih esensial dan mendalam ridak dipikirkan-tantangan abad

ke-21, menuntur ilmu pengerahuan, menegakkan keadilan, dan

menyelesaikan berbagai masalah sosial dan ekonomi dengan

menggunakan ijtihad.

Akan rerapi, apakah para pendukung khilafah akan berubah

serelah membaca bagian-bagian kelarn sejarah khilafuh sejak zaman

al-Khulafa' al-Rasyidun, Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah, dan

khilafah-khilafah dinasti sesudahnya? Apakah para penganjur dan

penuntut penerapan syariat akan menyurutkan langkah mereka

serelah membaca paparan Faudah tentang ketidakmemadaian fikih

bagi masyarakat moderen, dibandingkan, misalnya, dengan konsti­

rusi Mesir yang lebih terbuka pada perubahan dan peningkaran?

Memberikan bukti-bukti sejarah dari sumber-sumber ke­

sejarahan Islam adalah pendekatan yang tepat unruk menanggapi

mitos-mitos yang dikaitkan dengan instirusi khilafah dan penerapan

syariah. Bagi yang sepaham dengan Faudah clan dapat menerima

merodenya, ini adalah bukri-bukri yang dapat menyanggah klaim

kelompok Islamis. Akan retapi, seperti tampak dari tragedi

pembunuhan Faudah clan perrarungan ideologis di Mesir pada

rahun 1980-an clan 1990-an, pendekatan ini ridak relevan karena

beberapa pertimbangan.

Pertama, bagian yang paling parah dari pertarungan sekularis­

Islamis di Mesir-dan di banyak negeri Muslim lain-bukanlah

XVIII
konflik ten tang data dan informasi historis dalam sejarah khilafah.

Para penganjur pembentukan kembali khilafah boleh jadi

mengerahui fakra-fakta tersebur. Mereka juga dapat menyerujui

bahwa ada banyak penyimpangan parah dalam sejarah khilafah,

dan bahwa khalifah-khalifah yang terpuji, misalnya "Dua

Umar"-Umar bin Khattab dari al-Khulafa' al-Rasyidun dan

Umar bin Abdul Aziz dari masa Umayyah, adalah khalifah langka.

Karenanya, pemberian informasi dan data-seperti yang

dirunjukkan Faudah dalam buku-bukunya, ridak menyelesaikan

konflik. lni ridak berbeda jauh dari konflik antara orang yang

menentang pengguguran kandungan (pro-life) dan yang menye­

rujuinya (pro-choice), yang terjadi di masyarakar Amerika Serikat,

misalnya. Konflik mereka bukan soal data dan fakca rencang

reproduksi arau perkembangan janin. Pengungkapan fakra dalam

hal ini ridak efekrif dan ridak pula relevan. lni adalah konflik

prinsip yang ridak selalu dapar diselesaikan. Paling-paling konflik

tersebur hanyalah sebagai usaha menambah pengikuc dan

pendukung bagi kubu-kubu yang ridak dapat dipertemukan.!'

Oleh sebab itu, debar sekularisme dan Islamisme di Mesir

sangat sulic diselesaikan secara konscruktif karena belum ada

krireria atau prinsip yang disepakati bersama. Kedua pihak masih

dipisahkan oleh jurang lebar dan debar arau kontroversi ridak

mampu menjembatani jurang tersebut. Akibatnya, masing-masing

pihak berrahan di, arau kembali ke, tempat yang mudah mereka

capai dan mereka merasa enak di dalamnya, yaitu kubu ideologis


. .

mas1ng-mas1ng.

Akan terapi, kenyaraan di atas sebenarnya dapar menjadi

alasan kuar uncuk mencari jalan baru, yaitu coleransi. Debar

publik, polemik di media massa, dan bahkan rindakan kekerasan

11
Lihar Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat

Islam. Dari Indonesia Hingga Nigeria (jakarta: Alvabet, 2004).

XIX
Kebenar:m yang H,lang

seperti serangan teror dan pembunuhan yang dilakukan kalangan

Islamis terhadap lawan-lawan mereka ternyaca cidak dapat me­

naklukkan penentang penerapan syariac Islam dan pembencukan

negara Islam di Mesir. Begicu pula, bukci clan kebenaran sejarah

yang dicunjukkan Faudah cidak dapat mengubah pendirian kaum

Islamis. Malahan, hal icu celah memicu kemarahan milisi yang

ganas dari kalangan mereka-kemarahan yang rerbukti cidak

menyelesaikan persoalan dan tidak pula dapat mengeliminasi

lawan-lawan mereka dari kelompok sekularis atau pejabat peme­

rincah.

Jika pihak yang satu terbukci cidak dapat membinasakan

pihak yang lain, hanya ada sacu pilihan yang tersisa bagi kedua

kubu. Pilihan icu adalah hidup berdampingan secara damai.

Negara Mesir dapar memfasilicasi hal ini dengan menciprakan,

dan memb ela , perlindungan legal yang memungkinkan kedua

pihak, serca pihak-pihak lain yang dihadapkan kepada kecidak­

selarasan kulcural, sama-sama bertanggungjawab menghargai

keanekaragaman di masyarakat Mesir.

Faraj Faudah telah memberikan sumbangannya, melalui

karyanya dan juga kematiannya, kepada arti penting kemaje­

mukan di masyarakar Mesir. Sebagai putra Mesir asli, dengan

keberaniannya ia telah mengeririk apa yang menurucnya merupa­

kan religiusitas yang keliru di masyarakacnya-cermasuk di kalang­

an ulama.'? Dalam kata-kata Michael Walzer, Faudah celah me-

11
"Syeikh al-Azhar harus banyak bersyukur kepada Allah karena ridak

ada yang menentangnya dan ridak ada yang menanyakan seberapa repar

pemahamannya mengenai agama-rentang agama yang agung yang ridak

mengenal kerahiban, ridak menemparkan seseorang antara Tuhan dan hamba­

hambanya, dan ridak memberi ruang bagi kelas ulama . . . . Wahai Syeikh al­

Azhar, banyak-banyaklah bersyukur kepada Allah atas kererbelakangan umar

Islam, karena hanya inilah yang membuatmu dapar melanjuckan pekerjaan!

Terapi, jangan coba-coba membayangkan bahwa ada orang yang memperke­

nankanmu mengeruai mahkamah inkuisisi, unruk menuduh dan menindas,

xx
nyentuh saraf moral masyarakatnya dan memaksa mereka melihat

sesuatu yang ingin mereka hindari, yaitu kesalahan-kesalahan yang

ada semasa hidupnya.'! ltulah sebabnya kira perlu membaca Faraj

Faudah.***

mengancam dan melarang." A. Flores, "Secularism, lntegralism, and Political

Islam: The Egyptian Debate," him. 83.


13
Michael Walzer, The Company o
fCritics (New York: Basic Books, 2002),

him. xiii.

XX!
Mukadimah

-v-, uku ini memuat perbincangan yang mungkin sekali ingin

dihindari banyak orang. Kebanyakan orang hanya ingin

_____,;.,mendengarkan apa yang mereka sukai. Secara kejiwaan,

manusia memang lebih condong untuk meminati aspek yang

emosional dan merasa nyaman dengan kebenaran yang dianggap

sudah mapan. Karena itu, sulit bagi banyak orang untuk menerima

versi kebenaran lain, walaupun di kemudian hari versi lain ini

terbukci lebih benar atau mendekaci kebenaran.

Dan kemungkinan terburuk yang saya bayangkan dari para

pembaca perbincangan seperti ini adalah kecenderungan uncuk

langsung bersikap apriori terhadap apa yang dikemukakan kepada

mereka, atau menganggap hal iru suatu tindakan kriminal. Yang

lebih pahit lagi adalah: ketika anda mengemukan persoalan seperti

itu, anda akan menjumpai penolakan dengan tuduhan bahwa

anda telah kafir dan terlalu mengagung-agungkan penggunaan

aka!.

Perbicangan kita ini sesungguhnya adalah perbincangan

tentang sejarah, walaupun saya tidak menganggap diri saya sebagai

spesialis di bidang sejarah atau seorang pakar di bidang itu. Na­

mun, saya merasa telah membaca sejarah secara rekun, mengana­

lisisnya dengan cermar, mengeceknya dengan reliri, dan tak jarang

mengeririk logika yang rerkadang menarik saya ke kiri atau ke

I
Kebenar:m yang H,lang

kanan. Percayalah bahwa saya tidak dapat menggerakkan pena

saya kecuali untuk menulis sesuaru yang memang dikendalikan

oleh aka! sehat saya. Saya juga tidak kuasa untuk menggiring

imajinasi saya terlalu jauh dengan tambahan-tambahan atau pe­

ngurangan-pengurangan yang melampaui kebenaran sejarah.

Berapa banyak ahli sejarah ternama yang tergiring ke arah

itu. Mereka tidak menuliskan pena dan pemikiran mereka, metode

dan pembahasan mereka, kecuali hanya ke arah yang disenangi

oleh para pembaca. Mereka tidak peduli walaupun apa yang

mereka lakukan merupakan pengkhianatan terhadap sejarah, akal­

budi, bahkan dokumen-dokumen sejarah sekalipun.

lni adalah perbincangan yang tidak dapar saya elakkan karena

begiru banyaknya orang-orang yang mengajak kita kembali ke

sisrem khilafah dewasa ini. Bukan untuk kepentingan propaganda,

mengolok-olok atau pun mengejek, terapi unruk kepentingan

kecermatan dan kerelitian dalam mengungkap kebenaran sejarah.

Karena iru, saya rergiring unruk menyelami apa yang saya

rahu dan dalami. Ini bukan semata-mata unruk kepenringan me­

nyangggah mereka dan bukan pula untuk kepentingan generasi

sekarang yang diharapkan mengerahui, menyelami, mengenal dan

memperkenalkan, berpikir dan membicarakan sejarah kira.

Namun, ini adalah untuk kepentingan generasi-generasi yang akan

darang. Merekalah yang akan menilai kira walaupun saar ini kira

banyak diingkari dan dicemooh. Merekalah yang nantinya akan

mampu berpikir objekrif, meskipun kini kira mungkin dicaci­

maki. Mereka akan tahu bahwa kica tidak kecut hati dan mundur

karena alasan itu. Karena semakin giar kira menggerakkan dan

semakin cepar kira menggiring masyarakar untuk melangkah

menuju ke depan serta semakin banyak kira mengajak masyarakat

unruk lebih giar berpikir, mereka justru akan semakin harmonis

di masa yang akan datang. Semakin kira menghadap ke depan,

masyarakat justru akan semakin siap untuk menatap masa depan.

2
Perbincangan kita adalah perbincangan tentang sejarah,

polirik, dan pemikiran, bukan perbincangan tentang agama,

keimanan, dan keyakinan. lni adalah perbicangan rentang umar

Islam, bukan ten rang Islam itu sendiri. Lebih dari itu, ini adalah

perbincangan seorang penelaah sejarah yang hidup di abad ke-

20. Akan retapi, ini adalah juga perbincangan tentang perisriwa­

peristiwa yang surut ke belakang sampai 13 abad silam atau lebih.

Perbincangan ini memang tampak sulir, jika bukan rnustahil,

dilakukan oleh orang-orang yang hidup pada abad iru karena

mereka bernaung pada abad iru dan merasakan langsung peris­

riwa-perisriwa pada masa itu.

Perbincangan ini juga sulit karena ingin membuka kembali

apa yang selalu kita rutup-turupi, yaitu fakra-fakra sejarah. Per­

bincangan ini dapat pula menghidupkan kembali organ rubuh

yang selalu kira remehkan, yaitu akal. Perbincangan ini lebih

banyak menggunakan alat yang selalu kira abaikan, yaitu nalar.

Perbincangan ini juga sangat singkat, dan begiru ringkas. Di sini,

yang sangat diperhatikan bukanlah persisriwa-peristiwa sejarah

itu sendiri, malainkan maksud dari sebuah perisriwa.

Di sini kira ingin menegaskan bahwa dengan wafatnya

Rasulullah, periode Islam sesungguhnya telah sempurna dan

dimulailah kemudian periode umat Islam. Periode ini terkadang

sangat mendekati Islam, bahkan bertaur dengannya, namun tidak

jarang pula sangat jauh dari Islam, bahkan melarikan diri darinya.

Karena itu, dalam setiap kondisi clan periode, sejarah sama sekali

tidak suci sehingga tidak memungkinkan bagi seorang pemikir

unruk mendekatinya arau menganalisis setiap kejadian-kejadi­

annya.

Semua peristiwa dalam sejarah dapat menjadi argumen bagi

orang-orang yang menuntut berhukum dengan Islam, atau

sebaliknya, justru dapar menjadi bumerang bagi mereka. Pakra­

fakra sejarah dapat menjadi senjata mereka arau justru senjata

3
Kebenar:m yang H,lang

yang akan melukai mereka. Tidak ada argumen yang lebih kokoh

selain fakra sejarah, landasan perisriwa, dan dalil fakranya. Karena

itu, ridak seorang pun berhak mengingkari referensi-referensi yang

kica rujuk. Semuanya adalah referensi yang juga digunakan oleh

orang-orang yang merasa iru berada di pihak mereka.

Karena itu, perbincangan ini bersandar pada landasan sejarah

dan referensi yang setara dengan yang digunakan oleh orang lain

dengan sudut pandang yang berbeda.

Farag Fouda

4
lBalb K

Kebenaran yang Hilang

ni adalah perbincangan yang bermaksud untuk bercerus cerang

dan terbuka sebisa-bisanya. Ten tu dengan pengandaian bahwa

_,....._ keterusterangan clan keterbukaan dalam persoa1an ini adalah

barang langka. Berapa banyak hambacan uncuk bersikap terbuka

dan terus terang dalam membicarakan topik seperti ini. Pertarna,

karena adanya kecakutan. Kedua, karena terlalu banyak hiper­

bola. Ketiga, karena rerlalu berhicung menyangkur segala ke­

mungkinan terburuk yang akan menimpa orang yang mengung­

kapkannya.

Memang, ada tembok besar dalam membicarakan fakra

sejarah yang tersimbolisasikan dalam pepatah orang Mesir:

"Tucuplah segala celah yang memungkinkan masuknya terpaan

angin!" Bagaimana apabila yang darang justru badai topan

pengkafiran dan relinga anda tidak henti-hentinya mendengar

cuduhan yang bukan-bukan?Tuduhan yang paling ringan adalah

dianggap sebagai seorang skeptis, dalam bencuk sebuah perta­

nyaan: Apakah ini datang dari seorang Muslim? Cukup dengan

tuduhan seperti itu, anda akan langsung berhadapan dengan haci­

haci yang telah tertutup dan aka! pikiran yang celah nyaman

dengan hasil ijcihad para pendahulu kica. Anda akan menemukan

5
Kebenar:m yang H,lang

bahwa melontarkan cuduhan campaknya memang jauh lebih

gampang daripada menggunakan akal pikiran unruk suatu

pembahasan.

Karena iru, saya menyebut ini adalah perbincangan rentang

dunia, walaupun rampak di permukaan sebagai perbincangan

tentang agama. lni adalah soal politik dan kekuasaan, kendati

mungkin rampak oleh anda seperti persoalan akidah dan keimanan.

Perbincangan kira adalah rentang slogan-slogan yang memukau

orang-orang biasa, terapi juga dipercayai kaum elitenya dan dipe­

gang ceguh oleh orang-orang salehnya. Lalu slogan icu dimanfuackan

oleh orang-orang cerdik untuk memaklumatkan diri sebagai

pemimpin massa. Sungguh, mereka hanya sedang mengincar

kekuasaan, bukan kedamaian akhirat, singgasana dunia, bukan

surga dan pada dasarnya cujuan mereka adalah dunia, bukan agama.

Mereka sengaja memelintir kalam Allah dengan tujuan tertentu di

hacinya, dan menjadikan hadis Rasulullah sebagai alac uncuk

melegicimasi kehendak haci mereka. Pada akhirnya, mereka berhasil

menguasai seluruh kesemparan. Apabila terjadi pengkafiran, mereka

cidak pernah gundah gulana. Jika terjadi penghancuran, mereka

cidak pula berduka. Uncuk sampai pada kekuasaan dan kursi

kedaulacan, mereka pun terkadang cidak segan-segan menumpah­

kan darah saudara seagama. Dan mereka juga cega menjadikan

jenazah saudara seiman mereka sebagai jembatan menuju kekua­

saan.

Anda para pembaca, akan tahu bahwa saya sedang menu­

liskan sesuacu yang sungguh sangac dekat dengan apa yang anda

kecahui, canpa saya lebih banyak lagi memberi rambu-rambu.

Beta pa banyak sloganisme yang dapar saya runjukkan, karena kini

memang sedang berkumandang, bahkan selalu berkumandang,

di dalam perbagai perhelacan pemilihan umum di Mesir. Slogan­

slogan icu misalnya berbunyi: "Wahai Negara Islam, Kembalilah!",

"Islam Adalah Solusi": "Islam, Mesti Islam!"

6
Kebenar.m yang H,lang

Anda mungkin bingung menencukan apakah slogan-slogan

itu bagian dari agama atau politik. Namun dengan segera anda

akan menemukan jawaban dari orang-orang yang menyiarkannya,

bahwa agama dan policik bagi mereka adalah dua wajah dari sacu

koin yang sama. Dan anda segera sadar bahwa ungkapan-ungkapan

tersebut dulunya merupakan ungkapan-ungkapan sentimentil dari

jajaran slogan Ikhwanul Muslimin. Mereka mengacakan bahwa

Islam adalah agama dan negara, mushaf dan pedang, dan seterusnya.

Sebelum anda bertanya apakah saya mengingkari itu, ada

baiknya saya mengemukakan dua perspekcif, yang keduanya

menerima ijtihad, clan bahkan memang membutuhkan ijtihad,

yaitu ijrihad pemikiran da1am rangka mencari kebenaran yang

hilang.

Perspektifpertama, saya cidak ragu uncuk mengacakan bahwa

di balik slogan-slogan yang dikumandangkan iru, ada pra-ang­

gapan bahwa masyarakat Mesir adalah masyarakat jahiliyah, acau

jauh dari agama yang benar. Di antara ungkapan yang menja­

hiliyahkan masyarakat (tajhilul mujtama') icu, dan anggapan

jauhnya masyarakat Mesir dari agama yang benar itu, ada yang

menganggap bahwa slogan pertama lebih ekstrem, sementara yang

kedua bersifat moderat.

Akan retapi, yang dilupakan orang adalah: keduanya sama­

sama bersepakat dengan titik berangkat awa1 bahwa solusi dari

semua itu rerdapar dalam penerapan yang segera atas syariat Islam.

Kedua pandangan i tu berupaya mengabaikan perbedaan­

perbedaan kecil keduanya tenrang kondisi masyarakat saat ini.

Mereka merasa nyaman dengan ajakan untuk menerapkan syariat

sembari menekankan bahwa penerapan yang segera akan diikuri

oleh perbaikan yang segera dan penyelesaian yang segera pula

dari seriap problem kira.

Iculah perspekcif yang pertama. Sementara uncuk perspektif

kedua, ada baiknya saya mengajukan percanyaan kepada anda,

7
Kebenar:m yang H,lang

sebelum saya memberi pemaparan tentangnya. Pertanyaan saya

adalah: Adakah sesungguhnya perspektif yang kedua itu? Dengan

pertanyaan ini, saya memang seakan-akan hendak mendapatkan

penegasan bahwa perspektifkedua mestilah bertenrangan dengan

kesimpulan dari perspektif pertama. Anda mungkin mengira

bahwa perspektif kedua ini pastilah akan bertentangan dan

bertubrukan langsung dengan keyakinan kita. Namun saya mesti

segera menenangkan hati anda bahwa perspektif kedua ini sama

sekali tidak bertentangan dengan Islam, bahkan berkesesuaian

dengannya. Ia tidak datang dari luar Islam, tetapi lahir dari rahim

Islam sendiri. Perspektif ini tidak pula datang dari seorang yang

terluka oleh Islam, rerapi oleh seorang penikmat seriap nilai-nilai

Islam yang I uh ur dan agung.

Perspektif kedua ini pada akhirnya berlandaskan pada

sejumlah hipotesis berikut ini:

Pertama, masyarakat Mesir saar ini sama sekali bukanlah

masyarakat jahiliyah, namun lebih repat dikatakan sebagai

masyarakat yang lebih mendekati purwarupa masyarakat yang

paling dekat kepada nilai-nilai Islam yang benar - kalau bukan

paling dekat-yang esensial, bukan simbolis. Paling dekar dengan

keyakinan Islam rerdalam, bukan pamer keteguhan berpegang

terhadap simbol-simbol agama. Bahkan keteguhan berpegang

pada nilai-nilai agama yang orisinal itu dapat kira katakan sebagai

ciri khas orang Mesir.

Ini dapar terlihat baik dari sikap orang-orang Mesir rerhadap

keyakinan agama Firaunik sebelum hadirnya agama-agama

Samawi, maupun sikap mereka terhadap agama Kristen sebelum

Islam masuk ke Mesir. Ini juga rampak lebih jelas dari sikap mereka

terhadap reladan orang-orang Mesir terdahulu dalam mengamal­

kan Islam. Indikator-indikatornya sangat ban yak. Misalnya: kete­

kunan dan antusiasme masyarakat yang begitu tinggi untuk darang

ke masjid, semangat mereka untuk berlomba-lomba memper-

g
Kebenar.m yang H,lang

banyak jumlah calon jamaah haji, dan kegembiraan mereka yang

meluap ketika menyambut perayaan-perayaan agama.

Bahkan bulan Ramadan relah menjadi perayaan keagamaan

nasional yang tidak dapar dilupakan. Antusiasme dengan ke­

hadirannya dan kesedihan lanraran berlalunya Ramadan, tiada

lain menunjukkan otentisitas dan kedalaman perasaan keagamaan

iru sendiri. lni belum lagi ditambahkan dengan sumbangsih orang­

orang Mesir rerhadap kemajuan pembahasan ten tang akidah dan

ijrihad, dimulai dari al-Lairs bin Saad, fikih Imam al-Syafii, dan

di tam bah lagi dengan keberadaan dan peran Universitas al-Azhar

sebagai mercusuar pemikiran keislaman.

Kedua, sesungguhnya penerapan syariat yang selalu mereka

gaungkan bukanlah rujuan pada dirinya sendiri. Ia adalah instru­

men unruk mencapai cujuan tertentu yang tidak diingkari oleh

para penyeru penerapan syariat sendiri, yaitu berdirinya sebuah

negara Islam. Akan rerapi, justru di situlah letak kontroversi dan

titik perdebatannya. Para penyeru penerapan syariat iru, sebagai­

mana telah kita seburkan, selalu menyerukan slogan bahwa Islam

adalah agama dan negara. Dan karena itu, syariat Islam sebagai­

mana yang mereka pahami, merupakan mata rantai penghubung

antara konsep Islam sebagai agama dan konsep Islam sebagai

negara. Hubungan antara keduanya bukanlah hubungan antara

dua konsep yang berbeda, rerapi bagi mereka penegasan bahwa

keduanya adalah dua wajah dari saru mata uang yang sama, yairu

Islam yang benar.

Dari s i nilah perdebatan menemukan medan baru, yaitu

medan pencarian kebenaran sekaligus medan pertarungan politik.

Beranjak dari itu, perdebacan beranjak ke pertanyaan yang

sederhana dan spontan: selagi mereka menggaungkan slogan

negara Islam dan mendapatkan pengikut di dalam partai-parrai

politik yang ada, dan mereka mengajak kica menuju negara agama

yang diperinrah berdasarkan Islam, mengapa di wakru yang sama

9
Kebenar:m yang H,lang

mereka tidak mengajukan kepada kira - rakyar kebanyakan ini

- agenda politik yang terperinci? Agenda politik terperinci iru

akan menjadi panduan mereka untuk memerintah kita dan

diandaikan pula dapat memberi jalan keluar rerhadap berbagai

problem kira, seperti sistem pemerintahan dan tatacaranya, agenda

reformasi di bidang polirik, ekonomi, kebudayaan dan juga soal

perbaikan sistem pendidikan, soal perumahan, dan tatacara

menuntaskan persoalan iru dari sudur pandang Islam.

Bukankah iru juga rermasuk tirik kelemahan mendasar yang

dihadapi oleh orang-orang yang berbeda pandangan dengan

mereka, sehingga mereka ridak memberikan ruang bagi orang

lain unruk mengkririk atau menolak keinginan mereka?

Jika agenda seperri itu mereka ajukan, persoalannya menjadi

lebih masuk akal dan tidak mengandung kontradiksi sama sekali

dengan slogan-slogan mereka. Dan, mengangkar slogan Islam

sebagai agama dan negara rampaknya dapar direrima dan

dipertanggungjawabkan. Dan penolakan mereka terhadap konsep

pemisahan agama dengan politik dan kekuasaan dapat dibenarkan

dan punya logika yang kuar. Lebih dari itu, penerapan syariar

Islam akan rampak sebagai bagian dari keseluruhan paker yang

mereka usung.

Syariar menjadi bagian yang tidak berrenrangan dengan

keseluruhan, bahkan berkesesuaian dengan keseluruhan. Dengan

syariat, di dalam masyarakat diandaikan terwujudnya akses

terhadap sumberdaya dan keadilan. Yang merasa rerancam merasa

mendapat rasa aman. Yang lapar mendapat pelarian untuk ken yang.

Yang rersisih mendaparkan rempat untuk berlindung. Manusia

dihargai aspek kemanusiaannya. Pemikir mendapar kebebasan.

Dan orang zimmi mendapar hak-hak yang utuh sebagai warga

negara.

Jika iru benar-benar terwujud, kira juga tidak dapat lagi

menolak diterapkannya sanksi J;udad dengan alasan sadismenya.

1 0
Kebenar.m yang H,lang

Kita juga cidak dapat menolak penerapan syariat dengan alasan

kecidakrelevanannya. Maksiac cidak akan merajalela karena orang

rakur akan firnah. Pada suaru waktu, kira juga dapar meneladani

Umar bin Kharrab yang meninggalkan hukum porong rangan

karena kondisi paceklik yang meluas. Arau kira dapar meninggalkan

hukum takzir karena sulicnya mendapatkan saksi yang adil.

Anda para pembaca, mungkin sepakac dengan kesimpulan­

kesimpulan yang saya capai, yaicu, persoalan-persolaan seperti

ini ridaklah boleh lupur dari perharian para akrivis yang giar dalam

kegiaran polirik-keagamaan. Anda mungkin bisa berkeyakinan

bahwa semuanya perkara yang mudah dicapai. Bahkan anda

mungkin sangat optimis bahwa semua icu bisa terwujud. Akan

rerapi saya cidak seoptimisris icu. Sebab-sebab pesimisme itu juga

dikerahui langsung oleh para pendukung penerapan syariar. Yang

saya maksudkan di sini adalah soal lumpuhnya semangar ijrihad.

Uncuk lebih cermar, sebuclah sebagai concoh kecenderungan uncuk

takut rerjadinya ijrihad yang salah dan ketakuran akan perselisihan

di anrara mereka sendiri. Selama ini, kekhawaciran seperti icu

sengaja dikesampingkan dan disimpan, dan unsur peremehan

lebih dikedepankan. Bahkan, mereka lebih mengedepankan

ambisi clan keinginan uncuk berkuasa.

Yang saya karakan iru bukanlah hiperbola araupun sekadar

hobi bermain kara-kara. lni adalah fakra yang dapar dicarikan

puluhan conroh unruk membenarkannya. Perharikanlah apa yang

rerjadi dalam undang-undang keluarga kira dalam saru dekade

terakhir. Pertama, ada kontroversi meluas yang muncul karena

adanya respons dari gerakan emansipasi perempuan. Kedua,

kontroversi juga muncul karena di lain pihak muncul gerakan

pendukung hak-hak lelaki. Adalah ceroboh jika kira mengabaikan

kedua kecenderungan icu.

Kira tahu, undang-undang keluarga adalah bagian rerkecil

dari agenda polirik Islam yang lebih luas. Bahkan ia dapar

11
Kebenar:m yang H,lang

dikatakan sebagai bagian yang teremeh dari aspek penerapan

syariat Islam. Namun tidak ada yang mengingkari bahwa ini

adalah saru-sarunya undang-undang yang masih menjadikan

syariat sebagai satu-sarunya sumber inspirasinya. Pada undang­

undang ini, paras keagamaan Islam tampak paling jelas.

Akan terapi persoalan datang tatkala para ulama menentang

semangat dunia baru kita. Yairu, kenyataan sosial bahwa perempuan

kini juga mulai menuntur hak-hak yang <lulu tidak mereka

hiraukan. Keinginan perempuan untuk keluar rumah dan berkarir,

misalnya, tidak dapar kira abaikan lagi saat ini. Semua icu adalah

hak mereka yang tidak dapat kira nafikan lagi. Iru adalah kenya­

taan-kenyaraan sosial baru di dalam masyarakat yang tidak ada

preseden sebelumnya, baik pada masa Imam Malik, Abu Hanifah,

as-Syafii maupun Ibnu Hanbal.

lni belum lagi ditambahkan dengan persoalan lain yang lebih

ruwet, yaitu soal perumahan. Persoalan-persoalan seperri ini

belum ada di dalam pembahasan fikih ulama-ulama terdahulu.

Misalnya, apa hukum rumah sewa dan kredit perumahan? Perkara

seperti ini pada akhirnya membuat para ulama terjebak dalam

pertengkaran antar sesama mereka dan dengan pakar-pakar di

bidang lainnya di dalam masyarakat. Oalam perkara undang­

undang keluarga, para ulama memang dapat menemukan rujukan

mereka baik dari Imam Malik maupun Abu Hanifah. Jika tidak

menemukan pada keduanya, mereka dapat merujuk ulama yang

tidak sepopuler keduanya, seperti Saha! bin Muawiyah. Namun

yang pasti, mereka tidak akan pernah berpendapar melampaui

ulama-ulama abad kedua hijriah itu. Bahkan, tidak beranjak

sejengkal pun dari apa yang mereka kacakan.

Lalu bagaimana pula mengatasi persoalan yang lebih kom­

pleks seperri persoalan ekonomi dengan syariat? Para pendukung

penerapan syariat tampaknya memang peduli dengan soal pening­

karan produktivitas masyarakat. Namun, mereka dikejutkan oleh

I 2
Kebenar.m yang H,lang

besaran investasi di sektor badan usaha milik negara yang mencapi

30 sampai 50 miliar pound Mesir. Semua icu bergancung pada

keuangan yang diropang oleh investor yang menitipkan uang di

bank-bank konvensional. Invesrasi itu misalnya dalam bentuk

deposito yang menjanjikan bunga.

ljcihad fikih yang diproduksi pada abad kedua hijriah, yang

sama sekali belum mengenal badan usaha milik negara atau dunia

perbankan, menyebuckan bahwa pemasukan yang tetap dari uang

yang dicabung termasuk dalam kacegori riba. Dan apa yang

dikemukakan oleh para pendukung penerapan syariat setali tiga

uang dengan apa yang dipikirkan oleh para ahli pada abad kedua

hijriah itu. Mereka memperlakukan pendapar masa lalu itu seperti

firm an Tuhan yang turun dari langit. Lalu bagaimana mengatasi

persoalan nyata kira ini?

Jika mereka mandek, ini akan menjadi petaka. Namun ini

juga dapat menjadi agenda policik yang berarti jika mereka

melakukan ijcihad. Agaknya ha! percama yang perlu mereka

lakukan adalah menggambarkan kenyacaan empiris terlebih

dahulu secara akurat (tasunr al-waqi'). lni jauh lebih mudah dari­

pada mengubah keadaan (tatunr al-waqi'). Menuduh masyarakac

telah keluar dari ikatan keimanan adalah sesuaru yang gampang.

Menetapkan hukum cidak halalnya bunga bank juga sangac

gampang. Membodohi masyarakat dan institusi-insitusinya juga

lebih mudah mendapatkan hasil. Mengumpat masa kini juga cara

termudah unruk menghindar dari kenyataannya. lni persis seperri

yang dikatakan syair Arab: "Kita mencela zaman, rupanya yang

tercela icu ada pada diri kira sendiri."

lni baru diksusi tentang perkara yang rermudah, yaitu

persolan yang masih bersifac global. Yang tersulic dan lebih spesifik

sifatnya, umpamanya adalah soal tata cara memilih pemimpin

atau lebih umumnya soal hubungan antara lembaga-lembaga

pemegang kekuasaan di masyarakat. Persoalan ini memang sudah

1 3
Kebenar:m yang H,lang

disentuh oleh para pendukung penerapan syariat dan negara agama

dengan slogan-slogan yang memukau dan retorika yang

meninabobokan. Akan rerapi, jusrru pada ricik ini mereka campak

sedang berpacu dalam sesuacu yang cidak semestinya dan masuk

dalam pertentangan yang cidak kunjung cuncas.

Tidak tuntas bukan karena apa-apa, melainkan hanya karena

hilangnya etos ijcihad yang mencerahkan. Mereka langsung meng­

ajak kica masuk dalam sebuah eksperimentasi sembari mengabai­

kan konsepsi yang diretapkan sebelum percobaan itu dimulai.

Ini sengaja mereka lakukan uncuk membuac hati terlena dan

menghindarkan diri dari polemik yang sangat krusial. Dalam

setiap kurunnya, sebeculnya mereka hanya mencari-cari ricik aman

uncuk bermain. Kecika mereka cidak mampu menjawab persoalan

ini, dan anda mengericik mereka, anda akan dicap ridak punya

kualifikasi ilmiah dalam membahas persoalan agama. Jika terdesak

oleh kenaifan logika mereka sendiri, anda segera diruduh sebagai

agen imperialis, rerpengaruh komunisme, atau cerjerat keduanya.

Akibacnya, persolan ini cidak terbahas sama sekali. Karena

icu di sini saya akan coba membahas hal yang dirabukan iru. Saya

akan memulainya dengan persoalan sistem kekuasaan. Yang

pertama terbersit dalam benak orang yang membahas soal ini

adalah ten tang syarac-syarat yang diperlukan oleh seseorang yang

akan dicahbiskan menjadi pemimpin. Anda mungkin berpendapat

bahwa syarac-syaratnya mudah belaka. Mungkin dapar diretapkan

bahwa, sebagaimana di dalam fikih, dia haruslah seorang muslim

yang sehat pikiran, dewasa serta syarac-syarat lainnya. Namun

pada lain wakcu anda juga akan terbentur misalnya, dengan

persyaracan aneh yang celah cermakcub di dalam kicab-kicab fikih.

Misalnya, pemimpin haruslah datang dari suku Quraisy. Anda

akan rerperangah kecika sekelompok orang juga mensyararkan

itu aras nama mempertahankan warisan fikih Islam. Padahal Islam

menjunjung cinggi semangac kesetaraan ancara semua umat ma-

1 4
Kebenar.m yang H,lang

nusia, seperti barisan jeruji sisir. Islam tidak meninggikan derajat

orang Arab di atas lainnya, kecuali perbedaan tingkat kerakwaan­

nya.

Anda mungkin juga akan mendapatkan imajinasi yang agak

aneh walau mungkin ada benarnya. Yairu syarat in i sengaja

dilerakkan unruk menjusrifikasi kepemimpinan kaum Umaiyah

dan Abbasiyah. Sebab semuanya memang dari suku Quraisy.

Bahkan, imajinasi anda akan sampai pada kisah sejarah terbaru

tentang Raja Faruq pada masa awal kepemimpinannya. saat itu,

ia disodorkan kepada rakyat Mesir dengan citra sebagai raja yang

saleh. Karena itu, ia selalu tampil berjenggot lengkap dengan

tasbihnya di depan khalayak. Dengan cara itu , sebagian tokoh

agama yang ambisius segera saja menahbiskannya sebagai raja

atau imam bagi umar Islam. Mereka yang cerdik segera mereka­

reka hubungan antara nasabnya dengan nasab Rasulullah. Media

massa segera mengumumkan dan memastikan kerersambungan

nasabnya iru (kendati sudah pasti bahwa kakek dari ayahnya

adalah Muhammad Ali Pasha, seorang Albania, dan kakek dari

ibunya adalah Sulaiman Pasha, seorang keturunan Prancis).

Iru semua dilakukan untuk memenuhi syarat bagi seorang

pemimpin sebagaimana yang terrulis di dalam kitab-kirab fikih.

Fungsi lainnya adalah untuk membungkam para penentangnya.

Perasaan anda mungkin sama dengan saya: kurang nyaman dengan

syarat yang menggolongkan orang Islam ke dalam kelompok

darah biru (yaitu orang-orang Quraisy yang berkuasa) dengan

kelompok darah merah (yaitu rakyat kebanyakan).

Akan rerapi, mereka segera saja mengemukakan hadis Nabi

yang terpercaya, yang mensyaratkan seorang imam berasal dari

suku Quraisy. Benak anda juga akan langsung dijejali hadis-hadis

serupa yang sengaja dibuat-buat oleh para kreator dan imitator

hadis. Hadis-hadis seperti ini sebetulnya dibuat oleh orang-orang

yang tidak beragama dan yang sangat berambisi menggombal

I 5
Kebenar:m yang H,lang

penguasa. Mereka tidak punya hati nurani apalagi keyakinan yang

pasti. Namun unruk menenrangnya, anda tetap kecur hati karena

akan dituduh sebagai orang yang memusuhi sunnah Nabi. Tu­

duhan itu rerutama akan darang dari kalangan yang mempelajari

hadis hanya sebaras aspek sanadnya, bukan isi dan kesesuaiannya

dengan teks al-Quran.

Karena itu untuk membantah hal ini, tidak ada jalan keluar

bagi anda kecuali mencermati kembali kasus perkumpulan di

Tsaqifah Bani Saidah di kora Madinah. Saar itu, kaum Anshar relah

berkumpul unruk mengangkat Saad bin Ubadah sebagai pemimpin

mereka setelah mangkatnya Rasulullah. Karena itu, Abu Bakar,

Umar, dan Abu Ubaidah al-Jarrah segera berangkat ke sana untuk

mencalonkan Abu Bakar. Kerika irulah terjadi polemik panjang

anrara kedua kubu sampai terpilihnya Abu Bakar. Ketika anda

mencermari polemik yang berkembang saat itu, ajaibnya anda tidak

menemukan sama sekali penggunaan hadis Nabi. Artinya, kalau

hadis itu benar-benar sahih, tidak mungkin Saad bin Ubadah,

pemuka Khazraj, akan mencalonkan dirinya untuk menggantikan

kepemimpinan Rasulullah. Abu Bakar, Umar dan al-Jarrah, pun

mencukupkan diri dengan mempersiapkan perdebatan yang sehat.

Mereka tidak menyebut-nyebut hadis sama sekali, padahal -jika

hadirs itu memang ada - itu akan menjadi senjara ampuh yang

akan segera mengakhiri polemik.

Namun kita rahu, Saad bin Ubadah memang menolak

membaiat Abu Bakar sampai ajal menjemputnya. Tidak seorang

pun membujuknya untuk membaiar Abu Bakar dengan meng­

gunakan hadis tersebur agar ia dengan sukarela membaiat Abu

Bakar. Padahal ia juga seorang pemuka sahabat Nabi yang pun ya

beberapa prestasi yang terhormat di dalam sejarah Islam.

Namun memang, pada seriap gejala yang negatif terkandung

sisi positifnya. Kenyataan ini justru menunjukkan bahwa bagi

orang-orang yang berpikir, kenyataan ini cukup menjadi bukti

1 6
Kebenar.m yang H,lang

bahwa soal kepemimpinan mestilah diserahkan kepada yang lebih

berkomperen, ranpa memandang nasabnya. Artinya umat Islam

tidak akan pernah mempersoalkan siapa pemimpin mereka,

sekalipun pemimpin mereka itu seorang negro Habsyi. Pandangan

seperti ini justru membuar logika kita bertambah sehar. Dengan

itu pula, kelompok-kelompok di dalam masyarakat Islam rerap

punya landasan untuk melakukan oposisi.

Irulah yang terlihat misalnya pada masa Khilafah Abbasiyah,

meskipun hal tersebut menjadi anakronisme sejarah pertama di

dalam renrang sejarah kekuasaan Islam. Dari sinilah muncul

perdebatan fikih ten tang nasab seorang pemimpin: apakah mesti

dari Quraisy arau yang cukup lebih kompeten, rerlepas apa pun

nasabnya. Artinya kedua kubu seberulnya mengingkari adanya

had.is seperti itu, unruk perkara yang- menurut saya dan mungkin

juga anda - lebih simpel daripada yang dipikirkan orang.

Dari sini kita barulah dapat beranjak ke soal rata cara

penobaran seorang pemimpin. Di titik inilah kira akan menjumpai

berapa banyak tabu yang membuar perbedatan berhenti. Karena

itu orang-orang yang berpikiran normal saja akan mudah

menemukan bahwa al-Quran sendiri tidak meninggalkan keten­

tuan spesifik tentang perkara ini. Nabi pun tidak mewasiatkan

apa-apa kepada kita. Jika tidak demikian, ridak mungkin akan

terjadi perdebaran sengit dan perrentangan keras di dalam

pertemuan Tsaqifah. Kalau ada ketentuan, pasti Ali bin Abi Thalib

tentu tidak akan menolak mengakui kepemimpinan Abu Bakar

dan segera membaiatnya.

Pada ritik ini, ada perbedaan riwayat antara mereka yang

menyarakan bahwa Ali menolak baiat hanya dalam beberapa hari

- ini riwayat terlemah - dan sebagian lain yang menyebutkan

bahwa ha! itu berlangsung sampai berbulan-bulan, hingga

wafarnya Fatimah - ini riwayar yang dianggap lebih valid. Yang

lebih perlu dicermati lagi, andaikan tara cara Tsaqifah dianggap

I 7
Kebenar:m yang H,lang

sebagai tata cara yang paling benar dalam suksesi kepemimpinan

Islam, mungkin Abu Bakar tidak akan menunjuk orang-orang

yang patut menggantikannya dalam bentuk Majlis Ahl al-Halli

mi al-'Aqdi. Kita tahu faktanya Abu Bakar tidak menganggap

cara Tsaqifah adalah cara terbaik, karena itu ia juga mewasiatkan

penggantinya kepada Umar dengan surat tertutup.

Dengan dasar iculah umat Islam membaiat Umar menjelang

wafatnya Abu Bakar, tan pa tahu apa isi surat Abu Bakar itu. Cara

ini juga diralat Umar di kemudian hari, dengan menunjuk saru

di antara enam orang pemuka sahabar, yaicu Ali, Ursman,

Thalhah, al-Zubair, Ibnu Auf, dan Saad bin Abi Waqash. Cara

seperti ini juga berbeda dengan tata cara Ali ketika membaiat

beberapa pemimpin wilayah, dan cara Muawiyah yang melakukan

pendekacan senjara, serta Yazid yang mewariskan kekuasannya.

Anda kini menghadapi enam tata cara yang berbeda dalam

memilih pemimpin di dalam sejarah umat Islam. Orang-orang

yang mandek pikiran akan berusaha untuk mengabaikan fakca­

fakta ini. Namun orang-orang yang terbuka pikirannya akan

segera menangkap satu pesan, yaitu tidak adanya kaidah yang

baku di dalam Islam ten tang tata cara memilih seorang pemimpin.

Islam yang roleran dan adil, tidak akan menolak tata cara memilih

pemimpin, baik lewat pemilihan langsung ataupun tidak langsung.

Saya tidak akan berangan-angan jika kelak- dan faktanya sampai

saat ini - para pendukung negara agama akan bersepakat dengan

kaidah kita ini.

Saya bukanlah berbicara tanpa dasar. lni didasarkan pada

kenyataan yang ada dalam sistem kekuasaan di dunia Islam pada

zaman modern ini. Di Arab Saudi, soal kepemimpinan didasarkan

pada baiat yang dilakukan Ahl al-Halli mi al-'Aqdi. Yang berhak

untuk dipilih menjadi pemimpin pun dibarasi hanya pada kalangan

anggora keluarga kerajaan. Ada juga cara baiat lewar surat wasiar

yang diculiskan oleh pemimpin sebelumnya untuk menunjuk

I S
Kebenar.m yang H,lang

penerusnya dengan mengacu pada tata cara Abu Bakar dalam

memilih Umar. Itulah yang terjadi di Sudan pada era Ja'far an­

Numeiry. Di Iran, ada insitusi velayat-e-fokih. Ada juga kesepa­

kacan rersirat unruk menjalankan syariar Islam dalam tata cara

pemilihan pemimpin di Pakistan.

Artinya, selalu ada persyaratan baru yang lebih kerar dalam

rumusan krireria seorang pemimpin. Namun yang hampir sama

di antara negara-negara yang saya sebuckan tadi, masa kepe­

mimpinan kepala negara, selalu tidak terbaras alias sepanjang

hayar. Tidak jadi soal tampaknya berapa pun lamanya mereka

memegang mandat yang diberikan kepada mereka selagi mereka

dianggap berpegang teguh pada al-Quran clan Sunnah. Akan

rerapi, tidak ada pula kisah yang menunjukkan bahwa seorang

pemimpin dicurunkan karena menyalahi ketentuan icu. Padahal

berapa banyak dari mereka yang menyalahi keduanya. Namun

mereka tidak diberhentikan apalagi direntang, baik pada masa

lalu arau pun pada masa sekarang.

Kisah sejarah dalam soal ini amat panjang, bahkan dapat

dikatakan cukup penuh dengan kegilaan. Baik itu dalam soal

ekstrimisme penguasa dalam menyalahi akidah agama, acau pun

ekstrimisme rakyat ketika tunduk dengan kehendak clan kekuasa­

annya. Para pembaca mungkin mengira saya rerlalu berlebihan

dalam mengemukakan ini. Sebab para pendukung negara agama

segera dapat berargumen bahwa institusi syara dapat membarasi

kesewenang-wenangan penguasa dan menjaga kemaslahatan rakyar.

Namun saya ingin mengingatkan bahwa pada titik ini pun

teradapar hambatan baru, yaitu perdebatan sepurar hakikar syara.

Apakah ia mengikat bagi penguasa-dan ini pendapar minoriras

- acau tidak mengikat - dan ini pendapat mayoritas? Bahkan

ada yang mengatakan bahwa seorang penguasa hanya terikat

untuk meminra pertimbangan, terapi ridak terikat unruk tunduk

kepada pendapat yang menjadi konsensus insitusi syara.

1 9
Kebenar:m yang H,lang

Orang-orang yang rulus di antara jajaran juru dakwah Islam

modern sudah menyadari bahwa mereka saar ini memang tengah

menghadapi kondisi masyarakat yang tidak sama lagi dengan apa

yang dijumpai para pendahulu mereka. Mereka juga tahu bahwa

demokrasi dalam maknanya yang modern, yaitu pemerintahan

dari rakyat untuk rakyat, sama sekali tidak bertentangan dengan

Islam. Mereka juga mengakui bahwa ijtihad-ijtihad mereka yang

percaya pada demokrasi dan perlunya sistem perwakilan, pemi­

lihan langsung dan tidak langsung, ridak mungkin bertenrangan

dengan esensi Islam dan semangat kebebasan yang terkandung

di dalamnya. Orang-orang seperti iru di antaranya adalah Ustad

Khalid Muhammad Khalid, dan seorang alim terkemuka, yaitu

Muhammad al-Ghazali. Narnun, mereka menghadapi arus besar

penolakan yang mendesak mundur keluasan wawasan dan

pemahaman mereka tentang esensi ajaran Islam yang orentik. Para

pemuka aliran-aliran revolusioner dan konservacif di masyarakat

dengan sengit mengeritik clan menelanjangi pendirian mereka.

Tidak ada bedanya antara mereka yang rnoderat ataupun yang

ekstrimis dalam soal kecaman itu.

Iru terlihat misalnya dari pernyacaan Ustad Umar ar-Tilmisani

dan Ustad Umar Abdur Rahman. Keduanya secara reroris menolak

kedaulatan rakyat dengan anggapan iru bertenrangan dengan

kedaulatan Tuhan. lni perkara yangjika kira cermati secara seksarna

tidak bertentangan sama sekali. Akan rerapi mereka berusaha

memperkuat agirasi mereka dengan hipotesis-hipotesis yang aneh.

Misalnya kalangan mayoritas, mengira bahwa mereka bisa saja

mengesahkan suaru perundang-undangan yang bertentangan

dengan syariat Tuhan. Hiporesis lain, memberikan hak melegislasi

kepada sisrem perwakilan dianggap sama saja dengan merampas

hak Tuhan yang tetap dan sakral sebagai saru-satunya Legislator

Agung. Mereka juga khawatir bahwa demokrasi bisa jadi akan

membatalkan reks al-Quran yang syart dengan pendapat individu.

20
Kebenar.m yang H,lang

Demikianlah anda melihat begiru banyak hambatan dan

tidak putusnya rantangan. Ketika hambatan satu hilang, muncul

hambatan baru. Sebetulnya, tantangan-tanrangan baru ini

melegakan bagi kalangan yang inklusif karena ha! icu akan

membuka pintu lebar-lebar bagi lapangan ijtihad yang tidak

berbenturan dengan semangat zaman, tanpa keluar dari semangat

agama yang benar. Namun ini dapat membuat orang-orang yang

selalu mengandalkan pendapar orang-orang terdahulu sangat

terganggu dan ikut mengecilkan peranan mereka. Sebab kerika

mereka hendak condong ke kanan, tiba-tiba dunia tidak lagi

menghendaki kehadiran mereka. Ketika mereka menoleh ke kiri,

mereka rupanya sudah terbentur oleh penolakan mereka sendiri

terhadap kemampuan akal-budi manusia. Kalau mereka berada

di rengah, mereka sama saja mengabaikan eksistensi mereka dan

meremehkan rantangan yang berada di depan mereka.

Karena itu kalau anda ingin lebih cermat mengamati mereka,

tantanglah mereka unruk menghadapi kenyataan hidup. Katakan

pada mereka bahwa syariat Islam sendiri tidak akan berwujud dan

terejawantah kecuali di dalarn masyarakat yang benar-benar Islarni.

Arau dalarn makna yang lebih dalarn, dalarn negara agama. Narnun

negara seperti ini recap membutuhkan agenda politik yang mampu

mengemukakan perincian dan pendasaran terhadap sesuatu yang

masih umum atau pun terlalu khusus. Mereka pasti akan kesuliran

untuk menyiapkan agenda seperti ini, apalagi mengemukakannya

kepada anda. Mereka seberulnya hanya ingin lari dari kenyataan

dengan cara menyeru kira unruk menerapkan syariat Islam yang

hanya akan membawa kita kepada negara agama yang teokratis.

Negara seperti ini hanya akan membuat kita limbung untuk

bergerak ke kanan atau ke kiri, tanpa adanya mercusuar yang akan

memandu kira dengan gagasan-gagasan dan ijtihad yang mence­

rahkan. Kita hanya diajak pasrah menerima apa yang akan terjadi.

Terserahlah apa yang akan terjadi pada Islam. Kita hanya menyerah-

21
Kebenar:m yang H,lang

kan jasad kira untuk mereka injak. Ketika mereka tidak mampu

melakukan ijcihad yang sesuai dengan semangac zaman, mereka

langsung menolak zaman. Kecika mereka cidak mampu memimpin

Mesir ke arah perubahan, jusrru mereka membuat Mesir icu sendiri

menjadi hancur.

Kedua, sangat penting bagi kita untuk mendiskusikan salah

saru slogan yang selalu dikumandangkan para pendukung

penerapan syariat Islam, yaicu anggapan bahwa penerapan yang

segera atas syariat Islam akan mendacangkan kebaikan yang segera

pula. Namun anda wahai para pembaca, akan membukcikan

sendiri bahwa kebaikan masyarakat, atau penuntasan problem

mereka, cidak dapar bergancung pada wujudnya seorang pemim­

pin Islam yang saleh. Tidak pula bergantung pada berpegangnya

semua umat Islam kepada agama dan keculusan mereka berpegang

kepada akidah. Tidak pula bergantung pada penerapan syariat

Islam baik secara cekscual maupun kontekscual. Akan rerapi, ia

bergantung pada soal lain yang akan saya sebuckan nanti.

Argumen saya dalam hal ini sepenuhnya logika, Alasan saya

adalah fakta-fakta sejarah. Saya akan memaparkan contoh dari

periode Islam yang paling cemerlang sekalipun dalam soal

penerapan akidah dan iman. Yang saya maksud adalah periode

al-Khulafa' al-Rasyidun. Kira berhadapan dengan tiga puluh

cahun hijriyah acau dua puluh sembilan cahun lima bulan masa

al-Khulafa' al-Rasyidun. Masa kepemimpinan Abu Bakar

berlangsung selama 2 tahun, 3 bulan, dan 8 hari. Kepemimpinan

Umar berlangsung selama 10 tahun 6 bulan dan 19 hari. Masa

Usman berlangsung selama 1 1 rahun 11 bulan dan 1 9 hari. Lalu

1
dirurup masa Ali sepanjang 4 rahun 7 bulan.

1
Lihat al-Mas'udi, Murujuz Dzahab, Beirut: Darul Makrifah, Juz IV,

hal 387-388.

22
Kebenar.m yang H,lang

Dari sini kica dapat menyebuckan dengan penuh keyakinan

bahwa masa kepemimpinan Abu Bakar selama 2 cahun 3 bulan

lebih rerfokus pada peperangan antara bala tenraranya dengan

orang-orang yang di cud uh murcad di SemenanjungArabia. Seluruh

masa kepemimpinan Ali juga lebih banyak cerfokus pada

peperangan antara ba1a tentaranya dengan para pembelot dan

penentang kekuasannya di sacu sisi, cermasukAisyah, Thalhah, dan

al-Zubair dalam Perang Unta, maupun dengan bala tentara

Muawiyah dalam Perang Shiffin, dan puluhan perang lainnya

dengan kaum Khawarij. Dari dua periode icu saja, kica dapat

mengecahui bahwa ambisi untuk berperang lebih dominan daripada

ambisi untuk membangun negara dan memperkuac sendi-sendinya.

Apabila kedua masa Abu Bakar dan Ali ini digabung, maka kica

akan mendapackan 6 cahun dan IO bulan masa peperangan.

Nyaris, cinggal masa Umar dan Usman yang dapar menun­

jukkan wajah Islam sebagai negara pada era paling cemerlang

dari periode Islam sebagai agama. Di sini, kita masih dapat lagi

membaginya menjadi dua masa fase: 10,5 rahun era Umar dan

sekicar 12 cahun masa Usman. Dua masa ini adalah masa-masa

yang cukup uncuk menunjukkan contoh ideal tentang Islam

sebagai negara. Umar dan Usman adalah dua orang sahabat Nabi

yang terdekat dengan pemahaman Islam Nabi. Keduanya diberi

kabar gembira akan mendapat surga. Yang pertama, Umar, punya

presrasi-prestasi cemerlang dalam membela dan mengangkat

marcabat Islam. Prestasi itu tidak hanya dicacac buku-buku sejarah,

namun juga dikuackan oleh al-Quran sendiri. Sebagian ayat al­

Quran bahkan diturunkan dalam rangka mememangkan pen­

dapar Umar. Iru adalah kehormacan yang ciada cara bagi Umar.

Sosok kedua, yaicu Usman, punya prestasi tentang iman,

kebajikan, dan kedermawanan. Cukuplah posisinya sebagai suami

salah seorang putri Nabi sebagai patokan. Inilah kedua sosok

sahabat Nabi icu.

73
Kebenar:m yang H,lang

Semenrara iru, tentangkondisi rakyat, yairu para sahabar Nabi,

keluarga dan kerabarnya pada masa itu, mereka selalu mengingat­

ingat apa sikap dan ungkapan Nabi dalam kasus-kasus tertentu

dalam sejarah Islam. Kerika mereka sampai pada suaru rempat,

mereka langsung teringat dengan apa yang dikatakan Nabi. Mata

mereka ridak melihat ke aras mimbar kecuali masih terbayang di

benak mereka sosok Nabi yang sedang berkhurbah. Kerika salat di

belakang seorang khalifuh, mereka masih saja merasakan bahwa

yang berdiri di hadapan mereka adalah Rasulullah. Ketika membaca

a1-Quran, mereka rahu kapan ayar iru rurun, di mana, mengapa,

dan adakah sebab-sebab khusus ia diturunkan.

Singkat kata, mereka masih hidup dalam bayang-bayang

kehadiran Nabi. Mereka merindukan Nabi untuk dekar bersamanya

dengan pen uh cinra. Demikianlah renrang masyarakat Islam masa

itu. Adapun soal syariat Islam, tidak ada yang meragukan bahwa

pada masa keduanya iru syariat direrapkan secara penuh. Bahkan

jangan kaget jika saya mempermaklumkan bahwa masa-masa ini

adalah masa tercemerlang dalam penerapan syariar. Penerapan

syariat, jika ditinjau dari sifat pemimpin dan kondisi masyarakar

yang dipimpinnya wakru itu, seperri mewajibkan sesuaru yang ridak

perlu diwajibkan lagi, karena semua masyarakar sudah melak­

sanakannya. Akan rerapi rerap saja era Umar berbeda dari era

Usman. Umar dan umat Islam relah menjunjung tinggi dasar-dasar

keyakinan agama dan esensinya. Namun umat Islam berbahagia

dengan pendekaran Umar dalam soal agama. Urusan negara pun

beres di rangannya. Ia meninggalkan kepada penerusnya suaru

metode yang tidak diperselisihkan lagi. Kita tidak akan tahu

kredibilitas dan wibawa pengusa kecuali jika kira menyaksikannya

sendiri apa prestasi dan rekam jejaknya.

Namun Usman membawa umat Islam ke dalam polemik

tentang sosok dirinya. Para pemimpin di dalam Ahl al-Hall wa

al-'Aqdi membuat konsensus unruk melarikan diri dari kepe-

24
Kebenar.m yang H,lang

mimpinannya, baik lewar cara pemecacan menurut kalangan ahli

pikirnya, maupun kekerasan menurut kalangan garis kerasnya.

Wibawanya terguncang di mara rakyat, sampai sebagian ma­

syarakatnya menghunus pedang yang siap mencincangnya dan

menohoknya kecika berada di aras mimbar. Bahkan sebagian

menghinanya dengan sebucan Na'sral, seburan uncuk orang

Kristen Madinah bernama Na'rsal yang keberulan berjenggot lebat

seperti Usman. Para pemuka sahabat pun menentangnya, ini

adalah sesuaru yang sangat terang benderang menunjukkan bahwa

ia keluar dari ketenruan al-Quran dan Sunnah. Karena itu, muncul

seruan secara terang-terangan unruk membunuhnya. Hadis Aisyah

2
meriwayarkan: "Bunuhlah Na'tsal, dan rerlaknarlah Na'rsal." lni

semua ridak meninggalkan keraguan sama sekali tentang

bagaimana citra seorang khalifah di mata masyarakatnya dan

bagaimana nasib masyarakar di tangan para khalifah.

Walaupun sejarah menyebuckan bahwa Umar dan Usman

mati terbunuh, namun sejarah juga mencatat bahwa Umar ter­

bunuh di tangan seorang bocah Majusi. Pembunuhannya itu

memunculkan rasa hilang di dalam sanubari umat Islam. Jiwa

mereka dipenuhi perasaan gundah dan sesal karena hilangnya

seorang pengayom rakyat yang tidak tergantikan. Namun, ke­

matian Usman dicanggapi secara berbeda dari kematian Umar.

Ia terbunuh oleh cangan umat Islam sendiri yang bersepakat mem­

beroncak dan mengepung rumahnya. Dan anda dapat saja

membayangkan bahwa kematian Usman relah melegakan haci

sebagian umar Islam. Bahkan, permusuhan sebagian umat Islam

atas dirinya berlangsung serelah kematiannya. Namun buku-buku

2
Lihat Abbas Mahmud Aqqad, "Abqariyyatu Ali," dalam al-Majmdah

al-Kamilah IT Muallafet al-Aqqad, Beirut: Darul Kurub al-Libnani, jilid II,

hal. 99, atau Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Kairo: Maktabatun Nahdlah al­

Mashriyyah, juz III: 252)

25
Kebenar:m yang H,lang

sejarah berbicara soal ini dengan riwayat-riwayat aneh yang riada

tara, walau maksudnya tidak dapat dinafikan juga.

3
Al-Thabari misalnya, dalam kitab Tarrkh al-Umam wa al­

Muluk, menyatakan: "Mayat Usman harus bertahan dua malam

karena tidak dapat dikuburkan. Ia ditandu empat orang, yaitu

Hakim bin Hizam, Jubair bin Math' am, Niyar bin Makram, dan

Abu Jahm bin Huzaifah. Ketika ia clisemayamkan unruk disalat­

kan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang mereka

unruk menyalatkannya. Di situ ada Aslam bin Aus bin Bajrah as­

Saidi dan Abu Hayyah al-Mazini. Mereka juga melarangnya untuk

dimakamkan di pekuburan Baqi'. Abu Jaham lalu berkata:

'Makamkanlah ia karena Rasulullah dan para malaikat telah ber­

salawar arasnya.' Akan tetapi, mereka menolak: 'Tidak, ia selama­

nya tidak akan climakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu mereka

memakamkannya di Hisy Kaukab (sebuah areal pekuburan Yahudi).

Baru tarkala Bani Umayyah berkuasa, mereka memasukkan areal

perkuburan Yahudi itu ke dalam kompleks Baqi'."

Dalam riwayat lain bahkan dikarakan, kerika mayar Usman

berada di sebuah pin tu, Umair bin Dzabi'i datang meludahinya,

lalu ia memarahkan salah saru persendiannya. Dan dalam riwayat

lain pun dikatakan, tatkala prosesi penguburannya di Hisy Kaukab

berlangsung, orang-orang Islam melemparinya dengan baru

sampai-sampai para penandunya mesti berlindung di sebuah

tembok. Di samping tembok itulah ia kemudian dimakamkan.

Demikianlah. Khalifah ketiga Islam dibunuh oleh orang Islam

sendiri. Sanak keluarganya tidak dapat memakamkannya sampai

dua malam. Baru pada hari ketiga mereka dapat memakamkannya.

Sebagian kaum Muslim menolak unruk menyalatinya. Dan

sebagian bahkan bersumpah bahwa ia tidak akan pernah dapat

3
Al-Thabari, Tll.rTkh al-Tabari, Beirut: Muassasarul I'larn Iii Math bu' at.

Ju, IIL 439.

26
Kebenar.m yang H,lang

dimakamkan di pekuburan kaum Muslim. Jasadnya dilempari batu,

dan orang-orang Islam rerap memusuhi mayarnya. Salah satu

persendiannya dipatahkan, dan akhirnya ia dimakamkan di peku­

buran Yahudi.

Pertanyaan kita: kemarahan seperti apakah yang membuat

mereka harus tetap menyerang seorang pemimpinnya walau ia

tinggal jasad ranpa nyawa? Mengapa mereka begitu dendam kesu­

mat sekalipun hanya terhadap mayat yang tak berdaya? Mereka

seakan-akan ridak mengindahkan kenyaraan bahwa Usman

termasuk jajaran orang yang perrama masuk Islam. Mereka juga

tidak memerhatikan umurnya yang sudah 83 rahun. Mereka

melupakan bahwa ia adalah suami dari salah seorang putri Nabi.

Mereka bahkan menolak unruk menyalati dan menguburkannya

di pemakaman umat Islam. Usman diposisikan sebagai orang

paling hina dan paling sial di antara umar Islam.

Kemarahan itu pastilah karena perkara yang teramar besar.

lni juga sebuah ungkapan yang sangat rerang tenrang apa

pandangan umat Islam ten tang pemimpinnya. Namun, itu tidak

memengaruhi Islam sama sekali. Sebab Usman bukankan salah

saru rukun dari rukun-rukun Islam. la adalah manusia biasa yang

bisa salah dan bisa benar. Seorang pemimpin umat ridak pernah

punya klaim kekebalan dan kesakralan yang membuatnya lebih

tinggi derajatnya dari kaum Muslim lainnya. Akan terapi, anda

dan juga saya pasti tidak kuasa untuk bertanya dan mencari jawab:

Mengapa sampai demikian ?

Bukankah ketika Usman dipilih ia termasuk salah seorang

yang terbaik di antara umat Islam? Ia juga bahkan rermasuk salah

seorang sahabat Nabi yang dijanjikan akan masuk syurga. la juga

salah seorang dari anggotaAhl al-Hall wa al-'Aqd. Dan umar Islam

ketika itu juga sudah memperkirakan bahwa kepemimpinan umat

Islam setelah Umar tidak akan jatuh kecuali di antara dua sahabar,

yaitu Usman dan Ali. Lebih dari iru , bukankah umar Islam ketika

27
Kebenar:m yang H,lang

icu sedang berada dalam caraf tertinggi dalam soal keceguhan dan

kesungguhan dalam berpegang kepada akidah Islam dan masih

sangac dekat dengan sumber ucamanya, yaicu al-Quran dan

Sunnah? Bukankah kebanyakan dari mereka adalah para sahabac

Nabi yang curut menyampaikan kepada kica apa yang mereka

perhacikan dari hadis dan sikap Nabi? Jawabannya, ya.

Bukankah syariac Islam juga diterapkan penuh pada masa

kepemimpinan Usman? Jawabannya, ya. Tidakkah dari paparan

di atas kica dapat menyimpulkan bahwa pemimpin yang baik,

umac Islam yang luhur, syariat Islam yang diterapkan penuh,

seharusnya menjamin kebaikan bagi rakyat, menertibkan sistem

kekuasaan, mewujudkan keadilan, dan menjamin keamanan?

Jawabannya, seharusnya demikian. Saat inilah kica celah sampai

pada kesimpulan-kesimpulan yang kica carik dari paparan di acas.

Mudah-mudahan dengan kesimpulan-kesimpulan ini kica dapat

memecahkan problem penafsiran dan dapat menjawab pertanyaan

"mengapa" di aras.

Kesimpulan Pertama

Sesungguhnya keadilan cidak akan cerwujud dengan kebajikan

penguasa semata-mata dan cidak juga akan bersemi dengan

kebajikan rakyat dan penerapan syariac. Namun, keadilan dapat

terwujud dengan apa yang kira sebut sebagai "sisrem kecaca­

negaraan" (nidiim al-hukm). Yang saya maksud adalah kerenruan­

ketentuan yang memuat raca cara mengontrol penguasa jika ia

bersalah, dan menghambarnya untuk melampaui kewenangannya.

Dengan itu, kica dapat menurunkannya jika ia melenceng dari

kepenringan publik arau menyalahi kewenangannya. Ketenruan­

ketentuan iru dapar dacang dari unsur internal yang cumbuh dari

kesadaran dan sensitivicas seorang pemimpin sebagaimana pada

28
Kebenar.m yang H,lang

masa Umar. Namun, ini sangat jarang terjadi, dan karena itu

tidak dapat dijadikan patokan dan dasar. Yang lebih tepat adalah

bilamana ketencuan-ketencuan iru bersifac meyakinkan dan


. .

terorgan1sas1.

Para pemimpin Islam telah menghadap kepada Usman yang

dianggap telah melenceng dari prinsip-prinsip keadilan, bahkan

sebagian menganggapnya celah keluar dari esensi Islam yang benar.

Namun ia tidak mengubah kebijakan politik kepemimpinannya

sama sekali. Para pemuka itu akhirnya mencari-cari preseden dari

masa lalu kepemimpinan Abu Bakar dan Umar uncuk menyang­

gah Usman, namun mereka gagal. Mereka juga mencari kaidah

yang retap dalam Islam kerika menjalankan urusan negara rapi

mereka ridak menemukannya. Karena itu, perkaranya menjadi

runcing dan karena icu mereka mengepung Usman dan menuntut­

nya untuk mengundurkan diri.

Namun karena ketenruan tentang itu memang belum ada,

Usman pun menjawab dengan ungkapannya yang terkenal iru:

"Demi Allah, aku tidak akan melepas baju yang telah disematkan

Allah kepadaku!" Ketika situasinya bertambah gen ting dan Usman

sudah nyaris dikeroyok oleh rakyarnya sendiri, mereka masih

memberikan ciga opsi yang masuk akal kepada Usman. Pertama,

ia akan diperkarakan dalam suaru sidang uncuk memascikan ia

bersalah arau cidak bersalah sebagaimana umat Islam lainnya, dan

setelah itu ia bisa melanjurkan kekuasannya. Usman tahu tidak

akan ada kesalahan canpa sanksi. Kedua, ia melepaskan kekuasan­

nya acau mengundurkan diri dari jabatan khalifah dengan

kesadaran sendiri. Keriga, mereka akan mengirim bala tentara

dan penduduk Madinah uncuk mendemonstrasikan bahwa

mereka tidak lagi raar terhadap Usman (atau menurunkan khalifuh

lewat kekuatan rakyat).

Namun jawaban Usman, sebagaimana yang termaktub dalam

surac terakhirnya yang ditulis Ibnu Suhail malah mengacakan:

79
Kebenar:m yang H,lang

"Mereka telah mengajukan kepadaku tiga pilihan. Entah meng­

ikatku karena tidak dapat melupakan semua langkah-langkahku

yang mungkin salah atau benar, atau aku mengundurkan diri

dan mereka menunjuk orang lain selain diriku, atau mereka akan

mengirim bala rentara yang loyal kepada mereka dan penduduk

Madinah, sehingga dengan begitu mereka dapat melepaskan diri

dari ketentuan Allah SWT yang menitahkan mereka untuk

tunduk dan taat kepadaku. Aku karakan kepada mereka: adapun

jika aku dirarik ke pengadilan, maka sebelumku juga sudah ada

khalifah yang berbuat salah dan berbuar benar. Tidak ada satu

pun dari mereka yang diseret ke muka pengadilan. Aku tahu,

mereka hanya menginginkan aku. Adapun opsi untuk undur diri

dari kekuasaan, mereka tidak menyodorkan padaku orang yang

paling kukehendaki agar aku dapar pensiun dari rugas yang

diamanatkan Allah kepadaku untuk menjaga khilafahnya.

Sementara ungkapan mereka unruk mengirimkan bala tentara

dan penduduk Madinah untuk membelot dari ketaaaran kepadaku,

aku tidak punya urusan dengan mereka. Aku tidak memaksa

mereka sebelumnya untuk tunduk dan raat kepadaku. Mereka

sendirilah yang menyarakan keataaan kepadaku."

Di sini rampak sekali bahwa Usman menyatakan bahwa

permintaan tanggung jawab dari khalifah sama sekali tidak ada

preseden sebelumnya. Paling tidak, belum ada kerentuan seperti

itu sebelum masanya. Di sini ia juga bersikeras menyatakan akan

memperrahankan kekuasaannya sampai akhir dan opsi pemecatan

dirinya adalah tidak mungkin. la juga menanggapi pencabutan

mandat dengan logika yang aneh: Apakah aku memaksa kalian

untuk memberikan mandar kepadaku? Artinya, ia berpikiran

bahwa seriap mandar bersifat abadi dan tidak ada ruang unruk

menarik atau mencaburnya lagi.

Jadi tidak ada kerentuan, apalagi sistem yang mampu me­

ngonrrol kekuasaan. Karena itu, urusan ini dikembalikan kepada

30
Kebenar.m yang H,lang

hati kecil para penguasa. Jika kebeculan kica menemukan pe­

mimpin yang adil dan askecis, kica akan menjumpai sosok seperti

Umar. Namun, jika kebeculan kira menemukan pemimpin yang

belum mampu berbuat adil dan tetap bersikukuh memegang

kekuasaan, maka akan muncul sosok Usman. Karena icu Usman

memaklumackan bahwa sisrem pemerinrahan Islam versi dirinya

berlangsung acas kerentuan "kepemimpinan seumur hidup." Di

sini, cidak ada tata cara uncuk meminta perranggungjawaban

pemimpin. Tidak ada peradilan atau sanksi bilamana ia berbuar

salah. Rakyat tidak berhak uncuk mencabut mandat darinya,

apalagi memecarnya. Cukup dengan sekali baiat kepadanya, iru

sudah menjadi penyerahan mandat selamanya. Dan rakyat tidak

berhak unruk mencabut acau meninjau-ulang mandat tersebut,

atau menuntur orang yang dibaiac untuk mengundurkan diri.

Karena tidak seorang pun menyepakati bahkan membayang­

kan bahwa irulah prinsip-prinsip kekuasaan di dalam Islam, maka

akhirnya ia dibunuh oleh umat Islam sendiri. Akan rerapi. perra­

nyaan masih juga menggantung: Adak.ah prinsip atau ketenruan­

ketenuan alternatif dari itu? Adakah sistem kekuasaan yang jelas

batasan-batasannya di dalam Islam? Adakah di dalam al-Quran

ataupun Sunnah ketenruan soal bagaimana umar Islam meng­

angkat pemimpinnya dan menetapkan jangka wakcu uncuk

memperbaharui mandac terhadapnya? Adakah kerentuan soal

bagaimana tata cara mencabut mandac itu sebagaimana ketentuan

unruk mengumumkan mandat sebelumnya, sehingga rakyar

berhak untuk mengontrol penguasanya, bahkan memberi sanksi

apabila ia bersalah? Bagaimana wewenang yang diberikan dalam

mandat iru dijalankan?

Saya kira, penanyaan-perranyaan seperti ini masih menggan­

tung dan belum pernah terjawab dalam sejarah Islam. Bahkan

pertanyaan iru menghilang segera secelah berakhirnya masa al­

Khulafu' al-Rasyidun. Dan orang-orangyangeksrrem di masa sekarang

31
Kebenar:m yang H,lang

berupaya untuk rerap memendam dan menguburnya. Iru semua

untuk melepaskan diri dari kebingungan, menghindar dari polemik,

dan menjauhkan diri mereka dari etos ijcihad. Kemungkinan karena

kemalasan, atau kebekuan, atau ketidakmarnpuan.

Kesimpulan Kedua

Penerapan syariat Islam iru sendiri sesungguhnya bukanlah esensi

dari Islam. Syariat telah direrapkan secara penuh dan terjadilah

apa yang terjadi. Karena itu yang lebih penting dari penerapan

syariat iru sendiri adalah menerapkan ketenruan-ketentuan ketata­

negaraan yang adil dan berkesesuaian dengan semangat Islam.

Kita telah menyaksikan betapa penuhnya syariat diterapkan dan

betapa salehnya seorang pemimpin komunicas Islam. Bahkan

rakyatnya pun tidak kalah berimannya. Namun yang terjadi tetap

terjadi karena memang ada sesuacu yang hilang, dan saya mengira

perkara iru masih recap lenyap sampai saar ini.

Apa yang terjadi di Sudan sebetulnya cukup menjadi bukti

berapa riskannya memulai sesuaru dengan paras Islam yang

sanksional. Iculah yang terjadi bilamana seorang pemimpin me­

maklumackan penerapan syariat Islam dalam sebuah negara.

Mereka segera menerapkan sanksi (ludad di tengah masyarakat

yang terancam kelaparan. Imbas yang dirasakan oleh para

pendukung penerapan syariac sendiri menjadi lebih kecil serelah

syariat icu benar-benar diterapkan dibandingkan sebelum syariat

icuditerapkan, hal ini menjadi sebuah ironis. Karena icu sebelum

memulai sesuacu, hendaklah kita memulainya dengan yang paling

pokok, bukan dari cabang. Dimulai dari esensi terdalamnya,

bukan kulit luarnya. Mendahulukan keadilan di atas sanksi-sanksi,

menjamin stabiliras di aras qisas dan menjamin rasa aman di atas

teror serta menjamin perut kenyang daripada memotong tangan.

32
Kebenar.m yang H,lang

Kesimpulan Ketiga

Andai anda beranjak dari masa Usman ke masa sekarang, anda

tidak akan menemukan banyak perubahan dan perbaikan, baik

icu dalam aspek penyelesaian problem masayarakar acau dalam

soal kontrol terhadap para penguasa apabila mereka bersalah dari

sudut pandang Islam. Tidak perlulah anda mencari-cari hubungan

antara penerapan syariat dengan porensi penyelesaian problem

masyarakat. Tanyakan pada saya dan pada diri anda sendiri hal­

hal berikuc ini:

Bagaimanakah caranya agar upah meningkat sementara harga

menurun bila syariac Islam direrapkan? Bagaimanakah caranya

mengacasi soal perumahan yang sangat kompleks icu dengan

penerapan syariac? Bagaimana menanggulangi utang luar negari

secara syariac? Bagaimana badan usaha milik negara akan menjadi

badan usaha yang produkcif, seimbang dengan tingkat invescasi­

nya, dalam kerangka penerapan syariar?

lni hanya soal yang terbersit dalam benak saya untuk dikemu­

kakan kepada para pendukung penerapan yang segera atas syariat.

Mereka berfanrasi akan diperolehnya solusi yang segera acas

problem masyarakat clan berjanji mampu menjawabnya. Mereka

sebetulnya juga terjebak dalam kebingungan ketika mendialogkan

persoalan-persoalan ini. Karena iru, mereka cidak mampu mem­

buat agenda politik yang menyeluruh. Bahkan keahlian mereka

berinovasi dengan ayac-ayat dengan bersandar pada ijcihad-ijcihad

abad ke-2 hijriah pun akan membuat persoalan bertambah rumit,

alih-alih akan menyelesaikannya.

Pandangan yang sempit tencang riba misalnya, jika direrapkan

di dunia sekarang ini akan mengakibatkan goncangan besar di

pasar keuangan. Icu semua akan berdampak pada manipulasi

(tahayul) sebagaimana yang tampak dalam pengalaman bank-bank

Islam. Mungkin icu semua akan mengakibatkan kehancuran

33
Kebenar:m yang H,lang

bukan pertumbuhan yang terjadi, mendatangkan stagnasi bukan

mendatangkan keuntungan.

Sebelum anda membuka mulur dengan terheran-heran atau

angkat tangan unruk menyanggah, izinkan saya menegaskan

bahwa seberulnya bukan syariatlah yang mendatangkan itu semua.

Namun ijtihad-ijtihad abad ke-2 hijriah irulah yang membawa

kehancuran jika ia direrapkan pada masa yang sudah berubah

ini. Kini kita mengenal berbagai benruk transaksi keuangan yang

tidak dikenal pada masa lalu. Ada banyak perubahan sehingga

transaksi simpan-pinjam bukan lagi semata-mata aras dasar

kebutuhan sehari-hari. Menabung di bank pun tidak sama dengan

praktik meminjamkan uang kepada orang lain. Kini ada istilah

inflasi yang berimbas pada melemahnya daya beli uang. Arau

contoh-contoh lainnya yang belum terpikirkan arau tersenruh

ijtihad sama sekali. ljtihad yang ada barulah ijtihad yang mungkin

cocok untuk waktu dan rempatnya dan bukan unruk kurun kita.

Iru barulah rentang konsepsi riba. Bagaimana dengan ringkar

upah, harga, dan permukiman warga? Apakah ada kaitan antara

fenomena atau problem ini dengan penerapan syariat? Yang

rampaknya lebih pasti, tidak ada hubungan arau ketarkairan sama

sekali. Namun hubungan iru akan terjadi dan dapar dievaluasi

korelasinya bilamana ada agenda politik yang dapat mensis­

temarisasi kosa kata masyarakar, termasuk syariat, dalam suaru

sisrem yang tidak bertentangan dengan Islam dan ridak juga

berbenturan dengan perkembangan dunia modern.

Kesimpulan Keempat

Kita harus membedakan antara dua perkara, yaitu antara melarikan

diri dari kenyataan atau menghadapinya, anrara kenekatan dan

keberanian, anrara menonjolkan kulit luar clan menelisik inti

34
Kebenar.m yang H,lang

terdalam. Masyarakat tidak akan berubah dan umat Islam tidak

akan maju hanya dengan memanjangkan jenggot clan mencukur

kumis. Islam tidak akan dapat menaklukkan zaman dan maju ke

depan hanya ketika para pemudanya menggunakan pakaian

Pakistan. Menjempur kemajuan ilmu pengetahuan ridak akan

terjadi hanya dengan menggunakan siwak untuk mengganrikan

pasta gigi, arau hanya sekadar mencelak mara dan mengunakan

tangan telanjang kerika makan arau dengan cara membesar­

besarkan reori rerbelakang tenrang "menangkap bayangan" untuk

mengharamkan patung atau gambar atau dengan menghabis­

habiskan wakru dengan pertengkaran soal rara cara masuk kamar

kecil arau sibuk menentukan rempat munculnya al-Masih al­

Dajjal. Semua itu adalah persoalan yang remeh-temeh.

Namun yang aneh, semua itu sangat membebani pikiran para

pemuda dan sebagian juru dakwah kita, melebihi kesibukan

mereka unruk memikirkan esensi agama dan hakikar Islam yang

tidak berrenrangan dengan semangar kemajuan. Islam adalah

kebenaran yang ridak berganrung sama sekali pada perkara­

perkara seremeh iru. Saya mesri mengaku kepada para pembaca

bahwa saya sangat sedih ketika menyaksikan generasi muda

memenuhi kepalanya dengan perkara-perkara pinggiran seperti

itu. Saya juga menyaksikan para pemimpin mereka, terutama

yang penuh ambisi dari kalangan revivalis Islam, amat anrusias

mengukuhkan pikiran-pikiran seperri iru. Bahkan mereka mele­

bihi dari itu, menyeru unruk meninggalkan ilmu-ilmu konven­

sional atau akriviras-aktiviras non agama agar umar berkonsenrrasi

pada ibadah.

Apakah itu yang dimaksud dengan paras Islam yang sebe­

narnya? Apakah dengan itu kira akan menghadapi tantangan abad

ke-21? Apakah mereka-mereka yang gaga! memimpin diri dan

pengikurnya itu kelak akan berhasil memimpin masyarakar secara

umum? Apakah saya harus menerima ajakan mereka unruk

35
Kebenar:m yang H,lang

menegakkan negara agama, sementara mereka hanya berpegang

pada kulic-kulic agama? Padahal saya cahu bahwa mereka cidak

mengenal aspek-aspek keyakinan agama kecuali permukannnya

saja. Icu pun bukan sesuacu yang berdasarkan al-Quran dan

sunnah Nabi. Apakah mereka siap menghadapi zaman yang sudah

berubah? Alangkah eloknya kalau mereka meneladani Nabi yang

mengajak umacnya uncuk menebar rahmar, mengucuk pembu­

nuhan sesama umat Islam, menganjurkan uncuk menuntur ilmu

walau ke negeri Cina, menolak menjauhkan dunia demi ibadah,

adil dalam pembagian kerja agama dan dunia, dan mengikrarkan

kebijaksanaannya yang sangat penting kepada generasi sesudah­

nya: Anda lebih cahu perkara duniamu!

Kita tahu, mereka-mereka itu adalah kelompok orang yang

membenci masyarakat. Karena itu, masyarakat umum pun berhak

membalas kebencian mereka. Mereka juga berhak mengolok-olok

mereka seperti mereka memberikan sumpah serapah kepada

masyarakat. Seperci halnya mereka merendahkan masyarakat

dengan ungkapan jahiliyah, maka masyarakac pun berhak mencela

mereka dengan ungkapan kaum fanatis dan berpikiran sempit.

Masyarakat berhak menjauhi mereka, masyarakac berhak untuk

memparlakukan mereka dengan sikap yang mereka pilih sendiri

bagi mereka, yaicu memperlakukan masyarakat sebagai pihak yang

keluar dari jalur syariat dan hukum.

Mereka celah menempatkan diri mereka sebagai pemuka

masyarakac. Padahal mereka lebih tepat diperlakukan sebagai

orang-orang tersisih. Mereka sedikit atau banyak, relah memper­

buruk citra Islam kecika mengklaim ten tang Islam apa yang cidak

pancas bagi Islam. Mereka celah menunjukkan paras Islam yang

membuac hati kecil tiap orang yang sehat ingin menghindarinya.

Namun mereka tetap berteriak atas nama Islam dengan sesuatu

yang merendahkan Islam. Akibacnya Islam dianggap sebagai

agama kaum fanatis, padahal ia adalah agama kaum lapang dada.

36
Kebenar.m yang H,lang

Mereka memperlakukan Islam seperti bacu, padahal Islam adalah

agama fitrah bagi manusia. Mereka membuat sempit agama ini,

padahal ia lapang dan terbuka uncuk alam dan ilmu pengecahuan.

Mereka memanrulkan parologi-parologi kejiwaan yang mereka

idap sendiri kepada Islam, sesuaru yang kira tolak atas nama agama

pula dan selaku umat Islam.

Iru adalah benruk pelarian, karena pelarian memang jauh

lebih mudah daripada menghadapi kenyacaan. Cara demikian

lebih gampang daripada bersikap jancan dan ksacria. Mereka

mengemukakan kedangkalan, karena yang demikian lebih enteng

daripada menelisik esensi agama. Dalam hiperbolismenya renrang

simbol-simbol, mereka berrindak tidak proporsional sembari

menuntur penerapan syariar. Irulah tuntutan yang sejalan dengan

tingkat pemahaman mereka dan sesuai dengan jalan pikiran

mereka.

Padahal penerapan syariar dalam masyarakat kira saar ini

seberulnya sudah sesuai dengan apa yang mereka klaim ten tang

paham salaf can pa ijcihad dan renungan yang mendalam. Mereka

mewakili simbolisme yang sebetulnya tidak kira butuhkan.

Mereka hanya menunjukkan kulic permukaan saja, cidak mengan­

dung isi apa-apa di dalamnya. Sementara esensi, kerangka, clan

substansi, adalah apa-apa yang celah saya kemukakan dalam bencuk

ketencuan-ketencuan yang dapat mengorganisasi masyarakac

dengan dasar-dasar yang cidak bertentangan dengan esensi agama.

Ijcihad-ijcihad icu juga cidak bertentangan dengan fakca-fakca

dunia modern dalam kerangka umumnya. Terapi cuncucan untuk

berijcihad adalah tun tu tan yang amat berat bagi mereka. Karena

icu mereka percama-cama haruslah bersusah-payah memahami

dunia modern dengan sebenar-benarnya, sebelum masuk ke

kancah teorerisasi centangnya. Mereka harus mengarungi kehidupan

di dalamnya, sebelum membuackan agenda-agenda untuknya.

Mereka harus berinteraksi aktif di dalamnya sebelum melukiskan

37
Kebenar:m yang H,lang

masa clepannya. Jika tidak mereka pada akhirnya hanya akan

menjadi angin di musim panas yang akan beranjak sirna.

Orang-orang dengan perspektif perrama, yairu para pendu­

kung penerapan segera atas syariar, seberulnya menyembunyikan

di dalam hati mereka rasa permusuhan mendalam rerhadap de­

mokrasi. Itu terjadi entah karena kesengajaan, karena memang

tidak percaya pada demokrasi sebagaimana yang telah kita

paparkan, arau memang karena niar baik, seperri yang dialami

banyak kalangan. Bisa juga karena anrusiasme yang reramar tinggi

terhadap syariat, dan karena iru langsung menunrur penerapannya

tanpa membuka ruang perdebaran yang luas di masyarakar.

Perlu diingat pada akhirnya mereka juga mengecam para

anggora dewan perwakilan rakyar dengan menganggap mereka

keluar dari agama kerika menolak, berhari-hari, arau skepris

terhadap penerapan syariar. Bahkan, sebagian mereka berusaha

melampaui wewenang dewan dengan menghadap langsung

kepada kepala negara agar syariat yang mereka pikirkan direrapkan

secara langsung dan segera.

Perkara ini sebagaimana saya karakan sebelumnya, bukanlah

perkara syariar semata, rapi perkara memilah antara negara agama

clengan negara warga. lni aclalah pilihan, sebagaimana yang relah

saya jelaskan, antara alternatif yang relah jelas clan relah cliterapkan,

yaitu negara warga, dengan sesuaru yang para pendukungnya

sekalipun belum melakukan pengkajian clan pengembangan -

dan karena itu belum jelas, yairu negara agama. Karena itu, sangar

sulir, clan fakranya memang sulir memuruskan perkara ini dalam

dua atau tiga kali pembahasan clalarn hitungan sepekan dua pekan.

Aras dasar itu, saya mengemukakan cara lain unruk membahas

soal ini dan mendiskusikannya, dengan cara yang saya pandang

lebih tepat clan lebih benar, bukan saja clari sudur panclang saya.

Perkara ini suclah menjacli kelaziman yang tidak perlu cliperbincang­

kan lagi karena alasan yang sederhana, yaitu kenyaraan alamiah.

38
Kebenar.m yang H,lang

Sebelum mengemukakan pandangan saya dalam soal ini, para

penentang pendapar saya mungkin akan mengarakan: Mengapa

anda yang mengaku demokratis berhak bicara, sementara hak

kami unruk mengemukakan pendapar sebagaimana anda, ridak

anda hargai? Mereka juga merasa berhak mendefenisikan demokrasi

berdasarkan isi kepala clan teori mereka. Padahal mereka sesung­

guhnya tidak ingin terikar dengan konsritusi yang sebetulnya juga

telah menyarakan prinsip-prinsip syariat Islam sebagai sumber

utama perundang-undangan Mesir. Namun anehnya, mereka pun

tidak ingin tunduk kepada aspirasi masyarakat yang juga berhak

melakukan revisi aras konsrirusi, baik dalam benruk referendum

yang bahkan dapar menguatkan konstirusi itu. Padahal ini adalah

pandangan-pandangan yang layak didiskusikan dan sangat

pen ring untuk diperhatikan dan direnungkan.

Menyangkut konsritusi, saya tidak berpandangan bahwa di

dalamnya ada sesuatu yang baru. Kebanyakan undang-undang

yang ada di Mesir bahkan telah diilhami oleh prinsip-prinsip dasar

syariar Islam. Ini ten tu dengan catatan yang saya anggap pen ting,

yairu pengakuan bahwa konstitusi bukanlah kirab suci. Karena

itu, setiap warga negara berhak berselisih pendapar ten tang burir­

butirnya arau menentang pasal-pasalnya. Atas dasar itu, mereka

juga punya hak unruk mengajukan amandemen atasnya. Iru

semua tentu dengan catatan agar recap berjalan dalam koridor

konstitusi itu sendiri dalam tata cara clan proses amandemennya.

Namun dalam kenyataannya, para pendukung penerapan

syariar ini juga menenrang banyak sekali bagian-bagian dari

konsrirusi, seperri pasal tenrang sisrem multipartai. Sebab bagi

mereka, ini bertenrangan dengan pandangan mereka yang hanya

mengakui dualisme partai. yaitu partai Tuhan clan parrai setan.

Bahkan sebagian dari mereka melangkah lebih jauh dengan cara

menolak bagian ten tang sistem pemerinrahan yang rercanrum di

dalam konstitusi itu secara keseluruhan.

39
Kebenar:m yang H,lang

Lalu apa hak mereka untuk mengemukakan alasan tentang

hak berbeda pendapat di alam demokrasi yang juscru menjadi

bumerang untuk mereka sendiri? Mereka melontarkan gagasan

yang juscru kontradikcif dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka

berlindung di balik konstitusi yang mereka sendiri tidak meng­

akuinya.

Concoh yang lebih dekat dengan soal icu adalah upaya mereka

yang coba mengandalkan teknik pemilihan umum guna menguji

dukungan masyarakac terhadap mereka. Padahal mereka menolak

segala bencuk pemilihan um um yang pernah terjadi di Mesir sejak

masa Revolusi sampai sekarang ini. Kecuali satu pemilihan umum

yang kebetulan bertemu dengan keinginan mereka.

Jadi dalam hal ini konsicusi kica sebeculnya bukanlah tempat

mereka untuk berlindung. Pemilu pun ridak memberi landasan

konsrirusional untuk mereka. Karena icu cara mereka satu-satunya

uncuk campil, seperti yang saya bayangkan, adalah bertarung

sebagaimana orang lain berrarung. Mereka harus tampil dengan

agenda-agenda polirik yang rerukur dan menciptakan partai

mereka sendiri. Saar mereka meraih suara terbanyak dalam sebuah

pemilu yang bebas, mereka sesungguhnya telah memberikan bukti

dan membungkam kira dengan tindakan nyara. Saya sengaja

menggunakan kata "membun gkam kira", karena saya percaya

bahwa iru mungkin saja menjadi kenyaraan. Ini bukan bualan.

Tetapi ingaclah, orang yang cidak biasa berdemokrasi cidak akan

pernah bisa menghargai demokrasi. Andai mereka sampai ke

tampuk kekuasaan dengan kehendak mayoriras rakyat, mereka

pun berhak menjalankan aspirasi mereka.

Para pembaca mungkin menyela: Undang-undang kica yang

sekarang tidak memberi peluang kepada mereka unruk memben­

tuk partai atas dasar keyakinan agama. Benar iru ada dalam reks

perundang-undangan yang punya alasan tertentu juga. Sebab para

perancangnya berpandangan bahwa partai policikadalah mimbar

40
Kebenar.m yang H,lang

terbuka bagi seriap warga negara Mesir, terlepas apa agama dan

kepercayaannya. Namun saya melihat bahwa siruasi krisis telah

melampaui kenyataan itu. Kelompok Ikhwanul Muslimin misal­

nya, relah memiliki parrai sendiri. Mereka punya kantor pengarah,

surat kabar, majalah partai dan nonpartai. Iru semua untuk mem­

bela kepenringan dan mempertahankan sudut pandang mereka.

Bahkan terkadang mereka juga punya wakil di tingkat dewan

perwakilan rakyat, khususnya setelah rerjadinya aliansi antara

mereka dengan Partai Wafd. Itulah aliansi yang bagi sebagian

pengamat dianggap seperti nikah mut' ah yang diakui orang Syiah

dan direnrang orang Sunni.

Jadi mereka ada di dalam parlemen. Mereka mendapatkan

legaliras dengan kehadiran yang legal pula. Mengingkari keber­

adaan mereka adalah ibarar memendam kepala ke dalam gurun

pasir. Membolehkan mereka dan kelompok lainnya dari aliran

politik dan keagaamaan berbeda-beda unruk membentuk partai

sendiri, saya kira pun ya sisi posirif yang ridak dapat diingkari.

Dengan begiru kira berharap mereka rerbiasa membuar agenda

politik yang rerukur. Dialog dengan mereka pun akan terjalin

dalam soal-soal politik yang empiris. Dialog kira dengan mereka

menjadi dialog ten tang dunia, bukan agama. Tujuan mereka akan

lebih jelas, yaitu men gin car kursi kekuasaan, bukan israna di surga.

Para juru dakwah di masjid pun akan dipaksa untuk tidak

terlalu berlebih-lebihan dalam mengumbar sloganisme mereka

sebab mereka relah masuk ke dalam aktivitas politik yang jelas.

Parrai-partai politik akan siap beroposisi dengan mereka, ridak

pula melebih-lebihkan peran mereka. Mereka mungkin akan lebih

banyak berselisih pandangan di anrara mereka sendiri dibanding

berselisih pandangan dengan orang lain. Mereka akan menghadapi

sesama mereka secara lebih sengit daripada berhadapan dengan

orang lain. Mereka akan berdebat dalam kancah yang bukan

kancah mereka. Mereka juga akan berbicara dalam bahasa yang

41
Kebenar:m yang H,lang

untuk merangkai kosa katanya saja akan sulit bagi mereka, apalagi

meluruskan gramatikanya.

Dalam kenyataan seperti ini terkandung rahmat yang amat

besar. Iru juga lebih menstabilkan kehidupan bemegara. Tidak

ada alasan lagi bagi siapa pun unruk mengatakan bahwa iru akan

membuka peluang bagi terbenruknya parrai politik Kristen­

Koptik yang akan berpotensi mengoyak integrasi nasional. Sejarah

membuktikan bahwa itu tidak pernah rerjadi. Bahkan kalaupun

terjadi, pengaruhnya hampir tidak berarti. Janganlah kita melupa­

kan fakta tentang Partai Ukhnus Fanus yang pernah rerbenruk,

lalu bubar karena anggotanya tidak lebih dari puluhan orang saja.

Pengalaman Partai Wafd juga ridak terlalu jauh dari ingatan kira.

Partai ini lebih banyak dikuasai orang-orang Koptik yang

terkesima dengan panji-panji sekularisme dan slogan-slogan yang

memukau mereka. Perkara ini tampaknya masih berlanjut dan

perbincangan tenrang ini masih amat panjang.

lntinya semua fakta itu dapar mengurangi rasa was-was kita

clan bukan malah menguatkannya. Itu juga menguatkan apa yang

saya serukan, bukan malah melemahkannya.

lnilah perspektif kedua wahai para pembaca. Saya sengaja

berbicara panjang lebar tentang ini melebihi pendapat pendukung

perspektif pertama dalam mengemukakan dan membumbui

slogan mereka. Saya berpendapat, kini tibalah bagi anda untuk

memilih. Pemikiran yang renang akan membawa anda kepada

kepurusan yang repat. Bahkan saya hanya berharap. andai pun

anda hanya sampai pada skeptisisme setelah membaca ini semua,

saya pun sudah memanjatkan puji syukur kepada Allah. Dengan

begiru, seberulnya anda telah rahu bahwa yang selama ini mereka

gaungkan hanyalah cara yang termudah. Para pendukung mereka

terdiri dari orang-orang yang tidak tahu bahkan tidak sadar bahwa

ini adalah perkara besar.

47
Kebenar.m yang H,lang

Dengan icu mereka hendaklah menahan diri dari giuran

kekuasaan dan empuknya kursi pemerinrahan. Mereka hendaknya

lebih bertanggungjawab untuk ridak membebani orang lain dengan

impian-impian yang cidak perlu. Mereka mestinya berpikir sebelum

menuduh kafir. Mereka hendaknya menghadapi problem riil

masyarakat dengan mencarikan solusinya, bukan dengan me­

lakukan hijrah darinya. Mereka juga hendaknya berhemar unruk

mengatakan orang lain jahiliyah agar mereka ridak dianggap orang­

orang yang jahil pula. Mereka juga hendaknya sadar bahwa Islam

lebih agung daripada cara-cara mereka merendahkannya dengan

membenturkannya dengan dunia modern.

Negeri ini pun lebih berharga unruk ridak dikoyak-koyak

fanatisme mereka. Biar mereka juga cahu bahwa seciap masa depan

sebuah bangsa ditenrukan oleh pena bukan oleh siwak, oleh kerja

nyata, bukan menyendiri, oleh akal-budi bukan gumaman belaka,

oleh logika bukan peluru. Dan lebih penting dari itu, agar mereka

mengecahui kebenaran fakca yang hilang dari ingaran mereka,

komunitas Islam bukan hanya mereka saja!***

43
Bab II

Pembacaan Baru terhadap Sejarah

al-Khulafa' al-Rasyidun

ara pembaca berhak terenyuh dan terkesima carkala

1--.v membaca apa yang akan saya paparkan pada bagian ini

tentang tragedi kemacian Usman. Sedih, dapat dipahami.

Mungkin juga rerkesima, karena perisciwa iru rerbukti amar kom­

pleks. Ketika kica mengunci saru pinru pembahasan, dan kira

menyangka persoalan relah usai, pintu-pincu pertanyaan lain

terbuka - dan iru lagi-lagi memberatkan hati kica. Kita hanya

dapat menyimpan perasaan uncuk menyalahkan siapa, terapi kira

tidak kunjung tahu siapa yang mesri dicela. Sebab, ketika kita

menyalahkan para pemberontak pada masa itu, kira juga tidak

kuasa unruk melepaskan Usman dari kesalahan. Ketika menya­

lahkan Usman, para pemberontak iru juga tidak dapar lepas dari

kesalahan. Ketika kira menyalahkan para pemberontak, kira juga

dituntut untuk bersimpati kepada perjuangan mereka. Kalau kira

menyalahkan Usman, kita juga tidak dapat lepas dari keharusan

unruk bersimpati atas tragedi kematiannya.

Bisa jadi karena sentimen keagamaan anda lebih ingin

bersimpari kepada Usman, lalu mencari-cari alasan atau apologia

unruk kebijakan-kebijakannya. Namun, dalam alur pikir seperti

45
Kebenar:m yang H,lang

ini, anda akan berbenturan dengan ungkapan-ungkapan dan

cindakan-tindakan para sahabac terkemuka lainnya. Apalagi,

sebagian dari mereka secara terang-cerangan celah menyeru angkat

senjaca dan membelot dari keseciaan rerhadap pemerinrahan

Usman. Kepada Ali, Abdur Rahman bin Auf, misalnya menyeru­

kan: "Kalau engkau berkenan, silakan angkat senjata. Akupun

akan angkar senjara. la (Usman) telah mengambil kembali apa

yang telah ia berikan kepadaku."

Lanras Aufberkata kepada para sahabatnya, dalam keadaan

sakit yang pada akhirnya menyebabkan kemaciannya: "Bersege­

ralah kalian (untuk memberontak terhadap kekuasaan Usman)

sebelum kekuasaannya iru yang akan melindas kalian!'" Thalhah

juga memprovokasi para pernberonrak, sampai-sampai Ali cidak

mempunyai pilihan lain kecuali membuka akses Baitul Mal, lalu

membagi-bagikannya kepada mereka sampai terjadi pertengkaran

karena iru. Tetapi, saat icu Usman justru membenarkan tindakan

Ali. Dan benar saja, tidak perlu menunggu sampai berbulan-bulan

lamanya, Usman pun terbunuh.

Anehnya, Thalhah kemudian justru tamp ii sebagai orang yang

menuncur balas acas kemacian Usman dalam kelompok tentara

Aisyah, sampai ia sendiri pun mati rerbunuh oleh rombak yang

dilontarkan oleh Marwan bin Hakam, orang kepercayaan dan

tangan kanan Usman, sekaligus rekan Thalhah dalam barisan tentara

yang menuntut balas aras cerbunuhnya Usman. Marwan menjadi

khalifuh kaum Muslim 30 rahun setelah iru. Tatkala ditombak irulah

Thalhah sadar bahwa irulah memang masa penghabisan hidupnya.

Karena itu, ia dalam rangka berterus-terang pada dirinya sendiri

dan kepada Allah, mengulang-ulang ungkapan berikut: "Inilah

1
Thaha Husein, al-A'mf!J./ al-Kf!J.mi/ah IT Tahf!J. Husein, Bagian al-Fimah

al-Kubra, Vol. IV, ha!. 366-367. Beirut: Darul Kurub al-Lubnani.

46
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

tombak yang ditikamkan Allah kepadaku. Ya Tuhan, ambillah

balasan untuk Usman dariku, sampai Engkau rida."

lni ungkapan yang berul-betul jujur untuk menyingkap kebe­

naran hati kecil dan kemampuan untuk mengaku bersalah. Namun,

dalam kasus seperti ini, Thalhah bukanlah pemula, melainkan juga

mengikuti reladan para sahabatnya. Dan ia sendiri adalah salah

seorang sahabat Rasul. lntinya, ia adalah orang yang berul-berul

ekstrem, dan karena itu rela membinasakan orang lain dan dirinya

sendiri. Sementara sosok-sosok seperti Ali, al-Zubair, Ibnu Mas'ud,

Ammar, dan lainnya, jauh lebih fleksibel dalam melakukan oposisi

terhadap Usman. Kadangkala mereka memang tampak keras, rerapi

di lain wakru cukup lunak. Akhirnya Thalhah binasa dan binasa

pulalah beberapa orang yang ikur bersamanya. Sebagian lain binasa

tidak dalam wakru yang bersamaan dengan Thalhah.

Akibatnya, terjadilah apa yang terjadi. Orang Muslim di bun uh

oleh pedang orang Muslim sendiri. Namun implikasi dari keja­

dian-kejadian sejarah ini masih juga menyertai kira sampai saat

ini. Para ahli fikih zaman sekarang masih juga memperdebatkan

apa yang tidak pernah dicita-citakan seseorang untuk didiskusi­

kan, yaitu soal hukum legalitas membunuh orang-orang yang

berkiblar sama (ah! al-qiblah) arau penyerangan seorang Muslim

terhadap Muslim lainnya. Sebagian berpendapat bahwa gejala-gejala

awal dalam soal ini baru muncul pada permulaan masa kepemim­

pinan Ali. Namun kita lebih condong untuk merunutnya lebih

jauh ke belakang, ke masa pemerinrahan Abu Bakar. Dengan iru,

kita dapat merenungkan kembali soal kasus perang terhadap orang­

orang yang diruduh murtad (burab al-riddah). Pada ririk inilah

kira perlu memilah apakah serangan Abu Bakar dikarenakan mereka

benar-benar murtad dari Islam atau hanya karena mereka enggan

membayar zakar kepada Abu Bakar arau Bairul Mal.

Ketika membedakan dua hal tersebur, kira punya alasan

sederhana. Asumsi yang pertama tampak langsung memvonis

47
Kebenar:m yang H,lang

pihak yang diserang Abu Bakar sebagai orang-orang murtad.

Sementara asumsi kedua lebih berhati-hati menyebut mereka

murtad karena mereka semua telah mengucapkan dua kalimat

syahadar. Merck.a juga rajin menjalankan kewajiban-kewajiban

agama lainnya secara sukarela. Mereka juga membayar zakar, terapi

langsung kepada orang-orang yang membutuhkannya, bukan

disalurkan kepada Khalifah atau Bairul Mal. Mereka beralasan

bahwa seruan "Ambillah dari sebagian harta mereka . . . " yang

tercantum di dalam ayat al-Quran iru adalah ungkapan yang

langsung rerruju kepada Rasulullah dan tidak boleh dianggap

sebagai seruan kepada yang lainnya. Ayat itu bagi mereka tidak

ditujukan kepada yang lainnya, sekalipun yang lainnya itu adalah

Khalifah Rasulullah sendiri.

Kerika saya merenungkan ulang clan mencoba untuk membe­

dakan kedua kategori ini, clan mungkin bisa dianggap bersimpati

kepada orang-orang yang dituduh murtad itu, saya langsung

terkenang sikap Umar terhadap Abu Bakar. Ketika itu, Umar

justru mempertanyakan landasan kebijakan Abu Bakar untuk

melakukan serangan terhadap orang-orang yang telah mengucap

syahadat itu. Inti jawaban Abu Bakar menyatakan bahwa mengu­

capkan syahadat itu ada konsekuensinya. Yang dimaksud dengan

konsekuensi di sini adalah menyerahkan zakat kepada Baitul Mal.

Namun ini termasuk bagian dari ijtihad juga. Semenrara bagi

Umar ketika mempertanyakan kebijakan Abu Bakar, ia sebetulnya

sedang teringat akan sebuah hadis Rasul yang menyatakan bahwa

seorang Muslim tidak boleh dibunuh kecuali karena tiga alasan,

yaitu berzina setelah berumah-tangga, murtad setelah beriman,

atau di-qi?"il� karena melakukan pembunuhan ranpa alasan yang

dapat dibenarkan.

Dalam kasus ini, Umar seakan-akan berpendapar bahwa

menafikan keimanan seseorang yang telah bersyahadat, menger­

jakan salat, berpuasa di bulan Ramadan, melaksanakan haji ketika

48
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

mampu, dan menunaikan zakat langsung kepada yang membu­

tuhkannya tanpa peranrara, adalah perkara yang tidak dapat

menafikan keimanan seseorang. Dan di zaman sekarang, bisa jadi

kita pun melakukan hal serupa. Karena iru, kita juga bisa ridak

sepakat dengan kebijakan Abu Bakar tersebuc walaupun kita tidak

berhadapan secara langsung dengan perdebatan Abu Bakar dan

Umar. Kini kita boleh jadi telah melakukan hal-hal yangdilakukan

oleh orang-orang yang dulunya dianggap murtad. Faktanya kica

memang menunaikan zakat langsung kepada orang-orang yang

memburuhkan dan kita ridak menyerahkannya, misalnya kepada

menreri kuangan atau kepala negara. Kalau kira membenarkan

logika Abu Bakar dalam keputusan menyerang mereka, itu sama

artinya kira sedang membenarkan sebagian orang untuk menyerang

kira karena tindakan keagamaan kira saar ini. Padahal mereka sama

sekali tidak berhak mengingkari iman kira setelah kira mengucapkan

dua kalimat syahadat. Dan kini, kica cidak perlu bersumpah di

depan pemerintah bahwa kita adalah orang-orang yang menjalan­

kan rukun-rukun agama dengan benar. Begitulah yang kita

harapkan saat ini, sehingga kita tidak memberi peluang kepada

orang lain untuk mengaku maksum selain Rasulullah.

Lebih dari itu, kita juga berpandangan bahwa ijtihad Abu

Bakar cidak mengikat orang-orang setelahnya. Jika tidak maka

semua khalifah sesudahnya pasti akan menempuh jalan yang sama

dengannya. Namun fakcanya mereka tidak menjadikan kebijakan

Abu Bakar sebagai naskah kitab suci yang rerrurup. Para pemimpin

sesudahnya tidak menjadikan kebijakannya sebagai pedoman

dalam memerinrah. Dan kalau bukan karena iman kira bahwa

Islam adalah benar, al-Quran adalah benar, kenabian Muhammad

adalah benar, dan kemanusiaan adalah benar, maka tenru kira

tidak akan membenarkan kebijakan Abu Bakar.

Akan terapi, yang juga pen ting direkankan di sini ialah kira

sedang membicarakan ropik ini dengan sudur pandang berbeda,

49
Kebenar:m yang H,lang

bukan membahas soal benar atau salah suaru kebijakan. lni

pembahasan tentang policik kebijakan. Dalam konteks itu, kica

juga bisa mengacakan bahwa andai saja Abu Bakar cidak meng­

ambil rindakan-tindakan seperti itu, maka besar kemungkinan

Islam cidak akan berkembang dalam bencuk negara yang ber­

daular, utuh, mampu melakukan ekspansi ke berbagai kawasan,

dan dapat mengembangkan akidah dan mengukuhkannya.

Karena itu, harus dikatakan pula bahwa Abu Bakar relah me­

lakukan sebuah bencuk ijcihad dalam pandangan policiknya, dan

ia cidak diragukan lagi, bertindak benar dari sudut icu. Ia pun

celah melakukan ijcihad dalam soal agama dalam pemaknaan zakat

dan mungkin mendapatkan dua pahala, walau bagi kica hanya sacu

pahala. Dia mungkin membukcikan kepada orang lain bahwa

policik cidak jarang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama dan

dasar-dasarnya. Sembari itu, ia juga ingin menunjukkan bahwa

kebijakannya cidak lebih dari sebuah bencuk ijcihad. Dan karena

itu, cidak selayaknya bagi kica uncuk berpandangan bahwa ijcihad

Abu Bakar adalah salah sacu pokok akidah dan pilar keimanan.

Saya cidak sedang mendukung pandangan bahwa kebijakan

Abu Bakar icu sepenuhnya policik dan cidak mengandung unsur

agama sama sekali. Acau dalam bahasa sekarang, Abu Bakar adalah

seorang sekularis rulen yang memisahkan urusan agama dan

perkara policik. Tidak! Kita cidak ingin menimpali kekurang­

cermatan dalam melakukan relaah sejarah dengan kekurang

cermacan dalam melakukan penyimpulan.

Yang kica inginkan cak lain adalah menurunnya frekuensi

cemoohan kepada kica, dari orang-orang yang memandang para

sahabac Nabi icu suci bagaikan totem yang cidak boleh disentuh.

Caranya, dengan menunjukkan fakca-fakca sejarah. Pada titik ini,

pentingjuga uncuk mengingackan sebuah hadis Nabi yang menya­

takan bahwa Ammar bin Yaser akan terbunuh oleh sekelompok

orang yang bengis (fiah baghiyah). Ini adalah hadis sahih karena

50
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

semua kecika icu mengingat-ingacnya lagi cackalaAmmar cerbunuh.

Hadis ini dikumandangkan kembali baik oleh tentara Ali maupun

Muawiyah. Kedua bala tentara icu cidak kunjung reda emosi mereka

kecuali setelah Muawiyah menyatakan bahwa "orang-orang yang

mengajaknya berperanglah yang telah membunuhnya!"

Konon, kecika perisciwa icu terjadi, perkaranya memang

cukup pelik, rerucama cackala ada keinginan uncuk menencukan

siapakah "kelompok bengis" sebagaimana yang diprediksikan oleh

Rasulullah dalam hadisnya. Salah satu kelompok memang bengis;

dan kalau kica menerima hadis icu secara apa adanya, kira akan

mengatakan bahwa kelompok Muawiyah-lah yang bengis. Iru

artinya Muawiyah bengis, Amru bin Ash juga bengis, Marwan

bin Hakam bengis, Ubaidillah bin Umar bengis, dan sederet nama

besar lainnya. Tetapi kalau kica menggunakan ungkapan Muwai­

yah sebagai pisau analisis, kica justru akan berpandangan bahwa

yang bengis justru sekelompok para sahabat yang dikenal saleh

yang celah membawa Ammar dalam kancah peperangan. Kita

cidak berani menyebutkan nama-nama mereka.

Karena itu yang penting ditunjukkan di sini hanyalah berapa

ijtihad Abu Bakar pun pada masanya mendapar tentangan dari

para sahabacnya. Dan perhacikanlah sekarang, betapa beraninya

para sahabat yang terkemuka dalam menggunakan kebebasan

akalnya dalam berpendapat. Misalnya, Wash ii bin Atha', ahli fikih

Mukcazilah dan imam besarnya, serra Amru bin 'Ubaid, seorang

yang asketis dan sangat wara yang pernah dipuji Khalifah al­

Manshur sebagai orang yang ridak pernah mencari keunrungan

pribadi dibandingkan orang lain. Mereka berdua bahkan berani

mengacakan bahwa dalam kasus Perang Unca, dan juga Perang

Shiffin, "Syahadat Ali, Thalhah dan al-Zubair, tidak dapar diper­

tanggungjawabkan lagi. »z

2
Al-Syahristani, al-Mila.I wan Niha/, Beirut: Darul Ma'rifut, Vol. I, ha!. 49.

51
Kebenar:m yang H,lang

Pendapat seperti ini sengaja ridak kira eek kembali dan

bukeikan kebenarannya. Yang peneing bagi kiea di sini hanyalah

unruk merangsang renungan kerika kira membandingkan antara

saru masa dengan masa lainnya, kondisi rertentu dengan kondisi

lainnya, dan pemikiran rertentu dengan pemikiran lainnya. Bagi

kiea, eidak perlulah melampaui ruang lingkup ijeihad dalam

menafsirkan fakta-fakta sejarah, sekalipun kira tahu, Umar bin

Khaeeab pun telah melakukan berbagai beneuk ijeihad uneuk

perkara yang jauh lebih peneing dan lebih besar. Dan ieu bereen­

tangan dengan semangat yang saar ini kira kenal dan anut, yairu

anggapan bahwa eidak ada ijeihad eerhadap eeks aeau eidak adanya

ruang ijehad dengan adanya eeks.

Yang perlu kira ingat, bentuk-bentuk ijrihad Umar itu justru

ridak hanya terbatas dalam perkara menafsirkan atau mengoreksi,

bahkan sampai pada pembaealan hukum yang relah ada di dalam

al-Quran serta menyalahinya. Namun, para sahabat ridak meng­

ingkari haknya uneuk melakukan ijeihad. Boleh jadi, di sepanjang

sejarah Islam, kica ridak menemukan candingan Umar sebagai

figur pemuka agama dan sekaligus negara dan dalam ha! keberani­

annya melakukan ijeihad. la adalah orang yang eegas dalam soal

kebenaran. Dan dalam kasus Umar, rakyac jusrru menerima sikap

keras dan regasnya karena mereka percaya bahwa ia memang

benar. la juga seorang asketis yang riada taranya di antara para

pemimpin sebelum dan sesudahnya. Pada masa Umar, rakyae juga

menyambuc kebijakannya untuk bersedia dirilik dan dimintakan

transparansi soal pendapatan mereka. Mereka juga merelakan

Umar uneuk mengambil harea yang berlebih dari apa yang mereka

bueuhkan. Mereka juga rela uneuk benar-benar didisiplinkan,

terutama ketika Umar melihat mereka cenderung kepada pola

hidup yang hedoniseis.

Umar juga sosok yang selalu mungkin berbuae salah, terapi

ia cepat belajar dari kesalahan. la tidak mau berkompromi

57
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

terhadap kekeliruan. lngarlah rarkala ia memberi mandat kepada

Ammar bin Yaser uncuk memimpin Kufah. Dengan cepat Umar

memahami bahwa Ammar yang cakap da1am urusan agama cidak

mesti juga cakap dalam urusan dunia. Ia mengerti bahwa uncuk

memerincah memang ada seninya tersendiri, dan policik memang

mempunyai panglimanya masing-masing. Tidak mesti yang

mampu menjadi panglima dalam urusan polirik iru adalah tokoh­

cokoh agama. Karena itu, ia memucasi Ammar dan menggantinya

dengan figur-figur yang lebih cocok unruk mengurus persoalan

polirik, seperti al-Mughirah bin Sya'bah, Yazid bin Abi Sufyan,

dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Umar menolak penggantian

Ammar dengan Abu Dzar sambil berterus cerang kepadanya

bahwa ia berkepribadian lemah. Dan bagi Umar, seorang yang

lemah secara kepribadian cidak akan mampu mengemban cugas

yang me lebihi kompleksiras persoalan akidah.

Akidah mempunyai lapangannya sendiri dan policik memiliki

lapangannya sendiri. Kalau kecakapan dalam kedua hal iru ber­

himpun- dan icu amat jarang terjadi-akan tercapailah cingkac

kesempurnaan. Apabila keduanya tidak berhimpun - dan

bertapa sering keduanya cidak dapat berhimpun - maka seciap

perkara memang ada pakarnya. Ahli polirik lebih layak meme­

rincah, sementara ahli agama lebih baik mejaga akidah. Namun,

lebih dari semua itu, hal terpenting yang diajarkan Umar kepada

kica, dan icu melebihi pelajaran yang diberikan oleh orang-orang

sesudahnya, adalah soal eros ijtihad.

Karena irulah kira memulai pembicaraan kita dari ungkapan

Umar. Dan Umar memang begicu unik di antara banyak sahabac

lainnya, khususnya ketika ia berijtihad. Sekalipun ada ayar al­

Quran yang berbicara dalam suaru persoalan, ia cerap berani

mengambil langkah yang berrentangan dengan yang rerrulis di

dalamnya sambil memberi juscifikasi terhadap pendapatnya

dengan argumen-argumen yang menakjubkan. Betapa pentingnya

5 3
Kebenar:m yang H,lang

orang-orang yang pikirannya tertutup sekarang ini untuk kembali

merenungkan kebijakan-kebijakan Umar secara seksama. Dan

sangat pen ting bagi kita unruk menguraikannya secara terperinci.

Mudah-mudahan dengan begiru, dada mereka menjadi lapang

dan mereka tahu bahwa menggunakan aka! pikiran jauh lebih

penting dibanding vonis pengkafiran; dan bahwa tajkrr (aktivitas

berpikir) haruslah jauh dikedepankan daripada takftr (memvonis

orang kafir). Dengan agak berkelakar dan sebelum membahas soal

ini lebih jauh, kira perlu pula mengajukan perranyaan kepada orang­

orang yang kira singgung di sini. Yairu, apa kerentuan hukum untuk

seorang pemimpin sebuah negara Muslim yang telah mengambil

kebijakan yang bertentangan dengan teks al-Quran yang ia ketahui,

hanya karena kenyataan hidup memang sudah melampaui itu dan

secara logika kita memang tidak harus mengikuti apa yang

tertuliskan secara tekstual di situ? Mungkin kita dapat mereka­

reka, bahkan memastikan apa jawaban mereka. Kita mungkin juga

akan berbisik kepada mereka, sabar dan janganlah tergesa-gesa

mengajukan pendapat. Pertimbangkanlah banyak faktor karena kira

sedang berhadapan dengan kejeniusan Umar bin Khattab.

Baiklah berikur ini kira akan mengungkapkan contoh-contoh

kebijakan Umar yang kontroversial sebagaimana dituliskan

seorang alim yang terhormat, Dr. Abdul Mun'im al-Namir dalam

3
kitabnya, al-!jtihad

Persoalan pertama yang akan kira ungkap adalah soal

pembagian zakat untuk orang-orang muallaf sebagaimana yang

terrulis dalam al-Quran. Di dalam al-Quran diterangkan bahwa

zakat diperuntukkan bagi orang-orang fakir, miskin, amil, para

muallaf, dan seterusnya (Surat at-Taubah ayat 60). Pada masa

Nabi, beliau tetap memberikan jatah mereka (para muallaf itu)

3
Dr. Abdul Munim al-Namir, al-ljtihad. Kairo: Darus Syuruq, ha!. 93

dan seterusnya.

54
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

sekalipun mereka dapar disebuc kafir acau cidak menganut Islam

secara sahih dan jujur. Bahkan, mereka dikelompokkan ke dalam

golongan orang-orang yang kurang berpendirian. Nabi memberi­

kan jatah kepada mereka agar mereka lebih cenderung kepada

Islam. Berapa banyak orang yang diperbudak oleh belas kasihan

orang lain. Namun hal icu tetap diperlukan agar umat Islam

terhindar dari permusuhan mereka dan agar hati dan ucapan

mereka lebih bersahabat. Mungkin, dengan iru Islam juga dapat

merebut simpati mereka.

Su'aid bin al-Musayyab meriwayatkan bahwa Shafwan bin

Umayyah pernah mengatakan: "Rasulullah selalu memberikan

jacahku sekalipun ia adalah orang yang sangac aku benci. Ia cecap

memberi sampai ia berubah menjadi orang yang paling aku cincai.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, ia tetap meneruskan langkah

yang ditempuh Rasulullah, sampai datang kepadanya Uyaynah

ibn Hishn dan al-Aqra' ibn Habis. Keduanya lalu mengabarkan

kepada Abu Bakar: 'Di sekitar kami rerdapat tanah kosong yang

tidak berumput dan sama sekali tidak berguna. Apakah engkau

bersedia memberikannya kepada kami?' Abu Bakar lalu memberi­

kan jatah tertentu uncuk keduanya dengan dasar bahwa keduanya

dianggap muallaf. Ia juga menulis keterangan unruk mereka

berdua lengkap dengan saksinya. Saar itu Umar tidak berada di

tempat. LaluAbu Bakar dacang kepada Umar untuk memincanya

menjadi saksi. Tetapi Umar justru menentang kebijakannya dengan

keras. Ia lalu menghapus apa yang sudah rerrulis. Kedua orang

icu lalu naik pitam dan mengumpat-ngumpat Umar. Lancas Umar

berkara: 'Sesungguhnya Rasulullah dulunya hanya sedang memikat

haci kalian karena umat Islam kecika iru masih sedikir. Kini, Tuhan

celah menjadikan Islam tidak memerlukan orang-orang seperti

kalian. Pergi dan jalankahlah apa yang selama ini kalian kerjakan.

Tuhan tidak akan rela lagi melihat tampang kalian jika kalian

masih berbuar demikian'."

55
Kebenar:m yang H,lang

Hal yang campak jelas di sini adalah: Umar menghencikan

hukum yang pernah berlaku pada masa Rasulullah clan pada

sebagian masa Abu Bakar berdasarkan ijcihadnya sendiri. Ia

melihat bahwa dasar-dasar pemberian jatah muallaficu kini tidak

ada lagi. Karena itu, tidak ada alasan untuk recap memberikan

jacah mereka. Di sini, ada clan cidak adanya hukum bergantung

pada alasan hukumnya. Dan, Umar bukanlah sosok yang kaku

kecika berhadapan dengan ketencuan clan kulic luar eeks al-Quran;

tidak juga ia tunduk pada kerenruan-ketentuan yang sudah

berlaku sebelumnya. Ia langsung menyelidiki alasan clan dasar

suatu ketentuan. Lalu ia membuat kepurusan dengan ijtihad

pribadinya dalam memahami hukum dalam kerangka semangat

Islam yang ia pahami.

Ini adalah sikap yang logis, jelas, clan terukur. Sikap icu

tentunya juga perlu diteruskan dengan pertanyaan yang logis,

jelas clan terukur pula. Yaicu, apakah kica dibolehkan meneladani

Umar kecika mengabaikan eeks al-Quran, atau bolehkah kica

berijcihad dengan adanya eeks al-Qur'an, sekalipun kica sampai

pada ijtihad yang bertentangan dengan arti teksnya karena

perubahan alasan hukum atau dasar-dasarnya?

lni pertanyaan yang pelik, rerapi sangar pen ting jawabannya.

Konsekuensi-konsekuensi dari jawaban itu pun jauh lebih penting.

Bukan penting bagi Islam sendiri, tetapi bagi kalbu-kalbu yang

celah mengatup clan aka! yang celah cergembok clan terkunci. Kita

dapat membayangkan munculnya jawaban mereka-mereka yang

mencari jalan selamat clan bersikap plin-plan dalam perkara ini.

Mereka mungkin mengatakan, itu boleh saja terjadi, rerutama

kerika kasusnya setara dengan apa yang dulu terjadi, tanpa ber­

paling dari kerentuan-ketentuan agama dan ajaran-ajarannya yang

jelas, seperti ketetapan hudad di dalam al-Quran. Dengan jawaban

demikian, mungkin kira akan recap berbesar hati. Kita berharap

akan ada terobosan-terobosan baru dari mereka walaupun kira

56
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

sudah tahu apa yang mereka pikirkan sebelumnya. Tetapi, ha!

yang membuat kira lebih miris adalah sikap berkelit mereka dalam

menyikapi berbagai bentuk ijtihad Umar terhadap teks-reks yang

sudah pasri di dalam al-Quran. lni pantas kita katakan, sebab

kerika mengungkapkan berbagai kebijakan Umar, kira sering kali

menyaksikan orang-orang yang mengaku ahli fikih membuat fatwa

yang bertentangan dengan semangat Umar. Mereka bahkan

menuduh kica ridak membaca Umar secara tepat dan cermat dan

hanya menghalalkan sega1a cara uncuksampai kepada cujuan kira.

Contohnya adalah apa yang diungkapkan Ustad al-Hamzah

Da 'bas dalam debacnya dengan seorang menteri Maroko. Debat

itu dimuat majalah al-Nur yang redaksinya dipimpin oleh Ustad

al-Hamzah sendiri. Di situ Uscad al-Hamzah mencoba memancing

sang menteri uncuk menjawab alasan cidak diterapkannya sanksi

(ludad sebagaimana yang rercancum dalam al-Quran di Maroko.

Jawaban menteri ketika itu: peniadaan sanksi hudaddilandasi oleh

ijtihad yang sudah ada presedennya, yairu kerika Umar ridak

memberlakukannya terhadap kasus pencurian pada masa paceklik.

Ustad al-Hamzah segera menyela dengan ungkapan seorang yang

sangat yak.in akan kereparan ilmunya: "Umar cidak menerapkan

sanksi icu karena besaran yang diambil si pencuri cidak sampai

nisabnya." Padahal, fakta tidak direrapkannya sanksi potong

cangan bagi pencuri oleh Umar, sebagaimana yang termuat di

dalam kicab al-Muwa,ta' juscru terkair dengan kasus pencurian

unra. Iru sudah jauh melampaui nisab.

Contoh kedua adalah apa yang sering kira dengarkan dari

ungkapan para ahli fikih dan tulisan-tulisan para penulis yang

sering menyebuc diri mereka kaum Islamis. Yairu, bahwa Umar

bukannya cidak menerapkan sanksi porong cangan uncuk kasus

pencurian, rerapi ia hanya melengkapi syarar-syaratnya. Dan , di

antara persyaracan icu adalah perlunya menjamin kerersediaan

cingkat paling minimum dari natkah uncuk hidup. Sanggahan

57
Kebenar:m yang H,lang

kira unruk soal ini cukup mudah dan kita berpendapat bahwa ini

hanya omong kosong belaka. Sebab, apa yang tersedia di hadapan

Umar ketika itu tidak lebih dari teks al-Quran yang sudah jelas

dan pasti rentang sanksi potong cangan bagi pencuri, canpa

menyebutkan syarat apa-apa. Kedua, Sunnah Nabi, baik dalam

bentuk ujaran maupun perbuatannya, sebagaimana termuac di

dalam kitab-kitab hadis yang dianggap sahih dan bisa kira rujuk.

Dari situ kira cahu, tidak ada perselisihan sama sekali ten tang kemes­

cian pocong cangan. Perselisihan pendapat hanya ada pada soal

barasan nisab atau batasan terendah dari barang yang dicuri, dan

potong tangan berlaku sesuai dengan tingkat pencuriannya. Bahkan,

kira perlu menambahkan bahwa syarac-syarat yang mereka

bicarakan itu sebetulnya baru diperbincangkan para ahli fikih saru

atau dua abad secelah mangkatnya Umar. Karena itu, syarac-syarat

tersebut dibuar begitu banyak dan itu adalah bagian dari ijtihad

mereka pada masanya demi menyesuaikan kenyacaan hidup yang

berubah dengan teks-teks syariat yang tidak berubah.

Semua icu datangjauh setelah masa Umar. Kecika berijcihad,

Umar tentu cidak sedang mengikuci pendapat al-Syafii araupun

Abu Hanifah. Yang benar justru sebaliknya. Karena iru, ijtihad

Umar-lah dalam kasus ini yang membukakan pin cu bagi mereka

unruk melakukan ijtihad pula. Umar-lah yang membuat ke­

tenruan bersyarat itu, lalu mereka menambahkannya. Mari kica

renungkan apa yang dikemukakan Dr. al-Namir tentang ijcihad

Umar dalam soal sanksi pencurian: "Ini adalah ijrihad yang baru

dalam perkara penerapan sanksi hudad. Umar berijtihad untuk

cidak menegakkannya secelah terbukci adanya kasus pencurian

yang mestinya wajib dikenakan sanksi hudad. Itu terjadi dalam

kasus pencurian di dalam kota, bukan dalam perjalanan, acau

4
kerika penaklukan (dalam peperangan)."

4
Dr. Abdul Mun'im al-Namir, a.l-ljtihM, ha!. 98-99.

5g
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

Sementara itu, dalam al-Muwa,ta', Malik meriwayackan,

seorang sahabat Hathib bin Abi Balta'ah telah mencuri seekor

unta betina kepunyaan seorang dari Madinah. Mereka lalu

menyembelihnya. Umar lalu memerincahkan pocong cangan bagi

pelakunya. Namun, kemudian ia meralac kepucusan icu uncuk

menyelidiki apa penyebab pencurian sebenarnya. Ia menyangka

mereka sedang dalam keadaan lapar. Lalu Harhib darang kepada

Umar dan Umar pun berpesan kepadanya: "Kalian telah mempe­

kerjakan mereka, ceca pi membuat mereka cecap lapar. Demi Allah,

aku akan mengenakan denda yang akan membuac engkau la par."

Lalu ia mewajibkan Hacib uncuk membayar kelipatan dari harga

unta betina icu kepada sang pencuri. Dan para pencuri icu pun

dibebaskan dari sanksi potong cangan karena rerbukci mereka

terancam kelaparan.

Artinya, recap saja Umar tidak membatu ketika berhadapan

dengan reks yang sudah jelas. Ia tetap berusaha menelisik apa

yang ada dibalik reks itu. la lalu menyimpulkan bahwa seorang

pencuri tidak panras uncuk dikenakan l)udad kecika keadaan

memaksanya unruk berbuat demikian. Di sini, Umar meletakkan

landasan pen ting untuk tidak menegakkan hudad terhadap orang­

orang yang terpaksa. lni adalah sudut pandang baru dalam

memahami ayac "pencuri laki-laki dan perempuan, potonglah

tangan mereka sebagai balasan acas apa yang mereka perbuac dan

sanksi dari Allah" (surat al-Maidah ayat 38). Dalam ha! ini, Umar

lebih memerhatikan argumen hukum acau 'illat dari sanksi dan

kondisi yang melingkupinya. Lalu ia mempertimbangkan ke­

duanya, walau itu kemudian menyebabkan ia harus melakukan

takhsrs arau spesifikasi rerhadap reks dan meninggalkan ungkapan

lahiriahnya sebagaimana dikacakan almarhum Dr. Muhammad

Yusuf Musa.

Pemikiran seperti inilah yang membuat Umar menghencikan

sanksi atas pencurian pada musim paceklik. Ia juga pernah tidak

59
Kebenar:m yang H,lang

menerapkan l)udod bagi peminum minuman keras dengan

ungkapan berikut: "Kalian berharap pemimpin kalian me­

negakkah hudad, semeneara musuh sudah semakin dekae dan

mereka siap sedia melumat kalian?!" Karena itu, Umar pernah

berwasiat kepada para pemimpin pasukannya agar tidak seorang

pun dari mereka dicambuk karena kasus minuman keras sampai

mereka dapar menemukan jalan pulang dari medan peperangan.

Ia tidak ingin orang yang dikenai sanksi itu dirasuki seran dan

justru berbalik bersekongkol dengan musuh. Dalam kasus ini, ia

memang tidak sama sekali membacalkan sanksi, rerapi ia menang­

guhkannya karena pertimbangan tertentu. lni semua adalah

beneuk-beneuk ijeihad yang menghasilkan hukum baru yang

belum ada preseden sebelumnya. Di situ rampak perbedaannya

dengan apa yang eerjadi pada masa Nabi dan Abu Bakar.

Demikianlah kiea eelah melihae Umar berijeihad dan memba­

ealkan jaeah bagi para muallaf yang nyaea-nyaea bereeneangan

dengan eeks al-Quran. la juga eidak menerapkan sanksi poeong

tangan atas pencurian karena berkesusahan, dan bahkan memba­

ealkannya sama sekali pada masa paceklik. Ia juga eidak menerap­

kan hukum lecut terhadap peminum minuman keras dalam

kondisi peperangan. Perlu kita tambahkan, ia juga menyalahi

Sunnah Nabi dalam soal pembagian jaeah pampasan perang. Tanah­

canah pampasan perang yang subur di lrak ieu eidak ia bagi-bagikan

kepada para prajurienya yang ikue berperang. la juga menerapkan

sanksi qi$tI$ atas kelompok yang membunuh satu orang, dan ini

bertentangan dengan prinsip keseraraan dalam qisss.

Karena itu, ketika mernaparkan apa-apa yang dilakukan oleh

Umardalam kondisi-kondisi geneing pada tiap perkara, saya eidak

sabar untuk mengungkapkan dua kenyataan pencing. Pertama,

ia adalah sosok yang senantiasa menggunakan akal-pikirannya

untuk menganalisis dan mengevaluasi sesuacu. la tidak berhenti

pada ungkapan lahir sebuah eeks agama. Kedua, ia eelah menerapk-

60
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

an roh Islam dan esensinya kecika paham becul bahwa cujuan

dari ketencuan cekscual agama adalah prinsip keadilan. Karena

itu, menyalahi eeks agama untuk sampai kepada keadilan masih

berada dalam neraca agama yang benar daripada gegabah dalam

menerapkan eeks namun mengabaikan aspek keadilan.

lnilah semangat yang agung dalam proses penerapan hukum,

dan icu berbeda sama sekali dengan brucalisme yang kica saksikan

dan kica dengar dari orang-orang zaman sekarang. Semua iru

berbeda dengan semangat jumud dalam menyikapi eeks agama

dan mengabaikan esensinya. Dan kica dapar memascikan pula,

apabila orang-orang yang jumud itu hidup pada masa Umar,

pastilah mereka akan menuduh Umar sebagai sosok yang meng­

ingkari perkara yang sudah gamblang di dalam agama dan telah

menerabas kaidah-kaidah syariat yang sudah jelas dan tidak

mengandung kesangsian lagi. Mereka mungkin akan menempuh

segala cara dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran yang tak

bosan-bosan mereka kumandangkan demi menencang kebijakan

Umar. Mereka akan mengatakan, "Barangsiapa yang cidak ber­

hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka

kafir." Arau ayat al-Quran, "Sungguh, demi Tuhanmu, mereka

cidak disebut orang beriman sampai mereka meminca kererapan

hukum darimu dalam perkara yang sedang mereka sengkerakan"

Ayac-ayac demikian akan mereka lepaskan dari konteks turunnya,

dan akan diabaikan hikmah yang rerkandung di dalamnya.

Boleh jadi, orang-orang seperti i ni berpandangan bahwa

meneladani Umar mungkin saja dilakukan; bahwa pintu-pincu

ijtihad yang telah dibukakannya unruk kita sudah semakin lebar

daripada apa yang kira sangka dan saksikan. Mereka mungkin

memahami iru, retapi mereka tetap mengingkarinya. Karena iru,

kira layak kembali bertanya: Apakah pembaralan hudad sama sekali

bisa dimungkinkan? Apakah menyalahi ketentuan tekstual al-Qur­

an recap dibolehkan?

61
Kebenar:m yang H,lang

Mereka mungkin punya tiga jawaban. Pertama, mutlak

membolehkan adalah tidak diperkenankan sama sekali. Kita

sepakat dengan itu. Kedua, menyatakan tidak boleh secara mutlak

juga tidak mungkin. Kita masih bersepakat dengan mereka dalam

soal ini. Alasan kira adalah ijtihad Umar. Ketiga, membolehkannya

dalam perkara-perkara rertenru, terutama untuk konclisi yang

darurar, dengan sebab-sebab yang masuk akal dan jelas, serta tidak

bertentangan dengan semangat tekstual agama clan argumen

hukumnya.

Pada titik ini, terbuka ruang amat lebar untuk bercliskusi,

berbantahan, berjihad dan berijtihad, tanpa tuduhan-tuduhan

kafir clan klaim bahwa hanya mereka sajalah yang Islam sementara

kita kafir, zalim, atau fasik. Mereka tidak berhak mengklaim bahwa

hanya mereka sajalah yang Islam, semenrara kehiclupan kita

sepenuhnya jahiliyyah modern. Kita tidak sepakar dengan itu.

Kita justu menganggap bahwa kitalah yang benar dalam soal ini

dan merekalah yang keliru. Mereka menganggap diri mereka alim

dalam agama, tetapi bagi kira mereka jahil dalam soal fikih clan

sejarah. Mereka menganggap apa yang mereka lakukan adalah

refleksi iman, terapi bagi kira itu bagian dari fanatisme bura,

Mungkin kira juga mengabaikan biografi Umar sehingga kita

tidak memperhatikan beberapa keputusannya yang juga pen ting

dan viral. Sebagian orang mungkin menelaah iru sambil lalu.

Tetapi bagi kita, itu adalah kunci untuk membuka perbincangan

tentang analisis kita berikut ini, yaitu soal malaperaka besar yang

menimpa masa Usman clan menyebabkan kematinnya, dan

malapekara yang berlanjut ke masa Ali dan berakhir dengan

kematiannya juga.

Adapun kebijakan pen ting Umar yang ingin kita perhatikan

di sini adalah keputusannya unruk mewajibkan para pemuka

sahabat untuk menetap di Madinah. Mereka clilarang mening­

galkannya kecuali aras persetujuannya. Ia menjelaskan dasar

62
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

kebijakannya itu dengan santun: ia ingin selalu berada di dekat

mereka dan senanriasa meminta pertimbangan mereka. Padahal

alasan sebenarnya adalah kekhawatiran Umar akan dilihatnya para

sahabar dengan penuh kedengkian oleh orang lain dan potensi

mereka unruk cemburu melihat kekayaan orang lain. Bagaimana

mungkin para sahabat icu akan iri melihat orang kebanyakan?

Sebab mereka digaji Umar dalam jumlah tertentu, rerapi rerbaras.

Umar menuntut mereka untuk mencukupkan diri dari yang sedikit

itu, karena ia sendiri juga mencukupkan diri dengan pola hidup

yang sederhana. Para sahabat menerima kebijakan icu kerana

mereka memaklumi rekam jejak Umar yang unik selama ini.

Namun mereka bisa jadi juga tertekan dan benar-benar

membenci kebijakan Umar. Pada akhirnya, mereka juga manusia

yang ridak rerima bila dibarasi dalam soal-soal yang dibolehkan

untuk orang lain. Akan rerapi, rasa ketertekanan mereka itu juga

berbenturan dengan fakta bahwa Umar sendiri senantiasa memba­

tasi diri, baik untuk kepentingan pribadi maupun keluarganya.

Rasa terrekan iru akhirnya mereka bungkus dalam bentuk kerelaan

hati yang membisu, sementara kebencian coba dialihkan menjadi

bentuk kesabaran.

Pada ririk ini, kira ridak rerlalu perlu mengada-ada dalam

menggambarkan rasa tertekan dan kebencian mereka. Sebab,

setelah masa Umar, hal itu langsung terungkap. Kita segera dapat

menyaksikan perubahan kebijakan yang pertama-rama dilakukan

Usman pada masa pemerintahannya, yairu membebaskan para

sahabar unruk pergi ke mana pun mereka suka. Bahkan, ia bermurah

hari dengan ridak lupa memberikan mereka berbagai bingkisan

dan hadiah. lindakan ini wajar karena sesuai dengan watak Usman

yang lemah-lembut, tak sampai hati, pemurah, dan toleran. Bing­

kisan-bingkisan yang diberikan Usman iru sesungguhnya ridaklah

kecil dan rerbaras. Al-Zubair diberi uang sebanyak 60 ribu dirham.

Thalhah mendapat 100 ribu. Usman mungkin juga sedang me-

63
Kebenar:m yang H,lang

mikat hari mereka karena kebjakan-kebijakannya tak jarang

berrenrangan dengan apa yang para sahabar itu pikirkan. Ia mung­

kin sudah merasa bahwa ia telah mengambil pelbagai kebijakan

yang tidak mesri direrima oleh para sahabar. Karena itu, adalah

pen ting baginya untuk mengangkat harkat dan martabat mereka.

Dengan begitu mereka diharapkan un tuk tidak melakukan

revolusi atau sekadar marah.

Ini terurama dilakukan Usman ketika para sahabat me­

ngetahui bahwa anaknya sendiri mendapar jumlah yang setara

dengan para pemuka sahabat. Usman juga relah memberikan

kepada orang-orang dekatnya dari Bani Umayyah wewenang

untuk mengelola beberapa kawasan rertentu, sesuatu yang tidak

diperkirakan para sahabar sebelumnya. Saar itulah para sahabat

mulai terpikat untuk berbondong-bondong keluar ke berbagai

kawasan baru Islam. Konran, mereka terperangah menyaksikan

bahwa dunia sangat menyambur kedatangan mereka dan mereka

pun bersiap menyambut indahnya dunia. Kaidahnya, tatkala

dunia disambut ran pa baras, akidah haruslah diupayakan menye­

suaikan diri walau dalam kadar yang minimal. Adapun bagaimana

cara menyambut atau menolak dunia itu, marilah kira renungkan

bersama-sama setelah ini.

Renungkanlah jumlah kekayaan lima orang pemuka sahabar

yang mempunyai nama besar dalam sejarah Islam. Mereka semua

adalah sosok-sosok yang diberi kabargembira akan memperoleh

surga oleh Rasulullah, yairu enam orang yang diwasiatkan Umar

untuk dipilih menjadi penggantinya. Salah satunya adalah khalifah

terpilih, yaitu Usman bin Affan. Ada juga al-Zubair bin 'Awwam,

Sa'ad bin Abi Waqash, Thalhah bin 'Ubaidillah, dan 'Abdurrahman

bin 'Auf, sebagaimana dikisahkan kitab al-Tabaqat karangan Ibnu

5
Sa'ad. Di situ dikatakan bahwa tatkala Usman terbunuh, di dalam

5
Ibn Saad, al-Tabaqst aL-Kuhrf!l, Beirut: Dar Shadir, Vol. III, ha!. 76.

64
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

berangkasnya rerdapar 30 juta 500 ribu dirham, serta 100 ribu

6
dinar. Semuanya dijarah dan hilang cak bersisa dalam pemberon­

takan yang mengakhiri hidupnya. Ia juga meninggalkan seribu

ekor unta di Rabzah, dan sejumlah pemberian sedekah sekirar

200 ribu dinar untuk Beradis, Khaibar, dan Wadi] Qura.

Adapun harta peninggalan al-Zubair berjumlah sekirar 5 1

atau 52 juta dirham. Di Mesir, Aleksandria dan Kufah, al-Zubair

juga pun ya beberapa armada lauc. Di Basrah, ia punya angkucan

darar dan hasil panen yang dipersembahkan kepadanya oleh pen­

7
duduk setempat. 'Aisyah bin ti Sa'ad bin Abi Waqash mengisahkan:

"Bapakku meninggal di istananya yang ancik sekicar sepuluh mil

8
dari Madinah. Kecika itu, ia meninggalkan 250 ribu dirham."

Adapun jumlah kekayaan yang ditinggalkan Thalhah bin

'Ubaidillah terdiri dari rumah dan harta benda. la meningglkan

sekitar 30 juta dirham di Nadh, 2 juta 200 ribu di al-Ain, dan

9
sisanya adalah barang perniagaan. Sementara iru, 'Abdurrahman

bin 'Auf meninggalkan seribu unta dan 30 ribu ekor kambing di

Baqi. Juga seratus ekor kuda ternak. Ia juga meninggalkan emas

yang jika dipotong dengan kapak pun akan membuat melepuh

cangan pemotongnya. la meninggalkan empat orang istri dan riap

10
orang darinya menunjukkan 80 ribu dirham.

Al-Mas'udi juga memerinci perkiraan yang mendekati apa

yang telah diterangkan Ibnu Sa'ad dengan sedikit perbedaan pada

perincian jumlah. Thaha Husein ketika menulis bukunya, al­

Fitnah al-Kubra ("Malapetaka Besar dalam Sejarah Islam") meru­

juk perkiraan-perkiraan Ibnu Saad. Sementara itu, Ibnu Katsir

6
Dirham adalah mata uang Persia ketika itu, sementara Dinar adaJah

mata uang Romawi.


7
Ibn Saad, al-TahaqJt al-KuhrJ, ha!. 110.
8
Ibn Saad, al-Tabaqer al-KuhrJ, hal. 149
9
Ibn Saad, al-TahaqJt al-KuhrJ, ha!. 222.
10
Ibn Saad, al-Ta.haqJt al-KuhrJ, ha! 136.

6 5
Kebenar:m yang H,lang

menyeburkan bahwa jumlah kekayaan al-Zubair mencapai 57

jura, semenrara jumlah kekayaan Thalhah berrambah seribu

11
dirham setiap harinya.

Para pembaca mungkin bosan membaca perincian jumlah

kekayaan para sahabar rerkemuka iru. Mungkin juga rerganggu

ketika saya berbicara soal uang jutaan. Dan mungkin juga akan

ada yang mengarakan bahwa juraan dirham dan dinar iru ridaklah

bernilai besar pada masa kini. Namun saya mengajak kita semua

unruk merenungkan fakra ini. Ibn 'Auf wafar delapan rahun serelah

wafarnya Umar. Semenrara al-Zubair dan Thalhah wafar kira-kira

12
tiga belas tahun setelah Umar. Dan jika menggunakan istilah

saat ini, perkiraan terparah dari inflasi pada periode iru tidak

akan lebih dari serengah dari harga mara uang. Perharikanlah apa

yang diceritakan al-Mas'udi kepada kira tenrang Umar. "Kerika

Umar melaksanakan haji, selama perjalanan pergi dan pulang ke

Madihah, ia hanya menyedekahkan uang sekirar 16 dinar. Ia

bahkan mengarakan kepada anaknya, Abdullah: 'Kira relah

berbelanja secara berlebihan dalam perjalanan ini' ." Bayangkanlah,

andai 16 dinar sudah mencukupi untuk belanja Umar dan

anaknya, arau pun mencukupi kebutuhan Umar sendiri untuk

masa sebulan penuh, kira tentu dapar membayangkan apa yang

bisa diperbuar dengan puluhan juta dinar dan kepingan emas

yang diporong dengan kapak pun akan membuar rangan melepuh.

Kira perlu memberikan contoh lebih jelas dari contoh

sebelumnya. Yairu, tentang orang keenam yang ditunjuk Umar

sebagai calon pengganrinya, yakni Ali, yang wafat em pat setengah

rahun serelah Thalhah dan al-Zubair arau sepuluh rahun serelah

Ibn 'Auf Al-Masudi kembali mengisahkan renrang harra pening-

11
AI-Mas'udi, MurOj al-Dzahab, Beirut: Darul Ma'rifah, ha!. 341-342.
12
Ibn Katsir, al-Bidfi.yah wan Nihfi.yah, Beirut: Darul Kutub al­

'Ilmiyyah. Vol. VII, ha!. 259-261.

66
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

galannya: "Ia cidak meninggalkan si hijau dan si pucih kecuali

masih tersisa di tangannya sekitar 700 dirham dari pemberian

itu. Itu lalu ia gunakan unruk membeli seorang pembantu untuk

13
keluarganya." Ini jumlah kekayaan yang kecil. Sebagian versi

mengacakan, Ali hanya menginggalkan sekitar 250 dirham be­

serta mushaf dan pedangnya.

Akan retapi, di sini kica berhadapan dengan beberapa contoh

dan perumpamaan. Kita sesungguhnya sedang menghadapi gejala

pencing yang dihadapi umat Islam generasi awal, dan kica juga

sedang menghadapi adanya lonceng peringatan ten tang apa yang

akan cerjadi pada mereka kelak. Fakca ini menunjukkan bahwa

agama dan negara tidak akan berhimpun kecuali dengan susah

payah. Menghimpun harta dengan cara seperci icu sebetulnya cidak

sejalan dengan kelurusan iman dan kesucian nurani, kecuali

dengan upaya yang sangac hebac. Ungkapan Nabi bahwa Ibn 'Auf

akan masuk surga dengan tertarih-tatih, kembali terngiang dalam

ingacan sahabac. Kekayaan 'Abdurrahman bin 'Auf campaknya

telah memberarkan langkahnya unruk menuju surga.

Memang cidak tercela dan cak ada halangan bagi umat Islam

saat itu untuk menjadi sekaya yang mereka inginkan. Apalagi

kalau mereka menunaikan apa-apa yang diwajibkan Allah pada

hartanya dengan baik. Namun cara kita dalam mengukur kredibi­

litas pemuka-pemuka sahabar Nabi, ten tu harus berbeda dengan

mengukur orang lain. Mereka mestinya lebih asketis daripada

yang lainnya. Mereka lebih pantas mendahulukan orang lain

dalam perkara-perkara seperti ini. Kita telah melihar bagaimana

kondisi mereka kecika hijrah dari Mekkah ke Madinah bertahun­

cahun sebelum icu. Mereka cidak berbekal apa-apa kecuali pakaian

yang melekat di badan mereka. Mereka pun hanya bermalam di

atas pelepah kurma dengan begicu syahdunya. Hanya dengan

13
Ibn Karsir, al-Bidayah wan Nihayah, Vol. VII, hal 343

67
Kebenar:m yang H,lang

iculah mereka menjadi orang terkaya dalam cimbangan Allah.

Namun, zaman relah berlalu dan cak pernah akan kembali. Apa

salahnya membuka tangan lebar-lebar unruk kekayaan dan

menyambur kekuasaan dengan tangan terbuka? Bukankah

keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yaicu me­

nyambut dunia dengan lapang dada?

Kini tibalah saacnya kica ke masa kepemimpinan Ali. Ia

mungkin menjadi khalifah yang tepat pada masa yang tidak repat.

Apa yang terjadi sebelumnya akan terjadi pula pada masanya.

Tak terelakkan, yang akan terjadi pasti recap terjadi. Memang

pada masa icu pancaran keimanan masih campak membuncah di

kalangan umat Islam. Iculah yang membuac masa pemerin­

cahannya mampu bercahan sampai lima cahun lamanya. Tetapi,

ia lupa bertanya: Apakah ia telah ditelikung dan orang-orang

jusrru menaaci Muawiyah? Pertanyaan ini, meski terasa pahir,

akhirnya terjawab juga. Benar, Ali memang sudah tidak didengar

lagi kar ena ia berpegang reguh pada agama. Semencara icu,

Muawiyah benar-benar sedang menggenggam dunia. Apa yang

menjadi wacak anda akan sangat menentukan nasib anda kemudian.

Orang-orang ternyaca lebih merasa dekac kepada Muawiyah.

Mereka benar-benar tidak sabar lagi mengikuti jejak Ali yang

ingin kembali mendorong roda sejarah ke belakang, yairu ke

zaman yang dianggap bahagia sekaligus absah. Akan tetapi. roda

sejarah tidak lagi ingin berputar ke arah yang cak dikehendaki

umatnya. Jika para sahabat karibnya saja sudah begicu terbuka

menyambuc dunia, apakah ia juga akan mengingkari kehendak

umatnya yang siap mengikuti jejak mereka yang mengambil jatah?

Karena itu, Ali perlu bersabar dan ia cidak sendiri. Akan dacang

70 tahun setelahnya, seseorang yang tidak juga mengambil pelajaran

dari kasusnya. Ia juga mengupayakan ha! yang serupa dengan Ali.

la pun sangat ingin menjalankan programnya lebih cepat dari yang

Ali coba. la adalah Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah

68
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

pada masa Umayyah. Namun, masanya untuk bertahan cidak lebih

dari 2 cahun 3 bulan saja. la wafac dalam umur kurang dari 40

cahun, dan besar kemungkinan karena diracun. Posisinya digancikan

Yazid bin Abdul Malik, seorang penikmat sastera, tembang, dan

dunia percunjukan. Ia penikmat Salamah dan Habbabah. Dialah

martir pertama roman dan kisah cinta dalam sejarah khalifah Islam,

sebagaimana akan kica cericakan nanci.

Secelah sacu abad secengah masa Umar bin Abdul Aziz, dacang

pula seorang khalifah Abbasiyah bernama al-Muhcadi Billah. la

ingin mengikuci jejak Umar bin Abdul Aziz. la menyeru kebajikan

dan melarang kemungkaran. la juga seorang yang askecis dan

gemar bergaul dengan ulama. la pun menjunjung cinggi karir

para fuqaha, cahajud malam hari, berlama-lama wakcu salac. Akan


14
rerapi. seperti dilaporkan al-Mas'udi. nasibnya berakhir tragis.

"Langkah-langkahnya yang vulgar terasa berar baik oleh kalangan

jelaca maupun elicnya. Masa kepemimpinannya terasa begicu

lama. Mereka bosan dengan hari-hari yang mereka jalani. Lalu

mereka melakukan tipu muslihat sampai ia terbunuh. Kecika ia

tertangkap, mereka mengejeknya: 'Apakah anda ingin membawa

masyarakac dengan cakcik orang-orang besar yang cidak mereka

kenal?' al-Muhcadi menjawab: 'Aku hanya ingin membawa mereka

ke jalan Rasulullah, ahli baicnya, dan paraal-Khulafa' al-Rasyidun.'

Tapi mereka kembali menjawab: 'Rasulullah berada di antara

kaum yang menjauhi dunia dan sangat menginginkan akhirar,

seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dan lainnya. Tapi kaummu

terdiri dari orang Turki, Khazri, Maghribi, dan non-Arab lainnya.

Mereka cidak cahu apa yang harus mereka persiapkan uncuk bekal

akhirat nanci. Tujuan urama mereka cak lain menguasai dunia.

Bagaimana mungkin engkau membawa mereka ke jalan yang

engkau kacakan jelas itu?"

14
Ibn Karsir, al-Bidsyah wan Nihayah, jilid IV, hal. 186.

69
Kebenar:m yang H,lang

Al-Mahdi rerbunuh setelah kurang dari 1 1 bulan masa kepe­

mimpinannya. Sebagian mengacakan ia terbunuh dengan belaci.

Para pembunuhnya lalu meminum darahnya di depan massa.

Sebagian mengacakan bahwa kepalanya diremukkan sampai ia

mati. Versi lain menyebuc ia digancung di antara dua tiang besar,

lalu ditarik dengan temali sampai tewas, Versi lain menyebut ia

terbunuh oleh cekikan. Diseburkan, ia dirindih permadani dan

15
ban cal sampai menghembus nafas cerakhir.

Karena itu, janganlah bersedih wahai Ali dan jangan pula

gundah. Masamu tentulah lebih agung daripada zaman sesudah­

mu. Cukuplah anda ketahui bahwa fasemu adalah fase pemisah

sekaligus jembatan menuju masa sesudahnya. Sejak itulah khilafah

tidak lagi berhubungan dengan Islam kecuali pada nama. Kita pun

tidak dapat lagi mencium hubungan iru kecuali selintas bagai kilar.

Hanya sekirar dua tahun pada masa Umar bin Abdul Aziz dan 1 1

bulan pada masa al-Muhtadi Billah. Ini adalah urusan dunia dan

kekuasaan. Perkara kerajaan dan kesemena-menaan, berbagai taktik

unruk mengelabui agama muncul begiru rupa. Mungkin para

pembaca tidak dapat menangkap rupa-rupanya dengan jelas. Sebab,

yang sampai kepada kita hanyalah sebagian kecil dari fakra yang

sudah disaring dan dikurangi tingkat kebenarannya.

Ada ha! setara yang mesti kira kisahkan kepadamu, wahai

ayahanda Hasan. Iru akan membuat anda terheran-heran dan orang

lain pun heran. Kita akan mengisahkan ini dengan menyertakan

surat-menyurat antara dirimu dengan sepupumu, 'Abdullah bin

'Abbas, pengasuh umat Islam dan samudera pengetahuannya. Dia

juga salah seorang yang banyak meriwayatkan hadis dan salah

seorang perwakilanmu di Bashrah, kora rerbesar dan terpenting.

Mungkin anda sudah mendengar apa yang akan diceritakan ulang

15
Ibn Karsir, aL-Bidayah wan Nihayah, Vol. IV, ha!. 186. Dalam Tarrkha

aL-KhuLaft, al-Suyuthi menyebut bahwa kemaluannya diremas sampai ia tewas.

10
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

di sini. Saar itu, anda mendaparkan surat dari pengurus Bairul

Mal Bashrah, yaituAbul Aswad al-Duwali. Surat itu menceritakan

bahwa "rangan kananmu clan sepupumu relah mengambil apa yang

16
bukan menjadi haknya tanpa sepengerahuanmu."

Anda mungkin tidak menyangka clan ridak mempunyai

pilihan lain kecuali mengirim orang untuk menyelidiki perkara

ini. Anda berharap kebenaran akan terungkap berupa bersihnya

Ibnu Abbas dari tuduhan itu. Tetapi, suratmu justru tidak me­

nunjukkan iru. "Telah sampai padaku rumor ten tang dirimu. Jika

engkau benar-benar melakukan rumor itu, engkau sungguh telah

membuat murka Tuhan, jauh dari amanat, melawan pemim­

pinmu, clan khianat pada umar. Aku mendengar, engkau relah

mengkavling-kavling tanah dan menikmati apa yang engkau

kuasai. Tunjukkan padaku laporanmu sebelum perhitungan

Tuhan yang lebih keras akan menimpamu!"

Namun datang kepadamu jawaban dari Ibn Abbas: "Yang

sampai kepadamu tak lebih dari kebohongan. Aku senantiasa

menghirung clan menjaga apa-apa yang berada di bawah wewe­

nangku. Karena itu, janganlah engkau memercayai rumor-rumor.

Semoga rahmar Tuhan selalu menyertaimu. Wassalam."

Jawaban ini seperti pledoi pada masa sekarang. Tetapi, sang­

gahan itu tidak berbicara apa-apa. Padahal Ali ingin mengetahui

laporan tentang penggunaan uang. Ia tidak mendapatkan

kererangan dari Ibnu Abbas kecuali sangkalan terhadap tuduhan

dan ucapan salam. Karena itu , Ali tidak bisa lain kecuali meng­

gelindingkan bola untuk kembali menjelaskan apa yang ia min ta.

ltu ia lakukan dengan cara menguji sentimen keagamaan yang

ada pada Ibnu Abbas, sebagaimana ia rulis dalam surat berikutnya:

"Saya tidak kuasa meninggalkan perkaramu sampai engkau

16
Al-Thabari, Tf!Irikh al-Tahari, Beirut: Muassatul I'lam, Vol. IV, ha!.

I 08-109.

71
Kebenar:m yang H,lang

memberirahuku apa yang kau ambil dari jizyah; dari mana engkau

dapar, dan engkau kemanakan harca icu. Bercakwalah kepada Allah

dalam perkara yang aku mandatkan kepadam u karena aku

memintamu untuk menjaganya. Harta benda yang mungkin

menggiurkanmu amadah kecil, rapi konsekuensi dari icu amadah

besar. Wassalam."

Surat Ali ini bukan lagi bencuk cuduhan yang harus disanggah

Ibnu Abbas, rerapi permincaan jelas dan regas untuk menyiapkan

laporan keuangan tenrang sumber-sumber pendapatan jizy ah,

berikuc penggunaannya. Sebenarnya, IbnuAbbas masih menjawab.

Namun, jawabannya sama sekali cidak menyentuh soal sumber

pendaparan dan pengeluarannya. Lantas, rerjadilah perseteruan

yang semakin rajam antara dirinya dengan Ali lewat cara saling

melempar cuduhan. Ali menuduhnya celah menggelapkan ke­

uangan negara, sementara Ibnu Abbas menuduh Ali telah

menumpahkan banyak darah umat Islam demi merengkuh

kekuasaan. Tuduhan berjawab cuduhan. Namun, kesalahan Ali

- sebagaimana ia karakan dan selalu ia farwakan - mungkin

lebih besar di maca Tuhan daripada dosa Ibnu Abbas yang cidak

menampik cuduhan Ali, apalagi meminra maaf. Bacalah surar

Ibnu Abbas kepada Ali berikuc ini. "Saya memahami mengapa

anda terlalu membesar-besarkan perkara kebun yang mendasari

cuduhan anda bahwa aku memperbudak para pekerja. Demi

Tuhan, dilontarkan Tuhan segala yang ada di dalam perut bumi

ini kepadaku lebih baik bagiku daripada aku harus menumpahkan

darah umat hanya demi merebut kekuasaan dan kepemimpinan.

Kirimkanlah kepadaku pengganti yang engkau sukail"

lni adalah bencuk pengunduran diri yang cidak masuk aka!.

Kecika membaca icu, Ali sangat marah. "Apakah Ibnu Abbas cidak

ikuc menumpahkan darah?" kacanya. Andai Ibnu Abbas hanya

mengundurkan diri begitu saja, kica mungkin hanya akan menge­

tahui kisahnya sampai di situ saja. Kita pun akan menjustifikasi

72
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

kemarahannya dengan tuduhan-tuduhan yang berar dan dianggap

zalim olehnya itu. Kita akan anggap itu hanya sebagai upaya

pelepasan rasa marah dan sentimen unruk memberontak. Karena

itu, kira dapat pula mengatakan bahwa suratnya dirulis bukan

dengan kepala dingin. Tetapi, serelah menulis surat seperti itu, ia

justru melakukan sesuaru yang tidak terbayangkan oleh Ali

sekalipun. la telah melakukan sesuaru yang tak terbayangkan oleh

kita, tak rerampuni oleh Allah, Ali, dan mungkin kira semua.

Ibnu Abbas justru menghimpun semua apa yang tersisa dari

Baitul Mal yangjumlahnya sekitar 6 juta dirham. Ia lalu mengum­

pulkan sanak keluarganya dan kalangan Bani Hila! di Basrah. Lantas

ia merninra mereka memberikan perlindungan sampai ia merasa

aman. Penduduk Basrah mencoba untuk menggagalkan rencana

Ibnu Abbas dan mengancam Bani Hila!. Mereka diyakinkan untuk

meninggalkan harta benda itu untuk menghindarkan terjadinya

perrumpahan darah. Tetapi, Ibnu Abbas berhasil melarikan diri

dengan harta bendanya dengan selamar, terkawal, dan sentosa,

sampai ia tiba di kota Mekkah. Di sanalah ia berlindung dan

melegakan diri. la lantas membeli tiga orang budak yang subur­

subur unruk melahirkan, masing-masing dengan 3 ribu dinar.

lni adalah skandal dan goncangan besar, ridak hanya bagi

Ali, terapi bagi kira juga. Kita selama ini banyak membaca tentang

fikih, asketisme, dan ketaatan tiga orang Abdullah, yaitu Abdullah

ibnu Abbas, Abdullah ibnu Umar, dan Abdullah ibnu Ja'far ibnu

Abi Thalib. Terapi, dengan mengungkap fakra ini, kira sebenarnya

lebih santun daripada para sahabat sendiri. Kita hanya menunjuk­

kan karakter masing-masing orang sebagaimana mereka saling

mengungkapnya. Cukuplah bagi kita menunjukkan ungkapan

Ali terhadap Ibnu Abbas: "Dia telah memakan yang haram, dan

meminum dari yang haram."

Kita hanya mengatakan kepada Ali, engkau benar jika apa

yang engkau katakan benar dan iru benar-benar cerjadi. Tetapi,

73
Kebenar:m yang H,lang

kita perlu pula bertanya kepadanya yang hidup semasa dengan

Rasulullah, para khalifah dan para sahabat: Apakah menguasai

har ra umat Islam halal bagi seorang Muslim' Sebetulnya

pertanyaan ini cidak pantas kira ajukan karena kira tidak hidup

semasa dengan mereka. Tentu saja jawabannya haram. Jika dalam

standar kita saja itu haram, ten tu lebih haram lagi unruk standar

mereka. Sebab, mereka mengetahui soal agama lebih banyak

daripada kita, dan mereka lebih dapat menangkap semangat dan

roh agama ini daripada kita. Mereka adalah para pemimpin dan

mercu suar tempat kita mencari pedoman. Akan rerapi, bilamana

para panutan iru telah mengalami dekadensi, darimana lagi

datangnya kebajikan bagi kica? Kalau mercu suar cidak lagi

menunjukkan cahaya, ke mana kita mencari panduan?

Pembicaraan tentangAli ini sebetulnya masih akan panjang.

Namun, saya teringat tentang salah seorang anggota Tanzimul

Jihad yang membunuh Presiden Anwar Sadat, yang sangat populer

dengan celak macanya. Konon, kebiasaan ini ia daparkan dari

kebiasaan IbnuAbbas. Saya kira, andai ia membaca apa yang kita

bicarakan di sini, mungkin ia akan menyesal dan tidak akan

pernah mencelak matanya. Perhatikanlah surar Ali kepada Ibnu

Abbas setelah ia menetap di Mekkah bersama budak-budak dan

harta dari Basrah.

Demikian Ali menulis: ''Aku telah menyertakan engkau dalam

menjalankan amanat. Tidak ada di jajaran keluargaku orang yang

kuanggap lebih dapar dipercaya daripadamu untuk menemani dan

menyertaiku serta membantuku menjalankan amanat. Akan terapi,

wakcu telah menunjukkan bahwa sepupuku pun telah kalap, musuh

telah merusaknya, clan kepercayaan orang terhadapnya telah sirna.

Umat telah terperdaya. Aku langsung memalingkan diri darinya.

Aku menjauhkannya seperti orang asing. Aku hinakan dirinya

seperti jajaraan orang yang hina dina. Aku anggap ia khianat

sebagaimana pengkhianat lainnya. Tidak kepada sepupuku aku

74
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

dapat bergantung. Tidak pula ada amanat yang dapat ia jalankan.

Seakan-akan Tuhan tidak menginginkannya untuk berjihad. Arau,

seolah ia ridak mengetahui kehendak-kehendak Tuhan. Seakan­

akan, engkau telah memperdaya umat Muhammad dengan giuran

dunia. Arau, engkau mencari penghormatan mereka dengan cara

menyuap mereka. Ketika aku menginginkanmu untuk lebih

memerhatikan gairah agama, segera engkau sambut aku dengan

permusuhan. Engkau melompat terlalu jauh dalam menggunakan

kesempatan. Subhanallah, apakah engkau beriman dengan hari

akhirat clan ridak rakur akan hari perhitungan? Tidakkah engkau

sadar bahwa engkau telah memakan sesuatu yang haram dan

meminum dari sesuatu yang haram? Apakah bukan perkara besar

bagimu menggelapkan harta anak yatim, janda-janda, clan para

pejuang, yang dititipkan Tuhan untuk engkau nikmati bersama

para perempuan dan menikahi banyak perempuan? Bertakwalah

kepada Allah clan kembalikan harta benda mereka. Jika itu tidak

engkau lakukan, aku akan tetap menuntuk hak darimu. Aku akan

senantiasa menekan orang-orang yang zalim dan aku senantiasa

bersimpati kepada yang rertindas. Wassalam."

lni sebetulnya surat yang layak membuat Ibnu Abbas

menitikkan air mata. Andai surat iru disambut IbnuAbbas dengan

hati penuh iman, maka Ibnu Abbas mestinya bertafakur dan

berrobar. Tetapi, ia masih menjawab dengan nada meremehkan

Ali lewat dua baris kalimat saja: "Suratmu yang membesar­

besarkan kasus harta Basrah telah sarnpai kepadaku. Sumpah,

hak yang mesti kudapat dari Baitul Mal mestinya jauh lebih besar

daripada apa yang kuambil. Wassalam."

Kini jawaban itu datang begiru enteng. Ya, ia memang

mengambil, terrapi itu sudah menjadi haknya. Bahkan, hak yang

seharusnya ia ambil jauh lebih besar daripada yang telah ia ambil.

Hak apa clan atas dasar apa ia dibenarkan? Apakah Ibnu Abbas

berhak atas Baitul Mal melebihi umar Islam lainnya' lnilah yang

75
Kebenar:m yang H,lang

dipertanyakan Ali dalam surat selanjucnya. Sebuah canggapan

yang mengena dan menyedihkan.

Akan terapi, saya cidak ingin membuat para pembaca ikuc

berduka. Lebih baik saya pindah ke jawaban kilat Ibnu Abbas.

Di sini ia berdiskusi lebih baik, mengakhiri perjalanan perkara

ini, dan menutup perbincangan tentang agama dan akidah. Ia

cidak lupa mengancam dengan penguasa dunia dan senjaca;

dengan panglimanya yang sebenarnya, yaicu Muawiyah. Ibnu

Abbas menulis: "Kalau engkau tidak juga menjauhkan aku dari

khayalan-khayalanmu, aku akan menyerahkan harta ini kepada

Muawiyah uncuk digunakan berperang melawanmu."

Lihatlah, nasihat Ali dianggap khayalan dan mitos belaka. Kita

akhirnya dibuat berada dalam kebingungan. Karena iru, kira pantas

pula bertanya: Apakah kira pantas mempercayakan urusan agama

kira kepada orang yang tidak dapat dipercaya dalam urusan dunianya?

Tidak mengapa kira meninggalkan dulu Ali dalam kegundah­

annya. Ia berpendapat, sebagaimana yang sering ia karakan, bahwa

kepercayaan orang celah sirna, dan umar celah terperdaya.

Sepupunya pun telah berpaling darinya. Ia lebih memilih hidup

layak di Mekkah dengan harta umat Islam daripada memper­

juangkan akidah agama di Basrah. Dan, tidak perlu waktu lama

secelah perisriwa iru, Ali pun cewas rerbunuh. Kira pun langsung

menyaksikan Ibnu Abbas menjadi camu kehormacan Muawiyah

di rempat ia berkuasa di Damaskus. Ia mendapat sambucan

hangat, begiru dimanja, dan ditaburi berbagai hadiah.

Pada cicik ini, yang penting bukan hanya menunjukkan

takluknya simbol keyakinan Islam dalam mengemban amanac.

Tetapi, yang lebih penting lagi adalah menunjukkan bahwa

patologi-patologi sosial lainnya kini telah menjalar pula dalam

sendi-sendi negara Islam yang baru lahir. Kita tinggalkan dulu

perbincangan ten tang simbol-simbol akidah dan agama kira. Kita

masuki saja perbincangan ten rang dunia dan policiknya.

76
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

Di sini kica mendapatkan bahwa kekuasaan apa pun di dalam

sejarah haruslah mempunyai simbol-simbol kewibawaannya. Dan,

kewibawaan iru biasanya merupakan hasil dari interaksi ancara

pemimpin dengan yang dipimpin. lni sangac penting, bukan saja

bagi seorang pemimpin, rerapi uncuk memperkuac sendi-sendi,

keberlangsungan, dan stabilicas sebuah negara. Tidak kica ragukan

lagi bahwa kebijakan Abu Bakar dalam memerangi disintegrasi

karena kasus kaum murcad celah menjaga kewibawaan icu dan

mengukuhkannya di maca umat. Umar, dengan kecegasan dan

keadilannya, celah melambungkan wibawa negara ke cingkat yang

tertinggi. Akan terapi, cidak diragukan lagi bahwa Usman celah

menggerogocinya sedikit demi sedikir, sampai kewibawaan itu

sudah nyaris tak bersisa.

Usman rerkadang memang mengeluarkan kebijakan yang

salah. Jika itu terjadi, ia berpidato di atas mimbar untuk meminta

maaf dan menangis pen uh iba, sampai orang-orang yang mende­

ngarkannya pun rerisak dan cersedu-sedu. Namun rerkadang,

kecika ia berbuat kesalahan, ia tidak meminta maaf, namun justru

mengerahkan massa yang tidak juga sepenuhnya ia kuasai. Karena

itu, dalam inkonsisrensinya antara kelembucan dan kekerasan, ia

juscru bingung mengambil kepucusan. lni mau cidak mau mengu­

rangi wibawa pemerincah di maca rakyatnya. Sampai-sampai

pedangnya pun pernah direbut dan dipacahkan menjadi dua di

depan batang hidungnya. Bahkan, ia dilempari bacu kecika sedang

berpidato di atas mimbar sehingga ia rerluka. Ia juga pernah

dikepung dan dipucus aksesnya kepada air.

Karena iru, kecika Ali memerintah, saya memastikan ia cidak

lagi punya kuasa untuk mengembalikan kewibawaan iru. Kewi­

bawaan negara icu baru pulih kembali dengan campilnya seorang

penguasa dunia, seniman policik kekuasaan seperci Muawiyah.

la adalah seorang yang cidak segan-segan membunuh seorang yang

sangat saleh, adil, dan askecis sekalipun, seperti Hujr bin Uday,

77
Kebenar:m yang H,lang

rarkala Uday mengumandangkan ajakan melakukan opos1s1

terhadap pemerinrah dan memeranginya. Sebab, bagi Muawiyah,

masalah rerpenring yang ia hadapi kerika iru adalah kondisi anrara

adanya pengusa acau cerjadinya anarkisme. Adanya wibawa acau

sirna sama sekali.

Agaknya, keregasan iru pulalah yang dapar mengelakkan rer­

cerai-berainya bala tentara Muawiyah. Apabila diminca, Muawiyah

pun mampu campil sebagai sosok agamawan. la mampu berdebac

dengan para penentangnya. Jika lawannya datang dengan argumen,

ia ba1as dengan argumen. Apabila mereka menyebut ayac, ia pun

akan membungkam mereka dengan ayac. Jikalau mereka menye­

but hadis. ia pun akan mengutip hadis. Akan rerapi, kecika perde­

baran ia anggap sudah rerlalu berkepanjangan, dan sudah rampak

benih-benih permusuhan dan perpecahan, clan karena icu cidak

ada jalan lain kecuali harus angkac senjara, ia pun akan angkac

senjata menantang setiap mereka yang mau menghadapinya.

Pada akhirnya, pedang Muawiyah selalu dapar mengalahkan

mereka. Eksrremisme orang-orang yang keras kepala kerika

berdebar dengannya akan berakhir. Begirulah ia mengakhiri debar

agama melawan agama. la dapar menaklukkan orang yang paling

ekstrem sekalipun. Namun, penuncasan persoalan biasanya

dilakukan Muawiyah dengan banyak cara, bukan hanya dengan

senjara. Selain dengan menggunakan kaidah-kaidah debar itu

sendiri, juga lewac perhaciannya terhadap kehidupan orang-orang

yang coba menancangnya.

Kini kica betul-berul terheran-heran kecika menyaksikan

ringkah pola kaum eksrremis. Tampak sekali, mereka rerkadang

sedang mengira-ngira seberapa besar kewibawaan negara. Rupa­

nya, mereka cak jarang menyaksikan hal ini: jangankan wibawa,

negara pun sudah cidak ada. Karena iru, mereka selalu menguji

kecegasan negara. Kecika mereka melihat negara begicu lembek,

mereka akan rambahkan ringkah polah mereka. Tarkala mereka

IS
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

perharikan masih juga lembek, mereka mulai menyusun langkah.

Tarkala negara tampak berkompromi dengan mereka, mereka

bersegera melakukan perkara yang lebih besar. Mereka bertindak

cepat kecika negara rampak menahan diri. Mereka juga menunggu

apakah akan muncul kecaman dari pemimpin-pemimpin oposisi

terhadap sikap pemerintah atas mereka. Tidak jarang yang mereka

dapatkan jusrru adalah orang-orang yang membuat keruh suasana

dan membolak-balik logika. Pelaku kriminal justru mereka anggap

martir, clan mereka diperlakukan seperri sosok insan-insan yang

mulia. Padahal, kalau pun syariat benar-benar diterapkan sebagai­

mana yang mereka minta, mereka tentunya akan diperlakukan

sebagai agresor. Tangan dan kaki mereka akan diporong, dan

mereka akan digantung di lapangan Kairo arau Aleksandria.

Karena iru , kira perlu kembali lagi ke lembaran-lembaran

sejarah. Kita telah berbicara tentang Usman dan Ali. Kita juga

menyimpulkan bahwa sistem khilafah serelah mereka berdua

mangkat benar-benar telah putus hubungan dengan Islam. Tidak

ada kaitannya lagi dengan Islam kecuali dalam masa yang singkat,

yaitu ketika Umar bin Abdul Aziz dan al-Muhtadi Billah memim­

pin. Perjalanan sejarah yang seperti ini, sebagaimana relah kira

bicarakan, telah bermula sejak era Usman. Kerika menyatakan

bahwa Islam relah sirna dari sistem khilafah pada masa-masa selan­

jutnya, kira memang memiliki alasan-alasan. Iru akan kira perinci

nantinya. Karena itu, ungkapan yang tepat unruk menyebut sistem

khilafah yang pernah eksis dalam sejarah itu menurut kira adalah:

khilafah orang Arab (khilafoh 'arabiyyah). Akan tetapi, lebih tepat

lagi, kita dapat menyebutnya khilafah Quraisy (khilafohquraisyiyyah).

Islam hanya memerintah tidak lebih dari seperempat abad

atau malah kurang. Empat khalifah yang pertama adalah orang­

orang Quraisy. Orang-orang Umayyah dan Abbasiyyah juga dari

suku Quraisy. Imperium Abbasiyyah berlangsung secara resmi dan

secara simbolik sampai jatuhnya kekuasaan Mamalik ke tangan

79
Kebenar:m yang H,lang

orang-orang Usmani pada 9 1 8 H. Karena itu, saya dapat memasti­

kan bahwa suku Quraisy merupakan simbol dari kekuasaan suku

yang rerpanjang dalam cararan sejarah dunia. Sejarah dunia ridak

pernah menyebutkan adanya suacu suku yang mampu memimpin

bahkan selama setengah masa kepemimpinan Quraisy.

Andai panjangnya masa kekuasaan icu karena kerelaan hati

umar Islam dan memang irulah pilihan mereka, tentu ridak jadi

soal bagi kira. Terapi, kira perlu pula merenung dan menyelidiki

soal ini lebih lanjur karena ha! iru berkairan dengan soal yang paling

berharga bagi kira, yairu akidah. Ini soal kekuasaan yang mengena­

kan sesuacu yang sakral menurut kita, yaicu agama, serta bertopang

kepada hadis Nabi yang relah kira ingkari radi. Hadis irulah yang

selalu dikumandangkan oleh para penguasa Bani Abbasiyyah sampai

mereka cerap berada di tampuk kekuasaan sekirar 786 tahun

lamanya. Singkar kara, mereka mengklaim bahwa jika kekhilafuhan

sudah jaruh ke rangan Bani Abbas, ha! iru akan rerap demikian

sampai mereka sendirilah yang akan menyerahkannya kepada sosok

al-Mahdi yang dinanrikan arau Isa bin Maryam. Ini pasrilah hadis

palsu, manipularif, dan penuh kebohongan.

Saya dan anda, wahai pembaca, kini renru sepakar unruk

mengarakan bahwa iru adalah hadis palsu. Argumen kira sederhana

saja: itu semua tidak terwujud dalam sejarah. Namun, argumen

seperti ini ridak rersedia bagi para pendahulu kira. Mereka ridak

mempunyai pilihan lain kecuali runduk kepada hadis rersebur. Jika

ridak begiru, mereka akan diruduh para fuqaha pada zamannya­

yang wacaknya sama saja dengan para fuqaha zaman sekarang -

relah mengingkari agama dan membengkokkan akidah. Cukuplah

bagi kira unruk menunjukkan fakra bahwa kirab-kirab hadis

rujukan, baik hadis Bukhari-Muslim, Ibnu Hanbal, ad-Darimi dan

Ibnu Daud, semua sepakar dengan adanya hadis iru dengan redaksi

yang berbeda-beda. lntinya, para pemimpin umar mescilah dari

suku Quraisy (al-a'immah min quraisy). Kini, jika seluruh dunia

so
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

beserta isinya sepakat menyacakan bahwa hadis ini sahih, kira

dengan enteng dapar menyanggahnya. Karena Islam yang lapang

dada, yang menyecarakan antara orang Arab dan non-Arab, cak

akan pernah mengucamakan suaru suku acas suku lainnya hanya

karena ia berasal dari suku Quraisy.

Dengarlah apa yang diungkapkan Umar menjelang wafanya:

"Andai Salim budaknya Abi Huzaifah masih hidup, dialah yang

akan aku cunjuk menjadi khalifah." Salim bukanlah orang Quraiys

dan Umar bukan pula orang yang cidak cahu akan hadis sepenting

icu kalau memang ada. Demikianlah nenek moyang kica cunduk

taat kepada para khalifah, baik kalangan cerdik cendikianya (dan

ini sedikit) maupun kalangan cak cerdidiknya (dan ini yang

terbanyak). Mereka semua takur dianggap cidak cunduk taat dan

keluar dari kesatuan umac. Alangkah malangnya Islam yang agung

ini. Ia dacang untuk menyecarakan umat manusia, cerapi ia jusru

dimanipulasi oleh umatnya sendiri dengan kebohongan-kebo­

hongan, sehingga seakan-akan ia menjadi agama yang rasialis.

Karena itu, ada baiknya bila para pendukung konsep khilafah

di zaman modern ini menunjukkan kepada kica cara bagaimana

menenrukan nasab kira. Siapa rahu kira adalah orang-orang Qu­

raisy canpa sengaja. Dengan modal itu, kica dapat pula berke­

cimpung di dunia polirik, mengincar kekuasaan, dan mencam­

pakkan aka! pikiran.

Dari pembahasan tentang masa al-Khulafa' al-Rasyidun ini,

kica sampailah pada kesimpulan-kesimpulan berikuc:

Kesimpulan Pertama

Orang-orang yang berpikiran bahwa kica mungkin saja dapat

mengembalikan focokopi masa al-Khulafa' al-Rasyidun ke dunia

modern, sebetulnya sedang mengumbar omong-kosong. Mereka

SI
Kebenar:m yang H,lang

akan mengajak kira dan diri mereka sendiri kepada hasil yang

tragis. Tidak semua yang mungkin pada masa sahabar, mungkin

pula pada masa kini. Masyarakat dewasa ini bukanlah masyarakat

masa lampau. Rasulullah pun tahu akan hal itu. Karena itu, ia

cidak segan-segan mengadopsi sejumlah adat-istiadar masyarakat­

nya seperti pola berpakaian dan pengobatan.

lni adalah lapangan yang kita ridak dianjurkan untuk men­

contohnya apalagi menganggapnya sebagai sunnah yang wajib

diruruti. Rasulullah tidak datang dengan pakaian baru, rerapi tetap

memakai baju era jahiliyyah, bahkan pakaian non-Arab ketika ia

diberi hadiah. Karena itu, pola berpakaian Nabi bukanlah sunnah

yang perlu dicuruti clan direladani.

Soal pakaian ini juga sama dengan soal pengobatan. Karena

itu, logika fotokopi dalam soal ini tidak perlu berlaku. Apalagi

kalau icu malah menimbulkan hasil yang tragis. Begicu juga

dengan soal legalitas kekerasan fisik. Kini, kica mungkin sepakat

bahwa penyiksaan badan atau mental demi mendaparkan peng­

akuan dari tersangka dalam melakukan penyelidikan suatu perkara

adalah sesuatu yang tidak disukai agama. Itu bertentangan dengan

esensi keadilan dan kerahmatan Islam. Begitulah persepsi baru

yang diterima semangat zaman yang coba kira cocokkan dengan

esensi agama. lni masuk akal, dapat diterima, dan benar. Namun,

bagaimana dengan cafsiran ala fotokopi dalam memahami soal

ini? Saya akan berikan dua contoh kasus.

Kasus percama menyangkuc peristiwa desas-desus tentang

perselingkuhan Aisyah isrri Nabi, yang sangat terkenal dalarn sejarah

Islam dengan istilah gosip bohong (hadrts al-ifki) itu. Ketika orang­

orang menuduh Aisyah berbuat serong, Nabi mendatangkan Ali

untuk meminta pendapatnya. Ketika itu Ali berkata: "Perempuan

sungguh ban yak dan engkau ten tu tak kesulitan mencari pengganti­

nya. Tanyalah budak bernarna Barirah, maka ia akan meyakinkan­

mu!" Lalu Rasulullah meminta penjelasan Barirah. Namun, ia

g7
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

menyangkal semua desas-desus iru. Lalu Ali pun memukulnya

dengan keras sambil berkaca: "Yakinkan Rasulullah (akan kebenaran

gosip icu)!" Ia menjawab: "Demi Tuhan, aku cidak cahu apa-apa

tentangnya (Aisyah) kecuali ha! yang baik-baik."

Pada kasus ini, kira menemukan kasus kekerasan fisik yang

dilakukan Ali terhadap seorang budak uncuk mendapat peng­

akuan yang ia kehendaki. Kecika icu, Rasulullah cidak menolak

rindakan Ali. Karena itu, rafsiran 'forokopi' menyatakan bahwa

melakukan kekerasan fisik uncuk mendapackan pengakuan seorang

rersangka dalam suatu perkara adalan bagian dari Sunnah nabi.

Dengan tafsir seperti ini, isu penyiksaan fisik terhadap anggota

Jamaah Islamiyyah di berbagai penjara di Sudan demi memper­

oleh pengakuan, dapat dianggap legal, sesuai syariac, bahkan baik,

karena mengikuti paham salaf.

Akan rerapi, sudut pandang lain yang lebih luwes dan sesuai

dengan semangat Islam juscru menolak penyiksaan fisik. Pandangan

kedua ini menyatakan bahwa sekalipun itu dapat diterima pada

masa Rasulullah, ha! icu cidak perlu lagi berlaku pada masa selan­

jucnya. Kecika peradaban manusia sudah menambahkan banyak

kemajuan berarti ten tang paham hak asasi manusia, serta telah pula

menolak apa yang <lulu dianggap wajar, kica sudah semestinya

menerima paham ini dengan landasan Islam kira. Kita tidak

sepantasnya menolak hanya untuk berteladan dengan masa yang

bukan masa kica. Di sini perlu dicegaskan bahwa Islam cidak berren­

tangan dengan semangar modern, dalam tiap-riap apa pun yang

lebih manusiawi, lebih coleran, dan lebih adil.

83
Kebenar:m yang H,lang

Kesimpulan Kedua

Serelah wafatnya Ali oleh tikaman Abdurrahman bin Muljam,

Abdullah bin Ja'far (saru dari tiga Abdullah yang kica sebutkan

sebelum ini) memanggil Ibnu Muljam. Lalu tangan dan kakinya

dipenggal, dan matanya dicungkil. Lalu ia diminta mengeluarkan

lidahnya untuk dipotong. Ibnu Mui jam melolong karena itu. Lalu

Ibnu Ja'far bertanya: "Kami memorong cangan clan kakimu, serta

mencungkil matamu, rerapi engkau cidak melolong. Mengapa

engkau kini melolong?" Ibnu Mui jam menjawab: ''Aku melolong

bukan karena cakuc akan kemacian. Tapi aku melolong juscru

karena takut hidup di dunia ini canpa dapar lagi menyebut nama

Allah." Lalu lidahnya dipotong, dan ia pun tewas.'? Riwayat Ibnu

18
Sa' ad menambahkan bahwa mayacnya dibakar secelah icu. Ibnu

Kacsir pun menyeburkah hal serupa can pa menyebut versi mana

yang tersahih.'? AI-Thabari dan Ibnu Atsir hanya menyebut soal

pembakaran serelah ia mari.

Kisah di atas menurut kica sama sekali cidak menunjukkan

semangat Islam clan keluhuran ajarannya. Kendari pun kisahnya

hanya sebatas pembakaran mayat setelah Ibnu Muljam di-qisas.

Rasulullah pun pernah melarang melakukan cara-cara balas

dendam yang setimpal (al-matsalah), walau terhadap anjing gila.

Dalam riwayat Ibnu Atsir disebuckan, sebelum wafacnya, Ali pun

melarang pembalasan yang setimpal terhadap pembunuhnya.

Namun, bagi kica kisah ini merefleksikan semangar clan menralicas

zaman yang dipenuhi iklim kekerasan clan membatunya nurani.

17
Al-Dinuri, al-Akhbtirut Tiwtil, Beirut: Darus Sirah, hal. 2 1 5 .
18
lbn Saad, al-Tabaqtit al-Kubra, Beirut: Darus Shadir, Vol. Ill, hal. 39.

19
lbn Katsir, al-Bidtiyah wan Nihti.yah, Beirut: Darul Kutub al-llmiyyah,

Vol. Vll, ha!. 343.

g4
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

Karena itu, masuk aka! terjadi apa yang dilakukan Abdullah bin

Ja'far ran pa adanya penolakan. Bahkan, khalayak yang menyak­

sikan ketika itu pun menyempurnakan rontonan mereka dengan

upacara pembakaran.

Sementara itu, kemajuan peradaban saat ini telah menambah­

kan ke dalam mentalitas kira rasa empati terhadap penderitaan

orang lain dan sulitnya memaklumi rara cara peradaban kuno iru

dalam memperlakukan manusia. Bahkan, kini kita sulir memba­

yangkan bagaimana para penonton bruralisme seperti iru mampu

bertahan menyaksikan pertunjukan. Namun memang, pada tiap­

tiap fakra terdapat dua sudut pandang berbeda. Berapa mudah

kita menemukan para pendukung rafsir 'forokopi' yang dapat

membenarkan tindakan Abdullah bin Ja'far. Bahkan mereka siap

meneladani bruralisme itu dengan ruduhan makar terhadap Ibnu

Muljam, serta solidariras terhadap Hasan dan Husein. Yang tidak

mereka ungkap: Hasan dan Husein pun menolak pembakaran

mayat setelah proses qisas itu.

Kerika menyaksikan kerabahan Ibnu Muljam dan kete­

garannya ketika organ rubuhnya dipenggal, dan bagaimana ia

diperlakukan, kita tidak sabar unruk bertanya: Apakah ada contoh

yang lebih terang rentang buah dari ekstremisme beragama bila

ia telah merasuki jiwa manusia? Yang kira tahu, kaum ektremis

ridak pernah membedakan antara mereka yang beriman dan kafir.

Bahkan, mereka pun sampai hati membunuh Ali. Jadi, tidak ada

yang baru di bawah kolong langir ini. Kira memang ridak banyak

menemukan sosok sepertiAli, tetapi kira sangat sering menjumpai

sosok-sosok seperti Ibnu Muljam.

Karena itu, kira kembali kepada tafsir ala forokopi lagi.

Bukankah lebih baik bagi orang-orang seperti ini, demi solidaritas

terhadap kira dan Islam, agar lebih berpegang teguh kepada al­

Quran dan Sunnah dalam soal ibadah, dan dalam waktu bersa­

maan menyisakan sedikit ruang pikiran unruk lebih mengenal

85
Kebenar:m yang H,lang

dunia modern dan berinreraksi dengannya? Tidakkah lebih baik

bagi kira untuk menyerap nilai-nilainya yang berkesesuaian clengan

esensi agama clan tidak bertentangan dengan akidah clan iman?

Jadi, kira menerima apa yang mesti direrima, menolak apa

yang mesti ditolak, dengan perisai hati seorang beriman dan

pemikiran yang terbuka. Kita tidak menolak hak asasi manusia

semara-mara karena ia datang dari Barar: tidak menolak demokrasi

dengan menyebutnya bidah; tidak menolak modernitas secara

keseluruhan; clan tidak pula menerima mentah-mentah keselu­

ruhan era al-Khulafa' al-Rasyidun. Kita cecap menggunakan aka!

pikiran dalam memahami teks agama. Semua iru sebetulnya tidak

berhubungan langsung dengan pemikiran dan akidah, rerapi lebih

banyak berhubungan dengan fakcor-fakcor pendorong kemajuan.

Iru memang bukan salah saru rukun dari rukun Islam, rerapi ia

tetaplah bagian dari Islam.

Kesimpulan Keliga

Kerentuan-kerenruan agama memang tetap (al-tsabit}, rerapi

kondisi kehidupan terus berubah (al-mutaghayyir). Dan, di antara

sesuatu yang tetap clan berubah itu, harus tetap ada benruk-bentuk

penyimpangan (al-mukhalafet). Yang saya maksud dengan

penyimpangan di sini adalah perubahan pada yang tetap dan

kererapan pada yang berubah. Karena membuat tetap kenyataan

hidup yang selalu berubah ini adalah sesuacu yang muscahil, maka

yang selalu terjadi adalah perubahan pada apa-apa yang dianggap

tetap di dalam agama. lni selalu terjadi, sejak permulaan masa al­

Khulafa' al-Rasyidun, sampai ia berakhir. Upaya mengubah

sesuacu yang dianggap cecap iculah yang kica sebuc sebagai ijcihad.

Kita sepakar, ijtihad memang tidak mutlak, rerapi ia harus tetap

86
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

terjadi dan dimungkinkan. Contoh-contoh Umar yang kita

kemukakan membenarkan apa yang kita karakan.

Han ya saja, dalam beberapa kasus, kompleksitas kehidupan

terkadang memang memaksakan adanya bencuk-benruk penyim­

pangan yang sangat cajam. Di situ tidak lagi ada kesinambungan

bagi ijcihad unruk menghubungkan ancara relevansi dan rujuan

yang hendak dicapai. Penyimpangan-penyimpangan iru dapat

sangat jelas dan terang sehingga tidak mungkin dibenarkan dengan

ijtihad, karena memang tidak ada relevansinya. ljtihad hanya dapat

menyatakan bahwa tidak terjadinya suatu penyimpangan adalah

mustahil arau paling kurang tidak mungkin. Itu telah terjadi pada

masa al-Khulafa' al-Rasyidun sebagaimana terjadi pada masa-masa

lainnya. Contohnya apa yang terjadi setelah terbunuhnya Umar.

Ketika itu, Ubaidillah bin Umar lepas kendali dan membu­

nuh tiga orang yang dianggapnya bersekongkol membunuh

ayahnya. Namun, akhirnya terbukti bahwa ketiganya tidak

bersalah. Salah satu dari yang dibunuh adalah al-Harmazan, yang

baru masuk Islam dan benar-benar caat memeluk Islam. Pada

awal masa pemerintahannya, kasus ini harus disikapi secara serius

oleh Usman. Pendapar agama dalam soal ini, sebagaimana

dikemukakan Ali dan ia konsisten dengan pandangannya itu,

sudah sangat jelas, yairu qisss. Ubaidillah mestinya dihukum

bunuh sebagaimana ia membunuh.

Akan tetapi, Usman cidak kuasa melaksanakan iru dan

menolak hukum qisasdengan alasan "kemanusiaan". Sebab, orang

mulai bertanya-tanya dengan penuh empari: Apakah tidak cukup

terbunuhnya Umar sebelum ini sehingga anaknya pun harus

terbunuh saat ini? Tidakkah sudah cukup bagi keluarga Umar

kehilangan sosok Urnar? Apakah keluarga mereka kembali akan

dikejutkan dengan kehilangan lainnya padahal air mata mereka

belum lagi kering dengan kehilangan Umar? Kepurusan yang logis,

manusiawi, dan cukup memperhatikan aspek perubahan keadaan.

87
Kebenar:m yang H,lang

Namun, hukum agama mestinya tetap dan pasti. Hukum agama

adalah qisas dan karena icu Ubaidillah mesti dibunuh juga.

Konon, Amru bin Ash mengeluarkan fatwa yang amat brilian

dan jenius ketika dimintakan saran oleh Usman unruk menge­

luarkannya dari dilema. Amru bin Ash bertanya kepada Usman:

"Apakah pembunuhan atas al-Harmazan iru sepengetahuan

Umar?" "Ten tu tidak, karena ia sendiri relah riada," jawab Usman.

"Apakah sepengecahuanmu?" lanjut Amru bin Ash. "Tidak, icu

bukan atas perincahku," jawab Usman. "Kalau begicu, biarlah

perkara ini dikembalikan saja kepada Allah," pungkas Amru bin

Ash.

Yang kita tahu dari sejarah, akhirnya Usman berusaha mele­

paskan diri dari dilema ini dengan membayarkan denda darah

(diyat) kepada keluarga al-Harmazan dengan uangnya sendiri.

Ubaidillah sama sekali cidak menanggung sanksi acas perbuacan­

nya, bahkan cidak ikuc membayarkan diyat. Iculah yang kemudian

ditentang Ali dengan selalu mengancam Ubaidillah saban kali ia

berjumpa. Bahkan, Ali menyacakan bahwa kalau perkara icu

diserahkan sepenuhnya kepadanya, ia akan menuntut balas atas

al-Harmazan. Karena iru, cackalaAli menjadi khalifah, Ubaidillah

segera bergabung dengan bala tentara Muawiyah. Ia ikuc berpe­

rang melawan Ali sampai ia terbunuh di dalam Perang Shiffin.

Akan retapi, sejarah kembali mencatar bahwa Ali pun

menghadapi dilema yang mirip dengan Usman, bahkan dalam

bencuknya yang lebih rumic. Ia diangkat menjadi khalifah, rerapi

cidak mampu menegakkan hukum terhadap para pembunuh

Usman dikarenakan mereka relah menguasai kora Madinah. Lalu

ia berkelana dari perang yang saru ke perang lainnya, rerapi tetap

juga cidak dapat membunuh para pembunuh Usman yang celah

menjadi penglima perang di pihak lawannya. Tackala Muawiyah

menyarakan bahwa tuntutan utamanya adalah agar Ali menge­

tengahkan pembunuh Usman kepadanya, Ali ciba-ciba dikejuckan

gg
Pembacaan Barn terhadap Seprah al-Khulafa' al-Rasyidun

oleh koor suara dari bala tentaranya sendiri: Seriap kira adalah

pembunuh Usman! Posisi Ali bertambah rumit. Sangat mustahil

bagi Ali untuk menunrur balas rerhadap permbunuh Usman,

bahkan untuk mengadili mereka sekalipun.

lnilah kehidupan dunia nyaca, bukan alam surga! lnilah dia

manusia, bukan malaikat. Pada masa kenabian pun, tidak ada

kesucian yang muclak. Yang ada hanyalah ciadanya penyimpangan

yang mutlak. Dan, seriap kali terjadi perubahan arau kemajuan

zaman, akan bertambah banyak pula terjadinya bencuk-bencuk

perubahan. Penyimpangan-penyimpangan pun akan bertambah.

Jika lapangan ijcihad begicu luas, sekalipun penyimpangan cecap

terjadi - bahkan sebelum seperempat abad masa mangkatnya

nabi, pada era orang-orang yang pernah hid up semasa dengannya

- bagaimana dengan kica yang hidup 14 abad setelah mangkat­

nya Rasulullah?

Bukankah masuk aka! jika cingkat penyimpangan-penyim­

pangan yang cidak bisa dielakkan (al-mukhalaftt al-i<;ltirariyyah)

itu telah meniscayakan kira untuk melapangkan medan ijtihad

yang krusial (al-ijtihad al-<;laruriyyah)' Karena iru, kica mesti

berlapang dada menerima tingkat terendah sekalipun dari pe­

nerapan agama yang rerjadi pada zaman kira. Ini rentu jauh dari

peringkat al-salaf al-salih yang hidup pada zaman yang lebih

rerdahulu. kurang kompleks, lebih tertutup, dan lebih homogen.

Akhirnya, para pembaca punya kebebasan mutlak untuk

menolak atau menyanggah kesimpulan yang saya capai. Apa yang

ingin saya capai dari pembahasan ini adalah kebenaran dan

keadilan dalam menilai kenyacaan, bukan malah menghindarkan

diri darinya. Iculah yang akan para pembaca lihac dalam pe­

maparan saya selanjutnya tentang para khalifah Bani Umayyah

dan Abbasiyyah. Pemaparan ini akan memperkuar resis saya dan

kebenaran yang saya klaim. •*"'

89
Bab III

Pembacaan Baru terhadap

Sejarah Umayyah

ara pembaca harus mempersiapkan pikiran untuk berke-

1--" lana dan mental uncuk bersikap sahaja kecika kica berpin­

dah dari pembicaraan tentang masa al-Khulafa' al-Rasyidun

ke masa Dinasti Umayyah. Pembicaraan tentang masa Umayyah

sepenuhnya soal harapan yang berbungkus perualangan atau

pecualangan yang berbingkai harapan. Kegilaan-kegilaan juga

terjadi pada masa ini. Sementara soal kesemena-menaan, iru sudah

biasa terjadi.

lzinkahlah saya mengemukakan ciga buah kisah pendek yang

terpisah oleh masa yang cidak terlalu lama, rerapi ketiganya

mengandung perbedaan makna yang amar mencolok. Kisah ini,

sekalipun saling bercolak belakang, namun tetap menunjukkan

suaru makna yang dalam. Makna tersebut menggariskan arah

rerrenru, menencukan apa yang ridak mudah direncukan, clan

sesuatu yang sulit untuk dihindarkan.

Kisah Pertama

Pada cahun 20 H, Umar bin Khaccab berkhucbah di mimbar

Rasul di koca Madinah. Ketika itu, ia berbicara soal peranan

91
Kebenar:m yang H,lang

masyarakat dalam lurusnya dan pelurusan seorang pemimpin. Ia

lalu disanggah seorang Arab badui: "Demi Allah, kalau kami

menemukan ada yang bengkok dalam kepemimpinanmu, kami

akan meluruskannya dengan pedang!" Mimik Umar cecap

bersahaja mendengarkannya. la kemudian mengucap syukur

kepada Allah sambil melontarkan ungkapannya yang sangat

terkenal itu: "Puji syukur kepada Allah yang tetap menyisakan di

kalangan rakyat Umar orang-orang yang akan meluruskannya

dengan pedangnya yang cajam."

KisahKedua

Pada cahun 45 H, Ibnu J\uf mengisahkan bahwa seorang lelaki

menegur Muawiyah: "Demi Allah, hendaknya engkau bercindak

lurus terhadap kami wahai Muawiyah, acau jusrru kami yang akan

meluruskanmu!" Muawiyah menanggapi: "Dengan apa engkau

akan meluruskanku?!" "Dengan kayu," sahur lelaki icu. "Kalau

begicu, kica akan sama-sama meluruskan diri," kara Muawiyah.

Kisah Ketiga

Pada cahun 75 H, Abdul Malik bin Marwan berpidaco di

acas mimbar Rasulullah di koca Madinah secelah terbunuhnya

Abdullah bin al-Zubair. "Demi Allah, janganlah sekal-kali ada

yang mengacakan kepadaku uncuk bertakwa kepada Allah secelah

pidacoku ini, jika cidak ingin kucebas tengkuknya!" ancam

Marwan sambil berlalu.

***

KITA berhadapan dengan ciga kisah pendek, rerapi sangat dalam

maknanya uncuk menggambarkan ciga perkembangan gaya

memerincah. Keciganya dipisahkan oleh ciga fase, yaicu fase Umar,

periode gemilang al-Khulafa'al-Rasyidun; masa Muawiyah bin

Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah; dan Abdul Malik bin

92
Pembacaan Barn lerhadap Sejarah Umayyah

Marwan, khalifah Umayyah paling menonjol dan simbol keluarga

Marwan yang menggantikan keluarga Sufyan setelah wafatnya

Muawiyah bin Yazid, khalifah ketiga Umayyah.

Kisah perrama melambangkan ketulusan seorang pemimpin

kepada rakyatnya dan sinyal tentang sebaliknya. Kita tidak

meragukan itu lagi karena kira telah mengupasnya. Arab badui

icu sungguh rulus dalam perkacaannya. Ia benar-benar mengerti

konsekuensi apa yang ia kacakan. Ia sungguh-sungguh siap

menghunus pedang uncuk meluruskan Umar bila icu benar-benar

diburuhkan. Kira tidak pula meragukan bahwa Umar paharn berul

bahwa sang badui benar-benar culus dalam perkacannya. Karena

itu, ia bersukacica sambil mengucap syukur kepada Allah. Dalam

sukacita dan puji syukurnya, Umar pun benar-benar culus kepada

Allah, jujur kepada dirinya sendiri dan sang badui. Pendek kata,

kita menyaksikan suatu proses dialog dengan kalimat-kalimat yang

benar-benar menjalankan fungsinya secara semestinya. Kalimat­

kalimar itu denocacif, benar-benar mengungkapkan apa yang ada

di dalam jiwa pengucapnya dengan cermar, jelas, dan lurus.

Sementara dalam kisah kedua, kita menemukan conroh terbaik

tentang permainan kara-kata. Suaru ungkapan sudah mengandung

aspek yang tampak keluar dan aspek yang ada di dalam jiwa.

Setiap kalimat bergantung kepada pengucap dan pengungkapnya.

Ancaman sang lelaki terhadap Muawiyah rampak lebih dimaksud­

kan untuk berkelakar, dan lebih repat disebut pengharapan.

Semenrara ranggapan Muawiyah dimaksudkan uncuk memastikan

suacu kesungguhan sikap, lewac pertanyaan "dengan apa?" Perta­

nyaan yang terlontar icu lebih merefleksikan sikap percaya diri

yang amat cinggi. Kepercayaan diri itu seakan-akan menimpa

lawan bicaranya dengan beban yang amat berat clan sangat me­

macikan; ia bagai pedang yang sudah terhunus.

Betapa cepat mental lelaki itu terpukul dengan cara mengalih­

kan suasana menjadi suacu guyonan. Sejak saat itu, Muawiyah

93
Kebenar:m yang H,lang

langsung cahu bahwa sang lelaki kembali siuman dari lamunan,

lalu menyarungkan pedang ke dalam sarungnya. Ia mundur

dengan cara yang cerdas dan cidak rerhempas. Dengan menyebut

kayu sebagai senjaca - sesuacu yang tidak lazim dan karena icu

dapat dianggap kelakar belaka - ia berhasil meredakan emosi

Muawiyah. Para pembaca mungkin dapat dengan mudah menang­

kap kesan bahwa lelaki icu sedang mengatakan sesuatu, rerapi

menginginkan hal yang lainnya. Muawiyah pun sedang mengata­

kan sesuacu untuk menyembunyikan hal lainnya. Kedua mereka

saling memahami maksud lainnya. Keduanya masuk ke dalam

gelanggang dan keluar dalam waktu yang tepat. Dalam rasa kesal

dan kecur terhadap kebijakan-kebijakan Muawiyah, lelaki iru ridak

menunjukkan sikap bagai cegarnya karang. Ia mengambil posisi

seperti halon udara: luarnya rampak kokoh, dalamnya kosong.

Kisah ketiga mendekati kisah pertama dalam hal kejelasan,

kererusrerangan, dan kerulusan ungkapannya. Namun, kisah

keriga ini justru memaklumackan sesuacu yang bercolakbelakang

sama sekali dengan kisah Umar. Marwan jelas-jelas berterus-rerang

dan serius dalam mengancam. Tidak hanya terhadap orang yang

sekadar bersilang pendapat atau membancah penguasa, bukan

pula terhadap mereka yang mengacungkan pedang atau sekadar

kayu, rerapi rerhadap seriap orang yang menasihatinya untuk

takwa kepada Allah. Abdul Malik benar-benar mengabadikan citra

dirinya dengan sikap seperti ini. Karena itu, al-Zuhri pernah

menyebucnya sebagai "orang pertama yang melarang amar makruf

di dalam sejarah Islam."

Namun baiklah, ketiga kisah ini menjelaskan dua hal.

Pertama, kisah-kisah tersebur memperlihackan perkembangan

model kekuasaan dari masa al-Khulafa' al-Rasyidun ke masa

Muawiyah, sosok jenius dan terlacih, lembur perawakan retapi

regas pembawaan, sekaligus pendiri sebuah imperium baik lewar

taktik politis maunpun muslihat tipudaya. Kedua, kisah-kisah

94
Pembacaan Barn lerhadap Sejarah Umayyah

itu menggambarkan siruasi ketika sebuah imperium sudah berdiri,

tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dari kekuasaan, baik dalam

menghadapi tipu muslihat maupun basa-basi. Dengan perkaraan

lain, riga kisah ini membawa kita unruk mengarungi riga model

sikap penguasa sekaligus, keadilan nan tegas (al- 'ad! al-hasim),

ketegasan nan ramah (al-hasm al-basim), serta kedigdayaan nan

menindas (al-qahr al-ghasyim). Semua itu tergambarkan dalam

kurun wakru yang tidak lebih dari setengah abad.

Kita sengaja mengungkap tiga kisah ini sebagai pembuka

unruk berbicara ten tang masa Umayyah, agar para pembaca segera

dapat menangkap suaru sinyal. Selain itu, juga agar para pembaca

mengalami sedikit wakru relaksasi untuk olah pikir sambil

tersenyum. Iru semua bertujuan agar pemaparan kira ridak tampak

terlalu suram, clan fakta-fukta tidak terdengar terlalu menyakitkan.

Para pembaca mungkin akan sangat terperangah dengan sampel

kisah ten tang Abdul Malik bin Marwan. Untuk itu, sejak sekarang

sampai selanjurnya, saya mengajak anda untuk membiasakan diri

dengan fakra-fakta yang mengguncangkan, serta menyiapkan

mental ketika terperangah.

Kita mestinya bersyukur dengan kejujuranAbdul Malik pada

dirinya sendiri dan orang lain. Sebab akan riba suaru masa ketika

para Khalifah dari Dinasti Abbasiyyah justru menunjukkan rupa­

rupa hipokrisi clan kemuna.fikan. Mereka tampil di depan khalayak

dengan rampang khusuk dan pen uh iman, rak jarang bercucuran

air mata kerika dinasihati oleh para ahli ibadah. Namun pada

lain wakru, mereka jusrru menanggalkan baju rakwa mereka, lalu

melakukan hal-hal yang amat memalukan clan membelalakkan

mara. Dalam kealfaan dan kegilaannya iru, mereka jusrru ridak

risih disapa sebagai pemimpin kaum beriman (amtr al-mufflinrn)

clan khalifah bagi umat Islam (khalrfah al-muslimTn).

Untuk memperjelas berapa vulgar clan jujurnyaAbdul Malik

dengan dirinya, ada baiknya kira mencerirakan kisah unik yang

95
Kebenar:m yang H,lang

disodorkan al-Suyuchi dalam kicabnya. Konon Ibnu Abi Aisyah

mengarakan, Abdul Malik pernah diminra unruk memuruskan

suacu perkara sambil diajukan kepadanya sebongkah mushaf al­

Quran. Akan terapi, ia justru mencampakkannya seraya berkara:

1
"Ini adalah persenruhanku rerakhir denganmu!"

Kira memang ridak menemukan perbedaan anrara apa yang

dikacakan dan diperbuac oleh Abdul Malik secelah ia memerincah.

Sumber-sumber yang sama banyak mencerirakan soal ilmu dan

kepiawaiannya di bidang fikih. Concohnya seperti yang dikacakan

oleh Nafi: "Saya celah memeriksa seluruh isi kota, tetapi cidak

menemukan seorang pemuda pun yang lebih anrusias, lebih

piawai di bidang fikih, lebih taat dalam ibadah, dan paling banyak

menelaah Kicabullah dibandingkan Abdullah bin Marwan." Abu

az-Zannad juga mengabarkan: "Ada beberapa ahli fikih di kota

Madinah, yaicu Said bin al-Musayyab, Abdul Malik bin Marwan,

Urwah bin az-Zubair, dan Qabishah bin Dza'ub." Ubadah bin

Nasyi juga mengarakan: "Ibnu Umar pernah diranya: 'Para rerua

Quraisy dikhawarirkan nyaris punah, lalu kepada siapa rempar

kami bertanya secelah kalian cidak lagi ada?' Ibnu Umar menjawab:

"Marwan punya seorang anak yang kalian bisa jadikan rempar

2
berranya. Berkonsulrasilah kepadanya!'"

Kita mengacakan cidak ada kontradiksi pada kepribadian

Marwan, karena keahlian fikih memang sudah ada padanya

sebelum ia memimpin. Namun serelah ia memimpin, ia menyadari

bahwa fase khusuk dan caat ibadah celah berlalu, al-Quran sudah

harus dirurup, dan ranrangan kekuasaan sudah rerbuka. Ia benar­

benar jujur kecika mengucapkan selamat cinggal kepada al-Quran.

Kira dapar membukrikan itu dengan mudah karena orang keper­

cayaan dan cangan kanan yang diangkacnya adalah seorang jagal

1
AJ-Suyurhi, Tf!lrTkh al-Khu/aft, ha!. 2 1 7 .
2
Idem, ha!. 2 1 6 .

96
Pembacaan Barn lerhadap Sejarah Umayyah

manusia bernama Hajjaj. Konon ada sebuah pameo yang menga­

takan, "apabila Hajjaj darang, malaikat akan menyingkir dan setan

pun akan mendekar."

Namun, Abdul Malik memangsangar mengenal bakat Hajjaj.

Ia benar-benar rahu bahwa bersama Hajjaj, sendi-sendi kekuasaan

akan menguat, dan dengan iru ia dapar mengukuhkan tonggak

kekhalifahannya. Karena itu, wasiar terakhirnya untuk anak sekali­

gus putra mahkotanya, al-Walid, ridak lain ialah agar al-Walid

tetap memperrahankan Hajjaj pada posisinya, selalu bersahabar

dengannya, dan menjadikannya sebagai menteri sekaligus

penasihat. Kelak, wasiac icu koncan dijalankan.

Sebagian pembaca mungkin bercanya-canya, apa pula

pencingnya bagi kica uncuk mengemukakan kisah sesosok manusia

yang relah menyarakan ralak riga dan memalingkan wajahnya dari

al-Quran, lalu menjalankan roda pemerintahannya sesuai dengan

instingnya? Kita perlu menjelaskan bahwa Abdul Malik relah

melakukan banyak hal besar: membancai manusia dan menum­

pahkan darah dengan kostum kebesarannya sebagai pemimpin

kaum beriman dan khalifah umat Islam. Dan perlu dicarar bahwa

pada masanya umac Islam recap begicu ancusias mendoakan

kebaikan uncuknya seriap Jumac, agar Tuhan recap menguackan

sendi-sendi agama dengan kepemimpinannya, recap mengokohkan

sendi-sendi kekuasannya, dan melanggengkan dirinya sebagai

penjaga Islam clan pengemban amanac imam bagi umac Islam. Para

fuqaha pada zamannya, sebagaimana dirururkan kirab-kirab sejarah,

dengan penuh keyakinan senantiasa mengumandangkan hadis Nabi

yang pada incinya mengarakan bahwa "orang yang sekurang­

kurangnya celah menjadi pemimpin umat Islam selama ciga hari,

maka akan dihapuskan Tuhan dosa-dosanya."

Mungkin kurang adil jika kita hanya menilai sosok Abdul

Malik dari sudut pandang agama. Sebab Abdul Malik bukanlah

sosok yang ridak pen ting dibandingkan para pemimpin sebelum

91
Kebenar:m yang H,lang

dan sesudahnya. Dari sudur pandang polirik dan kekuasaan, ia

adalah seorang pemimpin yang kredibel, dan - dengan ukuran

apa pun - ia adalah seorang negarawan besar. Ia mampu mema­

damkan pemberonrakan yang dipimpin Abdullah bin al-Zubair,

juga menaklukkan kawasan Armenia dan Magribi. Ia juga berhasil

membangun kora dan benteng pertahanan, mengadopsi dinar

sebagai mata uang perrama dalam sejarah Islam, dan menggerak­

kan penerjemahan berbagai literatur Persia tentang tata adminis­

trasi pemerinrahan.

Gaya pemerintahannya terpancar secara jelas dalam sebuah

wasiatnya kepada anak dan putra mahkotanya, al-Walid, tatkala ia

sedang menjemput kematian: "Wahai anakku Walid, bertakwalah

kepada Allah dengan kekuasaan yang relah la mandatkan kepa­

damu! (perhatikanlah ungkapan tentang kepemimpinan dengan

kehendak Ilahi ini!). Teraplah memperhatikan dan menghormati

Hajjaj. Ia adalah orang yang paling mampu menyediakan mimbar

untukmu. la adalah pedang sekaligus pelindungmu dari orang­

orang yang memusuhimu, wahai Walid. Janganlah terlalu meng­

hiraukan pendapat orang ten tang dirinya. Engkau lebih membu­

ruhkan dirinya daripada ia membutuhkan dirimu. Jika aku mati

nan ti, kumpulkanlah orang-orang untuk membaiat dirimu. Barang­

siapa yang mengatakan 'bukan begitu yang seharusnya,' katakan

secara regas, 'beginilah seharusnya,' dengan pedangmu." Abdul

Malik lalu tidak sadarkan diri, dan pecahlah rangis al-Walid.

Namun, Abdul Malik kembali rersadar dan langung berkata:

"Mental apa-apaan ini?! Mengapa engkau bersedih seperti ke­

banyakan orang?! Kalau aku mati, singsingkan lengan bajumu dan

ambit pakaianmu. Kenakan kulir macan, lerakkan pedang di

pinggangmu. Barangsiapa merasa dirinya lebih berhak daripada

dirimu, tebas lehernya!" Di suasana hening, ia menghembuskan

nafasnya yang terakhir.

gg
Pembacaan Barn lerhadap Sejarah Umayyah

Al-Walid benar-benar menghaful wasiat icu dan menjalankan­

nya dengan baik. Ia lalu tercarat dalam sejarah sebagai negarawan

dan pemimpin yang berkarakcer langka. Ia penakluk kawasan­

kawasan tersulir. la berhasil menaklukkan India dan Andalusia.

Ia memang tercarac sebagai sosok yang cidak menonjol dalam

soal agama dan akidah. Tidak pernah terdengar dari dirinya kabar

sedikit pun kalau ia mengerti agama. Yang ada hanyalah beberapa

catatan singkat yang menyebuckan bahwa dirinya sering mengurip

Al-Quran dalam pidato-pidatonya.

Sejarah rnencatar, Abdul Malik memimpin selama 20 tahun,

semencara al-Walid IO cahun. Aninya, masa kepemimpinan kedua­

nya berlangsung selama 30 rahun dari 92 cahun masa kekuasaan

Bani Umayyah. Karena itu, saar berbicara ten rang masa Umayyah,

kira cidak pernah boleh melewarkan ciga nama, yaicu dua orang

Yazid (Yazid bin Muawiyah dan Yazid bin Abdul Malik), serta al­

Walid bin Yazid. Nama Yazid bin Muawiyah sangac terkenal

karena kasus pembunuhannya rerhadap Husein bin Ali bin Abi

Thalib. Riwayat-riwayat begicu banyak berbicara ten tang soal ini

dan cak perlu kica cambahkan lagi.

Namun, ada kisah yang menurut kica jauh lebih penting

daripada kisah pembancaiannya terhadap Husein. Akan rerapi,

kisah ini hanya diulas sambil lalu saja di dalam kicab-kicab sejarah

karena ini berkairan langsung dengan persoalan akidah. Kita

merasa perlu mengungkapkannya demi mengambil pelajaran

darinya, karena kasus ini berlangsung hanya serengah abad serelah

wafacnya Rasulullah.

Sejarah menyebuckan bagaimana cara bala tenrara Yazid

menyerang kota Madinah karena penduduknya mencabur baiat

terhadapnya. Kecika itu, penduduk Madinah yang sanggup

berperang hanya sedikit dan langsung cakluk di kawasan Hirah.

Saac iculah panglima perang Yazid memaklumackan anarkisme di

dalam kota selama ciga hari. Konon, perisciwa ini mengakibatkan

99
Kebenar:m yang H,lang

terbunuhnya sekirar 4.500 jiwa. Sekitar seribu orang perawan pun

diperkosa. Semua iru atas titah Yazid kepada panglimanya, Muslim

bin Uqbah. "Bujuklah mereka uncuk menyerah selama ciga hari.

Jika cidak menyerah juga, perangi mereka. Bila mereka cakluk, segala

sesuacu adalah halal bagi kalian selama ciga hari. Rebuclah harta,

ternak, senjara, dan panganan mereka untuk dinikmati para tentara.

3
Jika lewar masa tiga hari, burakanlah mara mereka. "

Akan terapi, Muslim ridak memaklumarkan anarkisme di

seanrero kora Madinah, bahkan menunrur penduduk unruk menye­

rahkan diri sebagai budak-budak Yazid. Dengan itu, Yazid berhak

memperlakukan apa saja cerhadap jiwa, harta, dan sanak keluarga

mereka. Beginilah renreran kejutan perisriwa rnulai makin menan­

tang anda. Sebagian orang pada masa iru rupanya masih berfantasi

bahwa mereka sedang berada dalarn negara Islam. Karena icu, masih

mungkin bagi mereka untuk melunakkan hati Muslim dan Yazid

dengan argumen agama. Padahal icu sudah jauh dari mungkin.

Sebagian dari mereka menyacakan baiat dengan berlagak seperti

sedang memberi nasihat: ''Aku membaiatnya berdasarkan Kitab

Allah dan Sunnah Rasulnya!" Terapi, Muslim sudah cak sudi men­

dengarkan icu. Bahkan ia melayangkan pedangnya kepada orang­

orang yang mengikrar baiar itu dengan lugu dan cul us sekalipun.

"Ini rak lebih ucapan para pemimpi yang romantis," mungkin

begitulah pikir Muslim. Namun, tragedi seperti itu justru terjadi

berulang-ulang. Ada yang mengacakan seperti redaksi yang sama,

lalu dibunuh. Yang membaiac acas nama al-Khulafa'al-Rasyidun

juga dibunuh. Yang membaiat aras nama Umar juga dibunuh.

Akhirnya, keadaan sepenuhnya dapat dikuasai Muslim. Tidak ada

jalan lain, ia harus menguasai keadaan. Dan rupanya, bagi

3
Ibnu al-Atsir, al-Ksmil, Beirut: Darul Ku tub al-Arabi, jilid V, ha
l . 3 l 0-

3 1 4 . Rujuk juga op.cit., al-Thabari. Beirut: Muassasatul AJami Iii Mathbu'ar,

jilid IV, hal. 374-381.

IO O
Pembacaan Barn lerhadap Sejarah Umayyah

Muslim, pedang lebih mampu mengarasi keadaan daripada al­

Quran. Pedang ridak berbicara dengan lisan, ridak pernah ingin

runduk kepada ujaran. Dan kabar iru pun sampai ke relinga Yazid.

Saya berharap para pembaca menarik nafas sejenak untuk

membaca tanggapan Yazid. Ia mengatakan sesuatu, bukan dalam

bentuk prosa, rapi lewat sebait puisi:

Andai nenek moyangku Badar-ku bersaksi

4
Tombak dan panah lumpuhkan Khazraj

Yang sangat penting diperhatikan di sini, Yazid berandai­

andai hari itu nenek moyangnya yang berperang di Badar

menyaksikan bagaimana kaum Khazraj rakluk oleh rombak dan

panah. Tentang siapa nenek moyangnya, tentulah sangat jelas,

yairu Bani Umayyah, musuh kaum Khazraj di Perang Badar.

Khazraj adalah suku rerbesar dari kalangan Anshar Madinah. Dan

sewaktu Perang Badar, mereka berada di pihak tentara Islam. Bait

iru jelas-jelas menggambarkan bahwa Yazid selaku khalifah umar

Islam dan pemimpin kaum beriman, berangan-angan seandainya

nenek moyangnya yang rakluk oleh Rasulullah dan kaum Anshar

Madinah dalam Perang Badar masih bernyawa, sehingga ia dapat

menunjukkan bagaimana caranya menuntaskan dendam.

Kita perlu menunjukkan kisah ini agar orang-orang yang

masih juga gemar menyematkan kata "Islamiyah" terhadap sistem

khilafah bisa sedikir skepris dan berempari rerhadap kara Islam

bila sudah riba di rangan para penguasa. Ini juga perlu dirunjukkan

agar mereka sedikir berempari rerhadap para syuhadaAnshar yang

dibanrai karena mereka membela pihak Rasulullah dan Islam.

Di tangan siapa semua itu terjadi? Di tangan "pemimpin Islam"

dan penjaga kehormaran dan akidahnya.

4
Ad-Dinuri, al-Akhhar al-Tiwa/, Beirut: Darul Masirah, hal. 267.

IO I
Kebenar:m yang H,lang

Puisi di atas juga diriwayackan oleh Ibnu Kacsir dalam al­

Bidayah wa al-Nihayah, kecika ia mengisahkan dua cragedi dalam

sejarah. Pertama, Tragedi Hirah yang kica sebuckan cadi; kedua,

cackala kepala Husein diancar kepada Yazid.

Ibnu Karsir juga memuar puisi lain yang agak ia ragukan

dan ridak dapat ia pasrikan kebenarannya, namun ia paparkan

sembari melaknat Yazid kalau ia benar-benar mengacakan iru:

(klan) Hasyim bermain-main kuasa

Kekuasaan tidak datang, wahyu pun tidak menjelang

Andai puisi icu benar-benar dikacakan Yazid, icu jelas lebih

cragis lagi. Sebab, pembalasan dendam di sini campaknya langsung

ia cujukan kepada Rasulullah dan sanak keluarganya. Saya

cenderung mengatakan bahwa Yazid ridak mengatakan icu.

Kekafiran, kedurhakaan, dan arogansi recap ada batasnya. Namun,

itu cidak berarti bahwa kita dapat memaklumi sikap para fuqaha

dan para penulis sejarah Khilafah Islam pada masanya. Mereka

begicu yakin bahwa Yazid dapar terampuni dengan dasar hadis

yang disebuckan cadi. Lihaclah Ibnu Kacsir. Ia menuliskan, "Yazid

adalah orang perrama yang menaklukkan Konstantinopel pada

cahun 40 H . . . . dan di dalam hadis Nabi sudah pasti dikacakan

bahwa 'tenrara pertama yang mampu menyerang kota Kaisar akan


. ,,

rerampun1.

Saya cidak perlu menambahkan komenrar lagi dalam soal ini.

Lebih baik kica beralih saja ke sosok Yazid bin Abdul Malik, khalifah

kesembilan Bani Umayyah, dan salah seorang khalifah dari kecu­

runan Abdul Malik bin Marwan, yang secara berurucan terdiri dari

al-Walid, Sulaiman, Yazid, dan Hisyam. Kita sengaja mengkhu­

suskan diri untuk mengulas Yazid saja karena ia menjadi seorang

khalifah persis secelah masa Umar bin Abdul Aziz. Yang terakhir

ini konon dianggap relah "mengisi dunia dengan dua cahun masa

102
Pembacaan Barn lerhadap Sejarah Umayyah

keadilan," sementara Yazid yang menggantikannya dianggap

"memenuhi dunia dengan lautan makna, nikmatnya dunia,

minuman keras, kebobrokan moral, clan em pat tahun kebejatan."

5
AI-Suyuchi mengisahkan, cackala Yazicl menclapackan

manclacnya sebagai khalifah, "cliclacangkan ke haclapannya 40

orang syeikh uncuk mengikrarkan kepacla khalayak bahwa seorang

khalifah tidak akan clihisab Tuhan, apalagi disiksa." Di sini campak

jelas oleh para pembaca bahwa pecaka icu bukan hanya clacang

dari para khalifah, terapi juga dari jajaran ulama clan para fuqaha.

Maksuclnya, sepanjang mereka memberi fatwa bahwa Yazicl ciclak

akan clihisab clan diazab, maka ia bebas berbuac sekehendak

hacinya. Karena itu, ia melampaui khalifah-khalifah Islam lainnya

dalam dua hal, yaitu romansa dan kenikmatan gelapnya malam.

Kekhalifahannya dimulai dengan romansa bersama Salamah,

sementara kekuasaan bahkan hayatnya berakhir karena roman

cintanya bersama Habbabah.

Sebelum kica berbicara tentang kedua kisah itu, kica perlu

mencatat pula obsesinya unruk dipandang unik dibandingkan

khalifah-khalifah lainnya. Sejarah pernah menyebut clan mencacac

obsesinya "untuk rerbang". Suatu hari, di dalam majlisnya dida­

tangkan Habbabah uncuk menghiburnya, lalu giliran Salamah. Ia

larut dan bernyanyi selantang-lantangnya. Lalu ia berteriak: ''Aku

benar-benar hendak terbang!" "Wahai yang mulia, lalu kepada siapa

6
akan engkau titipkan umatmu clan karni semua?" canya Habbabah.

Sebuah percanyaan yang logis. Apa yang akan diperbuat umat kalau

khalifahnya juscru melanglangbuana? Siapa yang akan mengisi

seantero negeri dengan lagu dan nyanyian, romansa dan gairah?

Al-Mas'udi menuliskan, "Abu Hamzah al-Khariji mengatakan:

'Yazid lalu mencluclukkan Habbabah di sebelah kanannya, Salarnah

5
Al-Suyuthi, Tsnkb al-Khulaft, ha!. 246.
6
A1-Mas'udi, MurOj al-Dzahah, ha!. 2 1 0 .

I 03
Kebenar:m yang H,lang

di samping kirinya, lalu ia mengucarakan kehendaknya uncuk

terbang. la celah terbang menuju laknacTuhan dan azab-Nya yang

7
pedih' ."

Ibnu Karsir pun meriwayatkan kisah wafarnya Yazid sebagai

berikut: "Yazid sungguh sangar menyayangi perempuan keberun­

tungannya yang bernama Habbabah. Ia memang sangat cantik.

Yazid relah membelinya kerika kakaknya, Sulaiman memerinrah,

seharga empat ribu dinar dari Usman bin Sahal bin Hanif.

Kakaknya lalu mengucarakan niacnya kepada Yazid, 'Aku sangac

ingin menyewanya darimu.' Yazid pun menjualnya kepada kakak­

nya. Tecapi, kecika khilafah sudah diserahkan kepadanya, suacu

kerika Yazid ditanya isrrinya, Sa'dah: 'Wahai amir al-mukminin,

adakah obsesi dunia yang masih engkau idam-idamkan?' 'Ya,

Habbabah!' jawab Yazid. Lalu isrrinya mengutus seseorang untuk

membeli kembali Habbabah. Secelah itu , Habbabah diberi

pakaian, didandani begicu rupa, lalu ditempackan di balik cirai.

Sa'dah lalu bertanya: 'Wahai amir al-mukminin, adakah obsesi

dunia yang masih saja engkau inginkan" 'Bukankah celah kuutara­

kan?" jawab Yazid. Lalu Sa'dah mengaca'kan, 'Inilah Habbabah,'

sambil memperliharkannya. Sa'dah membiarkan Yazid dan

Habbabah berduaan, lalu meninggalkan mereka. Oemikianlah,

kendati bersratus selir, Habbabah menempati posisi yang sangar

istimewa di mara Yazid. Demikian pula Sadah. istri Yazid."

Lanjuc Ibnu Kacsir: "Padasuacu hari, Yazid juga pernah meng­

ucarakan hasratnya uncuk cinggal berdua saja dengan Habbabah,

di istananya, untuk selamanya, tanpa ada yang lain tersisa. Ia

pun mewujudkan impiannya itu. Di istananya yang megah,

didacangkahlah Habbabah seorang diri. Berbagai kasur nan

empuk digelar, permadani dibencang. Tackala mereguk nikmat

kebersamaannya dengan Habbabah dan dalam suasana romansa

7
Ibid, hal. 210.

104
Pembacaan Barn lerhadap Sejarah Umayyah

dan cinra, ia melemparkan anggur ke mulur Habbabah yang

sedang tertawa. Koncan, ia tersedak lalu mari. Selama berhari­

hari, Yazid cak putus mencium clan memeluk mayac Habbabah.

Ketika mayat itu telah membusuk, barulah ia memerintahkan

penguburannya. Setelah mayat dikubur, ia pun menginap di sana

selama berhari-hari. Sejak saat itu, ia tidak keluar rumah kecuali

8
lembab kelopak maranya. "

Kisah ini, sebagaimana dikatakan Ibn Katsir, adalah contoh

yang sangat langka rentang keculusan cinta dan kedalaman

romansa. Wajar saja bila hati meleleh clan air mara bercucuran

membacanya. Namun, dalam analisis kira, kisah ini betul-berul

janggal dan tidak panras. Kisah iru sangat tidak layak terhubung

langsung dengan sosok pemimpin kaum beriman, imam umat

Islam, pengayom dua kora suci, dan pengawal gerbang kebenaran

bagi orang-orang yang berpegang kepada al-Quran dan Sunnah

Rasul. Karena itu, kita mungkin bercanya-tanya, clan kita memang

berhak untuk bertanya: Mengapa orang-orang yang menunrur

kembalinya khilafah begiru membenci bar, mencela biduan, dan

mengkafir-kafirkan para penarinya' Bukankah itu kelanjutan dari

masa lalu dan bahkan bagian darinya?

Perlu dikerahui, Yazid bin Muawiyah hidup semasa dengan

imam-imam dan fuqaha besar semisal Hasan al-Bashri, Amru

bin Abid, Washil bin Atha, dan lainnya. Mereka itu tampaknya

sulit untuk berkata dan bersikap tegas. Mereka senantiasa dikirimi

bingkisan, dimanja hadiah, bahkan rak jarang menjalankan peran

sebagai penyelenggara upacara-upacara agama. Khalifah terkadang

datang kepada mereka dengan mata berbinar-binar, bertanya soal

agama, dan meminta nasihat mereka. Mungkin saja mereka cak

lupa mengingatkan akan siksa neraka, azab kubur, hari kebangkitan,

8
Ibn Karsir, al-Bidayah wan Nibsyab. Jilid v,juz 9, hal, 242. al-Mas'udi

juga menyebutkan kisah serupa dalam MurDj al-Dzahab, juz III, ha!. 207.

I 05
Kebenar:m yang H,lang

dan khalifah mendengarkan secara seksama sambil bercucuran

air mata. Namun, mereka juga sangat cahu apa yang sesungguhnya

terjadi dan sebatas apa nasihac perlu mereka sampaikan. Karena

itu, mereka tidak cerlampau menghiraukan khilafah, atau meng­

ancam dengan memprovokasi massa, apalagi memvonis kafir.

Semua icu di luar skenario yang telah tidak rertulis, rerapi dipa­

hami bersama.

Mungkin recap ada saja orang yang akan megacakan bahwa

Yazid cidak melakukan dosa apa-apa. Menikmaci dunia dengan

banyak selir clan budak-budak perempuan yang berada di bawah

kekuasaannya dianggap ha! yang cidak cerlarang di dalam agama

dan tidak dibatasi secara terperinci oleh kirab suci. Icu dianggap

bagian rukh,;ah acau dispensasi agama yang dapat dinikmaci Yazid,

bahkan para sahabat terkemuka jauh sebelum Yazid. Dan Yazid,

seperti banyak orang saat sekarang, rentu sangat menyukai

nikmacnya rukh,;ah. Namun, kini kica mesti berkaca: Cukup! Kita

mungkin bisa sepakat dengan mereka bahwa perseliran dan

pemanfaatan budak-budak perempuan cidak bertencangan dengan

era Yazid, dan itu tidak pula bertentangan dengan hukum yang

ditetapkan al-Quran. Tecapi kica juga harus mengacakan bahwa

pada ciap agama terdapat esensinya, Islam juga punya rohhya,

clan rukh,;ah pun harus ada bacasannya.

Sangac cidak masuk aka! jika bolehnya perseliran juscru

membuka jalan bagi kerusakan sosial yang sangat besar. Dan

pemanfaatan budak-budak celah menjadi cara uncuk melenyapkan

iman, sesuaru yang halal digunakan untuk kesemena-menaan.

Kita senantiasa mengajak masyarakat untuk menjaga mata, dan

mengingarkan mereka akan ancaman zina mata. Saya memang

tidak sedang melarang khalifah untuk menikmati kebersamaan­

nya. Sebab ia memiliki dua sayap yang benar-benar siap memba­

wanya cerbang, yaitu uang dan kekuasaan. Karena itu, mereka

berlebih-lebihan dalam soal perseliran.

10 6
Pembacaan Barn lerhadap Sejarah Umayyah

Kasus Yazid sebetulnya ridaklah unik pada dirinya. Khalifah

Abbasiyyah, al-Mutawakkil, juga sangat dikenal soal kegilaannya

akan nikmat hidup dan minuman berselera. Ia bahkan punya

9
em pat ribu orang selir. Semuanya konon sudah pernah ia cicipi.

Kemampuan di atas rara-rata itu rentu saja akan sangat menarik

perhacian para produsen film porno pada era kira. Akan terapi,

kisah-kisah seperti ini selalu rerbungkam, rerlarang. Apalagi

menyangkut persoalan penguasa di dalam Islam.

Dari Yazid kica beralih ke pembicaraan tentang anaknya, yaitu

al-Walid bin Yazid yang diwasiatkan untuk menjadi khalifah

secelah kakaknya, Hisyam. Dan Hisyam memang menenuhi janji­

nya kepada adiknya, walau ia celah mendengar ten tang kegilaan­

kegilaan al-Walid. Dan, benar saja: Al-Walid melebihi kegilaan

bapaknya, bahkan kegilaan siapa pun. Ia melakukan apa yang

tidak pernah diperbuat oleh khalifuh terdahulu maupun terkemu­

dian. Dikisahkan, ia sangat rerkenal akan kegilaannya, kegemaran

mabuknya, homoseksualitasnya, dan - anda mungkin cidak

percaya - hobinya membidik al-Quran dengan panah.

Namun selain itu, ia juga seorang penyair dengan bakat alami­

ah, lentur dalam ungkapan, pandai memilih kara-kata. Segala puji

bagi Tuhan yang telah menganugerahkannya bakat iru, sehingga

kira dapar mewarisi syair-syairnya yang dituturkan dari muluc ke

mulut oleh para perawi sambil mengucap 'audzubillah, la haw/a

wala quwwata, dan mungkin juga kembali bersyahadat kepada

Allah. Nasib baik bagi al-Walid, rerapi kabar buruk bagi para

pembaca; kebanyakan syair dan kisah-kisahnya tidak mungkin

dipaparkan karena begiru vulgar kata-katanya, dan begiru janggal

perbuacannya.

Akan terapi, cidak mengapa jika kica mulai pembicaraan ten­

tang al-Walid dari sudur pandang para pembelanya. Al-Zhahabi

9
Al-Suyuthi, Tf!lrTkh al-Khu/aft. Hal. 349-350.

I 07
Kebenar:m yang H,lang

mengatakan, "Tidak benar kalau al-Walid kafir dan zindiq, namun

ia memang dikenal sebagai pemabuk dan pelaku homoseksual.

Karena itu , ia dicuding sedemikian rupa. Suacu ketika, a1-Wa1id

bertandang ke tempat a1-Muhcadi. Lalu seseorang mengacakan:

'Dia seorang zindiq'. Tetapi, al-Muhcadi jusrru menjawab:

'Omong kosong! Khilafah Allah di tangannya akan lebih jaya

daripada di rangah seorang zindiq.""?

Ini adalah ungkapan pembela al-Walid yang menolak ruduhan

kafir atau pun zindiq terhadap al-Walid. Dalam pembelaannya,

mereka juga menggunakan argumen-argumen yang konyol. Ada

yang mengatakan bahwa ia ridak melakukan tindakan melebihi

mabuk-mabukan dan homoseksualicas; seakan-akan keduanya

sesuatu perkara yang enteng belaka. Terapi. kira juga dapat mengata­

kan bahwa Tuhan sangat pengasih ketika menjadikan khilafahnya

dipegang oleh rangan seorang zindiq seperti al-Walid. Dengan

begitu, kita mempunyai contoh kebobrokan untuk ditunjukkan

kepada orang-orang yang mengatakan bahwa negara tidak boleh

dipisahkan dari agarna dan keduanya adalah tali Islam yang tiada

berpisah. Padahal dalam kenyataannya, Islam selalu berada di

awang-awang, dan ia cidak dicemari kecuali oleh umat Islam sendiri,

terutama para pemimpinnya yang mengatasnamakan Islam. Selalu

tidak ada jaminan rasa aman bagi rakyat bilamana pemimpin­

pemimpinnya bertindak tiranik dan destrukcif Baiat atas mereka

abadi, syura - bila pun ada - tidak mengikat, bahkan terikat.

Mari kita lihat apa yang dilakukan al-Walid ketika membaca

ayar "Mereka melakukan penaklukan dan cakluklah setiap tiran

yang bebal. Di belakang mereka sudah menguntit neraka jahanarn.

Mereka akan disiram air yang menggelegak . . . . " Sekecika icu pula

ia melecakkan mushaf a1-Qurannya uncuk dipanah. Namun, ia

berubah pikiran, lalu cukup melemparkannya sambil berkata:

10
Ibid, hal. 2 5 1 .

108
Pembacaan Barn lerhadap Sejarah Umayyah

Aku menantang semua tiran yang bebal

Ini, akulah sang tiran bebal

Ka/au tuhanku datang di hari kebangkitan

Katakan, Tuhan, aku telah ditaklukkan al-walid

Muhammad Ibnu Yazid al-Mubarrad mengatakan: "Sesung­

guhnya al-Walid sudah ateis dalam syairnya yang menyebut­

nyebur soal Nabi dan wahyu Tuhan yang rak datang padanya:

Seorang Hasyimi bermain-main dengan kuasa

Tanpa wahyu turun, tanpa Kitab

Titahkan Tuhan melarangku makan

11
Suruh Tuhan menghalangiku minum

Setelah membaca syair di atas, para pembaca mungkin saja

tidak terlalu terkejut seperti kita. Tetapi baiklah kita akan mengi­

sahkan bahwa al-Walid juga pernah berusaha membuat kubah di

atas Ka'bah untuk minum-minum ketika ia melaksanakan haji

beserta beberapa kerabatnya. Namun para pemuka sukunya

berhasil meyakinkannya untuk mencabut keinginannya. Yang

jelas, dari kisah hidupnya ia betul-berul memperturutkan hasrat­

nya. Sampai-sampai kegilaan akan hiburan dan minuman iru

mampu pula menguasai kalangan elit dan massa pada zamannya,

sebagaimana diceritakan al-Mas'udi. Karena itu, tak heran bila

bermunculan bin tang-bin tang di bidang tarik suara, di ancaranya

Ibnu Sarih, Ma'bad, al-Gharidh, Ibnu Aisyah, Ibnu Muhriz, Tha­

wis, dan Dahman.

Mungkin al-Walid pun sadar bahwa ia relah melampaui batas.

Karena itu ia tidak peduli dosa-dosanya semakin bertambah dan

relah mencorengkan tin ta hitam dalam sejarah hidupnya.

11
AI-Mas'udi, Muraj al-Dzahab, Juz III, ha!. 228-229.

109
Kebenar:m yang H,lang

Kondisinya mirip seperti orang lemah iman yang sudah terputus

dari rahmat Tuhan, dan karena iru ia tidak segan-segan memper­

banyak maksiat. Di sini kita tidak sedang mencarikan pembenaran

untuknya. Terapi, kira akan mengungkapkan apa pendapatnya

tenrang dirinya sendiri dalam sebuah syair yang ia karang sendiri:

Guyur aku wahai Yazid dengan qarqarah

Kami bernyanyi melenturkan pita suara

Guyur aku, guyur aku, karena dosaku

Dosa telah mengguyur aku; tak ada lagi kafarah

Dia benar-benar berlumur dosa. Orang-orang saleh jijik

melihatnya. Riwayatnya pun berakhir dengan pembelotan se­

pupunya, yaitu Yazid bin al-Walid, yang membunuhnya setelah

mencicipi kekuasaan selamasatu tahun tiga bulan. Namun, takdir

menetukan masa kepemimpinan Yazid pun jauh lebih pendek;

tak lebih dari lima bulan. Ia meninggal, lalu digantikan adiknya,

Ibrahim, untuk jangka wakru 70 hari saja, karena dikudeta Mar­

wan bin Muhammad sebagai upaya balas dendam terhadap al­

Walid bin Yazid. Setelah itu, masa Bani Umayyah berakhir dengan

tewasnya Marwan, yang berkuasa sekitar 5 rahun, di rangan orang­

orang Abbasiyah. Sebelum berpindah ke pembahasan soal Khilafuh

Abbasiyah, kira merasa perlu mengemukakan dua cataran penting

secara ringkas.

Kesimpulan Pertama

Kira menyaksikan fase yang berlainan sama sekali dengan fase al­

Khulafa'al-Rasyidun kerika membahas era Umayyah. Ekspansi

Islam bertambah luas, sampai-sampai negeri Islam relah mem­

bentang dari India di Timur dan Andalusia di Barar. Kekuasaan,

II O
Pembacaan Barn lerhadap Sejarah Umayyah

kewibawaan, dan keucuhan negara, memang bertambah. lni

dikarenakan tidak ada orang Umawiyah yang membelot ke pihak

musuh, kecuali di masa penghujungnya, tatkala Yazid membelot

dari al-Walid. Ini dilanjutkan pula oleh pembeloran Marwan dari

Yazid, dan iru menjadi lonceng peringacan untuk kehancuran

Umayyah. Sementara itu, sejarah Abbasiyah juscru mencacac

banyak sekali kasus pembelocan dan percentangan di dalam

lingkungan keluarga berkuasa. Sampai-sampai anak membunuh

bapak, bapak membunuh anak. Kudeta dan pembeloran menjadi

biasa, dan pembunuhan dengan taktik-taktik yang bertambah

canggih bermunculan. Itulah yang banyak terjadi pada masa 500

rahun terakhir era Abbasiyah.

Akan retapi, kita juga melihat bahwa Abu Ja'far al-Manshur

dan al-Makmun adalah para negarawan yang sangat menonjol

dan tidak ada tandingannya di dalam fase sejarah Abbasiyah.

Sebaliknya pada masa Umayyah, sekalipun rak terlalu panjang

umurnya, juscru banyak bermunculan negarawan besar. Di

puncaknya yang certinggi rerdapar Muawiyah, seorang negarawan

pertama dalam keseluruhan sejarah Islam. Mungkin ada yang

segera bertanya: lalu di mana lecak Umar? Jawaban kica: Umar

ada pada tempatnya sendiri, karena dialah satu-sacunya pemimpin

di dalam sejarah kekuasaan Islam yang dapar disebut sebagai

"agama-negarawan sekaligus" (rajul al-drn al-dawlah ma'an).

Karakcer seperti icu cidak pernah berhimpun pada satu orang pun

secelah icu. Yang ada secelah itu hanyalah sosok agamawan saja,

seperti Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat) dan Umar bin Abdul

Aziz (masa Umayyah) dan al-Muhtadi (masa Abbasiyyah). Arau,

sosok negarawan murni seperti Muawiyah, Abul Malik bin

Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, dan Hisyam bin Abdul

Malik. Mereka adalah empat orang khalifuh yang telah memimpin

selama 70 rahun. Selebihnya, dalam masa sekirar 22 tahun, era

Umayyah dipimpin oleh 10 orang khalifah.

II I
Kebenar:m yang H,lang

Nah, ketika kira menyebut em pat orang khalifah tadi sebagai

negarawan (rajul al-dawlah), yang jadi patokan kira adalah soal

kewibawaam pemerintahan, ekspansi kekuasaan, dan pembangunan

kawasan. Selain itu, kita juga berpendapat bahwa kegemilangan

di dalam memerintah juga sangat erat kairannya clengan faktor

pemisahan antara agama clan negara ketika mereka menjalankan

mandat kekuasaan. Agaknya sikap Muawiyah terhadap Ali adalah

contoh paling terang rentang soal ini. Sikap Abdul Malik bin

Marwan tentang mushaf al-Quran ketika menghadapi pembe­

rontakan-pemberontakan di wilayahnya merupakan conroh yang

paling terang. Seriap mereka menyadari bahwa yang paling berhak

mendapar kekuasaan bukanlah sosok-sosok yang paling saleh

agamanya, paling banyak imannya, rerapi dipilih berdasarkan

pertimbangan-perrimbangan cluniawi semata.

Masing-masing mereka juga menyaclari sepenuhnya bahwa

agar rerap dapar bertahan di kursi kekuasan, mereka harus benar­

benar memerhatikan bahwa soal inregrasi wilayah aclalah saru

paket dengan kereparan clalam menunjuk wakil-wakil mereka

(tawliyah). Keduanya soal dunia, ketangkasan, clan seni meme­

rintah. Empar orang pemimpin itu memang sangat lihai dalam

memilih orang-orang dekar mereka. Di antaranya adalah Amru

bin Ash, al-Mughirah bin Sya'bah, Zayyad bin Abihi, Muslim

bin Uqbah, dan Hajjaj bin Yusuf ar-Tsaqafi. Dalam soal menjalan­

kan kekuasaan dan ketegasan, mereka adalah para gentlemen sejati.

Dan untuk ukuran masanya, mereka adalah pemimpin yang berwi­

bawa. Mereka piawai dalam srraregi, bukan ahli mensucikan diri.

Mereka ahli pedang, bukan mushaf al-Quran. Mereka terkadang

sampai pada kesimpulan bahwa cara rermuclah membungkam

para oposan adalah dengan memenggal kepalanya. Mereka juga

hapal berul, sedikit saja rasa gentar masuk ke jiwa, ia akan merasuki

clan bermukim di dalamnya. Karena iru, mereka menguasai,

mengatur tempat, bahkan menularkan rasa gentar iru kepada

117
Pembacaan Barn lerhadap Sejarah Umayyah

rakyat agar mereka jadi penurut. Mereka berreladan kepada

kearifan pendiri negara mereka, Muawiyah; penenru tujuan yang

rak peduli cara; penggagas sebuah ungkapan penting: "Tuhan

punya balarentaranya di dalam madu lebah."

Ungkapan di atas sangar terkenal saar Muawiyah menabur

racun ke dalam madu lebah untuk minuman para penentangnya.

Konon, dengan cara irulah Hasan bin Ali bin Abi Thalib, al­

Asyrar an-Nakh'i clan lainnya berakhir hidupnya. Waiau kita ridak

membenarkan cara-cara Muawiyah dan lainnya dalam tindakan­

tindakan mereka, atau minimal tidak menganjurkan untuk mene­

ladaninya, rerapi retaplah penting bagi kira unruk memerhatikan

rakrik-rakrik sebagai pelajaran yang pen uh makna.

Pelajaran iru rersimpulkan seperti ini. Seorang pemimpin,

pemimpin apapun, haruslah benar-benar mengenal medan dan

berpegang erar kepada senjatanya. Seorang pemimpin juga harus

percaya pada diri sendiri clan hukum yang dia renrukan, daripada

harus meminjam senjata orang lain, pindah ke medan mereka, atau

menari-nari di atas ranjau mereka. Andai Muawiyah atau Abdul

Malik clan para pembantunya seperti Ziyad arau Hajjaj berusaha

mendasarkan diri kepada hukum Allah, arau mendebar para penen­

tangnya soal kebenaran iman, atau menafsirkan kebijakan dengan

ajaran Islam, atau berpura-pura berlagak rakwa, bersih dan suci di

depan massa, maka kekuasaan mereka akan berakhir sebelum

dimulai. Muawiyah jusrru akan menyerahkan kekuasaannya kepada

Hujr bin Uday, clan Abdul Malik akan mengundurkan diri untuk

memberi rempat kepada Hasan al-Bashri.

Akan tetapi, mereka berhukum kepada pedang clan irulah

konstitusi pada masa mereka. Kekuasaan pun mendekat kepada

mereka clan memerintah pun rerasa jauh lebih mudah. Dan boleh

jadi, rakyar pun lebih bahagia, karena terjaminnya srabilitas, keter­

tiban, dan keamanan. Pada era sekarang pun kira sebetulnya tidak

kehilangan pedang dalam wujudnya yang lebih beradab, yairu

113
Kebenar:m yang H,lang

konstitusi, yang berfungsi uncuk mencegah pertumpahan darah

dan menjaga scabilicas. la juga cidak memenggal kepala, ceca pi tetap

memaksanya uncuk mengikuci sesuacu yang legal. Para pemimpin

pada masa kita, acau sistem kekuasaan modern, cerap perlu meng­

ambil pelajaran dari para pendahulu kica, lalu mencernanya dengan

tata cara sendiri, bukan dengan tata cara mereka. Seorang pemimpin

cidak selayaknya berdialog dengan para penentangnya di medan

mereka, dengan senjata mereka, apalagi menari-nari di atas ranjau

mereka. Sebaliknya, ia harus memaksa mereka uncuk berdialog di

medannya. Dan, di dunia modern ini, di atas dirinya maupun

mereka, cidak ada medan bersama kecuali konscirusi. Dan, cidak

ada senjaca lain selain undang-undang. Dan, cidak ada ranjau lagi,

kecuali demokrasi dan persoalan legicimasi.

Mereka, musuh-musuh konstitusi itu, semestinya bersyukur

kepada Allah karena cidak ada lagi Yazid di zaman kica. Tidak ada

lagi sosok pempimpin seektrem al-Walid. Menteri Dalam Negeri

cidak dijabac oleh Hajjaj. Tidak ada lagi yang bisa petantang­

petenteng di depan kica seperti Abdul Malik. Tidak ada lagi ulama

yang menyebut kepala negara kica cerlepas dari hisab dan azab. Inti

dari segalanya, kica diberi mandac untuk mengukur polirik dengan

standar policik. Tacanan kehidupan kira pun diatur dengan

konstitusi dan institusi-insirusi negara. Kita serahkan perhicungan

akhirat kepada Allah, bukan kepada Jamaah lslamiyyah dan para

imam masjid yang sudah policis.

Kesimpulan Kedua

Sesungguhnya kehidupan sastra, humaniora, seni arsicekcur dan

carik suara, bahkan lebih dari icu, mazhab-mazhab dan ijcihad

fikih, sudah bermunculan dan menonjol sejak akhir masa

Umayyah seiring dengan berkurangnya kekangan simbolisme

II 4
Pembacaan Barn lerhadap Sejarah Umayyah

negara agama. Ia kemudian mengalami masa puncaknya pada

era awal Abbasiyah. Para pembaca dengan mudah dapat menang­

kap hubungan cimbal-balik antara "keduniawian sebuah negara"

(dunyawiyya al-dawlah) dengan kemajuan bidang pemikiran,

sascra dan humaniora, ilmu pengecahuan, seni, bahkan fikih.

Serna.kin meningkac porsi yang saru, semakin menanjak posisi

yang lain. Begitu juga sebaliknya. Segala sesuatu akan menjadi

lebih buruk ketika cengkeraman agama bertambah kuat di dalam

negara, kecuali aspek ibadah, kisah-kisah para wali, dan rniros-


. .

rruros orang suer.

Saya kira ini bukan lagi sebuah hasil penyimpulan, terapi

merupakan fakta sederhana yang sudah terbentang. Era al­

Khulafa'al-Rasyidun berlalu, buku-buku sejarah telah mencatat

sepak terjang dan dinamikanya. Namun, kira cidak pernah

mendengar sajak-sajak menakjubkan, seni yang menghibur dan

menyentuh kalbu, yang mampu bertahan unruk beberapa

generasi berikutnya sebagai produk zaman icu. lni dikarenakan

seni adalah bagian dari kebebasan, dan kebebasan tidak dapat

dipisah-pisah. Seorang seniman tidak akan mampu menghasilkan

karya yang membanggakan, kecuali bila pikirannya bebas dan

imajinasinya lepas. Mereka juga harus rerbuka terhadap penca­

paian imajinasi orang lain. Telinga mereka harus peka dan terbuka

terhadap kritik. Hari-hari mereka harus siap menerima ocehan,

bergulat dengan kehidupan, dan sensitif terhadap keindahan,

bukan ancaman. Saya kira, semua icu bukanlah bagian yang dapar

diterima oleh warak sebuah negara agama. Bahkan, semua iru

bertolakbelakang dan bertentangan dengan semua kaidah­

kaidahnya.

Satu-satunya kendala terbesar bagi para pendukung negara

agama adalah, mereka sadar betul bahwa mereka sedang menutup

diri dari inovasi dan iklim yang terbuka yang memanjakan insting

dan ijtihad akal-budi. Setiap sesuatu yang dihidupi dan diterima

1 1 5
Kebenar:m yang H,lang

oleh masyarakat dengan sewajarnya, selalu tidak dapar diterima

oleh standar-standar negara agama. Lagu dilarang, alar-alat musik

(kecuali yang dibuat dari kulit binatang) dicekal, penyanyi, peng­

iring, dan semua yang terlibat di dalamnya dikuruk. Orang yang

melantunkan selain zikir dan pujian untuk Nabi dianggap fasik,

melenakan dari mengingat Allah, dan mengajak ke dalam nista.

Aktiviras olahraga perempuan peraka, dan selalu akan mengundang

petaka. Percampuran mereka dengan kaum laki-laki adalah kefasikan

yang terang-terbuka. Drama tercela, karena ia adalah kebohongan.

Melukis gambar makhluk hidup haram, mengoleksi atau membuat

patung bagian dari syirik. Demokrasi harus ditolak, karena meng­

andaikan pemerintahan oleh manusia, bukan pemerintahan oleh

Tuhan. Memperlakukan kaum zimmi secara setara, paling kurang

dianggap rercela, kalau bukan perbuatan hina. Memberi kesemparan

karir tertinggi kepada mereka dianggap melanggar sesuatu yang

sudah prinsipil di dalam agama. Tidak ada jabatan karir buat

perempuan, juga bagi kaum zimrni.

Singkat kata, mereka harus menghancurkan, bertindak semena­

mena, melarang segala sesuatu. Negara mereka didirikan di atas

puing segala sesuaru. Tentu perbincangan ten tang kebebasan ber­

pikir teramat mewah dan kesia-siaan belaka. Mengakui perlunya

kebebasan berkeyakinan adalah bahan tertawaan. Membayangkan

kebangkitan seni dan sastra pastilah mimpi di siang bolong. Negara

tidak bisa berkompromi dengan kenyataan, dan kenyataan pun

tidak dapat berkompromi dengannya. Mungkin inilah salah saru

rahasia mengapa para pendukungnya tidak pernah mampu me­

ngembangkan agenda politik yang terencana; yang mengandung

kadar retorika dan kalimat bersayap yang paling minimal, dengan

gambaran kenyataan dan bagaimana cara hidup di dalamnya dalam

kadar yang maksimal. Tenru, di dalam agenda iru, kita berharap

hendaknya juga ada sedikit ruang untuk menghargai aka! pikiran,

bahkan perasaan insani kira. ***

II 6
Bab IV

Pembacaan Baru

terhadap Sejarah Abbasiyah

inasti Abbasiyah tidak perlu diperkenalkan lagi. Ia telah

memperkenalkan diri dengan sendirinya lewar figur

pendirinya al-Sallah (Si Jagal), khalifah pertama Bani

Abbasiyah. Di atas mimbar, ia berikrar: "Allah relah mengembalikan

hak kami (untuk memimpin), dan Ia akan menurup kepemimpinan

ini dengan kami sebagaimana ia bermula. Waspadalah, karena saya

adalah jagal yang siap menghalalkan darah siapa saja (al-saffeh al­

mubrl;) dan pembalas dendarn yang siap membinasakan siapa pun

juga (al-tsa 'ir al-mubrr)!"

AI-Saffah sungguh layak menyebut dirinya "Si Jagal". Kepe­

mimpinannya bermula dari dua kepurusan penting yang tidak

ada raranya dalam sejarah.

Tak ada orang setelah al-Saffah yang mampu menandingi

apalagi melampaui, "presrasi" kebengisannya. Adapun dekrit per­

tama - dengan ungkapan modern - yaitu titahnya uncuk

mencari kuburan dan memburu apa yang tersisa dari jenazah para

pemimpin Umayyah, melecut, menyalib, membakar, dan mena­

bur abunya ke udara. Sejarah mencatatkan apa yang berhasil ia

temukan.

117
Kebenar:m yang H,lang

Ibnu Atsir mengungkapkan: "Kuburan Muawiyah bin Abi

Sufyan dibongkar, rerapi usaha mereka sia-sia karena tidak ditemu­

kan apa-apa. Lalu kuburan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan

dibongkar juga. Mereka menemukan sepotong rulang yang sudah

berubah menjadi mirip arang. Lalu dibongkarlah kuburan Abdul

Malik bin Marwan dan mereka hanya menemukan tengkoraknya.

Dari satu kuburan ke kuburan lain, mereka ridak menemukan

banyak hal kecuali potongan-potongan tubuh. Terkecuali jenazah

Hisyam bin Abdul Malik; mayatnya diremukan hampir utuh,

kecuali ujung hidungnya yang somplak. Mayat iru lalu didera,

disalib, dibakar, lalu hilang ditelan angin. Al-Saffah juga melaku­

kan pengejaran terhadap seluruh sanak keluarga dan pendukung

Bani Umayyah. la menghabisi mereka semua, kecuali anak-anak

yang masih menyusu dan mereka yang telah melarikan diri ke

1
Andalusia."

Al-Mas'udi pun mengungkapkan kisahnya secara lebih ter­

perinci.? "Haitsam bin Uday at-Tha 'i meriwayatkan kisah dari

Amru bin Hani. 'Kami pergi mencari kuburan pemuka Umayyah

pada masa Abu Abbas al-Saffah. Han ya mayat Hisyam yang kami

temukan masih utuh, kecuali bagian hidungnya. Abdullah bin

Ali mengeluarkannya, melecutnya 80 kali, lalu membakarnya.

Jenazah Sulaiman kami keluarkan dari perkuburan Dabiq. Yang

tersisa memang hanya tulang belakang, tulang rusuk, dan teng­

koraknya. Tapi kami membakarnya. Kami masih melakukan hal

serupa rerhadap setiap keluarga Umayyah, terutama di komplek

pekuburan Qinasrin. Petualangan kami berakhir di Damaskus.

Di sana kami menemukan kuburan al-Walid bin Abdul Malik.

Tapi kami tak menemukan apa-apa secuil pun. Kami juga meng­

gali kuburan Abdul Malik, tapi tidak menemukan hal lain, kecuali

1
Ibnu Atsir, al-Kami/ fit Tarikh. Vol. IV, ha!. 333.

2
Al-Mas'udi, Muradjuz Dz.ahab, Vol. III, ha!. 219.

IIS
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

sebagian tengkorak kepalanya. Lalu kami lanjutkan dengan peng­

galian kuburan Yazid bin Muawiyah, tapi kami hanya menemukan

seporong culang. Dan di sepanjang liang lahatnya kami menemu­

kan garis hitam seperri ditorehkan arang. Kami masih memburu

jenazah-jenazah keluarga Umayyah di seantero negeri dan mem­

bakar apa yang terjumpa dari jenazah mereka'."

Saya perlu berrerus terang kepada para pembaca bahwa ketika

merenungkan kejadian-kejadian sadis ini, saya selalu berupaya

menalar dan mencari jusrifikasinya. Namun, semua berakhir ran pa

hasil. Saya justru jijik membaca perisciwa-perisciwa sadis ini.

Pembunuhan rerhadap para pembesar dalam konreks pereburan

kekuasaan, membunuh sanak keluarga demi menjamin masa

depan kekuasaan baru dan menghapuskan sisa-sisa kekuasaan

masa lalu memang sudah sering rerjadi. Akan rerapi, memburu

jenazah, membalas dendam, menyalib dan membakarnya, adalah

perkara yang sangat-sangat berlebihan.

Anehnya, sebagian orangjustru menafsirkan fakca ini sebagai

bagian dari randa-randa kebesaran Tuhan. Sebab, satu-sarunya

jenazah yang diremukan hampir utuh, lalu disiksa, disalib, dibakar,

dan abunya ditabur ke udara, tiada lain adalah jenazah Hisyam

bin Abdul Malik. Untuk kasus ini, sebagian orangjustru menafsir­

kannya sebagai cara Tuhan membalas dendam terhadap Hisyam.

Tafsiran ini merupakan ekses dari kekejaman Hisyam pada

masa hidupnya rerhadap Zaid bin Ali bin Hasan, cicit Ali bin

Abi Thalib, yang rerbunuh karena memberontak terhadap Hisyam.

Saar itu, Zaid terbunuh dan mayatnya dimakamkan di tempat

penampungan air, sembari disembunyikan di balik dedebuan dan

semak-belukar agar tidak dapar ditemukan. Namun para panglima

pasukan Hisyam menemukannya, lalu mengeluarkan dan meng­

ambilkan kepalanya untuk Hisyam. Hisyam lalu menitahkan

untuk menggantungnya dalam kondisi telanjang bular. Yusuf

panglima pasukan iru, menjalankan rirah dengan sempurna.

119
Kebenar:m yang H,lang

Hisyam pun memerinrahkan Yusuf untuk membakar dan mena­

bur abunya ke udara. Lalu di tempat itu dibuatkan pula monumen

3
unruknya"

Andai kita menerima asumsi bahwa apa yang rerjadi pada

Hisyam merupakan cara Tuhan unruk membalas dendam,

bagaimana kira akan menyebut apa yang terjadi pada lainnya dari

kalangan Bani Umayyah? Bagian mana dari al-Quran clan Sunnah

yang dapar membenarkan tindakan-tindakan brutal kalangan

Abbasiyah? Di manakah suara para fuqaha dan ulama pada masa

icu? Ke mana perginya Abu Hanifah yang kala icu berusia lebih

dari 50 cahun, dan Imam Malik yang sudah menginjak 40 cahun

usianya? Mengapa mereka diam saja, bahkan ridak sekadar diam,

rerapi bahkan mendukung baik lewar syair-syair arau dengan cara

menggaungkan validnya hadis nabi yang konon relah mempre­

diksi kepemimpinan al-Saffah?

Dalam Musnad-nya, Ibnu Hanbal misalnya menyebuckan

hadis berikut: "Akan muncul pemimpin dari sanak keluargaku

pada masa terjadinya peralihan zaman clan malapetaka besar. Ia

disebut al-Saffah, kedermawanannya sangat melimpah." Al­

Thabari juga menyebuckan: "Rasulullah pernah mewarcakan

kepada pamannya Abbas, bahwa kepemimpinan Arab kelak akan

jaruh ke cangan sanak keluarganya. Sampai-sampai sanak keluarga­

nya iru ridak sabar menantikan kapan saar iru tiba." Bahkan,

sebagian orang menyibukkan diri dengan kisah perjamuan al­

Saffah yang kica sebuc sebagai kepucusannya yang kedua. Mungkin

kepurusannya ini sangar penting untuk dicermati insan sinema

masa kini agar dapat memetik kisah tentang kejeniusan penyurra­

daraan, kerunruran skenario serta keuruhan babak-babak dari

kisahnya. Bukan icu saja, kepucusan icu juga didahului oleh

pemandangan yang sangar hidup untuk sebuah drama. Para

3
Al-Mas'udi, ibid, ha!. 2 1 9 .

170
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

pembaca tidak akan ragu lagi menyarakan bahwa semua skenario

disusun dengan sangat rapi, dan para para pendahulu kita itu sangat

andal dalam seni pemasaran. Mereka juga sangat piawai dalam

menencukan cicik-cicik kecegangan dalam plornya, clan mampu

mencocokkannya sehingga kisah berlangsung alarniah, sejalan, dan

beriringan dengan konteks perisciwa secara keseluruhan.

Kira akan mulai kisah ini dengan babak sinopsis sebagaimana

4
dirururkan oleh Ibnu Atsir. "Di saat al-Saffah sedang melakukan

perjamuan yang ramah terhadap Sulaiman bin Hisyam bin Abdul

Malik, Sudaif sang penyair darang sembari melancunkan syairnya:

Jangan silau akan tampilan sorang

jika sumsum simpan penyakit mematikan

Hunuskan pedang, sediakan lecutan

Sampai tak tersisa keluarga Umayyah pun seorang

Koncan, Sulaiman tertegun seketika, lalu berkata: ''Anda benar­

benar telah membunuhku, wahai Syekh (Sudaif)!" AI-Saffah pun

langsung beranjak masuk ke ruang pribadinya sambil menarik

Sulaiman. la menghabisi nyawanya.

Dari apa yang dicatatkan oleh Ibnu Atsir, kita dapar me­

nyusun skenario perisriwa itu sebagai berikut:

Al-Saffah memcoba bermurah hati dengan upaya memberi

perlindungan kepada salah saru pembesar keluarga Umayyah

(anak dari khalifah sebelumnya). Akan rerapi, ia dianggap terlalu

berlebihan dalam memberi perlindungan, sampai-sampai harus

mengundangnya ke sebuah perjamuan yang sangar membesarkan

hati. Sejurus kemudian, seorang penyair masuk layar sebagai unsur

kejutan. la melantunkan beberapa bait syair guna memprovokasi

pembalasan dendam dan berisi celaan uncuk perlakuan lemah-

4
Ibnu Acsir, ibid, hal. 333.

121
Kebenar:m yang H,lang

lembut terhadap keluarga Umayyah. Lalu anggota keluarga

Umayyah bereriak histeris: "Anda benar-benar telah membunuhku,

Syekh SudaiP." Temperamen khalifah langung naik dan segera

bereaksi rerhadap provokasi. Ia bersegera menghabisi ramunya.

Layar tertutup.

Sekarang kira masuki bagian-bagian keputusan atau film utuh

tentang apa yang dilakukan al-Saffah setelah itu. la kembali

melakukan apa yang pernah ia tampilkan dalam sinopsis tadi

secara berulang-ulang, clan dengan tingkat kepiawaian yang

bertambah, dan seni peran yang belum dapar dimainkan sebe­

lumnya oleh orang-orang Umayyah. Mari kita relaah ulang apa

5
yang diruliskan Ibnu Asir:

"Suaru hari, Syibl bin Abdillah - pembantu Bani Hasyim

atau dalam riwayac lain disebut sebagai pembanru Sudaif -

datang menemui Abdullah bin Ali. Dalam riwayat lain disebutkan,

justru Sudaif-lah yang menemui al-Saffah, bukan Abdullah bin

Ali. Ketika itu, Abdullah bin Ali sedang menjamu sekirar 90 orang

tamu dari keluarga Umayyah. Lalu, Syibl menghampiri Abdullah

seraya melantunkan syair:

Kekuasaaan tidak akan goyah

Di tangan badut-badut Bani Abbas

Atas Bani Hasyim ia menutut balas

Setelah lama terbuang tabah

Jangan lagi tergelincir oleh Abdus Syam

Penggallah tiap tunas yang sedang mengembang

Kontan, setelah mendengar syair itu, Abdullah bin Ali -

acau dalam riwayat lain al-Saffah - langung menitahkan eksekusi

terhadap semua tamunya. Mereka dipukul pentungan, lalu dile-

' Ibid, ha! 333.

122
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

rakkan di bawah permadani. Selanjurnya para pembantainya

bersantap di acas permadani icu sambil mendengar jeric-lolong

mereka sampai semuanya meregang nyawa.

Riwayat lain diawali ten tang jaminan keamanan yang dibe­

rikan al-Saffah kepada keluarga Umayyah yang berjumlah lebih

dari 90 orang. Setting perisriwa masih tetap berada di tempat

perjamuan makan yang sama. Dan sepanjang pembuar acara

adalah khalifah, kemurahan hati dipastikan akan terjaga. Rasa

aman pun cak pancas disangka-sangka. Tapi secara mengejuckan,

seorang penyair dacang, memprovokasi pembalasan dendam, dan

seterusnya, dan seterusnya.

Kira behenti sejenak di titik yang menegangkan ini. AI-Saffah

lalu memerincahkan uncuk menghantam kepala semua mereka

dengan pentungan besi. Sebagian pecah kepala, rerapi jasadnya

tetap bernyawa, dalam kondisi yang mengenaskan. Tatkala al­

Saffah menyaksikan sekitar 90 orang yang sedang meregang nyawa,

ia meninggikan suara sambil menuturkan cicah: 'Gelar perma­

daniku uncuk bersantap secara lesehan di acas mereka!' Ia dan

orang-orangnya memulai santapan malam, sementara permadani

menari ke kanan dan ke kiri. Tackala permadani cidak lagi ber­

gerak, mereka pun selesai dari kunyahan mereka sambil mengucap

alhamdulillah dan tahniah kepada para renrara dan kerabatnya.

Bahkan, ia mungkin juga akan menutup kisah dengan ungkapan

berikut: 'Demi Tuhan, tidak adasantap malam yang lebih nikmat,

lezar, dan khidmat daripada yang kira lakoni malam ini.' Ungkapan

seperri iru sama sekali tidak asing uncuk ukuran tingkah laku al­

Saffah. Ia memang sanggup mengunyah makanan diselingi rintihan

dan lolongan orang-orang yang sedang sekarat. J ustu itulah pe­

nyedap rasa yang dapat membantunya mengunyah.

Kira memang dapat mengerri kecika seorang penguasa baru

membunuh penguasa lama arau membersihkan para pesaing dan

pengacau kekuasaannya. Itu sudah banyak terjadi dalam sejarah.

173
Kebenar:m yang H,lang

Dan contoh yang lebih dekat kepada kica adalah cakcik pembu­

nuhan Muhammad Ali tatkala mengakhiri kekuasaan kaum

Mamalik di dalam Benteng Shalahuddin al-Ayyubi. Namun, yang

tak dapat kita mengerti, bagaimana mungkin seorang khalifah

sanggup duduk di atas rentetan tubuh korban pembunuhan dan

itu justru membuatnya lebih nikmat bersantap?!

Kita kini dituntur untuk bertanya lebih jauh atas kejadian

nan bengis ini. Memang, peristiwa serupa sudah banyak terjadi,

baik sebelum acau sesudah al-Saffah. Hujr bin Uday celah dibunuh

Muawiyah. Husein cewas oleh Yazid, al-Zubir di cangan Hajjaj,

dan Zaid bin Ali dibunuh Hisyam. Tetapi, semuanya cidak ada

yang melebihi sadisme skenario, kepintaran menyusun plot, atau

kevulgaran dalam ceknik pengungkapan, melebihi al-Saffah.

Kepada kita, semuanya justru membawa pesan dan risalah yang

sama. Yairu, pertanyaan ten tang apakah hakikat sistem kekuasaan

khilafah yang disebuc "Islamiyyah" itu, yang kini juscru dipropa­

gandakan kembali. Apakah ia benar-benar "Islamiyyah" sehingga

kita dapat mengukurnya dengan standar-standar Islam?

Paparan kita ini justru berujung pada kesimpulan penting:

merekalah yang menyebucnya "Islamiyyah", rerapi kita membuk­

cikan sebaliknya. Bahkan, sudah cukuplah rentetan orang-orang

beriman yang celah menjadi korban kebobrokannya. Acau,

pertanyaan kica diubah: apakah khilafah cidak lebih dari siscem

kekuaasaan ororirer yang bersembunyi di balik selubung agama?

Kita nan tin ya akan menunjukkan keniscayaan sekularisasi ketika

menunjukkan perbedaan antara toralirarianisme reokrasi abad

pertengahan yang dipenuhi inkuisisi clan penyiksaan, dengan

sekularisme abad modern yang justru memperkenalkan demokrasi

clan perlindungan hak-hak asasi manusia. Saya kira, pilihannya me­

mang antara dua alrernatif itu dan jawaban sudah terang bagi kica.

Akan terapi, itu semua juga merangsang pertanyaan lebih

spesifik dan lebih jelas, clan karena begicu jelas clan simpelnya,

174
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

para pembaca tak akan kesuliran unruk menjawabnya: apakah

sekularisme benar-benar gagasan impor dari Barar clan bukan dari

budaya Timur? Apakah ia niscaya di Barat karena pengalaman

mereka menghadapi totalitarinisme teokrasi atau semi reokrasi,

sementara kita tidak menjumpai hal yang sama dalam sejarah

kita? Menurut saya, jika justifikasi untuk sekularisme di Barat

adalah untuk mengakhiri otoritarianisme kekuasaan Gereja, maka

di Timur justifikasinya rak lain adalah ororiarianisme khalifah,

sultan Allah di muka bumi, pembantai siapapun yang ia kehen­

daki, si penjamin kenikmaran, si penolak malapetaka.

Jika al-Saffah saja di acas podium sudah menamakan dirinya

sebagai "cukang jagal yang semena-mena" (al-saffeh al-mubrh),

Rayyah bin Usman-gubernur Madinah pada masa khalifah al­

Manshur-juscru menjuluki dirinya dengan gelar yang lebih

menakuckan. "Wahai penduduk Madinah, saya adalah si ular anak

6
si ular," tandasnya. Apabila para khalifah mendeklarasikan dirinya

sebagai "TukangJagal" dan para gubernur menyebut dirinya "Ular

Anak Si Ular", apakah masih tersisa dalam benak kica prasangka

bahwa otoritarianisme atas nama agama hanya terjadi di Barat

dan sekularisme sebagai resep penyelamatnya adalah gagasan

impor dari Barat dan tidak kena-mengena sama sekali dengan

kenyataan dan impian orang Timur?

Bisa jadi, sebagian orang akan mengira-ngira dalam benaknya:

anda tampaknya sedang mengail di air keruh lewat cara mem­

fokuskan pembicaraan cerlalu banyak pada sosok al-Saffah agar

mendapat celah untuk mendiskreditkan sistem khilafah. Tetapi,

kica dapat menjawabnya dengan mudah. Tidak ada hubungan

antara Islam dengan al-Saffah clan antara Islam dengan kekuasaan

atas namanya. Karena iru, tidak mengapa berbicara rentang al­

Saffah, mencela, mendialogkan, dan memberi perhacian lebih

6
Al-Ya'qnbi, Tarikh al-Ya'qahr. Beirut: Darus Shadir, rr., Vol II, ha!. 2 5 1 .

175
Kebenar:m yang H,lang

kepadanya. Jarak antara kekuasaan al-Saffah dan hukum Islam

bagaikan jarak antara langit, bahkan langit ke rujuh, dengan bumi.

Dan unrunglah bagiku, untung pula buat pembaca, sanggahan

terhadap ruduhan iru adalah perkara mudah. Kalau bukan karena

Islam yang dangkalan, bukan intinya; jubahnya, bukan isinya;

al-Saffah tak akan melakukan apa yang telah dia perbuar. Tidak

al-Saffah, tidak pendahulu maupun generasi sesudahnya. Namun,

keseciaan apa pula yang mengikat antara orang Mesir, misalnya,

dengan orang Anbar seperri al-Saffah, selain kesetiaan cerhadap

sisrem khalifah yang memerincah atas nama Islam? Apa faktor

pendorong kesetiaan icu selain ikacan bersama dalam Islam dan

ketundukan rerhadap bala tentara hadis rekayasa yang mengaitkan

anrara prediksi Rasul dengan kepemimpinan Bani Abbas? Kese­

tiaan bura ini masih dicambah pula dengan fanatisme terhadap

ijtihad-ijtihad fuqaha yang menuntut ketaraan terhadap al-Saffah

meski ia bertindak lalim dan mengecam orang-orang yang cidak

loyal dan keluar dari jamaah.

Kalimat pengantar seperti apakah yang dikumdangkan al­

Saffah dalam pidato pengukuhan kekuasaannya, yang kemudian

diriwayackan oleh para perawi dan diulang-ulang oleh para juru

dakwah, selain soal keadilan, kerakwaan, dan keteguhan berpegang

kepada akidah? Bukankah dia juga yang telah berpidaro di aras

mimbar: "Segala puji bagiAllah yang telah memilih Islam, memu­

liakan dan mengagungkannya. Yang telah memilihkannya untuk

kica dan membuacnya recap kukuh bersama kica. Ia menjadikan

kira sebagai penjaga, gua, dan bentengnya. Kira menjadi lurus

dan lebur di dalamnya, serca menjadi para pemenang karenanya.

la mewajibkan kira berrakwa dan menjadikan kita lebih berhak

unruk menjaga dan menjadi pelindungnya. Dia telah mengkhu­

suskan kita dengan rahmat Rasulullah dan para kerabatnya. Aku

berharap ankara murka tidak lagi menjelang setelah datang kepada

kalian semua kebajikan. Kerusakan pun tak lagi datang setelah

126
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

munculnya perbaikan. Dan keberuntungan yang kami dapar

7
selaku ahli bait Nabi, tiada lain berkat rah mat Ilahi."

Karena al-Saffah kurang sehat di saac pelancikannya, maka

pidaconya diteruskan oleh Daud bin Ali. "Kalian akan berada

dalam perlindungan Allah, rasulnya, dan Abbas yang senantiasa

dirahmati Allah. Kami akan memimpin kalian dengan kerencuan

yang diretapkan Allah, memperlakukan kalian sesuai Kicab Allah,

dan bergaul dengan elic maupun jelaca dengan celadan Rasulullah.

Karena itu, teraplah setia kepada kami dan janganlah pernah

berupaya menipu diri sendiri karena akibarnya akan berbalik ke

kalian juga. Sesungguhnya setiap ahli bait membucuhkan cempat

bernaung, dan kalianlah tempat kami selalu bernaung. Kecahuilah,

cidak akan naik lagi ke mimbar ini (maksudnya mimbar Kufah),

seorang khalifah Rasulullah, kecuali pemimpin kaum beriman,

Ali, danAbdullah bin Muhammad (tangannya menunjuk keAbu

Abbas al-Saffah). Camkanlah, perkara kepemimpinan ini akan

tetap berada di cangan kami, dan tidak akan lepas sampai kami

menyerahkannya sendiri kepada Isa bin Maryam."

Jadi, klaim kekuasaan dengan ketentuan dan mandat Ilahi

merupakan cara Abbasiyah merebur simpari massa untuk mem­

baiac dan loyal terhadap mereka. Memperlakukan kaum elic dan

rakyat jelaca secara setara sebagaimana teladan Rasulullah adalah

sesuacu yang dijanjikan dan atas dasar itulah mereka dibaiac. Hadis

palsu tentang hak keluarga Abbas dalam menjalankan kepemim­

pinan sampai mereka sendiri yang kelak akan menyerahkannya

kepada Isa bin Maryam adalah jalan mereka agar rakyat mem­

percayai nubuwac palsu itu sehingga membuat mereka cakluk oleh

cakdir sembari menurup mata terhadap kekejaman penguasa.

Beginilah sejarah Abbasiyah bermula dan babak pemerin­

cahan berdasarkan klaim agama dibuka. Klaim-klaim yang

7
Ar-Thabari, Ti'IrTkh al-Umam wal Mulo.k, tt. Vol. XVI, hal. 82-84.

127
Kebenar:m yang H,lang

menyilaukan itulah yang kini kira dengarkan sebagaimana dide­

ngarkan penduduk Kufah saban harinya pada masa lalu. Memim­

pin atas dasar ketenruan Allah , mengikuti teladan Rasulullah,

penerapan syariat Allah, semua akan menjamin keadilan dan

berkah. Tetapi, kelanjutannya selalu tidak seperti itu, sebagaimana

kita lihat dari awal masa al-Saffah, dan akan telihat lebih jelas

lagi setelah era al-Saffah. Cerita ten rang ini begitu panjang, namun

semuanya tersimpulkan dalam suatu tradisi yang selalu menjadi

kerentuan khalifah-khalifah Bani Abbas: tidak adanya peng­

hormatan cerhadap seriap janji dan deklarasi, serta pengkhianatan

terhadap kawan, apalagi lawan.

Al-Saffah relah memperrunjukkannya dalam dua tragedi yang

sangat terkenal itu. Pertama, ketika ia menandatangi perjanjian

unruk melindungi Ibnu Hubairah, panglima pasukan Marwan

bin Muhammad, khalifah Umayyah terakhir, terapi kemudian ia

justru membunuhnya setelah menyerahkan diri beberapa hari.

Kedua, tatkala ia membunuh Abu Salamah al-Khilah, menteri

dan salah seorang pendiri Abbasiyah di Kufah. Al-Saffah sengaja

menyerahkan misi iru kepada Abu Muslim al-Khurasani, salah

saru figur sentral berdirinya kekuasaan Abbasiyah. Sejarah Abbasiyah

pada masa al-Satfah pun mencatat dua orang yang sangar dihargai

al-Saffah. Pertama, Abu Muslim al-Khurasani, pendiri negara di

Khurasan, terapi kemudian menyerahkannya ke al-Saffah; dan

kedua, Abdullah bin Ali, paman al-Saffah sekaligus panglima

pasukan Abbasiyah di peperangan Zab yang menuntaskan ke­

menangan mereka rerhadap orang-orang Umayyah. Konon, al­

Saffah pun berniat membunuh keduanya, rerapi kira tidak mene­

mukan bukcinya dalam catatan sejarah.

Akan tetapi, Abu Ja'far al-Manshur, khalifah kedua, pendiri

sejati kekuasaan Abbasiyah yang kedudukannya mirip Muawiyah

pada masa Umayyah, berhasil menuntaskan niat al-Saffah dengan

baik. Perrama-rama, ia melakukan intrik polirikagar Abu Muslim

178
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

al-Khurasani bersedia membunuh Abdullah bin Ali. Secelah misi

tuntas, ia sendiri yang turun cangan menghabisi Abu Muslim al­

Khurasani. AbuJa'far cidak peduli kecikaAbu Muslim bermohon:

"Tidakkah lebih baik engkau biarkan aku hidup uncuk menying­

kirkan musuh-musuhmu?" Terapi Abu Ja'far menampik: "Siapa­

kah musuh yang lebih memacikan dari dirimu?!"

Para pembaca cidak perlu terkejut dengan kenyacaan bahwa

Abu Muslim sebelumnya cidak pernah berbuat kesalahan terhadap

al-Saffah, juga terhadap al-Manshur. Ia adalah abdi setia negara

dan kedua pemimpinnya. Tetapi, dasar iculah persisnya yang

membuat al-Manshur membunuhnya. Konon, putra mahkota

al-Manshur (Isa bin Musa) ikuc menyaksikan cerbunuhnya Abu

Muslim. Lalu ia dengan kaget bertanya: "Anda membunuhnya?!"

"Ya," jawab al-Manshur. "Innalillahi! Secelah ia bersusah payah

uncuk kica dan begicu loyalnya?!" burunya lagi. AI-Manshur naik

pitam: "Tuhan mengoyak jantungmu! Sumpah, engkau cak punya

musuh di seantero jagac yang lebih berbisa daripada dirinya.

Apakah kalian akan berpeluang mendapat kekuasaan selagi ia

masih hidup?!"

lnilah contoh ideal tentang apa yang disebut sebagai

Machiavelisme, suacu paham policik yang dihubungkan dengan

gagasan Nicolo Machiavelli. Inti paham ini adalah penghalalan

segala cara demi meraih cujuan. Paham ini biasanya rermanifes­

tasikan da1am urusan rata negara dan perilaku para penguasa.

Dan, icu cerlihat jelas dalam kasus al-Manshur yang dengan

kakinya mampu menginjak-nginjak leher orang lain dan dengan

gaya kepemimpinannya yang piawai. Ia memulai kekuasannya

dengan cara menyingkirkan mereka-mereka yang berjasa, barulah

kemudian beranjak membidik para penentangnya. la cidak cahu

cara lain kecuali melenyapkan penentangnya. Hatinya cidak

mempunyai tempat buat belas kasihan, dan rasa iba pun selalu

menjauh darinya. Karena begicu digdaya, ia hanya dapar memuja

129
Kebenar:m yang H,lang

keperkasaan. Inilah penjelasan untuk rasa kagumnya yang men­

dalam terhadap Hisyam bin Abdul Malik yang ia juluki sebagai

"Gentleman dari Bani Umayyah". la juga sangac mengagumi

Abdur Rahman bin Muawiyah bin Hisyam, khalifah Umayyah

di Andalusia, meski bala tentaranya rakluk olehnya di Sevilla.

Dan jusru kekalahan telak itulah yang justru membuatnya selalu

berupaya menarik simpati Abdur Rahman serca senantiasa meng­

iriminya berbagai hadiah. la pun menyanjung Abdur Rahman:

"Ia relah melintas baras demi mencapai semenanjung yang amat

luas. Ia juga amat ambisius, berbekal bala tencara yang amat per­

kasa. Ia memimpin pasukannya seorang diri sehingga mereka pun

segan dibuarnya. Dan lewat rakcik dan strareginya, ia dapat

menarik simpati rakyar semenanjung Andalusia. Dialah pemuda

sejari yang pancas dipuja tanpa basa basi."

Bahkan, al-Manshur pun pernah menjuluki Abdur Rahman

sebagai "Elang Quraisy" (saqr quraisy). Ketika al-Manshur gaga!

menaklukkan ha tin ya secara lemah lembur, ia menunjukkan wajah

lain dari gaya politiknya. lnilah paras yang juga ditunjukkan

Winston Churchill dalam Perang Dunia II ketika ia menyatakan

siap bersekuru dengan iblis sekalipun demi mengalahkan Nazisme.

ltulah yang juga dilakukan Abu Ja'far al-Manshur ketika ia

8
bersekucu dengan Pepin dan Charlemagne demi menaklukkan

Abdur Rahman. Sekalipun persekutuan ini gaga! menaklukkan

Abdur Rahman.' namun ia telah mewariskan kaidah polirik ala

8
Pepin dan Charlamagne adalah bapak-anak. Keduanya raja Frankis­

ernis muasal dari ras Jerman-yang pernah menguasai sebagian besar daratan

Ero pa pada Abad Pertengahan. Negara yang tel ah di ban gun kedua raj a ini meliputi

seluruh wilayah Prancis,Jerman, sebagian besar Italia dan Spanyol. lmperiumnya

dianggap sebagai kelanjutan dari kekaisaran Romawi yang suci. Negara inilah

yang kemudian menjadi cikal bakal Prancis dan Jerman modern. -penerj.

9
Li hat Ali Ibrahim Hasan, at-T/irTkh al-!sl!i.mT al- 'Am. Kairo: Makrabah

an-Nahdlah al-Mashriyyah, tt. hal. 365-366.

130
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

al-Manshur: "Lakukan apapun, tempuh jalan manapun, berseku­

tulah dengan musuhnya musuhmu, demi mencapai tujuanmu

dan menang atas musuhmu!"

Arrinya, ia benar-benar relah melupakan Islam, bergeming

dari hukum-hukum al-Quran, masa bodoh dengan Sunnah, dan

menjauhkan diri sedapat mungkin dari celadan para al-Khulafa'

al-Rasyidun. la hanya mengingat dirinya sebagai "penguasa Tuhan

di muka bumi"!", "bayangan Tuhan yang mengganrung antara

11
Diri dan hamba-Nya". Ia mendasarkan kekuasannya aras klaim

hak Bani Abbas terhadap khilafah, bukan berdasarkan hak rakyat

unruk memilih.

Agaknya, paradigma seperti iculah yang mendorong kalangan

Alawi (kecurunan Imam Ali dan Fatimah az-Zahra) uncuk melaku­

kan pemberontakan terhadap al-Manshur. Selagi standarnya

adalah soal nasab, maka merekalah sesungguhnya yang lebih

berhak memerintah dan menjalankan khilafah. Konon, dialog

yang sangat menggelikan pernah berlangsung antara al-Manshur

dengan Muhammad Alawi-yang populer dengan sebucan "Jiwa

yang Suci" (al-nafi al-zakiyyah)- yang membawa serta saudara

kandungnya, Ibrahim. Yang membuat perdebacan icu menggeli­

kan adalah soal penencuan tentang siapa yang paling berhak

menjadi khalifah berdasarkan ketencuan nasab dengan pengabaian

nyaca terhadap hak-hak warga yang <lulu disebut sebagai rakyac.

Muhammad dan adiknya Ibrahim mengklaim merekalah anak­

cucu Rasulullah dan karena icu mereka paling berhak. Tetapi, al­

Manshur justru mengklaim bahwa anak cucu paman (Abbas bin

Abdul Muchallib) juscru lebih dekat secara hubungan kekerabatan

daripada anak cucu dari sepupu Nabi (Ali bin Abi Thalib).

10
ltulah julukan al-Manshur untuk dirinya sendiri di dalam pidaronya

yang rerkenal di Madinah.

11
lni adalah ungkapan sastrawi yang berkembang pesat unruk menyebut

para khalifah masa Abbasiyyah awal.

131
Kebenar:m yang H,lang

Dengan permohonan maaf kepada para pembaca, saya

berpendapat bahwa merupakan petaka jika saya harus membaiat

seorang pemimpin hanya karena ia berasal dari keturunan Ali

atau pun mendukung pemimpin dari keturunan Abbas. Bahkan

lebih dari iru, jika ada keturunan Rasulullah yang masih hidup.

saya tidak akan membaiatnya hanya karena ia anak-cucu Rasulul­

lah. Sebab, kenabian tidak pernah diwarisi dan kecakapan yang

sama ridak mesti berpindah ke anak-cucu. Karena itu, tidak

mengherankan bila Nuh dikenal sebagai Nabi, rapi anaknya justru

dikenal sebagai pelaku perbuatan nisra.

Namun, yang lebih membuat perdebatan al-Manshur dengan

Muhammad lebih menggelikan adalah tatkala siruasinya berubah

menjadi forum sindir-menyindir. Muhammad menanggapi ja­

minan keamanan yang ditawarkan al-Manshur kepadanya dengan

cibiran yang menohok. "Keamanan jenis apa yang akan kau

rawarkan padaku? Garansi ala Ibnu Hubairah, jaminan aman

seperti pamanmu, Abdullah bin Ali, arau jenis keamanan nyawa

Abu Muslim?" AI-Manshur menjawab dengan cibiran pula:

"Dulu, Hasan - kakek Muhammad - pernah pula sejenak

menjadi khalifah. Tetapi, kekuasaannya iru kemudian dirawar oleh

Muawiyah dengan tipu daya dan harta benda. Mereka berjumpa

di Hijaz dan Hasan menyerahkan para pendukungnya kepada

Muawiyah. la relah terpaksa menyerahkan kepemimpinan kepada

12
bukan ahlinya."

Di sini, al-Manshur sedang mengingarkan perisriwa pem­

baiatan Hasan rerhadap Muawiyah atau lebih teparnya tentang

rekonsiliasi antara keduanya. Namun, rekonsiliasi iru sedikit

bermasalah karena rerbarasnya sarana transportasi pada masa iru.

Ketika iru, Hasan mengirim utusannya ke Muawiyah unruk

negosiasi perdamaian dengan kompensasi sejumlah mareri. Pada

12
Ali Ibrahim Hasan, op. cit, ha!. 355.

132
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

wakru bersamaan, Muawiyah pun mengirim urusan dengan mem­

bawa secarik blanko yang telah dicap dan memberi pilihan kepada

Hasan untuk mengisi jumlah kompensasi berapa pun yang ia minta.

Kedua surat itu darang dalam wakru bersamaan. Namun, Hasan

tergiur untuk menambah jumlah kompensasi yang ia minra ke

dalam surat yang ia terima dari Muawiyah. Ia meminta dua kali

Ii pat dari yang pertama ia min ta. Ketika mereka berjumpa, Muawiyah

tetap berpegang pada surat perrama, sementara Hasan bersikukuh

dengan surat kedua yang dikirimkan kepada Muawiyah. Akhirnya,

mereka bersepakat dengan angka kompensasi sebesar 5 jura dirham

yang akan diambilkan dari Baicul Mal Kufuh untuk membayar


13
ongkos pengunduran diri Hasan dari jabatan khalifah.

Oisini, kira tidak sedang melakukan evaluasi rerhadap tindakan

Hasan. Sudah cukup bagi kica untuk mengacakan bahwa dia sudah

lega dan melegakan lainnya. la juga telah menghindarkan umat

Islam dari peperangan. la juga ikut melegakan hati Abdullah bin

Abbas yang tatkala rahu apa yang dirninta Hasan, justru langsung

meminta jaminan keamanan dari Muawiyah. Ia pun meminra

14
kompensasi uang dari Muawiyah dan itu dipenuhinya. Dalam

kisah selanjutnya, Ibnu Abbas pun lega dengan apa yang ia dapatkan

dari kekayaan Basrah, sampai akhir hayatnya. lntinya, Ali bin Abi

Thalib rerbunuh, Hasan mengundurkan diri, dan Muawiyah

memberi toleransi dan kompensasi. Hasan pun pada akhirnya lega

dengan kekayaan Kufah, sampai suatu ketika Muawiyah melenyap­

kannya dengan racun tatkala ia berniat mencalonkan anaknya,

Yazid, sebagai khalifah penggantinya.

Kita kembali lagi kepada al-Manshur yang sudah tidak sabar

lagi berlama-lama dalam perdebatan dengan Muhammad. Karena

itu, ia menangkap bapak dan sanak keluarga Muhammad, lalu

13
Ar-Thabari, Loe. cit., Vol IV, ha!. 1 2 1 - 1 2 5 .
14
!hid., hal. 1 2 1 .

133
Kebenar:m yang H,lang

memenjarakan mereka dengan berbagai bentuk penyiksaan,

sampai mereka tewas. Al-Manshur pun menyerang Muhammad

dan berhasil membunuhnya di Madinah. Pecualangannya ber­

lanjut pada penyerangan Ibrahim, dan ia berhasil membunuhnya

di Basrah. Dan ketika iru , al-Manshur hanya bertindak atas motif

mempertahankan kekuasaan, bukan demi agama. Diriwayarkan,

al-Manshur pernah dihidangkan omelet berlapis otak dan krim

susu. Ia pun menyantapnya sambil berkata: "Ibrahim ingin

15
merenggut semua kenikmatan ini dariku."

Yang tampak jelas dari kisah ini, salah sacu pihak berusaha

membela hak kecurunannya (nasab), tetapi yang lain sedang mem­

bela kepentingan perurnya. Sementara itu, umat Islam kebanyakan

justru berada di tengah-tengah, menyangka mereka sedang

membela Islam yang benar. Pelanduk maci di cengah-cengah gajah.

Iru dapar kica bukcikan dari bercaburnya ayac al-Quran dan hadis

yang disitir kedua belah kubu. Berapa mudah mereka melakukan

icu bagi Muhammad dan Ibrahim. Ayat kewajiban memerintah

dengan ketencuan Allah sudah tersedia di hadapannya. Dan lebih

mudah lagi baginya uncuk mengutip hadis-hadis tentang

kepribadian Rasulullah clan keucamaan Ali bin Abi Thalib. Namun,

bukan perkara sulic pula bagi al-Manshur uncuk mengutip ayat

acaupun menyicir hadis. Berapa banyak hadis yang celah berbicara

tentang kecaman melepas ketaaran dan keluar dari jamaah. Ayat

al-Quran yag berbicara ten tang membuat kerusakan di muka bumi

pun bisa ia gunakan unruk menghanram lawannya.

Suaru riwayat menceritakan, tatkala al-Manshur mendengar

kabar tencang kekalahan Ibrahim dan pasukannya, ia langsung

16:
mengucapkan ayat berikut "Setiap kali mereka menyalakan api

peperangan, Allah juscru memadamkannya. Mereka berbuat

15
Al-Mas'udi, op cit. ha! 309.
16
!hid, ha!. 309.

134
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

kerusakan di muka bumi, sekalipun Allah tidak menyukai orang­

orangyang berbuar kerusakan" (Surat al-Maidah: 64). AI-Manshur

lalu naik mimbar sembari berkata: "Orang beruncung adalah

mereka yang bersedia menerima nasihat orang lain. Ya Tuhan,

jangan jadikan kami orang yang mengandalkan nasib kepada

orang lain, sehingga kami kalah. Tidak pula terlalu percaya pada

diri kami sendiri sehingga membuar kami lemah. Jadikanlah kami

orang-orang yang hanya mengandalkan diri-Mu."

Begiculah cara al-Manshur meyakinkan bala tentaranya

bahwa Allah telah membela kebenaran pihak mereka dan Allah

akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur.

Sementara bala tentara yang tersisa dari Muhammad clan Ibrahim

juscru menganggap icu sebagai ujian dari Allah, bala untuk masa

seketika, dan Allah akan memberi pahala kepada mereka yang

sabar. Jadi, setiap kubu puas dengan keyakinan masing-masing;

pahala mereka sudah tersedia di sisi Allah.

Sejarah cidak mencacackan bagaimana sikap fuqaha acau

imam besar umat Islam tenrang kebenaran sejarah masa icu

Padahal, betapa banyak jumlah mereka pada masa al-Manshur.

Abu Hanifah, Imam Malik, al-Auza'i, Umar bin Ubaid, Sufyan

as-Tsauri, Ubbad bin Karsir, Ja'far bin Muhammad as-Shadiq,

clan lain-lain, hidup semasa dengannya. Penyiksaan al-Manshur

terhadap Abu Hanifah dengan cara mengurung, mencambuk,

clan pada akhirnya meracuninya, tidak lain hanya karena soal

penolakaan Abu Hanifah uncuk memimpin peradilan masanya.

Penyiksaan al-Manshur terhadap Imam Malik, dengan cara

melecucnya dalam kondisi celanjang bulac agar ia merasa terhina,

tidak lain karena Imam Malik menyeburkan hadis yang ridak ia

suka. Kedua kasus icu cidak dapat dijadikan contoh rentang

kereguhan hati, acau upaya menentang penguasa ketika semena­

mena, atau menunjukkan bahwa kebenaran akan diketahui,

menang, dan tetap dijunjung tinggi oleh rokoh-tokohnya.

135
Kebenar:m yang H,lang

Tidak mengapa bagi kica untuk menutup pembicaraan ten­

tang al-Manshur dengan pembicaraan tentang Ibnu al-Muqaffa.

Konon, Ibnu Muqaffa mengirimkan untuk al-Manshur buku ripis

namun berharga yang ia beri judul Risa/ah al-$ahabah (Risalah

tenrang Para Sahahat). Di situ antara lain tertulis nasihar uncuk

khalifah agar pandai-pandai memilih para pembanru dan mem­

perbaiki sistem pengelolaan masyarakacnya. Nasihac iru ia sampai­

kan dengan amat santun. Boleh jadi, ia sedang mengharap penghar­

gaan materi yang pantas untuk karyanya dengan mengirimkannya

kepada khalifuh. Dan mungkin, ia pun ridak mengira bahwa sekadar

memberi nasihar kepada penguasa adalah tindak kriminal. Fungsi

tertinggi dari seorang sasrrawan, bagi al-Manshur adalah melakukan

puja-puji. Peranan terakhir seorang pemikir rak lain adalah memberi

legicimasi. Dan, sanksi atas mereka-mereka yang melampaui

ketentuan fungsi dan perannya, sebagaimana yang dilakukan Ibnu

al-Muqaffa, adalah diperlakukan seperti Ibnu al-Muqafu.. Tungkai

dan lengannya dicincang sacu per saru, Porongan dagingnya di­

panggang di atas bara api, tepat di hadapannya. Serelah matang,

saru per saru pula daging panggang iru dijejalkan ke mulurnya.

Ibnu al-Muqaffa menjalani pendericaan ciada tara sampai ajal pun

menJemputnya.

Mungkin Ibnu al-Muqafu. pun berranya rarkala harus mengu­

nyah jasadnya sendiri atas perintah pemimpin kaum beriman:

pemimpin apa dan iman seperti apa? Mungkin saat iru juga ia

menyadari apa yang sekarang mesti pula disadari oleh para pejuang

khilafah, pelantun sistem syura, dan penentang pemimpin sekuler

dan demokrasi, dan berfantasi tentang nikmatya negara agama.

Namun demikian, walau pun al-Manshur masuk sejarah dari

aspek yang paling bejatnya, ia tetaplah rercatar sebagai seorang

negarawan besar. Dan kenyaraan bahwa ia semena-mena, sebetul­

nya juga ridak lepas dari fatwa para fuqaha, kerakuran sebagian,

dan bungkamnya sebagian lain. Dan tatkala ia bertindak keras,

136
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

ia sedang berpikir renrang perlunya menegakkan kewibawaan

negara dan regaknya sendi-sendi pemerinrahan untuk ukuran

zamannya. Ia celah menumpahkan darah bersungai-sungai, rerapi

ia juga celah membangun kota Baghdad dan Rushafah. Ia juga

berhasil membencengi dan menjaga keucuhan batas-batas wilayah­

nya. Dan ia juga celah mengemba1ikan integritas pemerincahan

dengan caranya. Dan, al-Manshur dikenal punya filosofi dalam

memandang kekuasaan: "Jika musuh mengulurkan cangannya

unrukmu, potong jika kau bisa. acau cium jika kau cak kuasa!"

Dan fakcanya, sosok ini begicu digdaya, sehingga ia cidak

pernah bisa mencium cangan musuhnya. Juscru karena irulah ia

mampu mewariskan kepada anaknya, al-Mahdi, kombinasi ancara

rakyac yang penurut dan batas wilayah yang cidak mudah dicembus.

!cu pulalah yang kemudian diwariskan al-Mahdi kepada kedua

anaknya, al-Hadi dan Harun al-Rasyid. AI-Rasyid pun mewariskan

icu kepada keciga anaknya, al-Amin, al-Makmun, dan al-Mu'tashim.

Lalu al-Mu'cashim pun mewariskan ha! yang sama kepada anaknya,

al-Wacsiq. Dan dengan kepemimpinan al-Wacsiq, berakhirlah apa

yang sering disebut sebagai masa awa1 era Abbasiyah, era pemerin­

cahan paling bergairah dalam kebangkican aka! dan peradaban. Dan

kalau mau jujur, kica dapar pula karakan paling maju dalam soal

fikih dan taharah. Dan uncuk lebih melengkapi gambarnya, kica

dapat pula menyebucnya paling maju dalam soal kenikmacan hidup

dan durjananya.

Yang kica kacakan di atas bukanlah hiperbolisme, apalagi

sekadar bermain kaca-kaca. Iculah fakcanya. Semua ha! icu memang

berkembang secara bersamaan. Uncuk soal kebangkican rasio dan

peradaban, masa al-Makmun telah dicandai oleh pencapaian

penting pemikiran Mukrazilah dan pesatnya kegiacan terjemah.

Cukuplah bagi kica uncuk menyebuckan beberapa ahli para era

ini, yaicu Sibawaih dan al-Kisa'i (dalam bidang gramacika),

Hammad al-Rawiyah, al-Khalil bin Ahmad, al-Abbas bin Ahnaf

137
Kebenar:m yang H,lang

Basyar bin Bard, Abu Nuwas, Abu! 'Arahiyyah, Abu Tamam, al­

Wafidi, al-Ashma'i, al-Farra', dan lainnya (di bidang sastra dan

sejarah). Dalam bidang fikih dan taharah pun, kira dapar menyebur

Abu Hanifah, Imam Malik, Imam as-Syafi'i, Ibnu Hanbal, al­

Auza'i, al-Lairs bin Sa'ad, Sufyan as-Tsauri, Amru bin Ubaid, Abu

Yusuf, Asad al-Kufi, az-Zuhri, Ibrahim, Ibrahim bin Adham sang

asketis, Nafi sang qori, Warasy, Abu Muawiyah al-Dlarir, Sufyan

bin Uyaynah, Ma'ruf al-Karkhi sang askeris, Ali Ridla bin Musa al­

Kazim, Ahmad bin Nasr al-Kharra'i, dan lainnya.

Adapun soal maraknya dunia hiburan dan kemaksiatan, antara

lain didorong oleh banyak fakror. Barangkali, fakror uramanya

adalah apa yang di masa sekarang disebur sebagai "iklim kondusif"

yang membuka peluang untuk kemaksiaran dan kesenangan. Saar

iru, ibukota khilafuh dibanjiri klub malam dan kafe-kafe. Minuman

keras dan musik pun menjadi bagian kehidupan masyarakat.

Kondisi ini muncul karena mereka pun mendapat pembenaran

tindakan mereka lewat fatwa-fatwa ulama pada masanya.

Jamak dikerahui, saar icu ularna Hijaz memang membolehkan

musik dan nyanyian. Semenrara pafa fuqaha lrak yang rerdiri dari

murid-murid Abu Hanifah, mempunyai fatwa yang membolehkan

minuman keras. Akhirnya, masyarakat pun secara krearif mengga­

bungkan kedua fatwa iru sehingga menimbulkan mazhab "alter­

natif" mereka sendiri. Iru misalnya tergambar dari syair berikut:

Untuk soal pendengaran, ikutlah ulama Hijaz

Untuk minuman, pakailah pendapat ulama lrak

Ulama lrak membolehkan anggur dan meminumnya

Tapi haram untuk mencandu dan mabuk

Orang Hijaz berkata, dua minuman hukumnya sama

Yang halal di antara pendapat mereka adalah khamar

Aku memetik yang terujung dari fatwa mereka

138
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

Khamar pun aku minum.

Sebab dosa dan pendosa tak bisa dipisah

Para pembaca barangkali terheran-heran, dan barangkali ada

pula yang baru pertama kali mendengar Abu Hanifah membo­

lehkan beberapa jenis khamar. Bahkan, saya harus katakan bahwa

fatwa Abu Hanifah ini memberi jawaban ten tang pertanyaan yang

mengusik rasa ingin tahu saya tentang kegemaran para khalifah

Arab-Muslim dalam pesta-fora dan minuman keras. Apakah

perbuatan mereka icu masuk ketegori melanggar larangan agama

tentang minuman keras dan keluar dari sendi-sendi ajaran Islam

karena mereka meminumnya secara terang-terangan di depan

khalayak?

Untuk menjawab soal ini, keterangan Ahmad Amin dalam

l)ul;a al-Islam ten tang perselisihan pendapat fikih dan pandangan

Abu Hanifah soal khamar mungkin dapar memberi penjelasan.

"Ketiga orang imam, yaicu Malik, as-Syafi'i, dan Ibnu Hanbal,

sepakat mengharamkan khamar secara murlak. Mereka menaf­

sirkan kata khamar dalam al-Quran juga meliputi segala jenis

anggur sebagai minuman yang memabukkan, baik yang rerbuar

dari perasan kurma, kismis, malt, biji jagung, maupun madu.

Mereka menyatakan bahwa hasil perasan bahan-bahan tersebut

adalah khamar juga clan semuanya memabukkan. SementaraAbu

Hanifah menafsirkan kata khamar dalam ayat tersebut sebagai

air sari buah anggur berdasarkan makna kebahasaan dan hadis­

hadis nabi lainnya. Pemahaman inilah yang membuat Abu

Hanifah berijtihad menyangkut halalnya beberapa jenis khamar

seperti sari buah kurma dan kismis. Dengan catatan, bahan-bahan

itu diolah sewajarnya dan diminum dengan kadar tidak mema­

bukkan. Ia juga menyebut halalnya jenis khamar yang sering

disebut al-Khalrtayn yang terbuat dari campuran kurma dan

kismis. Dengan takaran yang sama, kedua unsur tersebut dima-

139
Kebenar:m yang H,lang

sukkan ke dalam panci, lalu dituang air dan diendapkan beberapa

lama. Khalrthayn juga bisa terdiri dari campuran sari madu dan

buah tin , atau campuran sari malt clan madu.

Tampaknya, Abu Hanifah merujukkan pendapatnya kepada

salah seorang pemuka sahabat Nabi, yaitu Abdullah bin Mas'ud.

Anda rentu tahu bahwa Abdullah bin Mas'ud adalah imam yang

dijadikan rujukan oleh mazhab fikih lrak. Anda tentu juga paham

bagaimana kuatnya hubugan antara fikih Abu Hanifah dengan fikih

Ibnu Mas'ud. Adapun pendapar soal kehalalan khamar menurut

Ibnu Mas'ud itu dapat kita rujuk dari riwayar yang diruturkan

oleh penulis buku al-1qd al-Fartd, Ahmad bin Abdirabih. Infor­

masi-informasi tentang pandangan Ibnu Mas'ud soal khamar ini

juga melimpah. Dan riwayat-riwayat darinya tenrang kehalalan

anggur pun tersebar luas dan dianur oleh sebagian besar kaum

Tabi'in di Kufuh. Mereka menjadikan Ibnu Mas'ud sebagai rujukan.

Kenyatan ini dapat ditangkap dari pernyataan salah seorang penyair

yang menggubah puisinya begini:

Siapa gerangan yang mengharamkan air surgawi

Yang dicampur seikat anggur di dalam kendi

Aku benci yang keras-keras mengharamkannya


17
Tapi aku sungguh-sungguh mengagumi Ibnu Mas'ud

Itulah iklim atau suasana umum yang mendorong maraknya

musik clan minuman keras serta konsekuensi-konsekuensi lain

seperti maraknya dunia hiburan, perempuan penghibur, dan

penyimpangan perilaku seksual. Dunia hiburan sudah menjadi

bagian dari kenikmatan masyarakat kala itu. Untuk soal me­

nikrnati perempuan penghibur, al-Mahdi clan putranya, Harun

17
Ahmad Amin, Duha al-lsl!Im. Kairo: Maktabah an-Nahdlah al­

Mashriyyah. 1994. Vol. I, ha!. 1 1 9 - 1 2 0 .

140
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

al-Rasyid adalah jagonya. Untuk soal penyimpangan seksual, al­

Watsiq adalah bintangnya. Ketiga sosok khalifah ini akan kira

bahas masing-masing nantinya.

Akan tetapi, kita perlu merenungkan sejenak fatwa-fatwa

tentang khamar yang berkembang pada masa lalu sambil me­

renungkan sikap keras soal ini pada orang-orang zaman kini.

Sebagian orang berpendapat bahwa hukuman yang pantas untuk

pemabuk haruslah hukuman yang terberat. Menurut kami,

pendapat ini terlalu berlebihan walau mungkin muncul dari suaru

niatan yang baik. Bagi kami, hukuman yang pantas buat pemabuk

adalah sanksi yang bersifac resritutif atau pembinaan (ta'zir) agar

mereka mampu mengoreksi perbuatannya. Dalam soal ini, kita

bersepakat dengan pendapar Syekh Mahmud Syalrut."

Dalam fatwa Abu Hanifah dan mazhab Ibnu Mas'ud, hu­

kuman buat pemabuk hanya berlaku unruk pemabuk yang nyata­

nyata mabuknya. Semencara orang yang meminumnya sedikit

saja, apapun jenisnya, dengan kadar yang tidak memabukkan,

tidak dapat dikenakan sanksi. Berdasarkan fatwa seperti ini, para

penjual, pembeli, distributor, dan produsen khamar sebetulnya

tidak dapar dikenakan sanksi. Namun, justru soal inilah yang

sering diperdebatkan oleh kalangan Islam garis keras. Unruk men­

dukung pandangan mereka, mereka banyak-banyak mengutip

dalil-dalil dan hadis Nabi.

Barangkali, ada baiknya kira memaparkan sikap kaku mereka

dalam menetapkan hukuman maksimal bagi peminum khamar,

yakni 80 kali cambukan. Pandangan ini berpijak pada sebuah

analogi terhadap pendapat Ali bin Abi Thalib ketika ia diminta

saran oleh Umar bin Khaccab tenrang sanksi yang pantas bagi

peminum khamar. Ali ketika itu berpendapat: "Siapapun yang

18
Mahmud Syalrur, al-lslflm Aqrdatan wa Syart'atan. Kairo: Darus

Syuruq, rt. ha!. 295.

141
Kebenar:m yang H,lang

mabuk, ia pasti akan meracau. Orang yang cidak sadarkan diri

dapat saja menuduh orang lain celah berbuat zina. Karena itu,

sanksinya adalah 80 kali cambukan."

Tampaknya, Ali berasumsi bahwa orang yang mabuk pasti

akan kehilangan akal sehacnya. Konsekuensinya, siapapun yang

kehilangan aka! sehat dapat saja menuduh orang lain berbuat

serong. Dan atas dasar iru , seorang pemabuk pun dapar dijacuhi

sanksi sebagaimana pelaku qadzaf atau orang yang menuduh

orang lain berbuat serong, yairu cambuk sebanyak 80 kali.

Anehnya, kira tidak pernah berul-betul mendiskusikan dan

menguji analogi seperti ini. Akibacnya, ia dicerima apa adanya

seakan-akan merupakan wahyu suci. Padahal dalam pandangan

kita, analogi seperti ini dapat dibukcikan kecidakcermacannya dan

kekurangakuratannya. Kalau pendapat ini kica cerima begicu saja,

berapa mudahnya kica nancinya menetapkan analogi-analogi

hukum lain tanpa sikap yang kritis. Misalnya, kita dapat menga­

takan lebih jauh: "Siapapun yang mabuk, pati akan kehilangan

akalnya. Orang yang kehilangan kesadaran, bisa saja berzina,

membunuh, atau mencuri. Karena itu, hukuman yang tepat bagi

pemabuk dapar berupa kombinasi anrara keciga sanksi terhadap

keciga perbuacan tercela di aras, yaicu cambuk, hukuman mati,

dan potong tangan. Namun, kita pun dapat beranalogi sebaliknya,

"Siapapun yang mabuk akan kehilangan aka! sehatnya. Dan,

karena ia kehilangan aka! sehatnya, ia tidak dapat dijaruhi sanksi

apapun. Sebab, ia melakukan perbuatannya di luar kesadaran."

Nah, kalau ada analoginya juscru seperti ini, niscaya analogi

perrama dapat pula runtuh dan kehilangan pijakannya.

Pembahasan kira di atas menunjukkan fakra bahwa generasi

masa lampau kita tidak selamanya seperti yang kica duga. Ternyata,

mereka rampak lebih terbuka, dan lebih toleran dibandingkan

kira. lni mungkin disebabkan kehidupan sosial ekonomi ketika

itu relatiflebih makmur, ditambah puladengan masih terbukanya

142
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

pincu ijcihad yang merupakan salah sacu faktor pendorong cole­

ransi itu sendiri. Tentang soal-soal yang bersifar belum pasti dalam

agama (al-mutasyabihat), misalnya, mereka juscru mendapatkan

ban yak kemudahan uncuk memilih di ancara beberapa pendapat

yang ada, bahkan mengombinasikan di ancara beberapa pendapat

seperti pendapar ulama Hijaz dan lrak cadi.

Kini kica ciba pada pembahasan tenrang fenomena yang

jamak dilakukan oleh generasi pendahulu kica, yaicu soal poligami.

Fenomena iru tidak hanya dianggap boleh secara agama, retapi

juga dicunjang oleh gaya hidup saac icu. Bahkan, Hasan bin Ali

bin Abi Thalib, misalnya, sangat tersohor dengan kebiasaannya

menghimpun banyak istri. Dalam sebuah riwayat dituturkan, ia

menikahi 70 orang perempuan. Bahkan, ada yang menyebut

angka lebih: 90 orang. Ia biasanya menikahi empat orang, lalu

mencerai empat lainnya dalam wakru bersamaan. Kebiasaan ini

lancas dikecahui Ali bin Abi Thalib, dan ia kuacir ha! icu juscru

akan merusak strukcur sosial kesukuan masyarakat Arab di Kufah

lanraran terlalu banyak perempuan yang diceraikannya. Karena

itu, ia pun mengemukakan seruan kepada warga Kufah: "Wahai

warga Kufah, jangan bersedia dinikahi Hasan, karena ia adalah si

cukang cerai!"!" Namun, seruan Ali itu tidak terlalu dipedulikan

oleh kebanyakan warga Kufah, sebab setiap mereka terobsesi uncuk

menjadi bagian dari keluarga Rasulullah.

Di samping icu, maraknya prakcik poligami juga didorong

oleh dua faktor penting lainnya. Kedua faktor ini celah membuka

kesempataan kepada seriap pria dewasa untuk mereguk kenik­

macan hidup dan hidup dalam kenikmatan. Faktor pertama cidak

lagi diperselisihkan keabsahannya, yaicu pergundikan, meskipun

orang-orang modern kini sudah tidak dapat menerima, bahkan

cidak sanggup membayangkannya. Sedangkan fakcor kedua masih

19
As-Suyuthi, Tf!lrikh al-Khu/aft', ha!. 191.

143
Kebenar:m yang H,lang

berada dalam perselisihan sengic di antara para ulama, yaicu soal

nikah kontrak acau mur'ah.

Fakror perrama yairu soal kepemilikan selir (jariyah) meru­

pakan salah saru aspek yang terkait erat dengan sistem perbudakan

kala icu. Perlu diingat, cackala Islam darang, sisrem perbudakan

sudah merupakan bagian penting dari kehidupan bangsa Arab.

Islam cidak hadir uncuk melarang maupun membenarkannya.

Namun Islam sangat menyarankan prakcik pembebasan terhadap

mereka ('itqh raqabah). lni salah saru pintu menuju kebajikan

yang diperkenalkan Islam dan mengandung semangat kemanu­

siaaan yang dalam. Semangat ini, pada zaman modern, setara

dengan prinsip kesecaraan dan sejalan dengan upaya penghapusan

sisrem perbudakan secara umum.

Jika kira berhenti dan terpaku pada pemaknaan yang literal

terhadap ayar perbudakan dan pergundikan (al-tasarrT), maka kira

berarci cidak menerima gagasan kesetaraan dan penghapusan

perbudakan. Jika kira beranjak ke pemaknaan Islam secara esensial,

maka kica akan menafsirkan sikap Islam dalam soal ini dengan

prinsip penting yang akan selalu kica jadikan landasan. Prinsip

icu menyacakan bahwa Islam cidak dacang uncuk suacu masa

tertenru saja. AI-Quran ridak hanya diwahyukan untuk kepen­

tingan masa sesaat saja. Islam dan al-Quran kica anggap sebagai

piranci yang berlaku uncuk mengacasi segala masa dan segala

zaman.

Karena iru, sekalipun Islam pernah mengizinkan perbudakan,

ia juga sangat mendorong semangat pembebasan budak dan

menekankan aspek kemerdekaan manusia dalam berkehendak.

Dan mestinya, prinsip ini cidak hanya berlaku uncuk suacu tempat

dan masa saja. Dan memang, kecika membolehkan perbudakan,

Islam mengizinkan majikan uncuk menikmaci dan menggauli

gundiknya. Anak-anak yang terlahir dari hubungan rtu pun

dibolehkan bernasab kepada majikan ibu mereka.

144
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

Secara sosial, kepemilikan budak bersumber dari dua arah.

Perrama, sisrem perdagangan budak, dan kedua, hasil pampasan

perang. Dari sumber kedua inilah fenomena kepemilikan budak

berkembang pesar di kalangan masyarakar Arab pada masa-masa

awal lmperium Arab-Islam. Asal-usul kawasan para selir iru pun

berrnacam-macam. Mereka berdarangan dari ban yak bangsa sebagai

konsekuensi dari proses penaklukan-penaklukan ke berbagai

wilayah, sehingga ada gundik Romawi, Persia, dan Ethiopia.

Lantas, perkembangan ini menyebabkan terjadinya surplus

budak di dalam masyarakar. Penawaran di pasaran budak melebihi

permintaan. Dalam bahasa ekonomi, inilah kondisi ketika tingkat

supply melebihi demand Dan karena persediaan selir melimpah-ruah,

maka fenomena saling menghadiahi selir pun menjadi kebiasaan

umum. Dari buku-buku sejarah kira dapar menemukan berapa

mudahnya seseorang memberi saru-dua orang gundiksebagai bagian

dari hadiah. Bahkan, sejarah mencarar bahwa Ali bin Abi Thalib

pun, seorang khalifuh yang paling askeris dalam hidupnya, wafur

dengan meninggalkan 4 orang istri dan 19 orang selir"

Jumlah gundik-gundik ini semakin berkembang dalam

sejarah imperium Islam; menjadi puluhan pada masa Umayyah,

mencapai rarusan pada masa Yazid bin Abdul Malik, dan menem­

bus angka ribuan pada masa Abbasiyah. Bilangan ini bahkan

mencapai angka 4000 orang sebagaimana sudah kira singgung

dalam pembahasan renrang al-Murawakkil. Khalifah ini konon

relah meniduri 4000 gundik selama seperempar abad masa

kepemimpinannya. Tentu ini merupakan rekor rertinggi kepemi­

likan gundik yang pernah rercararkan dalam sejarah.

Untuk lebih mendetail tentang fenomena selir ini, para

pembaca dapar membacanya lebih lanjur dari kirab al-AghanT

10
Ibnu Karsir, al-Bidayah wan Nthayah. Beirut: Darul Kurub al­

Ilmiyyah, Vol. VII, jilid IV, ha!. 244. Lihar pula as-Suyurhi, ibid hal. 176.

145
Kebenar:m yang H,lang

karya Abu al-Farj al-Asfahani (w. 356 H), Akhbar al-Nisa karya

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Thaq al-Hamamah

karya Ibnu Hazm al-Andalusi (w. 456 H), dan al-!mtii' wal

Mu'anasah karya Abu al-Hayyan ar-Tauhidi (w. 380 H). Di sana

para pembaca dapar membaca pernyataan-pernyataan para

khalifah rentang fenomena pergundikan. Abdul Malik bin Marwan

misalnya menyatakan: "Siapa pun yang ingin mencari gundik

demi melayani birahi, pilihlah perempuan Barbar. Yang meng­

inginkan gundik unruk mencari keturunan, ambillah perempuan

Persia. Yang mencari gundik sebagai kawan seiring, repatlah

21
memilih perempuan Romawi." Keterangan ini barangkali dapat

pula menjadi pembungkam orang-orang yang menyatakan bahwa

pemilahan manusia berdasarkan aspek rasial adalah khas cara Barat

dalam memandang bangsa lain.

Paparan ini juga akan menurup pembahasan tenrang faktor­

fakror penentu maraknya poligami. Dan kita pun telah mengemu­

kan sebelumnya bahwa poligami secara ijmak dibolehkan para

ulama tanpa ada keraguan dan kekhawatiran. Pada saat kira

menemukan beberapa preseden posirif dalam rindakan beberapa

khalifah dalam membebaskan selir-selirnya, maka langkah rersebur

ridak lain merupakan perambahan rerhadap jalan panjang menuju

penghapusan sistem perbudakan yang sama sekali ridak ber­

tentangan dengan esensi ajaran Islam.

Kira akan masuk ke fakror kedua maraknya poligami yang

masih menjadi lahan perdebatan di kalangan para ulama. Faktor

kedua iru ridak lain adalah apa yang biasanya dikenal sebagai

fenomena nikah mut'ah. Konon, Rasulullah pernah membolehkan

praktik ini dalam dua kasus peperangan, lalu mengharamkannya

pada saar Haji Perpisahan (hujjah al-wada'). Alasan di balik pem­

bolehan nikah mut'ah iru disebabkan "kondisi darurar" pada masa

21
As-Suyurhi, ihid, ha!. 2 2 1 .

146
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

perang. Dan, pelarangan beliau terhadap model pernikahan ini

tidak lain karena kuatir ia akan lebih menyerupai praktik zina

ketimbang institusi pernikahan, jika dibolehkan secara mudak

tanpa kerenruan dan syarat yang ketar.

Kita akan membahas persoalan ini secara singkat agar para

pembaca tidak mengalami kerancuan berpikir. Fakta bahwa Nabi

membolehkan praktik nikah rnur'ah dalam dua peristiwa, yairu

Perang Khaibar dan Penaklukkan Mekkah, memang tidak ada

yang menyangkalnya. Pelarangannya pada saat Haji Perpisahan

juga tidak ada yang membantahnya. Namun, sinyaleman tentang

kesamaan zina dengan nikah mu'rah bersumber dari pendapat

Ibnu Umar. Dalam suatu riwayat sahih yang dimuat Ibnu Majah,

Ibnu Umar menyatakan: "Rasulullah telah membolehkan kita

melakukan nikah mut'ah tiga kali. Namun, kemudian ia meng­

haramkannya. Demi Allah, kalau aku berjumpa seseorang yang

sudah beristri masih juga melakukan nikah mut'ah, pasti aku akan

22
merajamnya dengan baru. "

Imam Ali bin Abi Thalib pun pernah menyatakan: "Kalau

nikah rnur'ah tidak juga diharamkan, niscaya orang-orang sudah

berzina." Riwayat yang dinukil oleh al-Baihaqi dari Ja'far bin

Muhammad ketika diranya ten tang nikah mut'ah pun menjelas­

kan soal ini. Ketika diranya rentang nikah mur'ah, Ja'far men­

23
jawab: "Nikah jenis itulah yang disebut zina."

Penghalalan sesuatu karena desakan kondisi darurat memang

salah satu metode legislasi hukum yang dapar diterima. Syaratnya,

kondisi darurat itu harus diukur betul dengan suaru penilaian

yang akurar. Dalam soal ini, ridak ada sosok yang paling bertang­

gungjawab dan sangat jeli dalam menaksir dan menerapkan suatu

hukum melebihi Rasulullah. Beliau adalah sosok yang tidak

21
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Beirut: Darul Ki tab al-Arabi, tt. ha!. 44.
23
Ibid, ha!. 43.

147
Kebenar:m yang H,lang

melandaskan tutur kata dan perbuarannya berdasarkan pertim­

bangan hawa nafsu belaka.

Per definisi, nikah mut'ah adalah kontrak pernikahan yang

diajukan seorang laki-laki kepada perempuan untuk suaru masa

tertenru agar ia dapat menikmati perempuan rersebut dengan

imbal balas materi tertentu pula. Jika tempo yang sudah direrap­

kan bersama selesai, maka berakhir pula ikatan pernikahan rer­

sebur. Para fuqaha Sunni satu suara unruk mengarakan haramnya

nikah mut'ah secara mutlak. Mereka melandaskan alasannya

dengan hadis Rasulullah ketika Haji Perpisahan: "Wahai sekalian

manusia, dulu aku pernah mengizinkan kalian unruk melakukan

mut'ah, tapi ketahuilah, kini Alah telah mengharamkannya

24
sampai hari kiamat!"

Meski di lingkungan Sunni nikah mut' ah dapat dikategorikan

bagian dari zina, tetapi para ulama umumnya juga enggan

menerapkan hukum rajam bagi pelakunya. Hal ini disebabkan

sikap mereka yang mendua ketika berhadapan dengan riwayat

lain dari Ibnu Abbas yang menyatakan halalnya mut'ah. Sikap

para ulama Sunni ini berbeda dengan umumnya pandangan Syiah.

Para ulama Syiah jusrru menghalalkan mur'ah dengan menafsir­

kan ayat-ayat al-Quran tentang mur'ah dengan interpretasi yang

membolehkannya. Mereka juga menolak prinsip penganuliran

hukum (naskh) al-Quran oleh Sunnah Nabi.

Sikap ini ditanggapi fuqaha Sunni dengan penafsiran al­

Quran dari sudur pandang berbeda, serta berbagai argumen

tentang validnya pembaralan hukum al-Quran dengan Sunnah

Nabi. Kalangan Sunni misalnya merujuk ketetapan Rasulullah

tentang hukuman rajam bagi pelaku zina walau al-Quran tidak

mengatakan sanksinya kecuali cambuk. Al-Quran pun tidak per­

nah menyeburkan rajam sebagai hukuman zina. Ini adalah

24
Ibid, ha!. 42.

148
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

persoalan khilafiyah yang tidak akan kita paparkan kepada

pembaca agar tidak rerlalu berkepanjangan.

Namun demikian, saya mengajak para pembaca untuk

merenungkan ulang kenyataan masayarakat Islam pada masa

permulaan dakwahnya dan ratusan tahun sesudahnya. Mereka

adalah masyarakat yang sudah terbiasa dengan poligami. Perce­

raian mudah rerjadi, dan pernikahan baru pun tak sulit dilakoni.

Kira cukup jarang menyaksikan pria yang beristri empat recap

setia kepada para isterinya dan berprinsip tidak akan mence­

raikannya kecuali terpaksa. Sementara di pihak lain juga ada yang

memperisteri empat orang sambil menceraikan empat sebelumnya

tanpa ada kritik dan kecaman.

Hampir semua pria pada masa itu juga mempunyai gundik.

Di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib---sosoksangat asketis--­

yang sudah cukup puas dengan 19 orang gundik. Padahal, asketisme

Ali dengan sifat wara dan penolakannya terhadap kemewahan

dunia, sudah tidak perlu dibukrikan lagi. Ada pula yang punya

gundik puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Namun, lingkungan

Syiah pun masih membolehkan mut'ah serelah adanya legaliras

pergundikan. Pembolehan ini membuat seorang laki-laki

dimungkinkan untuk memperistri seorang perempuan dalam

tempo rerrentu, baik saru hari, sebulan, atau beberapa bulan saja.

Sebagai imbalannya, ia harus menyerahkan uang kontrak sejumlah

kesepakatan antar mereka. Lalu serelah selesai masa konrrak, ia

boleh menceraikan perempuan rersebut tanpa rasa berdosa dan

tanpa merasa iba.

Fenomena nikah mut' ah ini masih dapat dianggap legal jika

kira melanggar konsensus Sunni dan berpegang kepada fatwa

ulama Syiah. Padahal, catatan-catatan sejarah masa-masa akhir

Umayyah dan sebagian besar periode Abbasiyah pun masih

menunjukkan rekor tentang maraknya perempuan penghibur,

dunia pesra-pora, bahkan penyimpangan perilaku seksual.

149
Kebenar:m yang H,lang

Rekaman sejarah kedua dinasti tersebut akan kira kesampingkan

dulu untuk masuk ke pembahasan inti ten tang halalnya pergun­

dikan di lingkungan Sunni clan bolehnya rnur'ah di lingkungan

Syiah. Secelah icu barulah kica bertanya: apakah orang masih

memerlukan zina setelah terbukanya pintu pergundikan dan

muc'ah? Apakah masuk aka! bagi orang-orang yang hidup di

lingkungan seperri ini untuk menyatakan bahwa hukum rajam

mengandung unsur sadisme?

Saya yakin para pembaca sepakar dengan saya untuk

mengatakan bahwa orang-orang yang masih melakukan zina di

lingkungan yang sudah membolehkan pergundikan atau mur' ah,

mestilah orang kurang waras dan punya kecenderungan seksual

yang menyimpang. Acau dengan ungkapan lebih lunak, orang ini

dapat pula disebut sedang melakukan upaya bunuh diri. Hanya

saja, ketidakwarasan, perilaku menyimpang, araupun upaya bunuh

diri icu masih cidak akan membuacnya mati dengan mudah. Sebab,

syarat-syarar dakwaan atas tindak perzinahan yang direrapkan oleh

kicab-kicab fikih pun juscru cak memungkinkan diberlakukannya

sanksi atas mereka. Syarat yang kerat tersebut mengharuskan adanya

empat orang saksi laki-laki yang adil dan terpercaya, cidak punya

reputasi buruk dan tidak pernah melakukan perbuaran dosa.

Perempuan dan orang-orang fasiq tidak diterima kesaksiannya.

Keempat orang saksi itu pun secara keseluruhan harus bersaksi

tentang telah terjadinya praktik perzinahan. Kesaksian langsung

tentu tidak mudah karena mensyaratkan mereka sebagai pelaku

aksi perzinahan juga. Lebih dari iru, mereka tidak boleh rabun

mata sehingga dapat benar-benar dan jelas menyaksikan aktiviras

tersebur, "laksana masuknya pensil celak ke dalam wadahnya,

seperti turun naiknya tali timba ke dalam sum urn ya". Apabila

salah seorang di antara mereka memberi kesaksian berbeda atau

mencabut kembali dakwaannya, maka saksi-saksi yang tersisa

juscru akan dikenakan sanksi qazaf, yaicu 80 kali cambukan.

150
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

Mungkin karena inilah kira sangat kesuliran menelusuri

cacaran sejarah tentang penerapan hukum rajam bagi kasus

perzinahan. Bahkan, saru-sacunya kasus yang nyaris diberlaku­

kannya hukum rajam terjadi pada masa Umar. Itu pun berakhir

dengan dicambuknya para saksi sendiri. Umar pribadi mungkin

meyakini perisciwa itu benar-benar terjadi. Bukcinya, ia memecat

sang pelaku yang kebetulan adalah salah seorang gubernurnya

sendiri. Kisah perzinahan ini layak diungkap di sini karena

keunikannya. Peristiwa ini juga dapat memberi pelajaran penting:

manusia reraplah manusia juga, di manapun mereka berada. lni

juga menunjukkan bahwa periode Umar sendiri bukannya ranpa

cela di masyarakat. Hanya saja, bila cela itu rerjadi, akan ada

banyak pihak yang segera menutup-nutupinya karena berkenaan

dengan salah seorang pen ting dalam sejarah.

Pada masa Umar, tepat pada rahun 17 H, jabatan Gubernur

Basrah diserahkan Umar kepada Mughirah bin Sya'bah. Konon,

pelaku zina cersebur adalah Mughirah sendiri sebagaimana

dicatatkan oleh al-Thabari:

"Riwayat yang bersumber dari Syu'aib dari Saif yang

ditransmisikan oleh Muhammad, Muhallab, Thalhah, dan Amr,

menyebut kisah rentang Abu Bakrah dan Mughirah bin Sya'bah.

Konon, Mughirah adalah sosok yang selalu memandang rendah

Abu Bakrah. Abu Bakrah pun selalu ingin bersaing dengan

Mughirah dalam banyak perkara. Ketika tinggal di Bashrah,

mereka hidup bertetangga. Rumah mereka bersebelahan jalan dan

keduanya punya tenda tempat perjamuan camu dengan jendela

bertirai kain yang saling berhadapan. Suatu ketika, Abu Bakrah

berkumpul bersama para tamunya dan berbincang-bincang di

tenda tersebut. Tiba-riba angin kencang bertiup dan membuka

tirai kain jendela. Tatkala Abu Bakrah hendak menutup tirai

jendelanya, sontak ia menyaksikan Mughirah yang tendanya juga

tersingkap. Ia sedang bercinta dengan seorang perempuan. Abu

151
Kebenar:m yang H,lang

Bakrah lalu mengajak para tamunya: "Berdiri dan tengoklah!"

Para ramu itu pun berdiri dan menengok ke arah yang ditunjuk

Abu Bakrah "Perharikan baik-baik!" kata Abu Bakrah. Mereka

lalu bertanya: "Siapa gerangan perempuan iru?" "Dia Ummu

Jamil, anak perempuan Afqam," jawab Abu Bakrah.

Ummu Jamil berasal dari Bani Amir bin Sha'sha'ah yang

memang berprofesi sebagai perempuan panggilan. la sudah pernah

dipanggil Mughirah maupun para petinggi dan pejabat serempat

pada masa itu. Dan di zaman iru, sudah ada pula beberapa

perempuan yang menjalankan pekerjaan serupa Ummu Jamil.

Rupanya para tamu Abu Bakrah itu masih penasaran: "Kami

hanya melihat pelacur yang tidak rampak parasnya!" Mereka

rerdiam ketika perempuan iru bangkit dan beranjak pergi. Dan

tarkala Mughirah keluar rumah untuk salat jamaah, ia digoda

oleh Abu Bakrah. "Jangan pernah salar bersama kami lagi!"

sergahnya. Lalu sejak saar iru masyarakat melaporkan kasus ini

kepada Umar. Umar segera menugaskan Abu Musa al-As' ari unruk

menyelidiki kebenarannya sambil berpesan: "Abu Musa, aku akan

mengirim dan menugaskanmu ke negeri tempat iblis bertelur

dan menetas. Karena itu, engkau harus tegas dan tetap pendirian

dengan apa yang engkau dapatkan. Jika tidak, Allahlah yang akan

menegurmu. "

Abu Musa pun bertolak menuju Basrah. Tak lama kemudian

ia singgah di Marbad unruk beristirahat. Kabar pengutusan Abu

Musa ini terendus oleh Mughirah. "Demi Allah, Abu Musa pasti

rak datang unruk perkara biasa araupun sekadar berniaga. Ia

datang dengan misi," batinnya. Masyarakar Basrah pun paham

kalau Abu Musa darang unruk perkara tertenru saat mereka

berjumpa dengannya. Setelah tiba di Basrah, Abu Musa menye­

rahkan surar Umar kepada Mughirah. Surat iru pendek saja isinya,

dan terdiri dari empar kalimat berisi pemecaran, teguran, nasihar,

sekaligus insrruksi. "Aku telah mendengar berita yang menggem-

152
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

parkan. Aku tugaskan Abu Musa menjadi amir. Serahkan seluruh

wewenangmu padanya. Segera!" Demikian isi surar itu.

Namun, secelah iru Mughirah jusrru menghadiahkan seorang

gundik peranakan Tha'if bernama Aqilah kepada Abu Musa.

Kepada Abu Musa ia berpesan: "Aku merelakan gundik cantik

rupa ini untukmu!" Lalu Mughirah,Abu Bakrah, Naf bin Kaldah,

Ziyad, dan Syibli bin Ma'bad al-Bajli berangkat ke Madinah guna

menghadap Umar. Seciba di sana Umar pun mengumpulkan

mereka. Iculah saat pertama kalinya Mughirah angkar bicara:

"Silakan bertanya kepada para pembantumu tentang apa yang

mereka saksikan tentangku. Apakah saar iru aku membelakangi

mereka arau menghadap mereka. Bagaimana cara mereka melihar

dan mengenali perempuan iru. Kalau aku membelakangi mereka,

bagaimana mungkin aku ridak menutup jendela. Seandainya aku

menghadap mereka, aras dasar apa mereka boleh mengintip

rumahku ketika aku sedang berkumpul dengan istriku. Demi

Allah, aku ridak menyerubuhi perempuan lain selain isreriku. Dan

keberulan, isteriku memang mirip Ummu Jamil."

Umar mulai mengarahkan pertanyaan kepada Abu Bakrah.

la bersaksi melihar Mughirah berada di anrara selangkangan

Ummu Jamil lalu menyetubuhinya. Umar pun bertanya: "Bagai­

mana caramu melihat mereka?" "Aku berada di belakang mereka,"

jawab Abu Bakrah. "Lanras bagaimana engkau mengenali secara

pasri wajah perempuan icu?" lanjut Umar. "Aku hanya mengira­

ngira," jawab Abu Bakrah. Selanjutnya Umar menanyai Syibli

bin Ma'bad. Ia memberi kesaksian serupa dengan Abu Bakrah.

"Engkau saat itu berada di belakang atau di hadapannya?" tanya

25
Umar. "Aku berada di hadapan mereka," jawab Syibli.

Nafi juga memberi kesaksian yang serupa. Tapi Ziyad justru

memberi kesaksian berbeda dari mereka bertiga. "Aku menyaksi-

25
Hanya al-Thabari yang mencatatkan kesaksian yang berbeda ini.

153
Kebenar:m yang H,lang

kan Mughirah duduk di antara kedua kaki seorang perempuan.

Aku lihat dua pas ang kaki saling bergoyang dan dua aurat

tersingkap. Aku juga mendengar suara-suara leguhan yang cukup

lantang," kara Ziyad. Umar lalu menyela: "Apakah engkau

menyaksikan sebuah penetrasi seperti keluar-masuknya pensil

celak ke dalam wadahnya?" "Tidak, aku tidak menyaksikannya,"

jawab Ziyad. "Apakah engkau dapar mengenali perempuan itu

dengan jelas?" buru Umar. "Tidak," jawab Ziyad. "Tapi perem­

puan itu mirip Ummu Jamil." Lalu Umar berkomenrar: "Jika

demikian, engkau belum yakin!"

Umar lalu memerintahkan agar ketiga orang saksi itu, selain

Ziyad, dihukum cambuk. Tarkala irulah Mughirah langsung

mendesak Umar, "Mohon bersihkan namaku dari ruduhan orang­

orang ini!" Namun, Umar menyergah: "Turup mulurmu! Demi

Allah, andai kesaksian mereka sempurna, pasri aku akan

26
merajammu dengan barumu sendiri."

Riwayar di aras menunjukkan conroh langka dan jelas

renrang proses penyelidikan kasus perzinahan yang amar rumir

dan deril. Jumlah saksi tampaknya bakal sangat meyakinkan.

Fakror ini memang dapat dipenuhi karena kondisi fisik bangunan

pada masa itu cukup memudahkan. Al-Mughirah pun tampaknya

sangar terpojok, kasusnya cukup sensasional, dan fenomena

"Ummu Jamil" pun tampak cukup marak di kalangan pejabat

negara. Sanksi perzinahan pun nyaris direrapkan Umar andai saja

Ziyad tidak gagap sehingga kesaksiannya dianggap meragukan.

Di sini kita perlu pula menambahkan informasi penting

tentang perkembangan tokoh-tokoh di dalam kasus ini unruk

masa sesudahnya. Jauh setelah kejadian itu, Mughirah menjadi

salah seorang komandan pasukan Muawiyah, sementara Ziyad

16
Versi lain menyebutkan redaksi, "' . . . pas ti aku akan merajammu dengan

baru seseorang."

154
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

berada di pihak tentara Ali. Tatkala Muawiyah berhasil merebut

kekuasaan dari rangan Ali, Mughirah kembali teringar akan jasa­

jasa Ziyad kepadanya dengan membuat kesaksian yang sumir.

Demi membalas jasanya, Mughirah pun memohonkan amnesri

dari Muawiyah unruk Ziyad. Muwiyah mengabulkannya dan

menganggap Ziyad sebagai salah seorang keluarga Umayyah. Ia

lalu menunjuk Ziyad menjadi Gubernur Basrah, lalu Kufah.

Sejarah lalu mencatat rekam jejak Ziyad yang kejam, ororirer,

dan penuh intimidasi dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Kita kembali lagi ke fokus persoalan tentang Mughirah, atau

lebih tepatnya, skandal seksnya. Yang menjadi pertanyaan kita:

apa reaksi kalangan Islam-ekstremis jika skandal seperti icu

dilakukan oleh seorang pejabar negara, menteri atau gubernur

kica? Uncuk apa mereka bersuara lantang tatkala salah seorang

gadis diremukan bunuh diri di rumah salah seorang pembesar

negeri ini dan menyebur seantero negeri sudah menjadi sarang

prosrirusi dan harus diobati dengan syariar? Mereka berreriak agar

Mesir-lslami dikembalikan setelah Mesir-klub malam bertaburan.

Apabila kondisi fisik bangunan tempat tinggal pada masa

Umar menjadi penyebab utama terungkapnya skandal seks

Mughirah, mungkinkah iru bisa terjadi dalam kondisi fisik

bangunan rumah modern saar ini? Apakah kira dengan mudah

dapar menemukan saksi-saksi kasus perzinahan di dalam ba­

ngunan modern yang jauh lebih solid daripada di masa lalu? Bila

kegamangan salah seorang saksi kasus Mughirah telah menye­

lamatkannya dari sanksi zina, bagaimana keteguhan sikap orang­

orang yang memang menjadikan inisiarif memata-matai orang

sebagai profesi ucama mereka?

Kita kembali bertanya sebelum kisah skandal seks Mughirah

semakin membuat kita tegang. Karena itu, kira perlu menam­

bahkan unsur pengharapan ke dalam pertanyaan iru agar para

pembaca dapat bersikap jernih dalam menjawabnya. Pertanyaan

155
Kebenar:m yang H,lang

kita adalah: pantaskah kira mempersamakan perlakuan rerhadap

skandal seks Mughirah-----<li dalam konteks lapangnya peluang

uncuk berpoligami, bebasnya sistem pergundikan, dan masih

ditambah lagi oleh kehalalan mut'ah di lingkungan Syiah­

dengan perzinahan pemuda masa kini yang uncuk menikahi

seorang gadis pun mereka cak mampu-karena mahalnya mahar

dan sulitnya menyediakan tempat tinggal? Apakah kedua kondisi

ini diperlakukan sama, misalnya dalam sanksi yang akan di­

jatuhkan terhadap tindak perzinahan? Tidak bolehkah kita

mengiaskan kondisi sulic saat ini dengan kondisi paceklik pada

masa Umar yang cidak menerapkan ketencuan syariat karena

pertimbangan yang bijaksana?

Saya tidak sedang bermaksud menganjurkan masyarakat uncuk

melakukan perzinahan acau melakukan pembenaran terhadap

perilaku pencabulan sebagaimana dilakukan orang-orang yang

melihat dunia ini cak lebih dari ciga unsur ucama: laki-laki, perem­

puan dan seran sebagai pihak ketiga. Saya tidak juga sedang bersikap

sebagaimana kalangan hipokrit yang hanya mengambil posisi

bersikap yangaman. Mereka ini tak jarangjuga ikut-ikutan menyua­

rakan agar para pezina yang sudah berkeluarga (muhsan) dijacuhi

sanksi rajam. Padahal, mereka benar-benar cahu bahwa sanksi icu

secara fakcual rnustahil diterapkan. Kita hanya mengajak agar kita

mengedepankan nalar dan aka! sehar ketika membahas persoalan

seperti ini. lni persis seperti dicontohkan Umar dalam menyikapi

sanksi pencurian. Ia melampaui makna literal eeks Kitab Suci

dengan menyelidiki faktor-faktor pendukung tindak pencurian itu.

Karena iru , ada baiknya juga bagi kica uncuk membuka

kembali kasus yang sampai saar ini masih jelas terekam di dalam

ingatan kira. Kasus ini adalah soal pelecehan seksual yang dilaku­

kan 6 orang pemuda terhadap seorang gadis. Gadis itu diculik

dari dalam mobil kecika sedang melintasi sebuah jalanan di

bilangan Ma'adi, pinggiran Kairo. Hasil visum medis secelah iru

156
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

menunjukkan bahwa si gadis masih retap perawan. Masyarakat

pun gempar menanggapi kasus ini. Suara-suara keras bermunculan

menuntur penerapan syariat Islam. Seakan-akan penerapan syariat

adalah saru-sarunya jalan untuk mengatasi persoalan. Media massa

keagamaan rak bosan-bosannya memuat arrikel di bagian muka

dengan judul yang sama: Terapkan Syariat, tegakkan Sanksi Per­

zinahan! Padahal, visum dokter bisa saja membuktikan tidak

terjadinya kontak fisik di dalam pengadilan nantinya.

Namun, para hakim kasus ini menjaruhkan vonis mari rerha­

dap 5 pelakunya dan mengabulkan banding 2 terdakwa, termasuk

runangan si gadis itu. Manran Mufti Mesir lalu angkat bicara men­

dukung vonis iru dengan argumen-argumen hadis Nabi sembari

menegaskannya telah sesuai dengan kerenruan syariar. Ia berpen­

dapat bahwa perbuatan 5 pelaku pemerkosaan iru telah masuk

karegori "berbuar kerusakan di muka bumi". Namun, Allah maha

tahu. Fakra kasus ini tidaklah seperti yang didakwakan. Lagi pula,

mantan mufti itu lupa bahwa sanksi pelaku "perusakan di muka

bumi'' hanya ditetapkan terhadap tindakan-tindakan konkret atas

harta benda, bukan kejahatan seksual. Sanksi itu sudah punya

kriteria-kriteria khusus yang ridak dapar disamakan dengan kasus

Int.

Namun yang menggelikan, orang-orang melupakan bahwa

sistem perundang-undangan Mesir sebetulnya telah menyediakan

sanksi hukum atas tindak-tindak kejahatan yang tidak diarur oleh

syariar. Ini bukan berarti syariat itu sendiri lemah. Akan rerapi,

masyarakat modern memang lebih membutuhkan aturan-aturan

hukum yang lebih canggih dan lebih rumit dalam detilnya di­

bandingkan kerentuan syariat yang masih menrah. Ketidakmam­

puan menegakkan hukum yang sudah ada tidak dapat kira

persalahkan begiru saja sembari menyelewengkan isinya dengan

tuntutan penerapan hukum syariat. Yangjustru harus kita lakukan

adalah menyelami tujuan pokok atau filosofi hukum syariat dan

157
Kebenar:m yang H,lang

tidak bersikap kaku terhadap doktrin-dokrrin agama. Yang perlu

kita perbuar adalah menghidupkan kembali semangat Umar yang

telah mengajarkan tentang pentingnya menangkap semangat dan

dinamika zaman lewat mekanisme ijtihad dan meninggalkan makna

literal teks agama kalau memang tidak mungkin lagi diterapkan.

Artinya, jika semangat dasar hukum agama untuk mengatasi

kejaharan sudah dapat diberlakukan lewar jalur hukum posirif. maka

kira tidak perlu lagi menolak hukum posirif yang sudah menjadi

kesepakatan bersama itu. Dengan demikian, teks agama akan tetap

terasa hidup dan tidak akan mengalami pembusukan akibat

penafsiran-penafsiran yang kaku dan literal. Inilah rujuan rertinggi

agama Islam dan esensi dari roh Islam yang sesungguhnya.

Untuk membuktikan bahwa penerapan sanksi perzinahan

berdasarkan syariat memang sulit pada zaman modern, kira perlu

membuka kembali berkas-berkas kasus perzinahan dan kesusilaan

yang rersimpan di dalam arsip-arsip pengadilan kita. Semua

tersimpan rapi sejak 50 rahun yang silam. Dan ternyata, tidak ada

saru kasus pun yang memenuhi syarat untuk dikenakan sanksi sesuai

aturan syariat arau fikih yang ada. Aspek pengakuan si pelaku sendiri

tentu tidak kira jadikan acuan. Sebab aspek pengakuan berkait erar

dengan soal jatuh-tidaknya vonis menurut undang-undang yang

berlaku. Lebih dari iru, seandainya hukum rajam masuk dalam

ketentuan sanksi di dalam undang-undang, niscaya tidak akan ada

pelaku zina yang akan mengakui perbuarannya. lni sudah menjadi

aksioma yang tak dapat diragukan lagi. Karena itu, yang menjadi

acuan kita dalam meneliti kasus-kasus perzinahan ini adalah soal

terpenuhinya syarat-syarat persaksian dan diterapkannya sanksi jika

kasus itu sudah divonis

Dan terbukti, dari sekian banyak kasus perzinahan, tidak

ada saru kasus pun yang dapat menghadirkan 4 orang saksi mara.

Apalagi ketenruan fikih menyeburkan bahwa keempat saksi iru

harus benar-benar melihat tindak perzinahan itu "laksana pensil

158
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

celak keluar-masuk wadahnya", arau "seperti tali timba naik-rurun

ke sumurnya" Jika kira terikar secara kaku dengan syarar-syarat

seperti ini, niscaya tidak akan ada satu kasus perzinahan pun yang

dapar diselesaikan pengadilan. Lalu mengapa pula harus bersusah

payah dalam pembuktian dengan syarat yang tidak masuk aka!

itu, jika toh undang-undang positifkita sudah dapar menjatuhkan

vonis atas perbuacan asulisa dengan persyararan lainnya?

Saya tidak akan bersusah payah mengungkap persoalan ini

andai tidak melihat Islam kini berada di persimpangan jalan. Saya

percaya bahwa Islam pasti akan berjalan ke arah yang diridai Allah.

Ia akan menjadi rahmat bagi hamba-hamba-Nya, kemenangan

untuk umat-Nya, dan akan tetap terjaga akidahnya. Islam tidak

akan terpengaruh oleh pandangan orang-orang yang berpikiran

sempit atau akan terpinggirkan oleh kelompok-kelompok kaku

dan jumud di dalamnya. Kita benar-benar berkepentingan untuk

menatap kehidupan dengan Islam, bukan lari dari kenyataan dengan

mengatasnamakan Islam, atau malah menghancurkan kehidupan.

Kenyataan hidup inilah yang harus kita selami tatkala melakukan

penafsiran rerhadap ajaran Islam. Dengan demikian, doktrin­

doktrin Islam tidak akan membacu atau menjadi fosil. Doktrin iru

akan terus relevan dan hidup beriringan dengan kemajuan zaman.

Tampaknya, kira sudah jauh melenceng dari topik pembacaan

baru atas sejarah Islam. Namun, hal itu disengaja, kerena kira

melihat perisriwa-perisciwa sejarah iru masih memiliki keterkaitan

erat dengan fenomena-fenomena sosial-policik dewasa ini. Akan

rerapi, baiklah kira kembali lagi ke pembacaan terhadap sejarah

Abbasiyah. Kita sudah tahu siapa itu Harun al-Rasyid, al-Makmun,

dan al-Mu'tashim. Sejarah ketiga tokoh ini sangat populer di

kalangan umat Islam. Namun bagaimana dengan kisah khalifah

yang satu lagi, yaitu al-Wacsiq?

Al-Watsiq adalah khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah awal.

Saya rerus terang sudah tidak tahan unruk membongkar sejarah

159
Kebenar:m yang H,lang

al-Warsiq. Mungkin para pembaca pun nanrinya ridak akan mudah

melupakan fakra-fakra renrang rokoh kira yang saru ini. AI-Warsiq

sungguh relah membuka babak baru dalam rangkaian episode

sejarah kekhalifahan Islam. la menapaki jalannya sendiri, berbeda

dengan jalur yang dirempuh para khalifah lainnya. la

mengabadikan namanya lewar syair-syairnya. Lebih dari iru, ia

memerinrah selama 6 rahun dengan berpindah-pindah dari

pelukan seorang pria ke pria lainnya.

Agar para pembaca tidak rancu membaca soal ini dan

menganggapnya salah cerak, saya perlu menuliskannya lagi. Ia

memerinrah selama 6 rahun dengan berpindah-pindah dari pelukan

seorang pria ke pria lainnya. la memang punya kecenderungan

seksual yang menyimpang dan mencintai sesama jenisnya. Para

kekasihnya betul-betul relah memikar harinya dengan cinra dan

menjerarnya dengan birahi. Salah seorang kekasih al-Warsiq yang

paling rerkenal adalah pria ram pan asal Mesir. Ia bernama Muhaj.

Konon, Muhaj sangat pandai memainkan perasaan al-Wacsiq.

Karena itu, ia selalu dapar mengendalikan kehendak al-Warsiq sesuai

keinginannya. Konon ada pameo, jika al-Watsiq relah merasa

nyaman bersama Muhaj, maka stabilitas dan keamanan negara akan

tetap terjamin. Namun, bila ia sedang marah acau cemburu-buta,

kerusakan akan rerjadi, dan malaperaka akan menimpa. Dalam

kondisi yang labil itu, al-Warsiq seberulnya sangar mudah unruk

diraklukkan dan dirajuhkan lawan-lawan poliriknya.

Mereka yang senantiasa menuding sikap permisif terhadap

perilaku homoseksual adalah ciri khas Barar, mungkin kini mulai

gundah. Ternyara dalam soal ini, banga Arab-Islam bukanlah

sekadar "pengekor". Kira rupanya juga marnpu menjadi pelopor,

dan ridak diragukan lagi, punya banyak keunggulan dalam perkara

yang sacu ini. Apakah Barar punya pemimpin negara yang secara

vulgar mempertontonkan perilaku seksualnya yang menyimpang

160
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

sebagaimana al-Wacsiq' Apakah di Barat ada sosok pelayan seperti

Muhaj yang mampu menga1ihkan perhatian pemimpin negaranya

dari persoalan negara dan melenakannya dari kehidupan akhirat?

Apakah dalarn sejarah Barar dapar dijumpai pemimpin negara yang

tatkala melihat pria menawan langsung mampu bereaksi dengan

syair-syair cinta secara spontan? Konon, setiap bertemu pandang

dengan Muhaj, al-Watsiq selalu melantunkan syair, misalnya:

Muhaj menguasai jiwa ini

Lewat kerlingan mata yang sungguh menawan

Tubuhnya indah memesona

Amboi manjanya dan penuh gairah

jika mata tertuju padanya

7
I
a tak lagi mampu berpindah'-

Muhaj sendiri amat menyadari kedudukannya yang istimewa

di haci Khalifah. Karena itu, pada suacu hari, Muhaj sengaja bergegas

menjumpai khalifah sejak pagi buca. Khalifah sedang mengadakan

pertemuan dengan para penasihatnya. Muhaj pun berjalan ber­

lenggok-lenggok, mengerlingkan maca dan menebar pesona. Tak

Iupa pula ia membawakan sekuntum mawar dan setangkai bakung

uncuk kekasihnya. Para pembaca mungkin dapat membayangkan

sendiri bagaimana reaksi al-Watsiq terhadap kejutan ini. Mungkin

para pembaca pun maklum jika al-Wacsiq langsung bergairah, lalu

melupakan para penasihat dan rapatnya. Ia pun langsung menggu­

bah syair tanpa melepas rarapan dari Muhaj tercinra:

I
a menghembuskan gairah lewat bakung dan mawaruya

Dengan tubuh semampai begitu indah

Kedua mata telah menyalakan api birabi

27
As-Suyurhi, op. cit., hal. 342.

161
Kebenar:m yang H,lang

Menambahkan hasrat dan rasa cinta

Kuharap kuasa membawaku dekat kepadanya

Tapi ia justru membentangjarak

Terombang-ambing oleh mabuk asmara

Tak hanya ingin berjumpa, tapi juga bertaut

Bila pengorbanan sudah diminta, luluhlah hatinya

Pipinya pun bercucuran air mata

l
a memenjara dengan tatapan mata

Bagi yang tak kunjung menepati janjinya

Seorang mulia mengadukan kezaliman hambanya

Yang mulia itu pun kini menghamba

Subhanallah! Betapa piawai al-Watsiq merangkai kata. Unraian

kalimatnya menyentuh rasa. Ekspresi cintanya terasa mendalam.

Ketika Muhaj meneteskan air mata, al-Watsiq pun tak lagi tahu

jenis apakah air mata itu: cinta, ketulusan, atau buaya. Lagi pula,

apa yang menghalangi Muhaj untuk tidak memilih di antara yang

satunya. Ia pemilik rubuh semampai yang langkahnya mengom­

bang-ambingkan gelora asmara. Itulah yang tidak disadari al­

Watsiq. la ridak mampu membedakan antara madu clan racunnya

cinta. Ia bahkan telah merasa bersikap tidak adil rerhadap keka­

sihnya. Karena iru pulalah ia memohon permakluman dari pujaan

hatinya. Sebab, Muhaj telah terpanah asmara oleh sosok yang

mengingkari janjinya.

Porrer di atas adalah gambaran tatkala mereka senang clan

bahagia. Lalu bagaimana bila ia sedang murka? Allahu akbar! lni

benar-benar pernah terjadi. Pada suatu hari, al-Watsiq lepas kendali

lalu memarahi Muhaj. Keesokan harinya, al-Watsiq kehilangan aka!

sehatnya dan emosinya pun membuncah. Roda pemerintahan dan

administrasi negera berhenti bekerja. Para pegawai negara pun takur

menghadap khalifah yang tengah murka dan Iara. Tak ada ha! baik

yang dapat diharapkan darinya bila ia dalam kondisi seperti ini.

162
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

Namun semua orang tahu, kuncinya ada pada Muhaj. Bebe­

rapa pelayan istana pun berinisiatif mengorek kererangan Muhaj

tentang kemarahan Khalifah. Muhaj pun membuka rahasianya:

"Dia sungguh-sungguh ingin berjumpa denganku sejak kemarin,

terapi aku tidak memenuhi runrutannya." Sungguh sebuah petaka!

Sungguh berat mencari ungkapan yang tepar untuk menggam­

barkan sikap dan kelakuan Muhaj dan, terutama, kemarahan al­

Watsiq kepadanya. Tapi malang tak dapat ditolak, ungkapan Muhaj

iru sampai ke telinga al-Watsiq. Lalu dengan spontan ia menggubah

sebuah syair untuk mengungkapkan kejengkelannya:

Wa.hai sosok yang bersombong atas siksaku

Engkau tak lebih dari budak yang melawan takdir

Ka/au bukan oleh gairah, kita takkan pernah bersua

jika nanti warasku tiba, kau pasti akan menanggung akibatnya

Sebuah keuntungan bagi Muhaj dan begiru besar kerugian

para propagandis negara Islam. Sebab sejak saar itu, kewarasan

al-Watsiq tak pernah riba untuk selamanya. Sementara orang

memang telah mereka-reka umur kekuasaannya dan memasti­

kannya akan tamat di tangan orang-orang sebangsa Muhaj.

Namun, ramalan iru tidak rerbukti, karena al-Watsiq punya wajah

lain yang disimpannya sendiri, untuk tampil di hadapan

rakyatnya. Dengan wajah ini, ia mampu tampil sebagai khalifah

yang setia menjaga kehormatan akidah, dan selalu sedia membela

kebenaran agama. Ia memang tetap meneruskan kebijakan

ayahnya, al-Mu'tashim, menjadikan Muktazilisme sebagai ideologi

resmi negara. Dan ayahnya pun melanjutkan tradisi inkuisisi­

seperti yang pernah dilakukan al-Makmun terhadap Ibnu Hanbal

yang menolak paham kemakhlukan al-Quran.

AI-Watsiq pun mempunyai repurasi inkuisisi sendiri. la dengan

bangga mengisahkan ihwal penangkapannya terhadap Ahmad bin

163
Kebenar:m yang H,lang

Nasr al-Khaza'i, seorang sarjana besar di bidang hadis. Al-Khaza'i

dijemput dari Bagdad lalu dibawa ke Samara dalam keadaan

terbelenggu untuk menghadap al-Watsiq. Khalifah lalu meng­

interogasi pendapacnya tentang al-Quran. Al-Khaza'i kukuh

menyatakan bahwa al-Quran bukanlah makhluk. Dalam soal

kemungkinan ru'yah (melihat Allah di akhirat kelak), ia menga­

cakan bahwa hadis membenarkan kemungkinan icu.

Jawaban al-Khaza'i cidak sesuai dengan ketencuan, clan

membuat murka Khalifah. Khalifah lalu meminta sebilah pedang

sambil berkata: "Jika aku berdiri, jangan ada seorang pun ikut

bergerak. Aku ingin menghitung langkahku menuju si kafir yang

telah menyembah Tuhan yang bukan Tuhan kita: Tuhan yang

cidak kica kenal dengan sifac-sifac yang diucarakannya." Ia pun

menggelar permadani kulic dan memerincahkan al-Khaza'i ber­

simpuh di acasnya dalam kondisi terikac. Ia berjalan menuju al­

Khaza'i, lalu memancung kepalanya. Kemudian ia menicahkan

agar kepala iru dibawa ke Bagdad clan diganrung di sana. Semen­

tara jasadnya yang tanpa kepala digantung di Samara. Kepala

clan jasad icu tergantung selama 6 cahun, sampai al-Mucawakkil

campil sebagai Khalifah. Dialah yang kemudian menurunkan

kepala clan jasad itu, lalu menguburkannya secara layak.

Ketika menggantung kepala al-Khazai, al-Watsiq tak lupa

menuliskan maklumat di atas secarik kerras. Kertas yang ia gan­

tungkan di telinga al-Khaza'i itu berbunyi: "Inilah kepala Ahmad

bin Nasr bin Malik. Orang ini relah dibujuk Abdullah, Imam

Harun, untuk menyatakan kemakhlukan al-Quran dan menyang­

kal pembandingan antara Tuhan dengan makhluk (antropo­

morfisme). Tapi si kafir ini menampik clan melawan perinrah itu.

28
Allah pun cak segan mengirimkannya ke neraka."

28
Ibid, ha!. 3 4 1 .

164
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

Kira perlu sama-sama merenungkan perbedaan mencolok

antara jalan hidup Muhaj dengan al-Khaza'i. Lalu perlu pula kica

bandingkan antara al-Wacsiq dengan para polirisi zaman kini.

Dengan amat mud.ah kira segera dapat melihac bahwa politisi zaman

kini, sebagaimana al-Wacsiq, juga selalu punya dua wajah yang

tidak idencik sama sekali antara yang sacu dengan lainnya. Kita

bisa menyaksikan para politisi masa kini menghabiskan malam di

kaf
e clan pub, dengan gelas clan bocol minuman. Begicu pagi men­

jelang, mereka cak segan menggelar jumpa media dan pertemuan

policik uncuk mengampanyekan penerapan syariac. Jika dicanya

alasannya, mereka hanya rersenyum seraya menuding anda buca

akan poli cik clan cidak peka akan media mass a. Mereka menyim pan

di dalam hati mereka suatu penilaian terhadapmu: dan anda cidak

berpengalaman tentang bagaimana bersikap di depan massa.

Mereka menganjurkan anda untuk melakukan kebohongan publik.

Karena itu, walau al-Wacsiq dikenal parah dalam penyim­

pangan seksualnya, ia sebenarnya cidak sendiri. Kita telah me­

maparkan sekelumit potret penyimpangan seksual yang juga

dilakukan al-Walid bin Yazid. Dan kica belum lagi beranjak uncuk

membahas al-Amin, putera Harun al-Rasyid yang celah membeli

para pria yang-maaf-celah dikebiri. la berbuac abnormal

terhadap mereka-mereka yang dijadikannya teman seranjang. Al­

Amin pun bersikap dingin terhadap para istri dan gundik­

gundiknya.29 Namun, bila al-Wacsiq cerpikat pada Muhaj, maka

al-Amin bertambac haci kepada Kaucsar. Beberapa pujangga masa

icu menggambarkan asmaranya sedemikian:

Khilafoh hancur oleh muslihat para menteri

Kebobrokan para gubernur, kedunguan para penasihat

Perilaku seks khalifoh sungguh menakjubkan

29
Ibid, ha!. 3 0 1 .

165
Kebenar:m yang H,lang

Tapi kinerja buruk para menteri lebih mengherankan

Yang ini diinjak, yang itu disikut

Demikianlah adanya, segalanya serba palsu

Ketika al-Makmun saling baku hantam dengan al-Amin,

Kautsar-si pelayan Khalifah-ikut pula menyaksikan per­

kelahian itu. Sialnya, ia rerkena lontaran batu. Al-Amin segera

mengusap Iuka di wajah kekasihnya sembari mengucap syair:

Mereka lukai pujaan hatiku

Karena aku, ia tersiksa

Allah mengambil belahan hatiku

Karena orang lain mencelakakannya

Al-Amin tak sanggup lagi meneruskan perkataan. la lalu

memanggil Abdullah bin Taym, seorang penyair profesional

sambil bertitah: "Katakan sesuatu untukku!" Sang penyair pun

dengan sigap mengungkapkan syairnya:

Aku sama dengan yang kudamba

Dunia merintih karena nasibnya

Bersamanya hidup terasa indah

Berpisah terasa pahit dan hina

Dengki datang saat yang lain berkelebihan

Seperti kedengkian yang berkuasa terhadap adiknya

Al-Amin pun lalu memberikan Abdullah at-Taym 3 keledai

angkut yang memikul dirham.f Begitulah al-Amin. Ia mampu

berpaling dari urusan perang clan pereburan kekuasan hanya

karena cidera yang dialami kekasihnya, Kautsar. Berapa tidak:

30
Ibid, hal, 302.

166
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

bersamanya hidup rerasa indah, berjauhan rerasa pahir dan hina,

berpisah amar memilukan. Dalam sebuah puisinya yang lain, al­

Amin pun sempar menggambarkan sosok Kaursar:

Betapa banyak pengharapan manusia dari kekasihnya

Kautsar telah jadi agamaku, duniaku, laraku, pelipurku

Yang paling tak kuasa dilakukan manusia

Kekasih mencela terkasihnya

Wahai pemimpin umat Islam, alangkah indah dan menak­

jubkan syair-syair anda. Kami akan menghargainya, andai iru tidak

terkair erar dengan perilakumu yang menyimpang dan tercela oleh

budaya, apalagi agama. Kami akan abadi mengenangnya, andai

itu tidak terkait dengan posisimu sebagai khalifah negara. Kebiasaan

seksualmu tak sanggup lagi kami ungkapkan dengan puisi.

Akan rerapi, tampaknya al-Amin masih juga disayang Tuhan.

Sebab, buku-buku sejasah tidak mencatat adanya fatwa para fuqaha

yang menghalalkan jiwa dan mengharamkan perilakunya. Hanya

ada beberapa orang cendekiawan yang berani mengutarakan

pandangannya rentang perilaku bejat al-Amin, lewac syair-syair.

Icu pun terjadi serelah kematiannya. Mereka berani melakukan itu

setelah mendapat kepastian rentang gaya hidup al-Makmun yang

jauh berbeda dari saudasanya, al-Amin. Al-Makmun pun cenderung

lebih memperhatikan jalannya pemerintahan dan pembangunan

negara ketimbang bersukaria dengan pesta-fora, minuman keras,

dan hasrat terhadap sesama jenis.

Tak kami tangisi pergimu? Untuk apa?

Apa untuk nyanyian dan kesenangan, wahai Abu Musa

Atau salat lima waktu yang sudah ditinggalkan

Demi mereguk air anggur

Untuk Syunaif, aku tak mencucurkan air mata

167
Kebenar:m yang H,lang

Bagi Kautsar, aku tak mencemaskan binasanya

Engkau (Abu Musa) tak kunjung mampu mengurus kerajaan

31
Lalu untuk apa Arab menyerahkan taatnya

Para cendikiawan pun menyadari bahwa al-Amin cak panras

memimpin secelah ia wafar. Bahkan, mereka menyacakan bahwa

al-Amin cidak pancas mendapat ketaatan Arab. Ungkapan ini

berbeda dengan apa yang relah mereka jalani selama ini. Mereka

pun menyebut al-Amin tidak lagi memerhacikan salar lima waktu

dan larur dalam alunan musik dan segarnya minuman. Fenomena

ini sungguh tidak mengherankan bagi kita. Sampai saat ini pun

cidak ada orang Arab yang berani mengoreksi dan membongkar

borok penguasanya kecuali setelah ia berlalu. Tapi barangkali para

pembaca sepakat mengatakan bahwa para penguasa kira saat ini

sebetulnya jauh lebih pemurah. Di anrara jajaran penasihac

mereka, tidak terdapat orang-orang seperti Kaursar, Syunaif,

Muhaj, acau Washif. Pernyaraan-pernyaraan mereka pun cidak

mengandung ungkapan tenrang hubungan sesama jenis atau

imajinasi soal perempuan penghibur. Hubungan mereka dengan

para menteri pun ridak seperti hubungan para khalifah Abbasiyah

dengan penasihar dan para pembantunya.

Saya mohon maaf unruk ungkapan-ungkapan yang pedas

ini. Akan rerapi, hal ini memang penting diungkap karena

imajinasi ten rang sisrem khilafah masih terus mengendap dalam

culang sumsum kica. Karena itu, kita masih perlu menambahkan

info lainnya. Yairu: al-Watsiq bukanlah pelopor dalam hal pe­

yimpangan seksual. Ia pun mungkin hanya mengikuti arus besar

zamannya. Abu al-Hayyan ar-Tauhidi memberirahu kica, bahwa

pada masa iru terdapar 95 orang pemuda cam pan yang berprofesi

sebagai lelaki penggilan di lrak. Salah satunya adalah pemuda

31
Ibid, ha!. 30 I

168
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

rampan dari Mosul yang berprofesi sebagai penyanyi. "Pemuda ini

mengisi dunia dengan kebejaran dan perbuaran amoral. Kepada

seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kelasnya, yang muda clan

yang rua, ia rak segan menggoda dengan tampangnya yang rupawan.

Tucur katanya melenakan. Lirikan macanya menggemaskan.

Tubuhnya indah, lidahnya manis, jemarinya lentik. Ia pandai

mempermainkan hati dan perasaan. Jalan yang ia tunjukkan adalah

kesesatan, dan dirinya sendiri adalah malapetaka."

Ac-Tauhidi juga mencatat riwayat dari Ulwan ten tang seorang

pemuda yang menjadi pelayan Ibnu Arsy. Ia menuturkan, tidak

ada seorang pun yang mampu menahan diri bila pemuda itu

datang, membuka sarungnya, melepas kancing-kancing bajunya,

lalu merayu semua orang: "Tawarlah aku clan bukalah diri kalian.

Aku adalah anak kalian, bahkan hamba yang siap mengabdi dan

melayanimu dengan penuh setia" Semua orang akan berkeringat,

bergetar hacinya, bergelora hasratnya, berdebar jantungnya, dan

terbakar jiwanya . . . mereka pun amat pandai dalam memberi

berbagai julukan unruk para pemuda penghibur iru. Antara lain,

Fatin (yang memesona), Raiq (yang rupawan), Nasim (si angin

semilir), Washif(si pelayan), Rayhan (selasih), JamTlah (pria


32
tam pan), dan Busyr!i (kabar sukacita).

Saya pikir apa yang sudah diutarakan di atas tidak perlu

diperpanjang lagi arau juscru akan mengundang hujatan. Kalau

kami tidak menyebutkn sumbernya, mungkin akan lebih banyak

lagi pihak yang ridak percaya. lidak ada daya dan upaya bagi saya

kecuali dari Allah jua. Narnun, ada baiknya bila di sini dipaparkan

pula bahwa al-Amin clan khalifah-khalifah lainnya bisa jadi juga

merasa mendapat pembenaran atas segala cindak canduk mereka

31
Ahmad Amin, Dzuhrul Islam. Beirut: Darul Ku tub al-Arabi, tt. Vol. I,

hal. 132. Ahmad Amin rnengutip ha! ini dari kirab al-Imts' wa/ Mu!inasah

karya Abu al-Hayyan ar-Tauhidi.

169
Kebenar:m yang H,lang

dari para fuqaha zaman iru. Sebab kebanyakan mereka memosisikan

khalifah sebagai sosok-sosok yang dipilih Allah untuk menjadi

wakil-Nya di muka bumi. Mereka juga ikur menyebarkan pema­

harnan bahwa Allah tel ah menciptakan cahaya yang akan menerangi

segenap persoalan agarna yang masih sarnar bagi mereka. Jadi yang

menjadi pembimbing langsung para khalifah itu adalah Allah.

Khalifah-khalifah yang memperolah petunjuk Allah, dan

mendapat bimbingan ke jalan yang lurus itu, rentu akan sangat

sulit dikritisi dan dibongkar aspek-aspek negatif dari perilakunya.

Pemaharnan-pemahaman yang dikembangkan seperti irulah yang

secara tidak langsung melegitmasi tindakan khalifah meski

bertenrangan dengan nilai-nilai agama. Berkat tradisi seperti itu,

kesemena-menaan berubah menjadi kebiasaan pengusa, otcrita­

rianisme dijalankan atas nama agama. Mudah-mudahan dengan

ini kita rersadar bahwa agama sangat suci untuk sekadar dijadikan

ideologi. Agama tidak perlu dipolirisasi, rerapi hanya perlu dijadikan

pegangan moral dalarn kehidupan bernegara dan berpolitik.

Serelah membahas al-Watsiq, kira tidak akan melangkah jauh

menuju pembahasan tentang sejarah Abbasiyah selanjutnya.

Episode iru tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Lagi pula

sejarah khalifah-khalifah Abbasiyah selanjutnya adalah sejarah

tenrang para khalifah yang tidak berpendirian dan tak mampu

berpandangan jauh ke depan. Mereka tidak mempunyai apa-apa

untuk diteladani.

Mungkin ada yang berprasangka bahwa usaha mencari fakta

kebenaran sejarah dari rujukan-rujukan induk ini hanyalah sebentuk

cara saya mencari-cari kesalahan orang lain dan memancing di air

keruh. lni bukanlah rujuan, apalagi warak dasar saya. Yang ingin

kami lakukan tak lebih dari upaya mengungkap fakta-fakta yang

tersembunyi di sejarah agar kita melek sejarah dan tidak terbius

oleh roman tis me sejarah. Mudah-mudahan fakta-fakra yang sudah

kira paparkan itu ikur membuka mata kira bahwa sistem khilafuh

170
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

yang diagung-agunakan oleh para pemujanya iru rak lebih dari

sistem monarki absoluc yang cidak pantas dicangisi kepergiannya.

Dari paparan kica yang panjang ten tang masa Abbasiyah ini,

kira dapar menyimpulkan beberapa hal.

Kesimpulan Pertama

Sisrem khilafah yang kira semarkan padanya kara "Islamiyyah",

pada hakikarnya rak lebih dari sisrem kekuasaan monarki absolur

Arab-Quraisy. Ia ridak menampilkan apa-apa dari Islam kecuali

namanya. Dan seruan uncuk menghidupkannya lagi, sebenarnya

lebih pas diserarakan dengan ambisi nasionalisme Arab uncuk

mempersacukan beberapa wilayah Arab, daripada ambisi uncuk

menegakkan negara teokracis ala Islam. Jika dasarnya itu, kica

dapat menerimanya sebagai seruan policik an sich. Jika agendanya

mengajak persacuan, dasarnya mescilah kepentingan semua. Dan

bila ajakannya berupa kampanye unruk saling melengkapi, maka

pijakannya haruslah prinsip-prinsip peradaban yang rasional. Dan

bila ia tetap ingin mengambil inspirasi dari masa lalu, hendaklah

icu dilakukan lewac analisis yang cermac cerhadap geografi sejarah.

Kesimpulan Kedua

Islam adalah agama-non-negara. Orang-orang yang cidak sepen­

dapar dengan premis ini hendaklah menunjukkan bukti-bukti

sebaliknya dari argumen sejarah. Bagi kira tidak ada argumen

yang lebih relak daripada sejarah. Jika mereka masih bersikeras

memperjuangkan Islam sebagai negara, hendaklah mereka mema­

parkan cara-cara menegakkan negara-agama itu. Sebab bagi kita,

ridak ada gagasan yang lebih rancu dibandingkan kampanye

171
Kebenar:m yang H,lang

"Islam adalah agama dan negara, mushaf dan pedang". Kita juga

berpendapat bahwa negara selalu menjadi beban bagi Islam,

bahkan mengebiri, dan bukan justru menjadi nilai tam bah bagi

Islam. Kita tidak perlu menjelaskan preposisi ini lagi serelah

paparan kira yang panjang-lebar sebelumnya.

Kesimpulan Ketiga

Selalu ada perbedaan yang esensial antara manusia dengan hewan.

Yang pertama selalu belajar dari pengalaman-pengalamannya. Aku­

mulasi dari pengalamannya itulah yang lalu dihimpun di dalam suatu

wadah yang disebut sebagai "wawasan" (al-tsaqafoh). Para penyeru

khilafuh benar-benar berburuk sangka kepada kita dan menganggap

kita tidak mengetahui pelajaran sejarah. Iru tampak jelas, terutama

tatkala mereka menyatakan bahwa "kira perlu mencoba lagi apa yang

pernah kita coba dulunya!". Seakan-akan, pengalaman selama 13

abad tidak juga kunjung memadai bagi mereka. Mereka seakan-akan

memaksa kira untuk tidak lagi "berjalan di atas dua kaki" dan

33
memaksa kira untuk "berjalan di aras empat kaki"

Kesimpulan Keempat

Ketika kira teliri dalam membaca sejarah Islam, kira segera akan

menyadari kenyataan bahwa kehidupan masyarakat kira dewasa

ini jauh lebih maju daripada sebelumnya dengan ukuran apapun,

bahkan pun iru dalam srandar moralitas. Masyarakat kira dewasa

33
lni adalah metafor Arab untuk membedakan anrara manusia dengan

hewan. Manusia diandaikan berjalan di atas dua kaki, sementara hewan berjalan

di aras em pat kaki. Ten tu rak semua hewan berjalan di aras empat kaki. Namun,

sebagai metafor, ini sudah sangat populer di kalangan Arab--penerjemah.

177
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

ini jauh lebih maju dan lebih humanis rerutama dalam aspek

hubungan ancara pemimpin dengan rakyacnya. Dan uncuk soal

itu, kira rerlah berhutang banyak kepada pencapaian peradaban

kemanusiaan yang cidak pernah bertentangan dengan esensi agama.

Kita juga telah berhutang banyak kepada kemajuan hak-hak asasi

manusia yang juga tidak berlawanan dengan hak-hak Islam.

Kesimpulan Kelima

Sejarah selalu mengulang dirinya; seakan-akan ridak ada hal baru

di dalam sejarah. Sungguh pun demikian, kira terkadang tidak juga

kunjung mampu menangkap pesan-pesan urarnanya. Tak jarang,

kira masih saja lebih memfokuskan diri pada aspek-aspek yang

paling remeh dari sejarah, terutama kecika menelaahnya dari sudut

pandang agama. Padahal, untuk marnpu menelaah dan memetik

pelajaran dari sejarah, kira seharusnya berupaya menjauhkan diri

dari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat kaum ekstremis.

Terucama tatkala mereka mengajak kica menggunakan metode

'focokopi' sejarah. Karena itu, saya mengajak pembaca untuk mener­

jemahkan perisciwa-perisciwa sejarah icu ke dalam ungkapan clan

gaya modern agar kica dapat memecik pelajarannya.

Uncuk memperjelas tesis tentang sejarah yang berulang, cidak

mengapa jika saya mengajak para pembaca unruk merenungkan

apa yang diculiskan Ibnu al-Arsir tentang "Petaka Penganuc

Hanbalisme di Bagdad". Ibnu al-Atsir mengisahkan: "Kala iru­

maksudnya pada rahun 323 H arau pada masa Khalifah al-Radli­

tingkah laku para pengikuc Hanbalisme menjadi isu besar.

Kekuacan sosial mereka bercambah. Mereka gemar melakukan

sweeping clan pembersihan ke rumah-rumah para elit maupun

rakyat jelaca. Jika mereka menemukan bocol anggur, mereka akan

menghancurkannya. Tackala menemukan para penyanyi, mereka

173
Kebenar:m yang H,lang

segera memukul dan menghancurkan alac musik mereka. Mereka

juga cidak lupa mengawasi akcivicas jual beli dan memancau gerak­

gerik pria dan menggandeng perempuan. Gerak-gerik anak muda

di jalanan pun tak lepas dari pantauan mereka. Kalau mereka

melihat ada sesuaru yang janggal, mereka akan segera bertanya

pen uh curiga: siapa dia? Mereka selalu memaksa unruk rahu. Jika

tidak diberi tahu, mereka akan menggiringnya ke kantor poli si.

Di sana mereka akan melaporkan cuduhan-tuduhan yang bukan­

bukan tentang orang yang mereka cangkap. Kasus ini berul-berul

34
menggemparkan seanrero Bagdad. "

Kini ciba saacnya bagi saya untuk berranya kepada para

pembaca. Bagaimana seandainya kalau kira ganti pemandangan

Bagdad dengan Ashyut (salah satu provinsi di Mesir), penganut

Hanbalisme dengan Jama'ah Islamiyyah, dan tahun 323 H dengan

1986 M? Kasus ini memang perlu direnungkan ulang. Memang

perisciwa iru sudah lama terjadi, terutama tatkala kewibawaan

negara sedang goncang dan pemerintah ridak mampu lagi me­

mungsikan aparatur-aparaturnya. Dan pada masa iru, yang menjadi

andalan kekuasaan rak lain adalah keperkasaan dan ketajaman

pedang. Semenrara pada masa ini, yang seharusnya bicara adalah

konstirusi, undang-undang, clan iklim demokrasi yang seutuhnya.

lnstrumen-instrumen ini sebetulnya tidak mengandung cela kecuali

karena kenyataan bahwa ia lebih banyak tidak dijalankan.

Kesimpulan Keenam

Sesungguhnya pertumbuhan Jamaah Islamiyyah dan aliran-aliran

politik keagamaan yang ekstrem telah begitu banyak memenga-

3-( Ibnu al-Atsir, al-Kami/fr al-Tarikh, Beirut: Darul Ki tab al-Arabi. Vol.

VI, ha!. 248.

174
rembaG1.an Baru terhadap SeJarah Abb:,.siyah

ruhi sektor pendidikan, pengajaran, dan sarana informasi masya­

rakat kita. Itu berakibat pada bergantinya kegiatan olah-pikir (al­

tajkrr) menjadi pengarahan (al-taujrh), menyempitnya orientasi

dan paradigma pendidikan, serta maraknya upaya memperla­

kukan suaru versi kebenaran sebagai kebenaran yang utuh.

Apa-apa yang kita paparkan di dalam buku ini sesungguhnya

tidak lebih dari upaya unruk melengkapi fakta-fakta tentang

kebenaran sejarah. Tujuannya tak lain mengajak untuk melakukan

perenungan. Seruan ini renru saja agak bertentangan dengan

prinsip-prinsip yang dipegang oleh media massa populis: tidak

memaparkan fakta kecuali yang menyenangkan, tidak menam­

pilkan ide kecuali sepihak dan sepotong-sepotong, dan tidak

mengarahkan langkah masyarakat kecuali ke satu rujuan. Peranan

terpenting media yang berpegang pada prinsip-prinsip seperri ini

pada akhirnya adalah mempersiapkan mental kira untuk mene­

rima ekstremisme dengan lapang dada, clan menurup akal pikiran

kita dari kebiasaan dialog terbuka

Kesimpulan Ketujuh

Islam sesungguhnya sedang berada di persimpangan jalan. Satu

jalan sedang mengarahkan kira kepada disharmoni dan konflik

berdarah akibar kelalaian clan sempitnya wawasan kira. Dan di

atas segalanya, ini adalah akibat dari tidak munculnya upaya­

upaya pencerahan. Semenrara jalan lainnya mempertemukan

Islam dengan dunia modern. Jalan ini sesungguhnya sangat ramah,

clan rute satu-sarunya adalah upaya-upaya pencerahan, menying­

kap terobosan-terobosan baru, clan memperluas cakrawala

pemikiran.

Saya tidak ragu lagi mengatakan bahwa jalan kedua inilah

jalan kita yang akan membawa kepada kebahagiaan. Sebab, Allah

175
Kebenar:m yang H,lang

senantiasa mengasihi hamba-Nya dan setia menjaga agamanya.

Akan terapi, yang rnembuat saya kuatir ialah kita terlalu lama

berada dalam penantian, sehinga cerdik-cendekia menarik diri,

dan mereka yang kompeten melarikan diri. Dengan begiru, para

demagoglah yang justru akan menghela roda sejarah ke arah

sebaliknya Tapi mungkin iru hanya berlangsung sekejap, karena

masyarakat rahu bahwa mereka sendirilah yang nantinya akan

terkena getahnya dan menjadi pembayar ongkos mahalnya.

Kesimpulan Kedelapan

Oetil-detil peristiwa dan kejadian yang kira paparkan sesungguh­

nya tidaklah terlalu penting. Yang lebih penting kita kembangkan

adalah sebuah metode berpikir yang memungkinkan akal pikiran

bekerja, menganalisis, lalu mengambil kesimpulan. Yang tidak

kalah penting adalah mengembangkan keberanian untuk meng­

ungkap fakta-fakta sejarah secara proporsional. Unruk soal ini,

saya tidak sedang berobsesi untuk menjadi pelopor. Semua yang

kita lakukan ini rak lebih karena dorongan rasa cinta kepada agama

kita, keseriaan kepada bangsa, dan pengharapan besar akan masa

depan.***

176
BabV

Penutup: Lalu Apa?

ara pembaca tidak perlu risau jika merasa cerguncang


1

t---'''' ketika membaca buku ini. Terguncang demi mencapai

kebenaran adalah mulia. Terguncang dengan fakca-fakca

jauh lebih baik daripada berbangga dengan kepalsuan. Namun

penyebab ucama keterguncangan itu - seperti sudah kira sebutkan

di awal pembicaraan buku ini -karena jiwa kira memang lebih

nyaman membaca apa yang kira sukai. Mendengar apa yang hanya

ingin didengarkan - cerlepas dari aspek kebenaran dan fakca

yang didengarkan - juga menjadi bagian dari warak manusia.

Karena mengklaim suatu kebenaran, di sini saya berkewajiban

unruk menegaskan aspek kebenaran iru : Islam-negara acau Islam

yang menegara (Islam al-dawlah), selalu merupakan reduksi

terhadap Islam-agama (Islam al-drn), bahkan menjadi beban

baginya. Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah, adalah

agama dan akidah, bukan hukum-hukum dan pedang.

Sementara unruk aspek fakra: manusia retaplah manusia dalam

seciap masa; baik pada masa al-Khulafa' al-Rasyidun, Umayyah,

Abbasiyah, maupun pada zaman modern ini. Karena iru mem­

perbincangkan imajinasi rentang "firdaus dunia" adalah omong

kosong yang tak berguna, kesia-siaan yang tidak membawa

manfaat, dan kebohongan yang cidak berpengharapan.

ITT
Kebenar:m yang H,lang

Para pembaca mungkin sudah menangkap kesan bahwa

perbicangan tenrang sejarah dalam buku ini jusrru diarahkan ke

masa kini clan diproyeksikan untuk masa depan. Oalam orientasi

dan proyeksi iru, saya sering kali harus menahan diri rarkala

berhadapan dengan fakta-fakta yang memilukan atau kejadian­

kejadian yang menyesakkan. Saya tidak tahu apakah para pembaca

akan percaya kalau saya mengaku relah benar-benar menahan diri

untuk tidak terlalu menyelami beberapa detail persoalan. Itu saya

lakukan untuk menghindarkan diri dari ungkapan-ungkapan yang

tercela atau berlebihan-lebihan dalam mengumbar kebobrokan.

Saya berharap apa yang saya kerjakan ini berhasil membu­

mikan fanrasi-fanrasi sejarah kira ke dalam dunia nyara agar kita

tidak selalu berada di alam mimpi. Namun itu sungguh berat,

karena yang kira dapar justru kenyataan pahit, tidak melegakan,

bahkan tak jarang memilukan. Saya pun tidak mengklaim selalu

benar dan ridak mungkin berbuar kekeliruan dalam pemaparan

fakta sejarah. Yang pasri, saya tidak ingin terjebak dalam kekeliruan

banyak orang dalam menilai sejarah Islam. Terlalu banyak orang

yang tidak memedulikan masa hampir seribu rahun kekuasaan

Umayyah plus Abbasiyah lalu memfokuskan diri pada masa dua

tahun, tidak lebih dari masa pemerintahan Khalifah Umar bin

Abdul Aziz misalnya.

Untuk menunjukkan keunggulan sisrem khilafah, mereka

terkadang juga sengaja menonjol-nonjolkan fase al-Khulafa' al­

Rasyidun sebagai conroh ideal sisrem khilafah. Mereka ini relah

membolak-balik fakta sejarah dan mengelabui generasi muda

untuk menghancurkan tatanan sosial kemasyarakatannya. Oengan

itu mereka berpikir akan dapat membalik jarum jam sejarah dan

membangun sisrem sosial-polirik berdasarkan imanjinasi ten tang

khilafah. Padahal, jika kita betul-berul merenungkan potret masa

itu saja secara uruh, kira rentu akan lebih berbesar hari clan ber­

syukur dengan pencapaian-pencapaian masyarakar modern.

178
Penutup: l:,.]u Apa?

Apa yang kita tuliskan ini bukanlah sebentuk celaan terhadap

individu-individu. AI-Khulafa' al-Rasyidun - nauzubillah!

Martabat meraka sudah amat cinggi sebagai para sahabat Rasulul­

lah clan sebagai agamawan-agamawan agung. Namun kica memang

sedang menilik mereka dari sudut pandang berbeda yaicu sudut

policik. Karena icu srandar penilaian kira didasarkan pada aspek

kekuasaan. Dan dari sudur panclang dan cakaran ini, mereka dapar

ditempatkan sebagai manusia sebagaimana kira, dan sangat

mungkin untuk clikricik. Dari sudur panclang ini pula mereka

dapat melakukan kekeliruan-kekeliruan.

Unruk membuktikan premis ini cukuplah bagi para pembaca

uncuk merenungkannya bersama. Kira tersentak karena masa

kekuasaan al-Khulafa' al-Rasyidun hanya berlangsung selama 30

cahun. Selama masa icu, empat orang khalifah datang silih ber­

ganti. Dan yang sangat menyentak, tiga di antara mereka wafar

karena terbunuh oleh tajamnya pedang arau runcingnya rombak.

Yang terbunuh oleh bocah Majusi (Umar bin Khattab) sungguh

sangat menyencak. Yang terbunuh di tangan rakyatnya (Usman

bin Affan) jauh lebih menyentak dan mengagetkan. Dan yang

terakhir (Ali bin Abi Thalib) wafat oleh tangan Muslim ekstremis

dan ini juga sangat memilukan.

Yang juga perlu diperhatikan khalifah keempat (Ali) mengha­

biskan hampir seluruh masa kekuasaannya untuk memanrapkan

kekuasaan dan mengukuhkan kepemimpinannya tanpa hasil apa­

apa. Kisahnya berujung tatkala ia rerkepung di Kufah sambil

bemohon agar Allah mengganti rakyatnya dengan rakyat lainnya

dan menghadirkan unruk mereka pemimpin yang jauh lebih buruk

darinya. Dan kira lebih tertohok lagi tatkala mencermati kenyataan

ini: sekalipun masa kekuasaan Ali itu begitu pendek, tetapi ia mening­

galkan banyak kisah rentang peperangan saudara yang luar biasa.

Bahkan kalau kira hendak jujur, fase al-Khulafa' al-Rasyidun

sendiri juga bermula dari kisah perang saudara clan berakhir

179
Kebenar:m yang H,lang

dengan serenteran perang saudara. Fase ini dibuka oleh perang

terhadap mereka yang dianggap murtad pada masa Abu Bakar,

dan berakhir dengan serencecan perang saudara selama lima cahun

era penutupnya. Dimulai dari Perang Unta anrara para pemuka

sahabat Rasulullah sendiri, lalu Perang Shiffin antara pengikut

Ali melawan Muawiyah, lalu serentetan perang lainnya antara

Ali dan kaum ekstremis Khawarij.

Kita juga dapat mengatakan bahwa fase Khulafu al-Rasyidin

bermula dari sambutan hangar terhadap agama, baik dari khalifah

maupun rakyatnya, dan berakhir dengan penerimaan agama (hanya)

oleh khalifah dan penolakannya oleh rakyat. lni sekalan dengan

semakin terbukanya mereka terhadap godaan dunia. Argumen kira

untuk soal ini adalah jumlah kekayaan para sahabat yang makin

bertambah, dan semakin berbondong-bondongnya orang

mengerumuni Muawiyah dan semakin ramainya orang-orang yang

berpaling dari Ali. Analoginya, tatkala rakyat dihadapkan pada

hidangan nan lezar dari perjamuan Muawiyah dan kebenaran yang

terang dari lisan Ali, maka yang dipilih adalah hidangan lezat

Muawiyah dan pengabaian yang terang-terangan terhadap kebenaran.

Islam-agama cidak begiru, dan ridaksemestinya begiru. Akan

tetapi, begitulah Islam sebagai negara dan ia beranjak seperti itu.

Posisinya sama seperti posisi negara-negara agama di sepanjang

sejarah umat manusia. Dan janganlah anda terpedaya dengan

awal kisahnya, karena yang akan dikenang mestilah ujungnya.

Dan ujungnya iru akan selalu pahit. Anehnya, kira dianjurkan

unruk cidak memetik pelajaran dan pengalaman darinya. Dan

orang-orang yang tidak paham akan sejarah iru cidak bosan­

bosannya mengajak kita untuk kembali kepada sistem khilafah

dan negara agama. lntinya, kira diminta uncuk membaca sejarah

sembari mengulang-ulangi kekeliruannya.

Kalau di tangan para al-Khulafa' al-Rasyidun saja terjadi ke­

keliruan-keleliruan dalam penerapan negara agama, bagaimana

I SO
Penutup: l:,.]u Apa?

mungkin nasib kira diserahkan kepada orang-orang masa kini yang

setahu kira telah melahirkan barisan ekstremis yang tidak menim­

bulkan rasa aman di lingkungan masyarakat karena aksi pembu­

nuhan-pembunuhan politik yang dilakukan oleh agen-agennya'

Darah orang yang tidak bersalah pun sudah ikut tercurah di tangan

para mujahid yang serainpangan ini. Dalam pemilu asosiasi pelajar

terakhir, mereka pun tidak segan meneriakkan slogan yang sesuai

dengan pola pikir mereka: "Tegakkan Anarkisme!" Mereka tidak

dapat membedakan antara agama dan aksi kriminal, dan tidak

menggunakan Islam kecuali untuk aksi kekerasan dan kurukan.

Mereka tidak memandang Islam dari berbagai aspeknya yang lapang

dada, tercerahkan, dan toleran, sebagaimana kira.

Dari pembacaaan terhadap bebarapa bagian buku ini, para

pembaca bisa jadi mengira bahwa saya sedang memprovokasi

negara untuk berhadap-hadapan langsung dengan kalangan

eksrremis itu, sambil berharap saya membenarkan perkiraan itu.

Tidak! Yang sesungguhnya saya inginkan bukanlah menindak

langung ekstremisme dalam pemikiran. Tetapi. yang saya inginkan

adalah menghadapi kekerasan dengan ciuman, pedang dengan

pelukan, born dengan ungkapan-ungkapan yang menyejukkan.

Saya berharap setiap orang yang menolak ekstremisme belajar dari

negara-negara yang lebih maju dan matang dalam menjalankan

demokrasi Oengan itu, mereka akan tahu bagaimana pengalaman

Irlandia menghadapi kekerasan, Italia menghadapi terorisme

Brigade Merah, dan bagaimana Jerman menghadapi terorisme

gerilyawan Baader Meinhof.

lntinya, bagaimana mungkin kira bisa mengabaikan aspek

analisis terhadap motif-motif mereka atau jusrru begiru saja

menjustifikasi tindakan-tindakan mereka, sembari bersikukuh

dengan sikap yang kita anggap benar: mereka adalah musuh­

musuh negara? Padahal, jika kita sedikit saja lebih menyelami

motif-motif mereka, kita akan segera tahu bahwa yang sedang

181
Kebenar:m yang H,lang

mereka sasar sesungguhnya bukanlah negara an sich. Mereka

sedang berupaya meruntuhkan seluruh sistem sosial-politik yang

sudah merupakan bagian dari hidup kira. Yang mereka usik adalah

stabilitas yang ingin kira ciptakan dan tetap jaga, serta konstitusi

yang kira junjung tinggi clan hormati.

Karena itu, seandainya para penyeru jihad itu masih tetap

mau mendengarkan kata-kata, saya akan selalu bersedia berdialog

dengan mereka. Kalau mereka masih tergolong orang-orang yang

dapar menerima perbedaan pandangan, saya menyarankan

dilakukan debar yang santun dengan mereka. Dan bila mereka

hanya kalangan yang apatis, saya menyeru agar mereka diyakinkan

dengan argumen kinerja. Akan rerapi, tampaknya mereka tidak

hanya sebatas apatis, melainkan juga sangat gemar mengafirkan

orang. Mereka ridak hanya ahli berkara-kara, rerapi juga ahli

mencabur nyawa. Mereka bukan lagi dapar diajak berpikir, terapi

menghalalkan darah ranpa kuarir.

Karena itu, kita tidak mempunyai jalan lain kecuali me­

nuntaskan jalannya demokrasi sehingga mereka tidak merasa

dikekang lagi. Propaganda-propaganda mereka mau ridak mau

harus diladeni dengan aka! sehar, sehingga sebagian orang yang

lapang dada di antara mereka dapat berpaling. Dan ridak ada

waktu lagi unruk tidak menegakkan supremasi hukum guna

mencegah kekerasan clan mengisolasi dan menghambat kerja

mereka di dalam masyarakat. Mereka pun harus dijauhkan dari

kalangan yang moderar di dalam aliran Islam-polirik. Sebab, di

kalangan ini masih rerdapat ustad-ustad terpandang dan ulama­

ulama yang terhormat. Mereka-mereka itu ahli dalam komunikasi

massa, membekali diri dengan ilmu clan fikih, serta masih mampu

bertoleransi dan menghargai orang lain. Mereka-mereka ini -

walau berbeda pandangan dengan kita- senanriasa mendoakan

agar kita mendapar petunjuk, clan kira pun mendoakan mereka

dengan doa yang serupa. Mereka tidak gemar memvonis orang

I 82
Penutup: l:,.]u Apa?

lain kafir, dan karena iru, raksebesar biji zarah pun penghormacan

kica berkurang rerhadap mereka.

Mereka memang meyakini Islam sebagai agama dan negara,

dan itu hak mereka. Tapi kica mencermaci dan meyakini Islam

hanya sebagai agama, dan iru hak kira. Sebagian dari mereka masih

percaya rerhadap mekanisme dan prosedur polirik yang legal. Dan

unruk itu, mereka berhak mendapat sokongan kira dengan

meneriakkan perlunya menyediakan saluran yang legal pula uncuk

aspirasi mereka. Mereka-mereka ini, pada hakikarnya berada dalam

saru parir bersama kica. Cukup dengan mengambil posisi demi­

kian, para ceroris pun sudah bersikap keras, menyalak lebih

lanrang, dan lebih rutin melaknac mereka. Karena itu, jika ada

keculusan niat, di antara kira dan mereka akan tercapai semacam

konsensus. Kita akan berpapasan jalan, misalnya, dalam me­

mandang perlunya pencerahan pemikiran dan modernisasi cara

pandang dalam melihar perubahan-perubahan dunia modern.

Kira sama-sama yak.in akan perlunya meneladani Umar dalam

ijcihadnya; pentingnya kesacuan negara, dan bersikap adil ter­

hadap konstitusi dan perundang-undangan kica.

Dengan penuh kesadaran pun, kica meyakini bahwa de­

mokrasi akan memberi ruang yang sama bagi kica dan bagi mereka.

Kira juga percaya, masa depan adalah kepunyaan kira bersama,

tanpa mengingkari keberadaan mereka. Kita pun yakin bahwa

eksistensi Mesir sangat berharga hanya uncuk direcoki oleh

hiperbolisme agama dalam aspek simbol, bukan esensi; tampilan

luar, bukan inti. Kira juga percaya bahwa Islam yang benar

bersifac progresif dan akan selalu menjamin kepentingan umum.

Islam mengejar kerera peradaban dan memperbanyak penge­

tahuan. Kita juga tidak pernah ragu bahwa ruang privac agama

lebih luas dan lebih lapang daripada ruang publiknya. Karena

itu, memaksakan pendapar rerhadap orang lain adalah ridak sah.

Kira juga meyakini bahwa legislasi hukum diperunrukkan bagi

183
Kebenar:m yang H,lang

kemaslahatan manusia, sementara prinsip-prinsip dan dasar-dasar

keyakinan dan legislasi adalah hak Allah.

Kita juga percaya, Islam lebih memperhatikan aspek rujuan

di atas cara. Kita juga sangat yak.in, masa-masa awal Islam tidak

akan pernah berulang dan kita pun tidak perlu pergi menjemput­

nya lagi. Kedua-duanya adalah mustahil. Kira juga meyakini

bahwa akriviras berpikir (at-tajkrr) jauh lebih pen ring dari mem­

vonis kafir. Akal lebih utama daripada naqal. Toleransi meliputi

semua. Hari perhitungan pasti akan datang di akhirat kelak, bukan

di dunia kini. Islam juga tidak mengakui sistem hierarkis ke­

pendetaan atau kekuasaan kaum agamawan. Islam juga tidak

memberi label suci dan ran pa bercela kepada siapapun, dan karena

itu tidak ada yang rabu untuk dikritik. Tak ada orang yang tidak

tercela selain Rasul. Tidak ada yang suci melainkan Allah. Islam

tidak punya baju-baju. Ia juga tidak pun ya gelar-gelar. Tidak ada

yang boleh mendakwakan diri sebagai pelindung agama. Setiap

kita umar Islam dan setiap kira adalah para penjaga Islam.

Seriap kira pun penjaga keuruhan negara. Seriap kira men­

cincai Ibu Pertiwi dan siap berkorban unruknya, baik Muslim

maupun (Kristen) Koptik. Kira bukanlah para penakluk umat

Koptik, dan mereka bukanlah rawanan perang kira. Setiap kira

adalah warga negara yang sama Kita bukan mayoritas, mereka pun

bukan minoritas. Setiap kita adalah orang Mesir. Kita bukan

penguasa, dan mereka bukanlah rakyat jelara. Semua kira penguasa

sekaligus rakyar jelara. Semua kira sangat bergantung pada ranah

air ini dan seriap kira harus sanggup membelanya. Lebih dari itu,

seriap kira siap mempercahankan persaruan dan kesatuan berbangsa.

Saya sadar berul bahwa pembicaraan ini relah begitu panjang.

Dan saya pun kuatir para pembaca sudah terlalu ken yang dibuat­

nya. Karena itu, ada baiknya bila saya meringkaskan uraian dan

mengemukakan maksucl utama penolakan saya terhadap pencam­

puradukan anrara polirik clan agama clan bersikukuh tentang

I 84
Penutup: l:,.]u Apa?

pentingnya pemisahan keduanya. Argumen-argumen saya adalah

sebagai berikut:

Pertama, setiap orang yang membuat klaim harus membuk­

tikan kebenaran klaimnya. K.laim kica atas keniscayaan sekularisme

sudah sangat jelas dan begiru tegas. Karena iru, yang mengklaim

sebaliknya haruslah menjelaskan kepada kica bagaimana

mewujudkan klaimnya iru (pentingnya pertauran antara agama

dan negara). Uncuk icu, mengajukan agenda-agenda policik yang

menyeluruh clan terukur tidak bisa dielakkan. Menurut penilaian

kami, itu akan sangat sulit mereka ajukan karena sebab-sebab

yang sangat mudah kica perkirakan. Dan kica sudah memaparkan­

nya di sepanjang buku ini.

Kedua, kica menyambuc logika salah-benar dalam perdebatan

policik dengan cangan terbuka. Sebab policik adalah perkara yang

selalu dapat diperdebacakan. Kebenaran dan kekeliruan dalam

dunia politik bersifac nisbi. Namun kira menolak perdebatan

policik dengan logika halal-haram di mana aspek kebenaran dan

kekeliruan dimudakkan. Logika seperti in i akan membuat

perbedaan pendapat berlangsung secara tidak sehat karena selalu

dikunci dengan vonis-vonis tidak bertanggungjawab. Permu­

fakatan clan tirik remu juga akan sulit terjadi, karena tak jarang

sesuacu dianggap halal sekalipun menyalahi logika, bahkan

merancukan kehalalan iru sendiri.

Betapa banyak hasil ijcihad policik yang diterapkan secara

keliru dan cidak pada tempatnya, rerapi ia cecap didukung pe­

nguasa dan dibela oleh para penjaga akidah. Pengalaman Presiden

Sudan, Ja'far an-Numeiry, yang berambisi mendirikan negara

agama masih segar dalam ingatan kita. Doa resru yang berrubi­

tubi untuk an-Numeiry dari para ulama kita yang terhormat

masih juga tinggal dalam ingatan kira. Namun, kritik pedas dan

vonis kafir pun - setelah an-Numeiry turun dari kekuasaannya

- masih terbayang di pelupuk mata kita. Karena itu, mungkin

185
Kebenar:m yang H,lang

kita panras bertanya tanpa bermaksud menyinggung siapapun:

apakah tindakan mereka itu hanya tipu daya sehingga tidak perlu

dipercaya, atau hanya kealpaan belaka sehingga mereka tak pantas

terus dipuja? Ataukah itu bagian dari watak manusia yang mung­

kin saja salah, sehingga kica perlu memaafkan mereka?

Kasus yang mirip juga mereka tunjukkan terhadap mantan

Presiden Mesir, Anwar Sadat, tatkala ia menandatangani kesepa­

katan damai dengan Isreal. Mereka yang menyanjung-nyanjungnya

dengan kutipan al-Quran dan hadis pada masa awal Sadat meme­

rintah, justru yang kemudian mencampakkannya hina-dina dengan

al-Quran dan hadis pula. Mereka-mereka itu lalu meninggalkan

kita dalam kebingungan, atau lebih reparnya, kepungan rasa heran

dan tanda tanya. Kita tidak perlu jauh-jauh lagi membuktikan

bentuk-bentuk hipokrisi iru lagi. Di hadapan kira kini sedang terjadi

perdebatan sengit di antara dua kubu tentang sikap Imam Kho­

meini terhadap inisiatif perdamaian Irak. Sebagian mereka meng­

anggap Khomeini kafir, sementara yang lain memperlakukannya

seperti orang suci. Sementara kita rakyat jelata - yang terheran­

heran dan tertawan - hanya bisa bertepuk tangan saat menyaksikan

perdebaran itu. Pada akhirnya, yang kita saksikan bukan lagi perde­

batan antara ide beradu ide; bukan antara kebijakan yang benar

dan keliru, rerapi antara kekafiran dan keimaman. lnilah jenis dialog

yang harus kira tolak. Dialog seperti ini tidak akan pernah dapar

memengaruhi keyakinan yang sudah tertanam dalam sanubari kita,

tidak pula akan menambahkan iman ke dalam lubuk hati kira.

Ketiga, sesungguhnya fakta-fakta sejarah yang sudah kita

paparkan di buku ini sudah lebih dari cukup unruk membukti­

kan keniscayaan pemisahan dan bahayanya pertaucan antara

agama dan politik. Pakta-fakta iru juga dapat menunjukkan beta­

pa janggalnya seruan-seruan untuk mengembalikan sistem khila­

fah.

I 86
Penutup: l:,.]u Apa?

Keempat, jika kita tinggalkan fukta-fakta sejarah dan langsung

menukik ke aspek praktik negara yang mengusung slogan Islam

dan mengklaim berhukum dengannya, kita justru mendapatkan

bukti lain lagi ten tang pentingnya pemisahan antara agama dan

negara sekaligus menjadi argumen bahayanya menautkan antara

keduanya. Kita sangat ingin mendengarkan praktik-praktik yang

sudah ada dijadikan senjara pendukung argumen oleh para

propagandis negara agama. Dengan begiru, kita dapat dengan

mudah membalikkan argumen mereka menjadi senjata kita.

Namun kira tahu pasti bahwa mereka niscaya tidak akan melaku­

kan itu karena alasan-alasan yang sudah kita maklumi.

Kelima, argumen terakhir dan yang terpenting. Pemisahan

itu justru jalan satu-sarunya untuk menjaga keutuhan nasional,

dan pertautan justru menjadi jalan tercepat untuk meruntuhkan

sendi-sendi persatuan. Berbagai kuripan sejarah ten tang toleransi

dan kelapangan dada umat Islam dalam memperlakukan Ahl al­

Zimmah' tidak akan dapar membantah ini, karena kita pun dapar

menindihnya dengan bukti-bukti sebaliknya yang lebih banyak

lagi. Bukti-bukti itu, kalau dipaparkan di sini, justru akan mem­

buat badan kica bergetar.

Kita percaya, Islam memang relah menunjukkan roleransi

2
yang tinggi dalam memperlakuan Ahli Kicab, bahkan terhadap

orang kafir. Tapi dalam kenyataannya, al-Qur' an ridak menafsir­

kan diri sendiri untuk memerinci ketenruan-kerentuannya. Islam

pun tidak rerrerapkan dengan sendirinya. Semua iru terjadi melalui

1
Ahl al-Zimmah adalah sebutan untuk non-Muslim yang hidup di

bawah kekuasaan Islam di Abad Pertengahan, dengan perlakuan-perlakuan

khusus, di antaranya kewajiban membayar jizyah arau pajak proreksi diri. -

penn:;.
2
Catatan penerjemah: Ahli Kitab secara kebahasaan berarti "penerirna

kitab suci". Isrilah ini secara khas menjadi nomenklatur Islam untuk menyebut

penganut agama-agama yang berkitab suci seperti Yudaisme dan Kristen

187
Kebenar:m yang H,lang

proses agensi atau perantaraan umat Islamnya. Dan betapa banyak

kejadian buruk yang celah diperbuat umar Islam terhadap Islam.

Kita tidak berkepentingan untuk membuka borok, memicu kon­

flik, atau memunculkan polemik soal ini. Yang kita inginkan

adalah pengukuhan aspek-aspek yang posicif dari Islam, meng­

himpun yang terserak, dan merapatkan barisan.

Ya Tuhan .. !

Alangkah keruhnya situasai dan berapa pentingnya memulih­

kan situasi. Para pembaca, izinkan saya untuk menutup perbin­

cangan ini dengan sebuah kisah yang saban kali mengingatnya

air mata saya bercucuran dan nurani saya terkoyak. Kisah ini baru

berlangsung beberapa cahun lalu, tepacnya pada hari pemakaman

jezanah YusufWahbah, yang dibunuh oleh Aryan Sa'ad. Aryan

Sa'ad adalah seorang penganut Kristen Koprik Mesiryang dengan

inisiatif sendiri melakukan aksi pembunuhan terhadap Perdana

Menteri Mesir yangjuga penganuc Koptik icu. Wahbah memang

menjabar posisinya di tengah penolakan yang luas dari warga

negara Mesir yang Muslim.

Konon, Aryan sengaja melakukan aksi kriminal itu agar

Wahbah cidak juscru terbunuh di cangan Muslim sehingga me­

munculkan konflik sosial di rengah masyarakat. Tatkala lonceng

gereja berdencang uncuk menghormaci jezanah Yusuf Wah bah,

tiba-riba dari sebelahnya rerdengar lolongan azan yang begiru

Ian rang. Kontan, semua hadirin langsung terisak dan bercucuran

air mata. Semua yang hadir menyesalkan babak terakhir upacara

penghormacan terhadap YusufWahbah.

Kita pantas pantas bercucuran air mata bersama mereka. Kita

juga pantas terluka karena hilangnya salah seorang simbol penting

roleransi Mesir dari seorang Koptik yang sedang kira lepas pergi.

Kita meratapi warisan kearifan yang sudah beranjak hilang;

meratapi sejarah keagungan Islam yang sudah kica lupakan.

I ss
Penutup: l:,.]u Apa?

Aku bersumpah unruk Aryan: azan dan lonceng akan selalu

berpelukan di tanah air ini. Semuanya menjadi hambaAllah yang

setara Seriap orang mencinrai Ibu Pertiwinya. Aryan, Mesir akan

tetap utuh sebagaimana engkau clan kami inginkan; terjauhkan

dari perpecahan, terhindar dari malapetaka; tak kami biarkan

terbelah.

Wahai orang-orang Mesir yang masih sehar jiwanya, apakah

kita masih dapat beriringan jalan?***

I ss
Daftar Pustaka

Aqqad, Abbas Mahmud, al-Majma'ah al-Kt1.milah It Muallafet al-Aqqad,

Jilid II, Beirut: Dar al-Kurub al-Libanani.

Amin, Ahmad, Duba al-Islllm, Jilid I & III, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-

Mishriyyah, 1984.

Amin, Ahmad, Zubr al-Islam, Vol. I, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, t.t.

al-Daynuri, al-Akhblir al-Tiwal, Beirut: Dar al-Masirah.

Hasan, Ali Ibrahim, al-Tarrkh al-Islf!imi al-'Am, Kairo: Maktabah al-Nahdhah

al-Mishriyyah, t.t.

Husein, Thaha, al-A 'msl al-Kamilah IT Taha Husein, Vol. IV, Beirut: Dar al­

Kutub al-Libnani, t.t.

Ibn al-Atsir, al-Kami/ftal-Tarrkh, Jilid IV & V, Beirut: Dar al-Ku tub al-Arabi,

t.t.

Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihliyah, Vol. IV & VII, Beirut: Dar al-Kurub

al- 'Ilmiyah, t.t.

Ibn Sa'ad, al-Tahaqat al-Kuhra, Vol. III, Beirut: Dar al-Shadir, t.t.

al-Mas'udi, Muraj al-Dzahah, Juz IV, Beirut: Dar al-Ma'rifah, t.t.

al-Namir, Abdul Mun'im, al-Ijtihad, Kairo: Dar al-Syuruq, t.t.

Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Kirab al-Arabi, t.t.

al-Suyurhi, Tarrkh al-Khulafe', t.p., t.t.

Syalrur, Muhammad, al-Islam Aqrdah wa Syarr'ah, Kairo: Dar al-Syuruq, t.t.

al-Syahrastani, al-Mila/ wa al-Niha/, Vol. I, Beirut: Dar al-Ma'rifah, t.t.

al-Thabari, Tarrkh al-Umam wa al-Mu/ak, Jilid XVI, t.t.

al-Thabari, Tarrkh al-Tabari, Juz III & IV, Beirut: Muassasah al-I'lam Ii al­

Marhbu'ah, t.t.

al-Ya' qubi, Tarrkh al- Ya'qahi, Jilid II, Beirut: Dar al-Shadir, t. t.

191
Kebenaran

1.�ilang
5151 KEL.AM PRA�IK POLiTIK DAN KEKJJASAAf'!

DA_l.AM SEJARAH KAUM M U S L I M

Faraj Faudah telah memberikan sumbangannya, melalui

karyanya dan juga kematiannya, kepada arti penting

kemajemukan di masyarakat Mesir. Sebagai putra Mesir

asli, dengan keberaniannya ia telah mengeritik apa yang

menurutnya merupakan religiusitas yang keliru di

masyarakatnya-termasuk di kalangan ulama. Dalam

kata-kata Michael Walzer, Faudah telah menyentuh

saraf moral masyarakatnya dan memaksa mereka

melihat sesuatu yang ingin mereka hindari, yaitu

kesalahan-kesalahan yang ada semasa hidupnya. ltulah

sebabnya kita perlu membaca Faraj Faudah.

Depanemen Agama

Badan Litbang dan Diklat

Balai Peoelitian dan Pengembangan Agama Jakarta

Anda mungkin juga menyukai