Anda di halaman 1dari 3

TEORI DASAR

Desinfektan merupakan bahan kimia yang memiliki potensi untuk membunuh atau
menurunkan jumlah mikroorganisme pada jaringan atau benda mati. Secara umum, antiseptik
dan desinfektan memiliki kesamaan fungsi, namun hal yang membedakan adalah penggunaan
kedua senyawa tersebut, yaitu antiseptik digunakan pada jaringan hidup sementara desinfektan
untuk jaringan mati. Hal ini dikarenakan pada desinfektan umumnya terdapat kandungan fenol
yang bersifat korosif sehingga tidak aman apabila diaplikasikan pada benda hidup karena dapat
merusak jaringan tubuh (Dwidjoseputro, 2008).

Fenol adalah senyawa kimia dengan rumus molekul C6H5OH yang berbentuk aromatik
serta memiliki bau yang khas. Senyawa turunan benzene ini dapat berasal dari bahan yang
terdapat di alam maupun bahan organik yang telah membusuk. Fenol dapat ditemukan pada
karbol, kresol, trikresol, dan heksaklorofen. Banyaknya mikroorganisme yang tersebar di
lingkungan menjadikan senyawa golongan fenol digunakan untuk desinfeksi pada permukaan
lantai, bak mandi, dinding, serta peralatan yang berbahan dasar kayu (Rahma, 2015).

Suatu senyawa yang diduga memiliki kemampuan sebagai desinfektan umumnya diuji
menggunakan metode koefisien fenol dalam skala lab. Koefisien fenol merupakan
perbandingan kekuatan daya bunuh suatu desinfektan uji dengan kekuatan daya bunuh fenol
dalam kondisi yang sama, seperti waktu, konsentrasi, dan mikroorganisme target yang hendak
dihambat pertumbuhannya. Alasan dari penggunaan fenol sebagai pembanding karena fenol
adalah jenis desinfektan paling kuno. Dengan kadar 0,2% fenol bersifat bakteriostatik karena
menyebabkan terjadinya denaturasi protein, lalu dalam kadar 1% fenol dapat bertindak sebagai
bakteriosidal karena kemampuannya menyebabkan koagulasi protein. Metode ini dilakukan
dengan masa inkubasi 18 – 24 jam, namun cara lainnya adalah secara konvensional dengan
pengamatan oleh mata pada waktu 2,5 – 15 menit. Dalam pengujian desinfektan, kekuatan
fenol yang digunakan adalah lebih kecil sama dengan 5% (Collier, 1998).

Terdapat banyak bakteri yang dapat menimbulkan infeksi, salah satunya adalah
Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri patogen. Berbagai jenis infeksi dapat
disebabkan oleh bakteri S. aureus, seperti infeksi kulit ringan, keracunan makanan apabila
bakteri terdapat pada makanan yang dikonsumsi, bahkan sampai infeksi sistemik. Cara untuk
mengisolasi bakteri ini dapat digunakan media Manitol Salt Agar, di mana pada media MSA
akan terlihat warna kuning yang menandakan S. aureus. Kemudian untuk karakterisasi dapat
dilakukan dengan uji DNAse pada media DNAse agar plate dengan hasil positif zona bening
pada sekitar koloni menandakan S. aureus (Karimela et al, 2017).

Bakteri jenis Staphylococcus memiliki kandungan polisakarida serta protein yang


bersifat antigenik, di mana senyawa tersebut adalah substansi yang pentint dalam struktur
dinding sel. Staphylococcus aureus memiliki sifat non-motil, anaerob fakultatif, oksidase
negatif, katalase positif, dan non-spora. Ketika membentuk koloni, S. aureus akan
menampilkan warna abu – abu sampai kunin emas tua. Warna kuning yang dihasilkan
disebabkan oleh terbentuknya pigmen lipochrom pada S. aureus. Kondisi optimal untuk
pertumbuhan S. aureus adalah pada suhu 6,5 – 46 ℃ serta pada pH 4,2 – 9,3 (Dewi, 2013).

Selain fenol, terdapat pula jenis antibakteri lain yang dapat digunakan sebagai
desinfektan, seperti povidon iodin dan alkohol. Suatu pengujian membuktikan bahwa pada
kondisi yang sama, povidon iodin dan alkohol dapat memberikan efektifitas yang baik daripada
fenol. Hal ini dikarenakan untuk membunuh bakteri target, yaitu Staphylococcus aureus, kedua
desinfektan tersebut dapat membunuh lebih cepat dibandingkan dengan fenol. Maka diduga
bahwa turunan halogen dapat lebih efektif membunuh S. aureus dengan nilai koefisien fenol
hasil percobaan adalah 2,14 (Elizabeth et al, 2013).

Dalam menghambat pertumbuhan bakteri, fenol bekerja dengan mekanisme merusak


membran sel. Pengikatan senyawa fenol dengan sel bakteri menyebabkan terganggunya
permeabilitas membran dan proses transportasi pada bakteri tersebut. Hal ini berdampak pada
hilangnya kation serta makromolekul dari sel sehingga menyebabkan kematian akibat
pertumbuhan sel terganggu. Eugenol dan linalool termasuk dalam turunan senyawa fenol, di
mana keduanya merupakan kandungan kimia dari minyak atsiri. Namun sampai saat ini
mekanisme antibakteri minyak atsiri belum diketahui (Nidha , 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Collier, L. 1998. Microbiology and Microbial Infections. New York: Oxford University Press
Inc.

Dewi, A.K. 2013. Isolasi, Identifikasi dan Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus terhadap
Amoxicillin dari Sampel Susu Kambing Peranakan Ettawa (PE) Penderita Mastitis di
Wilayah Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. JSV. Vol. 31 (2): 138 – 150.

Dwidjoseputro. 2008. Dasar – dasar Mikrobiologi. Surabaya: Djambatan.

Elizabeth, R., Apriliana, E., dan Rukmono, P. 2013. Uji Efektifitas pada Antiseptik di Unit
Perinatologi Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek Bandar Lampung. MAJORITY
(Medical Journal of Lampung University). Vol. 2 (5): 119 – 128.

Karimela, E.J., Ijong, F.G., dan Dien, H.A. 2017. Karakteristik Staphylococcus aureus yang
Diiolasi dari Ikan Asap Pinekuhe Hasil Olahan Tradisional Kabupaten Sangihe. JPHPI.
Vol. 20 (1): 188 – 198.

Nidha, A.A. 2016. Efektivitas Minyak Atsiri Daun Kemangi (Ocimum basilicum) Sebagai
Antiseptik Untuk Higine Tangan. Tersedia secara online di
http://eprints.undip.ac.id/54203/ . [Diakses pada 6 Desember 2018].

Rahma, E. 2015. Penentuan Koefisien Fenol Pembersih Lantai yang Mengandung Pine Oil
2,5% Terhadap Bakteri Pseudomonas aeruginosa. Tersedia secara online di
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37957/1/EKA%20RAHMA-
FKIK.pdf . [Diakses pada 6 Desember 2018].

Anda mungkin juga menyukai