Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan nikmat, taufik serta hidayah-Nya yang sangat besar sehingga kami,
kelompok 6 pada akhirnya bisa menyelesaikan makalah mengenai ANTI TERORISME tepat
pada waktunya.

Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada para penulis yang dapat kami ambil tulisannya
sebagai bahan rujukan kami untuk membuat dan menyelesaikan makalah ini.

Semoga Makalah Anti Terorisme yang telah kami susun ini turut memperkaya ilmu serta
bisa menambah pengetahuan dan pengalaman para pembaca.

Selayaknya kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Kami juga
menyadari bahwa Makalah ini juga masih memiliki banyak kekurangan. Maka dari itu kami
mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca sekalian untuk perbaikan makalah ini
kedepannya.

Medan, 12 Desember 2108

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II TERORISME DI DUNIA

A. Sejarah Terorisme di Dunia


B. 4 Generasi Sejarah dalam Terorisme

BAB III TERORISME DI INDONESIA

A. Pengertian Terorisme
B. Awal Mula Kemunculan Terorisme di Indonesia
C. Potensi Terorisme Di Indonesia
D. Faktor-faktor Terjadinya Terorisme Di Indonesia
E. Peristiwa Tindak Terorisme Di Indonesia
F. Usaha Pemerintah dalam Mengatasi Terorisme
G. Kendala yang Dihadapi Pemerintah dalam Mengatasi Terorisme
H. Pembentukan Detasemen Khusus 88

BAB VI PERUNDANG-UNDANGAN ANTI TERORISME DI INDONESIA

A. Di berlakukannya Undang-undang Anti Terorisme Pertama Indonesia


B. Masalah dalam Revisi Perundang-undangan Anti Terorisme Indonesia

BAB V PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terorisme merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa yang menjadi
perhatian dunia sekarang ini terutama di Indonesia. Terorisme yang terjadi di Indonesia
akhir-akhir ini memiliki keterkaitan ideologis, sejarah dan politis serta merupakan bagian
dari dinamika lingkungan strategis pada tataran global dan regional. Kendatipun aksi
terorisme yang terjadi di berbagai daerah dalam beberapa tahun terakhir ini kebanyakan
dilakukan oleh orang Indonesia dan hanya sedikit aktor-aktor dari luar. Namun tidak dapat
dibantah bahwa aksi terorisme saat ini merupakan suatu gabungan antara pelaku domestik
dengan mereka yang memiliki jejaring trans-nasional.

Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum
marakanya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk terorisme terjadi di dunia,
masyarakat internasional maupun regional serta berbagai negara telah berusaha melakukan
kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan
komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.

Dalam mengupayakan pemenuhan dan perlindungan hak asasi warga dari tindak
kejahatan terorisme maka pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002. Yang pada tanggal 4
April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang RI dengan Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Salah satu hal yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang tersebut adalah tragedi
bom di Sari Club dan Paddy’s Club Kuta Legian Bali 12 Oktober 2002, yang selayaknya
digolongkan sebagai kejahatan terbesar di Indonesia dari serangkaian teror yang ada.

Pada awal bulan Januari 2016 ibu kota Indonesia kembali dikejutkan dengan aksi
terorisme. Serangkaian ledakan dan tembak menembak terjadi di kawasan M.H.Thamrin.
Ledakan pertama terjadi di Kafe Starbucks kemudian ledakan susulan terjadi di Pos Lantas
di depan Plaza Sarinah M.H.Thamrin. Kejadian tersebut telah menewaskan delapan orang,
termasuk empat pelaku aksi teror berdarah tersebut. Merespon peristiwa bom dan serangan
di kawasan Sarinah, pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan melakukan langkah-langkah
kebijakan terkait politik hukum nasional. Awalnya Luhut Binsar Pandjaitan menilai perlu
menyusun Perppu namun kemudian merivisinya kembali bahwa tidak perlu ada peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mengatasi persoalan terorisme.
Akhirnya Presiden Joko Widodo memutuskan memperkuat upaya pencegahan aksi
terorisme dengan merevisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Pada akhir bulan Januari 2016, Pemerintah kemudian memfinalkan RUU
Pemberantasan Terorisme dan di bulan Februari 2016 pemerintah menyerahkan naskah
rancangan tersebut kepada DPR secara terabatas.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul masalah ini yaitu “ANTI TERORISME”, maka masalah yang akan
diidentifikasikan adalah:

1. Apa yang menjadi motif yang melatar-belakangi terjadinya tindak terorisme?

2. Sudah sejauh mana tindakan terorisme yang telah dilakukan kelompok teroris?

3. UU apa saja yang mengatur tentang terorisme dan sejauh mana pelaksanaan UU tersebut?

4. Sisi negatif apakah yang ditimbulkan oleh pelaksanaan UU tentang pemberantasan


terorisme?

5. Upaya apa yang bisa dilakukan untuk memerangi terorisme?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui bagaimana dan sejauhmana adanya Terorisme yang ada di dunia juga di
Indonesia.

2. Memenuhi Tugas yang diberikan oleh Dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaan.
BAB II

TERORISME DI DUNIA

A. Sejarah Terorisme di Dunia

Sejarah tentang Terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk
kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan
tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang
kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun
oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap
individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari Terorisme dengan mengacu
pada sejarah Terorisme modern.

Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena
yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism
(1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru
mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi
Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.

Kata Terorisme berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang semula dipergunakan untuk
menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan
secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan
kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme dipergunakan untuk menyebut
gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata Terorisme sejak awal
dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang
anti pemerintah.

Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I, terjadi
hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak
dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa Terorisme adalah cara
yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh
orang-orang yang berpengaruh.[5] Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi
terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan
massal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme
diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.
Bentuk pertama Terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, Terorisme dilakukan
dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua Terorisme
dimulai di Aljazair pada tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang memopulerkan “serangan
yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk
melawan apa yang disebut sebagai Terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga Terorisme muncul
pada tahun 60an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak
terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. Bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga
sumber, yaitu:

1. kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya


gerakan-gerakan demokrasi serta HAM.
2. pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalis
setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.
3. kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.

Namun Terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu
sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai
dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the
bomb” yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan. Pasca Perang Dunia II, dunia tidak
pernah mengenal "damai". Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara
berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur - Barat dan
menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik
Utara - Selatan. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang
menarik campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara
Dunia Ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi
dari banyak Negara Berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap
fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya Terorisme. Fenomena
Terorisme meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an. Terorisme dan Teror telah
berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan,
pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan
kekuasaannya.

Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik:

1. ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.


2. keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat
mungkin.
3. tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap Terorisme yang sudah dilakukan.
4. serangan Terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan
luasnya seluruh permukaan bumi.

B. Empat Generasi dalam Sejaram Terorisme

Di era modern, David C. Rappoport dalam Four Waves of Teror meneliti bahwa gelombang
aksi terorisme muncul dalam empat babak.

Kelompok teroris gelombang pertama, Selama kurun waktu 1880 hingga 1920-an,
muncul dengan tujuan memenangkan reformasi politik sipil dari tindasan pemerintahan
otoriter. Contohnya dapat dilihat pada kasus penggulingan Tsar Rusia.

Aksi-aksi teror dilakukan oleh kelompok revolusioner terhadap keluarga Tsar. Macam-
macam bentuk teror yang dilakukan. Salah satunya bahkan sudah menggunakan metode bom
bunuh diri. Salah satu kelompok revolusioner yang melakukan teror kepada keluarga Tsar
dipimpin oleh Boris Savinkov, yang kisahnya ditulis ulang menjadi naskah lakon Les
Justes oleh Albert Camus.

Kelompok teroris gelombang kedua, marak bermunculan pada kurun waktu 1920-an
sampai 1960-an. Pada masa ini berkembang kelompok-kelompok yang berusaha
memperjuangkan kedaulatan nasional, seperti Irish Republican Army (IRA) di Irlandia, dan
Front Liberation Nationale (FLN) di Aljazair.
Gambaran apik dari masa ini dapat dilihat dalam film neo-realisme The Battle of
Algiers yang mengisahkan perlawanan FLN terhadap rezim kolonial Perancis. Film yang
diadaptasi dari memoar pimpinan FLN Saadi Yacef ini memuat adegan para anggota FLN
menembak mati para polisi Perancis yang sedang bertugas, bahkan mengirim tiga
perempuan untuk menaruh bom di tiga tempat berbeda di kota Casbah, Aljazair.
Menurut Rapoport, masa gelombang kedua ini berlangsung hampir 40 tahun dan surut ketika
imperium kolonial bubar.
Kelompok teroris gelombang ketiga, mulai bermunculan pada 1970-an. Kelompok yang
muncul para era berideologi kiri revolusioner, seperti Brigade Merah Italia (Red Brigades)
dan Japanese Red Army. Kelompok teroris gelombang ketiga ini menganggap dirinya
sebagai pembela kepentingan negara Dunia Ketiga melawan kekuatan kapitalisme global.

Kelompok teroris gelombang keempat, menurut Rapoport digerakkan ideologi


revolusioner serta dorongan religius. Contoh kelompok tersebut adalah Al-Qaeda. Yang
menjadi karakteristik terpenting dari kelompok gelombang keempat adalah mereka tidak
ragu menjadikan warga sipil sebagai korban atau target kekerasan.
Hal ini tentu berbeda dengan tiga generasi sebelumnya yang membutuhkan dukungan
masyarakat luas sebelum melancarkan aksi teror. Tiga generasi sebelumnya cenderung
sangat berhati-hati dalam melakukan teror. Mereka berusaha tidak melibatkan atau
menjatuhkan korban dari kalangan masyarakat sipil tak berdosa.

Selain itu, karakteristik lain pada gelombang keempat adalah terbentuknya jaringan
terorisme internasional yang terorganisir dan meluasnya level gerakan menjadi tataran
global.

Apapun bentuk dan zamannya, yang jelas terorisme melahirkan kecemasan dan penderitaan.
Berdasarkan data resmi lembaga internasional pemerhati terorisme, kelompok terorisme
pada 2016 saja telah melancarkan 1141 aksi bom bunuh diri. Artinya, ada 95 kali aksi bom
bunuh diri setiap bulannya. Bukan mustahil, jika tidak ada penanganan serius dari negara
kawasan dan lembaga internasional seperti PBB jumlah ini akan terus bertambah.
BAB III

TERORISME DI INDONESIA

A. Pengertian Terorisme

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan


perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme
tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan
target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakanwarga sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang
tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan
angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangan-
serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi,
dan oleh karena itu para pelakunya (“teroris”) layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

B. Awal Mula Kemunculan Terorisme di Indonesia

Al Qaeda merupakan organisasi paramiliter fundamentalis Islam Sunni, yang salah satu
tujuan utamanya adalah pengaruh luar terhadap kepentingan Islam. Dan adanya Al Qaeda
rupanya berdampak ke Indonesia. Sehingga, muncul satu gerakan Al Jamaah Al Islamiyah,
yang berdiri tahun 1993. Kemudian mereka bergerak underground, membangun jaringan
dan kemudian melakukan serangan pertama 1998 di Gereja Padang Bulan Sumut. Dan
kemudian tahun 2000 mereka juga melakukan serangan.

Kemudian, Indonesia melihat puncak serangan teror bom Bali pertama yang terjadi pada
12 Oktober 2002 malam. Tito mengungkapkan jika bom Bali pertama itu merupakan
peristiwa terorisme nomor dua terbesar setelah Nine Eleven di Amerika. Sama seperti bom
Bali, dengan korban 202 orang meninggal dunia dan hampir 800 orang terluka, dianggapnya
adalah peristiwa besar.

Setelah memetakan jaringan bom Bali pertama, Jendral Polisi Tito Karnavian menyatakan
jika jaringan tersebut cukup komprehensif struktur organisasinya. Jaringan tersebut dibagi
menjadi 4 Mantiqi.
Mantiqi satu meng-cover wilayah Malaysia dan Singapura. Mantiqi dua, Indonesia bagian
barat. Mantiqi tiga, Filipina Selatan, Sabah Sarawak Malaysia, kemudian Kalimantan Timur,
dan Sulawesi. Mantiqi empat, Australia. Al Jamaah Al Islamiyah ini terkait dengan Al
Qaeda.

Dengan melihat konstruksi organisasi tersebut, Polri pun berhasil mengungkap kasus
bom Bali, dan kemudian melakukan pengejaran kepada jaringan-jaringan lain yang terkait
dengan peristiwa itu.

C. Potensi Terorisme Di Indonesia

Indonesia memiliki potensi terorisme yang sangat besar dan perlu langkah antisipasi
yang ekstra cermat. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang kadang tidak dipahami oleh orang
tertentu cukup dijadikan alasan untuk melakukan teror. Berikut ini adalah potensi-potensi
terorisme tersebut :

Terorisme yang dilakukan oleh negara lain di daerah perbatasan Indonesia. Beberapa kali
negara lain melakukan pelanggaran masuk ke wilayah Indonesia dengan menggunakan alat-
alat perang sebenarnya adalah bentuk terorisme. Lebih berbahaya lagi seandainya negara di
tetangga sebelah melakukan terorisme dengan memanfaatkan warga Indonesia yang tinggal
di perbatasan dan kurang diperhatikan oleh negera. Nasionalisme yang kurang dan tuntutan
kebutuhan ekonomi bisa dengan mudah orang diatur untuk melakukan teror.

Terorisme yang dilakukan oleh warga negara yang tidak puas atas kebijakan negara.
Misalnya bentuk-bentuk teror di Papua yang dilakukan oleh OPM. Tuntutan merdeka
mereka ditarbelakangi keinginan untuk mengelola wilayah sendiri tanpa campur tangan
pemerintah. Perhatian pemerintah yang dianggap kurang menjadi alasan bahwa
kemerdekaan harus mereka capai demi kesejahteraan masyarakat. Terorisme jenis ini juga
berbahaya, dan secara khusus teror dilakukan kepada aparat keamanan.

· Terorisme yang dilakukan oleh organisasi dengan dogma dan ideologi tertentu. Pemikiran
sempit dan pendek bahwa ideologi dan dogma yang berbeda perlu ditumpas menjadi latar
belakang terorisme. Bom bunuh diri, atau aksi kekerasan yang terjadi di Jakarta sudah
membuktikan bahwa ideologi dapat dipertentangkan secara brutal. Pelaku terorisme ini
biasanya menjadikan orang asing dan pemeluk agama lain sebagai sasaran.
· Terorisme yang dilakukan oleh kaum kapitalis ketika memaksakan bentuk atau pola bisnis
dan investasi kepada masyarakat. Contoh nyata adalah pembebasan lahan masyarakat yang
digunakan untuk perkebunan atau pertambangan tidak jarang dilakukan dengan cara yang
tidak elegan. Terorisme bentuk ini tidak selamanya dengan kekerasan tetapi kadang dengan
bentuk teror sosial, misalnya dengan pembatasan akses masyarakat.

· Teror yang dilakukan oleh masyarakat kepada dunia usaha, beberapa demonstrasi oleh
masyarakat yang ditunggangi oleh provokator terjadi secara anarkis dan menimbulkan
kerugian yang cukup besar bagi perusahaan. Terlepas dari siapa yang salah, tetapi budaya
kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat adalah suatu bentuk teror yang mereka pelajari
dari kejadian-kejadian yang sudah terjadi.

D. Faktor-faktor Terjadinya Terorisme Di Indonesia

Menurut sebagian besar aktifis yang tergabung dalam kelompok Tanzim al-Qaidah di
Aceh, faktor-faktor pendorong terbentuknya radikalisme dan terorisme di Indonesia
bukanlah semata-mata untuk kepentingan individu. Sebab, apabila dimotivasi untuk
kepentingan individu, maka semestinya hal tersebut apa yang dilakukannya dan tindakannya
tidak menyakitkan baik itu diri sendiri maupun orang lain. Adapun faktor-faktor yang
mendorong terbentuknya terorisme:

1. Faktor ekonomi

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa faktor ekonomi merupakan motif utama bagi para
terorisme dalam menjalankan misi mereka. Keadaan yang semakin tidak menentu dan
kehidupan sehari-hari yang membikin resah orang untuk melakukan apa saja. Dengan seperti
ini pemerintah harus bekerja keras untuk merumuskan rehabilitasi masyarakatnya.
Kemiskinan membuat orang gerah untuk berbuat yang tidak selayaknya diperbuat seperti;
membunuh, mengancam orang, bunuh diri, dan sebagainya.

2. Faktor sosial

Orang-orang yang mempunyai pikiran keras di mana di situ terdapat suatu kelompok garis
keras yang bersatu mendirikan Tanzim al-Qaidah Aceh. Dalam keseharian hidup yang kita
jalani terdapat pranata social yang membentuk pribadi kita menjadi sama. Situasi ini sangat
menentukan kepribadian seseorang dalam melakukan setiap kegiatan yang dilakukan.
Sistem social yang dibentuk oleh kelompok radikal atau garis keras membuat semua orang
yang mempunyai tujuan sama dengannya bisa mudah berkomunikasi dan bergabung dalam
garis keras atau radikal.

3. Faktor Ideologi

Faktor ini yang menjadikan seseorang yakin dengan apa yang diperbuatnya. Perbuatan yang
mereka lakukan berdasarkan dengan apa yang sudah disepakati dari awal dalam
perjanjiannya. Dalam setiap kelompok mempunyai misi dan visi masing-masing yang tidak
terlepas dengan ideologinya. Dalam hal ini terorisme yang ada di Indonesia dengan
keyakinannya yang berdasarkan Jihad yang mereka miliki.

E. Peristiwa Tindak Terorisme Di Indonesia

Terorisme di Indonesia merupakan terorisme di Indonesia yang dilakukan oleh grup teror
Jemaah Islamiyah yang berhubungan dengan al-Qaeda. Sejak tahun 2002, beberapa “target
negara Barat” telah diserang. Sejak saat itu, tindak terorisme di Indonesia terus terjadi.

Berikut adalah beberapa kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia dan instansi
Indonesia di luar negeri:

1981

Garuda Indonesia Penerbangan 206, 28 Maret 1981. Sebuah penerbanganmaskapai Garuda


Indonesia dari Palembang ke Medan pada Penerbangan dengan pesawat DC-
9 Woyla berangkat dari Jakarta pada pukul 8 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang
ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat
tersebut dibajak oleh 5 orang teroris yang menyamar sebagai penumpang. Mereka
bersenjata senapan mesin dan granat, dan mengaku sebagai anggota Komando Jihad. 1 kru
pesawat tewas, 1 tentara komando tewas, 3 teroris tewas.

1985

Bom Candi Borobudur 1985, 21 Januari 1985. Peristiwa terorisme ini adalah peristiwa
terorisme bermotif “jihad” kedua yang menimpa Indonesia.

2000

Bom Kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di
depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang
lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.
Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks Kedutaan
Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa.

Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan mengguncang lantai parkir P2
Gedung Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak
berat, 57 rusak ringan.

Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom pada malamNatal di
beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta
mengakibatkan 37 mobil rusak.

2001

Bom Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 Juli 2001. Di Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur,
5 orang tewas.

Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom meledak di kawasan Plaza
Atrium, Senen, Jakarta. 6 orang cedera.

Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom mengakibatkan kaca, langit-
langit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada korban jiwa. Sebuah bom lainnya yang dipasang
di kantor MLC Life cabang Makassar tidak meledak.

Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan meledak di halaman
Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta.

2002

Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di depan rumah makan ayam
Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi
Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa.

Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayoritas
warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan,
di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada
korban jiwa.

Bom restoran McDonald’s, Makassar, 5 Desember 2002. Bom rakitan yang dibungkus
wadah pelat baja meledak di restoran McDonald’s Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-
luka.
2003

Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom rakitan meledak di lobi Wisma
Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada korban jiwa.

Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak dii area publik di
terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka
berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.

Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian Hotel JW Marriott.


Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.

2004

Bom Palopo, 10 Januari 2004. Menewaskan empat orang.

Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan
Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan
kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan
Gedung BNI.

Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12 Desember 2004.

2005

Dua Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005

Bom Tentena, 28 Mei 2005. 22 orang tewas.

Bom Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005. Bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan
Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat.
Tidak ada korban jiwa.

Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang
tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA’s Bar dan Restaurant,
Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran.

Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah pasar di Palu,Sulawesi
Tengah yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang.

2009
Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott danRitz-
Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50WIB.

2010

Penembakan warga sipil di Aceh Januari 2010

Perampokan bank CIMB Niaga September 2010

2011

Bom Cirebon, 15 April 2011. Ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta
Cirebon saat Salat Jumat yang menewaskan pelaku dan melukai 25 orang lainnya.

Bom Gading Serpong, 22 April 2011. Rencana bom yang menargetkan GerejaChrist
Cathedral Serpong, Tangerang Selatan, Banten dan diletakkan di jalur pipa gas, namun
berhasil digagalkan pihak Kepolisian RI

Bom Solo, 25 September 2011. Ledakan bom bunuh diri di GBIS Kepunton,Solo, Jawa
Tengah usai kebaktian dan jemaat keluar dari gereja. Satu orang pelaku bom bunuh diri
tewas dan 28 lainnya terluka.

2012

Bom Solo, 19 Agustus 2012. Granat meledak di Pospam Gladak, Solo, Jawa Tengah.
Ledakan ini mengakibatkan kerusakan kursi di Pospam Gladak.

2013

Bom Polres Poso 2013, 9 Juni 2013 dengan target personel polisi yang sedang apel pagi.
Bom meledak di depan Masjid Mapolres Poso, Sulawesi Tengah. 1 orang petugas bangunan
terluka di tangan sebelah kiri, sementara pelaku bom bunuh diri tewas di tempat.

2016

Bom dan baku tembak Jakarta, 14 Januari 2016. Ledakan dan baku tembak di sekitar Plaza
Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.

Pada tanggal 5 Juli 2016, ledakan bom bunuh diri meledak di halaman Markas Kepolisian
Resor Kota Surakarta, Surakarta, Jawa Tengah. 1 pelaku tewas dan 1 petugas kepolisian
luka-luka.
Pada 28 Agustus 2016, sebuah ledakan bom bunuh diri terjadi di Gereja Katolik Stasi Santo
Yosep, Jalan Dr Mansur, Kota Medan, Sumatera Utara. Pelaku mengalami luka bakar,
sedangkan seorang pastor mengalami luka ringan.

Pada 13 November 2016, sebuah bom molotov meledak di depan Gereja Oikumene
Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Empat anak-anak terluka dan satu korban di antaranya
meninggal dunia dalam perawatan di rumah sakit.

Pada 14 November 2016, sebuah bom molotov meledak di Vihara Budi Dharma, Kota
Singkawang, Kalimantan Barat.

2017

Pada 24 Mei 2017, sebuah Bom Panci meledak di Kampung Melayu, Jakarta Timur.

Pada 27 Februari 2017, sebuah Bom panci meledak di Taman Pandawa Cicendo, Bandung.
Pelaky diketahui bernama Yayat Cahdiyat alias Dani alias Abu Salam (41) yang merupakan
anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) jaringan Bandung Raya

2018

Teror di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat. Kerusuhan yang terjadi antara pihak kepolisian
yang berada di komplek Mako Brimob, Depok, Jawa Barat degan narapidana teroris yang
menjadi tahanan. Dalam kerusuhan ini enam polisi sempat dijadikan sandra.

Bom di 3 Gereja di Surabaya. 3 Gereja pada hari Minggu, 13 Mei mengalami teror. Dalam
teror kali ini, pelaku diketahui merupakan satu keluarga. Bom diledakkan di Gereja Santa
Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pentakosta Jalan Arjuna.

Bom di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo. Minggu (13/5), Ada dugaan bom yang meledak
dalam aksi teror ini terjadi karena terduga teroris tidak sengaja meledakkan bom rakitannya.
Pelaku teror bom ini diketahui merupakan satu keluarga yang masih memiliki hubungan
dengan keluarga pelaku teror bom di 3 Gereja di Surabaya, pagi harinya.

Bom di Polrestabes Surabaya. Sehari pasca kejadian ledakan teror bom yang terjadi di 3
Gereja, pada Senin, 14 Mei di Mapolrestabes Surabaya terjadi juga teror bom dilakukan oleh
satu keluarga. Sepasang suami istri dengan tiga orang anaknya mendatangi Polrestabes
Surabaya dengan menggunakan dua sepeda motor.
Penyerangan terduga teroris ke Mapolda Riau. Tepat sehari sebelum bulan Ramadan
dimulai, Selasa, 16 Mei, Polda Riau juga diserang oleh sekawanan orang yang diduga
tergabung dalam kelompok terorisme. Kawanan ini terdiri dari lima orang.

F. Usaha Pemerintah dalam Mengatasi Terorisme

Masih adanya ancaman terorisme di Indonesia juga disebabkan oleh belum adanya
payung hukum yang kuat bagi kegiatan intelijen untuk mendukung upaya pencegahan dan
penanggulangan terorisme. Kendala lain dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme
adalah belum adanya pembinaan yang menjamin dapat mengubah pemikiran radikal menjadi
moderat. Sementara itu masih lemahnya sistem pengawasan terhadap peredaran berbagai
bahan pembuat bom, menyebabkan para teroris masih leluasa melakukan perakitan bom
yang tidak terdeteksi.

Berikut adalah arah kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah dalam rangka mencegah dan
menanggulangi kejahatan terorisme pada tahun 2005 – 2009 adalah sebagai berikut:

1. Penguatan koordinasi dan kerja sama di antara lembaga Pemerintah;

2. Peningkatan kapasitas lembaga pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan


teroris, terutama satuan kewilayahan;

3. Pemantapan operasional penanggulangan terorisme dan penguatan upaya deteksi secara


dini potensi aksi terorisme;

4. Penguatan peran aktif masyarakat dan pengintensifan dialog dengan kelompok


masyarakat yang radikal,

5. Peningkatan pengamanan terhadap area publik dan daerah strategis yang menjadi target
kegiatan terorisme;

6. Sosialisasi dan upaya perlindungan masyarakat terhadap aksi terorisme;

7. Pemantapan deradikalisasi melalui upaya-upaya pembinaan (soft approach) untuk


mencegah rekrutmen kelompok teroris serta merehabilitasi pelaku terror yang telah
tertangkap.

Dalam rangka mencegah dan menanggulangi ancaman terorisme di dalam negeri,


Pemerintah telah menempuh berbagai cara, terutama dengan mengambil tindakan-tindakan
yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pemerintah, melalui aparat terkait, telah
melakukan pendekatan melalui tokoh masyarakat, tokoh agama moderat dan yang cenderung
radikal guna mengubah pemikiran radikal menjadi moderat, yakni dengan memberikan
pengertian sesungguhnya tentang istilah jihadyang selama ini “disalahartikan”.

Permasalahan terorisme hanya dapat diselesaikan melalui kerja sama dan koordinasi
antara berbagai pemangku kepentingan (stake holder), baik instansi pemerintah maupun
masyarakat. Untuk itu, TNI dan Polri terus melakukan latihan gabungan mengingat
pentingnya kerja sama TNI-Polri untuk terorisme. Untuk membantu penanganan kasus yang
berhubungan dengan terorisme, Kejaksaan Agung membentuk satuan tugas penanganan
tindak pidana terorisme dan tindak pidana lintas negara sehingga diharapkan penyelesaian
kasus terorisme dapat dilakukan dengan lebih baik.

Dalam mencegah dan menanggulangi terorisme, Pemerintah tetap berpedoman pada


prinsip yang telah diambil sebelumnya, yakni melakukan secara preventif dan represif yang
didukung oleh upaya pemantapan kerangka hukum sebagai dasar tindakan proaktif dalam
menangani aktivitas, terutama dalam mengungkap jaringan terorisme. Peningkatan kerja
sama intelijen, baik dalam negeri maupun dengan intelijen asing, melalui tukar-menukar
informasi dan bantuan-bantuan lainnya, terus ditingkatkan. Untuk mempersempit ruang
gerak pelaku kegiatan terorisme, Pemerintah akan terus mendorong instansi berwenang
untuk meningkatkan penertiban dan pengawasan terhadap lalu lintas orang dan barang di
bandara, pelabuhan laut, dan wilayah perbatasan, termasuk lalu lintas aliran dana, baik
domestik maupun antarnegara.

Penertiban dan pengawasan juga akan dilakukan terhadap tata niaga dan penggunaan
bahan peledak, bahan kimia, senjata api dan amunisi di lingkungan TNI, Polisi, dan instansi
pemerintah. Selain itu, TNI, Polisi, dan instansi pemerintah juga terus melakukan pengkajian
mendalam bekerja sama dengan akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh
agama. Peningkatan kemampuan berbagai satuan anti teror dan intelijen dalam
menggunakan sumber-sumber primer dan jaringan informasi diperlukan agar dapat
membentuk aparat anti teror yang profesional dan terpadu dari TNI, Polri, dan BIN.
Selanjutnya, kerja sama internasional sangat perlu untuk ditingkatkan karena terorisme
merupakan permasalahan lintas batas yang memiliki jaringan dan jalur yang tidak hanya ada
di Indonesia.
G. Kendala yang Dihadapi Pemerintah dalam Mengatasi Terorisme

Peran Pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi terorisme sudah
menunjukan keberhasilan yang cukup berarti, tetapi masih banyak yang perlu dihadapi untuk
menciptakan perasaan aman di masyarakat dari aksi-aksi terorisme. Tragedi ledakan bom
belum lama ini menunjukan bahwa aksi terorisme harus terus diwaspadai, dimana bentuk
gerakan dan perkembangan jaringannya terus berubah sehingga sukar untuk dilacak.
Sulitnya penyelesaian permasalahan terorisme ini terjadi karena masih banyak faktor yang
menyebabkan terorisme dapat terus berkembang. Dari faktor perbedaan ideologis dan
pemahaman tentang agama yang berbeda-beda sampai kesenjangan sosial dan pendidikan
yang membuat masyarakat lebih mudah untuk disusupi oleh jaringan-jaringan teroris.

H. Pembentukan Detasemen Khusus 88

Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik
Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini
dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa
anggota juga merupakan anggota tim Gegana.

Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi


gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Unit khusus berkekuatan
diperkirakan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom),
dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu (Sniper).

Pasukan khusus ini dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat melalui bagian Jasa
Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service) Departemen Negara AS dan dilatih
langsung oleh instruktur dari CIA, FBI, dan U.S. Secret Service. Satuan pasukan khusus
baru Polri ini dilengkapi dengan persenjataan dan kendaraan tempur buatan Amerika Serikat,
seperti senapan serbu Colt M4, senapan penembak jitu Armalite AR-10, dan shotgun
Remington 870. Bahkan dikabarkan satuan ini akan memiliki pesawat C-130 Hercules
sendiri untuk meningkatkan mobilitasnya. Semua persenjataan yang diberikan, termasuk
materi latihan, diberitakan sama persis dengan apa yang dimiliki oleh satuan khusus
antiteroris AS.
BAB IV
PERUNDANG – UNDANGAN
ANTI TERORISME DI INDONESIA

A. Di berlakukannya Undang-undang Anti Terorisme Pertama Indonesia


Pada tanggal 12 Oktober 2002, menjadi wajah muram bagi Indonesia. Jelang tengah
malam, dua bom meledak bersamaan di depan Paddy’s Pub dan Sari Club di jalan Legian,
Kuta, Bali. Sepuluh menit kemudian, ledakan kembali terjadi. Tepatnya di Renon,
berdekatan dengan kantor Konsulat Amerika Serikat di Bali.

Ratusan korban jiwa dari berbagai negara berjatuhan dan ratusan lainnya luka-luka
semakin menambah cerita duka. Indonesia diserang teroris. Headline pemberitaan dalam
negeri hingga mancanegara saat itu. Peringatan berpergian ke Indonesia bagi warganya juga
dikeluarkan banyak negara.

Serangan yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Bom Bali I ini terjadi tepat 1 tahun, 1
bulan, plus 1 hari setelah serangan teroris ke menara kembar WTC, New York, Amerika
Serikat pada 11 September 2001 silam. Serangan Bom Bali I ini disebut-sebut sebagai
serangan terorisme terparah sepanjang sejarah Indonesia berdiri.

Presiden Megawati Soekarno Putri kala itu angkat bicara. Geram, itu yang dirasakan
Putri mendiang Presiden pertama, Soekarno. Mega meminta Kepolisian untuk menuntaskan
kasus yang telah mencoreng nama Indonesia ini. Bahkan, Megawati
memberi deadline penuntasan kasus ini dalam sebulan. Aparat bergerak cepat. Sejumlah
orang pun ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Sejak saat itu, terorisme menjadi
momok yang perlu diwaspadai.

Enam hari kemudian, tepatnya 18 Oktober 2002, Presiden Megawati menandatangani


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perppu Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Empat hari kemudian, tepatnya 22 Oktober 2002, Presiden Megawati menandatangani
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002, yang memberi mandat kepada Menteri Koordinator
Politik Hukum dan HAM untuk membuat strategi kebijakan nasional dalam menangani
terorisme.

Sebelum bom Bali I terjadi, berbagai serangan teror bom terjadi di Indonesia selama
kurun waktu dua tahun sebelumnya. Misalnya, pada tahun 2000 muncul bom Kedubes
Malaysia, bom Bursa Efek Jakarta, dan bom malam natal. Sedangkan pada 2001, muncul
bom Gereja Santa Anna dan HKBP, bom Plaza Atrium Senen Jakarta, bom restoran KFC
Makassar, bom sekolah Australia Jakarta dan bom granat manggis di depan rumah makan
ayam Bulungan Jakarta.

Sebelum tahun 2000, tepatnya pada 19 Mei 1999, Presiden BJ Habibie menandatangani
UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi. Dalam bagian menimbangnya, UU 26/1999 menyatakan bahwa UU No.
11/PNPS/1963 bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara yang berdasarkan
atas hukum serta menimbulkan ketidakpasitan hukum, sehingga dalam penerapannya
menimbulkan ketidakadilan dan keresahan bagi masyarakat.

Tertulis dalam buku Adnan Buyung Nasution, Pergulatan Tanpa Henti: Pahit Getir
Merintis Demokrasi, penyusunan RUU Anti Terorisme sudah dilakukan sejak akhir 1990-
an. Awalnya, pemerintah menyusun rancangan tanpa mengikutsertakan masyarakat, pakar
hukum dan akademisi di luar pemerintah. Saat sosialisasi rancangan dilakukan, Buyung
bersama Hakim Garuda Nusantara, Mulyana Kusumah dan Indrianto Senoadji menentang
keras konsep tersebut. Menurut Buyung, konsep tersebut bertolak belakang dengan
kepentingan nasional dan melanggar prinsip-prinsip keadilan maupun HAM.

Setahun kemudian, Buyung dan beberapa pakar lainnya diminta pemerintah sebagai
tenaga ahli untuk menyusun rancangan UU Anti Terorisme yang kedua. Rumusan yang
pertama dicabut. Alhasil, sekira tanggal 20 Mei 1999, tim pakar RUU Anti Terorisme
mempresentasikan hasilnya dalam sebuah lokakarya di BPHN.

Dalam RUU Anti Terorisme tersebut, terdapat beberapa hal yang belum disepakati.
Pertama, terkait data intelijen. Kedua, muncul usulan dibentuknya lembaga khusus atau
satuan tugas yang menangani terorisme. Isu ketiga tentang asas retroaktif, apakah UU Anti
Terorisme dapat berlaku surut terhadap peristiwa atau perkara yang sudah terjadi. Sementara
belum ada kesepakatan mengenai isu-isu ini, terjadi peristiwa Bom Bali I.
B. Masalah dalam Revisi Perundang-undangan Anti Terorisme Indonesia
Pada 14 Januari 2016, terjadi ledakan dan serangan bom di jalan MH Thamrin, gedung
Sarinah, Jakarta Pusat. Serangan di tengah kota Jakarta itu menghentakkan banyak pihak.
Menko Polhukam saat itu Luhut Binsar Panjaitan meminta DPR untuk merevisi UU No. 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Harapannya, UU yang baru
bisa mencegah tindakan teroris secara preventif sehingga serangan tidak terjadi.
Seminggu setelah itu, RUU Anti Terorisme pun masuk Program Legislasi Nasional
Prioritas Tahun 2016. Dalam revisi terdapat sejumlah poin perubahan usulan pemerintah.
Mulai adanya penambahan batas waktu penangkapan dan penahanan; Izin penyadapan
cukup dari hakim pengadilan; Penanganan kasus diperluas termasuk bagian dari upaya
preventif; Mencabut paspor bagi WNI yang mengikuti pelatihan militer teror di luar negeri;
Pengawasan terhadap terduga dan mantan terpidana terorisme hingga proses rehabilitasi.

Pada 11 Februari 2016 draf RUU Anti-Terorisme diserahkan ke DPR. Lalu, DPR
membentuk panitia khusus pembahasan RUU Anti Terorisme. Keberadaan anggota Pansus
RUU Anti Terorisme disahkan pada 12 April 2016. Sejumlah pasal disebut koalisi
masyarakat sipil sebagai pasal kontroversial. Misalnya terkait penahanan selama 6 bulan
tanpa status hukum jelas, yang disebut pasal Guantanamo. Lalu, pasal soal keterlibatan dan
kedudukan TNI dalam pemberantasan terorisme. Hingga definisi terduga teroris hingga
luasnya cakupan tindakan terorisme dan kekerasan.

Seiring dengan pembahasan RUU Anti-Terorisme ini, serangan bom terus berlangsung.
Misalnya, meledaknya bom di Mapolresta Surakarta pada 5 Juli 2016. Bom gereja Katolik
Stasi Santo Yosep, Medan pada 28 Agustus 2016. Bom Gereja Oikumene, Samarinda dan
Bom Vihara Budi Dharma, Kota Singkawang, Kalimantan Barat masing-masing pada 13
dan 14 November 2016.

Teranyar, peristiwa bom di Kampung Melayu pada 24 Mei 2017. Serta, dua hari
beruntun serangan di Jawa Timur. Tepatnya di tiga gereja di Surabaya dan Rusun Wonocolo
Sidoarjo pada 13 Mei 2018 dan serangan bom di Mapolresta Surabaya keesokan harinya,
pada 14 Mesi 2018. Presiden Joko Widodo menegaskan, jika RUU Anti Terorisme tak
kunjung disahkan hingga Juni, maka akan diterbitkan Perppu.
DPR seolah seperti dipaksa untuk segera mengesahkan RUU Anti-Terorisme ini.
Padahal, fakta sejarah tersebut membuktikan kebijakan hukum yang terbit guna
mengatasi/memberantas aksi terorisme, belum “ampuh” menghentikan serangan ledakan
bom yang sering terjadi.

Tekanan terhadap pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menguat setelah serangkaian serangan teror di
Surabaya dan Jakarta. Presiden Joko Widodo bahkan mengultimatum bakal menerbitkan
Perppu jika DPR gagal mengesahkan revisi tersebut hingga setelah masa reses berakhir.
Namun menerbitkan RUU Anti Teror lewat jalur cepat memicu kekhawatiran aktivis HAM.
Pasalnya draft revisi terhadap UU No.15/2003 yang terbit sejak era Megawati itu ditengarai
sarat pelanggaran hak asasi. Inilah sejumlah pasal yang dinilai kontroversial oleh sejumlah
fraksi di DPR dan berbagai organisasi kemanusiaan, antara lain Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan, Institute for Criminal Justice Reform, Human Rights Watch
dan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia.
Berikut adalah hal yang di dapat dari Revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme :

1. Definisi Terorisme
"Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Tindak Pidana Terorisme adalah
segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini." - Pasal 1
Pembahasan mengenai Definisi Tindak Pidana Terorisme di DPR mulai digelar pada
3 Februari 2017 lalu. Pemerintah sederhananya tidak menginginkan pencantuman definisi
terordalam RUU. Sejumlah fraksi di DPR menuntut agar RUU mencantumkan frasa 'tujuan
politik, motif politik atau ideologi.' Namun pemerintah berdalih, rumusan tujuan dan motif
politik bisa mempersempit upaya pembuktian di pengadilan.
Saat ini sejumlah fraksi di DPR, TNI dan Polri masing-masing sudah mengantongi definisi
terorisme versi sendiri. Namun pemerintah menolak pembahasan detail definisi karena
sudah disebutkan dalam Pasal 6 dan 7 RUU Terorisme. Pemerintah diklaim juga akan
mengusulkan pembahasan definisi tidak diteruskan agar RUU Terorisme bisa segera
disahkan.

2. Masa Penahanan
"Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap
tersangka dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari" - Pasal 25 (2)
"Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang oleh
penutut umum dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.” - Pasal 25 (3)
"Untuk kepentingan penuntutan, penahanan yang diberikan oleh penuntut umum berlaku
paling lama 90 (sembilan puluh) hari.” - Pasal 25 (4)
"Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dapat diperpanjang oleh hakim pengadilan negeri dalam waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari." - Pasal 25 (5)
"Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras
melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari." - Pasal
28
Selama 781 hari tersangka teroris bisa ditahan sejak masa pemeriksaan hingga proses
persidangan, antara lain 200 hari selama proses penyelidikan dan penyidikan, 90 hari untuk
proses penuntutan dan 470 hari untuk proses pengadilan. Kedua pasal tersebut disepakati
pemerintah dan DPR sejak Juni 2017 silam.
Namun Kontras mengkhawatirkan lamanya masa penahanan berpotensi menimbulkan
pelanggaran HAM menyusul masih adanya "praktik penyiksaan di lingkungan penegak
hukum." Kedua pasal ini juga ditengarai mencederai hak tersangka untuk mendapat proses
peradilan yang cepat dan sederhana.

3. Penyadapan
"Berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah, penyidik berwenang: a. Membuka,
memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang
mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Terorisme yang sedang diperiksa; b.
dan Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga
digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan dan melaksanakan Tindak Pidana
Terorisme, atau untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan terorisme” - Pasal
31
Pemerintah berusaha mempermudah prosedur perizinan penyadapan dalam kasus
terorisme. Dalam rancangan revisi awal, pemerintah menghapus syarat penyadapan hanya
dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama satu
tahun. Namun gagasan ini memicu kecaman dari organisasi HAM dan penolakan di DPR.
April silam pemerintah dan DPR sepakat mengembalikan dua syarat tersebut ke dalam RUU.

4. Keterlibatan TNI
"Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi
pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh
lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme."
"Peran Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia." - Pasal 43b
Sejak awal keterlibatan TNI sudah menuai penolakan dari DPR dan sejumlah organisasi
HAM. Pasalnya keberadaan TNI dikhawatirkan bakal mengubah corak penanggulangan
terorisme dari penegakan hukum ke ranah pertahanan negara yang berpotensi menciptakan
perang melawan teror.
Selain itu DPR berdalih keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme sudah diatur
dalam Pasal 7 ayat 3 UU No.: 34/2004. Pemerintah sepakat tidak mencantumkan peran TNI
secara detail dalam RUU dan sebaliknya menggunakan Perppu buat mengatur hal tersebut.

5. Hukuman Mati
"Dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun” - Pasal 6
"Setiap orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak
pidana terorisme sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6, 7, 8, 9, 10, 10A, 12, 12A, 12B
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua
puluh) tahun.” - Pasal 14
Kontras mengatakan keberadaan dua pasal tersebut berpotensi melanggar Kovenan
Internasional Hak Hak Sipil dan Politik yang sudah ditandatangani Indonesia. ICCPR
mewajibkan negara anggota untuk melindungi hak sipil dan politik warganegara, termasuk
hak hidup, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan berkumpul, hak pilih dan
pengadilan yang adil dan tidak berpihak.
Hukuman mati dalam tindak pidana terorisme juga ditengarai justru akan mewariskan
dendam dan bisa dijadikan propaganda untuk merekrut pejuang baru.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Aksi Terorisme yang terjadi bukan menjadi yang terakhir kalinya. Aksi pengeboman ini
selau dilakukan dengan jeda-jeda yang cukup untuk membuat kita lengah, lupa dengan
adanya terorisme. Pelaku aksi kejahatan ini pun masih belum diketahui apakah pelakunya
selalu sama, tetapi setidaknya, kita bisa menduga, bahwa mereka selalu jeli dalam
mengambil jeda waktu yang tepat.

Ruang lingkup terorisme jaman sekarang sudah lebih luas dan mengarah kepada
golongan masyarakat yang memiliki pondasi pemikiran yang lemah dan mudah digoyahkan.

Pada hakekatnya mereka (teroris) punya keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan itu
benar. Dan tidak memandang pemikiran lain selain pemikiran mereka untuk dilakukan.
Tidak ada belas kasih dan cinta damai antar sesama.

B. Saran
Perlu ada langkah yang pro-aktif terhadap penegakan hukum, pendekatan keras kepada
mereka untuk mencegah. Dan mengusahakan jangan sampai tahapannya sudah sampai
tahapan terakhir, yaitu terorisme. Jika hal tersebut terjadi, maka dianggap terlambat.

Pemerintah harus sangat mengupayakan kasus terorisme menjadi tuntas sebaik mungkin
hingga tidak ada bibit-bibit terorisme lagi yang akan berkembang nantinya.

Perlu dilakukan juga kerja sama dengan negara lain untuk mengusut pelaku terorisme
yang berasal dari luar dan yang akan masuk ke dalam Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.idntimes.com/news/indonesia/margith-juita-damanik/5-kasus-teror-di-
indonesia-selama-mei
http://mooza-alkaz.blogspot.com/2012/03/makalah-terorisme-di-indonesia.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme_di_Indonesia
https://www.idntimes.com/news/indonesia/teatrika/awal-mula-gerakan-terorisme-
indonesia-hingga-rentetan-bom-mei/full
http://tugas-ana.blogspot.com/2011/07/makalah-teroris.html
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b0531a3c651d/sekelumit-kisah-perjalanan-
uu-anti-terorisme
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_terorisme
https://tirto.id/empat-generasi-dalam-sejarah-terorisme-cwpb

Anda mungkin juga menyukai