Anda di halaman 1dari 24

PRAKARSA STRATEGIS

PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MASYARAKAT (IPMAS)

ABSTRAK

Tujuan Prakarsa Strategis Pengembangan Indeks Pembangunan Masyarakat


(IPMas) adalah mengukur kemajuan capaian pembangunan masyarakat, memberikan
gambaran mengenai kondisi pembangunan masyarakat Indonesia, serta menjadikannya
sebagai tolok ukur (benchmark) terhadap kualitas pembangunan masyarakat yang
mencerminkan nilai-nilai sosial dan tatatan hidup bermasyarakat, seperti gotong
royong, toleransi dan rasa aman. Selain itu, prakarsa strategis ini bertujuan untuk
melakukan pengembangan dan penyempurnaan Indeks Pembangunan Masyarakat
(IPMAS) dan menyusun laporan komprehensif terkait dengan kondisi pembangunan
masyarakat Indonesia. Pendekatan yang digunakan yaitu concept dan data driven
(landasan data) dimana pengukuran berbasis persepsi maupun perilaku serta
ketersediaan data.
Data primer dikumpulkan melalui serangkaian Focus Group Discussion (FGD)
di pusat dan daerah untuk menambah kekayaan persepsi, khazanah terminologi dan
konsep pembangunan masyarakat berdasarkan kompleksitas wilayah, serta
memperkuat konsep IPMas. Sedangkan data sekunder didapatkan dari studi literatur,
baik ditingkat nasional maupun internasional. Hasil Pengembangan IPMas terdiri dari
3 dimensi dan 12 variabel, antara lain: (1) dimensi Kohesi Sosial yang terdiri dari
variabel kerjasama sosial, (2) jejaring sosial, (3) aksi kolektif, dan (4) kepercayaan
sosial.
Dimensi Inklusi Sosial mencakup variabel penerimaan terhadap sosio kultural,
inklusi terhadap minoritas, kesetaraan gender, dan dukungan sosial terhadap kelompok
minoritas, sedangkan dimensi Pengembangan Kapasitas Masyarakat Sipil meliputi
variabel kesadaran hukum, organisasi sipil, mitigasi risiko sosial dan penyelesaian
sengketa secara beradab. Adapun ruang lingkup dari IPMas meliputi: (1) pengumpulan
data dan informasi serta pemetaan variabel yang relevan, baik dari publikasi BPS,
sektor terkait maupun dari dokumen-dokumen pendukung lainnya, (2) menyusun studi
literatur terkait pembangunan masyarakat yang bersumber dari jurnal maupun kajian
ilmiah ditingkat nasional dan internasional, (3) pemetaan/identifikasi peraturan serta

yosi@bappenas.go.id 1
kebijakan nasional yang mendukung upaya pembangunan masyarakat, (4) identifikasi
peraturan serta kebijakan ditingkat daerah yang mendukung upaya pembangunan
masyarakat sebagai lessons learned (pembelajaran), (5) pengembangan konsep
pembangunan manusia dan masyarakat yang holistik, (6) perumusan dan pembobotan
variabel dan indikator yang relevan dan pengembangan IPMAS, (7) melakukan studi
kasus di daerah dengan metode FGD, (8) analisa permasalahan dan tantangan yang
bersumber dari data dan informasi yang telah dikumpulkan, (9) penyusunan
rekomendasi dalam rangka pembangunan masyarakat di Indonesia, mencakup bentuk
dan mekanisme pelaksanaannya, dan (10) diseminasi rancangan pembangunan
manusia dan masyarakat di tingkat nasional dan daerah.
Setelah dilakukan penghitungan indikator dan bobot final, hasil penghitungan
untuk IPMas adalah 0,57. Rekomendasi tindaklanjut Pengembangan IPMas yaitu: (1)
perlunya penyediaan/pengumpulan data/survei baru atau pengembangan dari survei
yang telah ada untuk dapat mengakomodasi berbagai variabel/indikator IPMas yang
masih belum tersedia, (2) perlu adanya kajian lanjutan atau penajaman terhadap
sejumlah isu, variabel dan indikator dalam IPMas, (3) memperluas cakupan IPMas,
agar tidak hanyamemasukkan aspek kemasyarakatan, tetapi juga aspek-aspek lain
seperti ekonomi dan lingkungan.

1. Latar Belakang
Pembangunan manusia merupakan salah satu prioritas nasional yang akan
dilaksanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
periode 2015-2019, dengan menempatkan manusia tidak hanya sebagai sumber daya
pembangunan tetapi juga sebagai insan yang berkarakter. Dalam hal ini, revolusi
mental harus menjadi salah satu landasan yang akan mendukung pembangunan
masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik, patuh terhadap hukum, dan memiliki
rasa toleransi dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Oleh sebab itu, sebuah
indikator baru yang dapat mengukur kemajuan kehidupan bermasyarakat sangat
diperlukan guna menghasilkan informasi lain yang belum dapat disediakan oleh
pengukuran pembangunan manusia yang telah ada saat ini. Pengukuran dari kemajuan
pembangunan masyarakat tersebut akan dituangkan bersama dengan kemajuan
individu sebagai bagian dari pengukuran pembangunan manusia secara utuh.

yosi@bappenas.go.id 2
Saat ini telah ada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mengukur derajat
pembangunan manusia melalui aspek ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Dimensi
pembangunan manusia tidak hanya mencakup gambaran capaian individu seperti
penghasilan, tingkat pendidikan, dan status kesehatan, tetapi juga pencapaian didalam
kehidupan bermasyarakat. Ukuran IPM perlu dilengkapi dengan indikator komposit
lain yang mampu menggambarkan pembangunan manusia secara utuh khususnya
dalam kehidupan bermasyarakat, melalui Indeks Pembangunan Masyarakat (IPMas).
IPMas diharapkan dapat mengukur kondisi pembangunan masyarakat secara
kuantitatif dan spasial baik ditingkat nasional maupun daerah.
Pada tahun 2014, Kementerian PPN/Bappenas telah memprakarsai dan
melakukan penyusunan Indeks Pembangunan Masyarakat (IPMas). Indeks tersebut
kemudian menjadi salah satu indikator utama pengukuran pembangunan manusia
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Variabel yang digunakan adalah toleransi, gotong royong dan rasa aman. Data yang
digunakan bersumber dari Susenas Modul Sosial Budaya Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2012. Mengingat pengembangan IPMas masih berlangsung pada fase awal,
masih terdapat sejumlah keterbatasan terkait ketersediaan data, rumusan dimensi,
parameter dan indikator yang digunakan, serta reliabilitas dan akurasi analisis yang
dihasilkan. Namun, urgensi bagi tersedianya instrumen IPMas mendorong agar
ditengah keterbatasan tersebut, proses formulasi IPMas ini harus terus dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 2015, Kementerian PPN/Bappenas
melakukan penyempurnaan IPMas melalui kegiatan Prakarsa Strategis Pengembangan
Indeks Pembangunan Masyarakat. Proses formulasi IPMas dilakukan dari dua arah. Di
satu sisi, sebagai indeks, formulasi instrumen IPMas ini berangkat dari ketersediaan
data kuantitatif dan sejauh mana dimensi-dimensi yang belum tersedia data
kuantitatifnya dapat diupayakan. Di sisi yang lain, untuk dapat menggambarkan
pembangunan masyarakat secara utuh diperlukan kesepakatan mengenai nilai-nilai
tertentu sebagai rujukan bersama. Nilai dan manifestasinya ini diharapkan dapat
diturunkan menjadi parameter dan indikator yang bisa diukur. Melalui dialektika
proses yang bersifat concept-driven (dorongan konsep) dan data-driven (landasan data)
inilah diharapkan akan muncul formula yang bisa diandalkan untuk menghasilkan
informasi tentang pembangunan masyarakat yang bisa diandalkan.

yosi@bappenas.go.id 3
2. Tujuan
Tujuan dari prakarsa strategis ini adalah untuk melakukan pengembangan dan
penyempurnaan Indeks Pembangunan Masyarakat (IPMAS) dan menyusun laporan
komprehensif terkait dengan kondisi pembangunan masyarakat Indonesia. Adapun
ruang lingkup dari IPMas meliputi, (1) pengumpulan data dan informasi serta
pemetaan variabel yang relevan, baik dari publikasi BPS, sektor terkait maupun dari
dokumen-dokumen pendukung lainnya, (2) menyusun studi literatur terkait
pembangunan masyarakat yang bersumber dari jurnal maupun kajian ilmiah di tingkat
nasional dan internasional, (3) pemetaan/identifikasi peraturan serta kebijakan nasional
yang mendukung upaya pembangunan masyarakat, (4) identifikasi peraturan serta
kebijakan di tingkat daerah yang mendukung upaya pembangunan masyarakat sebagai
lessons-learned, (5) pengembangan konsep pembangunan manusia dan masyarakat
yang holistik, (6) perumusan dan pembobotan variabel dan indikator yang relevan dan
pengembangan IPMAS, (7) melakukan studi kasus di daerah dengan metode FGD, (8)
analisa permasalahan dan tantangan yang bersumber dari data dan informasi yang telah
dikumpulkan, (9) penyusunan rekomendasi dalam rangka pembangunan masyarakat di
Indonesia, mencakup bentuk dan mekanisme pelaksanaannya, dan (10) diseminasi
rancangan pembangunan manusia dan masyarakat di tingkat nasional dan daerah.
Hasil yang diharapkan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah tersusunnya naskah
akademis IPMas yang memuat tentang konsep pengembangan pembangunan
masyarakat Indonesia dan laporan komprehensif tentang kondisi pembangunan
masyarakat Indonesia yang menggunakan informasi terkini. Laporan ini juga
diharapkan dapat digunakan sebagai dasar perumusan kebijakan ke depan baik di
tingkat nasional maupun di tingkat daerah dengan memperhatikan titik-titik kelemahan
dari masing-masing dimensi kehidupan manusia dan permasalahan-permasalahan
spesifik wilayah.

3. Metodologi
3.1. Kerangka Analisis
Secara garis besar, tahapan pengkonstruksian pengembangan IPMas dibagi
menjadi empat tahapan yaitu penyusunan studi literatur, pengumpulan data melalui
workshop dan FGD, penilaian terhadap kualitas data indikator, dan perhitungan
indeks (Gambar 1).

yosi@bappenas.go.id 4
Gambar 1: Tahapan Konstruksi Pengembangan IPMas

Dalam proses pengembangan IPMas, salah satu masukan yang paling banyak
ditemui adalah perlunya membuat formula indeks agar sensitif terhadap dinamika
keragaman masyarakat Indonesia. Pada IPMas 2015 ini kategorisasi yang dibuat
memasukkan kategori Isu di antara kategori Dimensi dan Varibel. Dengan demikian,
untuk satu dimensi yang sama bisa jadi ada turunan isu yang berbeda antara satu
daerah dengan daerah yang lain. Begitu juga turunan variabel dan indikatornya
(Gambar 2. Kategorisasi dalam IPMas 2015) .

Tabel 1. Kategorisasi dalam IPMas 2015


Dimensi Variabel Indikator Pengukuran
Berubah menjadi
Dimensi Isu Variabel Indikator

Agar konsep ini bisa bekerja, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi.
Pertama, ada kejelasan dan kesepakatan tentang karakteristik yang dianggap khas dari
daerah yang bersangkutan. Dalam hal ini patut diperhatikan pula mengenai
ketersediaan dan keberlanjutan ketersediaan data dari tahun ke tahun. Kedua, variabel
dan indikator yang digunakan harus dipastikan dapat dibandingkan sehingga dalam
proses pembobotan bisa diukur secara setara antara satu daerah dengan daerah yang
lain.
yosi@bappenas.go.id 5
3.2. Metode Pelaksanaan Kajian
Metodologi yang digunakan adalah analisa data primer dan sekunder. Data
primer dikumpulkan melalui serangkaian FGD di tingkat pusat dan daerah.
Sedangkan data sekunder didapatkan dari studi literatur nasional maupun
internasional. FGD di tingkat pusat melibatkan kementerian dan lembaga terkait dan
lembaga non pemerintah. Sementara itu, FGD di daerah diselenggarakan di Provinsi
Sulawesi Selatan, Provinsi D.I. Yogyakarta, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
Provinsi Aceh. FGD di daerah melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda), Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana
(BP3AKB), Organisasi Perangkat Daerah terkait pembangunan manusia dan
masyarakat, organisasi non pemerintah, tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh
masyarakat. Dalam FGD Daerah tersebut dihadirkan pula beberapa narasumber
untuk menjadi pembahas dan memberikan masukan terhadap konsep IPMas yang
telah disusun. Setelah masukan terhadap konsep IPMas terhimpun, dilakukan proses
pembobotan dan penghitungan IPMas berdasarkan ketersediaan dan keberlanjutan
data.

3.3 Data
Sumber data untuk pembobotan dan perhitungan IPMas bersumber dari
Susenas Modul Ketahanan Sosial (Hansos) tahun 2014, Potensi Desa (Podes) tahun
2014, dan Susenas KOR 2015. Adapun rincian isu, variabel, indikator dan perkiraan
bobot untuk perhitungan IPMas terlampir pada Tabel 2.

Tabel 2. Indexing dan Pembobotan IPMas


Isu Variabel Indikator Perkiraan
bobot
Kohesi Sosial
Kerjasama 1. Partisipasi dalam 1. Persentase rumah tangga 3
Sosial kegiatan sosial menurut keikutsertaan dalam
kegiatan bersama untuk
membantu warga yang
mengalami musibah (kematian,
kebakaran, dll.)

yosi@bappenas.go.id 6
Isu Variabel Indikator Perkiraan
bobot
Jejaring 2. Partisipasi dalam 2.1 Persentase rumah tangga 3
sosial kegiatan kelompok menurut banyaknya organisasi
yang diikuti (yang mempunyai
pengurus)
2.2 Persentase rumah tangga 3
menurut keikutsertaan dalam
kegiatan keagamaan
(pengajian, perayaan,
keagamaan, dll)
2.3 Persentase rumah tangga 3
menurut keikutsertaan
dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan (olah raga,
kesenian, arisan, dll)
Aksi kolektif 3. Partisipasi dalam 3. Persentase rumah tangga 3
kegiatan menurut keikutsertaan dalam
umum/publik kegiatan bersama untuk
kepentingan warga (kerjabakti,
siskamling, dll)
Kepercayaan 4. Sikap percaya 4.1 Persentase rumah tangga 3
sosial terhadap menurut kepercayaan
lingkungan menitipkan rumah kepada
tetangga
4.2 Persentase rumah tangga 4
menurut kepercayaan terhadap
tokoh masyarakat dalam
membantu mengatasi masalah
warga
4.3 Persentase rumah tangga 4
menurut kepercayaan terhadap
polisi dalam menjaga
keamanan dan ketertiban
masyarakat

yosi@bappenas.go.id 7
Isu Variabel Indikator Perkiraan
bobot
4.4 Persentase rumah tangga 4
menurut kesamaan suku dalam
memilih kepala daerah
Inklusi Sosial
Penerimaan 5 Tanggapan 5.1 Persentase rumah tangga 3
terhadap terhadap menurut tanggapan terhadap
perbedaan pelaksanaan kegiatan keagamaan lain di
sosial kegiatan sekitar lingkungan tempat
keagamaan/etnis tinggal
5.2 Persentase rumah tangga 3
lain
menurut tanggapan terhadap
kegiatan oleh suku lain di
lingkungan tempat tinggal
Kesetaraan 6.a Kesetaraan gender 6.a.1 Rasio rata-rata lama sekolah 3
gender dalam pendidikan penduduk usia 10-44 tahun
dan pekerjaan perempuan terhadap laki-laki
6.a.2 Tingkat partisipasi angkatan 3
kerja penduduk perempuan
terhadap laki-laki
Dukungan 7. Dukungan 7.1 Persentase anak balita tidak 3
sosial bagi terhadap penduduk terlantar
minoritas penyandang
masalah
7.2 Persentase lansia tidak terlantar 3
kesejahteraan
sosial
Kapasitas Partisipasi Masyarakat
Kesadaran 8.a Kepemilikan 8.a Persentase anak usia 0-17 5
Hukum dan identitas dasar tahun yang mempunyai akta
Politik kelahiran
8.b Partisipasi dalam 8.b.1 Persentase penduduk menurut 3
Pemilu terakhir keikutsertaan dalam Pemilu
(2014) Legislatif 2014

yosi@bappenas.go.id 8
Isu Variabel Indikator Perkiraan
bobot
8.b.2 Persentase penduduk menurut 3
keikutsertaan dalam Pilpres
2014
Organisasi 9. Keanggotaan 9.1 Persentase penduduk yang 3
Masyarakat dalam organisasi menjadi anggota Ormas (yang
Sipil massa (Ormas) mempunyai AD/ART)
9.2 Persentase penduduk yang 3
dan partai politik
menjadi anggota Parpol peserta
(Parpol)
Pemilu 2014
Mitigasi 10.a Ketersediaan 10.a.1 Persentase desa/kelurahan 3
Resiko fasilitas/upaya menurut keberadaan fasilitas
Sosial antisipasi sistem peringatan dini bencana
/mitigiasi bencana alam
10.a.2 Persentase desa/kelurahan 3
alam
menurut ketersediaan jalur
evakuasi/mitigasi bencana
10.b Partisipasi dalam 10.b Persentase penduduk yang 3
pendidikan dan pernah mengikuti
pelatihan pelatihan/simulasi terhadap
kesiapsiagaan penyelamatan bencana alam
bencana alam dalam tiga tahun terakhir
Penyelesaian 11.a Keterlibatan aparat 11.a Persentase desa/kelurahan 3
sengketa keamanan/ menurut keterlibatan aparat
secara pemerintahsebagai keamanan/pemerintah sebagai
beradab penengah dalam penengah dalam perkelahian
kekerasan massa massa
11.b Keterlibatan tokoh 11.b Persentase desa/kelurahan 3
masyarakat/agama menurut keterlibatan tokoh
sebagai penengah masyarakat/agama sebagai
dalam kekerasan penengah dalam perkelahian
massa massa

4. Hasil Prakarsa Strategis Dan Analisis


4.1. Konsep Indeks Pembangunan Masyarakat

yosi@bappenas.go.id 9
Kerangka pikir pembangunan manusia dan masyarakat menekankan tiga aspek
utama yaitu aspek ekonomi (pengentasan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan
dasar), manusia sebagai sumber daya (taraf pendidikan, status kesehatan dan
keterampilan kerja), serta kehidupan bermasyarakat (gotong royong, toleransi dan
rasa aman). Indeks Pembangunan Masyarakat (IPMas) difokuskan pada aspek ke-3,
yaitu kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana dipahami bersama, manusia selalu
hidup dalam kelompok masyarakat, dan kehidupan mereka secara individu sangat
ditentukan oleh keputusan-keputusan yang dibuat oleh kelompok masyarakat
tersebut. Namun demikian, setiap individu dapat menghadapi tantangan yang
berbeda dengan adanya kepentingan yang berbeda antar anggota masyarakat.
Indikator pembangunan masyarakat perlu mengukur dinamika dalam
masyarakat, yang dalam hal ini diwakili oleh beberapa dimensi sebagai berikut: (1)
gotong-royong yang dapat menggambarkan modal sosial, dapat dilihat dalam aspek
kepercayaan pada lingkungan, praktik tolong menolong, aksi kolektif untuk terhadap
suatu hal di dalam masyarakat, dan jejaring sosial dalam masyarakat, (2) toleransi
yang dapat menggambarkan kohesi sosial, yang merupakan bekal terjadinya
kerukunan didalam masyarakat, diukur dengan melihat toleransi antar umat
beragama dan antar suku, dan (3) rasa aman yang merupakan persepsi masyarakat
tentang keamanan di lingkungan tempat tinggal mereka.
Dalam rangka pengembangan Indeks Pembangunan Masyarakat, telah
dilakukan serangkaian kajian literatur dan diusulkan dimensi dan variabel baru yang
lebih komprehensif dan relevan dengan konsep awal pada RPJMN. Ketiga dimensi
tersebut adalah kohesi sosial, inklusi sosial, dan pengembangan kapasitas masyarakat
sipil. Dimensi ini berbasis concept driven (dorongan konsep), yaitu konsep yang
dibangun di tahap awal untuk kemudian diikuti dengan ketersediaan data-data yang
relevan.
4.1.1. Dimensi kohesi sosial terdiri dari empat variabel, antara lain (1)
kerjasama sosial, (2) jejaring sosial, (3) aksi kolektif, dan (4)
kepercayaan sosial.
4.1.2. Dimensi inklusi sosial terdiri dari empat variabel, yaitu, (1)
penerimaan terhadap perbedaan sosial budaya, (2) inklusi minoritas,
(3) kesetaraan gender, dan (4) dukungan sosial kepada minoritas.

yosi@bappenas.go.id 10
4.1.3. Dimensi pengembangan kapasitas masyarakat sipil terdiri dari empat
variabel, antara lain: (1) kesadaran hukum, (2) organisasi masyarakat
sipil, (3) mititgasi risiko sosial, dan (4) penyelesaian sengketa secara
beradab.

4.2. Definisi Konseptual Dimensi dan Variabel IPMas


4.2.1. Kohesi Sosial
Kohesi sosial menurut Lauri Andress terdiri dari kekuatan
yang berada pada anggota masyarakat untuk tetap berada dalam
kelompok dan secara aktif berkontribusi, mencakup enam dimensi
yaitu rasa memiliki, perasaan semangat juang, tujuan bersama,
kepercayaan, resiprositas, kohesi dalam jejaring.1 Kohesi sosial
juga berkaitan dengan toleransi, saling menghormati keragaman
(dalam hal agama, suku, situasi ekonomi, preferensi politik,
seksualitas, gender dan usia) baik secara kelembagaan dan
individual.2 Dimensi Kohesi Sosial terdiri dari empat variabel, yaitu
kerjasama sosial, jejaring sosial, aksi kolektif, dan kepercayaan
sosial.

4.2.1.2. Kerjasama Sosial


Kerjasama sosial merupakan bentuk dari solidaritas
sosial yang ditandai dengan adanya saling bantu-membantu
dan/atau sistem atau aktivitas pendukung di dalam
masyarakat berdasarkan kepentingan bersama sebagai
anggota masyarakat. Menurut Llewelyn-Davies, solidaritas
merupakan komitmen terhadap saling membantu atau
memberikan dukungan, berdasarkan persepsi, dan
karakteristik tertentu, dengan memperhatikan prinsip-
prinsip sosial, bukan kepentingan ekonomi, politik, atau
kelompok tertentu3.
4.2.1.3. Jejaring Sosial
1
LauriAndress, The Complexity of Community Involvement Meaning and Measurement of Civic Engagement
and Civic Capacity, 2010, hal. 8.
2
UNDP, Community Security and Social Cohesion, Towards a UNDP Approach, Bureau for Crisis Prevention
and Recovery, UNDP, 2009, hal. 14
yosi@bappenas.go.id 11
Grootaert mendefinisikan jejaring sosial sebagai
jaringan pertemanan yang dekat dimana seseorang merasa
nyaman untuk berbicara terkait persoalan pribadinya, atau
meminta bantuan.4 Jejaring sosial merupakan keberadaan
dan aksesibilitas terhadap beragam sumber dukungan sosial
bagi anggota masyarakat.
4.2.1.4. Aksi Kolektif
Aksi kolektif merupakan perilaku yang terkoordinasi
dari suatu kelompok untuk mencapai tujuan bersama.5 Hal
ini didukung oleh Sandler yang menyatakan studi mengenai
aksi kolektif, fokus meneliti faktor-faktor yang memotivasi
individu untuk mengkoordinasikan kegiatan mereka demi
kesejahteraan bersama.6

4.2.1.5. Kepercayaan Sosial


Menurut The Organisation for Economic Co-operation
and Development (OECD), kepercayaan sosial atau rasa
percaya, merupakan persepsi keandalan dan kepercayaan
antar anggota masyarakat, kelompok dan lembaga.7
Kepercayaan secara umum sering dikaitkan dengan
kesejahteraan dan diketahui memiliki pengaruh terhadap
pembangunan ekonomi. Studi OECD menyebutkan, negara
dengan tingkat kepercayaan yang tinggi erat kaitannya
dengan tingkat pendapatan rumah tangga yang tinggi, dan
rendahnya kesenjangan pendapatan.8 Tingkat kepercayaan
yang rendah merupakan indikator yang kuat dari
masyarakat dengan nilai budaya dan norma yang enggan

3
Graham Crow, Social solidarities, Theories, identities and social change, Buckingham: Open University Press,
2002, hal. 6.
4
Christiaan Grootaert, Deepa Narayan, Veronica Nyhan Jones, Michael Woolcock, Measuring Social Capital,
An Integrated Questionnaire, World Bank Working Paper No. 18, World Bank, 2004, hal. 11.
5
Vermillion in Meinzen-Dick, Knox, dan Di Gregorio, Glossary, http://www.capri.cgiar.org/glossary/, diakses
pada 12 September 2015.
6
Ibid.
7
OECD, Trust, Society at a Glance 2011, hal. 90.
8
Ibid.
yosi@bappenas.go.id 12
bekerja sama, dengan demikian mempersulit untuk
meningkatkan kapabilitas individu.

4.2.2. Inklusi Sosial


Inklusi sosial bermakna suatu proses untuk meningkatkan kondisi
bagi individu dan kelompok untuk mengambil bagian dalam
masyarakat. Secara umum inklusi sosial menegaskan pentingnya akses
secara adil dalam pembangunan terhadap semua anggota masyarakat
tanpa terkecuali. Marginalisasi, eksklusi, dan penolakan terhadap
anggota masyarakat yang berbeda secara kultur, etnik, gender, dan
kemampuan fisik (difabel) yang sering disebut kelompok minoritas
seringkali tak terelakkan dalam negara yang majemuk seperti
Indonesia. Marginalisasi terhadap etnik, agama dan minoritas
berdasarkan linguistik, memiliki dampak detrimental yang
signifikan terhadap pengurangan kemiskinan, pemerintahan yang
demokratis, lingkungan yang berkelanjutan dan pencegahan terhadap
konflik.9 Dimensi Inklusi sosial terdiri dari empat variabel, yaitu
penerimaan terhadap perbedaan sosio-kultural, inklusi terhadap
minoritas, kesetaraan gender, dan dukungan sosial terhadap minoritas.

4.2.2.1. Perbedaan Sosio-kultural


Penerimaan terhadap perbedaan sosio-kultural bermakna
kondisi di mana perbedaan sosial-budaya tidak dipandang
sebagai hambatan untuk interaksi sosial dan kerjasama di
tingkat beragam dan konteks dalam masyarakat. Variabel ini
juga dapat merujuk pada konsep toleransi, yang oleh OECD
dimaknai sebagai tingkat penerimaan masyarakat terhadap
kelompok minoritas.10
4.2.2.2. Inklusi terhadap Minoritas
Inklusi sosial adalah tersedianya akses yang sama dan
adanya representasi kelompok minoritas sosial untuk

9
Democratic Governance Group, Marginalised Minorities In Development Programming, A UNDP Resource
Guide and Toolkit, UNDP, 2010, hal. 1
10
OECD, Tolerance, Society at a Glance 2011, hal. 98.
yosi@bappenas.go.id 13
berpartisipasi dalam masyarakat tanpa menjadi sasaran
diskriminasi sosial dan/atau kelembagaan. Inklusi sosial
fokus mengukur tingkat diskriminasi terhadap kelompok
rentan seperti masyarakat adat, migran, pengungsi, dan
kelompok kasta yang lebih rendah.11 Untuk mengantisipasi
konflik akibat relasi asimetris dari kelompok mayoritas dan
minoritas yang terwujud dalam bentuk eksklusi sosial, maka
inklusi sosial dalam pembangunan masyarakat mutlak
diperlukan.
4.2.2.3. Kesetaraan Gender
Kesetaraan Gender merujuk pada perlakuan dan/atau
persepsi yang sama atas individu berdasarkan pemahaman
gender yang dibentuk secara subyektif. Dalam konteks
pembangunan masyarakat, kesetaraan gender berkaitan dengan
perbedaan perlakuan dalam relasi kuasa. Variabel kesetaraan
gender merupakan salah satu pembeda antara penyusunan
indeks terdahulu dan pengembangan konsep di indeks terkini.
Dalam pengembangan IPMas 2015, variabel kesetaraan
gender berfokus pada pelibatan kelompok gender yang
seringkali termarginalkan karena relasi kuasa, dalam
pembangunan masyarakat atau kegiatan publik.
4.2.2.4. Dukungan Sosial terhadap Minoritas
Selain penerimaan terhadap perbedaan sosio-kultural
dan menginklusi kelompok minoritas, maka diperlukan pula
bentuk dukungan sosial terhadap minoritas, yaitu adanya
respon pihak lain dalam penyediaan dukungan emosional,
informasi, perawatan nyata atau bantuan material dan
perlindungan bagi kaum minoritas.

4.2.3. Pengembangan Kapasitas Masyarakat Sipil


Kapasitas masyarakat mengacu pada perluasan aset dan
kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi, bernegosiasi,

11
Ellen Webbink, Inclusion of Minorities, Indices of Social Development, 2012, hal. 1.
yosi@bappenas.go.id 14
memberikan pengaruh, mengontrol dan mempertahankan institusi yang
akuntabel yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kapasitas
masyarakat mencakup pembangunan secara kualitatif dan/atau
kuantitatif seperti populasi, gaya hidup, kesehatan, pendidikan, usia,
toleransi dan partisipasi.
Hubungan yang dekat dan refleksif antara kapasitas masyarakat
dan modal sosial misalnya dapat dilihat dari hubungannya di faktor
kesehatan. Kapasitas masyarakat juga meliputi konteks kelembagaan,
baik sistem politik dan organisasi, distribusi hak milik, budaya (tradisi,
nilai-nilai etika, dll), teknologi dan pengetahuan.12 Dimensi
pengembangan kapasitas masyarakat sipil terdiri dari empat variabel,
yaitu kesadaran hukum, organisasi sipil, mitigasi risiko sosial, dan
penyelesaian sengkera secara beradab.
4.2.3.1. Kesadaran Hukum
Mertokusumo menyatakan bahwa kesadaran hukum
berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan
atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau
perbuat terutama terhadap orang lain. 13 Kesadaran hukum
merupakan kapasitas anggota masyarakat untuk bertindak dan
menanggapi yang didasari dan disadari atas pengetahuan
terhadap dalam kerangka hak dan kewajiban hukum.
4.2.3.2. Organisasi Sipil
Organisasi sipil mengacu pada kapasitas anggota
masyarakat untuk mengidentifikasi, bertindak dan mengatur
dalam kerangka organisasi dengan berlandaskan prinsip-
prinsip kewarganegaraan, dan non-primordial. Peran dan
hubungan negara dengan organisasi masyarakat sipil bersifat
kemitraan, dimana negara mendorong kapasitas dan
keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam mengelola
sumber daya publik, termasuk di dalamnya, mengembangkan

12
Volker Mauerhofer, Social capital, capacity and carrying capacity: exploring basics of ‘socially sustainable
economic degrowth’, dalam “2nd Conference on Economic Degrowth for Ecological Sustainability and Social
Equity, Barcelona, 26-29 Maret 2010.
13
Sudikno Mertokusumo, 1981, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Yogyakarta: Liberty, hal. 2.
yosi@bappenas.go.id 15
skema dan prosedur pelibatan organisasi masyarakat sipil
dalam sumber daya publik.14
4.2.3.3. Mitigasi Resiko Sosial
Mitigasi resiko sosial adalah bentuk kapasitas
masyarakat untuk memobilisasi pengetahuan, mengatur dan
mengambil tindakan kolektif dalam mencegah dan mengatasi
efek dari gangguan sosial yang disebabkan oleh bencana
buatan manusia atau bencana alam. Mitigasi resiko sosial juga
salah dari pengaturan manajemen risiko berbasis masyarakat
yang mencakup strategi yang digunakan dan dikelola oleh
kelompok sosial untuk tujuan perlindungan terhadap efek
buruk dari berbagai jenis risiko, yang diadopsi, dikembangkan
oleh masyarakat adat dan dikerjakan oleh anggota kelompok
masyarakat itu sendiri.15
4.2.3.4. Penyelesaian Sengkera secara Beradab
Penyelesaian sengketa secara beradab merupakan
kapasitas masyarakat untuk memobilisasi mekanisme
pengelolaan konflik tanpa kekerasan untuk mengakhiri
perselisihan. Dalam beberapa literatur disebut juga dengan
Community Based Conflict Management (CBCM), yaitu
proses pengelolaan, antisipasi, penyelesaian konflik yang
prosesnya diletakkan pada komunitas/masyarakat, sepenuhnya
bergantung pada pihak-pihak yang berkepentingan.16
Dalam naskah Rancangan UU tentang Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Adat (PPMA), disebutkan mengenai
penyelesaian sengketa, yang bermakna suatu proses dengan
mekanismenya yang secara khusus dimaksudkan
menyelesaikan perbedaan bentuk-bentuk kegiatan lembaga

14
Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 3/PUU-XII/2014,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_2102_3%20PUU%202014_Or mas-telahucap-
23_Des_2014_header-%20wmActionWiz.pdf, diunduh pada 12 Oktober 2015, hal. 49
15
Ruchira Bhattamishra, dan Christopher B. Barrett, Community-based Risk Management Arrangements: An
Overview and Implications for Social Fund Programs, SP DISCUSSION PAPER NO. 0830, World Bank,
Oktober 2008, hal. 3.
16
Fredian Tonny Nasdian, Pengembangan Masyarakat, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015, hal.
199-200.
yosi@bappenas.go.id 16
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati oleh para pihak yaitu penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi atau penilaian ahli.17

4.3. Identifikasi Indikator dan Evaluasi Data


Identifikasi indikator dilakukan melalui penelitian pada kuesioner dan
publikasi hasil survei-survei yang dilaksanakan BPS, yang diperkirakan dapat
menjadi sumber data untuk IPMas 2015. Dari hasil identifikasi diketahui bahwa
sebagian besar indikator dapat diperoleh dari Modul Sosial Budaya dan
Pendidikan (MSBP) Susenas 2012, Modul Ketahanan Sosial (Hansos), Susenas
2014, sebagian lagi dari data Kor. Susenas 2014 dan 2015, Potensi Desa (Podes)
2014, dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2014, khusus untuk
indikator kesetaraan gender bidang ketenagakerjaan. Dari identifikasi awal
diperoleh daftar rencana indikator” untuk masing-masing variabel; setiap
variabel bisa diwakili oleh 1 sampai 3 indikator. Daftar rencana indikator dan
sumber datanya seperti pada Tabel 2.
Sebagian besar daftar indikator IPMas 2015 berasal dari pertanyaan
tentang persepsi, dengan pilihan jawaban yang lebih bersifat subyektif
(contohnya: sangat percaya, percaya, kurang percaya, tidak percaya). Jawaban
responden terhadap pertanyaan seperti diatas diduga kurang stabil sehingga
indikator yang dihasilkan dari pertanyaan model tersebut diduga berfluktuasi
antar waktu. Perbandingan untuk beberapa indikator yang sama dari hasil
MSBP-Susenas 2012 dan “data sementara” hasil Modul Hansos – Susenas 2014
bisa dilihat dalam Tabel 3.
Tabel 3. Evaluasi Data
Indikator Dat Angk Angka Provinsi Keterangan
Tertingg Terendah Selisi
a a Nas. (5 tertinggi dan 5
i h
Th. terendah)
6.1 Tanggapan ter- 201 26,3 58,8 12,5 45,5 Kepri, Jakarta, Kaltim,
hadap 2 Lampung, Malut
pimpinan Gorontalo, NTB,

17
RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, http://www.aman.or.id/?file_id=39, diakses pada
3 Oktober 2015
yosi@bappenas.go.id 17
dari suku lain Sumbar, Bali, Sulut
63,4 81,8 39,6 42,2 Jakarta, Sulteng,
Tanggapan 201 Kaltim, Lampung,
perbedaan suku 4 Yogya
dalam memilih Gorontalo, NTB, Aceh,
kepala daerah Papua, Pabar
4.1 Kepercayaan 201 85,8 90,28 68,86 21,42 Sulbar, Jateng,
menitipkan 2 Lampung, Bengkulu,
rumah NTB
Papua, Jakarta, Pabar,
81,8 90,1 67,1 23,0 Kepri, Maluku
201 NTB, Jateng, Bengkulu,
4 Lampung, Sulsel
Papua, Kepri, Jakarta,
Sumbar, Maluku
4.2 Kepercayaan 201 66,36 76,02 35,16 40,86 Sulbar, Jateng, NTB,
menitipkan 2 Sultra, Sulsel
anak Jakarta, Kepri, Pabar,
Papua, Kaltim
63,5 78,0 38,9 39,1 NTB, Sulsel, Sulbar,
201 Jateng, Bengkulu
4 Jakarta, Kepri, Sumbar,
Papua, Kaltim

4.4. Hasil Perhitungan IPMas


Setelah dilakukan penghitungan indikator dan bobot final, hasil
penghitungan untuk IPMas adalah 0,57. Dengan Provinsi D.I.Yogyakarta
mendapatkan nilai indeks tertinggi, yaitu 0,68 sedangkan Provinsi Papua
menjadi provinsi dengan nilai indeks terendah, yaitu 0,48. Hasil perhitungan ini
sejalan dengan hasil perhitungan IPMas tahun 2014 bahwa Provinsi
D.I.Yogyakarta juga memiliki nilai IPMas yang cukup baik. Hal ini
dilatarbelakangi oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut:

yosi@bappenas.go.id 18
4.4.1. Filosofi dan tandon kebudayaan yang dipegang teguh oleh masyarakat
Yogyakarta dan menjadi dasar dalam berprilaku sehari-hari dalam
masyarakat Yogyakarta.
4.4.2. Filosofi yang unik dan mampu menjadi landasan dalam menghadapi
situasi kontradiktif. Dalam hal ini filosofi menjadi dasar dari aksi
masyarakat dalam menghadapi masalah, misalnya ketika terjadi bencana
maka akan dengan sendirinya terbentuk gotong royong.
4.4.3. Kearifan lokal yang terus dipelihara melalui kepemimpinan seorang
sultan.
4.4.4. Sanksi sosial di masyarakat yang menjadi aturan tidak tertulis namun
efektif dalam masyarakat.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
5.1.1. Berdasarkan hasil kajian, dapat disimpulkan bahwa Indeks
Pembangunan Masyarakat (IPMas) yang telah dikembangkan dapat
digunakan sebagai sebuah indeks pengukuran yang digunakan untuk
mengidentifikasi dinamika yang terjadi di masyarakat, baik gambaran
tentang situasi kohesi, inklusi, dan maupun kapasitas partisipasi
masyarakat di setiap daerah.
5.1.2. Setiap daerah memiliki nilai-nilai sosial yang spesifik, yang
mempengaruhi nilai IPMas. Namun demikian, dalam IPMas 2015 ini,
karakterisitk spesifik tersebut belum seluruhnya bisa dapat ditangkap
dalam formula yang ada. Hal ini disebabkan karena ketersediaan data
dari sumber-sumber data yang ada sangat terbatas. Pengembangan lebih
lanjut diperlukan, selain untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan
oleh pemerintah nasional, juga sebagai instrumen bagi pemerintah lokal
daerah dan juga masyarakat lokal untuk mengidentifikasi dan
mengantisipasi dinamika sosial yang mereka alami. Karena itu, dalam
IPMas 2015 ini telah mulai dibahas untuk mendesain formula Indexing
secara modular yang akan terus dikembangkan dan diuji. Namun
demikian, kategorisasi yang digunakan untuk IPMas 2015 telah
didesain untuk mengantisipasi dan mengamodasi konsep modular
tersebut. Hal ini merupakan salah satu poin penting dan menjadi tujuan

yosi@bappenas.go.id 19
besar dari pengembangan IPMas 2015, yaitu memunculkan gambaran
masyarakat Indonesia secara lebih komprehensif dan keragaman
merupakan elemen karakteristik utama dari masyarakat Indonesia.
5.1.3. Terkait penerapan konsep modular untuk IPMas selanjutnya, dari
pengalaman penyusunan IPMas 2015 ini didapati bahwa proses
pembobotan akan sangat menentukan hasil indexing (pengindeksan).
Pengakomodasian konsep ini berdampak pada adanya variabel dan
indikator yang beragam di antara daerah-daerah di Indonesia.
Tantangannya adalah bagaimana variabel dan indikator yang beragam
ini bisa tetap diperhitungkan secara setara dalam proses indexing
(pengindeksan). Dengan memasukkan kategori isu dalam IPMas 2015
ini, selanjutnya diharapkan akan mempermudah proses pembobotan ini,
ketika pembobotan bisa dilakukan di level isu atau dimensi.
5.1.4. Perlu memastikan adanya kesinambungan data, variabel, maupun
indikator pada survei-survei terkait yang akan dilakukan selanjutnya.

5.2. Rekomendasi
Rekomendasi terhadap tindaklanjut Pengembangan IPMas antara lain:
5.2.1. Perlunya penyediaan/pengumpulan data/survei baru atau
pengembangan dari survei yang telah ada untuk dapat mengakomodasi
berbagai variabel/indikator IPMas yang masih belum tersedia.
5.2.2. Perlu adanya kajian lanjutan atau penajaman terhadap sejumlah isu,
variabel dan indikator dalam IPMas.
5.2.3. Memperluas cakupan IPMas, agar tidak hanya memasukkan aspek
kemasyarakatan, tetapi juga aspek-aspek lain seperti ekonomi,
teknologi, dan lingkungan.
5.2.4. Pengembangan IPMas diharapkan dapat bersifat modular untuk
menangkap dinamika sosial yang bersifat plural dari masyarakat
Indonesia, menajamkan isu variabel dan indikator serta kearifan lokal
suatu daerah.
5.2.5. Memastikan ketersediaan, kesinambungan dan keberlanjutan data
sebagai penyempurnaan IPMas dan survey terkait lainnya.

yosi@bappenas.go.id 20
DAFTAR PUSTAKA

1. Akerstorm, N. A. (2003). Understanding Discursive Analytical Strategies:


Understanding Foucault, Koselleck, Laclau, Luhman. Bristol: The Policy Press.
2. Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Reflection of the Emergence and
Spread of Nationalism. London: Verso.
3. Anderson, B. (May 1983). Old State New Society: Indonesia's New Order in
Comparative Historical Perspective. The Journal of Asian Studies , 477-496.
4. Andres, L. (2010). The Complexity of Community Involvement Meaning and
Measurement of Civic Engagement and Civic Capacity.
5. Aspinall, E., & Klinken, G. v. (2011). The State and Illegality in Indonesia. Leiden:
KITLV.
6. Bank, W. (n.d.). Social Development. Retrieved Juli 18, 2015, from
http://www.worldbank.org/en/topic/socialdevelopment/overview
7. Bhattamishra, R., & Barrett, C. B. (Oktober 2008). Community-based Risk
Management Arrangements: An Overview and Implications for Social Fund
Programs. World Bank.
8. Boeke, J. (1953). Economics and Economic Policiy of Dual Society as Exemplified by
Indonesia. Amsterdam: Amsterdam Press Inc.
9. Christiaan, G., Narayan, D., Jones, V. N., & Woolcock, M. (2004). Measuring Social
Capital: Universl Questionaire, World Bank Working Paper no.18. World Bank.

yosi@bappenas.go.id 21
10. Crow, G. (2002). Social solidarities, Theories, identities and social change.
Buckingham: Open University Press.
11. Foa, R. (2015). Indices of Social Development Handbook, Indices of Social
Development. The Hague: ISS.
12. Furnivall, J. (2010). Netherlands India: a Studi of a Plural Economy. Cambridge:
Cambridge University Press.
13. Gender Equality and Women's Empowerment. (n.d.). Retrieved Oktober 3, 2015, from
https://sustainabledevelopment.un.org/topics/genderequalityandwomensempowerment
14. Group, D. G. (2010). Marginalised Minorities In Development Programming, A
UNDP Resource Guide and Toolkit. UNDP.
15. Harris, J., Stokke, K., & Tornquist, O. (2005). Politicising Democracy: The New
Local Politics of Decentralization. New York: Palgrave MacMillan.
16. Lay, C., Ambardi, D., Bayo, L., Asriani, D., & Aulia, S. (2014). Laporan Penelitian:
Public Distrust di Indonesia. Yogyakarta: Fisipol UGM.
17. Lichterman, P. (February 2009 vol. 52 no. 6). Social Capacity and the Styles of Group
Life, Some Inconvenient Wellsprings of Democracy. American Behavioral Scientist ,
846-866.
18. Luhulima, J. (2015, Oktober 3). Perempuan. Kompas , p. 2.
19. Mauerhofer, V. (26-29 Maret 2010). Social capital, capacity and carrying capacity:
exploring basics of socially sustainable economic growth. 2nd Conference on
Economic Degrowth for Ecological Sustainability and Social Equity. Barcelona
20. Mertokusumo, S. (1981). Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat. Yogyakarta:
Liberty.
21. Migley, J. (1995). Social Development: The Developmental Perspective In Social
Welfare. Thousan Oaks, CA: Sage Publications.
22. Nasdian, F. T. (2015). Pengembangan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
23. Nemirovskaya, A. Social tolerance under “harsh” conditions. Krasnoyarsk: Siberian
Federal University.
24. Noordholt, H. S., & Klinken, G. v. (2007). Politik Lokal di Indonesia. Jakarta:
KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia.
25. OECD. (2011). Tolerance, Society at a Glance.
26. OECD. (2011). Trust, Society at a Glance.

yosi@bappenas.go.id 22
27. Santoso, P. (2015). Civil Society as Hindrance to Participation: Lessons from
Discourse of Democracy in Indonesia. Sweden: Paper Presented in Seminar on
International on Political participation in Asia: Defining and deploying political space
Stockholm University.
28. Santoso, P. (2015). Hilangnya Wacana dan Sosok Pemimpin yang Bersih dan
Berwibawa. Yogyakarta: JPP FISIPOL UGM.
29. Santoso, P., Savirani, A., Tornquist, O., Hiariej, E., Hanif, H., P., S. W., et al. (2014).
Executive Summary Democracy Baseline Survey: Power Welfare and Democracy.
Yogyakarta: GadjahMada University, University of Oslo.
30. Stokke, K., & Selboe, E. (2009). Symbolic Representation as Political Practice. In O.
Tornquist, N. Webster, & K. Stokke, Rethinking Popular Representation (pp. 59-77).
New York: Palgrave MacMillan.
31. Tapiheru, J. (2011). Nation-state in Multiethnic Society. Sydney: Thesis for Master on
Human Rights and Democratization, University of Sydney.
32. Tapiheru, J., Lestariningsih, D., Capriati, W., & Nudia, H. K. (2015). Citizenship in
Resource Rich Regions: Extractivism and Subject Formations. Yogyakarta: JPP
FISIPOL UGM.
33. UNDP. (2009). Community Security and Social Cohesion, Towards a UNDP
Approach . Bureau for Crisis Prevention and Recovery UNDP.
34. UNDP. (2009). Community Security and Social Cohesion, Towards a UNDP
Approach, Bureau for Crisis Prevention and Recovery. UNDP.
35. UNRISD. (2011). Social Development In An Uncertain World, UNRISD Research
Agenda 2010-2014. UNRISD.
36. Webbink, A. (2011). Inclusion of Minorities, Indices of Social Development.
Retrieved Juli 9, 2015, from http://www.oecd.org/development/pgd/46984879.pdf
37. Webbink, E. (n.d.). Indices of Social Development, International Institute of Social
Studies. Retrieved Juli 9, 2015, from
http://www.oecd.org/development/pgd/46984879.pdf
38. Wike, R. Where Trust is High, Crime and Corruption are Low, PewResearchCenter
Global Attitude & Trends. http://www.pewglobal.org/2008/04/15/where-trust-is-high-
crime-and- corruption-are-low/, diakses 23 Juli 2015.
39. Winanti, P. S., Haryono, E., Tapiheru, J., Yuana, S., & Puspitasari, N. (2014).
Merespon Tantangan Liberalisasi Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Fisipol UGM.

yosi@bappenas.go.id 23
40. Zubaedi. (2013). Pengembangan Masyarakat, Wacana dan Praktik. Jakarta: Kencana
Prenada Media.

yosi@bappenas.go.id 24

Anda mungkin juga menyukai