Anda di halaman 1dari 59

EFEKTIVITAS PEMBERIAN KOMPRES DINGIN DAN SLOW

STROKE BACK MASSAGE (SSBM) TERHADAP INTENSITAS


NYERI LUKA PERINEUM PADA IBU NIFAS DI RUMAH
SAKIT AURA SYIFA KABUPATEN KEDIRI

PROPOSAL

Oleh:
EKA OKTAVERAH MULYANI
NIM P17321185060

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MALANG JURUSAN
KEBIDANAN PROGRAM STUDI SARJANA
TERAPAN KEBIDANAN KEDIRI
2018-2019
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penelitidapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul “Efektivitas
Pemberian Kompres Dingin dan Slow Stroke Back Massage (SSBM) Terhadap
Intensitas Nyeri Luka Perineum Pada Ibu Nifas di Rumah Sakit Aura Syifa
Kabupaten Kediri” Sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Sarjana
Terapan Kebidanan pada Program Studi Sarjana Terapan Kebidanan Kediri
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Malang.
Dalam hal ini, peneliti banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,
karena itu pada kesempatan kali ini peneliti mengucapkan banyak terima kasih
kepada :
1. Budi Susatia, S.Kp,M.Kes. Direktur Politekknik Kesehatan Kemenkes
Malang yang telah memberikan kesempatan untukmenyusun Proposal Skripsi
ini.
2. Herawati Mansur, S.ST.,S.Psi.,M.Pd, Ketua Jurusan KebidananPolitekknik
Kesehatan Kemenkes Malang.
3. Susanti Pratamaningtyas, M. Keb, Ketua Program Studi Sarjana Terapan
Kebidanan Kediri Politekknik Kesehatan Kemenkes Malang yang telah
memberi kesempatan menyusun Proposal Skripsi ini.
4. Dwi Estuning Rahayu, S.Pd, S.Kep, Ns, M.Sc, selaku Pembimbing Utama
yang selalu memberikan waktu luangnya untuk membimbing.
5. EnySendra, S.Kep, Ns, M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang selalu
memberikan waktu luangnya untuk membimbing.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan pahala atas segala
amal baik yang telah diberikan dan semoga proposal ini berguna bagi semua pihak
yang memanfaatkan.
Kediri,Maret 2018

Peneliti
3

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada masa nifas, terjadi perubahan-perubahan fisiologis pada ibu.


Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas, walaupun dianggap normal,
dimana proses-proses pada kehamilan berjalan terbalik. Masa nifas
(postpartum) merupakan masa pemulihan dari sembilan bulan kehamilan dan
proses kelahiran. Masa nifas ini dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Waktu yang
diperlukan untuk memulihkan alat kandungan dalam keadaan normal pada masa
nifas yaitu selama 6 minggu atau 40 hari (Maryunani, 2009). Asuhan masa nifas
diperlukan dalam periode masa nifas karena merupakan masa kritis baik bagi
ibu maupun bayi yang bila terjadi komplikasi atau masalah tidak ditangani
segera dengan efektif dapat membahayakan kesehatan atau kematian bagi ibu.
Sekitar 50% kematian ibu terjadi dalam 24 jam pertama postpartum sehingga
pelayanan pascapersalinan yang berkualitas harus terselenggara pada masa itu
untuk memenuhi kebutuhan ibu dan bayi. Oleh karena itu, peran dan tanggung
jawab bidan untuk memberikan asuhan kebidanan ibu nifas dengan pemantauan
mencegah beberapa kematian ini (Dewi, 2012).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia, cakupan pelayanan ibu nifas
pada tahun 2010 adalah 73,61 %, tahun 2011 adalah 76,96% dan tahun 2015
adalah 87,06 %. Walaupun cakupan pelayanan ibu nifas mengalami
peningkatan, namun masih jauh dari target cakupan kunjungan ibu nifas
berdasarkan target standar pelayanan minimal bidang kesehatan tahun 2015
adalah 90% (Profil Kesehatan Indonesia, 2015).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri
untuk penyebab kematian ibu tahun 2016 lebih banyak di dominasi oleh
perdarahan dan pre eklamsia berat masing-masing 45,45 % sedangkan sisanya
9,09% dengan penyebab lain-lain. Status obstetri dengan kematian ibu
terbanyak ada pada masa kehamilan pertama dengan masa kematian ibu paling
banyak pada waktu masa nifas yaitu sebanyak 45, 45 % (Dinkes Kediri, 2016).
4

Berdasarkan data awal pada bulan November – Desember 2017 di Rumah


Sakit Aura Syifa terdapat 96 persalinan dan 66 di antaranya mengalami robekan
perineum baik secara episiotomi maupun ruptur spontan sehingga dilakukan
penjahitan, ibu nifas yang mengalami robekan perineum tersebut mengeluh
nyeri karena jahitan. Kebanyakan ibu nifas hari ke - 1 yang mengalami nyeri
jahitan di ruang nifas Rumah Sakit Aura Syifa.
Infeksi masa nifas masih merupakan penyebab tertinggi angka kematian
ibu (AKI). Beberapa bakteri dapat menyebabkan infeksi setelah persalinan.
Infeksi luka jalan lahir pascapersalinan, biasanya dari endometrium bekas
insersi plasenta. Masalah itu terjadi akibat dari pelayanan kebidanan yang masih
jauh dari sempurna (Dewi, 2012). Tempat yang umum terjadinya infeksi
adalah rongga pelvik dan perineum. Salah satu penyebab infeksi pada masa
nifas adalah trauma jaringan akibat luka terbuka seperti laserasi, sehingga ibu
memiliki rasa takut akan nyeri pada jahitan perineum dan ibu tidak berani
untuk melakukan perawatan dan menjaga kebersihan daerah jahitan perineum
(Maryunani, 2009). Utami (2015) yang melakukan penelitian tentang
“perbedaan tingkat nyeri pada ibu postpartum yang mengalami episiotomi
dengan ruptur spontan” mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu keadaan
yang mempengaruhi seseorang dan ekstensitasnya diketahui bila seseorang
pernah mengalaminya. Nyeri post partum juga bisa disebabkan oleh adanya
robekan jalan lahir baik secara spontan ataupun disengaja.
Nyeri perineum disebabkan oleh episiotomi, laserasi, atau jahitan
(Bahiyatun, 2009).Nyeri pada perineum tersebut dapat menimbulkan dampak
yang tidak menyenangkan seperti rasa takut untuk bergerak, kesakitan, dan
mengganggu aktivitas ibu, sehingga ibu yang mengalami luka perineum
cenderung malas bergerak pasca melahirkan. Hal tersebut akan menimbulkan
masalah seperti pengeluaran lochea yang tidak lancar dan perdarahan
postpartum. Ibu nifas yang mengalami luka perineum saat melahirkan akan
mengalami rasa ketidaknyamanan dan rasa nyeri. Ketidaknyamanan ini
berpengaruh pada fisik dan emosional ibu serta biaya perawatan meningkat,
ibu merasa sangat sakit dan lelah disertai gangguan tidur (Dewi, 2012).
5

Berbagai upaya dilakukan untuk menurunkannyeri memerlukan


penilaian dan usaha yang cermat untuk memahami pengalaman nyeri pasien
dan mengidentifikasi kausa sehingga kausa tersebut dapat dihilangkan (Price,
2006). Upaya ini dilakukan baik secara farmakologi maupun non farmakologi.
Metode farmakologi adalah metode penghilang rasa nyeri dengan
menggunakan obat-obatan, sedangkan metode non farmakologi adalah metode
penghilang rasa nyeri dengan cara alamiah tanpa menggunakan obat-obatan
serta tidak memerlukan instruksi medis, seperti teknik distraksi, relaksasi,
aromaterapi, acupressure, stimulasi kutaneus. Stimulasi kutaneus terdiri dari
Self massage (effleurage), massage dengan bantuan, stimulasi termal
(kompres hangat dan dingin, mandi dengan shower, mandi rendam) serta
Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS). Metode non farmakologi
mempunyai beberapa keuntungan melebihi metode farmakologi (Manurung,
2011).
Kompres dingin salah satu alternatif pengobatan non farmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri yang dapat diterapkan pada nyeri luka perineum.Tujuan
diberikan kompres dingin adalah untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman,
menurunkan suhu tubuh, mengurangi rasa nyeri, mencegah edema, dan
mengontrol peredaran darah dengan meningkatkan vasokonstriksi (Uliyah,
2015). Rahmawati (2013) dalam penelitiannya tentang “pengaruh kompres
dingin terhadap pengurangan rasa nyeri luka perineum pada ibu nifas di BPS
Siti Alfirdaus Kingking Kabupaten Tuban” mengatakan bahwa untuk
mengurangi rasa nyeri pada luka perineum dapat diberikan kompres dingin
pada luka. Kompres ini merupakan suatu prosedur menempatkan suatu benda
dingin pada tubuh bagian luar. Dampak fisiologisnya adalah vasokontriksi
pada pembuluh darah, mengurangi rasa nyeri, dan menurunkan aktivitas ujung
saraf pada otot. Gayatri (2014) dalam penelitiannya tentang “perbandingan
efektivitas kompres hangat dan kompres dingin terhadap penurunan
dismenorea pada remaja putri” dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa
kompres dingin lebih efektif terhadap penurunan dismenorea dibandingkan
dengan kelompok kompres hangat dimana selisih intensitas nyeri sebelum dan
setelah terapi pada kelompok kompres dingin 16,56 dan 34,44.
6

Tindakan non farmakologi lainnya yang termasuk stimulasi kutaneus


untuk mengurangi rasa nyeri adalah dengan masase (massage). Masase adalah
melakukan tekanan pada jaringan lunak, biasanya otot, tendon, atau
ligamentum, tanpa menyebabkan gerakan atau perubahan posisi sendi untuk
meredakan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan/atau memperbaiki sirkulasi
(Andarmoyo, 2013). Salah satu teknik masase punggung yang dapat
digunakan adalah dengan usapan yang perlahan (Slow Stroke Back Massage).
Terapi tersebut sudah mulai dikembangkan di Indonesia pada kasus low back
pain sejak tahun 2005 dan menunjukkan angka keberhasilan mencapai 30%
dalam menurunkan intensitas nyeri. Beberapa penelitian juga telah
mengidentifikasi manfaat dari SlowStroke Back Massageantara lain penurunan
secara bermakna pada intensitas nyeri dan kecemasan serta perubahan positif
pada denyut jantung dantekanan darah, yang mengindikasikan relaksasi pada
pasien lansia dengan stroke (Mok, et al., 2004 dalam Trihartini 2010). Pijatan
yang dilakukan pada bahu, leher, dan punggung bisa meredakan ketegangan
ototserta memberi rasa rileks.Sirkulasi darah menjadi lancar sehingga nyeri
berkurang (Judha, 2012).
Dalam jurnal penelitianPrimayanthi (2016) yang melakukan penelitian
tentang “pengaruh terapi Slow Stroke Back Massagedengan minyak essensial
lavender terhadap penurunan intensitas nyeri low back pain” mengatakan
Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit untuk menghilangkan nyeri dengan
melakukan massage dan sentuhan, salah satunya dengan Slow Stroke Back
Massage (SSBM). Mekanisme ini berupa usapan yang perlahan memberikan
sensasi hangat dengan mengakibatkan vasodilatasi pada pembuluh darah lokal.
Peningkatan peredaran darah karena vasodilatasi pembuluh darah pada area
yang diusap sehingga aktivitas sel meningkat dan akan mengurangi rasa sakit
karena spasme otot berkurang. Teori gate control mengatakan bahwa stimulasi
kulit mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-Beta yang lebih besar dan
lebih cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan
delta-A yang berdiameter kecil sehingga gerbang sinaps menutup transmisi
impuls nyeri. Sistem kontrol desenden juga akan bereaksi dengan melepaskan
endorphin yang merupakan morfin alami tubuh sehingga memblok transmisi
7

nyeri dan persepsi nyeri tidak terjadi. Teori tentang SSBMdidukung penelitian
Rahmawati (2015)dengan menggunakan tindakanmassage pada punggung
dengan upaya perlahan (SSBM) akan menurunkan intensitas nyeri.
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentangefektivitas pemberian Slow Stroke Back Massage
(SSBM) terhadap intensitas nyeri luka perineum pada ibu nifas di Rumah
Sakit Aura Syifa Kabupaten Kediri.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat diambil
adalah “Adakah efektivitas Slow Stroke Back Massage (SSBM) terhadap
intensitas nyeri luka perineum pada ibu nifas di Rumah Sakit Aura Syifa
Kabupaten Kediri?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasiefektivitas pemberian Slow Stroke Back Massage
(SSBM) terhadap intensitas nyeri luka perineum di Rumah Sakit Aura
Syifa Kabupaten Kediri.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi intensitas nyeri sebelum diberikan Slow Stroke
Back Massage (SSBM) pada luka perineum pada ibu nifas.
2. Mengidentifikasi intensitasnyeri sesudah diberikan Slow Stroke Back
Massage (SSBM) pada luka perineum pada ibu nifas.
3. Menganalisis efektivitas intensitas nyeri sebelum dan sesudah
diberikan Slow Stroke Back Massage (SSBM) pada luka perineum
ibu nifas.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Teoritis
Dapat mengembangkan informasi ilmiah tentang efektivitas pemberian
Slow Stroke Back Massage (SSBM) terhadap intensitas nyeri luka
perineum.
8

1.4.2 Bagi Praktis


1. Bagi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai masukan atau bahan informasi dalam
melakukan penelitian selanjutnya dan sebagai tambahan bahan
referensi di perpustakaan tentang efektivitas pemberian Slow Stroke
Back Massage (SSBM) terhadap intensitas nyeri luka perineum.
2. Bagi Tempat Penelitian
Dapat meningkatkan mutu pelayanan dalam menangani pasien dalam
memberikan informasi tentang pemberian Slow Stroke Back Massage
(SSBM) terhadap intensitas nyeri luka perineum sehingga dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh pasien.
3. Bagi Peneliti
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman
bagi peneliti dan lebih memahami masalah yang dikaji, memberikan
masukan pada ibu nifas tentang pemberian Slow Stroke Back
Massage (SSBM) terhadap intensitas nyeri luka perineum yang
dialami ibu ketika masa nifas.
9

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Nyeri Perineum


2.1.1 Pengertian
Perineum adalah otot, kulit, dan jaringan yang ada diantara kelamin
dan anus. Trauma perineum adalah luka pada perineum sering terjadi
saat proses persalinan (Sukarni, 2013). Kerusakan jaringan yang aktual
dan potensial dan terputusnya jaringan antara vulva dan anus di mana
pengalaman dan emosional merupakan kondisi perasaan yang tidak
nyaman, yang sifatnya subyektif, perasaan nyeri berbeda setiap
orang.(Bahiyatun, 2009).
2.1.2 Penyebab
Nyeri perineum disebabkan oleh episiotomi, laserasi, atau jahitan
(Bahiyatun, 2009).
a. Ruptur perineum Spontan
Ruptur perineum spontan merupakan luka yang terjadi karena
sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan robekan atau
disengaja.Luka ini tejadi pada saat persalinan dan biasanya tidak
teratur.Hal ini karena desakan kepala atau bagian tubuh janin secara
tiba-tiba, sehingga kulit dan jaringan perineum robek (Sukarni,
2013).
b. Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)
Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi) adalah insisi
pudendum untuk melebarkan orifisium vulvasehingga mempermudah
jalan keluar bayi. Keuntungan episiotomi yaitu mencegah robekan
perineum, mengurangi tekanan kepala janin. Episiotomi biasa
dilakukan pada sebagian besar primipara dan pada banyak multipara,
indikasi yang paling umum adalah jika ancaman terjadi robekan,
pada sebagian besar pelahiran operatif dan untuk mempermudah
pelahiran pada bayi prematur (Benson, 2009).
10

Definisi yang ada saat ini menyatakan bahwa robekan derajat


satu hanya terjadi pada kulit, robekan tingkat dua atau episiotomi
terjadi pada kulit, dinding vagina posterior dan otot superfisial dan
robekan derajat tiga terjadi pada struktur yang sama dengan derajat
dua dan sfingter ani. Selain itu kerusakan tersebut juga dapat terjadi
pada bagian dasar panggul lainnya, badan perineum atau jaringan
vulva. Kerusakan dapat bersifat minimal maupun maksimal, terjadi
secara alami atau akibat dari insisi bedah (episiotomi) (Johnson,
2005).
Menurut Sukarni (2013) berdasarkan tingkat keparahannya,
trauma perineum dibagi menjadi derajat satu hingga empat. Trauma
derajat satu ditandai adanya luka pada lapisan kulit dan lapisan
mukosa saluran vagina. Trauma derajat dua, luka sudah mencapai
otot. Trauma derajat tiga dan empat telah mencapai otot-otot anus,
sehingga perdarahannyapun banyak.
Nyeri pada perineum tersebut dapat menimbulkan dampak
yang tidak menyenangkan seperti rasa takut untuk bergerak,
kesakitan, dan mengganggu aktivitas ibu, sehingga ibu yang
mengalami luka perineum cenderung malas bergerak pasca
melahirkan (Dewi, 2012).

2.2 Konsep Nyeri


2.2.1 Pengertian
Nyeri adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan dan
disebabkan oleh stimulus spesifik mekanis, kimia, elektrik pada ujung-
ujung saraf serta tidak dapat diserahterimakan kepada orang lain
(Maryunani, 2010). Berikut merupakan pendapat beberapa ahli
mengenai pengertian nyeri, antara lain :
a. Mc. Coffery (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan
yang memengaruhi seseorang, keberadaan nyeri dapat diketahui
hanya jika orang tersebut pernah mengalaminya.
11

b. Artur C. Curton (1983), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu


mekanisme bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang dirusak
sehingga individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan
rangsangan nyeri.
Secara umum nyeri adalah suatu ketidaknyamanan yang dialami
seseorang akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial (Judha,
2012).Persepsi nyeri atau nociception (nosiseptik) merupakan proses
dimana stimulus nyeri disalurkan dari tempat terjadinya stimulus menuju
sistem saraf pusat. Proses terjadinya persepsi nyeri :
a. Contact with stimulus (kontak dengan stimulus), stimulus yang
dimaksud dapat berupa rasa tekan, rasa tusuk, rasa teriris, kimia, atau
luka bakar.
b. Reception (penerimaan rangsang), ujung saraf menerima stimulus.
c. Transmission (Transmisi), saraf menghantarkan sinyal nyeri menuju
susunan saraf pusat. Penghantaran informasi selalu melibatkan
beberapa neuron pada susunan saraf pusat.
d. Pain center reception (penerimaan rangsang nyeri pada susunan
saraf pusat). Pada proses berikutnya, otak menerima informasi atau
sinyal dan memerintahkan organ untuk bereaksi (Yuliatun, 2008).
2.2.2 Teori nyeri dan proses terjadinya nyeri
a. Teori Pemisahan (Specivicity Theory)
Teori ini menyatakan bahwa tipe stimulus sensori spesifik yang
mengirimkan impuls ke otak menstimulasi reseptor nyeri. Teori ini
menguraikan dasar fisiologis adanya nyeri tetapi tidak menjelaskan
komponen-komponen fisiologis dari nyeri maupun derajat toleransi
nyeri (Maryunani, 2010).
b. Teori Pola (Pattern Theory)
Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada 1989. Teori
pola ini menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh beberapa reseptor
sensori yang dirangsang oleh pola tertentu. Nyeri merupakan akibat
stimulasi reseptor yang menghasilkan pola tertentu dari impuls saraf
(Andarmoyo, 2013).
12

c. Teori pengendalian gerbang(Gate control theory)


Teori pintu gerbang dari nyeri, yang pertama kali diuraikan
pada tahun 1960-an oleh Melzack dan Wall memberikan penjelasan
yang bermanfaat tentang bagaimana persepsi rasa nyeri dapat
ditingkatkan atau dikurangi (Simkin, 2008). Secara umum dapat
dijelaskan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat dua macam
transmitter impuls nyeri. Reseptor berdiameter kecil (serabut delta A
dan C) berfungsi untuk mentransmisikan nyeri yang sifatnya keras
dan reseptor ini biasanya berupa ujung saraf bebas yang terdapat
pada seluruh permukaan kulit dan pada struktur lebih dalam seperti
tendon, fasia, tulang serta organ-organ interna. Sementara transmitter
yang berdiameter besar (serabut beta A) memiliki reseptor yang
terdapat pada permukaan tubuh dan berfungsi sebagai inhibitor, yaitu
mentransmisikan sensasi lain seperti getaran, sentuhan, sensasi
hangat dan dingin, serta terhadap tekanan halus (Joyce & Hawks,
2009 dalam Zakiyah, 2015).
Pada saat terdapat rangsangan, kedua serabut tersebut akan
membawa rangsangan ke dalam kornu dorsalis yang terdapat pada
medula spinalis, di medula spinalis inilah terjadi interaksi antara dua
serabut berdiameter besar dan kecil disuatu area khusus yang disebut
“substansia gelatinosa (SG)” (Zakiyah, 2015).
Teori ini mengatakan bahwa keseimbangan rangsang nyeri dan
tidak nyeri yang mencapai kesadarannya akan menentukan persepsi
nyeri dan keparahannya. Pada saat melahirkan, anda dapat
meningkatkan rangsang tidak nyeri dan menurunkan rangsang nyeri
dengan beberapa carauntuk mengurangi (tetapi tidak menghilangkan)
persepsi nyeri (Simkin, dkk 2008).
2.2.3 Fisiologis nyeri
Munculnya nyeri sangat berkaitan erat dengan reseptor dan adanya
rangsangan.Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nosiseptor, merupakan
ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki myelin yang tersebar pada
13

kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri,


hati, dan kantong empedu (Uliyah, 2015).
Reseptor nyeri merupakan organ tubuh yang berfungsi menerima
rangsang nyeri dan dalam hal ini organ tubuh yang berfungsi sebagai
reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang hanya berespon
pada stimulus yang kuat yang secara potensial merusak (Zakiyah, 2015).
Nosiseptor terdapat pada kulit, organ viseral, dan otot (otot jantung
dalam rangka) dan terkait dengan pembuluh darah. Kualitas nyeri dibagi
menjadi nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik yang berasal dari
kulit disebut nyeri superfisial. Jika nyeri berasal dari otot, persendian
tulang, atau jaringan ikat, disebut sebagai nyeri dalam (Andarmoyo,
2013).Reseptor rangsanganyang terjadi pada kulit adalah akibat suhu
(panas, dingin), nyeri (gesekan, tusukan), sentuhan, dan tekanan
(Rosdahl, 1999).
Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep
somatic) dan pada daerah viseral. Oleh karena perbedaan letak
nosiseptor inilah menyebabkan nyeri yang timbul memiliki sensasi yang
berbeda. Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan (Zakiyah,
2015).
Terdapat tiga kategori reseptor nyeri yang akan bereaksi
menimbulkan nyeri jika distimuli oleh beberapa faktor
diantaranya:nosiseptor mekanis yang berespon terhadap kerusakan
mekanis, misalnya tusukan, benturan, atau cubitan; nosiseptor termal
yang berespon terhadap suhu yang berlebihan terutama panas; nosiseptor
polimodal yang berespon setara terhadap semua jenis rangsangan yang
merusak, termasuk iritasi zat kimia yang dikeluarkan dari jaringan yang
cidera (Sherwood, 2001 dalam Andarmoyo, 2013).
Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang
impuls nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil interaksi
sistem saraf sensoris, informasi kognitif (korteks serebri) dan
pengalaman emosional. Persepsi menentukan tingginya nyeri yang
14

dirasakan. Setelah sampai ke otak, nyeri dirasakan secara sadar dan


menimbulkan respons berupa perilaku dan ucapan yang merespon
adanya nyeri (Andarmoyo, 2013).
2.2.4 Mekanisme Nyeri
Suatu rangkaian proses elektrofisiologis terjadi antara kerusakan
jaringan sebagai sumber rangsang nyeri sampai dirasakan sebagai nyeri
yang secara kolektif disebut nosiseptif. Terdapat empat proses yang
terjadi pada suatu nosiseptif, yaitu sebagai berikut :
a. Proses Tranduksi
Proses transduksi (transduction) merupakan proses di mana suatu
stimuli nyeri (noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktivitas listrik
yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa
stimuli fisik (tekanan), suhu (panas), atau kimia (substansi nyeri).
b. Proses Transmisi
Transmisi (transmission) merupakan fase di mana stimulus
dipindahkan dari saraf perifer melalui medula spinalis (spinal cord)
menuju otak.
c. Proses Modulasi
Proses modulasi adalah proses dari mekanisme nyeri di mana terjadi
interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh
kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medula
spinalis. Jadi, proses ini merupakan proses desenden yang dikontrol
oleh otak.
d. Persepsi
Hasil dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari
proses transduksi dan transmisi pada gilirannya menghasilkan suatu
perasaan subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
(Zakiyah, 2015).
2.2.5 Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yaitu nyeri akut
dan nyeri kronik. Nyeri akut merupakan respon fisiologis normal yang
diramalkan terhadap rangsangan kimiawi, panas, atau mekanik menyusul
15

suatu pembedahan, trauma, dan penyakit akut. Nyeri kronis merupakan


nyeri yang menetap melampaui waktu penyembuhan normal yakni enam
bulan (The International Association for Study of Pain (IASP) dalam
Zakiyah, 2015).
Selain klasifikasi nyeri di atas, berdasarkan lokasi nyeri, nyeri
dapat dibedakan menjadi nyeri somatik, nyeri pantom dari ekstermitas,
nyeri menjalar, dan nyeri alih. Umumnya, nyeri somatik bersumber dari
kulit dan jaringan bawah kulit yaitu pada otot dan tulang. Nyeri ini
terdiri dari nyeri superfisial (Cutaneous Pain) yang biasanya timbul pada
bagian permukaan tubuh akibat stimulasi kulit seperti laserasi, luka
bakar, dan sebagainya, nyeri somatik dalam adalah nyeri yang terjadi
pada otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya, dan yang terakhir
adalah nyeri viseral merupakan nyeri yang disebabkan oleh kerusakan
organ internal.Contoh sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris
dan sensasi terbakar seperti ulkus lambung (Andarmoyo, 2013).
2.2.6 Karakteristik Nyeri
Karakteristik nyeri dapat dilihat atau di ukur berdasarkan lokasi
nyeri, durasi nyeri (menit, jam, hari, atau bulan), irama atau periodenya
(terus menerus, hilang timbul, periode bertambah atau berkurangnya
intensitas) dan kualitas (nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit nyeri dalam
atau superfisial, atau bahkan seperti di gencet) (Judha, 2012).
Karateristik nyeri dapat juga dilihat berdasarkan metode PQRST, P
Provocate, Q Quality, R Region, S Severe, T Time. Berikut keterangan
lengkapnya:
a. P : Provocate
Tenaga kesehatan harus mengkaji tentang penyebab terjadinya
nyeri pada penderita, dalam hal ini perlu dipertimbangkan bagian –
bagian tubuh mana yang mengalami cidera termasuk
menghubungkan anatara nyeri yang diderita dengan faktor
psikologisnya, karena bisa mengakibatkan terjadinya nyeri hebat
karena dari faktor psikologis bukan dari lukanya.
16

b. Q : Quality
Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subyektif yang
diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendeskripsikan nyeri
dengan kalimat nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit nyeri dalam atau
superfisial, atau bahkan seperti di gencet.
c. R : Region
Untuk mengkaji lokasi, tenaga kesehatan meminta penderita
untuk menunjukkan semua bagian/ daerah yang dirasakan nyeri atau
tidak nyaman.
d. S : Severe
Tingkat keparahan yang paling subyektif yang dirasakan oleh
penderita, karena penderita akan diminta bagaimana kualitas nyeri
yang dirasakan. Kualitas nyeri harus bisa digambarkan menggunakan
skala yang sifatnya kuantitas.
e. T : Time
Tenaga kesehatan mengkaji tentang awitan, durasi dan
rangkaian nyeri.Perlu ditanyakan kapan mulai muncul adanya nyeri,
berapa lama menderita, dan seberapa sering untuk kambuh dan lain-
lain.
(Judha, 2012)
2.2.7 Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa perihnyeri yang
dirasakan oleh individu. Pengukuran nyeri sangat subyektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan obyektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon
fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun demikian, intensitas
nyeri juga dapat ditentukan dengan berbagai macam cara. Salah satu
caranya adalah menanyakan pada ibu untuk menggambarkan nyeri atau
rasa ketidaknyamanannya.Metode lainnya adalah dengan meminta ibu
untuk menggambarkan beratnya nyeri atau rasa tidak nyamannya dengan
menggunakan skala.Penggunaan skala intensitas nyeri adalah mudah dan
17

merupakan metode terpercaya dalam menentukan intensitas nyeri ibu.


Skala seperti ini memberikan konsistensi bagi petugas kesehatan untuk
berkomunikasi dengan klien dan petugas kesehatan lainnya (Maryunani,
2010).
Komponen –komponen nyeri yang penting dinilai adalah
PAIN:Pattern (pola-nya), Area, Intensitas, dan Nature (sifatnya) :
a. Pola Nyeri (Patter of Pain)
Pola nyeri meliputi waktu terjdinya nyeri, durasi, dan interval
tanpa nyeri.Oleh karena itu, petugas kesehatan dapat menentukan
kapan nyeri mulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri ini
berulang, dan jika ya, lamanya interval tanpa nyeri, dan kapan nyeri
terakhir terjadi.Pola nyeri diukur dengan menggunakan kata-kata
(verbal).Ibu diminta untuk menggambarkan nyeri sebagai variasi
pola konstan, intermittent atau transient. Ibu juga ditanyakan waktu
dan kapan nyeri mulai berlangsung dan berapa lama nyeri
berlangsung untuk mengukur saat serangan nyeri dan durasi nyeri
(Maryunani, 2010).
b. Area Nyeri (Area of Pain)
Area nyeri adalah tempat pada tubuh dimana nyeri
terasa.Petugas kesehatan dapat menentukan lokasi nyeri dengan
menanyakan pada pasien untuk menunjukkan area nyeri pada tubuh
(Maryunani, 2010).
c. Intensitas Nyeri (Intensity of Pain)
Intensitas nyeri adalah jumlah nyeri yang terasa. Intensitas
nyeri dapat diukur dengan menggunakan skala yang terdiri dari
angka 0 sampai 10 pada skala nyeri (Maryunani, 2010).
d. Sifat Nyeri (Nature of Pain)
Sifat nyeri adalah bagaimana nyeri terasa pada pasien. Sifat
nyeri/kualitas nyeri diungkapkan dengan menggunakan kata-kata
(Maryunani,2010). Hal – hal yang perlu ditanyakan adalah apakah
nyeri yang dirasakan klien sebagai sensasi remuk (crushing),
berdenyut (throbbing), tajam, tumpul, atau menusuk (pricking),
18

terbakar, perih, berpindah-pindah, dan sebagainya (Andarmoyo,


2013).
2.2.8 Skala atau pengukuran nyeri :
a. Skala Analog Visual / Visual Analog Scale (VAS)
Visual Analog Scale (VAS) adalah suatu garis lurus/horizontal
sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Pasien diminta untuk
menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi
sepanjang garis tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak
ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya
menandakan “berat” atau nyeri yang paling buruk” (Andarmoyo,
2013).
Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut
sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien.
Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang
diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang
menunjukkan level intensitas nyeri. Ada keterbatasan dari VAS yaitu
pada beberapa pasien khususnya orang tua akan mengalami kesulitan
merespon grafik VAS daripadaverbal rating scale (VRS) (Jensen
et.al, 1986;Kremer et.al, 1981 dalam Manurung, 2011).
Bijur dkk (2001) dalam karangan asli Iqbal (2005) melaporkan
bahwa VAS merupakan alat ukur yang cukup reliable untuk
digunakan pada pengukuran nyeri akut. Beberapa studi lainnya juga
telah menunjukkan bahwa VAS merupakan alat ukur yang valid dan
reliable pada pengukuran intensitas nyeri baik kronik maupun akut.

Tidak Nyeri Nyeri


Sangat
Hebat
19

Gambar. 2.1 Skala Analog Visual


(Judha, 2012)
Keterangan :

0 :Tidak Nyeri
1-3 : Nyeri ringan:secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik
4-6 : Nyeri sedang:secara obyektif klien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat:secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi
nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat:pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
2.2.9 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
a. Usia
Faktor usia sangat mempengaruhi respon seseorang terhadap
sensasi nyeri. Usia dewasa menggambarkan kematangan dalam pola
berfikir dan bertindak (Manurung, 2011). Anak yang masih kecil
mempunyai kesulitan memahami nyeri. Sebab mereka belum dapat
mengucapkan kata-kata untuk mengungkapkan secara verbal dan
mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan.
Pada pasien lansia, seorang perawat harus melakukan pengkajian
secara lebih rinci ketika seorang lansia melaporkan adanya nyeri.
Pada kondisi lansia mengalami perubahan taktil, termasuk penurunan
sensitivitas terhadap nyeri, tekanan dan suhu (Andarmoyo, 2013).
b. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya suatu daerah menganut
20

kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima sebagai


seorang wanita (Manurung, 2011).
c. Makna nyeri
Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap
nyeri. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang
berbeda-beda apabila nyeri tersebut memberikan kesan ancaman,
suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Misalnya, seorang wanita
yang sedang bersalin akan mempersepsikan nyeri berbeda dengan
seorang wanita yang mengalami nyeri akibat cedera karena pukulan
pasangannya. Derajat dan kualitas nyeri akan dipersiapkan klien
berhubungan dengan makna nyeri (Judha, 2012).
d. Perhatian
Tingkat seseorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya untuk
mengalihkan perhatian dihubungkan dengan respon nyeri yang
menurun. Pengalihan perhatian dilakukan dengan cara memfokuskan
perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain sehingga
sensasi yang dialami klien dapat menurun (Zakiyah, 2015).
e. Ansietas
Hubungan antara ansietas dengan nyeri merupakan suatu hal
yang kompleks. Adanya bukti bahwa sistim limbik yang diyakini
dapat mengendalikan emosi seseorang khususnya ansietas juga dapat
memproses reaksi emosi terhadap nyeri yaitu dapat memperburuk
atau dapat menghilangkan nyeri. Nyeri yang tidak kunjung sembuh
dapat mengakibatkan psikosis dan gangguan kepribadian (Zakiyah,
2015).
f. Pola koping
Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian
maupun keseluruhan. Penting untuk memahami sumber-sumber
koping klien selama ia mengalami nyeri. Sumber-sumber seperti
berkomunikasi dengan keluarga pendukung melakukan latihan, atau
21

menyanyi dapat digunakan dalam rencana asuhan keperawatan


dalam upaya mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai tingkat
tertentu (Potter & Perry, 2006 dalam Andarmoyo, 2013).
g. Dukungankeluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah
kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka
terhadap klien. Walaupun nyeri dirasakan, kehadiran orang yang
bermakna bagi pasien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.
Apabila tidak ada keluarga atau teman, sering kali pengalaman nyeri
membuat klien semakin tertekan, sebaliknya jika tersedianya
seseorang yang memberi dukungan sangatlah berguna karena akan
membuat seseorang merasa lebih nyaman (Judha, 2012).
2.2.10 Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan nyeri memerlukan penilaian dan usaha yang cermat
untuk memahami pengalaman nyeri pasien dan mengidentifikasi kausa
sehingga kausa tersebut dapat dihilangkan. Pasien dapat menunjukkan
lokasi nyeri dengan menunjuk bagian tubuh atau menandakannya
digambar tubuh manusia. Kualitas nyeri dapat dinilai dengan secara
sederhana meminta pasien menjelaskan nyeri dengan kata-kata mereka
sendiri (misalnya, tumpul, berdenyut seperti terbakar) (Price, 2006).
Penatalaksanaan nyeri dibagi menjadi dua, antara lain :
a. Manajemen Nyeri Non-farmakologis
Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi adalah metode yang
tidak menggunakan obat serta tidak memerlukan instruksi medis.
Metode ini mempunyai beberapa keuntungan melebihi metode
farmakologi, jika pengontrolan nyeri memadai. Selama pemberian
metode ini tidak ditemukan efek samping atau alergi (Manurung,
2011).
1) Teknik Distraksi
Distraksi merupakan strategi pengalihan nyeri yang
memfokuskan perhatian klien ke stimulus yang lain daripada
terhadap rasa nyeri dan emosi negatif. Teknik distraksi dapat
22

mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa aktivasi retikuler


menghambat stimulus nyeri, jika seseorang menerima input
sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya
impuls nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh
klien). Oleh karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran, dan
sentuhan mungkin akan lebih efektif dalam menurunkan nyeri
dibanding dengan stimulasi satu indra saja (Kozier, 2009 dalam
Zakiyah, 2015).
2) Relaksasi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan
mental dan fisik dari ketegangan dan stress sehingga dapat
meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Teknik relaksasi yang
sederhana terdiriatas napas abdomen dengan frekuensi lambat,
berirama (Andarmoyo, 2013).
3) Acupressure
Teknik Acupressure menggunakan penekanan-penekanan
pada titik pengaktif (trigger point), di mana dalam hal nyeri titik
pengaktif adalah sama dengan titik akupuntur dengan tujuan
memperlancar sirkulasi sehingga tercapai keseimbangan energi,
dengan indikasi utama untuk nyeri dan gangguan neuromuscular,
sedangkan indikasi lainnya adalah sama dengan akupuntur.
Akupresur sangat cocok bagi orang-orang yang berada di bawah
banyak tekanan/stress (Zakiyah, 2015).
4) Aromaterapi
Penggunaan minyak esensial selama kehamilan dan
melahirkan adalah terapi yang paling sering digunakan dalam
asuhan maternitas. Manfaat aromaterapi paling umum untuk
membantu meringankan stres, sakit kepala, insomnia,
menghilangkan rasa nyeri, dan lain-lain.Kemungkinan akibat
efek terapeutik yang tersembunyi dari minyak itu sendiri
bersamaan dengan aspek pengasuhan dari beberapa teknik yang
digunakan dalam aromaterapi (Medforth, dkk, 2012).
23

5) Pemberian Kompres panas dan dingin


Kompres air hangat biasanya digunakan untuk meredakan
nyeri otot atau sendi yang sudah berlangsung lama atau kronik,
sedangkan kompres air dingin biasa digunakan dalam 24 hingga
48 jam setelah terjadinya cedera dengan tujuan untuk
meminimalisir terjadinya peradangan. Kompres dingin dan panas
dapat dijadikan salah satu strategi untuk menurunkan nyeri yang
efektif pada beberapa kondisi, terapi kompres panas dan dingin
bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-
nosiseptor) dalam reseptor yang sama seperti pada cidera
(Manurung, 2011).
6) Stimulasi kulit atau Massage
Massage adalah stimulasi tubuh secara umum, sering
dipusatkan pada pinggang dan bahu, massage menstimulasi
reseptor tidak nyeri, massage juga membantu pasien lebih
nyaman karena membuat relaksasi otot. Massase adalah
penekanan pada jaringan lunak dengan menggunakan tangan,
biasanya padaotot, tendon, atau ligamentum tanpa menyebabkan
gerakan atau perubahan posisi sendi yang ditujukan untuk
meredakan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan memperbaiki
sirkulasi (Maryunani, 2010).
Memodifikasi stimulus nyeri dengan menggunakan teknik –
teknin seperti stimulasi kulit, antara lain menggosok dengan
halus pada daerah nyeri, menggosok punggung, menggunakan air
hangat dan dingin serta menijat dengan air mengalir (Uliyah,
2008).
Ada beberapa jenis massage dalam upaya mengurangi
nyeri, antara lain, counter pressure, effluerage, kneading dan
Slow Stroke Back Massage (SSBM).Massase professional
melibatkan penggunaan minyak nabati, dengan menggunakan
teknik pengobatan dasar (Medforth, dkk, 2012).
24

b. Manajemen Nyeri Farmakologis


1) Analgesik
Semua obat yang mempunyai efek analgesik sering
digunakan untuk mengatasi nyeri, dengan adanya analgesik
tersebut kemungkinan untuk meredakan atau menghilangkan
nyeri karena seiring dengan laju pertumbuhan jaringan yang
rusak atau sakit.Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi
melibatkan penggunaan opiat (narkotik), nonopiat/ obat anti-
inflamasi non-steroid (AINS), obat-obat adjuvant atau ko-
analgesik. Secara garis besar strategi farmakologi dalam
pemberian terapi analgesik mengikuti World Health
Organisation (WHO) Pain Relief Ladder (Zakiyah, 2015).
a) Pengertian Analgesik
Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat
yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran (Tjay, 2015).
b) Jenis Analgesik
Berdasarkan aksinya, obat-obat analgesik dibagi
menjadi dua golongan yaitu analgesik non-opioid dan
analgesik opioid. Analgesik Non-opioid yaitu obat-obatan
yang memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). Enzim COX berperan dalam sintesis
mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin.
Mekanisme umum dari analgesik jenis ini adalah memblokir
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim
COX pada daerah yang terluka, sehingga mengurangi
pembentukan mediator nyeri. Efek samping paling umum
dari golongan obat ini adalah gangguan lambung, usus,
kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal, serta reaksi alergi
di kulit. Salah satu contoh obat analgesik Non-Opioid adalah
mefenamic acid seperti fenamat yang mempunyai waktu
25

paruh pendek dan tidak ada keuntungan lain yang


melebihinya (Zakiyah, 2015).
Analgesik non-narkotik dan obat anti-inflamasi non-
steroid (NSAID) umumnya menghilangkan nyeri yang terkait
dengan artritis rheumatoid, prosedur pengobatan gigi, dan
prosedur bedah minor, episiotomi, dan masalah punggung
bagian bawah. Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor
saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus
nyeri (Potter & Perry, 2005 dalam Andarmoyo, 2013).
Salah satu analgesik yang digunakan pada ibu nifas
adalah fenamat (N-fenilantranilat) yang meliputi Asam
mefenamat yang merupakan analgesik Non-opioid, NSAID.
Penggunaan/indikasi dari obat ini untuk nyeri ringan sampai
sedang, nyeri pascapartum, nyeri pascaoperasi dan sebagai
anti-inflamasi (Banister, 2007).Efek samping yang paling
sering terjadi adalah gangguan lambung usus (Tjay, 2015).
Dosis permulaan diberikan 500 mg, kemudian 250 mg/6 jam
sesudah makan (Goodman & Gilman, 2011).
c) Efek samping Analgesik
Efek samping yang paling umum terjadi adalah
gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan
ginjal, dan juga reaksi alergi kulit (Tjay, 2015).

2.3 Konsep Kompres Dingin


2.3.1 Pengertian
kompres dingin adalah memberi rasa dingin pada daerah setempat
dengan menggunakan kain yang dicelupkan pada air biasa atau air es
sehingga memberi efek rasa dingin pada daerah tersebut (Zakiyah,
2015).
Terapi dingin (cold therapy) adalah pemanfaatan dingin untuk
mengobati nyeri dan mengurangi gejala peradangan lainnya atau
26

gangguan kesehatan lainnya. Terapi ini dipakai pada saat respons


peradangan masih sangat nyata (Arovah, 2016).
2.3.2 Penggunaan Kompres dingin
Tujuan diberikan kompres dingin adalah untuk memenuhi
kebutuhan rasa nyaman, menurunkan suhu tubuh, mengurangi rasa nyeri,
mencegah edema, dan mengontrol peredaran darah dengan
meningkatkan vasokonstriksi (Uliyah, 2015). Pemberian terapi ini tidak
dianjurkan bagi klien yang mempunyai alergi dingin (Zakiyah, 2015).
Pemberian kompres dingin menurunkan ketidaknyamanan dengan
mengurangi sensitivitas kulit dan otot superfisial oleh rangsangan neuron
sensori (Theory gate control) dan dengan mengurangi inflamasi dan
kekakuan (Nichols dan Zwelling, 1997 dalam Walsh, 2008).Kompres
dingin mengurangi ketegangan otot (lebih lama dibandingkan dengan
kompres panas). Kompres dingin akan membuat baal daerah yang
terkena dengan memperlambat transmisi nyeri dan impuls-impuls
lainnya melalui neuron-neuron sensorik (yang dapat membantu
menjelaskan rasa kebal sebagai efek dari dingin). Kompres dingin juga
mengurangi pembengkakan dan menyejukkan bagi kulit (Simkin, 2005).
Pada pengompresan dingin pada perineum selama 15 menit,sangat
efektif pada post partum dimana luka masih merah dan edema, edema
akan menurun dari2 cm menjadi 1 cm dan pasien mengatakan adanya
peredahan nyeri setelah diberikan kompres dingin (Johnson,
2005).Asuhan yang dapat diberikan untuk nyeri perineum yaitu
meletakkan kantong es di daerah genital untuk mengurangi nyeri
(Bahiyatun, 2009).

2.3.3 Efekfisiologis Terapi dingin


Menurut Berman (2009), efek fisiologis dari terapi dingin adalah :
a. Vasokonstriksi
b. Menurunkan permeabilitas kapiler.
c. Menurunkan metabolisme seluler.
d. Merelaksasi otot dan memperlambat pertumbuhan bakteri.
27

e. Mengurangi inflamasi dan meredakan nyeri dengan area membuat


menjadi mati rasa, memperlambat aliran impuls nyeri, dengan
vasokontriksi memperlambat kecepatan konduksi saraf.
f. Menurunkan ambang nyeri, anastesi lokal, merendahkan perdarahan.
Menurut Arovah (2016), efek fisiologis dan terapeutik dari terapi
dingin adalah :
a. Mengurangi suhu daerah yang sakit, membatasi aliran darah dan
mencegah cairan masuk ke jaringan disekitar luka. Hal ini akan
mengurangi nyeri dan pembengkakan.
b. Menurangi sensitivitas dari akhiran saraf berakibat terjadinya
peningkatan ambang batas rasa nyeri
c. Mengurangi kerusakan jaringan dengan jalan mengurangi
metabolisme lokal sehingga kebutuhan oksigen jaringan menurun.
Respon neuro-hormonal terhadap terapi dingin adalah sebagai
pelepasan endorfin, penurunan transmisi saraf sensorik, penurunan
aktivitas badan sel saraf, penurunan iritan yang merupakan limbah
metabolisme sel, dan peningkatan ambang nyeri (Arovah, 2016).
Secara fisiologis, pada 15 menit pertama setelah pemberian
aplikasi dingin terjadi vasokonstriksi arteriola dan venula secara
lokal.Vasokonstriksi ini disebabkan oleh aksi reflex dari otot polos yang
timbul akibat stimulasi sistem saraf otonom dan pelepasan epinefrin dan
norepinefrin. Walaupun demikian, apabila dingin tersebut terus
diberikan pada 15-30 menit akan timbul fase vasodilatasi yang terjadi
intermiten selama 4-6 menit. Selain menimbulkan vasokonstriksi,
sensasi dingin juga menurunkan eksitabilitas akhiran saraf bebas
sehingga menurunkan kepekaan terhadap rangsang nyeri. Energi dingin
dapat menembus jaringan otot dalam waktu 10 menit. Jika terapi dingin
dilakukan dalam jangka waktu yang lama, hal ini akan menyebabkan
hipotermia yang merupakan kondisi ketika suhu tubuh menurun secara
cepat di bawah suhu normal sehingga merusak metabolisme tubuh,
eksema kulit dan Frostbite yang merupakan kondisi ketika kulit dan
jaringan tubuh rusak akibat suhu dingin (Arovah, 2016).
28

2.3.4 Pengaruh Kompres Dingin Terhadap Nyeri


Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat
sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan
menghambat proses inflamasi. Agar efektif, es dapat diletakkan pada
tempat cedera segera setelah cedera terjadi (Andarmoyo, 2013).
Kompres dingin bekerja dengan menstimulasi permukaan kulit
untuk mengontrol nyeri terapi dingin yang diberikan akan
mempengaruhi impuls yang dibawa oleh serabut taktil A-Beta untuk
lebih mendominasi sehingga “gerbang” akan menutup dan impuls nyeri
akan terhalangi. Nyeri yang dirasakan akan berkurang atau hilang untuk
sementara waktu (Prasetyo, 2010 dalam Purnamasari, 2014).
2.3.5 Jenis Aplikasi Terapi Dingin
Kompres dingin dapat memberikan kelegaan. Contoh mencakup
kantung berisi es, lap muka yang didinginkan, sarung tangan yang berisi
potongan es, kantung berisi kacang yang dibekukan, pin plastik
berlubang yang diisi dengan es, kompres dingin “instan”, atau gel beku
seperti camper ice, atau kompres dingin yang digunakan untuk
mengatasi nyeri pada atlet. Juga, cobalah letakkan pada perineum segera
setelah melahirkan untuk membantu mengurangi sakit dan
pembengkakan(Simkin, 2008).
Jenis kompres dingin salah satunya adalah Kantong air es (ice
bag). Terapi dingin dengan menggunakan kantong air es adalah
penerapan kantong air es pada area yang sakit dimana kantong akan diisi
batu es serta sedikit air untuk mendapatkan suhu 10° sampai dengan
15°C. Proses ini berlangsung sekitar 10 sampai dengan 15 menit
(Arovah, 2016).
2.3.6 Penatalaksanaan Teknik Kompres Dingin
a. Menjelaskan prosedur pada klien.
b. Menjaga Privasi klien.
c. Mencuci tangan dan mengatur peralatan.
29

d. Mengkaji tingkat nyeri yang dialami pasien sebelum dilakukan


kompres dingin dengan menanyakan kepada pasien kekuatan nyeri
yang dialaminya dengan menggunakan skala intensitas nyeri.
e. Mengisi kantong es kira-kira tiga per-empat bagian dengan batu es
dan ditambah dengan airuntuk mendapatkan suhu 10° sampai dengan
15°C (Arovah, 2016).
f. Mengeluarkan udara dan menutup kantong es untuk mencegah
rembesan air dan meningkatkan kenyamanan.
g. Gunakan sarung tangan.
h. Melepas balutan pada perineum.
i. Meletakkan pengalas di bawah daerah perineum.
j. Bersihkan dan keringkan area yang akan diberikan kompres.
k. Tempatkan kompres di atas luka selama beberapa detik dengan
kepala kantong es mengarah ke luar tempat tidur.
l. Mengangkat tepi kompres untuk melihat respon awal kulit terhadap
terapi guna melihat respon merugikan pada kulit akibat terapi dan
meningkatkan keamanan.
m. Lakukan kembali pengompresan selama 15 menit dan kaji area yang
dilakukan tindakan tersebut setiap 5 menit dengan mengangkat sudut
kantong.
n. Setelah 15 menit, akhiri tindakan dan keringkan bagian perineum
untuk mencegah cedera lokal.
o. Berikan balutan baru pada perineum klien untuk meningkatkan
penyembuhan luka.
p. Bantu klien untuk mengambil posisi yang nyaman.
q. Membereskan semua peralatan dari tempat tidur klien untuk
mempertahankan lingkungn bersih.
r. Melepaskan sarung tangan dan mencuci tangan.
s. Mencatat hasil kegiatan.
(Johnson, 2005).
30

2.4 Stimulasi Kutaneus atau Massage


2.4.1 Massage (masase)
Masase adalah melakukan tekanan pada jaringan lunak, biasanya
otot, tendon, atau ligamentum, tanpa menyebabkan gerakan atau
perubahan posisi sendi untuk meredakan nyeri, menghasilkan relaksasi,
dan/atau memperbaiki sirkulasi (Andarmoyo, 2013).Ruang lingkup
massage meliputi teknik manipulasi (aktifitas dengan tangan) pada
jaringan lunak dengan tujuan untuk relaksasi otot, perbaikan sirkulasi
darah, dan perbaikan fleksibilitas dan pengurangan nyeri (Wiyoto,
2011).
Masase dianggap membantu dalam relaksasi dan menurunkan
kesadaran nyeri dengan meningkatkan aliran darah ke area yang sakit,
merangsang reseptor sensori di kulit dan otot di bawahnya, mengubah
suhu kulit, dan memberi rasa sejahtera umum yang dikaitkan dengan
kedekatan manusia. Dinyatakan bahwa stimulasi pelepasan endorfin,
penurunan katekolamin endogen, dan rangsangan terhadap serat saraf
eferen yang mengakibatkan blok terhadap transmisi rangsang nyeri (teori
gate control) mungkin instrumen dalam efek intervensi ini (Walsh,
2008).
Terapi massase merupakan teknik manipulasi jaringan lunak mellui
tekanan dan gerakan. Terapi ini dapat dilaukan pada seluruh tubuh
maupun pada bagian tertentu (contoh punggung, kaki, dan tangan).
Masase membantu penderita rileks dan tidak merasakan nyeri. Beberapa
jenis terapi msase meliputi Swedish massage (terdiri dari strokes,
kneading dan friksi otot serta gerakan pasif dan aktif) (Arovah, 2016).
Salah satu teknik masase punggung yang dapat digunakan adalah
dengan usapan yang perlahan (Slow stroke back massage) (Trihartini,
2010).
2.4.2 Slow Stroke Back Massage (SSBM)
a. Pengertian
31

Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk


menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara mendorong pelepasan
endorfin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Cara lainnya
adalah dengan mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta
yang lebih besar dan lebih cepat, sehingga menurunkan transmisi
nyeri melalui serabut C dan A-delta berdiameter kecil sekaligus
menutup gerbang sinap untuk transmisi impuls nyeri (Potter & Perry,
1997 dalam Shocker, 2008).
SSBM merupakan terapi manipulasi dengan pijatan lembut
pada jaringan yang bertujuan yang memberikan efek terhadap
fisiologis terutama pada vaskular, muskular, dan sistem saraf pada
tubuh. SSBM tidak hanya memberikan relaksasi secara menyeluruh,
namun juga bermanfaat bagi kesehatan seperti melancarkan sirkulasi
darah, menurunkan tekanan darah, menurunkan respon nyeri, dan
meningkatkan kualitas tidur (Moraska, et al., 2010 dalam Afrila
2015).
b. Teknik SSBM
Stroking atau mengurut adalah suatu gerakan mengurut dengan
menggunakan ujung-ujung jari yang merapat (jari telunjuk, jari
tengah, dan jari manis). Untuk menguatkan tekanan, tangan lain
dapat membantunya (Wiyoto, 2011). Pelaksanaan teknik ini seperti
teknik effleurage. Masase ini bertujuan untuk menenangkan,
mengurangi rasa sakit, memengaruhi saraf tepi dan menghilangkan
kekejangan otot (Arovah, 2016).
Mekanisme Stimulasi kutaneus slow stroke back massage
memijat pada area torakal 10 sampai 12 dan lumbal 1 yang
merupakan sumber persarafan rahim dan serviks dapat merangsang
reseptor saraf naik, dimana stimulus akan dikirim ke hipotalamus
untuk melakukan perjalanan melalui sumsum tulang belakang,
diteruskan ke pons dilanjutkan ke bagian abu-abu di otak tengah
(periaqueductus), stimulus yang diterima periaqueductus kemudian
dikirim ke hipotalamus (Maghfiroh, 2016).
32

Gambar 2.2 Kolumna Vertebralis. A, Aspek posterior. B, Aspek


Anterior. C, Aspek lateral. (Diadaptasi dari Anderson: Basic Human
Anatomy and Physiology (1984). Jones and Bartlett Publishers,
Bostom)
(Sumber : Gruendemann, 2005).
Terapi dilakukan 12-15 kali pijatan dalam satu menit dalam
waktu 3-10 menit. Usapan yang panjang dan lembut memberikan
kesenangan dan kenyamanan bagi klien, sedangkan usapan yang
pendek dan sirkuler cenderung bersifat menstimulasi (Lindquis,
Snyder, & Tracy, 2013 dalam Afrila 2015). Gerakan dimulai pada
bagian tengah punggung bawah kemudian ke arah atas area belahan
bahu kiri dan kanan. Stroking dilakukan untuk seluruh otot – otot di
sela iga (Wiyoto, 2011).

Gambar 2.3 Gerakan sirkular


33

c. Pengaruh
Menurut penelitian Shocker (2008) menunjukkan pengaruh stimulasi
kutaneus SSBMmeliputi :
1) Pelebaran pembuluh darah dan memperbaiki peredaran darah di
dalam jaringan tersebut. Dengan cara ini penyaluran zat asam dan
bahan makanan ke sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zat-
zat yang tidak terpakai akan diperbaiki. Jadi akan timbul proses
pertukaran zat-zat yang lebih baik.
2) Pada otot-otot, memiliki efek mengurangi ketegangan.
3) Meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis.
4) Penggunaan stimulus kutaneus yang benar dapat mengurangi
persepsi nyeri dan membantu mengurangi ketegangan otot yang
dapat meningkatkan nyeri.
5) Penurunan intensitas nyeri, kecemasan, tekanan darah, dandenyut
jantung secara bermakna.
d. Langkah-langkah Stimulasi Kutan SSBM
1) Pengertian
SSBMmerupakan pemijatan dengan perlahan, lembut, lambat,
pada area torakal 10-12 dan lumbal ke 1 yang merupakan sumber
persarafan rahim dan serviks dengan 12-15 kali pijatan
(Maghfiroh, 2016)dalam waktu 3-10 menit (Afrila, 2015).
2) Tujuan
Relaksasi otot, perbaikan sirkulasi darah, dan perbaikan
fleksibilitas dan pengurangan nyeri (Wiyoto, 2011).
3) Prosedur
a) Tahap Persiapan
(1) Menyiapkan alat dan bahan
(a) Jam tangan
(b) Minyak pijat
(c) 1 buah mangkuk kecil / gelas ukur
(d) 1 lembar selimut
34

(e) 1 lembar washlap / handuk kecil


(f) 1 lembar handuk kering
(2) Menjaga lingkungan : atur pencahayaan dan privasi
ruangan
b) Tahap orientasi
(1) Memberikan salam.
(2) Menjelaskan tujuan dan prosedur stimulasi kutan
SSBM.
(3) Meminta persetujuan pada klien.
c) Tahap pelaksanaan
(1) Menjaga privasi klien.
(2) Mencuci tangan dan mengatur peralatan.
(3) Menyiapkan minyak ke dalam mangkuk kecil
(4) Mengatur posisi klien dalam posisi miring
(5) Membantu klien melepas pakaian
(6) Memasang selimut pada bagian tubuh yang tidak di beri
massage.
(7) Mengoleskan minyak pada punggung ibu
(8) Melaukan warming up massage dengan stretching
punggung (mengurut seluruh bagian punggung)
(Wiyoto, 2011).
(9) Melakukan pemijatan utama dengan memijat secara
lembut bagian torakal 10 sampai 12 dan lumbal 1
dengan 12-15 pijatan dalam satu menit (Maghfiroh,
2016).
(10) Mengakhiri pemijatan dengan teknik slow down
massage (mengurut punggung kembali).
(11) Membersihkan punggung ibu mengunakan air dan
sabun bila diperlukan kemudian dibilas dengan waslap
basah dan keringkan dengan handuk.
(12) Membantu ibu menggunakan pakaian kembali
35

d) Tahap Terminasi
(1) Bantu klien untuk mengambil posisi yang nyaman.
(2) Mengakhiri kegiatan.
(3) Mencuci tangan.
(4) Mencatat hasil kegiatan

2.5 Konsep Perbedaan Intensitas Nyeri Luka Perineum dengan Pemberian


Kompres Dingin dan Slow Stroke Back Massage (SSBM)

Nurchairiah (2014) dalam penelitian Ayang (2016) tentang “pengaruh


kompres dingin terhadap tingkat nyeri luka perineum pada ibu nifas Di RSU
PKU Muhammadiyah Bantul” mengatakan kompres dingin atau cold therapy
merupakan modalitas terapi fisik yang menggunakan sifat fisik dingin untuk
terapi berbagai kondisi, termasuk pada nyeri luka perineum. Kompres dingin
bekerja dengan menstimulasi permukaan kulit untuk mengontrol nyeri. Terapi
dingin yang diberikan akan mempengaruhi impuls yang dibawa oleh serabut
taktil A-Beta untuk lebih mendominasi sehingga “gerbang” akan menutup dan
impuls nyeri akan terhalangi. Nyeri yang dirasakan akan berkurang atau hilang
untuk sementara waktu. Tujuan dilakukannya kompres dingin yaitu untuk
mengurangi inflamasi yang terjadi pada tempat yang terserang nyeri sehingga
sensasi nyeri pasien dapat berkurang.
Pemberian kompres dingin menurunkan ketidaknyamanan dengan
mengurangi sensitivitas kulit dan otot superfisial oleh rangsangan neuron
sensori (teori gate control) dan dengan mengurangi inflamasi dan kekakuan
(Nichols dan Zwelling, 1997 dalam Walsh, 2008)
Berdasarkan hasil penelitian Rahmawati (2013) sebelum diberikan
kompres dingin sebagian besar tingkat nyeri yang dialami oleh ibu nifas
adalah nyeri sedang yaitu sebanyak 12 (60%) dan setelah diberikan kompres
dingin tingkat nyerinya berkurang menjadi nyeri ringan yaitu sebanyak 15
(75%). Dari hasil penelitian tersebut bahwa setelah diberikan kompres dingin
sebagian besar ibu nifas mengalami tingkat nyeri ringan. Penggunaan kompres
36

dingin terbukti dapat menghilangkan nyeri, terapi dingin menimbulkan efek


analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls
nyeri yang mencapai otak lebih sedikit.
Dalam penelitian Trihartini (2010)tentang salah satu teknik masase
punggung yang dapat digunakan adalah dengan usapan yang perlahan (Slow
Stroke Back Massage). Penggunaan lotion/minyak diharapkan memberikan
sensasi hangat dan mengakibatkan vasodilatasi lokal. Vasodilatasi akan
meningkatkan peredaran darah pada area yang diusap sehingga aktivitas sel
meningkat dan akan mengurangi rasa sakit. Nilai terapeutik yang lain dari
masase punggung termasuk mengurangi ketegangan otot dan meningkatkan
relaksasi fisik dan psikologis (kusyati, 2006).
Menurut penelitian Rahmawati (2015) Massage dan sentuhan
merupakan teknik integrase sensori yang mempengaruhi sistem saraf otonom
(Potter & Ane Griffin Perry, 2005). Stimulasi kulit menyebabkan pelepasan
endorphin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri, dengan menggunakan
tindakan massage pada punggung dengan usapan yang perlahan (Slow Stroke
Back Massage) akanmenurunkan intensitas nyeri.
Dalam penelitian Rahayu (2016) tentang “Perubahan kadar β endorphin
pada pasien primigravida inpartu kala I fase aktif dengan penerapan “Comfort
food: slow stroke back massage”berbasis teori kenyamanan kolcaba di RSUD
Kabupaten Kediri” mengatakan bahwa dengan dilakukan Slow Stroke Back
Massage, dimana stimulus ini direspon oleh serabut A beta yang lebih besar
maka stimulus ini akan mencapai otak lebih dahulu, dengan demikian akan
menutup gerbang nyeri sehingga persepsi nyeri tidak timbul.Di samping itu,
stimulasi yang diberikan dapat merangsang pengeluaran morphin alami tubuh
yaitu hormon endorphin dengan cara merangsang reseptor saraf sensorik untuk
dihantarkan menuju sistem saraf pusat. Orang yang merasakan nyeri dapat
diartikan bahwa kadar endorphin dalam tubuhnya rendah.
Dalam penelitian Primayanthi (2016) tentang “Pengaruh terapi Slow
Stroke Back Massage dengan minyak essensial lavender terhadap penurunan
intensitas nyeri low back pain” dapat diketahui bahwa nilai rata-rata skala
nyeri sebelum diberikan terapi 4,83 dan rata-rata skala nyeri setelah diberikan
37

terapi 2,67. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa terapi SSBM


dengan minyak essensial lavender efektif menurunkan nyeri low bak pain.

2.6 Kerangka Konsep

Penatalaksanaan Nyeri
Faktor-faktor
yang Ibu Nifas Farmakologi :
mempengaruh Analgesik
i nyeri Nyeri
1. Usia perineum
2. Kultur
3. Makna 1. Ringan Non-Farmakologi :
nyeri 2. Sedang 1. Teknik Distraksi
4. Perhatian 3. Berat 2. Relaksasi
5. Ansietas 4. Sangat 3. Acupressure
6. Pola 4. Aromaterapi
Berat
koping 5. Terapi panas Pengaruh Stimulasi Slow Stroke Back
7. Dukungan Dingin Massage
keluarga
1. Pelebaran pembuluh darah dan
dan sosial
7. Stimulasi/Massage memperbaiki peredaran darah di
dalam jaringan.
2. Pada otot-otot, memiliki efek
mengurangi ketegangan
3. Meningkatkan relaksasi fisik dan
psikologis
Intensitas Nyeri
4. Mengurangi persepsi nyeri
1. Menurun
2. Tetap 5. Penurunan intensitas nyeri,
3. Meningkat kecemasan, tekanan darah, dan
denyut jantung secara bermakna

Gambar 2.4 Kerangka Konsep penelitian efektivitas pemberian Slow Stroke Back Massage
(SSBM) terhadap intensitas nyeri luka perineum

Keterangan : : Diteliti

: Yang tidak diteliti

: Ada Pengaruh
: Berhubungan
38

(Sumber : Andarmoyo, (2013), Banister, (2007), Berman, (2009), Judha, (2012), Manurung,
(2011), Maryunani, (2010), Medforth, (2012), Shocker, (2008), Tjay,

(2015),Zakiyah, (2015))

2.7 Hipotesis
Berdasarkanlatar belakang dan kerangka konsep yang telah ada, maka
peneliti dapat membuat suatu hipotesis yaitu :
Ada pengaruh pemberian Slow Stroke Back Massage (SSBM) terhadap
intensitas nyeri luka perineum pada ibu nifas di Rumah Sakit Aura Syifa
Kabupaten Kediri.
39

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian adalah suatu strategi yang telah ditetapkan untuk
mencapai tujuan penelitian dan pedoman dalam proses penelitian. Desain
penelitian meliputi indentifikasi peristiwa, variabel, dan pengembangan
teori serta definisi operasional dari variabel (Nursalam, 2009).
Penelitian ini merupakan penelitian jenis kuantitatif, dengan
menggunakan rancangan penelitian Pre Experimental Design. Adapun jenis
rancangan penelitian yang digunakan adalah Pretest -Posttest Design. Di
dalam desain ini observasi dilakukan sebanyak 2 kali yaitu sebelum
diberikan intervensi dan sesudah diberikan intervensi. Observasi yang
dilakukan sebelum diberikan intervensi disebut pre-test, dan observasi
sesudah diberikan intervensi disebut post-test(Hidayat, 2014).

Tabel 3.1 Pretest - Posttest Design

Subjek Pre-test Intervensi Post-test


R1 01 X1 02
R2 01 X2 02

Keterangan :

R1 : Subjek perlakuan (ibu nifas )


R2 : Subjek perlakuan (ibu nifas)
01 : Observasi tingkat nyeri sebelum diberikan intervensi
02 : Observasi tingkat nyeri sesudah diberikan intervensi
X1 : Intervensi berupa kompres dingin
X2 : Intervensi berupa Slow Stroke Back Massage (SSBM)
40

3.2 Kerangka Operasional


Langkah – langkah dalam aktivitas ilmiah mulai dari penetapan populasi,
sampel dan seterusnya yaitu dengan kegiatan penelitian akan dilaksanakan.

Penentuan topik dan masalah

Populasi
Semua Ibu nifasdi Ruang nifas RS Aura Syifa Kabupaten Kediri

Sampel
Sebagian Ibu nifasdi Ruang nifas RS Aura Syifa Kabupaten Kediri

Teknik Sampling
Menggunakan Simple Random Sampling

Melakukan Pretest intensitas nyeri

Kelompok 2 :
Diberikan Slow Stroke Back Massage

Melakukan Post tes intensitas nyeri

Pengumpulan Data :
Lembar Observasi

Pengolahan Data :
Editing, Coding, Skoring, Tabulating, Data Entry

Analisis Data :
Menggunakan Uji WilcoxonMatch Pair Test

Penyajian Hasil

Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Hasil Skripsi
41

Gambar 3.1 Kerangka Operasional Efektivitas pemberian kompres dingin dan


Slow Strok Back Massage (SSBM) terhadap intensitas nyeri luka perineum pada
ibu nifas.
3.3 Populasi, Sampel dan Sampling
3.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajarai dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2016).Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh ibu nifas di Ruang Nifas RS Aura Syifa Kabupaten Kediri.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, jumlah persalinan yang mengalami
ruptur perineum dan episiotomi pada bulan November - Desember
adalah 66 orang selama 2 bulan, jadi dapat diasumsikan populasinya
selama satu bulan adalah 33 orang
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut(Sugiyono, 2016).Sampel dalam penelitian ini
adalah sebagian ibu nifas yang memenuhi kriteria inklusi selama
penelitian di Ruang Nifas di RS Aura Syifa Kabupaten Kediri.
Penentuan besar sampel untuk penelitian eksperimental menurut Hidayat
(2014) dihitung menggunakan rumus :
Keterangan :
(t-1)(r-1) ≥ 15 t = banyak kelompok perlakuan
r = jumlah replikasi

Dari rumus tersebut, maka dapat diketahui besar sampelnya dengan


penjabaran sebagai berikut :
(t-1)(r-1) ≥ 15 Keterangan :
= (2-1)(r-1) ≥ 15 t = Banyaknya kelompok perlakuan
= (1)(r-1) ≥15 Perlakuan 1 : Kelompok Kompres dingin ≥ 16
42

= r- 1 ≥ 15 Perlakuan 2 : Kelompok SSBM ≥ 16


= r ≥ 15 + 1 r = Jumlah Replikasi
= r ≥ 16

Berdasarkan rumus di atas, maka peneliti memberikan intervensi


kompres dingin pada 16 responden dan intervensi SSBM 16 responden
(masing-masing intervensi yaitu 16 responden, dengan jumlah 32
responden).
3.3.3 Teknik Sampling
Teknik sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang
digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah
sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada (Hidayat,
2014).Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan cara
probability sampling jenis simple random sampling yaitu pengambilan
sampel secara acak dari populasi yang ada karena mempunyai
kesempatan yang sama untuk diseleksi (Notoatmodjo,2010). Setelah
menghitung besar sampel diperoleh sampel sebesar 32 orang dari jumlah
populasi sebesar 33 orang.
Peneliti membuat undian sebanyak 33 lalu diberikan nomor urut
angka 1 – 33 yang ditulis dalam kertas dimasukkan dalam botol atau
kotak kemudian diundi. Pemilihan kelompok 1 dan kelompok 2
berdasarkan dari nomor responden (ganjil dan genap). Pemilihan
tersebut dilakukan secara bergantian. Misalkan, responden bernomor
urut 1 yang merupakan nomor ganjil maka responden dipilih menjadi
kelompok 1 (Kompres dingin). Apabila selanjutnya terdapat ibu
postpartum, maka akan mendapat nomor urut 2 yang akan dipilih
menjadi kelompok 2 (SSBM). Angka yang sudah keluar kemudian
dicatat dan dimasukkan lagi agar peluangnya tetap 33. Apabila pada
undian selanjutnya angka yang keluar adalah yang sudah pernah tercatat,
maka kertas tersebut akan dikembalikan lagi hingga keluar angka yang
belum pernah tercatat sebelumnya.
43

3.4 Kriteria Sampel/Subjek Penelitian


Penentuan kriteria sampel sangat membantu untuk mengurangi bias hasil
penelitian, khususnya jika terhadap variabel-variabel kontrol ternyata
mempunyai pengaruh terhadap variabel yang kita teliti. Kriteria sampel
dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
3.4.1 Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri – ciri yang perlu dipenuhi oleh
setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel
(Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini kriteria inklusinya adalah :
a. Ibu nifas dengan Kesadaran komposmentis.
b. Ibu nifas yang melahirkan dengan proses persalinan pervaginam.
c. Ibu nifas yang mengalami nyeri luka perineum.
d. Ibunifas hari ke-1.
e. Bersedia menjadi responden.
3.4.2 Kriteria Ekslusi
Kriteria ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat
diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010).Dalam penelitian ini
kriteria ekslusinya adalah :
a. Ibu nifas yang tidak berada ditempat saat penelitian.

3.5 Variabel Penelitian atau Fokus Studi


Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda
terhadap suatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Nursalam, 2009). Variabel
penelitian dibedakan menjadi 2 yaitu :
3.5.1 Variabel Independen (bebas) merupakan variabel yang mempengaruhi
atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
dependen (terikat) (Sugiyono, 2016). Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah pemberian kompres dingin dan slow stroke back massage
(SSBM) .
3.5.2 Variabel Dependen (terikat) merupakan variabel yang dipengaruhi atau
yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2016).
44

Variabelterikat dari penelitian ini adalah intensitas nyeri perineum ibu


nifas.

3.6 Definisi Operasional Variabel/Fokus Studi


Definisi Operasional adalah mendefinisikan variabel secara
operasional berdasarkan karakteristik yang diamati (Hidayat, 2014).

Tabel 3.2 Definisi operasional dan cara pengukuran


No. Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Skala Skor/
Ukur Data Kriteria
1. Variabel Tindakan yang 1. Kompres dingin dilakukan SOP, - -
Independen dilakukan dengan maksimal selama 15 menit Jam
Pemberian memberikan rasa pada daerah perineum. tangan,
Kompres dingin pada daerah 2. Kompres dingin kanton
dingin. setempat dengan menggunakan batu es yang g es
potongan es batu ditambah dengan air dan
ditambahi sedikit air kantong es untuk
yang dibungkus mendapatkan suhu 10º - 15º.
dengan kantong es 3. Kompres dingin dihentikan
untuk mengurangi jika pasien merasa tidak
rasa nyeri, mencegah nyaman.
edema, dan 4. Kompres dingin diberikan
mengontrol sebelum pemberian obat.
peredaran darah
dengan
meningkatkan
vasokontriksi.
2. Pemberian Pemijatan dengan 1. Diberikan pemijatan dengan SOP, - -
Slow Stroke gerakan mengurut minyak pijat dengan teknik Jam
Back dengan pijat SSBM, dilakukan tangan,
Massage menggunakan selama 3– 10 menit, setelah minyak
(SSBM) ujung-ujung jari itu ibu diukur kembali nyeri pijat.
yang merapat yang dirasakan.
dengan penekanan 2. SSBMdiberikan sebelum
pada area 10-12 pemberin obat.
daerah torakal dan
lumbal 1 yang
45

merupakan sumber
persarafan Rahim
dan serviks, teknik
ini dilakukan 12-15
pijatan dalam satu
menit.
3. Variabel Pernyataan verbal 1. Respon nyeri diukur Lembar O 1. Menurun
Dependen tentang sensasi nyeri berdasarkan alat ukur nyeri, Observ R 2. Tetap
Intensitas yang diukur dalam intensitas nyeri asi D 3. Meningkat
Nyeri intensitas nyeri pada diklasifikasikan sebagai Skala I
perineum daerah perineum. berikut : nyeri N
Skor 0: Tidak Nyeri VAS A
Skor 1-3:Nyeri Ringan (Visual L
Skor 4-6 : Nyeri Sedang Analog
Skor 7-9 : Nyeri Berat Scale)
Skor10:Nyeri Sangat Berat
2. Persepsi nyeri diukur secara
verbal.
3. Respon nyeri diukur
sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi
kompres dingin dan SSBM
(Sumber : (Arovah, 2016, Uliyah, 2008, Wiyoto, 2011, Maghfiroh, 2016).
3.7 Lokasi dan waktu penelitian
3.7.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Nifas RS Aura Syifa Kabupaten
Kediri
3.7.2 Waktu penelitian
Penelitian akan dilaksanakan mulai bulan Maret - April 2018

3.8 Alat pengumpulan data


Alat pengumpulan data atau instrument penelitian adalah alat-alat yang
akan digunakan untuk pengumpulan data (Notoatmodjo,2010). Alat
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar
observasiuntuk melakukan penilaian terhadap tingkat nyeri yang dialami
oleh responden sebelum dan sesudah diberi perlakuan kompres dingin dan
46

(SSBM)dengan menggunakan skala pengukuran nyeri Visual Analog Scale


(VAS).

3.9 Metode pengumpulan data


Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan data dengan
tahap-tahap proses sebagai berikut :
a. Pengajuan ijin Ketua Program Studi Sarjana Terapan Kebidanan
Poltekkes Kemenkes Malang Prodi Kebidanan Kediri.
b. Pengajuan ijin Kepada Bakesbangpol Kabupaten Kediri.
c. Pengajuan ijin Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri.
d. Pengajuan ijin Direktur Rumah Sakit Aura Syifa Kabupaten Kediri.
e. Peneliti menentukan responden ibu nifas berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi melalui observasi.
f. Pada penelitian ini dilakukan prosedur sebagai berikut :
1) Kelompok kompres dingin
a) Peneliti memperkenalkan diri dan memberikan informasi
meliputi tujuan serta prosedur penelitian.
b) Peneliti memberikan lembar persetujuan atau informed consent
untuk ditandatangani oleh responden ibu nifas hari ke -1 jika
responden bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian.
c) Setelah responden mengisi lembar persetujuan, responden
diberikan teknik-teknik pemberian kompres dingin dan kemudian
peneliti menjelaskan tentang teknik-teknik tersebut.
d) Peneliti mengambil data dengan lembar observasi sebelum
dilakukan kompres dingin dengan menilai skor intensitas nyeri
pada ibu, yaitu dengan cara menunjukkan angka 1-10 dan ibu
diminta untuk memilih angka berapa yang menggambarkan
nyerinya.
e) Peneliti melakukan kompres dingin
f) Peneliti mengambil data dengan lembar observasi sesudah
dilakukan kompres dingin dengan menilai skor intensitas nyeri
47

pada ibu, yaitu ibu diminta untuk mendeskripsikan kembali nyeri


yang dirasakan dengan menunjukkan angka 1-10.
2) Kelompok Slow Stroke Back Massage (SSBM)
a) Peneliti memperkenalkan diri dan memberikan informasi
meliputi tujuan serta prosedur penelitian
b) Peneliti memberikan lembar persetujuan atau informed consent
untuk ditandatangani oleh responden ibu nifas hari ke -1 jika
responden bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian.
c) Setelah responden mengisi lembar persetujuan, responden
diberikan teknik-teknik pemberian SSBM dan kemudian peneliti
menjelaskan tentang teknik-teknik pemberian SSBM.
d) Peneliti mengambil data dengan lembar observasi sebelum
dilakukan SSBM dengan menilai skor intensitas nyeri pada ibu,
yaitu dengan cara menunjukkan angka 1-10 dan ibu diminta
untuk memilih angka berapa yang menggambarkan nyerinya.
e) Peneliti melakukan pemijatan pada punggung ibu dengan teknik
SSBM dengan menggunakan minyak pijat.
f) Peneliti mengambil data dengan lembar observasi sesudah
dilakukan teknik pijat punggung SSBM, ibu diminta untuk
mendeskripsikan kembali nyeri yang dirasakan dengan
menunjukkan angka 1-10.
g. Mengumpulkan dan mengolah data

3.10 Metode pengolahan data


3.10.1 Pengolahan data
Dalam melakukan analisis data terlebih dahulu data harus diolah
dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Dalam proses
pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh, di
antaranya :
a. Editing (Penyuntingan Data)
48

Editing adalah hasil wawancara, angket, atau pengamatan dari


lapangan harus dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu
(Notoatmodjo, 2010).
b. Coding (Membuat Lembaran Kode)
Codingmerupakankegiatan pemberian kode numerik atau angka
terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini
sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan
komputer (Hidayat, 2007). Peneliti dapat memberikan kode berupa
angka (numerik) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori,
antara lain :
1) Data Umum
a) Nama Responden
(1) Responden yang diberikan perlakuan kompres dingin =
R1, R2, R3, dan seterusnya…
(2) Responden yang diberikan perlakuan SSBM = S1, S2, S3,
dan seterusnya…
b) Usia
(1) < 20 tahun = U1
(2) 20-35 tahun = U2
(3) >35 tahun = U3
c) Paritas
(1) Primigravida = G1
(2) Multigravida = M1
2) Data Khusus
a) Tingkat Nyeri
(1) Sebelum dilakukan perlakuan :
Tidak nyeri Skor 0 = Kode A
Nyeri ringan Skor 1-3 = Kode B
Nyeri sedang Skor 4-6 = Kode C
Nyeri berat Skor 7-9 = Kode D
Nyeri Sangat berat Skor 10 = Kode E
(2) Sesudah dilakukan perlakuan :
49

Tidak nyeri Skor 0 = Kode A1


Nyeri ringan Skor 1-3 = Kode B1
Nyeri sedang Skor 4-6 = Kode C1
Nyeri berat Skor 7-9 = Kode D1
Nyeri Sangat berat Skor 10 = Kode E1
c. Skoring
Skoringadalah data yang terkumpul lalu dikumpulkan dan diberi
skor. Skor untuk nyeri perineum adalah :
Tidak nyeri : Skor 0
Nyeri ringan : Skor 1-3
Nyeri sedang : Skor 4-6
Nyeri berat : Skor 7-9
Nyeri sangat berat : Skor 10
(Manurung, 2011)
d. Tabulating
Pada tahap ini, peneliti melakukan proses tabulasi menggunakan
tabel dan analisa data dengan perhitungan komputerisasi.
e. Data Entry
Jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk
angka dimasukkan ke dalam komputer
3.10.2 Analisis Data
Analisis data penelitian ini melalui prosedur bertahap yaitu :
a. Analisis Univariat
Analisis Univariatdalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
distribusi frekuensi responden dilihat dari skala nyeri dan intensitas
perubahan nyeri perineum sebelum dan sesudah diberi perlakuan.
Analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase
dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010).
Menghitung persentase dengan menggunakan rumus table distribusi
frekuensi adalah :
Keterangan :
50

𝑓 P : Persentase
P= X 100 %
𝑁
f : Frekuensi
N : Jumlah Responden

b. Analisis Bivariat
Analisis Bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2010). Analisis ini
digunakan untuk menguji perbedaan pemberian kompres dingin dan
SSBMdalam mengurangi tingkat nyeri luka perineum ibu nifas. Uji
statistik untuk tingkat nyeri sebelum dan sesudah perlakuan pada
kelompok 1 (kompres dingin) dan kelompok 2 (SSBM)
menggunakan uji statistik non parametrik yaitu Wilcoxon Match Pair
Test, teknik ini digunakan untuk menguji hipotesis komparasi dua
sampel yang berkorelasi bila datanya berbentuk ordinal (berjenjang)
(Sugiyono,2015).
Bila sampel pasangan > 25, maka distribusinya akan mendekati
normal. Untuk itu digunakan rumus z dalam pengujiannya .

T − μT Dimana :
𝑧=
𝜎T z : Derajat Kemaknaan
T : Jumlah jenjang / rangking yang kecil
n : Besar Sampel

Kemudian menghitung μT dan 𝜎T dengn rumus sebagai berikut :

𝑛 (𝑛 + 1) 𝑛(𝑛 + 1)(2𝑛 + 1)
μT = 𝜎T = √
4 24

Dengan demikian rumus z yang digunakan adalah sebagai berikut:


51

𝑛 (𝑛+1)
T− μT T−
𝑧=
𝜎T
= 4
𝑛(𝑛+1)(2𝑛+1)

24

Tabel 3.3 Tabel Penolong Untuk WilcoxonMatch Pair Test

No. XA1 XB2 Beda Urut Beri Tanda Jenjang


(Sebelum) (Sesudah) XA1 – XB2 Jenjang Jenjang + -
1.
2.
3.
Jumlah

Hasil dari z selanjutnya akan dibandingkan dengan z table nilai kritis


dengan signifikasi 0,05.
1. Jika z hitung ≥ z tabel, maka H1 diterima, artinya ada perbedaan
tingkat nyeri perineum sebelum dan sesudah pemberian kompres
dingin dan SSBM
2. Jika z hitung< z tabel, maka H0 diterima, artinya tidak ada
perbedaan tingkat nyeri perineum sebelum dan sesudah pemberian
kompres dingin dan SSBM(Sugiyono, 2015).

Setelah mengetahui hasil perbedaan tingkat nyeri sebelum dan


sesudah diberikan perlakuan pada masing-masing kelompok,
kemudian untuk menjawab hipotesis maka dilakukan uji beda
menggunakan Mann-Whitney U-Test. Uji ini dilakukan untuk hipotesis
komparatif dua sampel independen bila datanya berbentuk ordinal.
Dalam penelitian ini sampel independennya yaitu pemberian kompres
dingin dan pemberian SSBM. Berikut tabelpenolong untuk pengujian
dengan Mann-Whitney U-Test :

Tabel 3.4 Tabel Penolong Untuk Pengujian dengan Mann-Whitney U-Test

Kelompok Skor Peringkat Kelompok Skor Nyeri Peringkat


52

Kompres Nyeri Slow Stroke


Dingin Back Massage
(SSBM)
1.
2.
3.
R1 R2

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

𝑛1 (𝑛1 +1 )
𝑈1 = 𝑛1 . 𝑛2 + –R1
2

𝑛2 (𝑛2 +1 )
𝑈2 = 𝑛1 . 𝑛2 + - R2
2

Dimana :
U1 = Jumlah peringkat 1
U2 = Jumlah peringkat 2
n1 = Jumlah sampel 1
n2 = Jumlah sampel 2
R1 = Jumlah ranking pada sampel n1
R2 = Jumlah ranking pada sampel n2

Setelah mendapatkan nilai statistik uji U1 dan U2, kemudian


mengambil nilai terkecil dari kedua nilai tersebut. Nilai terkecil yang
diperoleh kemudian dibandingkan dengan tabel Mann-Whitney U-
Test.
Hasil dari perbandingan U1 dan U2 yang lebih kecil selanjutnya akan
dibandingkan dengan U tabel dengan signifikansi 0,05.
1. Jika U hitung ≤ U tabel, maka H1 diterima, artinya terdapat
perbedaan yang signifikan antara pemberian kompres dingin dan
SSBMterhadap intensitas nyeri perineum.
53

2. Jika U hitung > U tabel, maka H0 diterima, artinya tidak terdapat


perbedaan yang signifikan antara pemberian kompres dingin dan
SSBM(Sugiyono, 2015).

3.11 Penyajian hasil


Pada penyajian hasil penelitian, peneliti akan melaporkan semua
hasil dari penelitian (Nursalam, 2009). Penyajian hasil pada penelitian ini
akan dilaporkan dalam bentuk tabel.

3.12 Etika penelitian


Dalam malaksanakan penelitian khususnya jika yang menajdi subjek
adalah manusia, maka peneliti harus memahami hak dasar manusia.
Manusia memiliki hak dan kebebasan dalam menentukan dirinya, sehingga
penelitian yang akan dilaksanakan benar-benar menghargai hak dan
kebebasan manusia. Masalah etika kebidanan yang harus diperhatikan
adalah :
a. Lembar persetujan (Informed consent)
Sebelum melakukan penelitian kebidanan, kita melakukan
perkenalan diri terlebih dahulu pada responden penelitian guna
meminta persetujuan ketersediaannya dengan memberikan lembar
persetujuan. Tujuan dilakukan informed consent agar responden
mengerti maksud dan tujuan peneliti serta mengetahui dampaknya.
Apabila subjek bersedia menjadi responden, maka mereka harus
menandatangani lembar persetujuan. Sedangkan jika subjek tidak
bersedia, maka peneliti harus dapat menghormati hak pasien.
b. Tanpa Nama (Anonimity)
Masalah etika kebidanan merupakan masalah yang memberikan
jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak
memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat
ukur dan hanya menuliskan kode (inisial) pada lembar pengumpulan
data atau hasil penelitian yang akan disajikan (Hidayat, 2014).
54

c. Kerahasiaan (Confidentiality)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan
jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-
masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan pada hasil riset sesuai keterbatasan data dalam penelitian ini
(Hidayat, 2014).
55

DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, S. 2013. Konsep dan proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta:Ar-


Ruzz.

Arovah, Novita Intan. 2016. Fisioterap Olahraga.Yogyakarta: EGC

Bahiyatun. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta : EGC

Banister, Claire. 2007. Pedoman Obat Buku Saku Bidan. Jakarta: EGC

Benson, Ralph C, dkk. 2009. Buku Saku Obstetri & Ginekologi Edisi 09. Jakarta:
EGC

Berman, A, dkk. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis edisi 5. Jakarta:
EGC

Dewi, Vivian Nanny Lia, dkk.2011.Asuhan Kebidanan pada Ibu


Nifas.Jakarta:Salemba Medika

Dinas Kesehatan Kediri. 2016. Profil Kesehatan Kota Kediri Tahun 2015. Kediri.

Gruendemann, Barbara J, et al.,2005. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif


Volume 2 Praktik . Jakarta: EGC

Goodman & Gilman. 2011. Manual Farmakologi dan Terapi : Rangkuman


Praktis dari Buku Ajar Farmakologi Terbaik Dunia. Jakarta: EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2014. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa
Data : contoh aplikasi stuudi kasus. Jakarta : Salemba Medika

Johnson, Ruth, dkk. 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan.Jakarta:EGC

Johnson, Joyce Young, dkk. 2005. Prosedur Perawatan di Rumah Pedoman untuk
Perawat. Jakarta:EGC

Judha, Mohamad, dkk.2012.Teori Pengukuran Nyeri dan Nyeri Persalinan


disertai contoh askep. Yogyakarta:Nuha Medika

Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia.Jakarta: Kemenkes RI

Manurung, Suryani.2011.Buku Ajar Keperawatan Maternitas Asuhan


Keperawatan Intranatal.Jakarta:Trans Info Media

Maryunani, Anik. 2009. Asuhan Pada Ibu dalam masa Nifas (Postpartum).
Jakarta: Trans Info Media
56

______________. 2010. Nyeri Dalam Perslinan “Teknik dan Cara


Mengatasinya” .Jakarta : Trans Info Media

Medforth, J, dkk. 2012. Kebidanan Oxford : dari Bidan untuk Bidan. Jakarta:
EGC

Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta.

Price, Sylvia A, et al. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses


penyakitEdisi 6 Volume2.Jakarta: EGC
Rosdahl, Caroline B. 1999. Textbook of Basic Nursing Seventh Edition.East
Washington Square : Lippincott Williams & Wilkins
Simkin, Penny, P.T, dkk. 2008. Panduan Lengkap : Kehamilan, Melahirkan, &
Bayi. Jakarta: Arcan

Sugiyono. 2015. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

________. 2016. Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, kualitatif,


dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sukarni, k, Icesmi., et al. 2013. Kehamilan, Persalinan, dan Nifas dilengkapi


dengan patologi. Yogyakarta: Nuha Medika

Tjay, Tan Hoan, et al. 2015. Obat – obat Penting : Khasiat, penggunaan, dan
efek-efek sampingnya Edisi 7. Jakarta: Elex Media Komputindo

Uliyah, Musrifatul, dkk.2008. Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk


Kebidanan Edisi 2. Jakarta:Salemba Medika

___________________.2015. Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk


Kedidanan Edisi 3.Jakarta: Salemba Medika

Walsh, Linda V. 2008. Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC

Wiyoto, Bambang Trisno, 2011. Remedial Massage panduan pijat penyembuhan


bagi fisioterapis, praktisi, dan instruktur. Yogyakarta: Nuha Medika

Yuliatun, L. 2008. Penanganan Nyeri Persalinan dengan Metode


Nonfarmakologi. Malang : Bayumedia Publishing.

Zakiyah, Ana. 2015. Nyeri: Konsep dan penatalaksanaan dalam Praktik


Keperawatan Berbasis Bukti. Jakarta: Salemba Medika
57

Afrila, Nopri.2015. Efektivitas kombinasi Slow stroke back massage dan


akupresur terhadap penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi.
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau.

Ayang. 2016. Pengaruh kompres dingin terhadap tigkat nyeri luka perineum pada
ibu nifas Di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Program Studi Pendidik
Jenjang Diploma IV Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta. Diakses
darihttp://digilib.unisayogya.ac.id/1976/1/NASKAH20PUBLIKASI20A
YANG20DYANING20PUTRI20201510104059.pdfpada tanggal 12
November 2017.

Gayatri, Oktasari, dkk. 2014. Perbandingan efektivitas kompres hangat dan


kompres dingin terhadap penurunan dismenorea pada remaja putri.
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau. Diperoleh dari
https://media.neliti.com/publications pada tanggal 12 November 2017

Iqbal, Kiki Muhammad, dkk. 2005. Perbandingan Nilai Visual Analog Scale
dengan skala Verbal Derajat Nyeri kepala pada penderita nyeri kepala
primer di RSUP H. Adam Malik Medan.

Maghfiroh, Tri. 2016. The effect of stimulus cutaneous slow stroke back massage
to Beta endorphin levels and blood pressure changes among pregnant
women with preeclampsia in Demak, Indonesia. Diponegoro University,
Semarang, Indonesia. Di peroleh dari
aasic.org/proc/aasic/article/view/190 pada tanggal 20 Januari 2018 Pukul
10.07 WIB

Purnamasari, Elia. 2014. Efektivitas kompres dingin terhadap penurunan


intensitas nyeri pada pasien fraktur di RSUD Ungaran. Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan (JIKK).

Primayanthi, A.A.Ayu Emi. 2016. Pengaruh terapi Slow stroke back massage
dengan minyak essensial lavender terhadap penurunan intensitas nyeri
low back pain. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. Jurnal Keperawatan community of Publishing in
Nursing.Diperoleh
dariid.portalgaruda.org/ref=browse&mod=viewjournal&journal=956pada
tanggal 10 November 2017Pukul 19.20 WIB

Rahayu, Dwi. 2016. Perubahan kadar β endorphin pada pasien primigravida


inpartu kala I fase aktif dengan penerapan “Comfort food: slow stroke
back massage” berbasis teori kenyamanan kolcaba Di RSUD Kabupaten
Kediri. The Indonesian Journal Of Health Science, Vol. 7 No. 1

Rahmawati, Sylvina.2015. Perbedaan Efektivitas Kompres Dingin Dan Slow


Stroke Back Massage (Ssbm) Terhadap Penurunan Nyeri Luka Perineum
Pada Ibu Nifas (Di Rumah Sakit Umum Daerah Pamekasan). Magister
58

Epidemiologi Konsentrasi Sains Terapan Kesehatan Program


Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Diperoleh tanggal 28
Oktober 2017 dari http://eprints.undip.ac.id/49193/3/BAB_I.pdf pukul
22.02 WIB.

Rahmawati, Silviana Eva. 2013. Pengaruh kompres dingin terhadap pengurangan


nyeri luka perineum pada ibu nifas di BPS Siti Alfirdaus Kingking
Kabupaten Tuban

Shocker, Medical.2008. Pengaruh stimulasi kutaneus :Slow stroke back massage


terhadap intensitas nyeri osteoarthritis pada lansia di panti Werdha
Griya Asih Lawang. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Diperoleh dari
https://www.scribd.com/doc/14961379/Pengaruh-Stimulasi-Kutaneus-
Slow-Stroke-Back-Massage-Terhadap-as-Nyeri-Osteoartritis-Pada-
Lansia-Di-Panti-Werdha-Griya-Asih-Lawangdiakses tanggal 20
November 2017 Pukul 11.15 WIB

Trihartini, Mira. 2010. Stimulasi kutaneus slow stroke back massage menurunkan
intensitas nyeri osteoarthritis pada lansia. Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya. Diperoleh dari
https://e-journal.unair.ac.id/JNERS/article pada tanggal 16 November
2017

Utami, Sri.2015. Perbedaan tingkat nyeri pada ibu postpartum yang mengalami
episiotomi dengan ruptur spontan di RSUD Panembahan Soenopati
Bantul. Diperoleh dari
http://digilib.unisayogya.ac.id/762/1/SKRIPSI20SRIUTAMI2020141010
4191.pdf. Diakses pada tanggal 14 November 2017

http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-4-sistem-saraf-pusat/47-analgesik/471-analgesik-
non-opioid

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/45984/Chapter%20II.pdf;j
sessionid=353376A3121D144C3813C31F5C6A9AC4?sequence=4 tgl 2
des 17 pkl 10:18
http://askep33.com/2016/03/01/sop-kirbat-es/ akses 3 des 17 10:50

Iqbal (2005) tentang “ Perbandingan nilai visual analog scale dengan skala verbal
derajat nyeri kepala pada penderita nyeri kepala primer di RSUP H. Adam Malik
Medan

Price, A. Sylvia., & Wilson, M. L (2005). Patofisiologi : konsep klinis, prosesproses


penyakit. Edisi 6, Volume II. Jakarta : EGC
59

Potter, P. A.,& Perry, A. G. (2006). Buku Ajaro Fundamental Keperawatan.Vol 2 Edisi


4.Jakarta:EGC Potter, P. A.,& Perry, A. G. (2010). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan.ed.7 buku 3. Jakarta : Salemba Medika

Nurchairiah, Andi. 2014. Efektifitas Kompres Dingin Terhadap Intensitas Nyeri Luka
Perineum di Ruang Dahlia RSUD Arifin Achmad. Pekanbaru: Universitas Riau.

Purnamasari, Elia. 2014. Efektifitas Kompres Dingin Terhadap Penurunan Intensitas


Nyeri di RSUD Ungaran. Jawa Tengah: STIKES Telogorejo Semarang.

Sulistyawati, Ari. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Yogyakarta: CV.
Andi Offset.

Kozier, et al. 2010.Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan


Praktik. Jakarta. EGC
Asmadi.2008. Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai