Anda di halaman 1dari 7

Pengelolaan Kesuburan Tanah Sulfat Masam (Bagian 4.

D)

Posted by Dr. Ir. Abdul Madjid, MS

Pengelolaan Kesuburan Tanah Sulfat Masam*

Oleh: Masayu Rodiah** dan Abdul Madjid Rohim***

(Bagian 4.D dari 5 Tulisan)

Keterangan:

* : Makalah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister
(S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan,
Indonesia.

** : Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas
Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

*** : Dosen Mata Kuliah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu Tanaman, Program
Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera
Selatan, Indonesia.

(Bagian 4.D dari 5 Tulisan)

D. Pengelolaan Tanah dan Air

Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama untuk
keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, termasuk tanah sulfat masam.
Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata air makro maupun mikro, penataan lahan,
ameliorasi, dan pemupukan.

a. Jaringan tata air makro

Pengembangan lahan rawa meliputi kegiatan reklamasi dan pengelolaan. Kegiatan reklamasi
dimulai dari perencanaan, penelitian dan pelaksanaan di lapangan. Penelitian yang mendukung
perencanaan reklamasi sangat diperlukan terutama penelitian sumberdaya lahan meliputi tanah,
air, iklim, dan hidrologi serta aspek lingkungan. Dalam pelaksanaannya reklamasi mencakup
pekerjaan penebangan hutan dan pembakaran, konstruksi jalan, dan pembuatan saluran drainase
(Widjaja-Adhi, 1995).
Sistem reklamasi lahan rawa di Indonesia telah dilakukan sejak proyek P4S yang dimulai awal
Pelita I di lahan rawa pasang surut pantai timur Sumatera, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan
Selatan serta Kalimantan Barat. Menurut Subagjo dan Widjaja-Adhi (1998) selama PJP I telah
ditetapkan lima sistem jaringan tata air makro, yaitu: 1) sistem garpu, 2) tangga, 3) sisir tunggal,
4) sisir berpasangan, dan 5) kombinasi garpu dengan sisir.

Selain kelima sistem tersebut UGM telah mengkombinasikan dengan pembuatan kolam pada
ujung saluran primer atau sekunder (Gambar 1) yang disebut dengan sistem kolam. Keuntungan
dari sistem kolam ini adalah asamasam atau racun dapat diendapkan dalam kolam tersebut tidak
masuk ke dalam lahan pertanian dan memelihara aliran sewaktu air surut. Sistem kolam ini telah
dilaksanakan di Pulau Petak dan Barabai Kalimantan Selatan.

Sistem jaringan tata air tersebut sebenarnya tidak berlaku umum tetapi tergantung kepada
tipologi lahan dan tipe luapan di daerah itu. Sistem jaringan tata air selain dibedakan menurut
bentuknya dapat pula dibedakan menurut hubungan tata air, yaitu sistem terbuka dan sistem
tertutup. Sistem reklamasi jaringan tertutup adalah cara pembukaan lahan yang jaringan tata
airnya tidak berhubungan satu sama lain (zonasi). Sistem ini seperti yang dilakukan oleh petani
Suku Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dan Suku Bugis di Pulau Sumatera.
Pada sistem tertutup ini pembuatan saluran atau handil sangat hati-hati dengan memperhatikan
karakteristik tanah dan tipe luapan air sungai. Handil itu dibuat tegak lurus sungai ke arah hutan
mengikuti garis kontur sehingga handil itu tidak selalu lurus dan panjangnya tergantung air
pasang masuk (4-10 km). Cara reklamasi seperti ini umumnya berhasil dalam meningkatkan
produktivitas lahan rawa, terutama padi, palawija, dan tanaman buah-buahan.

Berdasarkan hasil penelitian Badan Litbang Pertanian bahwa lahan pasang surut memiliki
prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian terutama dalam kaitannya
dalam mendukung program ketahanan pangan dan agribisnis melalui peningkatan dan
diversifikasi produksi, peningkatan pendapatan dan lapangan kerja. Namun untuk mendukung
kearah pengembangan pertanian yang berhasil dan berkesinambungan dilahan pasang surut ada
dua hal penting yang harus diperhatikan dalam reklamasi lahan, yaitu pemanfaatan jaringan tata
air berikut salurannya dan tata ruang untuk penataan lahannya (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah,
1998).

Selanjutnya dalam pembuatan saluran baik primer, sekunder dan tersier perlu memperhatikan
tata letak, dimensi dan cara pembuatan salurannya disesuaikan dengan fisiografi dan kondisi
lahan sehingga menunjang kelestarian dan produktivitas lahan. Pembuatan saluran harus
mengikuti atau memperhatikan garis kontur dan tipologi lahannya. Saluran dengan
mempertimbangkan garis kontur maka aliran air dapat mengalir dengan baik, tinggi air di saluran
rata.

Hal ini akan sangat berpengaruh dalam proses pencucian bahan-bahan beracun dari lahan ke
saluran dan seterusnya ke sungai berjalan lancar. Dimensi dan kedalaman saluran perlu
dipertimbangkan sehubungan dengan keadaan hidrologi di daerah tersebut, sebab penurunan
muka air yang drastis akan mengakibatkan teroksidasi lapisan pirit, besi, Al, dan sulfat akan
muncul ke permukaan dan dengan adanya air hujan akan meningkatkan kemasaman (pH) air di
saluran.

Selain itu penurunan permukaan air yang drastis juga akan menyebabkan gambut kering tak
balik (irrevisible drying) sehingga akan mempercepat penurunan permukaan gambut
(subsidence) dan atau cepat hilangnya lapisan gambut. Pembuatan tata ruang sebelum saluran
dibuat perlu memperhatikan dan mempertimbangkan pola penggunaan lahan hipotetik yang
dikemukakan oleh Widjaja-Adhi, (1992). Menurut Harjono, (1995) sedikitnya terbuka lima
peluang fungsi dari jaringan pengairan rawa, yaitu 1) berfungsi sebagai saluran drainase, 2)
sebagai pemasukan air, 3) sebagai alat trasportasi, 4) berfungsi sebagai konservasi sumberdaya
air rawa, dan 5) sebagai pendukung bagi proses reklamasi.

Untuk mencapai jaringan tata air ini hendaknya berpegang kepada pola penggunaan lahan dan
pola pemanfaatan sekaligus diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran drainase, pemasok air,
mendukung proses reklamasi, dan konservasi sumber air. Fungsi jaringan tata air sebagai alat
transportasi perlu dipertimbangkan pada tahapan mana ini dapat diberlakukan. Pada tahap
saluran primer dan sekunder mungkin fungsi ini dapat diberlakukan, tetapi untuk tersier
sebaiknya tidak dianjurkan. Pembuatan pintu air pada saluran primer atau sekunder seperti
dilahan ex-PLG sangat tidak efisien karena mengganggu fungsi transportasi masyarakat sekitar
sehingga akhirnya dijebol, pengaturan pintu air sebaiknya mulai dilakukan di tingkat tersier ke
bawah.

Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air di lahan pasang surut dibedakan ke
dalam : (1) Pengelolaan air makro, (2) pengelolaan air mikro, dan (3) pengelolaan air tingkat
tersier yaitu mengkaitkan antara pengelolaan air makro dan pengelolaan air mikro (Widjaja-Adhi
dan Alihamsyah, 1998). Pengelolaan air makro yaitu penguasaan air di tingkat kawasan
reklamasi yang bertujuan mengelola berfungsinya jaringan drainase/irigasi (navigasi-
sekundertersier), kawasan retarder dan sepadan sungai/laut dan saluran intersepsi bila diperlukan
serta kawasan tampung hujan.

Kawasan retarder dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya banjir di daerah hulu sungai
termasuk mengurangi kedalaman dan lama genangan air dilahan lebak dangkal dan tengahan.
Dalam hal ini, seyogyanya lebak dalam dapat dimanfaatkan sebagai kawasan retarder dengan
jalan diperdalam dan alirannya diarahkan ke sungai di bagian hilirnya.

Saluran itersepsi dimaksudkan untuk menampung aliran permukaan dan sebagai tempat
memproses air yang mengandung bahan beracun agar tidak memasuki areal pertanian. Saluran
ini dibuat di daerah perbatasan lahan kering dan rawa menyerupai waduk panjang serta
diarahkan untuk menyalurkan kelebihan air ke sungai di bagian hilirnya.

Kawasan tampung hujan dimaksudkan sebagai daerah sumber air untuk irigasi. Kawasan
tampung hujan sebaiknya dialokasikan pada lahan gambut di bagian hulu sungai karena gambut
memiliki daya menahan dan melepas air tinggi, yaitu antara 300-800% bobotnya.

b. Tata Air Mikro


Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk : (1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi
tanaman, (2) mencegah pertumbuhan tanaman liar pada padi sawah, (3) mencegah terjadinya
bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, (4) mengatur tinggi muka
air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan di saluran. Untuk lebih memperlancar
keluar masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus memperlancar pencucian bahan racun,
Widjaja-Adhi (1995) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada petakan lahan dan di
sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, sistem pengelolaan tata air mikro mencakup
pengaturan dan pengelolaan tata air di saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan
kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar pencucian bahan beracun.

Hasil penelitian Suriadikarta et al. (1999), saluran kuarter biasanya dibuat di setiap batas
pemilikan lahan, sedangkan di dalam petakan lahan dibuat saluran cacing dengan interval 3-12 m
dan di sekeliling petakan lahan tergantung pada kondisi lahannya. Semakin tinggi tingkat
keracunan, semakin rapat pula jarak antar saluran cacing tersebut. Hasil penelitian Subagyono et
al. (1999) pencucian bahan beracun dari petakan lahan dilakukan dengan memasukkan air ke
petakan lahan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan
tanah selesai. Usaha pencucian ini akan berjalan baik apabila terdapat cukup air segar, baik dari
hujan maupun dari air pasang. Oleh karena itu, air di petakan lahan perlu diganti setiap dua
minggu pada saat pasang besar.

Pengelolaan air tingkat tersier ditujukan untuk mengatur saluran tersier agar berfungsi: (1)
memasukkan air irigasi, (2) mengatur tinggi muka air di saluran dan secara tidak langsung di
petakan lahan, dan (3) mengatur kualitas air dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di
petakan lahan serta mencegah masuknya air asin ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di
tingkat tersier dan mikro tergantung kepada tipe luapan air pasang dan keracunan di petakan
lahan.

Penataan air di lahan petani dapat dilakukan dengan sistem aliran satu arah (one-way flow
system) dan sistem aliran yang sifatnya bolak-balik (twoway flow system). Hal yang perlu
mendapat perhatian khusus dalam sistem tata air adalah sinkronisasi antara tata air makro dan
mikro (Subagyono et al., 1999). Misalnya, penerapan aliran sistem satu arah untuk pencucian
hanya akan berjalan efektif jika kondisi saluran tersier, sekunder, dan primer semuanya dalam
kondisi baik dan arah aliran tidak bolak-balik.

Pada sistem aliran satu arah dirancang saluran irigasi dan saluran drainase secara terpisah. Pintu
klep (flapgate) dipasang berlawanan arah. Pada saluran irigasi pintu klep membuka ke arah
dalam sedang pada saluran drainase pintu klep membuka ke arah luar, sehingga pencucian lahan
dapat berlangsung dengan efektif. Pencucian lahan dimaksudkan agar unsur yang bersifat racun
bagi tanaman seperti Fe2+, sulfat, dan Al3+ keluar dari lahan usaha dan pH tanah menjadi lebih
baik.

Tata air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam sistem aliran satu arah (one
way flow system), sedangkan untuk lahan bertipe luapan C dan D, saluran air perlu
ditabat/disekat dengan stoplog untuk menjaga permukaan air tanah agar sesuai dengan kebutuhan
tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut. Untuk keperluan
pengaturan tata air ini perlu dibangun pintu-pintu yang sesuai sebagai pengendali air. Pintu air
tersebut dapat berupa stoplog maupun pintu ayun atau pintu engsel (flapgate). Skesta kedua
sistem tata air tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.

Hasil penelitian pengelolaan tata air mikro dengan cara tersebut pada lahan sulfat masam dengan
berbagai sistem penataan lahan di Karang Agung Ulu oleh Djayusman et al. (1995) menunjukkan
adanya peningkatan kualitas lahan dan hasil tanaman dari musim ke musim. Aliran satu arah
dikombinasikan dengan pengolahan tanah memakai traktor tangan dan pemberian dolomit pada
lahan sulfat masam dalam satu unit tata air saluran sekunder (50 ha) oleh Proyek ISDP (1997),
dapat secara cepat meningkatkan kualitas lahan dan memberikan hasil yang baik bagi tanaman
padi dan palawija. Nilai pH air tanah meningkat dari rata-rata 4,2 pada saat sebelum pengolahan
tanah menjadi rata-rata 4,8 pada saat penanaman dan 5,4 pada pada saat panen (Widjaja-Adhi
dan Alihamsyah, 1998). Sedangkan kandungan Fe++ 160 ppm pada saat tanam dan 72 ppm pada
saat panen. Hasil rata-rata ubinan padi varietas Cisadane mencapai 6,26 t/ha GKP sedangkan
varietas Cisangarung dapat mencapai 9,44 t/ha GKP.

c. Penataan lahan

Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman
yang akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara
tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya seperti pada tipologi sulfat masam potensial
dengan tipe luapan A, maka penataan lahan sebaiknya untuk sawah, karena pirit akan lebih stabil
tidak mengalami oksidasi dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Tetapi bila tipe luapan B,
maka pola pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan dengan sistem surjan.

Sistem surjan dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk
tanah sulfat masam potensial pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan
secara hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara bertahap dan tanahnya diambil dari lapisan
atas. Hal ini dilakukan untuk menghindari oksidasi pirit.

Sistem surjan adalah salah satu contoh usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi
tanaman dilahan rawa. Lebar guludan 3-5 m, dan tinggi 0,5-0,6 m, sedangkan tabukan dibuat
dengan lebar 15 m. Setiap ha lahan dapat dibuat 6-10 guludan, dan 5-9 tabukan. Tabukan surjan
ditanami padi sawah, sedangkan guludan ditanami dengan palawija, sayuran, dan tanaman
industri (kencur, kopi, dan kelapa). Dari Tabel diatas ditunjukkan bagaimana pola pemanfaatan
lahan dalam kaitannya tipologi lahan dan tipe luapan. Sistem surjan baik dilakukan pada tipe
luapan B dan C sedangkan tipe luapan D lebih baik untuk sistem pertanian lahan kering. Untuk
tanah gambut tekstur lapisan tanah dibawahnya sangat menentukan dalam pola pemanfaatan
lahannya.

Bersambung ke bagian 4.E yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini:
Pustaka:

Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-
Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3) Pengelolaan Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas
Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

PENGELOLAAN TANAH DAN AIR PADA TANAH RAWA SULFAT MASAM

Diposkan oleh dedy safriansyah di 2:51:00 AM

Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama untuk
keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, termasuk tanah sulfat masam.
Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata air makro maupun mikro, penataan lahan,
ameliorasi, dan pemupukan. • Pengelolaan Air Dalam rancangan infrastruktur hidrologi,
pengelolaan air di lahan pasang surut dibedakan ke dalam : (1) Pengelolaan air makro, (2)
pengelolaan air mikro, dan (3) pengelolaan air tingkat tersier yaitu mengkaitkan antara
pengelolaan air makro dan pengelolaan air mikro (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). 1.
Jaringan tata air makro Sistem reklamasi lahan rawa di Indonesia telah dilakukan sejak proyek
P4S yang dimulai awal Pelita I di lahan rawa pasang surut pantai timur Sumatera, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan serta Kalimantan Barat. Menurut Subagjo dan Widjaja-Adhi
(1998) selama PJP I telah ditetapkan lima sistem jaringan tata air makro, yaitu: 1) sistem garpu,
2) tangga, 3) sisir tunggal, 4) sisir berpasangan, dan 5) kombinasi garpu dengan sisir. Selain
kelima sistem tersebut UGM telah mengkombinasikan dengan pembuatan kolam pada ujung
saluran primer atau sekunder yang disebut dengan sistem kolam. Keuntungan dari sistem kolam
ini adalah asam-asam atau racun dapat diendapkan dalam kolam tersebut tidak masuk ke dalam
lahan pertanian dan memelihara aliran sewaktu air surut. Sistem kolam ini telah dilaksanakan di
Pulau Petak dan Barabai Kalimantan Selatan. Selanjutnya dalam pembuatan saluran baik primer,
sekunder dan tersier perlu memperhatikan tata letak, dimensi dan cara pembuatan salurannya
disesuaikan dengan fisiografi dan kondisi lahan sehingga menunjang kelestarian dan
produktivitas lahan. Pembuatan saluran harus mengikuti atau memperhatikan garis kontur dan
tipologi lahannya. Saluran dengan mempertimbangkan garis kontur maka aliran air dapat
mengalir dengan baik, tinggi air di saluran rata. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam proses
pencucian bahan-bahan beracun dari lahan ke saluran dan seterusnya ke sungai berjalan lancar.
Dimensi dan kedalaman saluran perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keadaan hidrologi di
daerah tersebut, sebab penurunan muka air yang drastis akan mengakibatkan teroksidasi lapisan
pirit, besi, Al, dan sulfat akan muncul ke permukaan dan dengan adanya air hujan akan
meningkatkan kemasaman (pH) air di saluran. Selain itu penurunan permukaan air yang drastis
juga akan menyebabkan gambut kering tak balik (irrevisible drying) sehingga akan mempercepat
penurunan permukaan gambut (subsidence) dan atau cepat hilangnya lapisan gambut. Pembuatan
tata ruang sebelum saluran dibuat perlu memperhatikan dan mempertimbangkan pola
penggunaan lahan hipotetik yang dikemukakan oleh Widjaja-Adhi, (1992). Menurut Harjono,
(1995) sedikitnya terbuka lima peluang fungsi dari jaringan pengairan rawa, yaitu 1) berfungsi
sebagai saluran drainase, 2) sebagai pemasukan air, 3) sebagai alat trasportasi, 4) berfungsi
sebagai konservasi sumberdaya air rawa, dan 5) sebagai pendukung bagi proses reklamasi. Untuk
mencapai jaringan tata air ini hendaknya berpegang kepada pola penggunaan lahan dan pola
pemanfaatan sekaligus diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran drainase, pemasok air,
mendukung proses reklamasi, dan konservasi sumber air. Fungsi jaringan tata air sebagai alat
transportasi perlu dipertimbangkan pada tahapan mana ini dapat diberlakukan. Pada tahap
saluran primer dan sekunder mungkin fungsi ini dapat diberlakukan, tetapi untuk tersier
sebaiknya tidak dianjurkan. b. Tata Air Mikro Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi
untuk : (1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, (2) mencegah pertumbuhan tanaman
liar pada padi sawah, (3) mencegah terjadinya bahan beracun bagi tanaman melalui
penggelontoran dan pencucian, (4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di
petakan lahan dan di saluran. Untuk lebih memperlancar keluar masuknya air pada petakan lahan
yang sekaligus memperlancar pencucian bahan racun, Widjaja-Adhi (1995) menganjurkan
pembuatan saluran cacing pada petakan lahan dan di sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu,
sistem pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air di saluran
kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar
pencucian bahan beracun. Pengelolaan air tingkat tersier ditujukan untuk mengatur saluran
tersier agar berfungsi: (1) memasukkan air irigasi, (2) mengatur tinggi muka air di saluran dan
secara tidak langsung di petakan lahan, dan (3) mengatur kualitas air dengan membuang bahan
beracun yang terbentuk di petakan lahan serta mencegah masuknya air asin ke petakan lahan.
Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro tergantung kepada tipe luapan air pasang dan
keracunan di petakan lahan. Tata air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam
sistem aliran satu arah (one way flow system), sedangkan untuk lahan bertipe luapan C dan D,
saluran air perlu ditabat/disekat dengan stoploguntuk menjaga permukaan air tanah agar sesuai
dengan kebutuhan tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut.
Untuk keperluan pengaturan tata air ini perlu dibangun pintu-pintu yang sesuai sebagai
pengendali air. Pintu air tersebut dapat berupa stoplog maupun pintu ayun atau pintu engsel
(flapgate). • Penataan lahan Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai
dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu
diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya seperti pada
tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, maka penataan lahan sebaiknya untuk
sawah, karena pirit akan lebih stabil tidak mengalami oksidasi dan tanaman padi dapat tumbuh
dengan baik. Tetapi bila tipe luapan B, maka pola pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan dengan
sistem surjan. Sistem surjan dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-
buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial pengolahan tanah dan pembuatan guludan
sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara bertahap dan tanahnya
diambil dari lapisan atas. Hal ini dilakukan untuk menghindari oksidasi pirit.

Anda mungkin juga menyukai