Anda di halaman 1dari 25

Perbaikan Astigmatisme Tidak Teratur

oleh Phototherapeutic Transepitelial

Keratektomi

Oleh :

Putri Sahara

18174007

Pembimbing :

dr. Hasnawati Sp. M

Jurnal Reading

Diajukan dalam rangka memenuhi syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian Ilmu Oftalmologi Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama Rumah Sakit Umum
Daerah Cut Nyak Dhien Meulaboh

FAKULTASKEDOKTERANUNIVERSITAS ABULYATAMA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CUT NYAK DHIEN MEULABOH

2018
KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas izinnya penulis dapat

menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “ASTIGMATISME”. Jurnal reading ini dibuat untuk

melengkapi persyaratan dalam mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik dibagian Ilmu oftalmologi

yang dilaksanakan di RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dokter pembimbingdr.

Hasnawati Sp.M yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan

bimbingan kepada penulis sehingga Laporan Kasus ini dapat terselesaikan.

Besar harapan penulis agar Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta

dapat memberikan suatu pengetahuam baru bagi mahasiswa untuk meningkatkan keilmuannya.

Meulaboh, 11-desember- 2018

Penulis
BAB I

ABSTRAK

1.1 Abstrak

JUDUL :

Perbaikan Astigmatisme Tidak Teratur oleh Phototherapeutic Transepitelial Keratektomi

TUJUAN:

Untuk mengevaluasi hasil transepitelial phototherapeutic keratectomy (PTK) dalam


penatalaksanaan astigmatisme irregular yang tidak teratur.

METODE:

Ini adalah serangkaian kasus dua pasien yang menjalani PTP transepitelial untuk tidak
teratur tidak teratur astigmatisme. Dalam kasus pertama, pasien mengeluh diplopia karena
jaringan parut kornea yang disebabkan oleh logam cedera tubuh asing. Topografi
menunjukkan astigmatisme irregular dengan asimetri yang signifikan di sumbu
inferotemporal ke superonasal. Dalam kasus kedua, pasien mengeluh penglihatan kabur dan
ghosting yang disebabkan oleh pertumbuhan epitel sentral yang signifikan melalui flap
LASIK lubang kancing, yang menyebabkan ketidakteraturan lokal pada topografi. Karena
lokalisasi sifat ketidak beresan, pengobatan PTP transepitelial lebih disukai untuk ablasi
kustom diberikan derajat hadiah masking epitel.

HASIL:

PTK transepitelial dilakukan di keduanya kasus menggunakan laser excimer Schwind


Amaris 500E (Solusi mata-teknologi Schwind, Kleinostheim, Jerman) dan zona optik 8 mm.
Kedalaman ablasi adalah direncanakan untuk mencapai kedalaman epitel menggunakan
protokol bertahap, meninjau pola epitel yang tersisa dan keteraturan permukaan stroma antara
masing-masing ablasi. Peningkatan yang ditandai dalam keteraturan topografi dicapai dalam
kedua kasus, dengan hanya astigmatisme biasa yang tersisa. Kedua pasien melaporkan
peningkatan subjektif dalam kualitas penglihatan dan ketajaman penglihatan jarak yang
diperbaiki diperbaiki oleh satu dan dua garis, masing-masing.
KESIMPULAN:

Transepithelial PTK efektif dalam mengobati kasus-kasus lokal yang tidak teratur ini
tidak teratur astigmatisme, mencapai perbaikan obyektif dan subyektif dalam visi. Renovasi
epitel kompensatori lebih dari penyimpangan memungkinkan pendekatan PTP transepithelial
untuk menargetkan penyimpangan permukaan stroma.
BAB II

ISI

2.1 PENDAHULUAN

Kelainan refraksi merupakan salah satu kelainan mata yang paling sering terjadi. Saat
ini kelainan refraksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Tiga kelainan
refraksi yang paling sering dijumpai yaitu miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Jenis
kelainan refraksi yang keempat yaitu presbiopia. (1) Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi
menempati urutan pertama pada penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Jumlah pasien yang menderita kelainan refraksi di Indonesia hampir
25% dari populasi atau sekitar 55 juta jiwa. (2) Berdasarkan data dari WHO pada 2004
prevalensi kelainan refraksi pada umur 5-15 tahun sebanyak 12,8 juta orang (0,97%). (3) Dari
data tersebut ditemukan bahwa kelainan yang timbul akibat kelainan refraksi yang tidak di
koreksi. Melihat situasi yang ada WHO merekomendasikan untuk dilakukannya skrining
penglihatan dan pelayanan kesehatan yang ditujukan bagi anak sekolah. (4) Kelainan refraksi
adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina, dimana terjadi ketidakseimbangan
sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak
dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan/ atau tidak
terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan
kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola
mata. Gangguan refraksi masih merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. World
Health Organization (WHO) menyatakan, terdapat 45 juta orang yang menjadi buta di
seluruh dunia, dan 135 juta dengan low vision. Diperkirakan gangguan refraksi menyebabkan
sekitar 8 juta orang (18% dari penyebab kebutaan global) mengalami kebutaan. Angka
kebutaan anak di dunia masih belum jelas, namun diperkirakan ada sekitar 1,4 juta kasus
kebutaan pada anak, dan 500.000 kasus baru terjadi tiap tahunnya. Sebagian besar anak-anak
ini meninggal beberapa.

2.2 Metodelogi

Ini adalah serangkaian kasus dua pasien yang menjalani PTP transepitelial untuk tidak
teratur tidak teratur astigmatisme. Dalam kasus pertama, pasien mengeluh diplopia karena
jaringan parut kornea yang disebabkan oleh logam cedera tubuh asing. Topografi
menunjukkan astigmatisme irregular dengan asimetri yang signifikan di sumbu
inferotemporal ke superonasal. Dalam kasus kedua, pasien mengeluh penglihatan kabur dan
ghosting yang disebabkan oleh pertumbuhan epitel sentral yang signifikan melalui flap
LASIK lubang kancing, yang menyebabkan ketidakteraturan lokal pada topografi. Karena
lokalisasi sifat ketidak beresan, pengobatan PTP transepitelial lebih disukai untuk ablasi
kustom diberikan derajat hadiah masking epitel.

2.3 Hasil Penelitian

PTK transepitelial dilakukan di keduanya kasus menggunakan laser excimer Schwind


Amaris 500E (Solusi mata-teknologi Schwind, Kleinostheim, Jerman) dan zona optik 8 mm.
Kedalaman ablasi adalah direncanakan untuk mencapai kedalaman epitel menggunakan
protokol bertahap, meninjau pola epitel yang tersisa dan keteraturan permukaan stroma antara
masing-masing ablasi. Peningkatan yang ditandai dalam keteraturan topografi dicapai dalam
kedua kasus, dengan hanya astigmatisme biasa yang tersisa. Kedua pasien melaporkan
peningkatan subjektif dalam kualitas penglihatan dan ketajaman penglihatan jarak yang
diperbaiki diperbaiki oleh satu dan dua garis, masing-masing

2.4 Diskusi

DISKUSI

Dua kasus di atas menunjukkan penggunaan PTP transepitelial dalam pengobatan


irregular tidak teratur astigmatisme, tanpa menggunakan panduan topografi pengobatan.
Dalam kedua kasus, ada regularisasi signifikan dari topografi yang dikaitkan dengan
peningkatan kualitas visual subjektif pasien dan CDVA. Meskipun peta ketebalan epitel
adalah tidak tersedia untuk dua kasus ini, regularisasi topografi yang dicapai oleh PTK
transepithelial membuktikan bahwa epitelium telah menutupi sebagian besar ketidakteraturan
permukaan stromal. Dua kasus di atas menunjukkan penggunaan PTP transepitelial dalam
pengobatan irregular tidak teratur astigmatisme, tanpa menggunakan panduan topografi
pengobatan. Dalam kedua kasus, ada regularisasi signifikan dari topografi yang dikaitkan
dengan peningkatan kualitas visual subjektif pasien dan CDVA. Dengan defnisi, epitelium
akan menutupi proporsi ketidakteraturan permukaan stroma, sehingga dapat diasumsikan
bahwa PTK transepithelial akan mampubeberapa menghaluskan permukaan stroma.
Mengingat "jendela terapi" epitel yang dijelaskan sebelumnya, PTK transepithelial dapat
dilakukan dengan aman dengan menggunakan pendekatan bertahap bahkan tanpa adanya
pemetaan ketebalan epitel pra operasi untuk akurat perencanaan perawatan. PTK
transepitelial saja mungkin tidak mencapai hasil optimal karena terbatas perbaiki proporsi
ketidakteraturan yang telah terjadi disamarkan oleh epitel, tetapi seharusnya menghasilkan
setidaknya beberapa derajat perbaikan. Keuntungan lain adalah bahwa tidak ada
kekhawatiran tentang sentrasi karena ablasi PTK adalah kedalaman yang seragam di seluruh
diameter. Sebaliknya, jika ablasi yang dipandu oleh topografi adalah sedikit tidak sejajar, ini
dapat meningkatkan ketidakteraturan, khususnya dalam kasus-kasus ketidakberaturan lokal.
Diberikan ablasi dangkal dan lokal, risiko rendah kabut setelah PTK transepithelial, jadi kami
hanya akan menggunakan mitomycin C dalam kasus di mana kabut sudah terbukti (namun,
ini mungkin berbeda di negara lain dengan lebih banyak sinar ultraviolet langsung).
Kelemahan PTP transepithelial adalah bahwa pergeseran bias saat ini tidak dapat diprediksi,
seperti yang ditunjukkan oleh hasil populasi yang dilaporkan oleh Reinstein et al.6;
pergeseran rabun sama kemungkinannya seperti hiperopia pergeseran, dan perubahan
pembiasan setara bola berada dalam ± 0,50 dioptri (D) hanya dalam 41% kasus setelahnya
PTK transepithelial saja. Ini terbukti dalam dua kami kasus yang disajikan, di mana ada
pergeseran bias +2,00 D dalam kasus pertama (meskipun ini termasuk +1,00 Ablasi refraksi)
dan +1,125 D pada kasus kedua. Pendekatan lain, dijelaskan oleh Chen et al., 11,12 adalah
untuk menggabungkan PTP transepitelial dengan ablasi topografi sebagai pengobatan
tunggal. Konsepnya adalah bahwa PTP transepithelial akan mengobati ketidakteraturan
ditutupi oleh epitel dan dipandu topografi pengobatan akan mengobati ketidakteraturan yang
terdeteksi pada permukaan topografi kornea depan, sehingga mengobati seluruh
ketidakteraturan permukaan stroma. Protokol pengobatan ini telah berhasil digunakan dalam
kasus komplikasi flap dan antarmuka, 11,12 termasuk kasus lubang kancing dan pertumbuhan
epitel mirip dengan yang dijelaskan dalam seri kasus saat ini. Namun, tampil PTK
transepithelial saja bisa menjadi lebih konservatif pendekatan karena kornea dapat diregulasi
dengan mengurangi jaringan dengan mengambil keuntungan dari epitel yang menutupi
ketidakteraturan yang tidak terjadi diperlakukan oleh PTK. Juga, jika prosedur dilakukan
dalam satu langkah, prediktabilitas hasil refraktif kemungkinan akan kurang akurat
mengingat kekuatan bergeser itu dapat diinduksi oleh kompensasi epitel. Solusi optimal
untuk bedah refraksi terapeutik mungkin merupakan perawatan topografi stroma yang
dipandu karena ini memungkinkan perawatan untuk direncanakan berdasarkan langsung pada
stroma dan melewati efek masking epitel. Reinstein et al.7 menjelaskan menghitung topografi
stroma dengan mengurangi ketebalan epitelial profle dari kornea permukaan depan elevasi
dan menggunakan ini untuk merencanakan perawatan khusus. Metode lain untuk
merencanakan perawatan menggunakan topografi stroma telah dijelaskan oleh Vinciguerra
dan Camesasca.13 Dalam protokol PTK khusus mereka, ablasi yang dipandu topografi
dihasilkan dari sebuah pemindaian topografi diperoleh setelah menghilangkan epitel (yaitu,
pemindaian topografi permukaan stroma) Setelah menerapkan ablasi ini, pemindaian
topografi lainnya diperoleh dan ablasi dipandu topografi kedua dihasilkan dan diterapkan.
Proses ini bisa diulang berkali-kali, setiap kali meningkatkan keteraturan permukaan stroma.
Serangkaian kasus saat ini memberikan bukti lebih lanjut untuk efektivitas yang konservatif
dan berisiko rendah pendekatan PTK transepitelial untuk kasus-kasus yang tidak beraturan
astigmatisme tidak beraturan. Teknik ini menggunakan epitelium sebagai agen masking alami
dan menyediakan modalitas pengobatan terapeutik yang tersedia secara luas dan mudah
dilakukan.

Definisi
Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan garis
pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi lebih dari satu titik.
Astigmatisme mencegah berkas cahaya jatuh sebagai suatu fokus titik di retina karena
perbedaan derajat refraksi di berbagai meridian kornea atau lensa kristalina.

Gambar : Perbedaan mata normal dan astigmatisme

Epidemiologi
Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta sampai 2,3 milyar. Di
Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata. Kasus
kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah
penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta
jiwa.
Menurut Maths Abrahamsson dan Johan Sjostrand tahun 2003, angka kejadian
astigmat bervariasi antara 30%-70%.

Etiologi

Etiologi kelainan astigmatisme adalah sebagai berikut:


1. Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur. Media refrakta
yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling besar adalah kornea, yaitu mencapai
80% s/d 90% dari astigmatismus, sedangkan media lainnya adalah lensa kristalin.
Kesalahan pembiasan pada kornea ini terjadi karena perubahan lengkung kornea
dengan tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anterior posterior bolamata.
Perubahan lengkung permukaan kornea ini terjadi karena kelainan kongenital,
kecelakaan, luka atau parut di kornea, peradangan kornea serta akibat pembedahan
kornea.
2. Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa. Semakin bertambah
umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga semakin berkurang
dan lama kelamaan lensa kristalin akan mengalami kekeruhan yang dapat
menyebabkan astigmatismus.

Klasifikasi

Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina Astigmatisme dibagi sebagai berikut:

1) Astigmatisme Reguler
Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua bidang yang
saling tegak lurus pada bidang yang lain sehingga pada salah satu bidang memiliki daya
bias yang lebih kuat dari pada bidang yang lain. Astigmatisme jenis ini, jika mendapat
koreksi lensa cylindris yang tepat, akan bisa menghasilkan tajam penglihatan normal.
Tentunya jika tidak disertai dengan adanya kelainan penglihatan yang lain.

Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisme regular ini dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu:
a. Astigmatisme With the Rule
Bila pada bidang vertical mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada bidang
horizontal.sering ditemukan pada anak-anak dan orang muda.
b. Astigmatisme Against the Rule
Bila pada bidang horizontal mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada bidang
vertikal. Serinng ditemukan pada orang tua.

2) Astigmatisme Irreguler
Dimana titik bias didapatkan tidak teratur.

Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina, astigmatisme dibagi sebagai
berikut:
1. Astigmatisme Miopia Simpleks
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada tepat
pada retina (dimana titik A adalah titik fokus dari daya bias terkuat sedangkan titik B
adalah titik fokus dari daya bias terlemah). Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme
jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl -Y atau Sph -X Cyl +Y di mana X dan Y memiliki angka
yang sama.

Gambar : Astigmatisme Miopia Simpleks

2. Astigmatisme Hiperopia Simpleks


Astigmatisme jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik B berada di
belakang retina.
Astigmatisme Hiperopia Simpleks

3. Astigmatisme Miopia Kompositus


Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada di
antara titik A dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph

-X Cyl -Y.
Gambar : Astigmatisme Miopia Kompositus

4. Astigmatisme Hiperopia Kompositus


Astigmatisme jenis ini, titik B berada di belakang retina, sedangkan titik A berada di
antara titik B dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph
+X Cyl +Y.
Gambar : Astigmatisme Hiperopia Kompositus

5. Astigmatisme Mixtus
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada di
belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph +X Cyl
-Y, atau Sph -X Cyl +Y, di mana ukuran tersebut tidak dapat ditransposisi hingga nilai
X menjadi nol, atau notasi X dan Y menjadi sama - sama + atau -.

Gambar : Astigmatisme Mixtus

Berdasarkan tingkat kekuatan Dioptri :


1. Astigmatismus Rendah
Astigmatismus yang ukuran powernya < 0,50 Dioptri. Biasanya astigmatismus rendah
tidak perlu menggunakan koreksi kacamata. Akan tetapi jika timbul keluhan pada
penderita maka koreksi kacamata sangat perlu diberikan.
2. Astigmatismus Sedang
Astigmatismus yang ukuran powernya berada pada 0,75 Dioptri s/d 2,75 Dioptri. Pada
astigmatismus ini pasien sangat mutlak diberikan kacamata koreksi.
3. Astigmatismus Tinggi
Astigmatismus yang ukuran powernya > 3,00 Dioptri. Astigmatismus ini sangat mutlak
diberikan kacamata koreksi.

Tanda Dan Gejala

Pada umunya, seseorang yang menderita astigmatismus tinggi menyebabkan gejala-gejala


sebagai berikut :
- Memiringkan kepala atau disebut dengan “titling his head”, pada umunya keluhan ini
sering terjadi pada penderita astigmatismus oblique yang tinggi.
- Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas.
- Menyipitkan mata seperti halnya penderita myopia, hal ini dilakukan untuk
mendapatkan efek pinhole atau stenopaic slite. Penderita astigmatismus juga
menyipitkan mata pada saat bekerja dekat seperti membaca.
- Pada saat membaca, penderita astigmatismus ini memegang bacaan mendekati mata,
seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan untuk memperbesar bayangan,
meskipun bayangan di retina tampak buram.

Sedang pada penderita astigmatismus rendah, biasa ditandai dengan gejala-gejala


sebagai berikut :
- Sakit kepala pada bagian frontal.
- Ada pengaburan sementara / sesaat pada penglihatan dekat, biasanya penderita akan
mengurangi pengaburan itu dengan menutup atau mengucek-ucek mata.

Diagnosis
Selain dari anamnesis, diagnosis astigmatisme dapat dilakukan dengan melakukn beberapa
pemeriksaan diantaranya :
1) Pemeriksaan Pin Hole
Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya tajam penglihatan
diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan pada media penglihatan, atau kelainan retina
lainnya. Bila ketajaman penglihatan bertambah setelah dilakukan pin hole berarti pada pasien
tersebut terdapat kelainan refraksi yang belum dikoreksi baik. Bila ketajaman penglihatan
berkurang berarti pada pasien terdapat kekeruhan media penglihatan atau pun retina yang
menggangu penglihatan.
2) Uji Refraksi
a. Subjektif
Optotipe dari Snellen & Trial lens
Metode yang digunakan adalah dengan Metoda ‘trial and error’ Jarak pemeriksaan 6
meter/ 5 meter/ 20 kaki. Digunakan kartu Snellen yang diletakkan setinggi mata
penderita, Mata diperiksa satu persatu dibiasakan mata kanan terlebih dahulu
Ditentukan visus / tajam penglihatan masing-masing mata. Bila visus tidak 6/6
dikoreksi dengan lensa sferis positif, bila dengan lensa sferis positif tajam penglihatan
membaik atau mencapai 5/5, 6/6, atau 20/20 maka pasien dikatakan menderita
hipermetropia, apabila dengan pemberian lensa sferis positif menambah kabur
penglihatan kemudian diganti dengan lensa sferis negatif memberikan tajam
penglihatan 5/5, 6/6, atau 20/20 maka pasien menderita miopia. Bila setelah
pemeriksaan tersebut diatas tetap tidak tercapai tajam penglihatan maksimal mungkin
pasien mempunyai kelainan refraksi astigmat. Pada keadaan ini lakukan uji
pengaburan (fogging technique).
b. Objektif
- Autorefraktometer
Yaitu menentukan myopia atau besarnya kelainan refraksi dengan menggunakan
komputer. Penderita duduk di depan autorefractor, cahaya dihasilkan oleh alat dan
respon mata terhadap cahaya diukur. Alat ini mengukur berapa besar kelainan
refraksi yang harus dikoreksi dan pengukurannya hanya memerlukan waktu
beberapa detik.
- Keratometri
Adalah pemeriksaan mata yang bertujuan untuk mengukur radius kelengkungan
kornea.11 Keratometer dipakai klinis secara luas dan sangat berharga namun
mempunyai keterbatasan.

3) Uji Pengaburan
Setelah pasien dikoreksi untuk myopia yang ada, maka tajam penglihatannya dikaburkan
dengan lensa positif, sehingga tajam penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen,
misalnya dengan menambah lensa spheris positif 3. Pasien diminta melihat kisi-kisi
juring astigmat, dan ditanyakan garis mana yang paling jelas terlihat. Bila garis juring
pada 90° yang jelas, maka tegak lurus padanya ditentukan sumbu lensa silinder, atau
lensa silinder ditempatkan dengan sumbu 180°. Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder
negatif ini dinaikkan sampai garis juring kisi-kisi astigmat vertikal sama tegasnya atau
kaburnya dengan juring horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan
lensa silinder ditentukan yang ditambahkan. Kemudian pasien diminta melihat kartu
Snellen dan perlahan-lahan ditaruh lensa negatif sampai pasien melihat jelas.

Gambar : Kipas Astigmat.

4) Keratoskop
Keratoskop atau Placido disk digunakan untuk pemeriksaan astigmatisme. Pemeriksa
memerhatikan imej “ring” pada kornea pasien. Pada astigmatisme regular, “ring”
tersebut berbentuk oval. Pada astigmatisme irregular, imej tersebut tidak terbentuk
sempurna.

5) Javal ophtalmometer
Boleh digunakan untuk mengukur kelengkungan sentral dari kornea, diaman akan
menentukan kekuatan refraktif dari kornea.

Diagnosis Banding
1. Miopia
2. Hipermetropia
3. Katarak
4. Age Related Macular Degeneration (ARMD)

Terapi
1) Koreksi Lensa
Astigmatismus dapat dikoreksi kelainannya dengan bantuan lensa silinder. Karena dengan
koreksi lensa cylinder penderita astigmatismus akan dapat membiaskan sinar sejajar tepat
diretina, sehingga penglihatan akan bertambah jelas.

2) Orthokeratology
Orthokeratology adalah cara pencocokan dari beberapa seri lensa kontak, lebih dari satu
minggu atau bulan, untuk membuat kornea menjadi datar dan menurunkan myopia.
Kekakuan lensa kontak yang digunakan sesuai dengan standar. Pada astigmatismus
irregular dimana terjadi pemantulan dan pembiasan sinar yang tidak teratur pada dataran
permukaan depan kornea maka dapat dikoreksi dengan memakai lensa kontak. Dengan
memakai lensa kontak maka permukaan depan kornea tertutup rata dan terisi oleh film air
mata.

3) Bedah Refraksi
Methode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari:
· Radial keratotomy (RK)
Dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah diinsisi di parasentral. Bagian yang
lemah dan curam pada permukaan kornea dibuat rata. Jumlah hasil perubahan tergantung
pada ukuran zona optik, angka dan kedalaman dari insisi.
Gambar : Radial Keratotomy
· Photorefractive keratectomy (PRK)
Adalah prosedur dimana kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser pada pusat kornea.
Kornea yang keruh adalah keadaan yang biasa terjadi setelah photorefractive
keratectomy dan setelah beberapa bulan akan kembali jernih. Pasien tanpa bantuan
koreksi kadang-kadang menyatakan penglihatannya lebih baik pada waktu sebelum
operasi.

Gambar : Photorefractive Keratectomy


 LASIK
Laser in situ Keratomileusis (LASIK) merupakan tindakan bedah yang paling sering
digunakan untuk mengkoreksi kelainan refraksi, seperti miopia, hiperopia, dan
astigmatisma. Pada LASIK, dibuat sebuah flap pada bagian tengah kornea dengan
menggunakan alat mikrokeratome atau laser. Kemudian flap tersebut diangkat,
sejumlah kecil jaringan kornea diangkat untuk membentuk kornea,
dan flap diposisikan kembali. Kornea akan pulih dalam waktu beberapa hari. LASIK
hanya menimbulkan sedikit rasa tidak nyaman pada saat dan setelah pembedahan.
Perbaikan penglihatan cepat terjadi dan seseorang dapat kembali bekerja dalam waktu
1-3 hari setelah pembedahan. Namun, tidak semua orang dapat dilakukan LASIK,
orang-orang yang memiliki kornea yang tipis atau permukaan kornea yang longgar
bukan kandidat yang baik untuk LASIK.

Flap Kornea Dicipta dan Diangkat

Membentuk semula Kornea dengan Laser

Flap Kornea disusun semula

Gambar : LASIK
 LASEK
LASEK (Laser Epithelial Keratomileusis) adalah sebuah bedah refraktif di mana
epitel dipotong dengan pisau halus, yang disebut trefin, dan melibatkan penggeseran
lapisan epitel kornea dan kemudian menggantinya untuk bertindak sebagai perban
alami.

KOMPLIKASI
Astigmatisme yang tidak dirawat pada orang dewasa dapat menyebabkan
ketidaknyamanan pada mata, mata menjadi penat dan terkadang sakit kepala. Rabun pada
anak-anak memerlukan perhatian khusus dan penjagaan mata benar. Hal ini disebabkan
karena apabila mata tidak dirawat dengan benar dapat menyebabkan terjadinya ambliopia
(mata malas).

PROGNOSIS
Sekitar 30 % dari semua orang memiliki Silindris . Dalam sebagian besar kasus,
kondisi tidak berubah banyak setelah usia 25 tahun. Astigmatisme progresif dapat terjadi
pada trauma kornea , infeksi berulang dari kornea, dan penyakit degeneratif seperti
keratoconus.

Dalam bedah refraktif terapeutik, saat ini kami miliki dua pendekatan laser excimer
untuk memperbaiki kornea ketidak beresan: ablasi kustom (dipandu topografi1 atau
wavefront-guided2) dan keratectomy phototherapeutic transepithelial (PTK) .3 Selama
hampir 20 tahun pengalaman dengan ablasi kustom, telah menjadi jelas kebiasaan itu ablasi
adalah pilihan efektif untuk penyimpangan "global" (Astigmatisme teratur tidak teratur)
seperti desentralisasi dan zona optik kecil, tetapi berkinerja buruk untuk "lokal"
penyimpangan (astigmatisme irregular tidak teratur) .1 Ini telah terbukti karena mekanisme
kompensasi dari epithelial remodeling menutupi proporsi stroma ketidakteraturan permukaan
dari topografi kornea permukaan depan (atau dari muka gelombang) .3-7 Jika ada stroma
yang tidak teratur permukaan, epitel akan menjadi lebih tipis relatif puncak dan lebih tebal di
atas palung relatif, dengan jumlah remodeling epitel berkorelasi dengan gradien
kelengkungan stroma lokal.6,8-10 Dalam kasus-kasus penyimpangan lokal, di mana
mayoritas ketidakteraturan stroma telah ditutupi oleh renovasi epitel, PTK transepithelial
menawarkan solusi dengan menggunakan epitelium sebagai agen masking alami untuk
memfokuskan ablasi ke puncak relatif di permukaan stroma. Reinstein et al.3-6
mendeskripsikan penggunaan peta ketebalan epitel untuk mendiagnosa dan merencanakan
PTK transepitel menggunakan digital subtraction pachymetry maps.

Namun, mereka memilikinya juga menunjukkan bahwa pada kornea yang sangat
kelainan, epitelium akan lebih tipis dari 51 μm pada saat tertipis. titik dan lebih tebal dari 60
µm pada titik yang paling tebal, mewakili "jendela terapeutik" yang dapat digunakansebagai
referensi untuk mengobati kasus-kasus astigmatisme tidak teratur dengan tidak adanya peta
ketebalan epitelDalam protokol ini, ablasi PTP transepithelial pertama direncanakan berada
dalam jendela terapeutik,setelah itu lebih lanjut PTK ablasi dapat dilakukandalam langkah-
langkah kecil sampai epitel diangkat. Inimetode ini memungkinkan jaringan stroma untuk
dikonservasi karena ablasi apapun setelah pengangkatan epiteltidak akan memiliki efek
penghalusan.Dua laporan kasus berikut menggambarkan dua contoh pasien dengan
astigmatisme irregular yang tidak teratur yang berhasil diobati oleh PTK transepitelial saja
tanpa adanya epitel peta ketebalan, berdasarkan pengetahuan bahwa ganti rugi epitel
pengganti akan menyediakan sebuah agen masking alami.
DISKUSI

Dua kasus di atas menunjukkan penggunaan PTP transepitelial dalam pengobatan


irregular tidak teratur astigmatisme, tanpa menggunakan panduan topografi pengobatan.
Dalam kedua kasus, ada regularisasi signifikan dari topografi yang dikaitkan dengan
peningkatan kualitas visual subjektif pasien dan CDVA. Meskipun peta ketebalan epitel
adalah tidak tersedia untuk dua kasus ini, regularisasi topografi yang dicapai oleh PTK
transepithelial membuktikan bahwa epitelium telah menutupi sebagian besar ketidakteraturan
permukaan stromal.

Keuntungan dari pendekatan PTK transepithelial adalah mudah untuk melakukan,


risiko rendah, dan konservatif. Semua laser excimer termasuk mode PTK, sehingga tidak
diperlukan perangkat lunak perbaikan tambahan dan, akibatnya, tidak ada pemrograman
profiler ablasi yang rumit. Dengan defnisi, epitelium akan menutupi proporsi ketidakteraturan
permukaan stroma, sehingga dapat diasumsikan bahwa PTK transepithelial akan
mampubeberapa menghaluskan permukaan stroma. Mengingat "jendela terapi" epitel yang
dijelaskan sebelumnya, PTK transepithelial dapat dilakukan dengan aman dengan
menggunakan pendekatan bertahap bahkan tanpa adanya pemetaan ketebalan epitel pra
operasi untuk akurat perencanaan perawatan. PTK transepitelial saja mungkin tidak mencapai
hasil optimal karena terbatas perbaiki proporsi ketidakteraturan yang telah terjadi disamarkan
oleh epitel, tetapi seharusnya menghasilkan setidaknya beberapa derajat perbaikan.
Keuntungan lain adalah bahwa tidak ada kekhawatiran tentang sentrasi karena ablasi PTK
adalah kedalaman yang seragam di seluruh diameter. Sebaliknya, jika ablasi yang dipandu
oleh topografi adalah sedikit tidak sejajar, ini dapat meningkatkan ketidakteraturan,
khususnya dalam kasus-kasus ketidakberaturan lokal.

Diberikan ablasi dangkal dan lokal, risiko rendah kabut setelah PTK transepithelial,
jadi kami hanya akan menggunakan mitomycin C dalam kasus di mana kabut sudah terbukti
(namun, ini mungkin berbeda di negara lain dengan lebih banyak sinar ultraviolet langsung).
Kelemahan PTP transepithelial adalah bahwa pergeseran bias saat ini tidak dapat diprediksi,
seperti yang ditunjukkan oleh hasil populasi yang dilaporkan oleh Reinstein et al.6;
pergeseran rabun sama kemungkinannya seperti hiperopia pergeseran, dan perubahan
pembiasan setara bola berada dalam ± 0,50 dioptri (D) hanya dalam 41% kasus setelahnya
PTK transepithelial saja. Ini terbukti dalam dua kami kasus yang disajikan, di mana ada
pergeseran bias +2,00 D dalam kasus pertama (meskipun ini termasuk +1,00 Ablasi refraksi)
dan +1,125 D pada kasus kedua. Pendekatan lain, dijelaskan oleh Chen et al., 11,12 adalah
untuk menggabungkan PTP transepitelial dengan ablasi topografi sebagai pengobatan
tunggal.

Konsepnya adalah bahwa PTP transepithelial akan mengobati ketidakteraturan


ditutupi oleh epitel dan dipandu topografi pengobatan akan mengobati ketidakteraturan yang
terdeteksi pada permukaan topografi kornea depan, sehingga mengobati seluruh
ketidakteraturan permukaan stroma. Protokol pengobatan ini telah berhasil digunakan dalam
kasus komplikasi flap dan antarmuka, 11,12 termasuk kasus lubang kancing dan pertumbuhan
epitel mirip dengan yang dijelaskan dalam seri kasus saat ini. Namun, tampil PTK
transepithelial saja bisa menjadi lebih konservatif pendekatan karena kornea dapat diregulasi
dengan mengurangi jaringan dengan mengambil keuntungan dari epitel yang menutupi
ketidakteraturan yang tidak terjadi diperlakukan oleh PTK. Juga, jika prosedur dilakukan
dalam satu langkah, prediktabilitas hasil refraktif kemungkinan akan kurang akurat
mengingat kekuatan bergeser itu dapat diinduksi oleh kompensasi epitel. Solusi optimal
untuk bedah refraksi terapeutik mungkin merupakan perawatan topografi stroma yang
dipandu karena ini memungkinkan perawatan untuk direncanakan berdasarkan langsung pada
stroma dan melewati efek masking epitel. Reinstein et al.7 menjelaskan menghitung topografi
stroma dengan mengurangi ketebalan epitelial profle dari kornea permukaan depan elevasi
dan menggunakan ini untuk merencanakan perawatan khusus. Metode lain untuk
merencanakan perawatan menggunakan topografi stroma telah dijelaskan oleh Vinciguerra
dan Camesasca.13 Dalam protokol PTK khusus mereka, ablasi yang dipandu topografi
dihasilkan dari sebuah pemindaian topografi diperoleh setelah menghilangkan epitel (yaitu,
pemindaian topografi permukaan stroma) Setelah menerapkan ablasi ini, pemindaian
topografi lainnya diperoleh dan ablasi dipandu topografi kedua dihasilkan dan diterapkan.
Proses ini bisa diulang berkali-kali, setiap kali meningkatkan keteraturan permukaan stroma.
Serangkaian kasus saat ini memberikan bukti lebih lanjut untuk efektivitas yang konservatif
dan berisiko rendah pendekatan PTK transepitelial untuk kasus-kasus yang tidak beraturan
astigmatisme tidak beraturan. Teknik ini menggunakan epitelium sebagai agen masking alami
dan menyediakan modalitas pengobatan terapeutik yang tersedia secara luas dan mudah
dilakukan
BAB III

TELAAH KRITIS

Keuntungan lain adalah bahwa tidak ada kekhawatiran tentang sentrasi karena ablasi
PTK adalah kedalaman yang seragam di seluruh diameter. Sebaliknya, jika ablasi yang
dipandu oleh topografi adalah sedikit tidak sejajar, ini dapat meningkatkan ketidakteraturan,
khususnya dalam kasus-kasus ketidakberaturan lokal .
BAB IV

KESIMPULAN

Transepithelial PTK efektif dalam mengobati kasus-kasus lokal yang tidak teratur ini
tidak teratur astigmatisme, mencapai perbaikan obyektif dan subyektif dalam visi. Renovasi
epitel kompensatori lebih dari penyimpangan memungkinkan pendekatan PTP transepithelial
untuk menargetkan penyimpangan permukaan stroma.
AUTHOR CONTRIBUTIONS

Study concept and design (SG, DZR); data collection (SG, AK);
analysis and interpretation of data (SG, AK, DZR, GIC, TJA); writing
the manuscript (SG, AK, DZR, TJA); critical revision of the manu
script (SG, GIC)

DAFTAR PUSTAKA

1. Reinstein DZ, Archer TJ, Gobbe M. Combined corneal topography and corneal wavefront
data in the treatment of corneal irreg ularity and refractive error in LASIK or PRK using
the Carl Zeiss Meditec MEL80 and CRS Master. J Refract Surg. 2009;25:503-515.

2. Reinstein DZ, Archer TJ, Couch D, Schroeder E, Wottke M. A new night vision
disturbances parameter and contrast sensitivity as indicators of success in wavefront-
guided enhancement. J Refract Surg. 2005;21:S535-540.

3. Reinstein DZ, Archer T. Combined Artemis very high-frequency digital ultrasound-


assisted transepithelial phototherapeutic keratectomy and wavefront-guided treatment
following multiple corneal refractive procedures. J Cataract Refract Surg. 2006;32:1870-
1876.

4. Reinstein DZ, Archer TJ, Gobbe M. Refractive and topographic errors in topography-
guided ablation produced by epithelial compensation predicted by three-dimensional
Artemis very high-frequency digital ultrasound stromal and epithelial thick ness mapping.
J Refract Surg. 2012;28:657-663.

5. Reinstein DZ, Archer TJ, Gobbe M. Improved effectiveness of transepithelial


phototherapeutic keratectomy versus topography-guided ablation degraded by epithelial
compensation on irregular stromal surfaces. J Refract Surg. 2013;29:526-533.

6. Reinstein DZ, Archer TJ, Dickeson ZI, Gobbe M. Trans-epithelial phototherapeutic


keratectomy protocol for treating irregular astigmatism based on population epithelial
thickness measure ments by Artemis very high-frequency digital ultrasound. J Refract
Surg. 2014;30:380-387.

7. Reinstein DZ, Gobbe M, Archer TJ, Youssef G, Sutton HF. Stromal surface topography-
guided custom ablation as a repair toolfor corneal irregular astigmatism. J Refract Surg.
2015;31:54-59.

8. Reinstein DZ, Archer TJ, Gobbe M. Rate of change of curvatureof the corneal stromal
surface drives epithelial compensatory changes and remodeling. J Refract Surg.
2014;30:799-802.

9. Vinciguerra P, Azzolini C, Vinciguerra R. Corneal curvature gradient determines corneal


healing process and epithelial behavior. J Refract Surg. 2015;31:281-282.

10. Vinciguerra P, Roberts CJ, Albe E, et al. Corneal curvature gradient map: a new corneal
topography map to predict the cornealhealing process. J Refract Surg. 2014;30:202-207.
11. Chen X, Stojanovic A, Zhou W, Utheim TP, Stojanovic F, Wang Q. Transepithelial,
topography-guided ablation in the treatment of visual disturbances in LASIK flap or
interface complications. J Refract Surg. 2012;28:120-126.

12. Chen X, Stojanovic A, Nitter TA. Topography-guided transepi thelial surface ablation in
treatment of recurrent epithelial in growths. J Refract Surg. 2010;26:529-532

13. Vinciguerra P, Camesasca FI. Custom phototherapeutic keratecto my with intraoperative


topography. J Refract Surg. 2004;20:S555-S563.

Anda mungkin juga menyukai