Anda di halaman 1dari 23

PENTINGNYA PERENCANAAN KONTINJENSI DI KOTA PALU

DISUSUN OLEH :

NAMA : ABDUL ZIDAN HIOLA


NO. STB : F231 16 039

JURUSAN ARSITEKTUR
PRODI S1 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
UNIVERSITAS TADULAKO
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Perencanaan
Kontinjensi di Kota Palu ini dengan baik.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Perencanaan Kontinjensi di Kota Palu. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi
pembaca.

Palu, 26 Desember 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
1.3. Tujuan ............................................................................................................ 2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1. Perencanaan Kontinjensi ................................................................................ 3
2.1.1. Pengertian Perencanaan Kontinjensi........................................................... 3
2.1.2. Sifat Perencanaan Kontinjensi .................................................................... 4
2.1.3. Penggunaan Perencanaan Kontinjensi ........................................................ 4
2.1.4. Langkah Penyusunan Perencanaan Kontinjensi ......................................... 5
2.2. Sejarah Gempa dan Tsunami di Kota Palu .................................................... 9
2.3. Perencanaan Kontinjensi di Kota Palu ........................................................... 12
2.4. Pentingnya Perencanaan Kontinjensi Untuk Kota Palu ................................. 13
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan .................................................................................................... 18
3.2. Saran .............................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki risiko terhadap bencana, baik itu entitas
sosial seperti individu, masyarakat, dan kota, atau pun sebuah sistem, seperti sistem komunikasi,
sistem infrastruktur, dll. Berbagai ahli yang bergerak dalam isu perubahan iklim memprediksikan
bahwa dengan adanya fenomena perubahan iklim risiko terjadinya bencana akan semakin
meningkat ke depannya. Perencanaan pada hakikatnya adalah alat yang digunakan untuk
memastikan masa depan yang lebih baik. Dalam konteks risiko bencana, masa depan yang lebih
baik dicirikan dengan kesiapan untuk menghadapi bencana, kemampuan untuk meminimalisir
dampak bencana, dan kemampuan pulih dengan baik, baik itu bagi entitas sosial atau pun sebuah
sistem. Salah satu instrumen perencanaan untuk memastikan masa depan yang lebih baik dalam
menghadapi berbagai risiko bencana adalah apa yang disebut dengan perencanaan kontinjensi
(contingency planning).

Palu adalah Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Palu merupakan kota yang
terletak di Sulawesi Tengah, berbatasan dengan Kabupaten Donggala di sebelah barat dan Utara,
Kabupaten Sigi di sebelah selatan, dan Kabupaten Parigi Moutong di sebelah timur. Kota Palu
merupakan kota lima dimensi yang terdiri atas lembah, lautan, sungai, pegunungan, dan teluk.
Koordinatnya adalah 0,35 – 1,20 LU dan 120 – 122,90 BT. Kota Palu dilewati oleh garis
Khatulistiwa. Penduduk Kota Palu berjumlah 342.754 jiwa (2012).

Baru-baru ini, tepatnya pada tanggal 28 September 2018 terjadi bencana yang cukup
dahsyat yang menimpa kota Palu dan sekitarnya. Gempa berkekuatan 7,4 pada skala Richter
telah melanda Palu di Sulawesi Tengah. Gempa ini bukanlah yang pertama, tapi inilah yang
terkuat. Gempa ini menimbulkan Tsunami di pesisir pantai dan juga mengakibatkan likuifaksi di
Kelurahan Petobo, Balaroa dan desa Jono Oge. Sebelumnya tercatat telah terjadi tiga kali
kejadian gempa di sekitar Teluk Palu, yaitu pada tahun 1927, 1968 dan 1996, sementara sekitar
Kota Palu (Sulawesi Tengah) terdapat 6 kejadian. Wilayah Kota Palu dan sekitarnya terdapat

1
beberapa potongan sesar yang sangat berpotensi membangkitkan gempa bumi yang cukup kuat.
Sesar tersebut adalah Sesar Palu-Koro yang memanjang dari Palu ke arah Selatan dan Tenggara
melalui Sulawesi Selatan bagian Utara menuju ke selatan Bone sampai di Laut Banda.

Karena Kota Palu merupakan daerah yang rawan akan bencana, tentu saja daerah ini
memerlukan sistem mitigasi bencana yang memadai. Pada saat terjadi bencana di Kota Palu
terlihat keadaan kota yang sangat kacau seperti tidak siap untuk menghadapi bencana tersebut.
Namun, sebenarnya seperti apa perencanaan kontinjensi di Kota Palu sendiri? Apakah
perencanaan kontinjensi penting untuk Kota Palu? Penulis akan membahasnya dalam makalah
ini.

1.2. Rumusan masalah

Masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut

1. Apa yang dimaksud dengan perencanaan kontinjensi?

2. Seperti apa sebenarnya perencanaan kontinjensi di Kota Palu?

3. Apakah perencanaan kontinjensi penting untuk Kota Palu?

1.3. Tujuan

Tujuan dalam masalah ini adalah sebagai berikut

1. Untuk mengetahui apa itu perencanaan kontinjensi

2. Untuk mengetahui perencanaan kontinjensi di Kota Palu

3. Untuk mengetahui betapa pentingnya perencanaan kontinjensi untuk Kota Palu

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Perencanaan Kontinjensi

2.1.1. Pengertian Perencanaan Kontinjensi

Kontinjensi (contingency) adalah suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan akan
segera terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi (Oxford Dictionary & BNPB, 2011).
Sedankan menurut Childs & Dietrich (2002) kontinjensi adalah:

“The additional effort to be prepared for unexpected or quickly changing circumstances”


(Childs & Dietrich, 2002: 241)

Perencanaan kontinjensi pada hakikatnya adalah suatu proses identifikasi dan penyusunan
rencana yang didasarkan pada keadaan kontinjensi tersebut. Beberapa lembaga internasional
telah memberikan definisi perencanaan kontinjensi yang lengkap, diantaranya:

1. UNISDR yang mendefinisikan perencanaan kontinjensi sebagai proses manajemen


yang menganalisis potensi kejadian atau sistuasi tertentu yang bisa mengancam
masyarakat atau lingkungan dan proses menetapkan pengaturan awal, agar mampu
merespon ancaman tersebut secara tepat waktu, efektif, dan sesuai (Vidiarina,
undated).

2. IASC yang mendefinisikan perencanaan kontinjensi sebagai proses untuk menentukan


tujuan, pendekatan, dan prosedur program untuk menanggapi situasi yang
diperkirakan akan terjadi, termasuk mengidentifikasi kejadian tersebut dan membuat
skenario serta rencana yang tepat untuk mempersiapkan dan menanggapinya secara
efektif (Vidiarina, undated).

3. IFRC yang mendefinisikan perencanaan kontinjensi sebagai proses untuk menentukan


prosedur operasional dalam merespon kejadian khusus atau risiko berdasarkan pada

3
sumberdaya dan kapasitas yang dimiliki dan memenuhi syarat sehingga respon bisa
dilakukan secara tepat waktu, efektif, dan sesuai (Vidiarina, undated).

Dari berbagai definisi di atas bisa diketahui bahwa tujuan utama dari perencanaan
kontinjensi adalah untuk meminimalisir dampak dari ketidakpastian dengan melakukan
pengembangan skenario dan proyeksi kebutuhan saat keadaan darurat terjadi. Suatu rencana
kontinjensi mungkin saja tidak pernah diaktifkan jika keadaan yang diperkirakan tidak pernah
terjadi.

Selama masa krisisnya, rencana ini sering dikembangkan untuk mengeksplorasi dan
mempersiapkan diri untuk kemungkinan situasi apapun. Masa Perang Dingin, banyak pemerintah
membuat rencana kontingensi untuk melindungi diri mereka sendiri dan warga negara mereka
dari serangan nuklir. Contoh rencana kontinjensi yang dirancang untuk menginformasikan warga
tentang bagaimana untuk bertahan hidup serangan nuklir adalah buku Survival Under Atomic
Attack, Protect and Survive, and Fallout Protection, yang diterbitkan oleh pemerintah Inggris dan
Amerika. Hari ini masih ada rencana kontinjensi di tempat untuk menghadapi serangan teroris
atau bencana lainnya.

2.1.2. Sifat Perencanaan Kontinjensi


Sifat Rencana Kontinjensi hanya digunakan untuk 1 (satu) jenis ancaman (single hazard).
Jika ingin menyusun Renkon untuk jenis-jenis ancaman yang lain disusun Renkon tersendiri
dengan proses/pola penyusunan yang sama.

2.1.3. Penggunaan Perencanaan Kontinjesi


Perencanaan kontinjensi merupakan salah satu dari berbagai rencana yang digunakan
dalam siklus manajemen risiko. Berikut dijelaskan aktivitas yang dilakukan dan rencana yang
digunakan dari tahapan-tahapan siklus manajemen risiko:

4
Tabel 1: Aktivitas dan Rencana yang Digunakan dalam Siklus Manajemen Risiko

Siklus Aktivitas Rencana

Situasi tidak terjadi bencana Pencegahan dan mitigasi Rencana mitigasi

Situasi berpotensi bencana Kesiapsiagaan Rencana kontinjensi

Terjadi bencana Tanggap darurat Rencana operasi

Setelah terjadi bencana Pemulihan Rencana pemulihan

Dari tabel di atas bisa dilihat bahwa perencanaan kontinjensi dilakukan ketika terdapat
potensi untuk terjadinya bencanan atau pada tahap aktivitas kesiapsiagaan. Siklus manajemen
risiko tersebut (termasuk perencanaan kontijensi) selain digunakan dalam pengelolaan bencana
berbasis kewilayahan, biasanya juga digunakan dalam bidang militer, bisnis, dan proyek
pembangunan infrastruktur.

2.1.4. Langkah Penyusunan Perencanaan Kontinjesi


Adapun langkah penyusunan perencanaan kontijensi adalah sebagai berikut :
 Persiapan

1. Profil Wilayah sasaran

- Letak geografis
- Lokasi wilayah
- Batas wilayah

5
2. Potensi dan Permasalahan

- Potensi jenis ancaman


- Kerentanan
- Kapasitas
- Lembaga kebencanaan yang ada
- Rencana kontinjensi yang (kota/kabupaten)
 Penilaian Risiko
1. Penilaian Risiko Ancaman/Bahaya
Risiko Bencana = Ancaman x Kerentanan
Kapasitas

(Ditetapkan berdasarkan hasil kajian pada RTPRB)

2. Penentuan Kejadian :
Penentuan/penilaian resiko bencana dilakukan dengan kesepakatan bersama
(lintas sektor) yang dinilai paling urgen/prioritas.
 Pengembangan Skenario
1. Skenario :
- Waktu terjadinya bencana (misalnya : pagi, siang, malam).
- Durasi/lamanya kejadian (misalnya : 2 jam, 1 hari atau 7 hari).
- Karakteristik bencana yang terjadi
- Hal lain yang berpengaruh terhadap besar-kecilnya kerugian/ kerusakan.
2. Perkiraan dampak
- aspek kehidupan/penduduk,
- aspek sarana/prasarana/fasilitas/asset,
- aspek ekonomi,
- aspek pemerintahan, dan
- aspek lingkungan.

6
 Penetapan Kebijakan & Strategi
1. Kebijakan :
- Bersifat umum untuk pedoman bagi sektor-sektor
- Mengikat dalam penanganan darurat
- Kesepakatan –kesepakatan dipatuhi oleh semua pihak
- Disetujui oleh Lurah/ Kepala Desa
2. Strategi :
Strategi untuk melaksanakan kegiatan oleh tiap-tiap sektor sesuai bidang tugas
masing-masing
- Membentuk Forum
- Membangun posko
- Pembagian tugas pelaksana sektor, dll
 Perencanaan Sektoral
1. Struktur Komando dan Koordinasi :
- Mempermudah koordinasi pemangku
- Menghindari kesemrautan
- Memberdayakan potensi dan sumber daya masyarakat dan para pihak
terkait.
 Sinkronisasi/Harmonisasi
1. Semua kegiatan sektor diharmonisasi/dintegrasikan ke dalam Renkon untuk
mengetahui siapa melakukan apa, agar tidak terjadi tumpang tindih
2. Dapat dilakukan melalui rapat koordinasi, yang dipimpin oleh Lurah/Desa dan
Tim Teknis.
3. Materi bahasan dalam rapat koordinasi antara lain berupa
- Laporan tentang kesiapan dari masing-masing sektor
- Masukan dari satu sektor ke sektor yang lain tentang adanya dukungan
sumberdaya.
- Laporan tentang kebutuhan sumberdaya, ketersediaan dan kesenjangannya
dari masing-masing sektor.
- Pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan bersama
dan komitmen untuk melaksanakan rencana kontinjensi.

7
 Formalisasi Renkon
1. Disahkan/ditanda-tangani oleh pejabat yang berwenang yakni Lurah/ Kepala
desa
2. Renkon PRB-BK menjadi dokumen resmi kelurahan/Desa
3. Renkon PRB-BK siap dilaksanakan menjadi Operasi Tanggap Darurat
Berikut adalah alur penyusunan perencanaan kontinjensi :

Sumber : Pnpm Mandiri Perkotaan

8
2.2. Sejarah Gempa dan Tsunami Kota Palu

Sumber : sbs.com.au

Daerah Palu dan sekitarnya, selain sangat rawan gempabumi juga rawan terhadap
tsunami. Kerawaan gempabumi dan tsunami daerah ini sudah dibuktikan dengan beberapa
catatan sejarah gempabumi dan tsunami yang berlangsung sejak tahun 1927, seperti Gempabumi
dan Tsunami Palu 1927, Gempabumi dan Tsunami Parigi 1938 dan Gempabumi dan Tsunami
Tambu 1968.

Gempabumi dan Tsunami Palu 1 Desember 1927 bersumber di teluk Palu dan
mengakibatkan kerusakan parah diKota Palu, Palu, Biromaru dan sekitarnya. Gempabumi juga
dirasakan dibagian tengah Pulau Sulawesi yang jaraknya sekitar 230 kilometer. Selain
menimbulkan kerusakan sangat parah, gempabumi ini juga memicu tsunami di Teluk Palu.

Gelombang Tsunami yang tingginya mencapai 15 meter ini terjadi segera setelah terjadi
gempabumi. Banyak bangunan rumah di kawasan pantai mengalami kerusakan parah. Bencana
ini menyebabkan 14 orang meninggal, dan 50 orang luka-luka. Tsunami juga menimbulkan
kerusakan dipelabuhan. Tangga dermaga Pelabuhan Talise hanyut akibat terjangan tsunam

9
ini,sementara itu berdasarkan laporan dasar laut setempat mengalami penurunan sedalam12
meter.

Gempabumi dan Tsunami Parigi 20 Mei 1938 terjadi sangat dahsyat, hingga dirasakan
hampir diseluruh bagian Pulau Sulawesi dan Bagian timur pulau Kalimatan. Daerah yang
menderita kerusakan paling parah adalah kawasan Teluk Parigi. Di tempat ini dilaporkan 942
unit rumah roboh. Kerusakan yang ditimbulkan ini meliputi lebih dari 50 % rumah yang ada
wilayah tersebut, sedangkan 184 rumah lainnya rusak ringan.

Di Teluk Parigi dilaporkan 16 orang tewas tenggelam, dan di Ampibabo satu orang tewas
tersapu gelombang tsunami. Dermaga Pelabuhan Parigi hanyut, dan menara suar penjaga pantai
mengalami rusak berat. Binatang ternak dan pohon kelapa juga banyak yang hanyut tersapu
gelombang tsunami. Beberapa ruas jalan di daerah Marantale mengalami retak-retak dengan
lebar 50 cm disertai keluar lumpur, bahkan sebuah rumah bergeser hingga 25 meter, namun
daerah

Palu mengalami kerusakan ringan. Di daerah Poso dan Tinombo dirasakan getaran sangat
kuat, tetapi tidak menimbulkan kerusakan.

Gempabumi dan Tsunami Tambu 14 Agustus 1968 merupakan gempabumi kuat yang
bersumber di lepas pantai barat laut Sulawesi. Akibat gempabumi tersebut, di Teluk Tambu,
antara Tambu dan Sabang, terjadi fenomena air surut hingga kira-kira 3 meter dan selanjutnya
terjadi hempasan gelombang tsunami.Pada beberapa tebing terjadi longsoran dan terjadi retakan
tanah yang disertai munculnya pancaran air panas.

Di Daerah Sabang dilaporkan bahwa tsunami dating dengan suara gemuruh. Tsunami
tersebut juga menyerang di sepanjang pantai Palu. Menurut laporan, ketinggian gelombang
tsunami mencapai 10 meter dan limpasan tsunami ke daratan mencapai 500 meter dari garis
pantai. Daerah yang mengalami kerusakan paling parah adalah kawasan Mapaga. Ditempat ini
ditemukan160 orang meninggal dan 40 orang dinyatakan hilang, serta 58 orang luka parah.

Berikutnya, Gempabumi dan Tsunami Toli-Toli dan Palu 1996 (M6.3), menyebabkan 9
orang tewas,serta kerusakan parah di Desa Bangkir, Toli-Toli, Tonggolobibi, dan Palu.
Gempabumi ini juga memicu tsunami denganketinggian 2 meter dengan limpasan air laut ke

10
daratan sejauh 400 meter (Suparto et al. 2006). Pada tahun 2005 juga terjadi Gempabumi yang
menyebabkan satu orang meninggal dan 4 orang luka-luka.

Sumber : viva.co.id

Dan yang terbaru adalah Gempabumi, Tsunami dan Likuifaksi Pasigala (Palu,Sigi dan
Donggala) pada 28 September 2018. Gempa berkekuatan 7,4 pada skala Richter telah melanda
Palu, Sigi dan Donggala di Sulawesi Tengah. Gempa ini bukanlah yang pertama, tapi inilah yang
terkuat. Gempa ini menimbulkan Tsunami di pesisir pantai dan juga mengakibatkan likuifaksi di
Kelurahan Petobo, Balaroa dan desa Jono Oge. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) mencatat jumlah korban meninggal akibat gempa dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah
dan sekitarnya berjumlah 2.113 orang. Sedangkan korban luka-luka akibat gempa dan tsunami
Palu mencapai 4.612 orang.

Bagi masyarakat Palu dan sekitarnya, kondisi alam yang kurang bersahabat ini adalah
sesuatu yang harus diterima sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, semua itu adalah risiko
yang harus dihadapi sebagai penduduk yang tinggal di kawasan seismik aktif.

11
Bagi kalangan ahli kebumian dan instansi terkait dalam penanganan bencana, labilnya
Daerah Palu secara tektonik merupakan tantangan berpikir untuk menyusun strategi mitigasi
yang tepat untuk memperkecil risiko jika

sewaktu-waktu terjadi bencana bencana gempabumi dan tsunami di Daerah Palu dan
sekitarnya seperti yang terjadi pada masa lalu.

2.3. Perencanaan Kontinjensi di Kota Palu

Untuk Kota Palu sendiri sebenarnya memiliki perencanaan kontinjensi yang diteken oleh
Walikota sebelumnya, yaitu Rusdi Mastura pada November 2012. Namun, dokumen
perencanaan tersebut hanyalah sebuah dokumen, tanpa ada keberlanjutannya. Menurut Rusdi
Mastura, capaian dokumen perencanaan terkait penanggulangan (pra) dan penanganan (tanggap
darurat) bencana di Kota Palu tidak berlanjut. Rusdi Mastura menjabat wali kota selama dua
periode (2005-2015). Medio 2015, ia mundur lantaran ikut Pilkada Sulteng, lantas diganti
wakilnya Mulhanan "Toni" Tombolotutu.

Tokoh yang disebut terakhir juga mundur karena ikut Pilkada Kota Palu. Kursi
kepemimpinan lalu diisi Pelaksana Tugas, Hidayat Lamakarate, sebelum diserahkan kepada duet
Hidayat-Sigit Purnomo Said yang memenangkan Pilkada 2015. Dinamika ambil oper jabatan itu
sedikit banyak mewarnai keberlanjutan program dan dokumen kebencanaan di Palu.

Bila hendak tengok ke belakang, sejumlah program kebencanaan sebenarnya sudah


berlangsung di Kota Palu. Salah satunya adalah simulasi evakuasi mandiri yang dipelopori oleh
komunitas sadar bencana dari program Safer Community Disaster Risk Reduction (SCDRR) atau
Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas. SCDRR merupakan kegiatan besutan
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNDP). Program itu sudah berjalan di Palu
sejak 2009. Saat itu, BPBD Kota Palu bahkan baru akan terbentuk. Selain bencana alam, UNDP
juga punya program Peace Through Development (PTD), yang berfokus pada penanganan
bencana sosial di Palu dan Poso--dua wilayah yang rentan konflik horizontal dan vertikal.

Di level nasional, SCDRR dan PTD berada di bawah koordinasi Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas). Di daerah, keduanya didinamisir Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda). Lewat SCDRR, isu kebencanaan diharapkan jadi wacana

12
publik yang dibicarakan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang)--mulai
dari tingkat kelurahan hingga ke forum kota.

Perda Kota Palu No.6/2011 tentang Bangunan Gedung jadi satu contoh pendekatan
mitigasi bencana berbasis SCDRR. Tujuh belas kata gempa yang disebutkan dalam perda itu
menunjukkan bahwa penyusunannya menimbang potensi bencana dan mitigasi. SCDRR juga
melahirkan dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) yang memayungi penyusunan
peta-peta untuk mengidentifikasi ancaman bencana alam. Ada pula "Rencana Kedaruratan"
(biasa disebut Rencana Kontinjensi) ketika menghadapi gempa dan tsunami, banjir, serta tanah
longsor--jenis bencana alam yang berpotensi terjadi di Palu.

Simulasi menghadapi gempa dan tsunami pada November 2012, berbasis pula pada
dokumen Rencana Kontinjensi yang diteken Cudi selaku wali kota. Sebagai dokumen resmi,
Rencana Kontinjensi disusun pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha--segitiga yang menjadi
logo penanganan bencana. Ia juga "dokumen hidup" yang harus diaktivasi dengan simulasi.
Pertambahan penduduk, pertumbuhan kawasan baru, dan pembangunan infrastruktur, membuat
dokumen itu mesti pula diperbaharui demi menyesuaikan dinamika kota.

2.4. Pentingnya Perencanaan Kontinjensi Untuk Kota Palu

13
Sumber : bbc.com

Melihat keadaan Kota Palu yang merupakan salah satu daerah rawan bencana tentu
perencanaan kontinjensi sangatlah penting bagi kota ini. Kita bisa lihat bagaimana kekacauan
Kota Palu saat terjadi Gempabumi yang menimbulkan Tsunami dan Likuifaksi tersebut. Listrik
mati, sinyal ponsel menghilang, bahan bakar habis, bau busuk dari mayat yang terlambat
dievakuasi dan persediaan makanan yang semakin menipis.

Bantuan yang tak kunjung datang membuat orang-orang terpaksa menjarah toko untuk
mendapatkan air dan makanan. Penjarahan meningkat ke barang-barang berharga lain sehingga
membuat aparat mengeluarkan perintah tembak di tempat para penjarah. Saya ingat saat
membagikan bantuan empat hari setelah bencana, orang-orang berebut sambil membawa parang.
Bandara dipenuhi manusia yang berharap diangkut pesawat, sampai-sampai pesawat pengangkut
tak jadi mendarat. Jumlah personel polisi dan tentara meningkat karena masyarakat sipil kalang
kabut.

Fenomena meningkatnya keingintahuan warga pasca gempa di Sulteng adalah potensi


besar untuk melibatkan masyarakat dalam program pendidikan kebencanaan. Sudah sepantasnya
pemerintah merespon dengan memasukkan pendidikan mitigasi bencana ke dalam kurikulum
pendidikan formal. Inisiatif-inisiatif masyarakat yang spontan, sporadis, dan terbatas tak lagi
cukup.

Kesuksesan Chili dalam memberikan edukasi kebencanaan kepada warganya bisa


menjadi contoh. Gempa 8,4 SR dan tsunami 4,5 meter yang terjadi pada 2015 menewaskan 13
orang. Jumlah korban ini sangat kecil dibandingkan dengan 500 korban tewas dalam gempa 8,8
SR lima tahun sebelumnya.

Kecilnya jumlah korban didukung oleh fakta bahwa masyarakat Chili sudah tahu cara
menghadapi bencana berkat pengetahuan kebencanaan yang masuk dalam kurikulum pendidikan.
Setiap tahun, Chili melaksanakan enam sampai tujuh kali simulasi menghadapi gempa dan
tsunami dengan peserta kurang lebih satu juta orang. Standar bangunan tahan gempa yang ketat
sudah diatur sejak 1972, ketika pemerintahan sosialis Salvador Allende berkuasa.

14
Jika Chili punya dokumen kebencanaan bernama Chile Prepares, Indonesia sebetulnya
sudah memiliki Undang-Undang penanggulangan kebencanaan yang menekankan tahapan
prabencana. Pasal 34 sampai Pasal 47 UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana
mengatur kegiatan pada tahap prabencana dan sudah memasukkan program pendidikan.

Dokumen Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019 setebal 131 halaman


yang diterbitkan oleh BNPB juga sudah memasukkan pendidikan dan pelatihan mitigasi bencana
sebagai salah satu kegiatan prabencana.

Lagi-lagi, yang tak dilakukan adalah implementasi. Sebenarnya Palu sudah pernah
memulai pelaksanaan pendidikan simulasi tanggap bencana. Sebuah simulasi pernah dilakukan
sekali di Pantai Talise pada 19 November 2012 sebagai rangkaian dari acara Gladi Nasional
Penanggulangan Bencana yang dihelat oleh BNPB. Kota ini juga sudah memiliki dokumen
Rencana Kontegensi menghadapi gempa dan tsunami setebal 51 halaman yang ditandatangani
oleh Walikota Rusdi Mastura pada November 2012.

Skenario dalam Rencana Kontinjensi disusun untuk menghadapi gempa bumi dengan
episentrum di lempeng Palu-Koro, berkekuatan 7,4 SR, kedalaman 10 kilometer dengan durasi
gempa 40 detik dan tsunami setinggi 4,3 meter yang akan menyerang Teluk Palu dalam 15
menit. Jadi, gempa dan tsunami yang terjadi tahun ini sebetulnya sudah diprediksi dengan akurat
enam tahun lalu.

Hampir seluruh dampak gempa dan tsunami seperti bangunan dan jembatan rubuh, listrik
padam, pasokan air bersih berkurang, sinyal telepon terputus, kelangkaan makanan, naiknya
harga-harga barang, serta masalah pengungsi dimasukkan dalam skenario Rencana Kontinjensi.

Kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan dari tahap prabencana sampai dengan pasca
bencana dirumuskan secara rinci beserta perkiraan anggaran yang dibutuhkan. Pada tahap
prabencana, direncanakan pelaksanaan sosialisasi, pelatihan SAR dan evakuasi serta latihan
simulasi dan gladi posko secara berkala yang melibatkan 1000 warga.

Dalam bagian penutup, disebutkan rencana kontinjensi ini masih memerlukan


penyempurnaan dan review berkala untuk memperbaharui data yang ada.

15
Sebulan kemudian, Desember 2012, Badan Geologi Kementerian ESDM merilis hasil
penelitian Risna Widyaningrum yang berjudul “Laporan Penyelidikan Geologi Teknik Potensi
Liquifaksi Daerah Palu, Provinsi Sulawesi Tengah”. Hasil penelitian ini seharusnya
ditindaklanjuti dengan dimasukkan ke dalam Rencana Kontinjensi beserta cara mengantisipasi
likuifaksi.

Sayangnya, pelaksanaan Rencana Kontinjensi Kota Palu atau pembaruan data tidak
dilanjutkan. Keselamatan warga dianggap sepele. Dokumen ini hanya menjadi arsip yang
tersimpan di BNPB.

Seandainya Rencana Kontinjensi ini terus diperbarui dan dilaksanakan secara konsisten,
kita bisa berharap korban yang jatuh lebih sedikit dan masyarakat lebih sigap menghadapi
masalah-masalah yang muncul pasca-bencana.

Namun, angin segar bertiup dari daerah lain. Melalui akun Facebook-nya pada 23
November 2018, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengumumkan kurikulum sekolah
tanggap bencana mulai diberlakukan di seluruh sekolah di Jawa Barat. Siswa-siswi diajarkan
cara menyelamatkan diri dalam simulasi bencana gempa bumi, tsunami dan banjir. Sekarang
tinggal memastikan agar program ini dijalankan secara berkelanjutan.

Di bawah desentralisasi dan otonomi daerah, kehendak politik kepala daerah ternyata
menjadi penting. Tidak semua kepala daerah mau memajukan konsep pendidikan tanggap
bencana sampai ke tingkat implementasi secara berkelanjutan.

Seringkali rencana hanya dibuat untuk keperluan kampanye, sekadar proyek temporer,
atau tak ada sama sekali karena rencana menghadapi bencana dianggap bukan proyek yang
menguntungkan bagi elite. Sistem politik kita yang sudah begitu korup membuat proyek fisik
demi kepentingan investasi dengan fee yang besar dipandang lebih penting ketimbang
pembangunan manusia melalui pendidikan.

Kita tidak kekurangan hasil-hasil riset untuk membuktikan gempa bumi dan tsunami
adalah keberulangan yang niscaya. Pengalaman pahitnya, bencana juga telah mengajarkan kita
pendidikan tanggap bencana sudah mendesak. Yang hampir tidak kita miliki adalah pemimpin
yang benar-benar berpihak kepada rakyat dan bisa menerima masukan ilmiah.

16
Tapi, kita sebagai rakyat, sebagai warga negara, bisa memiliki sikap yang jelas: menolak
kekuasaan elite politik yang mengabaikan keselamatan kita. Apa yang dikatakan oleh aktor
Harrison Ford dalam pidatonya di Global Climate Action Summit 2018 bisa menjadi sikap kita
bersama :

“Berhentilah memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang tidak percaya pada


sains, atau lebih buruk lagi, mereka yang berpura-pura tidak percaya sains demi kepentingan
mereka sendiri.”

17
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Perencanaan kontinjensi merupakan suatu perencanaan yang sangat penting bagi daerah
rawan bencana. Dengan perencanaan kontinjensi, maka suatu daerah akan siap menghadapi
bencana yang tentunya tidak diinginkan. Namun, tidak semua perencanaan kontinjensi dapat
berjalan dengan baik, semua tergantung dari ppemerintah setempat. Pemerintah berperan penting
dalam keberlanjutan sebuah perencanaan kontinjensi.

Kota Palu yang merupakan daerah rawan bencana sebenarnya sudah memiliki
perencanaan kontinjensi. Namun hal tersebut tidak berlanjut, sehingga hanya menjadi dokumen
yang disimpan di lemari tanpa ada implementasi. Padahal perencanaan kontinjensi ini sangat
penting untuk Kota Palu yang merupakan daerah rawan bencana. Kita bisa lihat kekacauan Kota
Palu dalam menghadapi bencana yang terjadi pada 28 September 2018 yang lalu.

3.2. Saran

Terdapat hubungan timbal balik antara perencanaan kontinjensi dan perencanaan wilayah.
Kedepannya perencanaan wilayah harus mulai mempertimbangkan perencanaan/pendekatan
kontinjensi dalam proses perumusuan rencana karena risiko bencana kota-kota di Indonesia juga
semakin meningkat dengan adanya fenomena perubahan iklim. Lebih jelasnya penilaian risiko
dan analisis kesenjangan sumber daya yang dilakukan dalam proses perencanaan kontinjensi bisa
memberikan masukan pada tahapan input dan analisis dalam proses perncanaan wilayah,
sehingga perencanaan wilayah bisa mengakomodasikan berbagai keperluan yang dibutuhkan
ketika keadaan darurat, seperti penataan ruang yang mempertimbangkan arah pergerakan
(manusia dan barang) ketika terjadi bencana, penguraian titik-titik kepadatan jika kota memiliki
risiko terhadap kejadian teror, memperbanyak ruang-ruang terbuka jika kota memiliki risiko
terhadap gempa, dll. Adapun perencanaan kontinjensi haruslah mengacu kepada berbagai
rencana dan kebijakan yang telah diterbitkan. Berikut gambaran lebih lanjut tentang hubungan
kedua perencanaan dari segi prosesnya

18
Khususnya untuk Kota Palu, Pemerintah harus memberikan keberlanjutan terhadap
perencanaan kontinjensi yang sudah ada. Bila perlu dapat melakukan revisi terhadap
perencanaan kontinjensi yang sudah ada agar lebih sempurna. Selain itu, pemerintah juga harus
aktif dalam memberikan edukasi dan sosialisasi mengenai kesiapsiagaan menghadapi bencana
kepada masyarakat.

19
DAFTAR PUSTAKA

 Mayuri Mei Lin & Rebecca Henschke. 2018. Gempa, tsunami dan likuifaksi: Rangkaian
bencana di Palu yang perlu Anda ketahui. BBC
 Wikipedia. 2018. Kota Palu
 Muhammad Rezki Hr. Prinsip dan Perencanaan Kontinjensi Studi Kasus : London
 Rima Rosaliana. 2018. Bencana Tsunami Dan Implikasinya Di Kota Palu, Provinsi
Sulawesi Tengah
 Neni Muhidin. 2018. Gempa Palu: Antara simulasi dan yang terjadi. Beritagar.id
 PRB-BK : Pnpm Mandiri Perkotaan. Rencana Kontinjensi

20

Anda mungkin juga menyukai