Anda di halaman 1dari 68

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Luka bakar adalah cedera kulit atau organ lain yang disebabkan oleh
panas atau terkait dengan radiasi, radioaktivitas, listrik, gesekan atau kontak
dengan zat kimia. Luka bakar dapat terjadi pada semua kelompok usia, mulai
dari anak-anak hingga orang tua dan dapat menimbulkan gangguan pada aspek
fisik, mental, dan sosioekonomi. Semua luka bakar (kecuali luka bakar ringan
atau luka bakar derajat I) dapat menimbulkan komplikasi berupa syok,
dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit, infeksi sekunder, dan lain-lain.1
Bergantung pada kedalamannya, luka bakar bisa hanya mencapai
epidermis (derajat 1), mencapai dermis (derajat 2), mencapai hipodermis
(derajat 3), atau mencapai organ di bawah kulit (derajat 4). Luka bakar derajat 1
dan 2 disebut luka bakar partial thickness, sedangkan luka bakar derajat 3 dan 4
disebut luka bakar full thickness. Di antara luka bakar tersebut, Eser, dkk
melaporkan bahwa luka derajat 2 merupakan luka bakar yang paling banyak
dijumpai dengan persentase sebesar 78,78%.2
Infeksi sekunder merupakan salah satu komplikasi yang paling serius dan
penyebab utama kematian pada pasien luka bakar. Setelah periode awal syok,
infeksi luka bakar merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai. 3 Infeksi
menyumbang 75% dari seluruh kematian pasien luka bakar dengan total luas
permukaan tubuh lebih dari 40%. Infeksi adalah permasalahan utama dalam
penanganan luka bakar karena memperlambat penyembuhan luka normal
dengan memperpanjang fase inflamasi dari respon imun. Akumulasi jaringan
nekrotik pada daerah luka merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan
bakteri.4
Faktor yang mempengaruhi kerentanan luka bakar, khususnya pada luka
bakar deep dermal terhadap invasi atau kolonisasi oportunistik oleh bakteri dan
fungi adalah adanya protein terkoagulasi, imunosupresi, vaskularitas luka bakar,
riwayat pembedahan, dan skin graft.5,6 Faktor risiko potensial lain yang

1
mempengaruhi kolonisasi pada luka bakar adalah laki-laki, usia < 15 tahun,
lokasi luka bakar, luas permukaan luka bakar, dan lama perawatan di rumah
sakit. Infeksi mikroorganisme pada permukaan luka bakar menyebabkan
tertundanya atau tidak sembuhnya luka bakar.6 Oleh karena itu, terapi
antibakterial yang tepat harus dimulai tepat waktu untuk menghindari
kerusakan serius.7
Trombosis vaskuler lokal dan respons inflamasi berat menyebabkan
ketidakmampuan administrasi sistemik antibiotik untuk infeksi lokal sehingga
efikasi antibiotik intravena tunggal untuk mengkontrol reproduksi bakteri pada
luka bakar tidak memuaskan. Selain itu, penggunaan antibiotik jangka panjang
dapat menyebabkan resistensi obat multipel dan superinfection. Aplikasi dini
agen antibakterial atau bakterisidal topikal merupakan metode efektif yang
dapat melindungi luka bakar dari infeksi bakteri dan menstimulasi
penyembuhan luka.4
Preparat silver-carrying antimikrobial telah digunakan secara luas sebagai
agen antimikrobial topikal pada luka bakar selama beberapa dekade. Perak
memiliki efek sinergistik dengan sulfadiazine dalam menghambat pertumbuhan
bakteri.8 Silver sulfadiazine (SSD) merupakan obat yang telah disetujui oleh the
Food and Drug Administration (FDA) sebagai agen topikal untuk mengkontrol
infeksi bakteri pada luka bakar derajat II. SSD berperan penting dalam
menghambat sistem transpor molekuler, menurunkan stabilitas DNA, dan
menurunkan replikasi bakterial. Selain itu, SSD memiliki antimikrobial dengan
menghancurkan struktur molekuler bakteri dan meningkatkan produksi
metabolit tidak aktif dan tidak larut. Metabolit ini selanjutnya mencegah infeksi
bakteri, menghilangkan reaksi inflamasi lokal, dan menstimulasi penyembuhan
luka.7
Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan SSD sebagai pengobatan
topikal pada pasien luka bakar memberikan beberapa keuntungan, antara lain
waktu penyembuhan luka yang lebih cepat, lama perawatan di rumah sakit yang
lebih singkat, menurunkan frekuensi penggantian dressing, penurunan intensitas

2
nyeri pada saat mengganti dressing dan penurunan bakteriemia MRSA pada
luka bakar dengan infeksi MRSA. Penggunaan SSD direkomendasikan pada
luka bakar dengan kontaminasi bakteri, secara klinis menunjukkan tanda dan
gejala infeksi bakteri, luka bakar derajat II dan III, serta luka bakar derajat I
dengan area luka yang luas.9 Namun, SSD memiliki beberapa efek samping
yang cukup serius, seperti argiria, leukopenia, toksisitas hati dan ginjal. 4,8
Argiria merupakan efek samping yang paling sering dikeluhkan pasien terhadap
penggunaan komponen perak. Argiria merupakan pewarnaan kulit keabu-abuan
yang bersifat permanen (ireversibel) akibat deposit granul perak di mana perak
sulfida mempresipitasi dermis, terutama di region sekitar folikel rambut dan
kelenjar keringat.10,11 Oleh karena itu, diperlukan pilihan terapi yang lebih baik
dalam penatalaksanaan luka bakar.
Beberapa silver dressing yang banyak digunakan antara lain: silver nitrat,
silver sulfadiazine, dan nanocrystalline silver. Nanocrystalline silver memiliki
kelebihan dibandingkan sediaan silver lainnya karena merupakan silver dalam
bentuk murni, tidak bersenyawa, serta memiliki ukuran partikel sangat kecil,
lebih kecil dari silver nitrat atau silver sulfadiazine. Penemuan nanoteknologi
memungkinkan konversi logam perak menjadi bentuk nanopartikel. Partikel
perak berukuran nano lebih efektif daripada bentuk asli terhadap
mikroorganisme sehingga memungkinkan terapi perak topikal yang lebih
efektif dan lebih ditoleransi dengan baik.4 Ukuran kecil ini bermanfaat dalam
hal lebih mampu untuk melakukan penetrasi ke dalam luka dan membunuh
bakteri lebih cepat. Pengembangan perak dalam bentuk nanopartikel
menurunkan waktu yang diperlukan untuk area luka mencapai ekuilibrium
homeostatis normal secara signifikan, menurunkan risiko komplikasi yang tidak
diinginkan, dan memperbaiki penampakan fisik skar dengan menurunkan
pembentukan parut hipertrofik.8 Kebanyakan penelitian melaporkan bahwa
nanopartikel perak aman dan bersifat non-sitotoksik. Walaupun demikian,
toksisitas dari perak dapat dijumpai dalam bentuk argiria. Toksisitas ini
disebabkan oleh pelepasan ion perak dari dressing pada luka besar terbuka.

3
Selain itu, beberapa penelitian terakhir melaporkan potensi efek toksik pada
fibroblast, keratinosit, dan sel punca mesenkimal manusia.10,11
Telah ada beberapa uji klinik yang membandingkan efektivitas
nanocrystalline silver dibandingkan silver lainnya untuk luka bakar. Dr.
Nherera dkk melakukan sebuah meta-analisis untuk mengevaluasi 8 uji klinik
yang membandingkan efektivitas nanocrystalline silver dibandingkan dengan
silver nitrat dan silver sulfadiazine untuk luka bakar. Parameter yang dievaluasi
adalah kejadian infeksi, lama durasi rawat inap, dan tindakan bedah yang
diperlukan. Hasil yang didapatkan adalah: pada kelompok pasien yang
mendapatkan nanocrystalline silver kejadian infeksi lebih rendah (OR 0,21,
95% CI 0,07 s/d 0,62; p=0,005), lama rawat inap lebih singkat (mean difference
4,74 (95% CI 5,79 s/d 3,69; p=0,00001), dan tindakan bedah yang diperlukan
lebih sedikit (OR 0,40, 95% CI 0,28 s/d 0,56; p=0,00001).12 Liu, dkk
melaporkan bahwa nanosilver lebih signifikan menstimulasi penyembuhan luka
bakar derajat II, mengurangi insidens infeksi bakteri sekunder, dan mengurangi
skor VAS dibandingkan dengan silver sulfadiazine.7 Namun, belum ada
penelitian yang membandingkan efektivitas SSD dengan nanopartikel SSD
(NSSD) dalam menurunkan koloni mikroorganisme pada luka bakar. Untuk
memperoleh luaran yang lebih baik dalam penanganan luka bakar derajat II,
perlu upaya memberikan terapi yang lebih efektif, sehingga diperlukan
penelitian untuk membandingkan SSD sebagai terapi standar dengan NSSD.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana perbandingan efektivitas antara nanosilver sulfadiazine topikal dan
silver sulfadiazine topikal dalam menghambat pertumbuhan koloni kuman pada
luka bakar deep dermal di Rumah Sakit Muhamad Hoesin Palembang?

4
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Membandingkan efektivitas antara nanosilver sulfadiazine topikal dan silver
sulfadiazine topikal dalam menghambat pertumbuhan koloni kuman pada luka
bakar deep dermal di Rumah Sakit Muhamad Hoesin Palembang

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui karakteristik sosiodemografi dan klinis pasien luka bakar deep
dermal di Rumah Sakit Muhamad Hoesin Palembang
2. Mengetahui efektivitas nanosilver sulfadiazine topikal dan silver
sulfadiazine topikal dalam menghambat pertumbuhan koloni kuman pada
luka bakar deep dermal di Rumah Sakit Muhamad Hoesin Palembang

1.4 Hipotesis Penelitian


Ada perbedaan efektivitas dan efek samping antara nanosilver sulfadiazine
topikal dan silver sulfadiazine topikal dalam menghambat pertumbuhan koloni
kuman pada luka bakar deep dermal di Rumah Sakit Muhamad Hoesin
Palembang

1.5 Manfaat Penelitian


I. 5. 1. Manfaat Ilmiah
Memberikan data eksperimental tentang efektivitas dan efek samping
antara nanosilver sulfadiazine topikal dan silver sulfadiazine topikal dalam
menghambat pertumbuhan koloni kuman pada luka bakar deep dermal
sehingga dapat menjadi sumbangan pengetahuan dan perkembangan ilmu dan
teknik kedokteran khususnya dalam bidang Bedah Plastik dalam penanganan
luka bakar.

I. 5. 2. Manfaat Klinis
Dengan pengetahuan mengenai efektivitas dan efek samping antara
nanosilver sulfadiazine topikal dan silver sulfadiazine topikal dalam
menghambat pertumbuhan koloni kuman pada luka bakar deep dermal,

5
diharapkan dapat menentukan regimen terapi yang sesuai pada pasien tersebut
sehingga mempersingkat lama perawatan pasien, menurunkan biaya rawat dan
pengobatan, menurunkan angka efek samping obat pada pasien luka bakar,
khususnya luka bakar deep dermal yang dirawat di RSMH Palembang.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luka Bakar


2.1.1 Epidemiologi
Luka bakar merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
negara berkembang. Luka bakar menyebabkan lebih dari 7,1 juta kasus
cedera, hilangnya 18 juta disability-adjusted life years (DALYs), dan lebih
dari 265.000 kematian di seluruh dunia setiap tahunya. Data dari World
Health Organization (WHO) 2015 menyatakan bahwa, secara global luka
bakar diperkirakan menimbulkan 265.000 kematian pertahun. Angka ini
diperkirakan lebih tinggi di negara berkembang karena kemiskinan, kepadatan
penduduk yang tinggi dan buta huruf.13,14
Di Indonesia, luka bakar menimbulkan sekitar 195.000 kematian per
tahun. Data dari Pusat Luka Bakar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) yang merupakan pusat rujukan kasus luka bakar di Indonesia,
departemen tersebut menerima 130 rujukan setiap tahun dari berbagai provinsi
di Indonesia. Data tahun 2014 dari Kementerian Kesehatan, luka bakar
menempati urutan ke- 6 dari seluruh kejadian luka yang tidak disengaja di
Indonesia dengan prevalensi 0,7%.14

2.1.2 Klasifikasi
Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan kontak
dengan sumber panas seperti kobaran api di tubuh (flame), jilatan api ketubuh
(flash), terkena air panas (scald), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat
sengatan listrik, akibat bahan-bahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn).
Masing-masing penyebab luka bakar tersebut biasanya berhubungan dengan
perbedaan derajat keparahan luka bakar.15
Kedalaman luka bakar bergantung pada kedalaman kerusakan jaringan,
luka bakar dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu luka bakar
superfisial, luka bakar tengah dan luka bakar dalam. Kelompok tersebut

7
kemudian dibagi lagi berdasarkan kedalaman kulit menjadi epidermis,
superfisial, pertengahan, dalam, dan keseluruhan kulit.16
1. Luka bakar epidermal
Luka bakar ini hanya melibatkan lapis epidermis. Penyebab tersering adalah
paparan sinar matahari atau flash injury minor (percikan api). Lapis
permukaan epidermis terbakar dan proses penyembuhan berlangsung melalui
regenerasi epidermis yang berasal dari lamina basalis. Dengan adanya
produksi mediator inflamasi, didapatkan hyperemia yang menyebabkan luka
yang kemerahan dan nyeri. Luka epidermal dapat sembuh dengan cepat
(dalam 7 hari), tanpa kecacatan estetik. Rawat inap mungkin diperlukan
untuk menghilangkan nyeri. Luka bakar epidermal tidak diperhitungkan
pada kalkulasi luas luka bakar.
2. Luka bakar dermal-superfisial
Luka bakar dermal-superfisial mengenai epidermis dan lapis dermis bagian
superfisial, yaitu dermal papilare. Ciri khas luka bakar jenis ini, yaitu lepuh
(blister, bula). Lapis kulit di atas bula adalah non-vital dan terlepas dari
dasarnya (lapis dermis yang vital) oleh edema inflamasi. Edema mengangkat
atap dermis yang nekrotik sehingga terbentuk bula. Bula bisa pecah dan
dermis di bawahnya terpapar. Dermis yang terpapar akan terdesikasi
(mengering) dan menyebabkan luka bertambah dalam.
Dermal papilare yang terpapar tampak berwarna merah muda dan disertai
nyeri ekstrim karena ujung-ujung saraf sensorik terpapar. Dengan suasana
kondusif, epitel akan menyebar dari struktur adneksa kulit (folikel rambut,
kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat) dan menutupi dermis (proses
epitelisasi). Proses tersebut berlangsung dalam waktu maksimal 14 hari
dengan bekas luka yang menunjukkan perbedaan warna. Tidak ada skar yang
dibentuk pada luka bakar dermal-superfisialis ini.
Bila proses reepitelisasi mengalami keterlambatan, hal ini menunjukkan
bahwa kedalaman luka lebih dalam dibandingkan saat diagnosis ditegakkan.

8
Baik luka bakar epidermal atau dermal-superfisial mempunyai kemampuan
untuk sembuh dengan sendirinya secara spontan dengan epitelisasi.
3. Luka bakar mid-dermal
Luka bakar mid-dermal sebagaimana namanya adalah luka bakar yang
terdapat di antara luka bakar dermal superfisial yang akan sembuh relatif
cepat. Pada tingkat mid-dermal, jumlah sel epitel yang bertahan dan
mempunyai kemampuan reepitelisasi lebih sedikit jumlahnya karena luka
bakar lebih dalam dan penyembuhan luka secara spontan yang cepat tidak
selalu terjadi.
Secara klinis, terlihat adanya variasi derajat kerusakan pleksus dermal.
Keterlambatan pengisian kapiler disertai edema dan pembentukan bula dapat
diamati. Jaringan di daerah yang terbakar berwarna merah muda lebih gelap
dibandingkan luka bakar superfisial, tetapi tidak segelap luka bakar dermal-
dalam yang merah berbercak. Sensasi terhadap sentuhan ringan mungkin
berkurang, tetapi nyeri tetap ada menggambarkan kerusakan pada nervus
kutaneus pleksus dermal.
4. Luka bakar dermal-dalam
Pada luka bakar dermal-dalam mungkin dapat dijumpai bula, namun dasar
bula menunjukkan karakteristik luka bakar dalam, retikulum dermis
menunjukkan warna merah berbercak. Hal ini disebabkan oleh ekstravasasi
hemoglobin sel-sel darah merah yang keluar dari pembuluh darah dan rusak.
Pertanda khas pada luka bakar ini adalah fenomena hilangnya capillary refill
yang menunjukkan kerusakan pleksus vaskular dermal. Ujung-ujung saraf di
lapis dermis juga mengalami hal yang sama sehingga terjadi hilangnya
sensasi.
5. Luka bakar seluruh ketebalan kulit (full thickness burns)
Pada full thickness burns, kedua lapisan kulit (epidermis dan dermis) dapat
terkena. Kerusakan dapat menembus lebih dalam sampai ke struktur di
bawahnya. Pada penampilan klinis, dijumpai kulit berwarna keputihan,
waxy, dan charred appearance (coklat terbakar). Ujung saraf sensorik di

9
dermis rusak sehingga hilang sensasi pada pemeriksan pinprick. Kulit yang
mengalami koagulasi menunjukkan konsistensi seperti kulit keras (eskar).
Baik pada luka bakar dermal dalam maupun full thickness tidak akan sembuh
secara spontan dengan epitelisasi dari dalam luka, hanya dari perifernya.
Tergantung dari ukuran luka, hal ini mungkin berhubungan dengan
memanjangnya waktu penyembuhan dan pembentukan jaringan parut
signifikan dapat mengganggu fungsi dan penampilan.
Kedalaman luka bakar dapat berubah seiring waktu dan memerlukan
reasesmen kontinyu untuk memastikan manajemen yang sesuai. Secara
klinis, wkatu yang paling akurat untuk menilai luka bakar adalah hari ke-3
sampai ke-5 setelah trauma luka bakar. Hal ini memungkinkan waktu untuk
memperjelas zona statis apakah akan berkembang menjadi bagian dari zona
koagulasi atau membaik. Luka bakar yang bertambah dalam dan luas
memerlukan waktu untuk terdemarkasi penuh.

Epidermal

Superficial dermal

Mid dermal

Deep dermal

Full thickness
Gambar 2.1 Kedalaman luka bakar
Diambil dari: The Education Committee of Australian and New Zealand Burn Association
(2016)16

Tabel 2.1 Diagnosis kedalaman luka bakar

10
Kedalaman Warna Bula Pengisian Sensasi Healing
Kapiler
Epidermal Merah - + + Ya
Dermal superfisial Merah muda pucat + + Nyeri Ya
Mid dermal Merah muda gelap + Lambat +/- Biasanya
Deep dermal Blotchy red +/- - - Tidak
Full thickness Putih - - - Tidak
Didapat dari: The Education Committee of Australian and New Zealand Burn Association
(2016)16

2.1.3 Zona Kerusakan Jaringan


Respon lokal terhadap agen penyebab luka bakar adalah lesi pada kulit.
Jakcson (1959) membagi daerah luka bakar menjadi 3 zona sebagai berikut.15,17
1. Zona koagulasi merupakan pusat luka dengan kerusakan yang paling parah.
Pada zona ini terjadi kehilangan jaringan yang permanen karena koagulasi
protein konstituen.
2. Zona statis ditandai dengan penurunan perfusi jaringan. Jaringan pada zona
ini adalah jaringan yang masih dapat diselamatkan. Tujuan utama dari
pengobatan luka bakar adalah memperbaiki perfusi pada zona ini dan
mencegah cidera yang bersifat ireversibel. Infeksi dapat menyebabkan tujuan
ini tidak tercapai dan menyebabkan kehilangan jaringan yang permanen.
3. Zona hiperemis merupakan zona terluar yang ditandai dengan peningkatan
perfusi sebagai respon inflamasi.
Ketiga zona ini adalah perspektif tiga dimensi. Kehilangan jaringan pada
zona statis akan menyebabkan luka menjadi semakin lebar dan dalam. 17 Luka
bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung atau radiasi
elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 440C tanpa
kerusakan bermakna, kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap
drajat kenaikan temperatur. Saraf dan pembuluh darah merupakan struktur yang
kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan pembuluh darah ini
mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah, dalam
hal ini bukan hanya cairan tetapi juga protein plasma dan elektrolit. Pada luka
bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas yang hampir menyeluruh,
penimbunan jaringan masif di intersitial menyebabakan kondisi hipovolemik.

11
Volume cairan iuntravaskuler mengalami defisit, timbul ketidak mampuan
menyelenggarakan proses transportasi ke jaringan, kondisi ini dikenal dengan
syok.15

Gambar 2.2 Zona luka bakar berdasarkan klasifikasi Jackson dan efek dari resusitasi adekuat
dan tidak adekuat
Diambil dari: Hettiaratchy & Dziewulski (2004)17
Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh
kegagalan organ multi sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ multi sistem
yaitu terjadinya kerusakan kulit yang mengakibatkan peningkatan pembuluh
darah kapiler, peningkatan ekstravasasi cairan (air, elektrolit dan protein),
sehingga mengakibatkan tekanan onkotik dan tekanan cairan intraseluler
menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus dapat mengakibatkan
hipopolemik dan hemokonsentrasi yang mengakibatkan terjadinya gangguan
perfusi jaringan. Apabila sudah terjadi gangguan perkusi jaringan maka akan
mengakibatkan gangguan sirkulasi makro yang menyuplai sirkulasi orang organ
organ penting, seperti otak, kardiovaskuler, hepar, traktus gastrointestinal dan
neurologi yang dapat mengakibatkan kegagalan organ multi sistem.18

12
Selain respon lokal, luka bakar juga menyebabkan respon sistemik.
Perubahan sistemik ini khas pada luka bakar dan tidak dijumpai pada jenis luka
yang lain. Perubahan ini muncul apabila area luka bakar mencapai 30% atau
lebih dari total luas permukaan tubuh. Perubahan sistemik tersebut berpengaruh
pada beberapa sistem sebagai berikut.17
1. Kardiovaskuler. Peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan hilangnya
protein intravaskuler dan cairan ke kompartemen interstisial. Terjadi
vasokonstriksi perifer dan penurunan kontraktiklitas miokardium karena
pelepasan Tumor Necrosis Factor (TNF)-α. Perubahan ini bersama dengan
kehilangan cairan pada daerah luka menyebabkan hipotensi sistemik dan
hipoperfusi organ.
2. Respirasi. Mediator-mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi dan
dapat menyebabkan sindrom gagal nafas.
3. Metabolik. Laju metabolism basal dapat meningkat 3 kali dibandingkan
keadaan normal. Berdasarkan hal tersebut penting untuk segera
memberikan asupan pangan secara enteral untuk menurunkan katabolisme
dan mempertahankan integritas lambung.
4. Imunologis. Respon imun mengalami penurunan regulasi secara non
spesifik, mempengaruhi baik respon humoral maupun sistemik.

2.1.4 Perhitungan Luas Luka Bakar


Penilaian yang akurat dari persentase luas luka bakar memerlukan metode
yang mudah untuk mengestimasi seberapa luas luka bakar dari seluruh
permukaan tubuh. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan
berdasarkan Rule of Nines (lihat gambar 2.3).16
Rule of Nines membagi permukaan tubuh ke area seluas 9 atau kelipatan
9% dengan pengecualian perineum yang berkontribusi 1% pada orang dewasa.
Dengan menerapkan perhitungan berdasarkan metode ini, diperoleh estimasi
luas dengan akurasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, selain
melakukan perhitungan luas luka bakar, perlu pula diperhitungkan area yang

13
tidak mengalami luka bakar, kemudian menggabungkan keduanya hingga
mencapai 100%.16,19

Gambar 2.3 Rule of Nines


Diambil dari: The Education Committee of Australian and New Zealand Burn Association
(2016)16

Metode lain untuk mengestimasi luka bakar yang kecil adalah dengan
menggunakan permukaan telapak tangan (didefinisikan dengan permukaan
telapak tangan dari distal palmar crease sampai dengan ujung kelima jari-jari)
dari tangan pasien, yang diperkirakan 1% dari luas permukaan tubuh. Cara ini
bermanfaat pada luka bakar yang tidak luas, luka tersebar, atau yang tidak
sesuai menggunakan metode estimasi menurut Rule of Nines (lihat gambar
2.4).16

14
Gambar 2.4 Permukaan Telapak Tangan
Diambil dari: The Education Committee of Australian and New Zealand Burn Association
(2016)16

Perhitungan menggunakan Rule of Nines relatif akurat pada dewasa,


namun tanpa modifikasi tidak akurat pada anak-anak. Hal ini disebabkan karena
perbedaan proporsi luas permukaan tubuh dibandingkan dewasa. Anak-anak
secara proporsional memiliki panggul dan tungkai lebih kecil, namun memiliki
kepala dan bahu lebih besar dibandingkan dewasa. Penerapan Rule of Nines
dewasa pada anak-anak akan menyebabkan kekurangan atau kelebihan estimasi
luas luka bakar, dan konsekuensinya adalah ketidaktepatan dalam perhitungan
kebutuhan cairan resusitasi.16
Karena alasan inilah, digunakan Pediatric Rule of Nines. Pada metode ini,
perhitungan dimodifikasi pada berbagai kelompok usia untuk memperoleh
akurasi perhitungan luas permukaan tubuh, terutama pada kepala dan
ekstremitas bawah. Untuk setiap tambahan tahun usia kehidupan (dalam
pembulatan tahun), 1% dikurangi dari kepala dan didistribusikan rata pada
ekstremitas bawah. Misalnya, anak usia 1 tahun mempunyai luas permukaan
tubuh 17% (18-1) pada kepala dan 14,5% (14+1/2) pada masing-masing
ekstremitas bawah, sedangkan anak usia 4 tahun mempunyai luas permukaan
tubuh 14% (18-4) pada kepala dan 16% (14 + 4/2) pada masing-masing
ekstremitas bawah (lihat gambar 2.5). Mulai usia 9 tahun, perhitungan dewasa
mulai diterapkan, termasuk luas 1% untuk perineum.16

Gambar 2.5 Pediatric Rule of Nines dan perubahan proporsi tubuh dengan usia

15
Diambil dari: The Education Committee of Australian and New Zealand Burn Association
(2016)16

2.1.5 Penatalaksanaan Luka


Setelah pertolongan pertama, tatalaksana luka bakar sebaiknya diterapkan
berdasarkan prinsip yang sama dengan perawatan luka manapun. Teknik aseptik
harus digunakan untuk meminimalisasi risiko kontaminasi dan harus berhati-
hati agar tidak terjadi kerusakan jaringan lebih jauh. Pada stadium akut, luka
bakar harus dicuci menggunakan larutan/cairan antibakteri. Larutan kloheksidin
0,1% atau 0,2% sering digunakan, namun apabila tidak bersedia dapat
menggunakan salin atau sabun dan air. Selama pembersihan, penting
diperhatikan bahwa dasar luka bersih, praktisi harus mengambil kulit lepas
dengan gunting atau forsep steril. Setelah area dibersihkan, pemeriksaan lebih
lanjut akan membantu menentukan kedalaman luka bakar.16
Dalam penatalaksanaan bula, terdapat 3 pilihan perawatan utama yang
membentuk dasar penatalaksanaan berupa (1) biarkan bula utuh, (2) bersihkan
semua bula, (3) keluarkan cairan dan biarkan kulit bula intak. Bula yang
berukuran kecil (<2 cm) umumnya dapat dibiarkan intak. Bula berukuran besar
(> 2 cm) atau tegang, terutama pada sendi harus dipecahkan dan dibalut setelah
pemberian analgesik. Pada pasien anak, bula yang lebih kecil mungkin perlu
debridemen karena menutupi permukaan yang relatif lebih besar. Bila luka
bakar terkontaminasi saat cedera atau saat pemberian pertolongan pertama, bula
juga harus dikelupas. Analgesia yang adekuat menjadi penting sebelum
pengelupasan bula. Di awalnya pembentukannya, bula dapat ditusuk dan
dikeluarkan cairannya. Seiring dengan berjalannnya waktu, cairan di dalam
menjadi lebih kental, bergelatin sehingga sulit dilakukan drainase.16
Luka bakar yang berwarna merah muda terang sampai merah dan sangat
nyeri tanpa bula kemungkinan besar hanya sedalam epidermis. Luka-luka ini
tidak memerlukan perawatan spesifik, namun memerlukan antinyeri karena

16
kemungkinan sangat nyeri. Krim pelembab bisa jadi satu-satunya yang
diperlukan dan tidak diperlukan pembalutan.16
Bila luka bakar terjadi di dermis superfisial, dasar bula biasanya memiliki
capillary refill cepat dan terdapat sensasi. Luka ini dapat sembuh spontan.
Setelah bula di dermis superfisialis dan epidermis dikelupas, papilla dermis
akan terpapar. Jika dibiarkan mengering atau menjadi terinfeksi, elemen
epidermal yang seharusnya berperan dalam epitelialisasi penyembuhan luka
bakar akan mati dan luka bakar menjadi lebih dalam. Luka bakar ini mungkin
tidak dapat sembuh spontan dan memelukan skin grafting. Perawatan yang
tepat untuk luka ini adalah balutan yang kompatibel secara biologis, seperti
balutan silikon, balutan perak atau balutan hidrokoloid. Balutan luka
biosintetik, kulit babi atau kulit cadaver manusia yang diawetkan juga mungkin
dapat digunakan, namun secara umum tidak untuk luka bakar minor karena
harganya mahal dan biasanya hanya digunakan untuk penatalaksanaan di unit
luka bakar. Beberapa luka bakar minor dapat ditatalaksana dengan balutan ini di
unit luka bakar dan dapat dipulangkan untuk dirawat jalan oleh dokter klinik
unit luka bakar.16
Luka bakar dermis superfisial akan terus-menerus mengalami eksudasi
serum akibat reaksi inflamasi. Beberapa balutan mungkin menjadi jenuh oleh
cairan luka dan harus lebih sering diganti. Kekerapan penggantian balutan
bergantung pada penatalaksanaan eksudat, pemilihan produk dan rencana
pemeriksaan ulang luka berikutnya. Balutan yang melekat ke kulit, seperti
balutan biosintetol atau berbagai bentuk kulit manusia yang diawetkan harus
dikelupas perlahan-lahan pada ujung-ujung proses epitelisasi.16
Pada kebanyakan kasus luka bakar, disarankan untuk melakukan
pemeriksaan ulang luka setelah 3 hari untuk memastikan bahwa penilaian
kedalaman luka yang eprtama sudah benar dan bahwa komplikasi luka bakar
(terutama infeksi) tidak terjadi. Perubahan penatalaksanaan dapat dilakukan
bila terdapat luka dermis dalam atau full thickness atau luka bakar terinfeksi
dari penilaian ulang.16

17
Luka bakar harus dimonitor ketat untuk mencari tanda-tanda infeksi.
Luka bakar yang nampak terinfeksi saat presentasi awal atau dinilai
memungkinkan untuk terkontaminasi saat kejadian harus diberi antibiotik
topikal sejak awal. Produk yang direkomendasikan di Australia dan Selandia
Baru adalah balutan perak lepas lambat. Setelah balutan pertama dipasang,
penting untuk diamankan dengan menempelkan plester atau balutan perekat.
Silver sulfadiazine 1% dapat digunakan, namun preparat ini sering membuat
luka bakar menjadi lembab dengan eksudat berwarna kaki (pseudoeskar) yang
menyulitkan infeksi dasar luka.16
Bukti apapun ke arah inflamasi sekitar atau tanda sistemik dari infeksi
menandakan sepsis invasif luka bakar. Pada tahap ini, hal yang sesuai untuk
dilakukan adalah merujuk pasien karena sepsis luka bakar invasif pada luka
bakar dermis biasanya menyebabkan cedera dermis dalam atau cedera full
thickness. Karena paparan menyebabkan keringnya luka dan luka menjadi lebih
dalam, perawatan terbuka pada luka bakar minot tidaklah tepat, kecuali pada
luka bakar epidermis. Bila pada penilaian ulang luka bakar, diagnosis awal luka
bakar superfisial ternyata salah, segeralah rujuk untuk pembedahan.16
Penatalaksanaan terbaik untuk luka bakar dermal dalam atau full
thickness masih kontroversial. Di Amerika Serikat, eksisi dan grafting
direkomendasikan secara dini, namun pendekatan yang lebih konservatif
biasanya diterapkan di Eropa. Dalam penatalaksanaan konservatif, pembedahan
ditunda hingga penilaian klinis mengindikasikan bahwa pembedahan tidak
dapat dihindarkan. Namun, waktu optimal untuk eksisi dan graft luka bakar
dermal dalam masih belum jelas. Pemilihan waktu penting karena eksisi awal
dapat menurunkan lama perawatan rawat sakit, tetapi meningkat risiko eksisi
yang berlebihan, sedangkan penundaan eksisi menurunkan risiko eksisi
berlebihan, tetapi meningkatkan risiko infeksi dan lama perawatan rumah sakit.
Eksisi yang berlebihan juga meningkatkan risiko pembentukan jaringan parut.
Jaringan parut biasanya muncul ketika penyembuhan luka berlangsung lebih
dari dua minggu atau setelah pembedahan. Oleh karena itu, penundaan

18
pembedahaan direkomendasikan hingga luka tidak sembuh dalam waktu 2
minggu.20
Intervensi bedah yang dilakukan pada luka bakar dapat dibagi menjadi
eskarotomi dan debridemen bedah. Eskarotomi merupakan prosedur bedah
yang dilakukan untuk menatalaksana luka bakar full-thickness, sirkumferensial.
Pada luka bakar tersebut, kombinasi antara kulit tidak elastis dan tampak kasar
akibat terbakar dan pembengkakan jaringan di bawahnya dapat mengobstruksi
sirkulasi dan menyebabkan kematian sel pada bagian tubuh yang sehati akibat
iskemia (misalnya, luka bakar full-thickness sirkumferensial di sekitar lengan
atas dapat menyebabkan nekrosis dan amputasi pada tangan). Untuk mencegah
kematian sel dan amputasi, insisi (eskarotomi) dibuat melalui eskar hingga
aliran darah mengalir kembali ke bagian tubuh yang berisiko. Selain itu,
eskarotomi pada dinding dada dilakukan untuk mengembalikan fungsi
pernapasan dan diindikasikan bila kulit yang terbakar mencegah ekspansi
dinding dada yang diperlukan untuk pernapasan.20
Debridemen bedah merupakan eksisi dengan pengangkatan seluruh
jaringan non-vital pada luka bakar dan dapat dibagi menjadi dua pendekatan
utama, yaitu eksisi fasial dan tangesial. Eksisi fasial atau avulsi hanya
dilakukan pada luka bakar full-thickness dengan merobek kulit yang terbakar
dan jaringan subkutan di bawahnya. Teknik ini dapat menyebabkan deformitas
pada tubuh, tetapi mengurangi kehilangan darah dibandingkan dengan eksisi
tangesial. Eksisi tangesial merupakan teknik yang paling sering digunakan pada
bedah luka bakar dan sering dikombinasikan dengan grafting. Dengan teknik
ini, seluruh jaringan yang tidak viabel diangkat lapis demi lapis sehingga
mempertahankan jaringan viabel sebanyak mungkin. Saat ini, prosedur ini
bahkan lebih sempurna dengan perkembangan bedah hidro yang digunakan,
terutama pada area fungsional kritis dan estetik. Grafting adalah transplantasi
kulit pada luka bakar yang telah dieksisi untuk memberikan penutupan luka
sementara atau permanen. Waktu grafting dapat segera (dalam prosedur yang
sama dengan eksisi awal) atau delated (prosedur lanjutan). Bahan transplantasi
kulit dapat berasal dari individu yang sama (autolog), individu lain dengan

19
spesies yang sama (homolog), dan spesies yang berbeda (heterolog). Terdapat
dua jenis graft, yaitu full-thickness graft dan split skin graft (SSG). Full-
thickness graft terdiri atas seluruh lapisan dermis dan epidermis serta lebih
sering dilakukan untuk bedah rekonstruktif daripada bedah primer. SSG terdiri
atas epidermis dan beberapa lapis demis dan sering dilakukan pada bedah
primer. SSG dapat dibagi menjadi meshed, unmeshed, atau Meek-Wall graft.
SSG yang tidak dimodifikasi unmeshed, tetapi ketika sedikit insisi dibuat pada
SSG, SSG dapat meluas hingga 6 kali lipat dari ukuran asli (meshed graft).
Teknik lain untuk meningkatkan permukaan graft adalah teknik Meek-Wall.
Dengan teknik ini, SSG dibagi menjadi persegi berukuran kecil atau skin
islands, lalu ditransplantasikan pada luka bakar yang dieksisi.20
2.1.6 Penyembuhan pada Luka Bakar
Tubuh secara normal akan merespon terhadap luka melalui proses
peradangan yang dikarakteristikan dengan lima tanda utama yaitu bengkak,
kemerahan, panas, nyeri dan kerusakan fungi. Proses penyembuhannya
mencakup beberapa fase, yaitu15,21-22
1. Fase Inflamasi
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses utama
terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis
(penghentian perdarahan) akibat vasokonstriksi pembuluh darah besar di
daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan
jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Krusta (keropeng)
juga dibentuk dipermukaan luka. Krusta membantu hemostasis dan
mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Di bawah krusta, sel
epitel berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel membantu sebagai barier antara
tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Suplai
darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang
diperlukan pada proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel
berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial.
Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih

20
kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme
dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga
mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan
ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama
mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting
bagi proses penyembuhan.
Respon segera setelah terjadi cedera akan terjadi pembekuan darah untuk
mencegah kehilangan darah. Karakteristik fase ini adalah tumor, rubor,
dolor, kalor, functio laesa. Lama fase ini bisa singkat jika tidak terjadi
infeksi.
2. Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke–21. Jaringan
granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh darah
yang baru, fibronektin dan asam hialutonat. Fibroblas (menghubungkan sel-
sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah
terjadi luka. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar yang
disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah
substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Jumlah
kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga
kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi dan epitelisasi tumbuh
melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan
nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.
3. Fase Maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus
mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam struktur
yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan
meninggalkan garis putih. Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang
merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen
yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen yang baru
yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan. Terbentuk
jaringan parut 50–80% sama kuatnya dengan jaringan sebelumnya.

21
Kemudian terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas selular dan
vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan.
Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua
yaitu: akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi
dalam jangka waktu 2–3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis
luka yang tidak tanda-tanda untuk sembuh dalam jangka lebih dari 4–6 minggu.
Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan
lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipa cedera
jaringan luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus tungkai,
luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat
tindakan bedah. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika
mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif,
fase proliferatif, dan fase maturasi. Kemudian disertai dengan berkurangnya
luasnya luka, jumlah eksudat berkurang, jaringan luka semakin membaik.22

2.2 Infeksi pada Luka Bakar


Flora normal bakteri endogen pada kulit resistan terhadap cedera panas
pada suhu yang sama dengan sel kulit. Bakteri pada permukaan dan sel
permukaan jaringan mati karena panas sehingga kultur awal luka bakar
biasanya steril. Bakteri pada folikel rambut dan kelenjar sebasea dapat bertahan
hidup (tergantung pada luas luka bakar) dan hitung kuantitatif pada spesimen
biopsi dapat menunjukkan jumlah bakteri per gram yang sama (103) sebelum
jaringan mengalami luka bakar. Rerata waktu yang diperlukan untuk regenerasi
sel pada kondisi optimal adalah 20 menut. Oleh karena, itu sel bakteri tunggal
dapat meningkat jumlahnya hingga lebih dari 10 milyar dalam waktu 24 jam.
Karena jumlah bakteri meningkat setelah cedera termal dan mencapai kadar >
103 bakteri per gram jaringan, bakteri mulai bermigrasi ke sekitar luka bakar,
mengkolonisasi batas antara kulit dan jaringan subkutan. Jika luka bakar tidak
diterapi dengan baik, pertumbuhan perivaskuler disertai dengan trombosis
pembuluh darah dan nekrosis elemen dermis berpotensi mentransformasi luka
bakar partial thickness menjadi full thickness. Seiring dengan peningkatan laju

22
pertumbuhan bakteri, insidens invasi jaringan viable dan septikemia pun
meningkat. Secara histologis, infeksi invasif nampak bersamaan dengan bakteri
pada jaringan yang tidak mengalami luka bakar. Tanda lain invasi adalah
dijumpai perdarahan pada jaringan yang tidak mengalami luka bakar, trombosis
pembuluh darah berukuran kecil dengan nekrosis iskemik pada jaringan yang
tidak mengalami luka bakar, dan pertumbuhan bakteri dalam jumlah besar pada
ruang subeschar. Kolonisasi bakteri awalnya dimulai dari koloni bakteri gram
positif, lalu berkembang menjadi koloni bakteri gram negatif. Pada hari ke-21
pascaluka bakar, 57% luka bakar yang masih terbuka akan dikolonisasi dengan
extended-spectrum β-lactamase Pseudomonas.22
Luka bakar sebagaimana disebutkan di atas menimbulkan keadaan
imunosupresi. Infeksi dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara
equilibrium normal bakteri dengan pertahanan tubuh pasien yang menyebabkan
pertumbuhan berlebihan bakteri pada luka bakar. Luka bakar juga merupakan
lingkungan yang baik untuk pertumbuhan bakteri karena tersedianya nutrisi
yang cukup yang berasal dari jaringan-jaringan mati. Kolonisasi bakteri dapat
bersumber dari bakteri endogen maupun eksogen.23
Luka bakar yang signifikan menginduksi keadaan imunosupresi, meliputi
supresi imunitas non-spesifik dan imunitas spesifik. Selain faktor imunosupresi,
lama perawatan di rumah sakit dapat menyebabkan infeksi nosokomial yang
memperberat infeksi pada luka bakar.22
Infeksi bakteri pada luka bakar dibagi menjadi tiga derajat sebagai
berikut.22,24
1. Kolonisasi merupakan keadaan di mana dijumpai bakteri pada permukaan
luka bakar dalam konsentrasi yang rendah. Diagnosis patologi kolonisasi
pada luka bakar ditegakkan bila dijumpai < 105 bakteri per gram jaringan
pada permukaan luka. Tidak dijumpai ada eritema atau selulitis di sekitar
luka, namun penurunan permukaan luka dapat diamati. Secara klinis, eskar
atau pseudoeskar dapat menunjukkan penampakan infeksi, namun tidak
dijumpai selulitis di sekitar (Gambar 2.6).22,24

23
Gambar 2.6 Kolonisasi luka bakar
Diambil dari: Gallagher, dkk (2012)22

2. Infeksi didefinisikan sebagai kondisi di mana dijumpai bakteri pada luka dan
eskar luka dalam konsentrasi tinggi, namun tidak dijumpai infeksi invasif.
Diagnosis patologi infeksi ditegakkan bila dijumpai > 10 5 bakteri per gram
jaringan pada permukaan luka atau krusta. Secara klinis, selulitis merupakan
dasar diagnosis infeksi pada luka bakar. Selulitis ditandai dengan eritema
jangka panjang, hangat, dan nyeri tekan (Gambar 2.7).22 Infeksi pada
jaringan sehat sekitar luka bakar disertai dengan perabaan hangat pada area
tersebut, nyeri atau nyeri tekan, pembengkakan atau indurasi. Limfangitis
dapat dijumpai, namun jarang.24 Luka bakar dini dengan eriterima yang
memucat di sekitarnya dan menyerupai luka bakar derajat I atau eritema
pada luka bakar sehingga tidak diperlukan antibiotik. Namun, luka bakar
dengan selulitis di sekitar secara klinis memiliki riwayat atipikal atau
presentasi lanjut. Warna dan bau membantu dokter untuk membantu
diagnosis infeksi.22

Gambar 2.7 Infeksi luka bakar


Diambil dari: Gallagher, dkk (2012)22

24
3. Luka bakar invasif merupakan keadaan di mana dijumpai bakteri pada luka
bakar dan area sekitar dalam konsentrasi yang cukup tinggi (>10 5 koloni per
gram jaringan) disertai dengan area untuk menyebabkan pemisahan supuratif
esckar atau graft loss, invasi pada jaringan sekitar yang tidak mengalami
luka bakar, dan menyebabkan respon infeksi sistemik (sindrom sepsis).
Infeksi invasif luka bakar dapat terjadi tanpa sepsis, namun banyak infeksi
invasif luka bakar berkembang cepat, mengancam kehidupan, dan
memerlukan penatalaksaan bedah cepat sebagai bagian dari spektrum
penanganan untuk mencapai kontrol luka yang baik (Gambar 2.8). Diagnosis
klinis dapat ditegakkan bila dijumpai sepsis dan perubahan penampakan luka
dari merah mudah dan putih menjadi kuning, cokelat, hitam, biru dan hijau
dengan bau yang khas.22,24 Waktu dan beberapa agen topikal juga dapat
menyebabkan perubahan warna sehingga dapat mengacaukan diagnosis.
Oleh karena itu, perlu dikenali tanda khas dari infeksi luka bakar invasif
adalah perubahan area luka bakar partial-thickness menjadi nekrosis full-
thickness atau nekrosis jaringan yang sebelumnya viable pada dasar luka
yang dieksisi. Bula hemoragik, lesi satelit, dan perubahan dari kulit normal
menjadi eritem hingga nekrotik karakteristik patogen gram negatif agresif,
biasanya Pseudomonas sp. Lesi ini dikenal sebagai ektima gangrenosa.
Pasien yang mengalami penundaan manifestasi klinis atau pengangkatan
jaringan yang terbakar berisiko tinggi mengalami luka bakar invasif.21

Gambar 2.8 Luka bakar invasif


Diambil dari: Gallagher, dkk (2012)22

25
Selain jaringan-jaringan mati yang menyebabkan luka bakar menjadi
lingkungan yang baik untuk pertumbuhan bakteri, beberapa faktor lain juga
berpengaruh terhadap kolonisasi bakteri pada luka bakar. Faktor pasien seperti
usia, lamanya paparan dengan penyebab luka bakar, kedalaman luka, ditambah
dengan faktor mikroorganisme seperti tipe dan jumlah bakteri, produksi enzim
dan toksin juga berpengaruh pada keparahan infeksi pada luka bakar.25
Pada luka bakar, infeksi pasien dapat disebabkan oleh berbagai sumber.
Pada pasien luka bakar, infeksi dapat berkembang dari berbagai sumber. Pada
awalnya luka bakar akan terinfeksi oleh bakteri gram prositif terutama
Staphylococcus. Bakteri gram positif dijumpai pada hari-hari awal luka bakar
dan akan mengalami supresi pada minggu kedua oleh infeksi bakteri gram
negatif. Infeksi bakteri gram negatif terutama disebabkan oleh Pseudomonas
aeruginosa pada minggu kedua terjadinya luka bakar.3,25 Infeksi bakteri yang
sering dijumpai pada kasus luka bakar adalah infeksi bakteri gram positif,
seperti Staphylococcus aureus, termasuk S. aureus resistan metisilin (MRSA),
spesies Enterococcus, termasuk spesies resistan vankomisin dan infeksi bakteri
gram negatif, seperti Escherichia coli, Pseudomonas aeuroginosa, Klebsiella
sp, Enterobacter sp, dan Proteus sp. Naqvi, dkk melaporkan bahwa sekitar 30%
infeksi luka bakar disebabkan oleh bakteri gram positif (Staphylococcus dan
Enterococcus koagulase positif dan negatif. Staphylococcus aureus dijumpai
pada 23% isolat. Sekitar 70% infeksi luka bakar disebabkan oleh bakteri gram
negatif (termasuk P. aeroginosa oksidase positif (50% dari seluruh isolat) dan
koliform oksidase negatif (21% dari seluruh isolat)). Proteus sp dan
Enterobacter sp dijumpai pada 9-18,4% dan 7,5-10% isolat.3

2.2.1 Eritema Luka Bakar


Luka bakar yang paling sering dijumpai berukuran kurang dari 10% total
luas permukaan tubuh. Bila diterapi dini, luka bakar berukuran kecil ini
umumnya steril. Untuk mengevaluasi kemungkinan infeksi pada luka bakar dan
menentukan kebutuhan antibiotik, dokter harus mengamati fenomena eritema
pada luka bakar. Eritema luka bakar merupakan area kemerahan di sekitar luka

26
bakar yang bukan merupakan manifestasi luka bakar epidermal dan tidak
infeksius. Eritema umumnya muncul dalam 2-3 hari setelah luka bakar dan
menghilang pada hari ke-5 atau ke-6. Eritem berkaitan dengan pelepasan
sitokin dan mediator inflamasi lainnya. Berbeda dengan selulitis, eritema luka
bakar bisanya tidak nyeri saat perabaan. Gambar 2.9 menunjukkan eritema luka
bakar.19

Gambar 2.9 Eritema luka bakar pada luka bakar air panas
Diambil dari: Gallagher, dkk (2012)22

2.2.2 Impetigo pada Luka Bakar


Impetigo merupakan kondisi yang sering dijumpai pada pasien luka
bakar. Impetigo pada luka bakar merupakan abses superifisial multifokal
berukuran kecil yang dapat menyebabkan destruksi ekstensif pada healed split-
thickness skin grafts dan donor kulit, bahkan graft melting atau ghosting.
Kondisi ini disebabkan oleh kolonisasi bakteri pada luka bakar.22

27
Gambar 2.10 Impetigo pada luka bakar
Diambil dari: Gallagher, dkk (2012)22

2.2.3 Kultur pada Luka Bakar


Inspeksi harian pada luka bakar oleh dokter spesialis bedah penting dalam
pengambilan keputusan kultur pada luka bakar. Luka bakar mayor biasanya
dikolonisasi atau diinfeksi dalam 3-5 hari setelah perawatan di rumah sakit.
Infeksi sering berasal dari flora bakteri pasien dan umumnya tidak berasal dari
sumber eksogen. Biopsi luka bakar harus dilakukan bila area luka berubah
penampakan. Kultur kuantitatif menunjukkan tingginya jumlah bakterial yang
berkaitan bukti histologis infeksi pada luka bakar pada 80% kasus. Bila biopsi
kuantitatif menunjukkan lebih 103 organisme/gram jaringan, penggantian terapi
topikal harus dilakukan. Jika jumlah bakteri melebihi 105/gram jaringan, infeksi
luka bakar terlokalisasi harus dipertimbangkan dan pemeriksaan histopatologi
harus dilakukan. Bila bukti histopatologi menunjukkan invasi, antibiotik
sistemik harus diberikan dan luka harus dieksisi. Sepsis bakterial umumnya
ditandai dengan perubahan warna, bau, dan jumlah eksudat luka, sedangkan
invasi jamur ditunjukkan secara klinis oleh perubahan warna hitam yang cepat
dan meluas pada luka.22

28
Terdapat variasi praktik kultur luka rutin pada kasus luka bakar. Tabel 2.1
merangkum alasan dan tujuan kultur pada luka bakar.22
Tabel 2.2 Kultur luka pada perawatan luka bakar

1. Kultur awal harus negatif atau memiliki jumlah koloni yang rendah. Oleh karena itu, kultur
positif atau dengan jumlah koloni tinggi menunjukkan kontaminasi awal luka bakar.
2. Jika dicurigai infeksi luka bakar invasif, kultur luka dan analisis histologi dapat membantu
konfirmasi diagnosis klinis.
3. Kultur rutin dan identifikasi koloni dapat membantu pemilihan antimikrobial empiris bila
pasien terinfeksi.
4. Peningkatan jumlah koloni menunjukkan perlunya penggantian agen terapi antimikrobial
topikal.
5. Kolonisasi luka oleh organisme virulen dan resistan merupakan prediktor infeksi luka
bakar invasif impending.
6. Luka operatif dengan jumlah koloni > 106 menunjukkan risiko tinggi komplikasi infeksi
dan kegagalan graft.
7. Kultur luka bakar dapat membantu evaluasi penyebaran organisme nosokomial dan
memandu praktik pengendalian infeksi.
Didapat dari: Gallagher, dkk (2012)22

2.2.3.1 Analisis Spesimen Luka Bakar


Untuk mengetahui perbaikan luka bakar, mengidentifikasi seluruh
patogen potensial, dan melakukan uji kepekaan antibiotik, petugas laboratorium
mikrobiologi klinik menganalisis swab superfisial dan sampel jaringan.
Prosedur analitik primer digunakan untuk melakukan kultur swab dan sampel
jaringan berupa pewarnaan gram, kultur apusan permukaan, kultur kuantitatif
jaringan dan analisis histologis.26
1. Pewarnaan Gram
Penggunaan pewarnaan untuk analisis rutin mikrobiologi pada permukaan
luka bakar telah dievaluasi melalui pemeriksaan spesimen serial pada luka
bakar. Derajat kolerasi antara pewarnaan gram dan kultur swab permukaan
cukup baik. Walaupun memberikan indeks derajat kolonisasi bakteri pada
luka bakar, pewarnaan gram tidak sesuai untuk mendiagnosis infeksi luka
bakar dan tidak memberikan informasi tentang profil kepekaan antimikroba
dari mikroba yang mengkolonisasi atau menginfeksi luka bakar.
2. Kultur apusan permukaan

29
Kultur apusan permukaan luka bakar dilakukan secara rutin untuk
memberikan hasil kualitatif atau semikuantitatif. Apusan digunakan untuk
menginokulasi darah dan piring agar MacConckey dengan loop steril dan
menginokulasi permukaan dengan metode empat kuadran. Pertumbuhan
koloni diamati pada piring setelah inkubasi aerobic selama 24 jam pada suhu
370C. Laporan mikrobiologi kualitatif memberikan identifikasi seluruh
patogen potensial tanpa disertai jumlah dan hasil uji kepekaan antibiotik
terhadap isolat. Laporan mikrobiologi semikuantitatif meliputi perkiraan
predominansi relatif seluruh patogen potensial berdasarkan pertumbuhan di
setiap kuadran piring (misalnya +1, +2, +3, dan +4), identifikasi setiap genus
dan/atau spesies patogen dan hasil uji kepekaan antibiotik.
Hitung kuantitatif dilaporkan dari permukaan kultur apusan dari area
standar yang diapus (misalnya 4cm2 dari permukaan luka bakar). Suspensi
bakteri dilakukan vorteks pada apusan dalam 1 ml Tween 80 selama 1 menit.
Suspensi bakteri kemudian ditempatkan pada agar darah dan Mac-Conkey
dengan kuantitas 0,1 dan 0,01 ml dengan menyebarkan sampel pada
permukaan agar menggunakan sterile spreading rod. Hitung koloni
dilakukan untuk memdapatkan jumlah per cm2 permukaan luka bakar untuk
seluruh patogen potensial yang diisolat. Laporan kultur mikrobiologi
kuantitatif memberikan jumlah pasti per cm 2 seluruh patogen potensial,
termasuk identifikasi setiap genus atau spesies patogen dan hasil uji
kepekaan antibiotik.
3. Kultur kuantitatif jaringan
Lebih dari tiga dekade, Loebl dkk mengembangkan dan mengevaluasi
metode kuantitatif kultur bakteri dari sampel luka bakar yang diadopsi dalam
praktis klinis. Metode original ini berdasarkan pengumpulan spesimen biopsi
luka bakar yang ditempatkan pada salin nonbakteriostatik steril diikuti
dengan maserasi dan preparasi doubling 10-fold dilusi. Sekitar 0,1 ml aliquot
setiap dilusi ditempatkan pada permukaan medium agar nonselektif, diikuti
dengan inkubasi sepanjang malam pada suhu dan kondisi atmosferik yang

30
tepat untuk mendukung pertumbuhan mikrobial. Infeksi luka bakar
ditegakkan pada kultur kuantitatif yang mendukung load patogen bakteri
potensial pada jaringan sebesar ≥104 atau 105 per gram jaringan. Luaran
klinis penelitian yang dilakukan oleh Loebl dkk menunjukkan bahwa kultur
biopsi jaringan luka bakar berkorelasi positif dengan bukti histologis invasi
bakteri pada jaringan di bawah eskar. Densitas jaringan >105 CFU/gram
jaringan untuk patogen potensial menegakkan diagnosis infeksi luka bakar
dan memprediksi sepsis.
Laboratorium mikrobiologis klinis masih menggunakan metode asli yang
dikembangkan oleh Loebl untuk melakukan kultur biopsi jaringan
kuantitatif. Sampel biopsi jaringan luka bakar ditimbang dan dihomogenisasi
dalam 1 ml Tween 80 1% menggunakan disposable tissue grinder hingga
hanya serat jaringan minimal yang tersisa. Sekitar 0,1 ml dan 0,01 ml
suspensi bakteri dari sampel biopsi dihomogenisasi tanpa pengenceran, lalu
disebar di sepanjang permukaan piringan agar darah dan MacConkey
menggunakan spreading rod steril. Bila hitung koloni tinggi dicurigai, lalu
jaringan asli yang dihomogenisasi didilusi 1: 10 hingga 1: 10.000 dan 0,1 ml
dan 0,01 ml suspense juga ditempatkan dengan teknik yang sama. Piringan
diinkubasi secara aerobic selama 24 jam pada suhu 37 0C. Hitung koloni
dilakukan besok untuk memperoleh hitung bakteri per gram jaringan.
Seluruh patogen potensial yang ada dalam jumlah yang signifikan (misalnya
> 105 CFU/ml) diidentifikasi hingga level genus dan/atau spesies.
Selanjutnya, dilakukan uji kepekaan antibiotik.
Buchanan dkk juga melaporkan modifikasi semikuantitatif metode ini
yang memberikan indeks prediktif sepsis luka bakar yang serupa dengan
kultur biopsi kuantitatif. Real-time PCR digunakan untuk menghitung
jumlah Pseudomonas aeruginosa pada sampel biopsi luka. Walaupun metode
molekuler memungkinkan kuantifikasi organisme individual secara cepat,
kultur biopsi jaringan bakteri masih diperlukan untuk mengidentifikasi dan
melakukan uji kepekaan antibiotik pada tipe bakteri yang berbeda.

31
4. Analisis Histologi
Diagnosis histologi infeksi luka bakar berdasarkan pada observasi
mikroorganisme yang menginvasi jaringan viabel di bawah permukaan
eskar. Mitchell dkk melakukan salah satu dari beberapa penelitian yang
membandingkan hasil analisis histologis dan kultur biopsi jaringan
kuantitatif. Blok jaringan langsung diimersi pada solusi fiksasi solusi fiksasi
Bouin selama 2 jam, lalu didehidrasi dan ditanam pada paraffin dengan
modifikasi teknik manual cepat yang memungkinkan potongan biopsi yang
dievaluasi selama 4 jam. Potongan jaringan yang dipotong dengan mikrotom
diwarnai dengan pewarnaaan metilen biru, hematoksilin, dan eosin, dan
asam-Schiff periodik. Pengamatan spesimen biopsi luka bakar
memungkinkan perkembangan sistem penilaian keterlibatan mikrobial
berdasarkan derajat dan kedalaman penetrasi mikroba (Tabel 3). Tidak ada
pertumbuhan mikroorganisme pada kultur biopsi kuantitatif berkorelasi
dengan derajat 0 dan 1a pada analisis histologis, sedangkan spesimen biopsi
derajat Ib, II, dan III memberikan kultur kuantitatif positif berkisar 10 3-106
organisme/gram atau lebih dan seluruh spesimen biopsi derajat IV
menunjukkan hitung bakteri lebih besar dari 10 4 organisme/gram jaringan.
Korelasi dengan kultur jaringan kuantitatif menunjukkan bahwa derajat 0
dan 1a menunjukkan kolonisasi, tetapi tidak ada infeksi pada luka bakar,
derajat Ib dan II menunjukkan peningkatkan koloni dan invasi dini
mikroorganisme ke dermis superfisial, dan derajat III dan IV menunjukkan
infeksi luka bakar dan perlunya terapi yang lebih agresif.
Tabel 2.3 Penentuan derajat histologi biopsi jaringan untuk infeksi luka bakar
Derajat Deskripsi Histologis
0 Tidak ada mikroorganisme yang diamati pada potongan
I Mikroorganisme terbatas pada permukaan luka bakar
Ia Kontaminasi oleh sedikit bakteri
Ib Kolonisasi oleh berbagai organisme
II Mikroorganisme mempenetrasi dermis superfisial
III Kolonisasi bakteri diamati pada demis
IV Invasi mikroba terjadi pada eskar luka bakar, jaringan viabel yang
berdekatan dan hypodermis
Didapat dari: Chruch, dkk (2006)26

32
Walaupun demikian, mikrobiologi kuantitatif bukan pengganti diagnostik
untuk pemeriksaan histologis karena hitung jaringan yang tinggi dapat
dijumpai selama kolonisasi yang tidak berkorelasi dengan invasi jaringan
mikroskopik. Kedalaman luka juga dapat dinilai secara akurat melalui
pemeriksaan histologi. Teknik baru yang mengukur kedalaman luka bakar
berdasarkan oklusi mikrovaskuler kulit baru dideskripsi. Lima potongan
terpisah diamati pada setiap sampel biopsi luka bakar dan kedalaman luka
dinyatakan sebagai persentase ketebalan kulit total. Penilaian histologi ini
dan laser Doppler berkorelasi baik dengan perkiraan klinis kedalaman luka
bakar. Oleh karena itu, manfaat utama analisis histologi berupa memberikan
gambaran tentang derajat dan kedalaman kolonisasi mikroorganisme pada
eksar luka bakar dan jaringan viabel sekitar yang tidak dapat diperoleh oleh
uji mikrobiologis secara akurat.26

2.2.3.2 Metode Penghitungan Kuman


Terdapat beberapa metode untuk menghitung pertumbuhan bakteri di
laboratorium agar peneliti dapat menentukan konsentrasi dan makromolekul
DNA, RNA, protein atau populasi sel bakteri sebagai parameter pertumbuhan
bakteri. Di laboratorium klinis peneliti lebih menyukai cara menentukan
pertumbuhan bakteri untuk mengetahui jumlah bakteri yang berada dalam
pemeriksaan karena hal ini berkaitan langsung dengan kejadian infeksi pada
penderita. Metode yang umum dipergunakan adalah sebagai berikut.27
1. Pengukuran Densitas Sel (Cell Density Measurement)
Pengukuran densitas sel mengacu pada teori bahwa jumlah bakteri dalam
kultur meningkat akan diikuti dengan meningkatnya tingkat densitas atau
kekeruhan suatu kultur. Perubahan densitas ini yang kemudian dideteksi
dengan spektrofotometer dan diukur dalam satuan ODE (Optical density)
unit, kemudian dibandingkan dengan standar dalam perhitungan
pertumbuhan logaritmik.
2. Metode Hitung Sel Bakteri

33
Cara pengukuran pertumbuhan bakteri ini dapat dikerjakan secara langsung
dengan menghitung bakteri satu per satu di bawah mikroskop dengan
bantuan alat kalibrasi penghitung Petroff–Hauser. Teknik ini dapat
menghitung jumlah bakteri per satuan volume namun tidak dapat
membedakan bakteri yang hidup dan mati. Teknik yang lain yaitu dengan
penghitungan bakteri secara tidak langsung. Disebut tidak langsung karena
yang dihitung adalah koloni yang tumbuh dari media setelah bahan
pemeriksaan disebarkan pada permukaan media dan dieramkan.
Diasumsikan bahwa satu koloni tumbuh dari satu bakteri hidup.
Terdapat tiga cara dalam pengambilan specimen pada hitung koloni untuk
specimen luka yaitu tissue biopsy, needle aspiration dan swab kultur.
Masing-masing pemeriksaan ini mempunyai kekurangan. Swab kultur
merupakan cara yang paling praktis dan sering digunakan. Teknik swab yang
paling banyak direkomendasikan adalah broad Z-stroek dan Levine.
Pemeriksaan swab spesimen dapat menghitung koloni kuman baik secara
kuantitatif maupun semikuantitatif. Sediaan spesimen diencerkan dan
diinokulasi pada media agar gula. Jumlah pertumbuhan di media inokulasi
dihitung dengan konversi kuantitatif atau semikuantitatif.28

2.2.4 Penatalaksanaan Infeksi pada Luka Bakar


Penatalaksanaan kolonisasi pada luka bakar adalah perawatan luka bakar
berkelanjutan dengan pembersihan luka, pemberian antibiotik topikal, dan
terapi bedah. Bila penghitungan koloni kuman dilakukan secara serial dan
menunjukkan peningkatan jumlah koloni, penggantian agen topikal
direkomendasikan.22
Penatalaksanaan umum luka bakar yang terinfeksi meliputi pembersihan
luka, aplikasi antimikrobial topikal, dan antimikrobial sistemik. Organisme
yang sering dijumpai biasanya drug-sensitive Staphylococcus sehingga
antimikrobial dapat mulai diberikan. Pilihan antibiotik lanjutan dan durasi

34
terapi dapat ditentukan oleh hasil kultur dan uji sensitivitas atau perkembangan
luka secara klinis. Jika kondisi, penampakan klinis, dan riwayat komorditas
mendukung kecurigaan patogen gram negatif, antimikrobial harus disesuaikan.
Luka yang tidak ditangani dengan baik kadang-kadang dapat berkembang
menjadi full thickness, bahkan memiliki area pus di dalam eskar. Kecurigaan
klinis kondisi ditegkkan bila eskar yang mengering disertai fluktuasi pada
pemeriksaan. Area ini harus dibuka, seperti halnya abses lainnya melalui insisi
atau partial sharp ecshar removal. Perhatian khusus harus diberikan pada
evaluasi luka bakar pada populasi usia lanjut dan penderita diabetes karena
respons inflamasi tidak tampak jelas dan luka bakar cenderung berat.22
Penatalaksanaan infeksi invasif luka bakar adalah resusitasi urgensi
diikuti dengan pemberian agen antimikroba spektrum luas dan debridemen
bedah berupa eliminasi seluruh jaringan nekrotik, terutama pengangkatan otot
yang mati. Terapi bedah harus agresif pada kasus fasitis nekrotikans agar luka
dapat terkontrol dan mendukung graft. Kontrol bedah memungkinkan konversi
eksisi tangensial hingga fasia atau amputasi menjadi operasi limb salvage. Otot
mati merupakan permasalahan karena area yang terganggu yang dapat tertutup
dari pandangan akibat otot mati. Pada luka bakar yang berukuran luas, jaringan
nekrotik dan hilangnya kulit disertai imunosupresi menyebabkan pendekatan
bedah sangat agresif. Operasi awal untuk mengkontrol infeksi invasif luka
bakar sering tidak meliputi wound coverage selain soaking dressing, dengan
perencanaan untuk operasi ulang di masa mendatang. Analisis histopatologis
dan mikrobiologis harus dilakukan pada spesimen jaringan ini untuk membantu
identifikasi organisme penyebab.24 Pilihan antimikrobial empiris harus spektrum
luas mencakup fungi, organisme gram positif dan negatif resistan obat. Bila
patogen diidentifikasi dan sensitivitas dilaporkan, penatalaksanaan
antimikrobial sesuai dengan informasi ini disertai upaya persisten untuk
mencakup organisme terkait dalam dosis antibiotik efektif yang adekuat dan
well-timed dengan aktivitas spesifik terhadap patogen. Penatalaksanaan
terhadap permukaan kulit juga agresif meliputi pengangkatan komplit jaringan

35
mati dan pemberian antimikrobial topikal, meliputi nitrat perat, sulfamilon, dan
larutan Dakin. Agen ini dapat diberikan bersamaan dengan nistatin topikal
untuk meningkatkan kemampuan untuk mengeliminasi jamur. Selain itu,
peningkatan frekuensi soaking dressing hingga 4 kali sehari direkomendasikan.
Penatalaksanan terbaik infeksi invasif luka bakar adalah pencegahan. Luka
bakar yang berukuran besar harus ditatalaksana dengan baik secara operatif
melalui pengangkatan jaringan mati secara agresif sebelum terinfeksi agar
reservoir pertumbuhan bakteri dapat dieliminasi.22

2.3 Silver Sulfadiazine (SSD)


Silver sulfadiazine (Silvadene, Thermazine, Flamazine, SSD) merupakan
kombinasi antara sulfadiazin dan perak dengan persentase 1%. SSD merupakan
polimer memiliki ion perak tetracoordinated yang dikelilingi oleh tiga molekul
sulfa terdeprotonisasi.7

Gambar 2.11 Struktur molekul silver sulfadiazine


Diambil dari: Venkataraman & Nagarsenker (2013)7

Setiap molekul sulfa akan berikatan dengan tiga ion perak yang berbeda.
Perak yang terdisosiasi dari SSD akan berikatan dengan komponen sel,
termasuk DNA bakteri diikuti dengan aktivasi komponen sulfadiazine dalam
beberapa menit. Ion perak berikatan dengan DNA organisme, melepaskan
sulfonamide yang mengganggu jalur metabolik intermediet mikroba.8,29,30 Atom
perak menempel pada kelompok tiol enzim yang terlibat dalam proses biologis
penting pada mikroba, termasuk transpor ion dan pembentukan energi
transmembran. Perak mengkatalisasi reaksi oksidasi antara oksigen dan atom
hidrogen dari tiol, menghasilkan ikatan disulfadia dan menghambat
pertumbuhan bakteri. Perubahan molekul biologis penting pada sel

36
menyebabkan perubahan struktur seluler yang dapat menyebabkan gangguan
fungsi, bahkan kematian sel mikroba. Ion perak juga dapat menginaktivasi
subunit ribosom 30S, sintase-koenzim A, adolase fruktosa bifosfat, dan
transporter maltose yang berperan penting dalam proses respirasi sel bakteri.
Perak juga akan berikatan dengan pasangan basa DNA sehingga mengganggu
ikatan hidrogen antara pasangan basa purin dan pirimidin, merusak struktur
heliks ganda, yang selanjutnya akan merusak membran sel bakteri secara
langsung dan menghambat proses transkripsi.31 Komponen perak juga dapat
bekerja pada bakteriofag dengan cara yang sama.8,32
Perak mempunyai efek yang sinergis dengan sulfadiazine dalam
menghambat pertumbuhan bakteri. SSD merupakan salah satu formula
tradisional yang mempunyai peran penting dalam menghambat sistem transport
molekuler, mengganggu stabilitas DNA dan menurunkan replikasi bakteri. Di
samping itu, SSD juga menunjukkan efek antimikrobial dengan menghancurkan
struktur molekul bakteri dan meningkatkan produksi metabolit tidak aktif dan
tidak terlarut. Metabolit ini lebih jauh akan menghambat infeksi bakteri,
mengurangi inflamasi lokal dan mempromosikan penyembuhan luka.33
Polimer alamiah SSD tidak larut air dan media organik. SSD larut pada
larutan amoniak 30%. Kelarutan SSD yang rendah menyebabkan potensi
toksisitas yang minimal terhadap mikroorganisme dan sulitnya penggabungan
bahan polimer sintetik/alamiah SSD.7 Kelarutan yang rendah dapat menurunkan
potensi toksik minimal terhadap mikroorganisme. SSD akan diabsorbsi melalui
kulit dan membentuk reservoir ion perak yang kemudian dilepaskan ke
jaringan. Absorpsi perak dipengaruhi oleh derajat luka di mana absorpsi perak
akan lebih besar pada luka bakar derajat III karena suplai darah yang lebih
besar.33
SSD digunakan secara luas dan dipertimbangkan sebagai pilihan terapi
utama dalam penatalaksanaan luka bakar. Saat ini banyak bentuk sediaan obat
yang mengandung SSD untuk pengobatan topikal luka bakar. SSD dapat
diaplikasikan dengan metode terbuka atau tertutup dengan efektivitas yang

37
sama. Efektivitas antimikroba diamati bertahan hingga 24 jam. SSD paling
efektif terhadap kuman enterik dan P. aeruginosa. SSD juga memiliki
efektivitas yang sama dengan obat-obatan antifungal terhadap C. albicans dan
cukup efektif terhadap S. aureus. Namun, beberapa strains Klebsiella kurang
terkontrol secara efektif oleh SSD. Saat ini, dilaporkan resistensi P. aeroginosa
terhadap SSD. Aplikasi SSD lebih sering diperlukan bila eksudat terbentuk
pada luka.8
Kandungan silver/perak pada SSD secara khusus berperan dalam
mengubah atau menekan inflamasi pada luka dan memfasilitasi tahap awal
penyembuhan luka. Peranan tersebut berhubungan dengan penurunan kadar
metaloproteinase matriks lokal dan meningkatkan apoptosis di tingkat sel. SSD
juga meningkatkan regulasi metabolisme seng (Zn) yang dapat mempercepat
epitelisasi serta meningkatkan kadar kalsium yang telah kita ketahui bahwa
kalsium merupakan komponen penting hemostasis sebagai faktor IV.8
Beberapa manfaat agen topikal ini adalah mudah digunakan dan dapat
mengurangi nyeri. SSD memiliki kemampuan penetrasi pada beberapa jaringan,
tetapi hanya terpatas pada lapisan permukaan epidermis. Tidak seperti mafenid
dan perak nitrat, SSD tidak mengganggu epitelisasi walaupun tidak
menghambat kontraksi fibroblast. SSD juga tidak menyebabkan gangguan
asam-basa dan kelebihan cairan paru seperti yang disebabkan oleh mafenid
asetat. SSD dapat digunakan secara terpisah atau dalam bentuk kombinasi
dengan antibakterial lainnya dan komponen enzimatik eskarotomi. SSD juga
dapat dikombinasikan dengan nistatin untuk meningkatkan efek antifungal agen
ini. SSD dilaporkan menstimulasi penyembuhan luka. Selain itu, aplikasi SSD
tidak menimbulkan nyeri sehingga dapat diterima secara luas.8
Walaupun demikian, SSD memiliki beberapa kekurangan berupa
penyembuhan luka bakar deep-dermal yang diterapi dengan SSD lebih lama
dan timbulnya resistensi bakteri pada SSD.4,9 Selain itu, penggantian dressing
secara periodik dapat menimbulkan nyeri. Leukopenia, penurunan granulosit
reversibel, toksisitas ginjal dan hati dilaporkan pada penggunaan jangka

38
panjang SSD.4 Toksisitas lain akibat SSD meliputi alergi, hemolisis pada
defisiensi glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD), pembentukan kompleks
imun, dan metemoglobinemia.28 Pengobatan perak pada penatalaksanaan luka
bakar dilaporkan toksik terhadap sel keratinosit dan fibroblast manusia.34

2.3.1 Penggunaan Silver Sulfadiazine pada Kasus Luka Bakar


Matilda, dkk melaporkan bahwa SSD berperan dalam pencegahan
kolonisasi bakteri pada luka bakar. Sekitar 91,3% pasien luka bakar yang tidak
diterapi SSD memiliki hasil apusan positif, sedangkan hanya 69,57% pasien
luka bakar yang diterapi oleh SSD memiliki apusan positif. 31 Yabanoglu, dkk
melaporkan bahwa krim silver sulfadiazine 1% terbukti lebih efektif daripada
silver-coated dressing, asam sitrat 3%, dan klorheksidin asetat 0,5% dalam
menurunkan jumlah pertumbuhan multi-drug resistant Pseudomonas
aeruginosa pada luka bakar full-skin thickness.35

2.4 Nanosilver Sulfadiazine


Dalam beberapa tahun terakhir, penemuan nanotekonologi
memungkinkan bentuk nanopartikel perak dapat digunakan dalam terapi topikal
luka bakar. Partikel berukuran nano secara alamiah bersifat metastabil dan lebih
reaktif daripada bentuk murni. Rasio permukaan terhadap volume yang tinggi
merupakan keuntungan lain nanopartikel sehingga memungkinkan partikel
tetap efektif, bahkan pada konsentrasi rendah. Bentuk nanopartikel juga
meminimalisasi toksisitas jaringan.4
Metode reduksi kimia sederhama digunakan untuk menciptakan partikel
nano. Metode ini membentuk partikel yang berdiameter antara 50-60 nm. Perak
nitrat merupakan prekursor dan D-glukosa merupakan agen pereduksi. Partikel
nano yang disiapkan dimonitor dengan dengan transmission electron
microscopy (TEM),UV-vis absorption spectroscopy yang menunjukkan
pembentukan nano partikel melalui penampalan absorpsi Plasmon permukaan
tipikal pada panjang gelombang sekitar418-320 nm dari spektrum UV-Vis.

39
Gambaran TEM menunjukkan partikel nano terdispersi baik dalam struktur
kristal. Nanopartikel yang terbentuk akan berinteraksi dengan radiasi
elektromagnetik akibat resonansi Plasmon. Partikel nano menghambat beberapa
panjang gelombang cahaya spesifik dan menghasilkan warna tertentu.
Karakterik optik nanosilver tampak pada panjang gelombang sekitar 10 nm.36

Gambar 2.12 Morfologi nanosuspensi silver sulfadiazine di bawah mikroskop elektron


transmisi
Diambil dari: Ray, dkk (2014)36

Nanosilver memiliki beberapa manfaat dibandingkan dengan silver


sulfadiazine. Nanosilver memiliki area kontak yang lebih besar dibandingkan
dengan formulasi perak konvensional sehingga jumlah ion perak yang
diperlukan lebih kecil untuk jumlah bakteri yang setara sehingga meningkatkan
aktivitas antimikrobial karena memiliki luas permukaan yang lebih besar. Oleh
karena itu, nanosilver sulfadiazine (NSSD) dapat berinteraksi erat dengan
koloni mikroba akibat luas permukaan meningkat. Hal ini dapat menstimulasi
penyembuhan luka bakar secara cepat dan komplit dan mengurangi trauma pada
pasien. Nanosilver dressing memiliki permeabilitas tinggi dan bermanfaat
dalam drainase luka, yang menurunkan risiko infeksi akibat efusi subkutan
secara signifikan.4,7
Nanosilver surgical dressing yang diproduksi dengan menempelkan 25
nm ion perak ke cotton fiber memiliki efek antibakterial poten, bahkan tanpa
efek sinergistik dengan sulfadiazine. Ion perak dilepaskan secara lambat untuk
bergabung dengan anion protein bakteri sehingga menyebabkan denaturasi
protein bakteri. Beberapa penelitian melaporkan efek antibakteri dan antifungal

40
spektrum luas nanocrystalline silver. Nanosilver memiliki efek antimikrobial
spektrum luas terhadap bakteri, meliputi Clostridium perfringens,
Staphylococcus aureus, Enterobacter, and Candida albicans.7 Mekanisme
antibakteri nanocrystalline silver meliputi disrupsi dinding sel bakteri, blokade
replikasi DNA, dan deaktivasi enzim penting dalam sistem pernapasan bakteri.
Oleh karena itu, nanocystalline silver merupakan barrier efektif terhadap invasi
mikroba dan menurunkan risiko infeksi secara signifikan. Perak yang terionisasi
dan nanopartikel silver menunjukkan efek antibakteri, antifungi dan pada
penggunaannya sebagai pelapis pada berbagai peralatan medis dapat mencegah
pembentukan biofilm oleh bakteri patogen.7

Gambar 2.13 Peningkatan kemampuan penghantaran ion perak nanopartikel perak yang
terbentuk dengan ligand alamiah.
Diambil dari: Nam, dkk (2015)32

Selain efek antimikrobial yang superior, nanocrystalline silver-based


dressing terbukti memiliki efek antifungisidal dan antiviral. Nanocrystalline
silver-based dressing terbukti memiliki aktivitas fungisidal yang paling cepat
dan luas dibandingkan dengan wound dressing lainnya (termasuk yang
mengandung perak nitrat dan silver sulfadiazine). Dressing ini terbukti dapat
mengatasi beberapa permasalahan terkait wound dressing sebelumnya, seperti
iritasi jaringan dan efek antifungal spektrum sempit. Nanopartikel juga
menunjukkan aktivitas antiretrovirus dan menghambat replikasi HIV-1 dependen
dosis.37

41
Nanopartikel perak (AgNP) memiliki efek antiinflamasi potensial,
toksisitas jaringan yang rendah, efek analgesik, dan penyembuhan luka yang
lebih cepat karena menciptakan kondisi lembab di bawah krusta luka bakar.4
Nanosilver memiliki efek inflamasi potensial melalui penghambatan sekresi
metalloproteinase matriks pada lokasi luka lokal sehingga menstimulasi
penyembuhan luka. Nanopartikel perak banyak dikembangkan karena lebih
spesifik dan selektif dalam mekanisme aksinya. Nanopartikel silver juga mudah
dibuat, dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Partikel nano dapat mengurangi
dosis pemberian dibandingkan dengan SSD konvensional sehingga dapat
mengurangi toksisitas.38
Kebanyakan penelitian melaporkan bahwa nanopartikel perak tidak
bersifat toksik. Dosis kurang dari 10 mg/kgBB hampir sama sekali tidak
bersifat toksik, tidak menunjukkan efek samping, dan merupakan dosis oprimal
untuk aplikasi biomedik. Namun, dosis lebih dari 20 mg/kgBB bersifat toksik.
Toksisitas dari perak dapat dijumpai dalam bentuk argiria. Toksisitas ini
disebabkan oleh pelepasan ion perak dari dressing pada luka besar terbuka.10,11
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa nanopartikel perak dapat
menginduksi respons toksik pada berbagai cell lines mamalia. Sitotoksisitas
diamati pada berbagai kultur, seperti kultur sel monolayer, model kultur
jaringan eksplan, dan model luka pada tikus. Sitotoksisitas tergantung pada
dressing dan konsentrasi perak pada solusio praterapi. Pada model kultur
jaringan eksplan, seluruh dressing perak memperlambat reepitelisasi pada luka.
Pada model luka eksisi pada tikus, dressing perak menunjukkan efek inhibisi
kuat terhadap reepitelisasi luka pada hari ke-7 proses penyembuhan luka. Efek
sitotoksik yang diamati pada berbagai cell lines in vitro meliputi penurunan
fungsi mitokondria, penyusutan sel, perubahan bentuk menjadi ireguler, dan
produk oksigen spesies reaktif. Tergantung pada produk, dressing harus diganti
setelah 1-7 hari.34 Namun, nanopartikel perak terbukti tidak menunjukkan efek
sitotoksik pada sel Hut/CCR5.39 Di samping itu, nanosilver dressing jarang
menyebabkan perkembangan bakteri resistan obat.8

42
2.4.1 Penggunaan Nanosilver Sulfadiazine pada Kasus Luka Bakar
Nanopartikel perak sering digabungkan dengan terapi luka lainnya untuk
menghasilkan efek klinis yang diinginkan dan lingkungan ideal untuk
penyembuhan luka yang cepat dan efektif. Acticoat TM Flex3 diuji pada kultur sel
fibroblast dan pasien luka bakar partial thickness. Dalam penelitian ini,
percobaan in vitro menunjukkan bahwa nanopartikel perak menurunkan
aktivitas mitokondria tanpa menyebabkan lisis sel kulit atau mengganggu
integritas nuklear sel kulit. Penurunan aktivitas mitokondrial menurunkan
keberadaan bakteri sehingga mendukung aktivitas antibakterial nanopartikel
perak. Analisis TEM dan inductively coupled plasma mass spectrometry (ICP-
MS) pada biopsi kulit pada pasien yang diterapi dengan nanopartikel perak
menunjukkan bahwa nanopartikel perak dilepaskan dalam bentuk agregrat dan
terlokalisasi pada sitoplasma fibroblas, memiliki distribusi berbeda pada
dermis bagian atas dan bawah serta tidak menyebabkan kematian sel.
Kemampuan nanopartikel menurunkan pertumbuhan bakteri terbukti tidak
menyebabkan kerusakan seriys pada sel kulit sehingga dianggap aman secara
klinis. Percobaan invivo menunjukkan efek penyembuhan luka dan
pengurangan penampakan skar. Sampel nanosilver yang dilapisi oleh wound
dressing yang diaplikasi pada area luka bakar termal. Pada model tikus luka
bakar termal, rerata waktu penyembuhan hewan yang diinokulasi dengan
nanopartikel perak lebih pendek daripada kelompok kontrol negatif dan
kelompok perlakuan silver sulfadiazine. Selain itu, penampakan area yang
menyembuh pada kelompok yang diterapi dengan nanopartikel perak hampir
sama dengan kulit normal, sedangkan kelompok silver sulfadiazine
menunjukkan skar hipertropik. Nanopartikel silver juga menunjukkan
peningkatan efek antibakteraol dibandingkan dengan antibiotik lain melalui
pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) kuantitatif, imunohistokimia,
dan proteomik pada lokasi luka. Nanosilver wound dressing signifikan lebih
efisien dalam menghambat pertumbuhan bakterial pada lokasi luka

43
dibandingkan dengan solusio silver sulfadiazine. Kultur mikroorganisme dari
apusan luka menunjukkan pertumbuhan kultur bakteri setelah 3 hari pada
kelompok yang diterapi dengan silver sulfadiazine dan setelah 7 hari pada
kelompok yang diterapi dengan nanopartikel perak.32
Fong, dkk melaporkan bahwa pemakaian Acticoat® (nanosilver
sulfadiazine dressing) terbukti menurunkan insidens selulitis pada luka bakar,
penggunaan antibiotik, lama perawatan rumah sakit, dan biaya dibandingkan
dengan Silvazine® (krim silver sulfadiazine dan klorheksidin diglukonat)
dalam penatalaksanaan luka bakar dini.33 Liu, dkk melaporkan bahwa
dibandingkan dengan silver sulfadiazine, nanosilver terbukti secara signifikan
menurunkan waktu penyembuhan luka pada pasien luka bakar derajat II
(supersifial dan dalam). Nanosilver juga meningkatkan penyembuhan luka pada
hari ke-15 pascaonset luka bakar dan menurunkan infeksi bakteri sekunder
pascaluka bakar dan skor VAS.8 Ray, dkk melaporkan bahwa persentase luka
bakar yang menyembuh setelah pemakaian nanosilver pada 4 minggu
pascaonset luka bakar lebih tinggi daripada silver sulfadiazine (SSD) dengan
persentase masing-masing sebesar 78% dan 57%.36
Cuttle, dkk melaporkan bahwa Acticoat® (nanosilver sulfadiazine
dressing) merupakan dressing yang aman, efisien, dan bermanfaat untuk
menurunkan lama reepitelisasi dan kebutuhan grafting dan manajemen skar
jangka panjang dibandingkan Silvazine.39 Pada neonatus yang mengalami luka
bakar, Rustogi, dkk melaporkan bahwa Acticoat® (nanosilver sulfadiazine
dressing) merupakan dressing yang cocok untuk bayi prematur mengalami luka
bakar menetap dengan keuntungan pengantian dressing dapat dilakukan setiap
3-7 hari. Seluruh luka bakar mengalami reepitelisasi pada hari ke-28 dan
manajemen skar tidak diperlukan. Tidak dijumpai infeksi luka atau kultur darah
positif selama periode penelitian.40

44
2.5 Kerangka Teori

Luka bakar deep dermal

SSD (Silver Sulfadiazine) NanoSSD: Melibatkan Epidermis


 Rasio permukaan  Rasio permukaan tinggi dan Dermis
Nekrosis Disintegratif
rendah  Efisien pada pada Lapisan Atas
 Dosis cukup besar konsentrasi rendah Dermis
 Toksisitas cukupBerikatan
tingi  Toksisitas rendah
dengan Rentan terhadap Infeksi
Komponen Sel Bakteri Bakteri
Penyembuhan
Luka Terhambat
Menghambat Kerusakan
Transkripsi Membran

45
Menurunkan Distorsi Sel
Replikasi
Bakteri
Menghambar
Pertumbuhan
Mencegah
Bakteri
Infeksi
Bakteri

2.6 Kerangka Konsep

Pasien luka bakar deep dermal

Debridemen dan pengambilan swab hari ke-0


(penghitungan koloni kuman pertama)
Perawatan Luka Bakar
Pemberian nanosilver Pemberian krim silver
sulfadiazine sulfadiazine 1%
Pengambilan swab hari ke-5
(penghitungan koloni kuman kedua)

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan uji klinik acak terkontrol label terbuka
propekstif paralel untuk membandingkan efektivitas terapi antara nanosilver
sulfadiazine topikal dan silver sulfadiazine topikal dalam menghambat
pertumbuhan koloni kuman pada luka bakar deep dermal.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

46
Penelitian dilakukan di Subbagian Bedah Plastik Bagian Bedah RSUP
Muhammad Hoesin Palembang dan Laboratorium Mikrobiologi RSUP
Muhammad Hoesin Palembang. Pengumpulan data dilaksanakan mulai bulan
Juni 2018 sampai dengan bulan Desember 2018 atau sampai terpenuhi jumlah
subjek yang diteliti

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien yang didiagnosis luka bakar deep dermal
Luka bakar deep dermal didiagnosis berdasarkan penampakan
klinis dan pemeriksaan fisik berupa warna merah berbintik, dapat
atau tidak dijumpai bula, pengisian kapiler tidak ada, dan sensasi
nyeri tidak ada
2. Menyetujui untuk mengikuti penelitian yang dibuktikan dengan
informed consent
3.3.2 Kriteria Eksklusi
1. Alergi terhadap salah satu komponen silver sulfadiazine
2. Pasien dengan riwayat diabetes melitus atau diketahui menderita
diabetes melitus
3. Pasien meninggal selama perawatan

3.3.3 Kriteria Dropout


Menolak ikut serta dalam penelitian dan timbul efek samping berat
3.3.4 Kriteria Withdrawal
Mengundurkan diri dalam penelitian

3.4 Besar Sampel


Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan
rumus Pocock

Pt (1-Pt) + Pc (1-Pc) x F(α,β) 0,925 (1-0,925) + 0,63 (1-0,63) x 7,9


N= (Pt-Pc) 2 = (0,925-0,63)2

47
= 27,4 = 28 sampel
di mana
N = jumlah sampel tiap kelompok
Pt = probabilitas sukses obat baru (nanosilver sulfadiazine)
Pc = probabilitas sukses drug of choice (silver sulfadiazine)
Dari perhitungan di atas, didapat jumlah sampel penelitian 27,4 dibulatkan
menjadi 28 sampel

3.5 Cara Pengambilan Sampel


Cara pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling,
yaitu suatu tipe sampling probabilitas di mana peneliti dalam memilih sampel
dengan memberikan kesempatan yang sama kepada semua anggota populasi
untuk ditetapkan sebagai anggota sampel. Seluruh penderita diberikan informed
consent sebelum berpartisipasi sebagai sampel penelitian.

3.6 Variabel Penelitian


Variabel yang digunakan adalah :
a. Variabel bebas : silver sulfadiazine dan nanosilver
sulfadiazine
b. Variabel terikat : penurunan jumlah koloni
c. Variabel universal : umur, jenis kelamin, pekerjaan, kedalaman luka
bakar, penyebab luka bakar

3.7 Definisi Operasional


No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur

48
1. Silver Agen topikal yang - - - -
sulfadiazine merupakan kombinasi
antara sulfadiazine dan
perak dengan persentase
1% digunakan sebagai
terapi standar
pengobatan luka bakar
deep dermal
2. Nanosilver Agen topikal yang - - - -
sulfadiazine merupakan silver
sulfadiazine dalam
preparasi nanoteknologi
digunakan sebagai terapi
yang diteliti dan
dibandingkan dengan
terapi standar
pengobatan luka bakar
deep dermal
3. Penurunan Penurunan jumlah Mengurangi Teknik Levine CFU Rasio
jumlah koloni koloni setelah subjek jumlah koloni
diberi perlakuan kuman yang
(pemberian krim silver tumbuh pada
sulfadiazine dan lempeng agar pra
nanosilver sulfadiazine dengan jumlah
dressing) koloni
Diagnosis patologi pascaperlakuan
kolonisasi dan infeksi
pada luka bakar
ditegakkan bila
dijumpai < 105 dan >
105 bakteri per gram
jaringan pada
permukaan luka atau
krusta.
4. Jenis Jenis kelamin pasien Mengambil data Status rekam 1. Laki-laki Nominal
kelamin luka bakar deep sekunder dari medis 2. Perempuan
dermal sesaui yang status pasien
tertera pada rekam
medis
5. Umur Rentang kehidupan Mengurangi Status rekam 1. < 1 tahun Interval
yang dimulai pada tahun penelitian medis 2. 1-4 tahun
saat lahir sampai dan tahun lahir 3. 5-9 tahun

49
diikutsertakan dalam 4. 10-14 tahun
penelitian 5. 15-54 tahun
6. 55-64 tahun
7. 65-74 tahun
8. 75-84 tahun
9. ≥ 85 tahun
6. Pekerjaan Pekerjaan pasien luka Mengambil data Status rekam 1. Buruh Ordinal
bakar deep dermal sekunder dari medis 2. Ibu rumah
saat diikutsertakan status pasien tangga
dalam penelitian ini 3. Wiraswasta
4. Pelajar/maha
siswa
5. Karyawan
6. Tidak bekerja
7. Lainnya
7. Penyebab Penyebab luka bakar Mengambil data Status rekam 1. Api dan Nominal
luka bakar pada pasien luka bakar sekunder dari medis ledakan
deep dermal dalam status pasien 2. Air panas
penelitian ini. 3. Kontak
4. Kimia
5. Gesekan
6. Listrik

3.8 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Nanosilver sulfadiazine dressing (PT Kimia Farma)
2. Krim silver sulfadiazine (PT Darya-Varia)
3. Tabung steril untuk swab sampel yang diisi 5 ml NaCl 0,9%
4. Kasa dan handscoen steril
5. Medium agar darah dalam cawan petri
6. Setrifus, inkubator, osse steril

3.9 Cara Kerja


1. Persiapan sebelum penelitian
a. Izin tertulis Komite Medika RS Moh. Hoesin Palembang
b. Persetujuan tertulis subyek penelitian.
Semua subyek yang akan mengalami luka bakar deep dermal dan
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberikan penjelasan tentang

50
penelitian yang akan dilakukan. Pasien yang bersedia untuk terlibat dalam
penelitian menandatangani informed consent tertulis.
2. Pengumpulan data
a. Identifikasi penderita
1) Identifikasi diagnosis dan alamat
2) Data sosiodemografi pasien seperti jenis kelamin, umur, dan pekerjaan
dicatat dalam penelitian
b. Anamnesis khusus: jenis kelamin, usia, status menopause, riwayat
penyakit sebelumnya, rujukan, dan penyebab luka bakar
c. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan fisik : pemeriksaan keadaan umum, tekanan darah, nadi,
nafas, suhu, tinggi badan.
2) Pemeriksaan status lokalis: luas dan kedalaman luka bakar
d. Pemeriksaan penunjang, meliputi : pemeriksaan laboratorium
3. Pemeriksaan mikrobiologis
a. Masing-masing penderita dilakukan pengambilan swab spesimen pertama
(teknik Levine; swab diambil pada permukaan luka) sebelum diberi
antibiotik topikal, pada hari ke 1 (t-0) dan pada hari ke 4 (t-1) dengan luas
permukaan kulit radius 10 cm2 dalam waktu 5 detik.
b. Pengambilan swab dilakukan duplo.
c. Swab spesimen dibawa ke laboratorium mikrobiologi RSMH dalam
tabung steril yang berisi cairan 5 ml NaCl 0,9%.
d. Bahan pemeriksaan dikocok sampai homogen dengan menggunakan
sentrifus dengan kecepatan 2000 rpm
e. Bahan pemeriksaan diambil dengan swab/ ose atau transfer loop 10µ.
f. Ujung swab dipatahkan dan dimasukkan ke dalam tabung steril transpor
yang diberi 5 mL NaCl0,9%.
g. Spesimen ditanam pada medium agar darah.
h. Seluruh cawan petri yang berisi spesimen diinkubasi pada keadaan aerob
37◦C.
i. Setelah 24 jam dilihat pertumbuhan kuman dan jumlah koloni kuman
dihitung. Colony Forming Unit (CFU) digunakan untuk menentukan total
jumlah bakteri pada masing-masing cawan petri.
j. Setelah itu dilakukan pengamatan dan penghitungan koloni yang tumbuh
oleh petugas laboratorium yang ditunjuk oleh peneliti.

51
k. Penghitungan jumlah kuman dilakukan secara tidak langsung dengan
menghitung jumlah koloni kuman yang tumbuh pada lempeng agar.
Jumlah kuman dihitung dari koloni yang tumbuh pada lempeng agar
medium dikalikan faktor dilusi atau pengenceran, yaitu 103. Pada
penelitian ini tidak dilakukan dilusi atau pengenceran. Jumlah bakteri
dalam setiap unit koloni adalah 102-103 bakteri.26,27
l. Data dicatat dalam bentuk tabulasi.
4. Penilaian efektivitas terapi
Efektivitas terapi yang dinilai melalui penilaian jumlah koloni kuman. Terapi
dikatakan efektif bila dijumlah pengurangan jumlah koloni kuman yang
signifikan pascapemberian terapi.

3.10 Parameter Keberhasilan


Penurunan koloni kuman pada pasien luka bakar deep dermal secara bersamaan
dengan pemberian silver sulfadiazine dan nanosilver sulfadiazine

3.11 Analisa Data


Seluruh data yang diperoleh dicatat dan dilakukan coding sesuai dengan
kebutuhan dan selanjutnya dilakukan data entry dengan menggunakan piranti
lunak SPSS versi 18.0. Data-data akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
Variabel karakteristik sosiodemografi dan klinis, efektivitas serta efek samping
obat dinyatakan dalam jumlah dan persentase atau rerata dan standar deviasi.
Semua variabel dianalisis secara deskriptif dengan menyajikan data secara
tabulasi serta dianalisis secara statistik. Analisis statistik dilakukan dengan
menggunakan uji t tidak berpasangan untuk sampel independen, uji t
berpasangan untuk sampel dependen, dan analisis x2 untuk membandingkan
karakteristik dua kelompok. Nilai probabilitas (p) ≤ 0,05 dianggap signifikan.

52
Pasien yang datang dan dirawat di Subbagian
Bedah Plastik Bagian Bedah RSMH dengan
diagnosis luka bakar deep dermal

Memenuhi kriteria inklusi dan


tidak memenuhi kriteria ekslusi

Informed consent
3.12 Alur Penelitian

Randomisasi

Kelompok nanosilver Kelompok silver


sulfadiazine sulfadazine

Debridemen dan pengambilan swab


pertama

Pengambilan swab kedua


pada hari kelima
53

Analisis akhir
Tabel 1. Karakteristik Sampel Penelitian
Sampel
Karakteristik
N %
Karakteristik Pasien
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Umur (tahun)
< 1 tahun
1-4 tahun
5-9 tahun
10-14 tahun
15-54 tahun
55-64 tahun
65-74 tahun
75-84 tahun

54
≥ 85 tahun
Pekerjaan
Buruh
Ibu rumah tangga
Wiraswasta
Pelajar/mahasiswa
Karyawan
Tidak bekerja
Lainnya
Karakteristik Klinis
Luas luka bakar
<20%
20-50%
> 50%
Penyebab Luka Bakar
Api dan ledakan
Air panas
Kontak
Kimia
Gesekan
Listrik

Tabel 2. Perbandingan jumlah koloni praperlakuan pada kelompok silver


sulfadiazine dan nanosilver sulfadiazine
Nanosilver sulfadiazine Silver sulfadiazine
Variabel p
Sebelum perlakuan Sebelum perlakuan
Jumlah koloni
uji t tidak berpasangan, p= 0,05

Tabel 3. Perbandingan efektivitas terapi pada kelompok silver sulfadiazine dan


nanosilver sulfadiazine praterapi dan pascaterapi
Nanosilver sulfadiazine Silver sulfadiazine
Sebelum Setelah Sebelum Setelah
Variabel perlakuan perlakuan p perlakuan perlakuan p
Jumlah koloni
uji t berpasangan, p =0,05
Tabel 4. Perbandingan jumlah koloni pascaperlakuan pada kelompok silver
sulfadiazine dan nanosilver sulfadiazine

55
Nanosilver sulfadiazine Silver sulfadiazine
Variabel p
Setelah perlakuan Setelah perlakuan
Jumlah koloni
uji t tidak berpasangan, p=0,05

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini adalah uji klinik acak terkontrol open label prospektif paralel

untuk membandingkan efektivitas terapi antara nanosilver sulfadiazine topikal dan

silver sulfadiazine topikal dalam menghambat pertumbuhan koloni kuman pada luka

bakar deep dermal.


Penelitian dilakukan di Subbagian Bedah Plastik Bagian Bedah RSUP

Muhammad Hoesin Palembang dan Laboratorium Mikrobiologi RSUP Muhammad

Hoesin Palembang. Pengumpulan data dilaksanakan mulai bulan Juni 2018 sampai

dengan bulan September 2018 atau sampai terpenuhi jumlah subjek yang diteliti.

Diperoleh total jumlah sampel penelitian sebanyak 30 sampel dan tidak ada drop out.

4.1 Karakteristik Sampel Penelitian


Sebagian besar sampel berjenis kelamin laki-laki (76,7%).

Berdasarkan distribusi frekuensi usia dari 30 sampel penelitian, sebagian besar

sampel berusia antara 15-54 tahun sebanyak 20 orang (66,7%), dengan rerata

usia 24,73±16,913 tahun dengan usia termuda 2 tahun dan usia tertua 58 tahun.

Berdasarkan jenis pekerjaan, sebagian besar sampel (30%) bekerja sebagai

56
karyawan. Berdasarkan luas luka bakar, lebih dari separuh sampel memiliki

luas luka bakar < 20%. Berdasarkan penyebab luka bakar, api dan ledakan

merupakan penyebab terbanyak kasus luka bakar dalam penelitian ini dengan

persentase sebesar 56,7%.


Tabel 4.1 Distribusi frekuensi subjek penelitian

Sampel
Karakteristik
N %
Karakteristik Pasien
Jenis Kelamin
Laki-laki 23 76,7
Perempuan 7 23,3
Umur (tahun)
< 1 tahun 0 0
1-4 tahun 5 16,7
5-9 tahun 4 13,3
10-14 tahun 0 0
15-54 tahun 20 66,7
55-64 tahun 1 3,3
>64 tahun 0 0
Pekerjaan
Buruh 1 3,3
Ibu rumah tangga 3 10
Wiraswasta 3 10
Pelajar/mahasiswa 6 20
Karyawan 9 30
Tidak bekerja 8 26,7
Lainnya 0 0
Karakteristik Klinis
Luas Luka Bakar
<20% 20 66,7
20-50% 9 30
> 50% 1 3,3
Penyebab Luka Bakar
Api dan ledakan 17 56,7
Air panas 5 16,7
Kontak 0 0
Kimia 4 13,3
Gesekan 0 0

57
Listrik 4 13,3

4.2 Perbandingan Efektivitas Terapi pada Kelompok Silver Sulfadiazine dan

Nanosilver Sulfadiazine Praterapi dan Pascaterapi

Tabel 4.2 Perbandingan jumlah koloni praperlakuan pada kelompok silver


sulfadiazine dan nanosilver sulfadiazine
Nanosilver sulfadiazine Silver sulfadiazine
Variabel p
Sebelum perlakuan Sebelum perlakuan
Jumlah koloni 74.340,73 69.613,6 0,893
uji t tidak berpasangan; p =0,05

Tabel 4.3 Perbandingan efektivitas terapi pada kelompok silver sulfadiazine


dan nanosilver sulfadiazine praterapi dan pascaterapi
Nanosilver sulfadiazine Silver sulfadiazine
Sebelum Setelah Sebelum Setelah
Variabel perlakuan perlakuan p perlakuan perlakuan p
Jumlah koloni 74.340,73 1.366,67 0,000 69.613,6 33.573,33 0,439
uji t berpasangan; p =0,05

Tabel 4.4 Perbandingan jumlah koloni pascaperlakuan pada kelompok silver


sulfadiazine dan nanosilver sulfadiazine
Nanosilver sulfadiazine Silver sulfadiazine
Variabel p
Setelah perlakuan Setelah perlakuan
Jumlah koloni 1.366,67 33.573,33 0,35
uji t tidak berpasangan; p =0,05

Hasil uji t tidak berpasangan pada tabel 2 menunjukkan bahwa tidak

ada perbedaan signifikan rerata jumlah koloni kuman praperlakuan antara

kelompok nanosilver sulfadiazine dan silver sulfadiazine (p=0,893; p>0,05).

Berdasarkan hasil uji t berpasangan pada tabel 3, terdapat perbedaan rerata

58
jumlah koloni kuman pra dan pascaperlakuan pada kelompok nanosilver

sulfadiazine (p=0,000; p<0,05), namun tidak terdapat perbedaan rerata jumlah

koloni kuman pra dan pascaperlakuan pada kelompok silver sulfadiazine

(p=0,439; p>0,05). Rerata jumlah koloni pascaperlakuan pada kelompok

nanosilver sulfadiazine lebih rendah daripada kelompok silver sulfadiazine,

namun tidak terdapat perbedaan rerata jumlah koloni kuman yang signifikan

pada kedua kelompok tersebut (p=0,35; p>0,05).

BAB V
PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, dijumpai predominasi jenis kelamin laki-laki yang

mengalami luka bakar deep dermal dengan persentase sebesar 76,7% dan rasio 3,3: 1.

Hal ini sejalan dengan penelitian Wardhana dkk14, Hidayat dkk41, Pujisriyani dkk13,

dan Elfiah dkk42 yang melaporkan predominasi jenis kelamin laki-laki masing-masing

dengan rasio 1,22:1, 2:1, 2,26:1, dan 2,5:1 pada kasus luka bakar. Laki-laki dianggap

59
lebih aktif dan mobile sehingga lebih mudah mengalami risiko tinggi luka bakar

terkait lingkungan dan pekerjaan.14,41


Sebagian besar (66,7%) pasien luka bakar berusia antara 15-54 tahun dengan

rerata usia 24,73±16,913 tahun dengan usia termuda 2 tahun dan usia tertua 58 tahun..

Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian lainnya. Wardhana, dkk

melaporkan bahwa sekitar 68,6% pasien berusia lebih dari 18 tahun dengan median

umur sebesar 29,31 (0.67–76). Pujisriyani melaporkan bahwa luka bakar paling

banyak dijumpai pada kelompok usia antara 15 dan 54 tahun (68%). 14 Hidayat dkk

melaporkan bahwa kejadian luka bakar api dan listrik paling banyak kelompok umur

antara 25-65 tahun. Kelompok umur ini umumnya memiliki aktivitas yang berkaitan

dengan api dan listrik sehingga tingkat insidens luka bakar tinggi pada kelompok

umur ini.41
Kebanyakan (30%) pasien luka bakar dalam penelitian ini merupakan

karyawan. Hal ini berbeda dengan penelitian Wardhana, dkk yang melaporkan bahwa

mayoritas populasi dewasa pasien luka bakar merupakan buruh. Buruh lebih rentan

terhadap hazard pekerjaan yang dapat menyebabkan luka bakar, seperti ledakan

pabrik dan power plant.14


Luas luka bakar <20% merupakan luas luka bakar yang paling sering dijumpai

pada penelitian ini dengan persentase sebesar 66,7%. Hal ini berbeda dengan

penelitian lainnya. Wardhana dkk melaporkan bahwa hampir separuh pasien luka

bakar yang dirawat memiliki luas luka bakar antara 11-30%. 14 Pujisriyani dkk

melaporkan bahwa luas luka bakar yang paling banyak dijumpai antara 20-50%

dengan persentase sebesar 45,87%.13 Elfiah dkk melaporkan bahwa rerata luas luka

bakar pada anak dan dewasa masing-masing sebesar 25% and 40%. Luas luka bakar

60
merupakan faktor risiko mortalitas dan indikator penting dalam strategi

penatalaksanaan pasien luka bakar. Semakin luas luka bakar, semakin tinggi tingkat

kematian yang terjadi.41


Penyebab luka bakar deep dermal dalam penelitian ini adalah api dan ledakan.

Hasil serupa dilaporkan oleh penelitian Hidayat dkk41, Elfiah dkk42, dan Wardhana

dkk1 yang melaporkan bahwa api merupakan penyebab utama luka bakar tersering

dengan persentase masing-masing sebesar 48,3%, 55%, dan 59,4%. Api dan ledakan

merupakan faktor utama yang menyebabkan kematian pada pasien luka bakar karena

efek dari api dan ledakan mempengaruhi luas dan kedalaman luka bakar. Semakin

berat dan ekstensif, semakin tinggi tingkat morbiditas dan mortalitas yang terjadi. 41

Kebanyakan rumah tangga di Indonesia menggunakan gas alam cair (LPG) sebagai

sumber bahan bakar untuk memasak. Luka bakar api dan ledakan juga berkaitan

dengan penggunaan LPG di rumah dan kurangnya kewaspadaan atau edukasi,

terutama dalam pencegahan luka bakar. Peningkatan insidens luka bakar api juga

diperkirakan berkaitan dengan beberapa faktor, seperti latar belakang sosioekonomi

dan pendidikan.14

Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan perbedaan rerata jumlah koloni

kuman pra dan pascaperlakuan pada kelompok nanosilver sulfadiazine , namun tidak

terdapat perbedaan rerata jumlah koloni kuman pra dan pascaperlakuan pada

kelompok silver sulfadiazine. Rerata jumlah koloni pascaperlakuan pada kelompok

nanosilver sulfadiazine lebih rendah daripada kelompok silver sulfadiazine, namun

tidak terdapat perbedaan rerata jumlah koloni kuman yang signifikan pada kedua

kelompok tersebut. Perbedaan rerata jumlah koloni kuman antara nanopartikel perak

61
dan kontrol negatif dilaporkan oleh penelitian Jeong, dkk. Jeong, dkk melaporkan

bahwa nanopartikel perak dalam dosis 10 nm dan 100 nm per 1 mg/mL menunjukkan

aktivitas antimikrobial terhadap Methylobacterium spp. yang setara dengan kontrol

positif (metanol) dengan jumlah koloni 4x102 CFU dibandingkan dengan kontrol

negatif (1x108 CFU).43


Penurunan dan perbedaan rerata jumlah koloni pra dan pascaperlakukan pada

kelompok nanosilver sulfadiazine menunjukkan potensi dalam menurunkan jumlah

koloni kuman pada pasien luka bakar deep dermal. Potensi ini disebabkan karena

nanocrystalline silver memiliki kelebihan dibandingkan sediaan silver lainnya karena

merupakan silver dalam bentuk murni, tidak bersenyawa, serta memiliki ukuran

partikel sangat kecil, lebih kecil dari silver nitrat atau silver sulfadiazine. Penemuan

nanoteknologi memungkinkan konversi logam perak menjadi bentuk nanopartikel.

Partikel perak berukuran nano lebih efektif daripada bentuk asli terhadap

mikroorganisme sehingga memungkinkan terapi perak topikal yang lebih efektif dan

lebih ditoleransi dengan baik.4 Ukuran kecil ini bermanfaat dalam hal lebih mampu

untuk melakukan penetrasi ke dalam luka dan membunuh bakteri lebih cepat.

Pengembangan perak dalam bentuk nanopartikel menurunkan waktu yang diperlukan

untuk area luka mencapai ekuilibrium homeostatis normal secara signifikan,

menurunkan risiko komplikasi yang tidak diinginkan, dan memperbaiki penampakan

fisik skar dengan menurunkan pembentukan parut hipertrofik. 8 Kebanyakan

penelitian melaporkan bahwa nanopartikel perak aman dan bersifat non-sitotoksik.10,11


Ion perak berperan dalam aktivitas antibakterial nanopartikel perak. Ion perak

dapat berikatan dengan gugus sulfohidril dinding sel. Gugus sulfohidril dalam sistem

enzim dapat didegradasi oleh konjungasi ion silver. Ion perak yang terkonjugasi dapat

62
mencegah pembentukan energi dan transpor elektron pada sel. Ion perak dilaporkan

juga dapat merusak sistem pernapasan bakteri dengan mengkonjugasi protein yang

telibat dalam proses tersebut.43


Beberapa penelitian melaporkan efek antibakteri dan antifungal spektrum luas

nanocrystalline silver. Nanosilver memiliki efek antimikrobial spektrum luas terhadap

bakteri, meliputi Clostridium perfringens, Staphylococcus aureus, Enterobacter, and

Candida albicans.7 Mekanisme antibakteri nanocrystalline silver meliputi disrupsi

dinding sel bakteri, blokade replikasi DNA, dan deaktivasi enzim penting dalam

sistem pernapasan bakteri. Oleh karena itu, nanocystalline silver merupakan barrier

efektif terhadap invasi mikroba dan menurunkan risiko infeksi secara signifikan.

Perak yang terionisasi dan nanopartikel silver menunjukkan efek antibakteri,

antifungi dan pada penggunaannya sebagai pelapis pada berbagai peralatan medis

dapat mencegah pembentukan biofilm oleh bakteri patogen.7 Nanocrystalline silver-

based dressing terbukti memiliki aktivitas fungisidal yang paling cepat dan luas

dibandingkan dengan wound dressing lainnya (termasuk yang mengandung perak

nitrat dan silver sulfadiazine). Dressing ini terbukti dapat mengatasi beberapa

permasalahan terkait wound dressing sebelumnya, seperti iritasi jaringan dan efek

antifungal spektrum sempit. Nanopartikel juga menunjukkan aktivitas antiretrovirus dan

menghambat replikasi HIV-1 dependen dosis. 37

63
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

6.1. SIMPULAN
1. Profil penderita luka bakar deep-dermal di RSMH adalah laki-laki (76,7%),

kelompok usia antara 15-54 tahun (66,7%), karyawan (30%), luas luka

bakar <20% (66,7%), dan disebabkan oleh api (56,7%).


2. Terdapat perbedaan rerata jumlah koloni kuman pra dan pascaperlakuan

pada kelompok nanosilver sulfadiazine, namun tidak terdapat perbedaan

rerata jumlah koloni kuman pra dan pascaperlakuan pada kelompok silver

sulfadiazine.
3. Rerata jumlah koloni pascaperlakuan pada kelompok nanosilver

sulfadiazine lebih rendah daripada kelompok silver sulfadiazine, namun

tidak terdapat perbedaan rerata jumlah koloni kuman yang signifikan

praperlakuan dan pascaperlakuan pada kedua kelompok tersebut.


4. Nanosilver sulfadiazine berpotensi efektif menurunkan jumlah koloni

kuman pada pasien luka bakar deep-dermal dibandingkan silver

sulfadiazine.

6.2. SARAN
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang besar untuk

menentukan efektivitas nanosilver sulfadiazine terhadap penurunan koloni

kuman pada pasien luka bakar deep dermal.

DAFTAR PUSTAKA

64
1. Grace PA, Borley NR. Luka bakar. Dalam: At Glance: Ilmu Bedah. Edisi 3.
Jakarta: Erlangga, 2016. h. 86-89.
2. Eser T, Kavalo C, Aydogan C, Kayipmaz AE. Epidemiological and cost analysis
of burn injuries admitted to the emergency department of a tertiary burn center.
Springerplus. 2016;5:1-6.
3. Naqvi SQA, Naqvi SMA, Usman M. Burn wound infection: significance of rule
of nine in microbial surveillance.Professional Med J 2014;21(5): 869-873.
4. Adhya A, Bain J, Ray O, Hazra A, Adhikari S, Dutta G, et al. Healing of burn
wounds by topical treatment: randomized controlled comparison between silver
sulfadiazine and nano-crystalline silver. Basic Clin Pharm. 2014; 6(1): 29-34.
5. Al-Aali KY. Microbial Profile of Burn Wound Infections in Burn Patients, Taif,
Saudi Arabia. Arch Clin Microbiol. 2016; 7(2): 1-9.
6. Al Laham NA, Elmanama AA, Tayh GA. Possible Risk Factors Associated with
Burn Wound Colonization in Burn Units of Gaza Strip Hospitals, Palestine.
Annals of Burns and Fire Disasters 2013; 26(2):68-75.
7. Venkataraman M, Nagarsenker M. Silver sulfadiazine nanosystems for burn
therapy. AAPS Pharm Sci Tech 2013; 14(1):254-64.
8. Liu Z, Zhou A, Zhang X et al. The efficacy of nano-silver and silver sulfadiazine
for degree II burn wound:a meta-analysis. Biomed Res 2017; 28 (9): 3880-3885.
9. Munteanu A, Florescu IP, Nitescu C. A modern method of treatment: the role of
silver dressings in promoting healing and preventing pathological
scarring in patients with burn wounds. J Med Life. 2016; 9(3):306-315.
10. Konop M, Damps T, Misicka A, Rudnicka L. Certain Aspects of Silver and Silver
Nanoparticles in Wound Care: A Minireview. Journal of Nanomaterials. 2016; 1:
1-10.
11. Silver S. Bacterial silver resistance: molecular biology and uses and misuses of
silver compounds. FEMS Microbiology Reviews. 2003; 27: 341-353.
12. Nherera LM, Trueman P, Roberts CD, Berg L. A systematic review and meta-
analysis of clinical outcomes associated with nanocrystalline silver use compared
to alternative silver delivery systems in the management of superficial and deep
partial thickness burns. Burns. 2017;43(5):939-48.
13. Pujisriyani P, Wardana A. Epidemiology of burn injuries in Ciptomangunkusumo
hospital from 2009 to 2010. JPR Journal. 2012; 5(3): 528-531.

65
14. Wardana A, Basuki A, Prameswara ADH, Rizkita DN, Andarie AA, Canintika
AF. The epidemiology of burns in Indonesia’s national referral burn center from
2013 to 2015. Burns Open. 2017; 1: 67–73.
15. Moenadjat Y, dkk. Luka Bakar. Edisi I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. h.
16. The Education Committee of Australian and New Zealand Burn Association.
Emergency Management of Severe Burns. 18th Ed. ANZA: Queensland; 2016. p.
52-57, 117-120.
17. Hettiaratchy S, Dziewulski P. Pathophysiology and types of burns. BMJ 2004;
12:1427-1429.
18. Brunicardi FC, Anderson D, Dunn DL. Schwartz’s Principles of Surgery. 8th
Edition. New York: McGraw-Hill; 2005. p.
19. John OL, David NH. Burn and Radiation Injuries. In: Trauma. 6th Ed. New York:
Mc Graw Hill; 2008. p. 1051-1074.
20. Hoogewerf CJ, Hop MJ, Nieuwenhuis MK, Middelkoop E, Van Baar ME. Early
excision and grafting for burns (Protocol). Cochrane Database of Systematic
Reviews 2012; 3: 1-15.
21. Hamdan S, Pastar I, Drakulich S, Dikici E, Tomic-Canic M, et al.
Nanotechnology-Driven Therapeutic Interventions in Wound Healing: Potential
Uses and Applications. ACS Cent Sci. 2017 22; 3(3): 163-175.
22. Gallagher JJ, Branski LK, Bouyer NW, Villarreal C, Herndon DN. Treatment of
infection in burns. In: Total Burn Care. New York: ElSevier; 2012. p. 137-142.
23. Manson WL, Pernot PCJ, Fidler V, Sauer EW, Kalasen HJ. Colonization of burns
and the duration of hospital stay of severely burned patients. J Hosp Infec 1992;
22 (1):55-63.
24. Norbury W, Herndon DN, Tanksley J, Jeschke MG, Finnerty CC. Infection in
Burns. Surgical Infections. 2016; 17(2): 250-255.
25. Pruitt BA Jr, McManus AT, Kim SH, Goodwin CW. Burn wound
infections: current status. World J Surg. 1998 Feb;22(2):135-45.
26. Church D, Elsayed S, Reid O, Winston B, Lindsay B. Burn Wound Infections.
Clinical Microbiology Reviews. 2006; 19(2): 415–418.
27. Campos J, Namara MM, Howard B. Specimen Collecting and Processing.
St.Louis: Mosby Elsevier; 1994. P.
28. Fuller FW. The Side Effects of Silver Sulfadiazine. Journal of Burn Care &
Research 2009; 30(3): 464-470.

66
29. Fox CL, Modak SM. Mechanism of silver sulfadiazine action on burn wound
infections. Antimicrob Agents Chemother.1974;5:582–8.
30. Dollery C. Silver sulfadiazine. In: Therapeutic Drugs. 2nd Ed. Edinburgh:
Churchill Livingstone; 1999. p. S32–5.
31. Yabanoglu H, Basaran O, Aydogan C, Azap OK, Karakayali F. Assessment of the
Effectiveness of Silver-Coated Dressing, Chlorhexidine Acetate (0.5%), Citric
Acid (3%), and Silver Sulfadiazine (1%) for Topical Antibacterial Effects Against
the Multi-Drug Resistant Pseudomonas Aeruginosa Infecting Full-Skin
Thickness Burn Wounds on Rats. Int Surg 2013;98:416–423.
32. Nam G, Rangasamy S, Purushothaman B, Song JM. The Application of
Bactericidal Silver Nanoparticles in Wound Treatment. Nanomater Nanotechnol
2015; 5(23): 1-14.
33. Fong J, Wood F, Fowler B. A silver coated dressing reduces the incidence of
early burn wound cellulitis and associated costs of inpatient treatment:
comparative patient care audits. Burns 2005; 31: 562-567.
34. Rigo C, Ferroni L, Tocco I, Roman M, Munivrana I et al. Active Silver
Nanoparticles for Wound Healing. Int J Mol Sci. 2013; 14: 4817-4840.
35. Matildah M. Pierre Y, Munogo LT, Sakala C, Glickman M. Topical Use of Silver
Sulfadiazine In The Prevention of Burn Wound Infection At University Teaching
Hospital, Lusaka, Zambia. IOSR Journal Of Pharmacy. 2016; 6(10): 42-54.
36. Ray O, Adhya A, Mahumdar BK, Sudhin R. Nano silver and its application on
burn wound. International Journal of Latest Trends in Engineering and
Technology 2014; 4(2): 103-109.
37. Wong KK, Liu X. Silver nanoparticles-the real “silver bullet” in clinical
medicine? Med ChemCommun 2010; 1:125-31.
38. Maksimovic J, Markovic L, Bumbasevic M, Marinkovic J, Vlajinac H. Surgical
site infection in orthopedic patients : Prospective cohort study. Coatian Med J.
2008: 49(1).
39. Cuttle L, Naidu S, Mill J, et al. A retrospective cohort study of Acticoat versus
Silvazine in a paediatric population. Burns 2007; 33(6): 701-707.
40. Rustogi R, Mill J, Fraser JF, Kimble RM. The use of Acticoat TM in neonatal
burns. Burns 2005; 31: 878-882.
41. Hidayat TSN, Noer MS, Saputro ID. Five Years Retrospective Study of Burns in
Dr Soetomo General Hospital Surabaya. Surabaya: Department of Plastic

67
Reconstructive and Aesthetic Surgery Airlangga University School of Medicine
Dr Soetomo General Hospital Surabaya; 2015. p. 1-9.
42. Elfiah U, Riasa N. Epidemiology and Burns Referral in Secondary Burn Unit of
Soebandi Hospital, Jember Regency, East Java – Indonesia. Presented at the 11th
Asia Pacific Burn Congress: Towrds Holistic Care for Burn Recovery in Taipei
on 2nd of April 2017.
43. Jeong Y, Lim DW, Choi JH. Assessment of Size-Dependent Antimicrobial and
Cytotoxic Properties of Silver Nanoparticles. Advances in Materials Science and
Engineering. 2014; 1: 1-6.

68

Anda mungkin juga menyukai