Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

TENTANG KEJANG DEMAM DI RUANG IGD


RSUD IDAMAN BANJARBARU

Disusun Oleh
Nama / NIM :

HASLINDA (11409716042)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


AKADEMIK KEPERAWATAN KESDAM VI / TANJUNGPURA
JL.MAYJEND SOETOYO.S NO 468
BANJARMASIN
2018
LEMBAR PERSETUJUAN

Saya Yang Bertanda Tangan Dibawah Ini :

Nama : Haslinda

Nim : 11409716042

Tingkat : III B

Telah Menyelesaikan Laporan Pendahuluan Tentang Kejang Demam Di Ruang IGD RSUD
Idaman Banjarbaru.

Banjarbaru, 12 November 2018

Mahasiswa

Haslinda

( 11409716042 )

Mengetahui

Pembimbing CI Pembimbing CT
LAPORAN PENDAHULUAN
KEJANG DEMAM

I. Konsep Teori

A. Pengertian

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan

suhu tubuh (suhu tubuh rektal diatas 38 oC) yang disebabkan oleh proses

ekstrakranium (otitis media akut, bronkhopneumonia, gastroenteritis akut,

dan lain-lain) (Ngastiyah, 2005).

Kejang demam adalah gangguan transien pada anak-anak yang

terjadi bersamaan dengan demam (Wong, 2009).

Kejang demam adalah yang berhubungan dengan demam (suhu

tubuh diatas 38 oC per rektal) tanpa adanya infeksi saluran saraf pusat atau

gangguan elektrolit akut (IDAI, 2004).

“Kejang demam adalah bentuk paling umum dari kejang, terjadi

pada 2-5% anak-anak. Dalam pendekatan terhadap infeksi sistem saraf

pusat kejang-kejang pasien demam, menemukan penyebab demam dan

tidak termasuk, ketidakseimbangan elektrolit yang serius dan penyakit

neurologis akut lainnya sangat penting” (Fallah & Golestan, 2008: 129-

132).

Kesimpulan : Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena

kenaikan suhu tubuh (suhu tubuh rektal diatas 38 oC).


B. Anatomi dan fisiologi

a. Anatomi dan fisiologi persarafan menurut setiadi (2007)

Gambar 2. 1 bagian-bagian otak manusia

(Sumber: Dimazsetiadi.wordpress.com)

Sistem saraf pusat, meliputi meliputi otak yaitu suatu alat tubuh

yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua

alat tubuh. Bagian dari saraf sentral yang terletak didalam rongga

tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat.

Berat otak orang dewasa berkisar 1400 gram.

b. Pelindung otak

Otak dilindungi oleh beberapa komponen yang terdiri dari kulit

kepala, tulang tengkorak dan meningen (selaput otak).

c. Bagian-bagian otak
Bagian otak terdiri dari:

1) Cerebral hemisphrase (serebrum: otak besar)

2) Diancephalon

3) Brain stem (batang otak)

4) Cerebellum (otak kecil)

d. Cerebral hemisphrase (serebrum: otak besar)

Berpasangan (kanan dan kiri) bagian atas dari otak yang mengisi

lebih dari setengah masa otak. Permukaannya berasal dari bagian yang

menonjol (gyri) dan lekukan (sulci).

Cerebrum dibagi dalam 4 lobus yaitu: lobus frontalis, menstimulus

pergerakan otak, yang bertanggung jawab untuk proses berfikir. Lobus

parietalis, merupakan area sensoris dari otak yang merupakan sensasi

perabaan, tekanan, dan sedikit menerima perubahan temperatur. Lobus

occipitalis, mengandung area visual yang menerima sensasi dari mata. Lobus

temporalis, mengandung area auditori yang menerima sensasi dari telinga.

Area khusus otak besar (cerebrum) adalah somatic sensory area

yang menerima impuls dari reseptor sensori tubuh, primary motor

area yang mengirim impuls ke otot skeletal. Broca’s area yang terlibat

dalam kemampuan bicara.


e. Cerebellum (otak kecil)

Terletak dalam fosa cranial posterior, dibawah tentorium celebrum

bagian posterior dari pons faroli dan medulla oblongata. Cerebrum

mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan oleh fermis berat

cerebellum lebih kurang 150 gram (85-90%) dari berat otak

seluruhnya. Fungsi cerebellum mengambalikan tonus otot diluar

kesadaran yang merupakan suatu mekanisme saraf yang berpengaruh

dalam pengaturan dan pengendalian terhadap:

1) Perubahan ketegangan dalam otot untuk mempertahankan

keseimbangan dan sikap tubuh.

2) Terjadinya kontraksi dengan lancar dan teratur pada pergerakan

dibawah pengendalian kemauan dan mempunyai aspek

ketrampilan.

Setiap pergerakan memerlukan koordinasi dalam kegiatan

sejumlah otot. Otot antagonis harus mengalami relaksasi secara teratur

dan otot sinergis berusaha memfiksasi sesuai dengan kebutuhan yang

diperlukan oleh bermacam pergerakan.

f. Ventrikel otak

Yaitu beberapa rongga yang saling berhubungan didalam otak yang

berisi cairan serebrospinalis. Fungsi dari cairan serebrospinalis adalah

sebagai buffer. Melindungi otak dan sumsum tulang dari goncangan

dan trauma. Menghantar makanan kesistem saraf pusat. Ada tiga jenis

kelompok saraf yang dibentuk oleh saraf serebrospinalis yaitu saraf

sensorik (saraf afferent), yaitu membawa impuls dari otak dan medulla

spinalis ke perifer. Saraf motorik (saraf efferent), menghantarkan

impuls dari otak dan medulla spinalis ke perifer. Saraf campuran, yang
mengandung serabut motorik dan sensorik, sehingga dapat

menghantar impuls dalam dua jurusan.

g. Medulla spinalis

Medula spinalis disebut juga sumsum tulang belakang yang

terlindungi dalam tulang belakang dan berfungsi untuk menyalurkan

komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan berperan sebagai:

gerak reflek, berisi pusat pengontrolan, mengontrol denyut jantung,

pengaturan tekanan darah, pernafasan, menelan dan muntah.

h. Hipotalamus

Hipotalamus merupakan bagian ujung depan diesenfalon yang

terletak di bawah sulkus hipotalamik dan didepan nucleus

interpundenkuler hipotalamus terbagi dalam berbagai inti dan daerah

inti. Terletak pada anterior dan inferior thalamus berfungsi

mengontrol dan mengatur sistem saraf autonom juga bekerja dengan

hipofisis untuk mempertahankan keseimbangan cairan,

mempertahankan pengaturan suhu tubuh melalui peningkatan

vasokontriksi atau vasodilatasi dan mempengaruhi sekresi hormonal

dengan kelenjar hipofisis, juga sebagai pusat lapar dan mengontrol

berat badan, sebagai pengatur tidur, minum, perilaku seksual, tekanan

darah, perilaku agresif, seksual dan pusat respon emosional.

i. Talamus

Talamus berada pada salah satu sisi pada sepertiga fentrikel dan

aktivitas primernya sebagai pusat penyambung sensasi bau yang

diterima semua impuls memori, sensasi dan nyeri melalui bagian ini.

j. Traktus spinotalamus (serabut-serabut segera menyilang kesisi yang

berlawanan dan masuk kemedula spinalis dan naik). Bagian ini

bertugas mengirim impuls nyeri dan temperatur ketalamus dan kortek

serebri.
k. Kelenjar hipofisis dianggap sebagai masker kelenjar karena sejumlah

hormon dan fungsinya diatur oleh kelenjar ini. Hipofisis merupakan

bagian otak yang tiga kali lebih sering timbul tumor pada orang

dewasa.

l. Hipotesis termostatik: mengajukan bahwa suhu tubuh diatas titik

tersebut akan menghambat nafsu makan. Mekanisme aferen: empat

hipotesis utama tentang mekanisme aferen yang terlibat dalam

pengaturan masukan makanan telah diajukan dan keempat hipotesis

itu tidak ada hubungannya satu dengan yang lainnya.

Hipotalamus mempunyai fungsi sebagai pengaturan suhu tubuh dan

untuk mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh.

1) Pirogen endogen

Demam yang ditimbulkan oleh sitokin mungkin disebabkan

oleh pelepasan prostaglandin lokal dihipotalamus. Penyuntikan

prostaglandin kedalam hipotalamus menyebabkan demam. Selain

itu efek antipiretik aspirin bekerja langsung pada hipotalamus dan

aspirin menghambat sintesis prostaglandin.

2) Pengatur suhu

Dalam tubuh, panas dihasilkan oleh gerakan otot, asimilasi

makanan dan oleh semua proses fital yang berperan dalam

metabolisme basal. Panas dikeluarkan dari tubuh melalui radiasi,

konduksi (hantaran) dan penguapan air disaluran nafas dan kulit.

Keseimbangan pembentukan pengeluaran panas menentukan suhu

tubuh, karena kecepatan reaksi-reaksi kimia bervariasi sesuai

dengan suhu dan karena sistem enzim dalam tubuh memiliki

rentang suhu normal yang sempit agar berfungsi optimal, fungsi

tubuh normal tergantung pada suhu yang relative konstan (Price,

1995).
C. Etiologi

Menurut Wong (2009), penyebab kejang demam yaitu:

a. Demam itu sendiri yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan

atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran

kemih.

b. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme.

c. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.

d. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.

e. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan, yang tidak

diketahui atau enselofati toksik sepintas.

D. Tanda dan Gejala

a. Menurut Riyadi dan Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang muncul

pada penderita kejang demam:

1) Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38 oC.

2) Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal

atau akinetik. Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak

memberikan reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian anak

akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persarafan.

3) Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti

panggilan, cahaya (penurunan kesadaran).

E. Patofisiologi

Infeksi yang terjadi pada jaringan diluar kranial seperti tonsilitis, otitis

media akut, bronkitis penyebab terbanyaknya adalah bakteri yang bersifat

toksik. Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar

keseluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen

Penyebaran toksik keseluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus


dengan menaikan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh

mengalami bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di

hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu tubuh dibagian yang lain

seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot.

Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit dan jaringan tubuh yang lain

akan disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan

prostlaglandin. Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang

peningkatan potensial aksi pada neuron. Peningkatan potensial inilah yang

merangsang perpindahan ion natrium, ion kalium dengan cepat dari luar

sel menuju kedalam sel. Peristiwa inilah yang diduga dapat menaikan fase

deplorasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang.

(Sujono & Sukarmin, 2009).


Pathway

(Sujono & Sukarmin, 2009)


F. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksan penunjang untuk penyakit kejang demam adalah:

1. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk penyebab

demam atau kejang, pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap,

gula darah, elektrolit, urinalisis, dan biakan darah, urin atau feses.

2. Pemeriksaan cairan serebrosphinal dilakukan untuk menegakan atau

kemungkinan terjadinya meningitis. Pada bayi kecil sering kali sulit

untuk menegakan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena

manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika yakin bukan meningitis secara

klinis tidak perlu dilakukan fungsi lumbal, fungsi lumbal dilakukan

pada:

a. Bayi usia kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan

b. Bayi berusia 12 – 18 bulan dianjurkan

c. Bayi lebih usia dari 18 bulan tidak perlu dilakukan

3. Pemeriksaan elektroenselografi (EEG) tidak direkomendasikan.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas,

misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun,

kejang demam fokal.

4. Pemeriksaan CT Scan dilakukan jika ada indikasi:

a. Kelainan neurologis fokal yang menetap atau kemungkinan adanya

lesi struktural di otak

b. Terdapat tanda tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah

berulang, ubun-ubun menonjol, edema pupil), (Pudjiaji, 2010).


G. Prognosis

Tingginya angka morbiditas dan mortalitas diantara bayi baru lahir yang
mengalami kejang berkaitan langsung dengan keparahan factor etiologic yang memliki
keterkaitan erat dengan kerusakan otak permanen. Asfiksia perinatus, perdarahan
intraventrikel yang parah,dan malformasi serebrum khusunya memiliki dampak yang
buruk terhadap perkembangan saraf.
Kejang rekuren dari pertama kehidupan yang mengganggu pernafasan dan jadwal makan
dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, terutama jika skor apgar pada menit kelima
rendah. EEG yang normal pada awal kejang berkaitan erat dengan prognosis yang baik.
Sebaliknya beberapa pola EEG pada bayi cukup bulan,termasuk spikes multifocal atau
proses iktus, aktivitas latar suppression burts, dan rekaman isoelektrik biasanya
mengisaratkan prognosis yang fatal atau kecacatan otak pada lebih 90% kasus.
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat,prognosisnya baik dan tidak
menyebabkan kematian.Dua penyelidikan masing-masing mendapat angka kematian
0,46% dan 0,74%.
Dari penelitian yang ada, Frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25%- 50%,yang
umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat kepada umur, jenis kelamin dan
riwayat keluarga mendapatkan :
- Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejan pada wanita 50% dan
pria
33%.
- Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya
kejang,terulang kejangnya adalah 50%, sedang tanpa riwayat kejang25%
Hemiparesi biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama
(berlangsung dari setengah jam) baik bersifat umum ataupun fokal.kelumpuhannya sesuai
dengan fokal yang terjadi.
Mula-mula kelumpuhan bersifat flasid,tetapi setelah 2 minggu timbul
spastisitas.Millichap melaporkan dari 1190 anak menderita kejang demam hanya 0,2%
saja yang mengalami hemiparesis sesudah kejang lama.
Dari suatu penelitian terhadap 431 penderita dengan kejang demam
sederhana,tidak terdapat kelainan pada IQ,tetapi pada penderita kejang demam yang
sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neurologis akan
didapat IQ yang lebih rendah dibanding dengan saudaranya Apabila kejang demam
diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam ,retardasi mental akan terjadi 5 kali lebih
besar.

H. Penatalaksanaa keperawatan

1. Pemeriksaan neurologis yang pertama kali dilakukan secara inspeksi

dengan dilakukam adanya kelainan pada neurologis seperti kejang,

gemeteran, gerakan halus yang konstan, gerakan spasmodik yang

berlangsung singkat seperti otot lelah, gerakan involumer kasar tanpa

tujuan, kelumpuhan pada anggota gerak.

2. Pemeriksaan refleks, pada pemeriksaan ini yang dilakukan adalah:

a. Refleks supervisial, dengan cara menggores kulit abdomen dengan

empat goresan yang membentuk segi empat dibawah xifoid.

b. Refleks tendon, dengan mengetuk menggunakan hammer pada

tendon, biseps, trisep, pattela, achiles dengan penilaian pada bisep

(terjadi fleksi sendi siku), trisep (terjadi ekstensi sendi siku), patella

(terjadi ekstensi sendi lutut), achiles (terjadi fleksi plantar kaki),

apabila hiper refleks berarti ada kelainan pada upper motor neuron

dan apabila hiporefleks maka ada kelainan pada lower motor

neuron.

c. Refleks patologis dapat menilai adanya refleks babinski dengan

cara mengompreskan plantar kaki dengan alat yang sedikit runcing,

hasilnya positif apabila terjadi ekstensi ibu jari.


3. Pemeriksaan tanda meningeal antara lain kaku kuduk dengan cara

pasien diatur posisi terlentang kemudian leher ditekuk apabila terdapat

tekanan dagu dan tidak menempel atau mengenai bagian dada maka

terjadi kaku kuduk.

4. Pemeriksaan keempat adalah pemeriksaan kekuatan dan tonus otot

dengan menilai pada bagian ekstremitas, dengan cara memberi

tahanan atau menggerakan bagian otot yang akan dinilai. (Hidayat,

2009).
II. Konsep Dasar Keperawatan

Pengkajian kejang demam dengan pendekatan proses keperawatan menurut

Riyadi dan Sukarmin (2009).

A. Pengkajian

a) Riwayat penyakit

Pada anak yang kejang demam riwayat yang menonjol adalah

adanya demam yang dialami oleh anak (suhu rektal diatas 38 oC).

Demam ini dilatar belakangi adanya penyakit lain yang terdapat pada

luar cranial seperti tonsillitis dan faringitis. Sebelum serangan kejang

pada pengkajian status kesehatan biasanya anak tidak mengalami

kelainan apa-apa. Anak masih menjalani aktivitas sehari-hari seperti

biasa seperti bermain-main dengan teman sebaya dan pergi sekolah.

b) Pengkajian fungsional

Pengkajian fungsional yang mengalami gangguan adalah terjadi

penurunan kesadaaran anak dengan tiba-tiba sehingga kalau dibuktikan

dengan tes Glasgow coma scale skor yang dihasilkan berkisar antara 5-

10 dengan tingkat kesadaran dari apatis sampai somnolen atau mungkin

dapat koma. Kemungkinan ada gangguan jalan nafas yang dibuktikan

dengan peningkatan frekuensi pernafasan >30 kali per menit dengan

irama cepat dan dangkal, lidah terlihat menekuk menutupi faring.

Pada kebutuhan rasa aman dan nyaman anak mengalami gangguan

kenyamanan akibat hipertermia, sedangkan keamanan terancam karena

anak mengalami kehilangan kesadaran yang tiba-tiba beresiko terjadi

cidera secara fisik maupun fisiologis.


c) Pengkajian tumbuh kembang anak

Secara umum kejang demam tidak mengganggu pertumbuhan dan

perkembangan anak. Ini dipahami dengan catatan kejang yang dialami

anak tidak terlalu sering terjadi atau masih dalam batasan yang

dikemukakan oleh Livingston (1tahun tidak lebih dari 4 kali) atau

penyakit yang melatar belakangi timbulnya kejang seperti tonsillitis,

faringitis segera dapat diatasi.

Kalau kondisi tersebut tidak terjadi anak dapat mudah mengalami

keterlambatan pertumbuhan misalnya berat badan yang berkurang

karena ketidakcukupan asupan nutrisi sebagai dampak anoreksia, tinggi

badan yang kurang dari umur semestinya sebagai akibat penurunan

asupan mineral.

Sebagai gangguan pertumbuhan sebagai dampak kondisi diatas

anak juga dapat mengalami gangguan perkembangan seperti penurunan

kepercayaan diri akibat sering kambuhnya penyakit sehingga anak

lebih banyak berdiam diri bersama ibunya kalau disekolah, tidak mau

berinteraksi dengan teman sebaya. Saat dirawat dirumah sakit anak

terlihat pendiam, sulit berinteraksi dengan orang yang ada disekitar,

jarang menyentuh mainan. Kemungkinan juga dapat terjadi gangguan

perkembangan yang lain seperti kemampuan motorik kasar seperti

meloncat, berlari.
B. Diagnosa Keperawatan

(Sujono & Sukarmin, 2009)

Berdasarkan perjalanan patofisologi penyakit dan manisfestasi klinis yang

muncul maka keperawatan yang muncul pada pasien dengan kejang

demam adalah :

(1) Hipertermi berhubungan dengan gangguan keseimbangan cairan dan


elektrolit.
(2) Resiko kejang berulang berhubungan dengan hipertermi.
(3) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hipertermi.
(4) Risiko tinggi trauma/cidera berhubungan dengan kelemahan, perubahan
kesadaran, koordinasi otot
C. Intervensi beserta rasional

Diagnosa I : Hipertermi berhubungan dengan gangguan keseimbangan cairan dan


elektrolit.
1. Tujuan : suhu tubuh normal.
2. Kriteria hasil :
a) suhu 365 – 375 oC.
b) Anak tidak rewel
3. Rencana tindakan :
1) Observasi TTV tiap 4 jam.
R : Perubahan TTV khususnya peningkatan suhu tubuh
mengidentifikasikan beratnya kejang.

2) Kompres hangat dan ajarkan keluarga cara mengompres.


R : Perpindahan panas secara konduksi, pori-pori mengalami
vasodilatasi yang mempercepat proses penguapan.

3) Berikan pakaian tipis yang menyerap keringat.


R : Pakaian yang tipis membantu mempercepat pengeluaran panas.

4) Anjurkan klien untuk banyak minum.


R : Minum yang banyak mencegah terjadinya dehidrasi sehingga
peningkatan suhu tubuh dapat dicegah.

5) Kolaborasi pemberian antibiotik dan antipiretik.


R : Antipiretik berfungsi untuk penurunan panas sedangkan antibiotik
untuk mencegah infeksi.

Diagnosa II : Resiko kejang berulang berhubungan dengan hipertermi


1. Tujuan : Klien tidak mengalami kejang selama hipertermi
2. Kriteria hasil :
1) Tidak terjadi serangan kejang berulang.
2) Suhu 36,5-37,5oC (bayi), 36-37,5oC (anak).
3) Nadi 110-120 x/menit (bayi), 100-110 x/menit (anak).
4) Respirasi 30-40 x/menit (bayi), 24-28 x/menit (anak).
5) Kesadaran composmentis.
3. Rencana tindakan :
1) Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat.
R : Proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak
menyerap keringat.
2) Berikan kompres air hangat.
R : Perpindahan panas secara konduksi, pori-pori mengalami
vasodilatasi yang mempercepat proses penguapan.
3) Berikan ekstra cairan (susu, sari buah, dan lain-lain).
R : Saat demam, kebutuhan cairan tubuh meningkat.
4) Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam.
R : Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan
dilakukan.
5) Batasi aktivitas selama anak panas.
R :Aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas.
6) Berikan antipiretika dan pengobatan sesuai advis.
R : Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai profilaksis.

Diagnosa III : Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hipertermi.


1. Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi

2. Kriteria hasil : Suhu tubuh 36 – 37,5º C, N ; 100 – 110 x/menit, RR : 24 – 28


x/menit, Kesadaran composmentis, anak tidak rewel.

3. Intervensi dan Rasional :

1) Kaji faktor – faktor terjadinya hiperthermi.


R : mengetahui penyebab terjadinya hiperthermi karena penambahan

pakaian/selimut dapat menghambat penurunan suhu tubuh.

2) Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali

R : Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan

keperawatan yang selanjutnya.


3) Pertahankan suhu tubuh normal
R : suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan,

kelembaban tinggiakan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.

4) Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak .


R : proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara.

5) Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun
R : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat
menyerap keringat.

6) Atur sirkulasi udara ruangan.


R : Penyediaan udara bersih.

7) Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum


R : Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.

8) Batasi aktivitas fisik


R : aktivitas meningkatkan metabolismedan meningkatkan panas

Diagnosa IV : Risiko tinggi trauma / cidera berhubungan dengan kelemahan, perubahan


kesadaran, koordinasi otot
1. Tujuan : Cidera atau trauma tidak terjadi

2. Kriteria Hasil : Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan

pengobatan,meningkatkan keamanan lingkunagan

3. Intervensi dan Rasional :

1) Observasi tanda – tanda vital dan keadaan umum.


R : Mengindikasikan keadaan klien.

2) Catat tipe dari aktivitas kejang, berapa kali dan lama kejang.
R : Tipe dan lama kejang mempengaruhi terapi yang diberikan.

3) Lindungi klien dari trauma ( sudip lidah ).


R : Mencegah terjadinya trauma pada klien.
4) Beri lingkungan yang nyaman bagi klien.
R : Lingkungan yang nyaman membantu penyembuhan klien.

5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian anti konvulsan.


R : Anti konvulsan mencegah terjadinya kejang.
D. Evaluasi secara teoritis

Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang Demam


meliputi pola pernafasan kembali efektif, suhu tubuh kembali normal, anak
menunjukkan rasa nymannya secara verbal maupun non verbal, kebutuhan
cairan terpenuhi seimbang, tidak terjadi injury selama dan sesudah kejang dan
pengatahuan orang tua bertambah.
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus
menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi
tujuan jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang
dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan yang pencapaian tujuan
jangka panjang.
Komponen tahapan evaluasi :
Pencapaian kriteria hasil
Pencapaian dengan target tunggal merupakan meteran untuk pengukuran. Bila
kriteria hasil telah dicapai, kata “ Sudah Teratasi “ dan datanya ditulis di
rencana asuhan keperawatan. Jika kriteria hasil belum tercapai, perawat
mengkaji kembali klien dan merevisi rencana asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Krisanty P,. Dkk (2008), Asuhan Keperawatan Gawat darurat, Trans info Media,
Jakarta

Huda, Nuratif dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa NANDA NIC-NOC. Jakarta: Media Action.

https://www.academia.edu/25204278/KEJANG_DEMAM_GADAR

Anda mungkin juga menyukai