Anda di halaman 1dari 66

1.

ABSORPSI SEDIAAN ORAL PADA SALURAN CERNA

ANATOMI SALURAN CERNA

A. Mulut

Mulut adalah rongga lonjong pada permukaan saluran penceranaan. Terdiri atas
dua bagian, bagian luar yang sempit, yaitu ruang di antara gusi serta gigi dengan bibir
dan pipi, dan bagian dalam, yaitu rongga mulut yang dibatasi di sisi-sisinya oleh
tulang maxilaris dan semua gigi, dan di sebelah belakang dengan awal faring.
Di dalam mulut terdapat tiga kelenjar ludah, yaitu: kelenjar parotis, kelenjar
submandibularis, kelenjar sublingualis. kelenjar ludah berfungsi mengeluarkan saliva.
Saliva memiliki pH 6,7-7,8 mengandung enzim ptyalin, fungsinya untuk
membebaskan zat aktif dari obat.

B. Tenggorokan (Esofagus)
Esofagus adalah suatu organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm
dengan garis tengah 2 cm. Esophagus terutama berfungsi untuk menghantarkan makanan
dan obat dari faring ke lambung, dengan gerakan peristaltic. Dinding esophagus seperti
juga bagian lain dari saluran cerna, terdiri dari empat lapisan: mukosa, sub mukosa,
muskularis, dan serosa.

C. Lambung

Panjang sekitar 25 cm dan lebar 10 cm dan memiliki kapasitas volume 1- 1 ½


liter. Secara anatomis lambung dibagi atas fundus, korpus dan antrum pilorikum atau
pilorus.
Lambung terdiri dari empat lapisan, yaitu lapisan tunika serosa atau lapisan luar,
muskularis, submukosa,dan mukosa.
Kandungan lambung adalah asam lambung, mucus, polisakarida, protein mineral, dan
cairan lambung yang memiliki pH 1,9.
Hormone gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pylorus lambung.
Gastrin merangsang kelenjar gastric untuk menghasilkan asam hidroklorida dan
pepsinogen. Subtansi lain yang diseksresi oleh lambung adalah enzim dan berbagai
elektrolit, terutama ion-ion kalium, natrium dan klorida.
Fungsi lambung dibagi menjadi dua yaitu fungsi motorik dan fungsi pencernaan dan
sekresi. Fungsi motorik dibagi menjadi tiga yaitu fungsi reservoir (menyimpan
makanan sampai mekanan tersebut sedikit demi sedikit dicernakan dan bergerak pada
saluran cerna.), fungsi mencampur (memecah makanan menjadi partikel-partikel kecil
dan mencampurnya dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang mengelilingi
lambung.), fungsi pengosongan lambung.
Fungsi pencernaan dan sekresi dibagi menjadi tiga, yaitu pencernaan protein oleh
pepsin dan HCl, pencernaan karbohidrat dan lemak oleh amylase dan lipase, sintesis
dan pelepasan gastrinyang dipengaruhi oleh protein pada makanan, peregangan
antrum, dan rangsangan vagus, sekresi mucus membentuk selubung yang melindungi
lambung serta berfungsi sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut.

Keadaan pH lambung:

Subjek pH rata-rata Rentang pH

Normal 1,9 0,5-5

Tukak duodenum 1,7 0,6-1,9

Tukak lambung 4,1 1,9-6,8

Gastritis 5,0 2,0-5,7

Adanya makanan di dalam lambung, maka lambung melakukan fase digestive dan
apabila tidak terdapat makanan dalam lambung, maka lambung melakukan fase
interdigestive.

Selama proses digestive:


• Partikel-partikel makanan atau padatan yang lebih besar dari 2 mm ditahan di dalam
lambung.
• Partikel yang lebih kecil dikosongkan melalui sphincter pilorik dengan laju orde kesatu
terrgantung pada isi dan ukuran makanan.

Selama fase interdigestive


• Lambung istirahat selama 30-40 menit sesuai dengan waktu istirahat yang sama dengan
usus.
• Terjadi kontraksi peristaltic yang diakhiri dengan housekeeper contraction yang kuat yang
memindahkan segala sesuatu yang ada dalam lambung ke usus halus.
• Dengan cara yang sama, partikel yang besar dalam usus halus akan berpindah hanya selama
waktu housekeeper contraction.

Apabila suatu obat diberikan pada saat fase digestive maka obat tersebut dapat tinggal
dalam lambung selama beberapa jam. Bahan makanan yang berlemak akan memperpanjang
waktu tinggal obat dalam lambung.
Jika obat diberikan selama fase interdigestive, obat akan berpindah secara sepat ke dalam
usus halus.
Pelarutan obat dalam lambung juga dipengaruhi oleh ada atau tidaknya makanan, karena pH
lambung normal pada keadaan istirahat adalah 1, bila ada makanan pH menjadi naik menjadi
3-5.
Waktu tinggal yang lebih lama di dalam lambung, obat dapat terkena pengadukan yang kuat
dalam lingkungan asam.

D. Usus halus
Usus halus memiliki panjang kira-kira enam meter dan diameternya 2-3 cm. Terdiri dari
duodenum memiliki pH 4-6 dan waktu transit selama 15 menit, jejunum memiliki pH 6-7dan
waktu transit 2-3 ½ jam, ileum memiliki pH 6-8. Berfungsi untuk sekresi (untuk duodenum
dan bagian pertama jejunum) dan absorpsi (bagian akhir jejunum dan ileum). Bagian pertama
dari usus halus steril sedangkan bagian akhir yang menghubungkan secum (bagian awal dari
usus besar) mengandung beberapa bakteri.
Usus adalah tempat absorpsi makanan dan obat yang sangat besar karena usus halus memiiki
mikrovilli usus halus yang memberikan luas permukaan yang sangat besar untuk absorpsi
obat dan makanan.

Konsistensi usus halus berupa cairan kental seperti bubur.


Waktu transit untuk makanan dari mulut ke secum memerlukan waktu sekitar 4-6 jam,
sedangkan waktu transit sediaan padat dari 95% populasi sekitar 3 jam atau kurang.
Dua cairan pencerna masuk duodenum, yaitu cairan ampedu melalui hati dan getah prankeas
dari prankeas. sekresi prankreas berupa enzim amilasi, lipase, proteolitik. Sekresi empedu
berupa musin, garam empedu.
Ada tiga gerakan yang terjadi pada usus halus, yaitu: segmentasi, peristaltic, pendule.

E. Usus besar
Usus besar atau kolon yang kira-kira 1 ½ meter panjangnya adalah merupakan
sambungan dari usus halus.
Usus besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu kolon asendens, kolon transverses dan kolon
desendens.
Fungsi usus besar tidak untuk absorpsi, tetapi sebagai organ dehidrasi dan saluran untuk
mengeluarkan feses (defekasi).
Isi kolon memiliki pH 7,5-8.
Antibiotic yang tidak diabsorpsi tidak sempurna akan mempengaruhi flora normal bakteri
dalam kolon.
Usus besar tidak ikut serta dalam pencernaan atau absorpsi makanan. Bila isi usus halus
mencapai sekum maka semua zat telah diabsorpsi dan bersifat cair. Selama perjalanan di
dalam kolon isinya menjadi makin padat karena terjadi reabsorpsi air dan ketika mencapai
rectum feses bersifat padat. Gerakan peristaltic dalam kolon sangat lamban dan
diperlukan waktu kira-kira enam belas sampai dua puluh jam bagi isinya untuk mencapai
flexura sigmoid.
2. DISTRIBUSI OBAT PADA WANITA HAMIL DAN MENYUSUI

DISTRIBUSI OBAT PADA WANITA HAMIL

Volume distribusi obat akan mengalami perubahan selama kehamilan akibat


peningkatan jumlah volume plasma hingga 50%. Peningkatan curah jantung akan
mengakibatkan peningkatan aliran darah ginjal sampai 50% pada akhir trimester I,
dan peningkatan aliran darah uterus yang mencapai puncaknya pada aterm (36-42
L/jam), dimana 80% akan menuju ke plasenta dan 20% akan menuju ke myometrium.
Peningkatan total jumlah cairan tubuh adalah 8 L, terdiri dari 60% pada plasenta,
janin, dan cairan amnion, sementara 40% berasal dari ibu. Akibat peningkatan jumlah
volume ini, terjadi penurunan kadar puncak obat dalam plasma.

Mekanisme Transfer Obat melalui Plasenta :

Obat-obatan yang diberikan pada pediatri dapat menembus sawar plasenta sama
seperti nutrisi yang dibutuhkan janin. Dengan demikian, obat mempunyai potensi untuk
menimbulkan efek pada janin. Perbandingan konsentrasi obat dalam plasma ibu dan janin
dapat memberi gambaran pemaparan janin terhadap obat-obatan yang diberikan kepada
ibunya.

Waddell dan Marlowe (1981) menetapkan bahwa terdapat 3 tipe transfer obat-obatan
melalui plasenta sebagai berikut:

1) Tipe I
Obat-obatan yang segera mencapai keseimbangan dalam kompartemen ibu dan janin atau
terjadi transfer lengkap dari obat tersebut. Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini
adalah tercapainya konsentrasi terapetik yang sama secara simultan pada kompartemen
ibu dan janin.
2) Tipe II
Obat-obatan yang mempunyai konsentrasi dalam plasma janin lebih tinggi daripada
konsentrasi dalam plasma ibu (terjadi transfer yang berlebihan). Hal ini terjadi karena
transfer pengeluaran obat dari janin berlangsung lebih lambat.

3) Tipe III
Obat-obatan yang mempunyai konsentrasi dalam plasma janin lebih rendah daripada
konsentrasi dalam plasma ibu (terjadi transfer yang tidak lengkap).

Faktor-faktor yang mempengaruhi transfer obat melalui plasenta antara lain berat
molekul obat, PKa (pH saat 50% obat terionisasi), ikatan antara obat dengan protein plasma.
Pada obat dengan berat molekul lebih dari 500D akan terjadi transfer tak lengkap melewati
plasenta.
Mekanisme transfer obat melalui plasenta terjadi dengan cara difusi, baik aktif
maupun pasif, transport aktif, pinositosis, diskontinuitas membran, dan gradien
elektrokimiawi.

DISTRIBUSI OBAT PADA WANITA MENYUSUI :

- Hampir semua obat yang diminum oleh ibu menyusui terdeteksi oleh ASI,
konsentrasi obat di ASI pada umumnya adalah rendah.

- Obat yang larut dalam lemak, non polar dan tidak terion akan mudah melewati
membran sel alveoli dan kapiler susu.

- Obat yang terikat dengan protein plasma tidak dapat melewati membran, hanya
obat yang tidak terikat yang dapat melewatinya.

- Plasma relatif sedikit lebih basa dari ASI. Karena itu, obat yang bersifat basa
lemah di plasma akan lebih banyak dalam bentuk tidak terionisasi dan mudah
menembus membran alveoli dan kapiler susu.

- Kadar puncak obat ASI adalah sekitar 1-3 jam sesudah ibu meminum obat.
3. METABOLISME OBAT DI DALAM HATI

Biotransformasi terjadi terutama dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat rendah
terjadi dalam organ lain (misalnya dalam usus, ginjal, paru-paru, limpa,otot, kulit, atau dalam
darah). Enzim yang terlibat dalam biotransformasi terdapat terikat pada struktur dan di
samping itu tak terikat pada struktur. Enzim yang terikat pada struktur, terlokalisasi, terutama
dalam membran retikulum endoplasma (misalnya, monooksigenase, glukuronil transferase)
dan sebagian juga dalam mitokondria. Enzim yang tak terikat pada struktur sebagai enzim
yang larut (misalnya, esterase, amidase, sulfotransferase). Enzim-enzim ini sebagian besar tak
spesifik terhadap substrat. Ini berarti bahwa enzim mampu mengubah substrat dengan
struktur kimia yang sangat berbeda (Mutschler, 1991: 20). Adapun bagan penting dalam
proses biotransformasi adalah sebagai berikut : Berbagai enzim metabolisme intermedier,
enzim mikrosomal tidak menunjukkan sifat khas, enzim tersebut dapat menyesuaikan diri
dengan berbagai struktur molekul eksogen dan mengubah semua sunstrat yang terikat
dengannya. Enzim tersebut berperan dalam fenomena induksi. Proses sitokrom P450
dirangsang bersamaan waktunya dengan peningkatan aktivitas enzim oleh sejumlah faktor.
Endogen dan khusunya obat-obat yang dapat berubah (Anonimus, 1993: 63). Untuk lebih
jelasnya tentang induksi enzim oleh beberapa faktor eksogen dapat dilihat dalam tabel
sebagai berikut : Reaksi-reaksi yang dapat memungkinkan terjadinya biotransformasi terdiri
atas 2 tahap, yaitu reaksi fase I (pembentukan golongan polar) dan fase II (konjugasi).
Kebanyakan biotransformasi metabolik terjadi pada saat antara absorpsi obat tersebut ke
dalam sirkulasi umum dan eliminasinya melalui ginjal. Beberapa biotransformasi terjadi di
dalam lumen usus atau di dinding usus. Pada umumnya, semua reaksi ini dapat dimasukkan
dalam salah satu reaksi fase I atau reaksi fase II. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:
Reaksi Fase I
Pada reaksi fase I, terjadi proses biotransformai yang mengubah molekul oat
secara oksidasi, reduksi atau hidrolisis (Mutschler,1991: 20). Reaksi fase I biasanya
mengubah obat asal (parent drug) menjadi metabolit yang lebih polar dengan
menambahkan atau melaepaskan suatu gugus fungsional (-OH, -NH2, -SH).
Metabolit ini sering bersifat tidak aktif, walaupun pada beberapa keadaan aktifitas obat hanya
berubah saja. Jika metabolit reaksi fase I cukup polar, maka biasa dapat diekskresikan
dengan mudah. Namun, banyak produk reaksi fase I tidak di eliminasikan dengan
cepat dan mengalami suatu reaksi selanjutnya di amna suatu substrat endogen seperti
asam glukorat, asam sulfur, asam asetat atau suatu asam amino akan berkombinasi
dengan gugus fungsional yang baru untuk membentuk suatu konjugat yang sangat
polar. Reaksi konjugasi atau sintetik ini merupakan tanda dari reaksi fase II. Berbagai
macam obat mengalami reaksi biotransformasi berantai ini, contohnya: gugusan
hidrazid dari isoniazid dikenal membentuk suatu konjugat N-asetil dalam suatu reaksi
fase II. Konjugat ini merupakan substrat untuk reaksi fase I, yang disebut hidrolisa
menjadi asam isonikotrainat. Jadi, reaksi fase II sebenarnya bisa juga mendahului
reaksi fase I (Katzung, 1998: 54). Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:
Reaksi fase I pada dasarnya tidak bertujuan untuk menyiapkan obat untuk di
ekskresikan, tetapi bertujuan untuk menyiapkan senyawa yang digunakan untuk
metabolisme fase II. Sistem enzim yang terlibat dalam reaksi oksidasi adalah sistem
enzim mikrosomal yang disebut juga sebagai Mixed Function Oxidases (MFO) atau sistem
monooksigenase. Komponen utama dari MFO adalah sitokrom P450, yaitu komponen
oksidasi terminal dari suatu sistem transfer elektron yang berada pada retikulum endoplasmik
yang bertanggung jawab terhadap reaksi-reaksi oksidasi obat dan digolongkan sebagai enzim
yang mengandung haem(suatu haemprotein) dengan protoperfirin IX sebagai gugus protestik
(Gordon dan Skett, 1986). Reaksi yang dikatalisis oleh MFO meliputi hidroksilasi senyawa
alifatis dan aromatis, epokdidasi, dealkilasi, deaminasi, N-oksidasi dan S-oksidasi (Anief,
1990).

Reaksi Oksidasi adalah salah satu mekanisme reaksi perubahan obat yang
penting dan berperan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Raksi oksidasi
tersebut terjadi pada berbagai molekul menurut proses khusus tergantung pada
masing-masing tipe struktur kimianya yaitu reaksi hidroksilasi pada golongan alkil,
aril dan heterosiklik, reaksi oksidasi alkohol dan aldehid, reaksi pembentukan N-
oksida dan sulfoksida, reaksi desaminasi oksidatif, pembukaan inti dan sebagainya
(Anonimus, 1993).
Reaksi oksidasi dibagi menjadi 3 jenis menurut enzim yang mengkatalisisnya:
Oksidasi dengan mikrosom sitokrom P450
Mikrosom adalah fragmen RE dalam bentuk bulat yang diperoleh apabila
suatu jaringan hati dihomogenisasi pada 10-100s. dalam sistem transferase
oksigen terminal enzim yang digunakan adalah sitokrom P 450 yaitu, enzim yang mereduksi
ligan karbon monoksida yang mempunyai absorpsi spektrum
maksimum pada 450nm. Di bawah enzim ini, atom oksigen dari oksigen
molekuler dipindahkan ke molekul obat (DH---DOH). Sisa atom oksigen mengikat dua
proton dan membentuk air. Oksidasi dengan mikrosom non sitokrom P450
Oksidasi ini memberikan efek sebagai berikut:
Sulfoksidasi senyawa sulfur nukleofilik, contoh pada metimazol.
Hidroksilamin dari amin sekunder, contoh pada desimipramin, nortriptilen.
Amin oksida dari amin tersier pada guanethidin dan brompheniramin.
Oksidasi non mikrosom Oksidasi yang terjadi oleh enzim non mikrosomal seperti
dehidrogenase alkohol, aldehid dan oksidase monoamin dan diamin (Anief, 1990).
Reaksi Hidrolisis. Proses lain yang menghasilkan senyawa yang lebih polar
adalah hidrolisis dari ester dan amida oleh enzim esterase yang terletak baik
mikrosomal dan non mikrosomal akan menghidrolisasi obat yang mengandung gugus
ester. Di hepar lebih banyak terjadi dan terkonsentrasi, seperti hidrolisis Peptidin oleh
suatu enzim esterase non mikrosomal terdapat dalam darah dan beberapa jaringan
sebagai contoh Prokain dimetabolisis oleh esterase plasma (Anief 1990).

Reaksi Fase II
Reaksi konjugasi sesungguhnya merupakan reaksi antara molekul eksogen atau
metabolit dengan substrat endogen, membentuk senyawa yang tidak atau kurang
toksik dan mudah larut dalam air, mudah terionisasi da selanjutnya sangat mudah
dikeluarkan (Anonimus, 1993).
Dalam metabolisme fase kedua, obat yang tak berubah, asli atau merupakan
metabolit polar mengalami konjugasi dengan asam glukoronat, sulfat, asam
merkapturat atau asetat menjadi lebih polar dan diekskresikan lebih cepat. Jadi
metabolisme fase kedua merupakan penggabungan obat aslinya atau metabolitnya
dengan bermacam-macam komponen endogen. Reaksi konjugasi yang dilakukan oleh
enzim transferase memerlukan baik komponen endogen maupun eksogen (Anief,
1990). Contohnya adalah Fenobarbital yang membutuhkan reaksi fase I sebagai
persyaratan reaksi konjugasi.
Konjugasi dapat dibagi dalam kominasi tipe eter dan kombinasi tipe ester. Pada tipe
eter, konjugasi dilakukan melalui gugus hidroksil seperti metabolit alkohol dan
barbital. Sedangkan pada kombinasi tipe ester, konjugasi dilakukan melalui gugus
karboksil seperti asam salisilat.
Telah disebutkan bahwa ada 2 jenis enzim yang berperan dalam proses metabolisme,
yaitu enzim mikrosomal dan non mikrosomal. Perbedaan tersebut dikategorikan
berdasarkan letaknya di dalam sel. Kedua enzim ini, terutama terdapat di dalam sel
hati tetapi dapat juga terletak di sel jaringan lain seperti, ginjal, paru-paru, epitel
saluran cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga terdapat enzim non
mikrosomal yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi
konjugasi glukuronid, sebagian besar reaksi oksidasi, serta reaksi reduksi dan
hidrolisis. Sedangkan enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya,
beberapa oksidasi serta reduksi dan hidrolisis (Syarif, 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju metabolisme obat adalah sebagai
berikut:
Faktor intrinsik
Meliputi sifat fisika dan kimia obat, lipofilitas, dosis dan cara pemberian.
Faktor fisiologis
Meliputi sifat yang dimiliki makhluk hidup, seperti species, genetik, umur dan jenis
kelamin.
Faktor farmakologis
Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi enzim oleh induktor.
Faktor patologi
Menyangkut jenis dan kondisi penyakit.
Faktor makanan
Adanya konsumsi alkohol, rokok dan protein.
Faktor lingkungan
Adanya insektisida dan logam berat.
4. EKSKRESI DAN ELIMINASI DALAM TUBUH
1. pengertian sistem ekresi pada manusia
Ekskresi merupakan proses pengeluaran zat sisa metabolisme tubuh, seperti CO2, H2O, NH3,
zat warna empedu dan asam urat. Zat hasil metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh
akan dikeluarkan melalui alat ekskresi. Alat ekskresi yang dimiliki oleh mahluk hidup
berbeda-beda.semakin tinggi tingkatan mahluk hidup, semakin kompleks alat ekskresinya.
Beberapa istilah yang erat kaitannya dengan ekskresi :

 defekasi : yaitu proses pengeluaran sisa pencernaan makana yang disebut feses. Zat
yang dikeluarkan belum pernah mengalami metabolisme di dalam jaringan. Zat yang
dikeluarkan meliputi zat yang tidakl diserap usus sel epitel, usus yang rusak dan
mikroba usus.

 ekskresi : yaitu pengeluaran zat sampah sisa metabolisme yang tidak berguna lagi bagi
tubuh.

 sekresi : yaitu pengeluaran getah oleh kelenjar pencernaan ke dalam saluran


pencernaan. Getah yang dikeluarkan masih berguna bagi tubuh dan umumnya
mengandung enzim.

 eliminasi : yaitu proses pengeluaran zat dari rongga tubuh, baik dari rongga yang kecil
(saluran air mata) maupun dari rongga yang besar (usus).

Alat Alat Ekresi Pada Manusia

1. Ginjal
Ginjal atau Ren merupakan alat ekresi yang paling utama yang berbentuk seperti kacang
merah. Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di kiri dan kanan tulang belakang
yang panjangnya sekitar 10 cm. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di bawah ginjal kiri
untuk memberi tempat untuk hati. Sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke
sebelas dan duabelas. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan
lemak pararenal) yang membantu meredam goncangan.

2. PARU-PARU

Paru-paru atau pulmo merupakan organ pernafasan sekaligus sebagai alat eksresi pada
manusia karena paru paru mengeluarkan karbon dioksida dan uap air. Paru paru berada di
dalam rongga dada manusia sebelah kanan dan kiri yang dilindungi oleh tulang tulang rusuk.
Paru paru sebenarnya merupakan kumpulan kumpulan gelembung alveolus yang dibungkus
oleh suatu selaput yang disebut selaput pleura.

Dalam sistem ekskresi, fungsi paru-paru adalah untuk mengeluarkan karbondioksida dan uap
air. Dalam sistem pernafasan fungsi paru-paru adalah untuk proses pertukaran oksigen dan
karbondioksida di dalam darah. Dalam sistem peredaran darah, fungsi paru-paru adalah untuk
membuang karbondioksida di dalam darah dan menggantinya dengan oksigen

Didalam paru-paru terjadi proses pertukaran antara gas oksigen dan karbondioksida. Setelah
membebaskan oksigen, sel-sel darah merah menangkap karbondioksida sebagai hasil
metabolisme tubuh yang akan dibawa ke paru-paru. Di paru-paru karbondioksida dan uap air
dilepaskan dan dikeluarkan dari paru-paru melalui hidung.
3. HATI

Hati atau hepar merupakan kelenjar terbesar pada manusia, warnanya merah tua, dan
beratnya sekitar 2 kg pada orang dewasa. Hati dapat dikatakan sebagai alat sekresi dan
ekskresi. Mengapa hati dapat dikatakan sebagai alat sekresi? Hati menghasilkan empedu.
Oleh karena itu, hati sebagai alat sekresi. Hati dikatakan sebagai alat ekskresi karena empedu
yang dikeluarkan mengandung zat sisa yang berasal dari sel darah merah yang rusak dan
dihancurkan di dalam limpa. Di dalam hati, sel-sel darah merah akan dipecah menjadi hemin
dan globin. Hemin akan diubah menjadi zat warna empedu, yaitu bilirubin dan biliverdin. Zat
warna empedu keluar bersama feses dan urine, dan akan memberi warna pada feses dan urine
manjadi berwarna kuning
5. PENGARUH MAKANAN DAN MINUMAN TERHADAP EFEKTIFITAS
OBAT DALAM PELARUTAN, PELEPASAN, DAN ABSORPSI OBAT

Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi interaksi obat. Pengaruh
makanan terhadap kerja obat masih sangat kurang. Karena itu, pada banyak bahan obat masih
belum jelas bagaimana pengaruh pemberian makanan pada saat yang sama pada kinetika
obat. Pada sejumlah senyawa makanan menyebabkan peningkatan, penundaan, dan
penurunan absorbsi obat (Mutschler, 1999). Makanan dapat berikatan dengan obat, sehingga
mengakibatkan absorbsi obat berkurang atau lebih lambat. Sebuah contoh diskusi tentang
makanan yang berikatan dengan obat adalah interaksi tetrasiklin dengan produk-produk dari
susu. Akibatnya adalah penurunan konsentrasi tetrasiklin dalam plasma. Oleh karena adanya
efek pengikatan ini, maka tetrasiklin harus dimakan satu jam sebelum atau 2 jam sesudah
makan dan tidak boleh dimakan dengan susu (Hayes et al., 1996).

Jadi interaksi obat merupakan sarana bagi semua pihak. Pasien, dokter dan farmasis harus
bekerjasama, untuk upaya memaksimalisasi pemakiaan obat demi kepentingan pasien. Di era
informasi yang serba cepat dan mudah seperti sekarang ini, masyarakat mestinya semakin
menyadari untuk menjadi mitra aktif dalam menjaga pemeliharaan kesehatannya sendiri dan
keluarga (Harknoss, 1989).

Interaksi Obat dan Makanan

Dasar yang menentukan apakah obat diminum sebelum, selama atau setelah makan tentunya
adalah karena absorpsi, ketersediaan hayati serta efek terapeutik obat bersangkutan, yang
amat tergantung dari waktu penggunaan obat tersebut serta adanya kemungkinan interaksi
obat dengan makanan itu sendiri. Cukup banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk
menyelidiki hal ini. Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan dapat terjadinya
interaksi obat dengan makanan adalah :

• Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan pengosongan lambung dari saat
masuknya makanan

• Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu

• Perubahan suplai darah di daerah splanchnicus dan di mukosa saluran cerna

• Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses adsorpsi dan pembentukan kompleks

• Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan

• Perubahan biotransformasi dan eliminasi.

(Widianto, 1989)
Dari semua pengaruh ini, ada beberapa factor yang mempengaruhi interaksi obat dan
makanan antara lain:

a. Pengosongan lambung

Pada kasus tertentu misalnya setelah pemberian laksansia atau penggunaan preparat retard,
maka di usus besarpun dapat terjadi absorpsi obat yang cukup besar. Karena besarnya
peranan usus halus dalam hal ini, tentu saja cepatnya makanan masuk ke dalam usus akan
amat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi. Peranan jenis makanan juga
berpengaruh besar di sini. Jika makanan yang dimakan mengandung komposisi 40%
karbohidrat, 40% lemak dan 20% protein maka walaupun pengosongan lambung akan mulai
terjadi setelah sekitar 10 menit. Proses pengosongan ini baru berakhir setelah 3 sampai 4 jam.
Dengan ini selama 1 sampai 1,5 jam volume lambung tetap konstan karena adanya proses-
proses sekresi.

Tidak saja komposisi makanan, suhu makanan yang dimakanpun berpengaruh pada kecepatan
pengosongan lambung ini. Sebagai contoh makanan yang amat hangat atau amat dingin akan
memperlambat pengosongan lambung. Ada pula peneliti yang menyatakan pasien yang
gemuk akan mempunyai laju pengosongan lambung yang lebih lambat daripada pasien
normal. Nyeri yang hebat misalnya migren atau rasa takut, juga obat-obat seperti
antikolinergika (missal atropin, propantelin), antidepresiva trisiklik (misal amitriptilin,
imipramin) dan opioida (misal petidin, morfin) akan memperlambat pengosongan lambung.
Sedangkan percepatan pengosongan lambung diamati setelah minum cairan dalam jumlah
besar, jika tidur pada sisi kanan (berbaning pada sisi kiri akan mempunyai efek sebaliknya,)
atau pada penggunaan obat seperti metokiopramida atau khinidin. Jelaslah di sini bahwa
makanan mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung, maka adanya gangguan pada
absorpsi obat karenanya tidak dapat diabaikan.

b. Komponen makanan

Efek perubahan dalam komponen-komponen makanan :

1. Protein (daging, dan produk susu)

Sebagai contoh, dalam penggunaan Levadopa untuk mngendalikan tremor pada penderita
Parkinson. Akibatnya, kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik. Hindari
atau makanlah sesedikit mungkin makanan berprotein tinggi (Harknoss, 1989).

2. Lemak

Keseluruhan dari pengaruh makan lemak pada metabolisme obat adalah bahwa apa saja yang
dapat mempengaruhi jumlah atau komposisi asam lemak dari fosfatidilkolin mikrosom hati
dapat mempengaruhi kapasitas hati untuk memetabolisasi obat. Kenaikan fosfatidilkolin atau
kandungan asam lemak tidak jenuh dari fosfatidilkolin cenderung meningkatkan metabolism
obat (Gibson, 1991). Contohnya : Efek Griseofulvin dapat meningkat.interaksi yang terjadi
adalah interaksi yang menguntungkan dan grieseofluvin sebaiknya dimakan pada saat makan
makanan berlemak seperti daging sapi, mentega, kue, selada ayam, dan kentang goring
(Harkness, 1989).

3. Karbohidrat

Karbohidrat tampaknya mempunyai efek sedikit pada metabolism obat, walaupun banyak
makan glukosa, terutama sekali dapat menghambat metabolism barbiturate, dan dengan
demikian memperpanjang waktu tidur. Kelebihan glukosa ternyata juga mengakibatkan
berkurangnya kandungan sitokrom P-450 hati dan memperendah aktivitas bifenil-4-
hidroksilase (Gibson, 1991). Sumber karbohidrat: roti, biscuit, kurma, jelli, dan lain-lain
(Harkness, 1989).

4. Vitamin

Vitamin merupakan bagian penting dari makanan dan dibutuhkan untuk sintesis protein dan
lemak, keduanya merupakan komponen vital dari system enzim yang memetabolisasi obat.
Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa perubahan dalam level vitamin, terutama
defisiensi, menyebabkan perubahan dalam kapasitas memetabolisasi obat. Contohnya :

a. Vit A dan vit B dengan antacid, menyebabkan penyerapan vitamin berkurang.

b. Vit C dengan besi, akibatnya penyerapan besi meningkat.

c. Vit D dengan fenitoin (dilantin), akibatnya efek vit D berkurang.

d. Vit E dengan besi, akibatnya aktivitas vit E menurun.

(Harkness, 1989)

5. Mineral

Mineral merupakan unsur logam dan bukan logam dalam makanan untuk menjaga kesehatan
yang baik. Unsur – unsure yang telah terbukti mempengaruhi metabolisme obat ialah: besi,
kalium, kalsium, magnesium, zink, tembaga, selenium, dan iodium. Makanan yang tidak
mengandung magnesium juga secara nyata mengurangi kandungan lisofosfatidilkolin, suatu
efek yang juga berhubungan dengan berkurangnya kapasitas memetabolisme hati. Besi yang
berlebih dalam makanan dapat juga menghambat metabolisme obat. Kelebihan tembaga
mempunyai efek yang sama seperti defisiensi tembaga, yakni berkurangnya kemampuan
untuk memetabolisme obat dalam beberapa hal. Jadi ada level optimum dalam tembaga yang
ada pada makanan untuk memelihara metabolism obat dalam tubuh (Gibson, 1991).

c. Ketersediaan hayati

Penggunaan obat bersama makanan tidak hanya dapat menyebabkan perlambatan absorpsi
tetapi dapat pula mempengaruhi jumlah yang diabsorpsi (ketersediaan hayati obat
bersangkutan). Penisilamin yang digunakan sebagai basis terapeutika dalam menangani
reumatik, jika digunakan segera setelah makan, ketersediaan hayatinya jauh lebih kecil
dibandingkan jika tablet tersebut digunakan dalam keadaan lambung kosong. Ini akibat
adanya pengaruh laju pengosongan lambung terhadap absorpsi obat (Gibson, 1991).

6. ABSORPSI OBAT DALAM TUBUH

Pengertian Absorpsi obat

Absorbsi adalah transfer suatu obat dari tempat pemberian ke dalam aliran darah.
Kecepatan dan efesiensi absorbsi tergantung pada cara pemberian. Untuk intravena,
absorbs sempurna yaitu dosis total obat seluruhnya mencapai sirkulasi sistemik.
Proses absorbsi sangat penting dalam menentukan efek obat. Pada umumnya obat
yang tidak diabsobsi tidak menimbulkan efek, kecuali antasida dan obat yang bekerja
local. Proses absorbs terjadi diberbagai tempat pemberian obat, seperti saluran cerna,
otot, rangka, paru-paru, kulit dan sebagainya. Transfer obat dari saluran cerna
tergantung pada sifat-sifat kimianya, obat-obat bisa diabsorbsi dari saluran
cernasecara difusi pasif atau transport aktif.

faktor yang mempengaruhi absorpsi obat :


Kelarutan obat
Agar dapat diabsorbsi, obat harus dalam larutan. Obat yang diberikan dalam larutan
akan lebih cepat diabsorbsi daripada yang harus larut dulu dalam cairan tubuh
sebelum diabsorbsi. Obat yang sukar sekali larut akan sukar diabsorbsi pada saluran
gastrointestinal.
Kemampuan difusi melalui sel membrane
Semakin mudah terjadi difusi dan makin cepat melintasi sel membrane, makin cepat
obat diaborbsi.
Kosentrasi obat
Semakin tinggi kosentrasi obat dalam larutan, makin cepat diabsorbsi.
Sirkulasi pada letak absorbsi
Jika tempat absorbsi mempunyai banyak pembuluh darah, maka absorbs obat akan
lebih cepat dan lebih banyak. Misalnya pada injekasi anestesi local ditambah
adrenalin yang dapat menyebabkan vasokonstriksi, dimaksudkan agar absorbs obat
diperlambat dan efeknya lama.

Luas permukaan kontak obat


Obat lebih cepat diabsorbsi olehi bagian tubuh yang mempunyai luas permukaan
yang besar, misalnya endetarium paru-paru, mokusa usus, dan usus halus.
Bentuk sediaan cair
Kecepatan absorbs obat tergantung pada kecepatan pelepasan obat dari bahan
pembawanya. Urutan kecepatan obat dari bentik peroral sebagai berikut : larutan
dalam air – serbuk - kapsul - tablet bersalut gula - tablet bersalut enteric.
Beberapa hal sebagai contoh dimana bentuk obat mempengaruhi absorbs :
- Absorbs obat dapat diperpanjang dengan penggunaan bentuk obat long-acting.
- Kecepatan absorbs injeksi dapat diturunkan dengan menggunakan suspense
atau emulsi, untuk obat yang sukar larut.
- Absorbs obat dapat dipercepat dengan memperkecil ukuran partikel.
- Jumlah dan sifat bahn pengikat serta bahan penghacur, tekanan tablet akan
mempenggaruhi absorbs obat dalam bentuk tablet,
Rute cara pemberian obat
Rute cara pemakaian obat bermacam-macam antara lain :
- Melalui mulut (oral)
- Melalui sublingual (dibawah lidah) atau buccal (antara gusi dan pipi)
- Melalui rectal
- Melalui parental
- Melalui endotel paru-paru
- Melalui kulit (efek local), topical
- Melalui urogenital (efek local)
- Melalui vaginal (efek local)

7. DISTRIBUSI OBAT JANTUNG DENGAN SEDIAAN SUBLINGUAL

Strategi terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi angina pektoris meliputi terapi
non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan
mengontrol emosi, mengurangi kerja yang berat dimana membutuhkan banyak oksigen dalam
aktivitasnya, mengurangi konsumsi makanan berlemak, dan istirahat yang cukup. Terapi
farmakologis untuk angina pektoris meliputi penggunaan obat golongan nitrat, obat golongan
antagonis adrenoreseptor β dan antagonis kalsium.
Obat golongan nitrat merupakan lini (pilihan) pertama dalam pengobatan angina
pektoris. Mekanisme kerja obat golongan nitrat dimulai ketika metabolisme obat pertama kali
melepaskan ion nitit (NO2–), suatu proses yang membutuhkan tiol jaringan. Di dalam sel,
NO2– diubah menjadi nitrat oksida (NO), yang kemudian mengaktivasi guanilat siklase, yang
menyebabkan peningkatan konsentrasi guanosin monofosfat siklik (cGMP) intraseluler pada
sel otot polos vaskular. Bagaimana cGMP menyebabkan relaksasi, belum diketahui secara
jelas, tetapi hal tersebut akhirnya menyebabkan defosforisasi miosin rantai pendek (MCL),
kemungkinan dengan menurunkan konsentrasi ion Ca2+ bebas dalam sitosol. Hal tersebut
akan menimbulkan relaksasi otot polos, termasuk arteri dan vena. Nitrat organik menurunkan
kerja jantung melalui efek dilatasi pembuluh darah sistemik. Venodilatasi menyebabkan
penurunan aliran darah balik ke jantung, sehingga tekanan akhir diastolik ventrikel (beban
hulu) dan volume ventrikel menurun. Beban hulu yang menurun juga memperbaiki perfusi
sub endokard. Vasodilatasi menyebabkan penurunan resistensi perifer sehingga tegangan
dinding ventrikel sewaktu sistole (beban hilir) berkurang. Akibatnya, kerja jantung dan
konsumsi oksigen menjadi berkurang. Ini merupakan mekanisme antiangina yang utama dari
nitrat organik.
Dilihat dari farmakokinetiknya, nitrat organik mengalami denitrasi oleh enzim
glutation-nitrat organik reduktase dalam hati. Golongan nitrat lebih mudah larut dalam lemak,
sedangkan metabolitnya bersifat lebih larut dalam air sehingga efek vasodilatasi dari
metabolitnya lebih lemah atau hilang. Eritritil tetranitrat (berat molekul tinggi, bentuk padat)
mengalami degradasi tiga kali lebih cepat daripada nitrogliserin (berat molekul rendah,
bentuk seperti minyak). Sedangkan isosorbid dinitrat dan pentaeritritol tetranitrat (berat
molekul tinggi, bentuk padat) mengalami denitrasi 1/6 dan 1/10 kali dari nitrogliserin. Kadar
puncak nitrogliserin terjadi dalam 4 menit setelah pemberian sublingual dengan waktu paruh
1-3 menit. Metabolitnya berefek sepuluh kali lebih lemah, tetapi waktu paruhnya lebih
panjang, yaitu kira-kira 40 menit. Isosorbid dinitrat paling banyak digunakan, tetapi cepat
dimetabolisme oleh hati. Penggunaan isosorbid mononitrat yang merupakan metabolit aktif
utama dari dinitrat bertujuan untuk mencegah variasi absorpsi dan metabolisme lintas
pertama dari dinitrat yang dapat diperkirakan.
Dalam mengatasi serangan angina, maka yang terpenting adalah memilih nitrat
organik dengan mula kerja obat yang cepat. Sebaliknya, untuk pencegahan timbulnya angina,
maka yang terpenting adalah lama kerja obat. Mula kerja (onset) dan lama kerja (durasi) obat
tergantung dari cara pemberian dan formulasi farmasi. Pemberian nitrat
organik sublingualefektif untuk mengobati serangan angina akut. Dengan cara ini absorpsi
berlangsung cepat dan obat terhindar dari metabolisme lintas pertama di hati, sehingga
bioavailabilitasnya sangat meningkat (isosorbid dinitrat 30% dan nitrogliserin 38%). Mula
kerja obat tampak dalam 1-2 menit, tetapi efeknya dengan cepat akan menurun sehingga
setelah 1 jam hilang sama sekali. Nitrat organik dapat diberikan secara oral (p.o) untuk tujuan
pencegahan timbulnya serangan angina. Dalam hal ini, obat tersebut harus diberikan dalam
dosis cukup besar agar kemampuan metabolisme hati untuk obat ini menjadi jenuh. Mula
kerja nitrat organik oral adalah lambat, puncaknya tercapai dalam 60-90 menit dan lama kerja
berkisar 3-6 jam. Nitrat organik dapat juga diberikan intravena (i.v) agar kadar obat dalam
sirkulasi sistemik yang tinggi cepat tercapai. Nitrogliserin i.v bermanfaat untuk pengobatan
vasospasme koroner dan angina pektoris tidak stabil dan mungkin merupakan cara terbaik
untuk mengobati segera angina akut. Pemberian nitrogliserin dalam
bentuk salep atau diskdimaksudkan untuk tujuan profilaksis karena obat diabsorpsi secara
perlahan lewat kulit. Efek terapi tampak dalam 60 menit dan berakhir dalam 4-8 jam. Pada
sediaan disk, nitrogliserin terdapat sebagai depot dengan reservoir suatu polimer pada plester.
Mula kerja lambat dan puncak efek tercapai setelah 1-2 jam.
Secara umum efek samping yang timbul akibat penggunaan obat golongan nitrat
untuk antiangina, antara lain: dilatasi arteri akibat nitrat menyebabkan sakit kepala (30-60%
dari pasien yang menerima terapi nitrat), sehingga seringkali dosisnya dibatasi. Efek samping
yang lebih serius adalah hipotensi dan pingsan. Refleks takikardia seringkali terjadi. Dosis
tinggi yang diberikan jangka panjang bisa menyebabkan methemoglobinemia sebagai akibat
oksidasi hemoglobin. Sesekali juga dapat menyebabkan rash. Penggunaan nitrat yang
berkelanjutan dapat menyebabkan terjadinya toleransi, bukan saja pada efek samping, tapi
juga pada efek antiangina dari nitrat kerja lama. Ketergantungan pada nitrat terjadi pada
pemberian nitrat kerja lama (oral maupun topikal). Penghentian terapi kronik harus dilakukan
secara bertahap untuk menghindari timbulnya fenomena rebound berupa vasospasme yang
berlebihan dengan akibat memburuknya angina sampai terjadinya infark miokard dan
kematian mendadak. Udem perifer juga kadang-kadang terjadi pada pemberian nitrat kerja
lama (oral maupun topikal). Nitrat yang diberikan secara oral dapat menimbulkan terjadinya
dermatitis kontak.
Beberapa contoh obat antiangina dari golongan nitrat:
1. Isosorbid mononitrat
Generik: –
Merek dagang (brand name):
 Distributor dari Indonesia: Elantan® (Pharos) tablet 20 mg, 40 mg;Monecta* (Pratama
Nirmala) tablet 10 mg, 20 mg; Pentacad® (Darya Varia) tablet 20 mg.
 Distributor dari luar negeri: Imdur® ( Astra pharmaceuticals-Australia) tablet
pelepasan lambat 60 mg; Mono Mack® (Heinrich Mack Nachf-Jerman) tablet 40 mg
dan tablet pelepasan lambat 50 mg; Mono Mack® 50 D (Heinrich Mack Nachf-Jerman)
tablet pelepasan lambat 50 mg dan Drops 40 mg.
Indikasi: profilaksis angina, tambahan pada gagal jantung kongestif.
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap nitrat, hipotensi dan hipovolemia, kardiopati obstruktif
hipertrofik, stenosis aorta, tamponade jantung, perikarditis konstriktif, stenosis mitral, anemia
berat, trauma kepala, pendarahan otak, dan glaukoma sudut sempit.
Dosis dan aturan pakai: dosis awal 20 mg, 2-3 kali sehari atau 40 mg, 2 kali sehari (10 mg, 2
kali sehari pada pasien yang belum pernah menerima nitrat sebelumnya), bila perlu sampai
120 mg sehari dalam dosis terbagi.
Efek samping: sakit kepala berdenyut, muka merah, pusing hipotensi postural, takikardi
(dapat terjadi bradikardi paradoksial).
Risiko khusus:
– Kehamilan : faktor risiko C
– Menyusui : ekskresi melalui air susu tidak diketahui
– Gagal ginjal : obat dapat memperparah kerusakan ginjal karena obat selain diekskresi
melalui feses juga dieksresi melalui urin, akantetapi pengubahan dosis obat tidak dibutuhkan
pada pasien usia lanjut yang mengalami gangguan fungsi ginjal.
– Kelainan hepar : obat dapat memperparah kerusakan hati karena obat dimetabolisme di hati,
akantetapi pengubahan dosis obat tidak dibutuhkan pada pasien usia lanjut yang mengalami
gangguan fungsi hepar.

2. Isosorbid dinitrat
Generik: Isosorbid Dinitrat tablet sublingual 5 mg, 10 mg.
Merek dagang (brand name):
 Distributor dari Indonesia: Isoket® (Pharos) tablet 5 mg, 10 mg;Isoket
Retard® (Pharos) tablet pelepasan lambat 20 mg, 40 mg, cairan injeksi 1 mg/ml, aerosol
25 mg/ml, krim 100 mg/g; Farsorbid®(Pratama Nirmala) tablet sublingual 5 mg, 10
mg; Cedocard® (Darya Varia) tablet 5 mg, 10 mg, 20 mg; Cedocard Retard® (Darya
Varia) tablet pelepasan lambat 20 mg.
 Distributor dari luar negeri: Isomack Retard® (Heinrich Mack Nachf-Jerman) kapsul
20 mg; Isomack Spray® (Heinrich Mack Nachf-Jerman) buccal spray 13,9 mg/ml; Td.
Spray Iso Mack (Heinrich Mack Nachf-Jerman) spray transdermal 96,7
mg/ml; Vascardin (Nicholas) tablet 5 mg, 10 mg.
Indikasi: profilaksis dan pengobatan angina, gagal jantung kiri.
Kontraindikasi: lihat Isosorbid mononitrat.
Dosis dan aturan pakai: oral, sehari dalam dosis terbagi, angina 30-120 mg; gagal jantung kiri
40-160 mg sampai 240 mg bila perlu. Infus intravena 2-10 mg/jam, dosis lebih tinggi sampai
20 mg/ jam mungkin diperlukan.
Efek samping: lihat isosorbid mononitrat
Risiko khusus:
– Kehamilan : faktor risiko C
– Menyusui : ekskresi melalui air susu tidak diketahui
– Gagal ginjal : obat dapat memperparah kerusakan ginjal karena obat selain diekskresi
melalui feses juga dieksresi melalui urin, sehingga dosis obat perlu diturunkan.
– Kelainan hepar : obat dapat memperparah kerusakan hati karena obat dimetabolisme di hati,
sehingga dosis obat perlu diturunkan.

3. Gliseril trinitrat
Generik: –
Merek dagang (brand name):
 Distributor dari Indonesia: –
 Distributor dari luar negeri: Glyceryl Trinitrate® (Davil Bull Lab-
Australia) cairan injeksi 5 mg/ml; Nitro Mack Retard® (Heinrich Mack
Nachf-Jerman) kapsul pelepasan lambat 2,5 mg, 5 mg;Minitran® (3M
Pharmaceutical Pty Ltd-Australia) tansdermal 0,2 mg/jam, 0,4
mg/jam; Nitradisc® (Searle Pharmaceutical Inc-U.S.A) transdermal 16
mg, 32 mg; Nitro-Dur® (Key-U.S.A) transdermal 2,5 mg/24 jam, 5
mg/24 jam, 7,5 mg/24 jam, 10 mg/24 jam; Nitrocin®(Schwarz-West
Germany) cairan injeksi 1 mg/ml; Nitroderm Tts® (Novartis-Switzerland)
transdermal 250 mg, 500 mg, 750 mg; Nitrodisc® (Novartis-Switzerland)
160 mg; Nitrostat (Parke Davis-Australia) tablet 0,3 mg, 0,6 mg.
Indikasi: profilaksis dan pengobatan angina, gagal jantung kiri.
Kontraindikasi: lihat Isosorbid mononitrat.
Dosis dan aturan pakai: sublingual, 0,3-1 mg, bila perlu diulang; oral profilaksis angina, 2,6-
2,8 mg 3 kali sehari atau 10 mg 2-3 kali sehari; infus intravena 10-200 mcg/menit.
Efek samping: lihat isosorbid mononitrat

Risiko khusus:
– Kehamilan : faktor risiko C
– Menyusui : ekskresi melalui air susu tidak diketahui
– Gagal ginjal : obat dapat memperparah kerusakan ginjal karena obat selain diekskresi
melalui feses juga dieksresi melalui urin, sehingga dosis obat perlu diturunkan.
– Kelainan hepar : obat dapat memperparah kerusakan hati karena obat dimetabolisme di hati,
sehingga dosis obat perlu diturunkan.
8. METABOLISME OBAT DIDALAM HATI PADA GERIATRI

Penurunan fungsi hati tidak sepenting penurunan fungsi ginjal. Hal ini disebabkan karena hati
memiliki kapasitas yang lebih besar, sehingga penurunan fungsi hati tidak begitu
berpengaruh. Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk
metabolisme dengan obat-obat tertentu. First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein
(protein-binding) berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral
diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan langsung masuk ke hati
sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang disebut
first-pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih.
Kadar yang kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang
dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberi secara intra-vena tidak
akan melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum. Protein-binding juga
dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang diikat banyak oleh protein dapat digeser
oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar
aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin,
misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang
bebas dan aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja.
Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan
warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang akhirnya
menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga akan
menambah intensitas perdarahan. Inipun bisa terjadi dengan aspirin yang mempunyai waktu-
paruh plasma hanya 15 menit. Banyak obat geser-menggeser dalam proses protein-binding
bila beberapa obat diberi bersamaan. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara
klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita.

Pasien geriatri (elderly) merupakan pasien dengan karakteristik khusus karena terjadinya
penurunan massa dan fungsi sel, jaringan, serta organ. Hal ini menimbulkan perlu adanya
perubahan gaya hidup, perbaikan kesehatan, serta pemantauan pengobatan baik dari segi
dosis maupun efek samping yang mungkin ditimbulkan).
Kimble, menyatakan bahwa geriatri juga telah mengalami perubahan dalam hal
farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Perubahan farmakokinetik yang terjadi karena
adanya penurunan kemampuan absorbsi yang disebabkan oleh perubahan dari saluran
gastrointestinal, perubahan distribusi terkait dengan penurunan cardiac output dan ikatan
protein-obat, perubahan metabolisme karena penurunan fungsi hati dan atau ginjal, serta
penurunan laju ekskresi karena terjadinya penurunan fungsi ginjal. Obat harus berada pada
tempat kerjanya dengan konsentrasi yang tepat untuk mencapai efek terapetik yang
didapatkan. Perubahan-perubahan farmakokinetik pada pasien lanjut usia memiliki peranan
penting dalam bioavailabilitas obat tersebut.
9. EKSKRESI MELALUI EMPEDU DAN USUS

1. Anatomi Hati Manusia

Gambar diatas adalah anatomi hati manusia. Gambar kiri adalah tampak depan hati dan
gambar kanan adalah tampak belakang hati. Hati terdiri dari dua bagian utama yaitu lobus
kiri dan lobus kiri. Namun, jika dilihat lebih lanjut, hati sebenarnya dibagi menjadi empat
bagian dengan tambahan lobus kaudatus dan lobus quadratus. Kedua lobus tersebut
tersembunyi di belakang hati. Di dalam lobus terdapat banyak sel yang mengandung
beberapa enzim. Setiap sel dipisahkan oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah yang
memenuhi hati. Di hati juga terdapat kantung empedu yang berfungsi untuk menyimpan
empedu.

Secara histologi, studi tentang anatomi mikroskopik menunjukkan dua tipe sel hati yaitu sel
parenkimal dan sel non-parenkimal. 80% dari volume hati terdiri dari sel parenkimal yang
sering disebut hepatosit. Sel non-parenkimal mengisi 40% dari total jumlah sel hati namun
hanya menempati 6,5% volume hati.

Hepatosit tersusun tidak beraturan dan bercabang-cabang. Di antara sel-sel hepatosit tersebut
terdapat ruang endothelial-lined yang disebut sinusoid yang diteruskan ke aliran darah.
Sinusoid tersebut terdiri dari sel fagosit dan sel kupffer yang berfungsi untuk merombak sel
darah merah dan menghasilkan empedu. Sinusoid tersebut terhubung langsung dengan vena
pusat.

2. Fungsi Hati dalam Sistem Ekskresi pada Manusia

Hati termasuk ke dalam sistem ekskresi pada manusia karena hati mengekskresikan getah
empedu dan urea. Berikut adalah beberapa fungsi hati yang berkaitan dengan sistem ekskresi
pada manusia:

1. Menghasilkan getah empedu. Getah empedu adalah getah hasil perombakan


sel darah merah. Getah ini terdiri dari dua komponen yaitu garam empedu dan zat
warna empedu. Garam empedu ini memiliki manfaat dalam sistem pencernaan pada
manusiayaitu untuk mengemulsi lemak. Kemudian getah empedu ini keluar bersama
dengan urine dan feses. Zat warna empedu inilah yang membuat feses dan urine
kekuningan.
2. Menghasilkan urea dan amonia. Urea dan amonia adalah salah satu hasil
perombakan protein yang harus dibuang dari tubuh karena beracun. Urea ini akan
diserap ke dalam darah, disaring oleh ginjal, lalu keluar dari tubuh bersama urine.
Sedangkan amonia akan diikat oleh ornitin kemudian dibawa keluar bersama urin atau
dimasukkan ke dalam empedu. Amonia inilah yang akan membuat urin berbau
menyengat.

3. Cara Kerja Hati yang Berkaitan dengan Sistem Ekskresi pada Manusia

Karena hati mengekskresikan getah empedu dan urea, maka disini akan dibahas proses
pembentukan getah empedu dan urea.

3.1. Proses Pembentukan Getah Empedu

Getah empedu merupakan hasil dari perombakan hemoglobin sel darah merah (eritrosit) yang
telah tua. Proses pembentukan getah empedu terjadi di dalam sinusoid yang banyak terdapat
di dalam hati. Pertama-tama, hemoglobin dirombak menjadi hemin (kristal), zat besi (Fe),
dan globin. Zat besi dan globin disimpan di dalam hati, kemudian dikirim ke sumsum tulang
merah untuk membentuk antibodi atau hemoglobin baru. Sedangkan hemin dirombak
menjadi bilirubin dan biliverdin. Kedua zat tersebut kemudian menjadi zat warna empedu
yang berwarna hijau biru.

3.2. Proses Pembentukan Urea dan Amonia


Urea terbentuk ketika sel tubuh kelebihan asam amino sehingga mengalami deaminasi.
Dalam proses deaminasi, gugus amin (-NH) dipindahkan dari asam amino. Proses ini
menghasilkan amonia yang beracun.

Di mitokondria terjadi reaksi pembentukan sitrulin. Amonia (NH4+) beraksi dengan CO2,
ATP, dan ADP sehingga menghasilkan karbomoil fosfat (CP). CP bereaksi dengan ornitin dan
menghasilkan sitrulin. Sitrulin akan dibawa ke sitosol dan bereaksi dengan aspartat.
Kemudian hasil reaksi tersebut pecah menjadi arginin (salah satu asam amino esensial) dan
fumarat.

Hati dengan bantuan enzim arginase dan air akan mengubah arginin menjadi ornitin dan urea.
Urea akan dibuang melalui ginjal, sedangkan ornitin akan mengikat amonia dan
membawanya ke dalam empedu atau dibawa keluar bersamaan dengan urin.

10 . Faktor yang mempengaruhi kelarutan pada sediaan tablet.

Tablet/kapsul disolusi

Disintegrasi Obat dalam


Obat dalam darah, cairan
Granul/agregat Disolusi absorpsi
larutan tubuh lainnya
Deagregasi dan jaringan
Partikel-partikel
disolusi
halus
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan kelarutan yaitu :

1. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat
endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat.

2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai
dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan
memperbesar kecepatan disolusi.

3. pH pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau basa
lemah. Zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana
asam sedangkan asam lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana basa.
Untuk asam lemah:
Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian,
kecepatan disolusi zat juga meningkat.
Untuk basa lemah:
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian,
kecepatan disolusi juga meningkat.

4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan
berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.

5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga
kecepatan disolusi meningkat.

6. Polimorfisme
Polimorfisme dan sifat permukaan zat akan sangat mempengaruhi kelarutan suatu zat,
adanya polimorfisme seperti struktur internal zat yang berlainan, akan mempengaruhi
kelarutan zat tersebut dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada
bentuk stabilnya. Dengan adanya surfaktan dan sifat permukaan zat yang hidrofob,
akan menyebabkan tegangan permukaan antar partikel menurun sehingga zat mudah
terbasahi dan lebih mudah larut.

7. Sifat Permukaan Zat


Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan
adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan
pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya
bertambah.
Selain faktor-faktor tersebut adan juga faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat
secara in vitro antara lain adalah:

1. Sifat Fisika Kimia Obat


Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan
efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan
diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air
juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah
larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu
polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun
memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras,
kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini
menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk Kristal.

2. Faktor Formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat
mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara
medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung
dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti
magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium
disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan
obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak
larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih
sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.

3. Faktor alat dan kondisi lingkungan


Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan
perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi
kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan
semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur,
viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat
mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.

11. Absorpsi Pada Suppositoria

1. Faktor Fisiologis
Rektum mengandung sedikit cairan dengan pH 7,2 dan kapasitas daparnya rendah.
Epitel rektum keadaannya berlipoid, maka diutamakan permiabel terhadap obat yang
tak terionisasi. Jumlah obat yang diabsorpsi dan masuk keperedaran darah umumnya
tergantung dimana obat itu dilepas direktum. Absorpsi obat dari daerah anorektal
dipengaruhi oleh faktor fisiologis :
• isi kolon
• sirkulasi
• pH
2. Faktor Fisika Kimia dari Obat atau Basis.
Urutan peristiwa yang menuju absorpsi obat melalui daerah anorektal secara diagram
adalah sebagai berikut :
Obat dalam pembawa → Obat dalam cairan – cairan kolon → Absorpsi melalui cairan
rektal. Bila jumlah obat dalam cairan renal ada diatas level yang menentukan laju
maka peningkatan konsentrasi obat yang nyata tidak mempunyai peranan dalam
mengubah laju absorpsi obat yang ditentukan. Tetapi konsentrasi obat berhubungan
dangan laju penglepasan obat dari basis supositoria. Adanya surfaktan dapat atau tidak
dapat mempermudah absorpsi tergantung pada konsentrasi dan interaksi obat yang
mungkin terjadi. Ukuran partikel obat secara langsung berhubungan dengan laju
absorpsi.
Karakteristik fisika kimia obat yang mempengaruhi absorpsi :
• koefisisn partisi lemak atau air
• derajat ionisasi.

Faktor yang berhubungan dengan laju absorbsi :


• Kelarutan obat
Pelepasan obat tergantung koefisien partisi lipid air dari obat. Artinya obat yang larut
dalam basis lipid dan kadarnya rendah mempunyai tendensi kecil untuk cairan rektal.
Dan obat yang sedikit larut dalam basis lipid dan kadarnya tinggi akan segera masuk
didalam cairan rektal.

• Kadar obat dalam basis


Difusi obat dari basis supositoria merupakan fungsi kadar obat dan sifat kelarutan
obat dalam basis. Pengangkutan melewati mukosa rektum adalah proses difusi
sederhana, maka bila kadar obat dalam cairan renal tinggi maka absorpsi obat akan
menjadi cepat dan kecepatan absorpsi makin tinggi bagi bentuk obat yang tidak
terdisosiasi.

• Ukuran partikel
Bila kelarutan obat dalam air terbatas dan tersuspensi didalam basis supositoria maka
ukuran partikel akan mempengaruhi kecepatran larutan dari obat ke cairan renal.

• Basis supositoria
Obat yang larut dalam air dan berada dalam basis lemak akan dilepas segera kecairan
renal bila basis cepat melepas setelah masuk kedalam rektum, dan obat akan segera
diabsorpsi serta kerja awal dari aksi obat akan segera nyata. Bila obat yang larut
dalam air dan berada dalam basis larut air kerja awal dari aksi obat akan segera nyata
apabila basis tadi segera larut dalam air. Kenyataan bahwa rektum atau kolom
merupakan tempat absorpsi obat yang dapat diandalkan terbukti dengan baik. Untuk
menjaga keefektifan terapis obat dalam suatu sediaan harus dilakukan pemilihan
garam obat dan basis yang sesuai.

KINETIKA PRE-DISPOSISI ZAT AKTIF

Penyerapan zat aktif terjadi setelah proses pelepasan, pemindahan, pelarutan dan penembusan
ke cairan rektum dan keseluruhan proses itu dirangkum dalam istilah ”kinetik pelepasan atau
kinetik predisposisi” (A) sedangkan fenomena difusi dan penyerapan disebut ” Kinetika
penyerapan” (B). Keseluruhan proses kinetik yang berurutan tersebut tidak dapat saling
dipisahkan dan terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh pada berbagai tahap tersebut.
• pelelehan/peleburan; suppo melunak→leleh → zat aktif berpindah ke cairan rektum →
proses difusi →abs.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINETIKA PENYERAPAN ZAT AKTIF YANG


DIBERIKAN PER-REKTUM

Penyerapan rektum dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang juga mempengaruhi proses
penyerapan pada cara pemberian lainnya, kecuali intra vena dan intaarteri. Penyerapan
perrektum dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

• Kedudukan supositoria setelah pemakaian

• Waktu-tinggal supositoria didalam rektum

• pH cairan rektum

• konsentrasi zat aktif dalam cairan rectum.

12. DISTRIBUSI OBAT PADA LANJUT USIA

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006)

Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena
beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung
membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang lebih
muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping dan interaksi obat
yang merugikan (Anonim, 2004).

Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian obat
sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang
pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang
diperkirakan. Diantara demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang
sebagian dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian
ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih
dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan
infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati.
Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi
kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini
menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya(Darmansjah, 1994).

KONSEP DASAR PEMAKAIAN OBAT


Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan obat

· Diagnosis dan patofisiologi penyakit


· Kondisi organ tubuh
· Farmakologi klinik obat (Boedi, 2006)
Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat yang dibeikan
perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari obat yang akan diresepkan.
Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
obat, karena pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistema
tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum
penggunaan obat pada usia lanjut :

1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi yang
tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya
2. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan tidak
berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya
3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan
pada orang dewasa yang masih muda.
4. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan memonitor
kadar plasma pasien. Dosis penuNjang yang tepat umumnya lebih rendah.
5. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk
memelihara kepatuhan pasien
6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang tidak
diperlukan lagi (Manjoer, 2004)

FARMAKOKINETIK

Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah absorbsi
obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus akibat
penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran
cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut,
kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin (Bustami, 2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan tubuh
dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa obat
dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan jaringan
tubuh termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa
tubuh tanpa lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan
albumin plasma. Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat
lebih menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah.
Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada
beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih
cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh
kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat
menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan
ekskresi metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati,
antara lain melalui ambilan (uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme
sehingga bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia
lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat
yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol.
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya obat
diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya
berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga dengan
bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia
lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga
kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih
muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya
tetap normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam
penicilin dan litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan
faali glomerolus dan tubulus (Bustami, 2001).
INTERAKSI FARMAKOKINETIK
1. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal
dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau
kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang,
sehingga memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang
perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dua obat yang
sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat
diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu
diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal besar yang
dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktu-paruh panjang dan merupakan
obat lansia yang menimbulkan efek samping terbanyak di Jerman karena dokter
Jerman memakainya berlebihan, walaupun sekarang digoksin sudah digantikan
dengan furosemid untuk mengobati payah jantung sebagai first-line drug
(Darmansjah, 1994).
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus
digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renal-
toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark
miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan
ekskresi obat.
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal, khususnya bila
memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin,
dua obat yang sering digunakan pada lansia dapat memproduksi metabolit aktif,
sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia.
2. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga penurunan
fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas. Batas ini
lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-
clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan
sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil
alih oleh sel-sel hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan
perlu membatasi obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT
melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak
dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian methylprednisolon, prednison
dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk
dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan
metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme
dengan obat-obat tertentu.
First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding) berpengaruh
penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh usus dan
sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan langsung masuk ke hati sebelum
memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang disebut first-
pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih.
Kadar yang kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu
produk yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang
diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam
sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu yang mengalami first-pass effect
dosis IV sering jauh lebih kecil daripada dosis oral.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang diikat
banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan
dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi sekali
dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein
(albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif.
Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila
kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan
warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang akhirnya
menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga
akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini juga dapat terjadi pada aspirin yang
mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak
berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat
membahayakan penderita (Boestami, 2001)
FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada lansia secara
keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada respon homeostatik yang
berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang
proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya akan menurun misalnya agonis untuk terapi
asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek
sampingnya akan besar juga sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang
kerjanya menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme
regulasi homeostatis melemah (Boedi, 2006)
INTERAKSI FARMAKODINAMIK
Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor obat
dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain. Ini
menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus dikurangi. Misalnya opiod
dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat.
Benzodiazepin dalam dosis “normal” dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur
berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam
dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang terlalu besar) pada lansia.
Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut,
sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu α1 adrenergic blocker, dapat
menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan antidepresan
trisiklik dapat juga menyebabkannya (Darmansjah, 1994).

pengaruh adrenalin dan beta simpatomimetik terhadap metabolisme karbohidrat


Epinefrin ( Adrenalin)2,3,4,5,6,8,9,10
Bentuk levo dari neurohormon SS bersama turunannya NA dibebaskan dari ujung-
ujung saraf adrenergik yang dirangsang. Zat ini dihasilkan oleh anak ginjal (medulla kelenjar
adrenal) dan berperan pada metabolisme karbohidrat dan lemak.Epinefrin merupakan suatu
hormon yang bekerja sebagai neurotransmitter, yang merupakan sebuah hormon katekolamin
dari derivat monoamin dari asam amino fenilalin dan tirosin. Formula kimianya adalah
C9H13NO3.4
Epinefrin berperan penting pada reaksi stress, bekerja meningkatkan denyut jantung
dan tekanan darah, dilatasi pupil dan meningkatkan kadar gula darah serta mendistribusikan
darah menuju kulit dan organ-organ dalam.5
Kerja dari epinefrin menyerupai stimulasi dari saraf adrenergik. Tingkat kerjanya pada
reseptor α dan β. Aksinya terutama pada reseptor β di pembuluh darah dan otot polos
lainnya.5
Epinefrin memiliki semua khasiat adrenergis α dan β, tetapi efek β lebih kuat.
Epinefrin mempunyai efek meningkatkan tekanan darah (vasopresor) yang sangat kuat.
Epinefrin juga meningkatkan tekanan darah melalui aktivitas adrenoseptor β1 jantung
(kronotropik dan inotropik positif) sehingga cardiac output naik, dan stimulasi
adrenoseptor α pada otot polos dinding pembuluh darah kulit dan mukosa ( vasokonstriksi).
Efek vasokonstriksi epinefrin terutama pada arteriola kecil dan sfingter prekapiler sehingga
menaikkan tahanan perifer. Pada dosis kecil epinefrin juga mengaktivasi
adrenoseptor β2 pada otot polos dinding pembuluh darah dalam bundle otot lurik dan
pembuluh koroner, berakibat vasodilatasi. Pada dosis besar terjadi dominasi aktivitas
adrenoseptor α1 sehingga tekanan perifer meningkat, dan aktivasi adrenoseptorβ1 sehingga
curah jantung meningkat. Kedua hal itu meningkatkan tekanan darah.6
Ketika epinefrin diberikan secara bolus ke pembuluh vena secara cepat akan
meningkatkan tekanan darah terutama sistol dengan cara (1). Stimulasi otot jantung secara
langsung dengan cara meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikel; (2). Meningkatkan denyut
jantung; (3). Kontraksi arteriola-arteriola di kulit, mukosa dan sirkulasi daerah lien.5
Ketika diberikan secara drip intravena secara perlahan, epinefrin hanya meningkatkan
systole yang tidak begitu bermakna, dan menurunkan tekanan diastole. Meskipun kadang-
kadang terjadi peningkatan tekanan nadi, tetapi hal ini tidak berarti meningkatkan tekanan
darah rata-rata. Karena itu, mekanisme reflek kompensasi dengan cara peningkatan tekanan
darah langsung di jantung oleh epinefrin seperti halnya katekolamin yang aksinyasangat
dominan pada reseptor α.5
Tekanan perifer total menurun akibat aksi epinefrin pada reseptor β di otot polos
pembuluh darah dan akan mengakibatkan peningkatan aliran darah. Terkadang efek
vasodilator dari obat ini pada sirkulasi predominan sehingga tekanan sistol sedikit meningkat
akibat efek obat yang diberikan secara drip intravena. Efek utama epinefrin adalah stimulasi
jantung secara langsung dan peningkatan cardiac output.5
.
Pada saluran nafas epinefrin menstimulasi adrenoseptor β2 pada otot polos bronkus
sehingga timbul bronchodilatasi. Efek itu tampak jelas jika sebelumnya sudah ada
bronchokonstriksi. Adrenalin yang punya efek vasokonstriksi melalui stimulasi
adrenoseptor α sehingga dapat mengurangi kongesti mukosa hidung dan memperkuat efek
pelebaran saluran nafas.2,3,4,5
Epinefrin merupakan zat endogen yang amat penting dalam pengaturan metabolisme
karbohidrat. Epinefrin meningkatkan glikogenolisis di dalam hepar dan otot rangka,
menghambat sekresi insulin melalui stimulasi adrenoseptor α ( lebih dominant daripada
naiknya sekresi insulin melalui stimulasi adrenoseptor β2). Epinefrin juga memacu
pemecahan lemak (lipolisis) melalui aktivasi adrenoseptor β1 dan meningkatkan aktivitas
lipase.2,3,4
Penggunaan epinefrin terutama sebagai analeptikum, yaitu obat stimulant jantung
yang aktif sekali pada keadaan darurat, seperti kolaps, syok anafilaktik, atau henti jantung.
Obat ini sangat efektif pada serangan asma akut, tetapi harus sebagai injeksi karena peroral
adrenalin akan diuraikan oleh getah lambung. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa
epinefrin dapat mencegah perlengketan platelet dengan neutrofil.2,4,7,8,9
Penggunaan epinefrin harus mempertimbangkan bahwa senyawa ini akan
meningkatkan penggunaan oksigen, dan karena itu walau terjadi vasodilatasi atreria koronaria
dapat menimbulkan serangan angina pectoris.2,4,5
Indikasi pemberian Epinefrin secara intravena adalah untuk pengobatan
hipersensitivitas akut (obat reaksi anafilaktik, serum hewan dan reaksi allergen), pengobatan
serangan asma akut karena dapat menghilangkan reaksi bronkospasme yang tidak bereaksi
dengan obat-obat yang lain., juga digunakan untuk pengobatan dan pencegahan serangan
jantung, serangan stroke dan adam stroke sindrom. Pada serangan henti jantung terutama
ventrikel, yang pertama harus dipertimbangkan untuk melakukan tindakan dari luar yaitru
dengan melakukan pijat jantung luar dan atau defibrilasi elektrik. Pemberian epinefrin dapat
dengan pace maker, pungsi intrakardial dan injeksi intramiocardial mungkin dapat
efektif.2,3,4,5,7,8,10
Dosis dewasa pemberian epinefrin secara intravena untuk menghilangkan
bronkospasme adalah 0,1-0,25 mg (1-2,5 ml epinefrin dalam larutan 10,000ml), pemberian
epinefrin dianjurkan secara drip. Pada neonatus boleh diberikan 0,01 mg/kgbb.Untuk bayi
dosis insial yang adekuat sekitar 0,05 mg dan akan bertahan selama 20-30 menit pada
serangan asma.5,8
Dosis pada serangan jantung adalah 0,5- 10 mg ( 5- 10 ml dalam larutan 10,000).
Epinefrin dapat diberikan selama melakukan resusitasi dengan di injeksikan intravena 5
ml setiap 5 menit.5
Injeksi intra kardial hanya boleh dilakukan oleh orang yang terlatih, dan pemberian
intravena tidak dapat dilakukan. Dosis pemberian intrakardial mulai dari 0,3 sampai 0,5 mg
(3-5 ml dalam larutan 10,000).
Pemberian epinefrin harus hati-hati pada pasien hipertiroid, hipertensi, dan aritmia
cordis, juga pada pasien yang terdapat hambatan monoamine oksidase (MAO) harus
diwaspadai karena dapat meningkat tekanan darah. Epinefrin tidak boleh digunakan dengan
obat simpatomimetik lain (misal isoproterenol) karena kemungkinan dapat meningkatkan
efek dan toksisitas.2,4,5
Epinefrin tidak dapat melewati sawar darah – otak. Efek sentral yang terlihat setelah
pemberian adrenalin (misalnya rasa takut) adalah murni reflektoris. Katekolamin yang ada di
otak yang menjalankan fungsi penghantar rangsang, tidak diambil dari sirkulasi darah,
melainkan disintesis sendiri di otak.2,5
Efek epinefrin juga dapat meningkatkan aritmia cordis yang serius, epinefrin hanya
dianjurkan jika obat-obat lain yang digunakan tidak menunjukkan reaksi.4,5
Pemberian epinefrin pada pasien yang di lakukan general anestesi dengan
cyclopropane atau haloten hidrokarbon (halotan ) yang sensitive terhadap miokardium dapat
menyebabkan aritmia cordis. Epinefrin akan menurunkan efek dari obat-obat yang memblok
reseptor β adrenergik seperti digitalis dan glikosid. Pembrian epinefrin bersama agen diuretic
dan obat anti hipertensi akan menurunkan efek obat-obat tersebut karena epinefrin juga
mempengaruhi kerja ginjal dan memblok neuron yang diproduksi oleh guanehidine, sehingga
dosis obat-obat tersebut harus dinaikkan.5
Peningkatan tekanan darah arteri dapat mengakibatkan angina pectoris, rupture aorta,
dan atau perdarahan otak. Juga dapat menyebabkan aritmia cordis yang serius pada pasien
penderita sakit jantung dan pada pasien yang juga menggunakan obat-obatan yang berefek
terhadap miokardium.2,4,5
Pemberian epinefrin per parenteral dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah renal dan dapat mengurangi produksi urine.5
Pemberian epinefrin dianjurkan untuk terapi alergi yang parah, atau keadaan darurat
meskipun pereparat ini mengandung sodium metabisulfite dimana sulfite dapat menyebabkan
reaksi alergi termasuk reaksi anafilaktik atau bahaya yang mengancam jiwa ataupun
memperberat episode asma pada beberapa pasien.5
Efek samping adrenalin yang penting pada dosis tinggi adalah nokrosis jari-jari akibat
vasokonstriksi dan akhirnya kolaps.4
Adrenalin (Epinefrin) merupakan senyawa endogen yang amat penting dalam
pengaturan metabolisme, terutama metabolisme karbohidrat. Adrenalin meningkatkan
glikogenolisis di hepar dan otot rangka, menghambat sekresi insulin melalui aktivasi
adrenoseptor -  (lebih dominan dibanding peningkatan sekresi insulin melalui aktivasi
adrenoseptor - 2). Adrenalin (Epinefrin) juga memacu pemecahan lemak (lipolisis) melalui
aktivasi adrenoseptor - 1 dan meningkatkan aktivitas lipase.
Adapun efek samping dari adrenalin (Epinefrin) adalah Disritmia ventrikel, angina pektoris,
nyeri kepala, tremor, pengeluaran urine berkurang, ketakutan serta ansietas.

13. PENGARUH ADRENALIN DAN BETA SIMPATOMIMETIK TERHADAP


METABOLISME KARBOHIDRAT

Metabolisme Epinefrin dan Norepinefrin


Peranan metabolism pada NE dan Epi agak berlainan dengan peranan metabolisme pada
ACh.Hidrolisis Ach berlangsung sangat cepat, sehingga dapat menghentikan respons. Pada
katekolamin terdapat 2 macam enzim yang berperan dalam metabolismenya,yakni katekol-O-
metiltransferase (COMT) dan monoaminoksidase (MAO). MAO berada dalam ujung saraf
adrenergic sedangkan COMT berada dalam sitoplasma jaringan ekstraneuronal (termasuk sel
efektor). COMT menyebabkan metilasi dan MAO menyebabkan deaminasi kateklamin MAO
maupun COMT tersebar luas di seluruh tubuh, termasuk dalamotak, dengan kadar paling
tinggi di hati dan ginjal.

14. INTERAKSI OBAT PADA PROSES EKSKRESI

Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui empedu dan pada
sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dan karena terjadinya perubahan pH urin.
Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit
obat untuk sistem transport yang sama, contohnya kuinidin menurunkan ekskresi empedu
digoksin, probenesid menurunkan ekskresi empedu rifampisin. Obat-obat tersebut memiliki
sistem transporter protein yang sama, yaitu Pglikoprotein.
Obat-obat yang mengham-bat Pglikoprotein di intestin akan meningkatkan
bioavailabilitas substrat P-glikoprotein, sedangkan hambatan P-glikoprotein di ginjal dapat
menurunkan ekskresi ginjal substrat. Contoh, itrakonazol, suatu inhibitor P-glikoprotein di
ginjal, akan menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat P-glikoprotein) jika diberikan
bersamasama, sehingga kadar plasma digoksin akan meningkat.
Sirkulasi enterohepatik dapat diputus-kan atau diganggu dengan mengikat obat yang
dibebaskan atau dengan mensupresi flora usus yang menghidrolisis konjugat obat, sehingga
obat tidak dapat direabsorpsi. Contoh: kolestiramin,- suatu binding agents-, akan mengikat
parent drug (misalnya warfarin, digoksin) sehingga reabsorpsinya terhambat dan klirens
meningkat. Antibiotik berspektrum luas (misalnya rifampisin, neomisin) yang mensupresi
flora usus dapat mengganggu sirkulasi enterohepatik metabolit konjugat obat (misalnya
kontrasepsi oral/hormonal) sehingga konjugat tidak dapat dihidrolisis dan reabsorpsinya
terhambat dan berakibat efek kontrasepsi menurun.
Penghambatan sekresi di tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat dan
metabolit obat untuk sistem transport yang sama, terutama sistem transport untuk obat
bersifat asam dan metabolit yang juga bersifat asam. Contoh: fenilbutazon dan indometasin
menghambat sekresi ke tubuli ginjal obat-obat diuretik tiazid dan furosemid, sehingga efek
diuretiknya menurun; salisilat menghambat sekresi probenesid ke tubuli ginjal sehingga efek
probenesid sebagai urikosurik menurun.
Perubahan pH urin akibat interaksi obat akan menghasilkan perubahan klirens ginjal
melalui perubahan jumlah reabsorpsi pasif di
tubuli ginjal. Interaksi ini akan bermakna klinik jika: (1) fraksi obat yang diekskresi utuh oleh
ginjal cukup besar (> 30%), dan (2) obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam
lemah dengan pKa 3,0 - 7,5. Beberapa contoh antara lain: obat bersifat basa lemah
(amfetamin, efedrin, fenfluramin, kuinidin) dengan obat yang mengasamkan urin (NH4C1))
menyebabkan klirens ginjal obat-obat pertama meningkat sehingga efeknya menurun; obat-
obat bersifat asam (salisilat, fenobarbital) dengan obat-obat yang membasakan urin seperti
antasida (mengandung NaHCO3, A1(OH)3, Mg(OH)2), akan meningkatkan klirens obat-obat
pertama, sehingga efeknya menurun.

15. ABSORBSI OBAT SECARA I.V, I.M , I.D , DAN SUBCUTAN

Memberikan injeksi merupaka prosedur invasif yang harus dilakukandengan


menggunakan teknik steril. Setelah jarum menembus kulit, muncul resiko infeksi. Perawat
memberi obat secara parenteral melalui rute SC, IM, IC, dan IV. Setiap tipe injeksi
membutuhkan keterampilan yang tertentu untuk menjamin obat mencapai lokasi yang tepat.
Efek obat yang diberikan secara parenteral dapat berkembang dengan cepat, bergantung pada
kecepatan absorbsi obat. Perawat mengobservasi respons klien dengan ketat.
Setiap rute injeksi unik berdasarkan tipe jaringan yang akan diinjeksi obat.
Karakteristik jaringan mempengaruhi absorbsi obat dan awitan kerja obat. Sebelum
menyuntikkan sebuah obat, perawat harus mengetahui volume obat yang diberikan,
karaktersitik dan viskositas obat, dan lokasi struktur anatomi tubuh yang berada di bawah
tempat injeksi.
Konsekuensi yang serius dapat terjadi, jika injeksi tidak diberikan secara tepat.
Kegagalan dalam memilih tempat unjeksi yang tepat, sehubungan dengan penanda anatomis
tubuh, dapat menyebabkan timbulnya kerusakan saraf atau tulang selama insersi jarum.
Apabila perawat gagal mengaspirasi spuit sebelum menginjeksi sebiah obat, obat dapat tanpa
sengaja langsung di injkesi ke dalam arteri atau vena. Menginjeksi obat dalam volume yang
terlalu besar di tempat yang dipilih dapat menimbulkan nyeri hebat dan dapat mengakibatkan
jaringan setempat rusak.
Banyak klien, khususnya anak-anak takut terhadap injeksi. Klien yang menderita penyakit
serius atau kronik seringkali diberi banyak injeksi setiap hari. Perawat dapat berupaya
meminimalkan rasa nyeri atau tidak nyaman dengan cara:
a) Gunakan jarum yang tajam dan memiliki bevel dan panjang serta ukurannya paling kecil,
tetapi sesuai.
b) Beri klien posisi yang nyaman untuk mengurangi ketegangan otot
c) Pilih tempat injkesi yang tepat dengan menggunakan penanda aanatomis tubuh
d) Kompres dengan es tempat injeksi untuk menciptakan anastesia lokal sebelum jarum
diinsersi
e) Alihkan perhatian klien dari injeksi dengan mengajak klien bercakap-cakap
f) Insersi jarum dengan perlahan dan cepat untuk meminimalkan menarik jaringan
g) Pegang spuit dengan mantap selama jarum berada dalam jaringan
h) Pijat-pijat tempat injeksi dengan lembut selama beberapa detik, kecuali
dikontraindikasikan

HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM MELAKUKAN INJEKSI


Pemberian obat secara injeksi dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka kita harus
memperhatikan beberapa hal berikut ini :
a) Jenis spuit dan jarum yang digunakan
b) Jenis dan dosis obat yang diinjeksikan
c) Tempat injeksi
d) Infeksi yang mungkin terjadi selama injeksi
e) Kondisi/penyakit klien

MACAM-MACAM INJEKSI
Pemberian obat secara parenteral (harfiah berarti “di luar usus”) biasanya dipilih bila
diinginkan efek yang cepat, kuat, dan lengkap atau obat untuk obat yang merangsang atau
dirusak getah lambung (hormone), atau tidak direarbsorbsi usus (streptomisin), begitupula
pada pasien yang tidak sadar atau tidak mau bekerja sama. Keberatannya adalah lebih mahal
dan nyeri, sukar digunakan oleh pasien sendiri. Selain itu, adapula bahaya terkena infeksi
kuman (harus steril) dan bahaya merusak pembuluh atau saraf jika tempat suntikan tidak
dipilih dengan tepat.

1. INJEKSI INTRAMUSKULAR (IM)


Injeksi intra muscular adalah injeksi yang dilakukan pada jaringan otot. Rute intramuscular
(IM) memungkinkan absorpsi obat yang lebih cepat daripada rute SC karena pembuluh darah
lebih banyak terdapat di otot. Bahaya kerusakan jaringan berkurang ketika obat memasuki
otot yang dalam, tetapi bila tidak hati-hati, ada risiko menginjeksi obat langsung ke pembuluh
darah. Perawat menggunakan jarum berukuran lebih panjang dan lebih besar untuk melewati
jaringan SC dan mempenetrasi jaringan otot. Bagaimanapun, berat badan mempengaruhi
pemilihan ukuran jarum. Misalnya, seorang klien dengan berat badan 45 kg mungkin hanya
memerlukan jarum dengan panjang 11/4 sampai 11/2 inci, sedangkan anak yang berat
badannya 22,5 kg biasanya memerlukan jarum berukuran 1 inci. Sudut insersi untuk injeksi
IM adalah 90o. Otot kurang sensitif terhadap obat yang mengiritasi dan kental. Seorang klien
perkembangan baik dan normal dapat menoleransi sejumlah kecil obat tanpa rasa tidak
nyaman yang berat pada otot. Anak-anak, dewasa lanjut, dan klien yang kurus menoleransi
kuran dari 2 ml obat. Wong (1995) menganjurkan untuk tidak memberi obat-obatan lebih
dari 1 ml kepada anak kecil dan bayi yang sudah besar.

2. INJEKSI INTRAVENA (IV)


Injeksi dalam pembuluh darah menghasilkan efek tercepat dalam waktu 18 detik, yaitu waktu
satu peredaran darah, obat sudah tersebar ke seluruh jaringan. Tetapi, lama kerja obat
biasanya hanya singkat. Cara ini digunakan untuk mencapai penakaran yang tepat dan dapat
dipercaya, atau efek yang sangat cepat dan kuat. Tidak untuk obat yang tak larut dalam air
atau menimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah.
Bahaya injeksi intravena adalah dapat mengakibatkan terganggunya zat-zat koloid darah
dengan reaksi hebat, karena dengan cara ini “benda asing” langsung dimasukkan ke dalam
sirkulasi, misalnya tekanan darah mendadak turun dan timbulnya shock. Bahaya ini lebih
besar bila injeksi dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat setempat dalam darah
meningkat terlalu pesat. Oleh karena itu, setiap injeksi i.v sebaiknya dilakukan amat perlahan,
antara 50-70 detik lamanya.

3. INJEKSI SUBKUTAN (SC)


Injeksi subkutan (SC) dilakukan dengan menempatkan obat ke dalam jaringan ikat longgar di
bawah dermis. Karena jaringan SC tidak dialiri darah sebanyak darah yang mengaliri otot,
absorpsi di jaringan subkutan sedikit lebih lambat daripada absorpsi pada injeksi IM. Namun,
obat diabsorpsi secara lengkap jika status sirkulasi normal. Karena jaringan subkutan tersusun
atas reseptor nyeri, klien dapat mengalami rasa tidak nyaman. Tempat terbaik untuk injeksi
subkutan meliputi area vaskular di sekitar bagian luar lengan atas, abdomen dari batas bawah
kosta sampai Krista iliaka, dan bagian anterior paha. Area ini dapat dengan mudah diakses,
khususnya pada klien diabetes yang melakukan injeksi insulin secara mandiri. Tempat yang
paling direkomendasikan untuk injeksi heparin ialah abdomen. Tempat yang lain meliputi
daerah skapula di punggung atas dan daerah ventral atas atau gluteus dorsal. Tempat injeksi
yang dipilih harus bebas dari infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, dan otot atau
saraf besar di bawahnya. Klien penderita diabetes secara teratur merotasi tempat injeksi
setiap hari untuk mencegah hipertrofi (penebalan) kulit dan lipodistrofi (atrofi jaringan).
Tempat injeksi tidak boleh digunakan lebih dari setiap enam-tujuh minggu. Obat yang
diberikan melalui rute SC hanya obat dosis kecil yang larut dalam air (0.5-1 ml). Jaringan SC
sensitif terhadap larutan yang mengiritasi dan obat dalam volume besar. Kumpulan obat
dalam jaringan dapat menimbulkan abses steril yang tampak seperti gumpalan yang mengeras
dan nyeri di bawah kulit.

4. INJEKSI INTRAKUTAN (IC)


Memasukan obat kedalam jaringan kulit, intracutan biasa digunakan untuk mengetahui
sensitivitas tubuh terhadap obat yang disuntikan.

16. PROSES DISTRIBUSI OBAT DIDALAM TUBUH

Distribusi obat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer senyawa obat
dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh. Distribusi merupakan perjalanan obat ke
seluruhtubuh. Setelah senyawa obat memasuki sistem sirkulasi melalui absorpsi atau injeksi,
senyawa tersebut akan didistribusikan ke seluruh tubuh.
Setelah melalui proses absorpsi, obat akan di distribusikan keseluruh tubuh melalui
sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
fisikakimianya. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel,
terdistribusi kedalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus
membran sel, sehingga distribusinya terbatas, terutama dicairan ekstra sel. Distribusi juga
dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan
mencapai keseimbangan.
Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat ( Kemampuan obat
untuk mengikat reseptor) terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sedikit.

FAKTOR – FAKTOR MEMPENGARUHI DISTRIBUSI


Proses distribusi ini dipengaruhi oleh :
1. Pengikatan protein plasma
2. Kelarutan obat dalam lipid (yaitu, apakah obat tersebut larut dalam jaringan lemak)
3. Sifat-keterikatan obat
4. Aliran darah ke dalam organ dan keadaan sirkulasi
5. Kondisi penyakit

Penjelasan dari faktor- faktor yang mempengaruhi proses distribusi, yaitu :

1. Protein plasma
Obat terikat dalam protein plasma dalam taraf yang bervariasi.Ikatan protein pada
obat akan mempengaruhi intensitas kerja, lamakerja dan eliminasi bahan obat sebagai
berikut: bagian obat yangterikat pada protein plasma tidak dapat berdifusi dan pada
umumnyatidak mengalami biotransformasi dan eliminasi. Jadi hanya obat –obatbentuk bebas
saja yang akan mencapai tempat kerja dan berkhasiat.

2. Kelarutan Lipid
Kelarutan lipid merupakan taraf larutnya obat di dalam jaringanlemak tubuh. Tubuh
secara kimiawi tersusun dari sejumlahkompartemen cairan dan jaringan lemak. Sebagian
besar obat didistribusikan ke seluruh kompartemen cairan dalam tubuh, dan kemudian
akanditeruskan ke dalam jaringan lemak dalam taraf yang besar/kecil. Taraf penyebaran obat
ke seluruh tubuh disebut volume distribusi.

3. Karakteristik Pengikatan
Beberapa obat memiliki karakteristik pengikatan yang tidak lazim. Contoh: tetrasiklin
terikat dengan tulang dan gigi.Obat anti-malaria klorokuin dapat terikat dengan retina
orangdewasa/janin.

4. Aliran Darah ke Dalam Jaringan


Sebagian jaringan tubuh menerima pasokan darah yanglebih baik daripada lainnya;
contoh: aliran darah ke dalam otak jauh lebih tinggi daripada aliran darah ke tulang. Kondisi
sirkulasi darah ini menentukan distribusi obat. Sirkulasi darah diutamakan pada jantung, otak,
dan paru-paru. Karenavolume sirkulasi terbatas, obat akan terdapat padakonsentrasi tinggi di
dalam jaringan yang bisa dijangkaunya.

5. Kondisi Penyakit yang Diderita Pasien


Contohnya, gagal ginjal dan kegagalan fungsi hati akanmengganggu kemampuan tubuh
dalam mengeliminasisebagian besar obat. Obat juga akan menumpuk dalam tubuhjika pasien
mengalami dehidrasi. Jika terjadi penumpukanobat, efek sampingnya akan semakin berat.
Keadaan lain yangdapat mempengaruhi distribusi obat meliputi: gagal jantung,syok, penyakit
tiroid, penyakit GI.

Karena proses distribusi obat sangat mempengaruhi transfer senyawa obat ke lokasi-
lokasi pengobatan yang diharapkan, berbagai cara ditempuh dalam pembuatan obat dan jenis
sediaannya untuk meningkatkan efektivitas ditribusi obat.
Ada beberapa hal yang diperhatikan saat merancang sediaan obat yang ada hubungannya
dengan distribusi obat. Misalnya pada penggunaan obat untuk ibu hamil. Apabila melalui uji
klinis terlihat bahwa senyawa obat dapat melintasi plasenta dan senyawa tersebut berbahaya
bagi janin, maka obat tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil. Membran otak juga adalah
salah satu jaringan yang dihindari pada proses ditribusi obat. Sedikit perubahan struktur pada
senyawa obat dapat memodifikasi pola distribusi sehingga obat tidak ditransfer melalui
membran otak.

MEKANISME DISTRIBUSI

Obat setelah diabsorbsi akan tersebar melalui sirkulasi darah keseluruh badan. Dalam
peredarannya, kebanyakan obat-obat di distribusikan melalui membrane badan dengan cara
yang relative lebih mudah dan lebih cepat dibanding dengan eliminasi atau pengeluaran obat.
Distribusi adalah proses suatu obat yang secara reversible meninggalkan aliran darah
dan masuk ke interstisium (cairan ekstrasel) dan/atau ke sel-sel jaringan. Pengiriman obat
dariplasma ke interstinum terutama tergantung pada aliran darah, permeabilitas kapiler,
derajat ikatan ion obat tersebut dengan protein plasma atau jaringan dan hidrofobisitas dari
obat tersebut.
distribusi meliputi transport (pengangkutan) molekul obat di dalam tubuh. Setiap kali
obat disuntikan atau diabsorbsi ke dalam aliran darah, obat di bawa oleh darah dan cairan
jaringan ke tempat aksi obat (aksi farmakologi), tempat metabolisme, dan tempat ekskresi.
Kebanykan obat masuk dan meninggal aliran darah di tingkat kapiler, melewati celah antara
sel yang membentuk dinding kapiler.Distribusi bergantung besarnya kecukupan sirkulasi
darah. Obat di distribusikan cepat kepada organ yang menerima suplai darah dalam jumlah
banyak seperti jantung, hati dan ginjal. Distribusi ke organ dalam lainnya seperti lemak otot,
dan kulit biasanya lebih lambat. Sebuah faktor penting dalam distribusi obat adalah ikatan
protein. Banyak obat membentuk ikatan komplek dengan plasma.Protein utama
adalah albumin yang bertindak sebagai pembawa obat. Molekul obat yang berikatan dengan
protein plasma adalah farmakologi inaktif karena ukuran kompleknya (ikatan albumin+obat)
yang besar, mencegah obat meninggalkan aliran darah melalui lubang kecil di dinding kapiler
dan mencapai tempat aksi, metabolisme, dan ekskresi. Hanya bagian obat yang bebas atau
tidak terikat yang dapat beraksi di dalam tubuh sel. Sebagai obat yang bebas obat beraksi di
dalam sel, terjadi penurunan tingkat plasma obat karena beberapa ikatan obat terlepas.
Ikatan protein membolehkan bagian dari dosis obat untuk disimpan dan dilepaskan
jika dibutuhkan.Beberapa obat juga disimpan di jaringan otot, lemak, dan jaringan tubuh
lainnya. dan dilepaskan sedikit-demi sedikit ketika tingkat plasma obat menurun. Mekanisme
penyimpanan ini memelihara tingkat obat rendah didalam darah dan mengurangi resiko
keracunan. Obat yang diikat kuat oleh plasma protein atau disimpan dalam jumlah besar di
jaringan tubuh memiliki aksi obat yang panjang.
Distribusi obat ke dalam Sistem Saraf Pusat ( central nervous system) dibatasi karena
terdapat sawar darah otak (blood–brain barrier), yang terdiri dari pembuluh darah kapiler
dengan dinding tebal, membatasi pergerakan molekul obat masuk ke dalam jaringan otak.
Sawar (penghalang) ini juga bertindak sebagai membran selektif permeabel yang menjaga
Sistem Saraf Pusat (SSP). Namun hal ini juga menyebabkan terapi obat untuk gangguan
sisitem saraf sangat sulit diberikan karena harus melewati sel dari dinding kapiler dan lebih
jarang antara sel. Sebagai hasilnya, hanya obat yang larut dalam lemak atau memiliki sistem
transportasi yang dapat melewati sawar-darah otak dan mencapai kosentrasi terapeutik di
dalam jaringan otak.
Distribusi obat selama kehamilan dan menyususi juga unik. Selama kehamilan,
sebagian besar obat melewati plasenta dan dapat mempengaruhi bayi. Selama laktasi, banyak
obat masuk ke dalam air susu dan dapat mempengaruhi bayi.
Obat disampaikan ke reseptor melalui sistem sirkulasi dan mencapai target reseptor
yang dipengaruhi oleh aliran darah dan konsentrasi jumlah darah di reseptor tersebut.
Konsentrasi obat di suatu sel dipengaruhi oleh kemampuan obat berpenetrasi ke dalam
kapiler endotelium (tergantung ikatan obat dengan protein plasma) dan difusi melalui
membran sel. Distribusi obat di darah, organ dan sel tergantung dosis dan rute pemberian,
lipid solubilin obat, kemampuan berikatan dari protein plasma dan jumlah aliran darah ke
organ dan sel.
Senyawa yang terdapat pada sebuah sediaan obat, selain zat aktif yang digunakan
untuk pengobatan, juga ada senyawa-senyawa yang membantu proses distribusi zat aktif.
Oleh sebab itu tidak dianjurkan kepada pasien atau tenaga medis merubah bentuk sediaan
tanpa berkonsultasi dengan apoteker. Misalnya merubah tablet menjadi puyer, apabila dalam
bentuk puyer ketersediaan hayati obat tersebut menjadi berkurang.

17. ENZIM SEBAGAI KATALISATOR METABOLISME

Enzim merupakan senyawa protein yang berfungsi sebagai katalisator reaksi-reaksi


kimia yang terjadi dalam sistem biologi (makhluk hidup). Oleh karena merupakan katalisator
dalam system biologi, enzim sering disebut biokatalisator. Katalisator adalah suatu zat yang
mempercepat reaksi kimia, tetapi tidak mengubah kesetimbangan reaksi atau tidak
mempengaruhi hasil akhir reaksi. Zat itu sendiri (enzim) tidak ikut dalam reaksi sehingga
bentuknya tetap atau tidak berubah.Tanpa adanya enzim, reaksi-reaksi kimia dalam tubuh
akan
berjalan lambat.

1. Komponen Enzim

Enzim (biokatalisator) adalah senyawa protein sederhana maupun protein kompleks


yang bertindak sebagai katalisator spesifik. Enzim yang tersusun dari protein sederhana jika
diuraikan hanya tersusun atas asam amino saja, misalnya pepsin, tripsin, dan kemotripsin.
Sementara itu, enzim yang berupa protein kompleks bila diuraikan tersusun atas asam amino
dan komponen lain. Enzim lengkap atau sering disebut holoenzim, terdiri atas komponen
protein dan nonprotein. Komponen protein yang menyusun enzim disebut apoenzim.
Komponen ini mudah
mengalami denaturasi, misalnya oleh pemanasan dengan suhu tinggi. Adapun penyusun
enzim yang berupa komponen nonprotein dapat berupa komponen organik dan anorganik.
Komponen organik yang terikat kuat oleh protein enzim disebut gugus prostetik, sedangkan
komponen organik yang terikat lemah disebut koenzim. Beberapa contoh koenzim antara
lain: vitamin (vitamin B1, B2, B6, niasin, dan biotin), NAD (nikotinamida adenin
dinukleotida), dan koenzim A (turunan asam pentotenat). Komponen anorganik yang terikat
lemah pada protein enzim
disebut kofaktor atau aktivator, misalnya beberapa ion logam seperti Zn2+, Cu2+, Mn2+,
Mg2+, K+,Fe2+,danNa+.

2.CaraKerjaEnzim

Salah satu ciri khas enzim yaitu bekerja secara spesifik. Artinya, enzim hanya dapat
bekerja pada substrat tertentu. Bagaimana cara kerja enzim? Beberapa teori berikut
menjelaskan tentang cara kerja enzim.

a. Lock and Key Theory (Teori Gembok dan Kunci)


Teori ini dikemukakan oleh Fischer (1898). Enzim diumpamakan sebagai gembok
yang mempunyai bagian kecil dan dapat mengikat substrat. Bagian enzim yang dapat
berikatan dengan substrat disebut sisi aktif. Substrat diumpamakan kunci yang dapat
berikatan dengan sisi aktif enzim. Perhatikan Gambar 2.1 berikut
Selain sisi aktif, pada enzim juga ditemukan adanya sisi alosterik. Sisi alosterik dapat
diibaratkan sebagai sakelar yang dapat menyebabkan kerja enzim meningkat ataupun
menurun. Apabila sisi alosterik berikatan dengan penghambat (inhibitor), konfigurasi enzim
akan berubah sehingga aktivitasnya berkurang. Namun, jika sisi alosterik ini berikatan
dengan aktivator (zat penggiat) maka enzim menjadi aktif kembali.

b. Induced Fit Theory (Teori Ketepatan Induksi)


Sisi aktif enzim bersifat fleksibel sehingga dapat berubah bentuk menyesuaikan bentuk
substrat.

3. Penghambatan Aktivitas Enzim


a. Inhibitor Reversibel
Inhibitor reversibel meliputi tiga jenis hambatan berikut.

1) Inhibitor kompetitif (hambatan bersaing)


Pada penghambatan ini zat-zat penghambat mempunyai struktur mirip dengan struktur
substrat.
Dengan demikian, zat penghambat dengan substrat saling berebut (bersaing) untuk bergabung
dengan sisi aktif enzim

2) Inhibitor nonkompetitif (hambatan tidak bersaing)


Penghambatan ini dipicu oleh terikatnya zat penghambat pada sisi alosterik sehingga sisi aktif
enzim berubah. Akibatnya, substrat tidak dapat berikatan dengan enzim untuk membentuk
kompleks enzim-substrat.

3) Inhibitor umpan balik


Hasil akhir (produk) suatu reaksi dapat menghambat bekerjanya enzim. Akibatnya, reaksi
kimia akan berjalan lambat. Apabila produk disingkirkan, reaksi akan berjalan lagi.

b. Inhibitor Tidak Reversibel


Hambatan ini terjadi karena inhibitor bereaksi tidak reversibel dengan bagian tertentu pada
enzim sehingga mengakibatkan bentuk enzim berubah. Perubahan bentuk enzim ini
mengakibatkan berkurangnya aktivitas katalitik enzim tersebut. Hambatan tidak reversibel
umumnya disebabkan oleh terjadinya proses destruksi atau modifikasi sebuah gugus enzim
atau lebih yang terdapat pada molekul enzim.

c. Inhibitor Alosterik
Pada penghambatan alosterik, molekul zat penghambat tidak berikatan pada sisi aktif enzim,
melainkan berikatan pada sisi alosterik. Akibat penghambatan ini sisi aktif enzim menjadi
tidak aktif karena telah mengalami perubahan bentuk.

4. Sifat-Sifat Enzim
Secara ringkas sifat-sifat enzim dijelaskan sebagai berikut.
a. Enzim merupakan biokatalisator.
Enzim dalam jumlah sedikit saja dapat mempercepat reaksi beribu-ribu kali lipat, tetapi ia
sendiri tidak ikut bereaksi.

b. Enzim bekerja secara spesifik.


Enzim tidak dapat bekerja pada semua substrat, tetapi hanya bekerja pada substrat tertentu
saja. Misalnya, enzim katalase hanya mampu menghidrolisis H2O2 menjadi H2O dan O2.

c. Enzim berupa koloid.


Enzim merupakan suatu protein sehingga dalam larutan enzim membentuk suatu koloid. Hal
ini menambah luas bidang permukaan enzim sehingga aktivitasnya lebih besar.

d. Enzim dapat bereaksi dengan substrat asam maupun basa. Sisi aktif enzim mempunyai
gugus R residu asam amino spesifik yang merupakan pemberi atau penerima protein yang
sesuai.

e. Enzim bersifat termolabil.


Aktivitas enzim dipengaruhi oleh suhu. Jika suhu rendah, kerja enzim akan lambat. Semakin
tinggi suhu, reaksi kimia yang dipengaruhi enzim semakin cepat, tetapi jika suhu terlalu
tinggi, enzim akan mengalami denaturasi.

f.Kerja enzim bersifat bolak-balik (reversibel).


Enzim tidak dapat menentukan arah reaksi, tetapi hanya mempercepat laju reaksi mencapai
kesetimbangan. Misalnya enzim lipase dapat mengubah lemak menjadi asam lemak dan
gliserol. Sebaliknya, lipase juga mampu menyatukan gliserol dan asam lemak menjadi lemak.
Enzim tidak hanya menguraikan molekul kompleks, tetapi juga dapat membentuk molekul
kompleks dari molekul-molekul sederhana penyusunnya (reaksi bolak-balik).
18. EKSKRESI DAN ELIMINASI OBAT MELALUI KULIT DAN PARU

Ekskresi merupakan proses pengeluaran sisa hasil metabolisme yang sudah tidak dibutuhkan
oleh tubuh. Zat sisa metabolisme bersifat racun bagi tubuh. Oleh karena itu kerusakan pada
alat ekskresi dapat menyebabkan berbagai penyakit di dalam tubuh. Alat ekskresi juga
berfungsi membuang zat-zat yang jumlahnya berlebihan di dalam tubuh.

Hal ini berkaitan dengan sistem osmoregulasi, yaitu pengaturan keseimbangan konsentrasi
cairan dalam tubuh. Sistem osmoregulasi menjaga tekanan osmotik cairan tubuh selalu tetap.
Osmoregulasi biasanya berkaitan dengan pengaturan jumlah air dan garam mineral dalam
tubuh. Organ ekskresi manusia berupa ginjal, kulit, hati, dan paru-paru.

Kulit

Kulit merupakan jaringan yang terdapat pada bagian luar tubuh. Kulit memiliki banyak
fungsi karena di dalamnya terdapat berbagai jaringan.

Kulit terdiri atas tiga lapisan yaitu epidermis, dermis dan jaringan ikat bawah kulit.

1. Epidermis (Kulit Ari)

Epidermis tersusun oleh sejumlah lapisan sel yang pada dasarnya terdiri atas dua lapisan
yaitu :
a. Lapisan tanduk

Merupakan lapisan epidermis paling luar. Pada lapisan ini tidak terdapat pembuluh darah dan

serabut saraf, karena merupakan sel-sel mati dan selalu mengelupas.

b. Lapisan malpighi

Lapisan ini terdapat di bawah lapisan tanduk. Sel-selnya terdapat pigmen yang menentukan
warna kulit.

2. Dermis (Kulit Jangat)

Merupakan lapisan kulit di bawah epidermis, di dalam lapisan ini terdapat beberapa jaringan
yaitu :

a. Kelenjar keringat, yang berfungsi untuk menghasilkan keringat. Keringat tersebut


bermuara pada pori-pori kulit.

b. Kelenjar minyak, yang berfungsi untuk menghasilkan minyak guna menjaga rambut tidak

kering. Kelenjar ini letaknya dekat akar rambut.

c. Pembuluh darah, yang berfungsi untuk mengedarkan darah ke semua sel atau jaringan

termasuk akar rambut.

d. Ujung-ujung saraf. Ujung saraf yang terdapat pada lapisan ini adalah ujung saraf perasa
dan peraba.

3. Jaringan Ikat Bawah Kulit


Di bagian ini terdapat jaringan lemak (adiposa). Fungsinya antara lain untuk penahan suhu
tubuh dan cadangan makanan.

Dengan adanya berbagai jaringan yang terdapat di dalamnya, maka kulit dapat berfungsi
sebagai :

1. indra peraba dan perasa,

2. pelindung tubuh terhadap luka dan kuman,

3. tempat pembentukan vitamin D dari provitamin D dengan bantuan sinar ultraviolet cahaya
matahari,

4. penyimpan kelebihan lemak,

5. pengatur suhu tubuh.

Dari berbagai fungsi tersebut yang berkaitan dengan sistem ekskresi adalah kemampuan kulit
sebagai pengatur suhu tubuh. Suhu tubuh diatur oleh pusat pengatur panas di sumsum
lanjutan agar konstan 36o – 37,5o C. Bila suhu badan meningkat, maka kapiler darah melebar,
kulit menjadi panas dan kelebihan panas dipancarkan ke kelenjar keringat. Sehingga terjadi
penguapan cairan dalam bentuk keringat pada permukaan tubuh. Sebaliknya bila tubuh
merasa kedinginan, pembuluh darah mengkerut, kulit menjadi pucat dan dingin, keringat
dibatasi pengeluarannya.

Keringat yang dikeluarkan oleh kelenjar keringat berisi larutan garam, urea dan air.
Banyaknya keringat

yang dikeluarkan tergantung dari beberapa faktor antara lain aktivitas tubuh, suhu
lingkungan, makanan, kesehatan dan emosi.

Proses Pembentukan Keringat pada Kulit

Zat yang diekskresikan kulit adalah keringat. Ketika udara panas, kulit mengeluarkan
keringat yang mengandung air, urea, dan garam. Keringat yang keluar ke permukaan kulit
akan segera menguap.

Dalam proses penguapan ini, keringat menyerap energi panas dari dalam tubuh sehingga suhu tubuh
menjadi lebih dingin. Jadi fungsi keringat adalah untuk mengatur suhu tubuh dengan cara
membuang panas yang berlebihan.

Keringat keluar melalui pori-pori yang terdapat hampir di seluruh permukaan kulit. Dalam sehari
semalam, keringat yang keluar melalui pori-pori ini dapat mencapai 8 liter. Pada saat melakukan
aktivitas fisik yang berat seperti berolah raga dan kerja keras di bawah terik matahari, keringat yang
dihasilkan akan lebih banyak lagi.

Oleh karena itu, kamu harus cukup minum untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang melalui
keringat. Jika tidak, tubuh yang kekurangan air dan garamgaram mineral dapat menimbulkan kejang-
kejang dan pingsan.

Gambar: Struktru Bagian-bagian Kulit

Di manakah keringat dihasilkan?

Coba kamu perhatikan penampang kulit pada Gambar di atas. Kulit memiliki tiga lapisan,
yaitu epidermis, dermis, dan jaringan ikat bawah kulit. Lapisan tipis yang paling luar disebut
lapisan epidermis, tersusun dari lapisan tanduk dan malpighi.

Lapisan tanduk merupakan selsel mati dan mudah mengelu-pas, sedangkan lapisan malpighi
mengandung pigmen warna kulit. Pada lapisan dermis terdapat kelenjar minyak, folikel
rambut, saraf, dan kelenjar keringat.

Kelenjar keringat letaknya dekat dengan pembuluh darah sehingga memungkinkan terjadinya
difusi air dan garam urea. Keringat dihasilkan oleh kelenjar keringat. Ketika suhu tubuh
meningkat, keringat keluar menuju permukaan kulit melalui pembuluh keringat yang
bermuara di pori-pori.

Jaringan ikat di bawah kulit memiliki batas yang tidak jelas dengan lapisan dermis. Jaringan
ini banyak mengandung lemak yang berfungsi sebagai cadangan makanan, pelindung tubuh
dari benturan, dan menahan panas.

Fungsi Kulit sebagai Alat Ekskresi


Kulit juga mempunyai berbagai fungsi selain mengeluarkan keringat untuk menjaga suhu
tubuh. Beberapa fungsi kulit adalah sebagai berikut.

a. Sebagai alat ekskresi yang mengeluarkan keringat.

b. Pelindung bagi jaringan-jaringan di bawah kulit dari benturan fisik.

c. Pengatur suhu tubuh.

d. Penerima rangsang

e. Tempat pembentukan vitamin D dari provitamin D dengan bantuan sinar matahari.

Paru-paru
Pembahasan tentang organ paru- paru sudah banyak dibahas pada pokok bahasan sistem
pernapasan. Selain berfungsi sebagai alat pernapasan, paru-paru juga berfungsi sebagai alat
ekskresi.
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot
dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua
bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri
(pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis,
disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura
dalam (pleura visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan
dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura parietalis). Antara selaput luar dan selaput
dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Paru-
paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah. Paru-paru
berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang sangat lebar untuk
pertukaran gas.
Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter ± 1 mm,
dindingnya makin menipis jika dibanding dengan bronkus.
Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya masih mempunyai silia dan
di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada bagian distal
kemungkinan tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara (alveolus).
Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu
sisinya terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon. Oleh karena alveolus
berselaput tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka memungkinkan terjadinya
difusi gas pernapasan.

Fungsi utama paru-paru adalah sebagai alat pernapasan. Akan tetapi, karena
mengekskresikan zat Sisa metabolisme maka paru- paru juga berfungsi dalam sistem
ekskresi. Karbon dioksida dan air hasil metabolisme di jaringan diangkut oleh darah lewat
vena untuk dibawa ke jantung, dan dari jantung akan dipompakan ke paru-paru untuk
berdifusi di alveolus. Selanjutnya, H2O dan CO2 dapat berdifusi atau dapat dieksresikan di
alveolus paru-paru karena pada alveolus bermuara banyak kapiler yang mempunyai selaput
tipis.
FUNGSI PARU- PARU DALAM SISTEM EKSKRESI

Dalam sistem ekskresi, paru-paru berfungsi untuk mengeluarkan Karbondioksida (CO2)


dan Uap air (H2O). Didalam paru-paru terjadi proses pertukaran antara gas oksigen dan
karbondioksida. Setelah membebaskan oksigen, sel-sel darah merah menangkap
karbondioksida sebagai hasil metabolisme tubuh yang akan dibawa ke paru-paru. Di paru-
paru karbondioksida dan uap air dilepaskan dan dikeluarkan dari paru-paru melalui hidung.
Jumlah oksigen yang diambil melalui udara pernapasan tergantung pada kebutuhan dan hal
tersebut biasanya dipengaruhi oleh jenis pekerjaan, ukuran tubuh, serta jumlah maupun jenis
bahan makanan yang dimakan.
Oksigen yang dibutuhkan berdifusi masuk kedalam darah melalui kapiler darah yang
menyelubungi alveolus. Selanjutnya, sebagian besar oksigen diikat oleh haemoglobin untuk
diangkut ke sel-sel jaringan tubuh. Hemoglobin yang terdapat dalam butir darah merah atau
eritrosit ini tersusun oleh senyawa hemin atau hematin yang mengandung unsur besi dan
globin yang berupa protein.

Gambar 4. .Pertukaran O2 dan CO2 antara alveolus dan

Pengangkutan CO2 sebagai hasil zat sisa metabolisme, diangkut oleh darah dapat melalui 3
cara yakni sebagai berikut:

1. Karbon dioksida larut dalam plasma, dan membentuk asam karbonat dengan enzim anhidrase
(7% dari seluruh CO2).

2. Karbon dioksida terikat pada hemoglobin dalam bentuk karbomino hemoglobin (23% dari
seluruh CO2).

3. Karbon dioksida terikat dalam gugus ion bikarbonat (HCO3) melalui proses berantai
pertukaran klorida (70% dari seluruh CO2).
19. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELARUTAN , PELEPASAN DAN
ABSORPSI OBAT PADA SEDIAAN TABLET

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT

1. AKTIFITAS ZAT AKTIF


2. DISOLUSI & DIFUSI ZAT AKTIF DLM C. BIOLOGI
3. FAKTOR FISIOLOGIS
4. FAKTOR PATOLOGIK
5. FAKTOR LINGKUNGAN

1. DISOLUSI & DIFUSI ZAT AKTIF DLM C. BIOLOGI

1. Ukuran partikel
2. Kelarutan zat aktif :
a. perubahan senyawa obat(kimia) garam / ester

b. Perubahan kondisi fisik Kristal / amorf , polimorfisa , Solvat & hidrat

c. Formulasi & teknologi yang merubah laju disolusi :

 pembentukan larutan padat


 pembentukan kompleks
 bahan yang merubah tetapan dielektrik
 bahan pelarut miselat
 penyalutan dan senyaw hidrofil
2. FAKTOR FISIOLOGIS

a. Perbedaan spesies :
• Perubahan hayati (biotransformasi)
• Eliminasi
a. Faktor individu :
umur, jenis kelamin, morfotipe, kelaininan genetic, kehamilan, keadaan gozi, ritme
biologi

3. FAKTOR PATOLOGIK

- Faktor yang mempersulit & penurun efek obat :


- absorpsi di sal cerna , parenteral
- Faktor penyulit & peningkat efek obat:
- Absorpsi, difusi, kondisi hati, kondisi ginjal
- Hub endokrin & metabolisme

4. FAKTOR LINGKUNGAN

- Faktor yang mempersulit & penurun efek obat :


- absorpsi di sal cerna , parenteral
- Faktor penyulit & peningkat efek obat:
- Absorpsi, difusi, kondisi hati, kondisi ginjal
- Hub endokrin & metabolisme

FAKTOR FISIOLOGI & PATOLOGIS YANG MEMPENGARUHI AKTIFITAS


OBAT

1. AKTIVITAS OBAT
2. FAKTOR FISIOLOGIS
3. FAKTOR PATOLOGIK
4. FAKTOR LINGKUNGAN

1. AKTIFITAS OBAT
- KAPAN OBAT MEMBERIKAN EFEK :

BERIKATAN DENGAN RESEPTOR DENGAN ENERGI AKTIFITAS TERTENTU

2. KETERSERAPAN & KARAKTER FISIKOKIMIA ZAT AKTIF

a. Proses penyerapan khusus : difusi pasif, aktifpinositosis,

Amonium kuarterner diserap stl pembentukan pasangan ion … difusi pasif

Lemak, vitamin larut lemak & protein bm besar………………. Pinositosis ( keadaan


ttt)

b. Transport aktif

. S . (C1-C2)
K=

K : koef. Partisi membrane biologis/ cairan pelarutan

D : Koef difusi molk zat aktif melintasi membrane

S : A : luas permukaan merman yang kontak dg medium

H : tebal membrane

C1-C2 : gradient konsentrasi


c. Ionisasi zat aktif

Basa Lemah :

d. Tranport filtrasi
Diameter pori 4-10 oA :

- Bentuk partikel bulat , panjang, lonjong


- Terinon … Tarik menarik / tolak menolak

Muatan listrik :

Diantara dua kutub membrane ada perbedaan potensial… molk bs ditolak / ditarik utk
melintasi membran

± log Co/C1 = ZE/C1

Co = c molar ekstraseluler

C1 = C intra seluler

Z jml muatan tiap molekul

E = potensial membrane

+ jk molk - ; - jk molk +

e. Faktor Sediaan pada keterserapan zat aktif

- Tahap pelepasan
- Interaksi dengan bahan tambahan
- Stabilitas zat aktif dalam cairan biologis

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi yaitu (Martin, 1993):

1. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat endotermik
serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein,koefisien difusi dapat
dinyatakan melalui persamaan berikut (Martin, 1993):
D : koefisien difusi
r : jari-jari molekul
k : konstanta Boltzman
ή : viskositas pelarut
T : suhu

2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan
persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar
kecepatan disolusi.

3. pH pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau basa lemah.
Untuk asam lemah:

Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian,
kecepatan disolusi zat juga meningkat.

Untuk basa lemah:

Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian,
kecepatan disolusi juga meningkat.

4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan
berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.

5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga
kecepatan disolusi meningkat.

6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal zat yang
berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil
umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar.

7. Sifat Permukaan Zat


Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan adanya
surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan
menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah.
Ada 2 metode penentuan kecepatan disolusi yaitu (Martin, 1993):
1. Metode Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan terhadap luas
permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut
ditentukan dengan cara yang sesuai.

2. Metode Permukaan Konstan


Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable
perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi tablet
terlebih dahulu, kemudian ditentukan seperti pada metode suspensi.
Prinsip kerja alat disolusi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu (Dirjen POM, 1995) :
1. Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan yang
inert, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang yang berbentuk silinder
dan dipanaskan dengan tangas air pada suhu 370C.
2. Alat yang digunakan adalah dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk.
Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap
titik dari sumbu vertikel wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti.

Dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi pelepasan, kelarutan dan


absorbsi obat pada sediaan tablet adalah :

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan , kelarutan dan absorbsi

1. Faktor fisikokimia

a. Faktor fisika

 Ukuran partikel :Penurunan ukuran partikel dapat mempengaruhi laju absorbsi dan
kelarutannya.
 Bentuk kristal dan amorf : bentuk kristal umumnya lebih sukar larut dari pada
bentuk amorfnya

 Solvat dan hidrat : selama kristalisasi molekul air dan pelarut dapat berikatan kuat
dengan zat aktifnya menghasilkan solfat , bila pelarut air terbentuk hidrat.

b. Faktor kimia

 Pengaruh pembentukan garam : untuk mengubah senyawa asam dan basa yang sukar
larut dalam air sehingga mempengaruhi laju kelarutannya
 Pengaruh pembentukan ester : menghambat atau memperpanjang aksi zat aktif
2. Faktor fisiologi

 Permukaan penyerap

Lambung tidak mempunyai permukaan penyerap yang berarti dibandingkan dengan usus
halus. Namun mukosa lambung dapat menyerap obat yang diberikan peroral dan tergantung
pada keadaan, lama kontak menentukan terjadinya penyerapan pasfi dari zat aktif lipofil dan
bentuk tak terionkan pada PH lambung yang asam.Penyerapan pasif dapat terjadi pada usus
halus secara kuat pada daerah tertentu tanpa mengabaikan peranan PH yang akan
mengionisasi zat aktif atau menyebabkan pengendapan sehingga penyerapan hanya terjadi
pada daerah tertentu.

Suatu alkaloida yang larut dan terionkan dalam cairan lambung,secara teori kurang diserap.
Bila PH menjadi netral atau alkali, bentuk basanya akan mengendap pada PH 5,5. Bentuk
basa tersebut kadang-kadang sangat tidak larut untuk dapat diserap dalam jumlah yang cukup
. Oleh sebab itu harus dirancang suatu sediaan dengan pelepasan dan pelarutan zat aktif yang
cepat.

 Umur

Saluran cerna pada bayi yang baru lahir bersifat sangat permeabel dibandingkan bayi yang
berumur beberapa bulan .Pada bayi dan anak-anak, sebagian sisttem enzimatik belum
berfungsi sempurna sehingga dapat terjadi dosis lebih pada zat aktif tertentu yang disebabkan
tidak sempurnyanya proses detiksifikasi metabolik, atau karena penyerapan yang tidak
sempurna dan karena gangguan saluran cerna.

 Sifat membran biologik

Sifat membran biologik sel-sel penyerap pada mukosa pencernaan akan mempengaruhi
proses penyerapan. Sifat utama lipida memungkinkan terjadinya difusi pasif zat aktif dengan
sifat lipofil tertentu dari bentuk yang terinkan di lambung dan terutama di usus besar.

3. Faktor Patologi

A. Faktor patologik

Faktor penghambat dan penurunan efek obat :

 Gangguan penyerapan di saluran cerna, karena adanya perubahan transit getah


lambung dan keadaan mukosa usus.
 Penurunan absorbsi parenteral karena penurunan laju aliran darah
 Peningkatan eliminasi zat aktif melalui ginjal , karena alkalosis atau asidosis.

Faktor penghambat dan peningkat efek obat :

 Peningkatan penyerapan karena terjadi kerusakan membranpada tempat kontak


 Insufisiensi hati

 Insufisiensi ginjal

 Gangguan pada sistem endokrin berakibat pada penekana

20. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELARUTAN, PELEPASAN, DAN


ABSORPSI OBAT PADA SEDIAAN AEROSOL

Faktor yang mempengaruhi kelarutan, pelepasan, dan absorpsi pada sediaan aerosol

a. Pengaruh suhu
Kesetimbangan lewat jenuh adalah dinamis, akan berubah jika keadaan
berubah, misal suhu di naikkan. Pengaruh kenaikan suhu berbeda pada setiap
zat dalam pelarut, hal ini sebagai dasar pemisahan kristalisasi bertingkat.
Kelarutan zat padat bertambah pd kenaikan suhu, tetapi kelarutan gas
berkurang jika suhu naik.
Semakin rendah suhu operasi,penyerapan semakin baik.

b. Pengaruh tekanan
Tekanan udara di atas cairan berpengaruh kecil terhadap kelarutan padat dan
cair. Jika tekanan parsial gas di permukaan bertambah besar maka kelarutan
gas akan bertambah. Gas dapat larut dalam cairan karena sebagian molekul
gas di permukaan menabrak permukaan cairan itu dan ada juga yg larut/
masuk ke dalamnya. Semakin tinggi tekanan operasi, penyerapan semakin
baik sampai pada batas tertentu.

c. Laju alir air


Semakin besar laju alir air, maka penyerapan semakin baik.

d. Laju alir gas


Semakin besar laju alir gas, maka penyerapan semakin buruk.

21. DISTRIBUSI OBAT DALAM SALURAN CERNA

Hidung (Nasal)

Hidung merupakan organ pernapasan yang menghubungkan dengan udara luar.


Hidung ditopang oleh tulang nasal (tulang keras) dan bagian atas merupakan tulang
rawan. Bagian tulang rawan masih dapat ditumbuhkan/ditambahkan sehingga ukuran
hidung berubah bentuk/panjang (mancung). Terdapat dua rongga hidung, kanan-kiri,
yang dipisahkan oleh septum nasalis (tulang rawan). Terdapat tiga tonjolan di dalam
rongga hidup (konka superior, konka intermediet, dan konka inferior) yang dipenuhi
kapiler darah. Panas yang dibawa oleh kapiler darah ini akan menghangatkan udara
melalui celah-celah tonjolan ini. Udara yang panas ini akan membantu “membakar”
mikroba tertentu yang terbawa udara. Rongga hidung ditumbuhi rambut-rambut yang
berperan untuk menyaring udara yang masuk. Sel-sel goblet dan sel epitel bersilia di
pangkal rongga hidung mensekresikan lendir atau mukus yang membantu
melembabkan udara yang masuk dan menangkap kotoran yang tersaring.
Lendir/mukus ini juga membantu sel-sel pembau (olfactory cell) pada rongga hidung
untuk mendeteksi bau dari partikel kimia yang terjerat di dalam lendir. Infeksi bakteri
atau virus tertentu menyebabkan peradangan pada rongga hidung, membuat rongga
hidung tersumbat. Rongga hidung memastikan kualitas udara yang masuk ke dalam
tubuh adalah udara yang baik dengan cara:

a. Menyaring kotoran (dengan rambut-rambut hidung)


b. Menghangatkan udara (difusi panas yang dibawa oleh kapiler pembuluh darah di
dinding rongga hidung)
c. Melembabkan udara (oleh lendir)

Faring

Merupakan saluran pendek, pertemuan antara rongga hidung dan rongga mulut. Udara
akan dialirkan ke dalam laring.

Laring

Saluran pendek dipangkal trakea yang merupakan tempat dimana suara dihasilkan.
Terdapat sepasang pita suara (selaput yang melintang) di dalam laring. Kerika udara
dihembuskan keluar, udara akan melewati pita suara teersebut dan membuat otot-otot
penyusun pita suara meregang. Meregangnya pita suara ini membuat pita suara
bergetar dan menimbulkan bunyi/suara). Semakin tinggi daya regang semakin kuat
getaran semakin kuat bunyi yang dihasilkan. Laring tersusun atas tulang-tulang
rawan, diantaranya glotis, bagian yang terletak paling atas pada laring. Glotis
memiliki selaput epiglotis yang akan melindungi saluran pernapasan dari makanan
dan minuman yang masuk lewat rongga mulut. Ketika menelan makanan, glotis akan
naik, membuat epiglotis turun menutupi trakea. Hal ini membuat makanan mengalir
masuk ke dalam esofagus (saluran pencernaan). Tersedak adalah suatu mekanisme
menetralkan trakea dari makanan dan minuman yang salah masuk ke dalam trakea, ini
terjadi ketika makan sambil berbicara. Glotis akan kembali turun, epiglotismembuka
trakea, udara kembali masuk. Tulang tiroid berada di bagian inferior laring. Pada laki-
laki tulang tiroid ini menonjol ke depan, struktur yang disebut dengan jakun.

Trakea (Tenggorokan)
Merupakan tabung sepanjang 12cm tersusun atas tumpukan 16-20 tulang rawan
berbentuk “C” yang dihubungkan satu sama lain oleh ligamentum anulare (jaringan
ikat). Trakea terletak di depan saluran esofagus, mengalami percabangan di bagian
ujung menuju ke paru-paru. Dinding-dinding trakea tersusun atas sel epitel bersilia
yang menghasilkan lendir. Lendir ini berfungsi untuk penyaringan lanjutan udara
yang masuk, menjerat partikel-partikel debu, serbuk sari dan kontaminan lainnya. Sel
silia berdenyut akan menggerakan mukus ini naik ke faring yang dapat ditelan atau
dikeluarkan melalui rongga mulut. Hal ini bertujuan untuk membersihkan saluran
pernapasaan.

Bronkus

Merupakan percabangan utama dari trakea menuju paru-paru kanan (dextra) dan kiri
(sinistra). Bronkus dextra letaknya lebih besar, pendek, dan vertikal dibanding pada
bronkus sinistra. Hal ini mengakibatkan paru-paru sebelah kanan lebih sering
terserang penyakit dibanding paru-paru kiri. Bronkitis adalah suatu penyakit yang
ditujukan dengan menyempitnya saluran bronkus akibat produksi lendir yang
berlebihan. Secara umum, struktur bronkus sama dengan trakea, hanya berbeda
diameternya saja. Masing-masing bronkus akan mengadakan percabangan yang lebih
kecil di bagian ujung disebut dengan bronkiolus. Pada bronkus dextra akan keluar tiga
cabang bronkiolus, sedangkan pada bronkus sinistra membentuk dua percabangan
bronkiolus. Perbedaan ini akan mempengaruhi struktur paru-paru kanan dan kiri.
Bronkiolus-bronkiolus ini akan membentuk cabang-cabang yang lebih kecil lagi dan
berujung dengan membentuk gelembung-gelembung udara (alveolus, jamak:alveoli).

Paru-Paru (Pulmo)

Terletak di rongga dada yang dibatasi oleh diafragma dengan rongga perut. Paru-paru
sebelah kanan berjumlah tiga gelambir sedangkan sebelah kiri berjumlah dua
gelambir. Perbedaan jumlah ini terjadi karena pada bagian kiri terdapat jantung, yang
pada masa perkembangananya terbentuk lebih dulu dibanding paru-paru. Sehingga
pada paru-paru kiri hanya berkembang sampai dua gelambir. Paru-paru dibungkus
oleh dua lapis membran pleura. Antara membran pleura terdapat cairan limfe yang
melindungi dari gesekan ketika bernapas. Pleuritis adalah suatu kelainan yang terjadi
pada selaput ini.

Alveoli merupakan gelembung yang terbentuk dari bronkiolus. Tersusun atas epitel
yang tipis yang dikelilingi oleh kapiler pembuluh darah. Di dalam alveoli inilah
terjadi proses pertukaran gas. Oksigen dari udara di ruang alveolus akan berdifusi
masuk ke kapiler darah dan ikat oleh haemoglobin eritrosit. Sedang karbondioksida
dilepas dari kapiler darah didifusikan keluar melalui ruang alveolus menuju rongga
hidung. Emfisema adalah suatu kondisi dimana terjadi gangguan dalam pengangkutan
oksigen. Hal ini terjadi karena adanya perubahan struktur alveolus yang disebabkan
oleh senyawa-senyawa kimia, misalnya tar pada rokok. Diplococcus pneumonia
menyebabkan infeksi pada alveoli, yang disebut dengan pneumonia. Pada penderita
pneumonia dinding-dinding alveolus mengeluarkan lendir yang akan menggangu
pernapasan.

TUGAS BIOFARMASI
Dosen : Prof.Dr.Teti Indrawati, M.Si. Apt

Nama : Desy Andriyani14334049

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL


FAKULTAS FARMASI
JAKARTA
2016

Anda mungkin juga menyukai