Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

PENDAHULUAN

Setiap perdarahan baik sedikit maupun banyak dapat dianggap sebagai salah satu
masalah gawat darurat medis yang perlu mendapat pengelolaan segera. Termasuk perdarahan
yang sering ditemukan di bidang gastroenterologi, yaitu perdarahan saluran makan.
Perdarahan saluran makan dapat dibagi dua pokok, yaitu perdarahan saluran makan bagian
atas (SCBA) berupa hematemesis dan melena, serta perdarahan saluran makan bagian bawah
(SMBB) yaitu berupa pseudo-melena dan hematokezia. Perdarahan saluran cerna bagian atas
adalah perdarahan yang terjadi di saluran cerna dan dimulai dari mulut hingga 2/.3 dari
duodenum.1
Perdarahan saluran makanan bagian atas (upper gastrointestinal bleeding) merupakan
suatu masalah medis yang sering menimbulkan kematian yang tinggi, oleh karena itu harus
dianggap suatu masalah gawat darurat yang serius, dan perlu penanganan segera yang tepat
dan cermat. Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan
untuk menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan diagnostik dalam
menentukan sumber perdarahan.1
Perdarahan saluran makan bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran makanan
proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk keperluan klinik dibedakan perdarahan varises
esofagus dan non-varises, karena antara keduanya terdapat ketidaksamaan dalam pengelolaan
dan prognosisnya.2
Penyebab perdarahan SCBA yang sering dilaporkan adalah pecahnya varises esofagus,
gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindroma Mallory-Weiss, dan keganasan.
Perbedaan di antara laporan-laporan penyebab perdarahan SCBA terletak pada urutan
penyebab tersebut. Angka kematian relatif masih tinggi walaupun modalitas terapeutik
semakin berkembang.2,3
Pengetahuan, ketrampilan klinik dalam menghadapi kasus perdarahan saluran cerna,
sistem rujukan yang optimal serta kelengkapan modalitas diagnostik dan terapeutik, akan
mempengaruhi outcome dari tatalaksana perdarahan saluran cerna bagian atas. Angka
morbiditas dan mortalitas juga sangat dipengaruhi oleh bagaimana optimalnya tatalaksana
kasus dalam 24-48 jam pertama di sarana pelayanan kesehatan. 2,3

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Saluran Pencernaan

Gambar 1. Sistem Pencernaan


Struktur saluran cerna berupa suatu saluran dari mulut dan orofaring, yang ada di
kepala dan esofagus bagian proksimal di leher, esofagus bagian tengah di dada, esofagus
distal pada rongga abdomen kemudian lambung (gaster) sampai kolon sigmoid, ada pada
rongga abdomen, rektum dan anus pada rongga pelvis. Masing-masing bagian memiliki sub
struktur yang spesifik dengan fungsi yang spesifik pula dan yang perlu di pahami adalah
adanya sistem persarafan autonom yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis.4
2.1.1 Mulut
Mulut terdiri atas gigi, lidah, dan kelenjar ludah (saliva) serta rongga mulut itu sendiri.
Fungsi mulut adalah melumatkan makanan sekaligus menyatukan menjadi homogen dengan
bantuan saliva, sehingga terbentuk substansi setengah cair yang mudah ditelan. Saliva

2
disekresi sewaktu mengunyah makanan dan mempunyai dampak secara mekanis seperti
diperas.4
Pada rongga mulut sudah terjadi proses digesti (pencernaan makanan) terhadap
karbohidrat yaitu molekul amilum dicerna menjadi disakarida lalu kemudian menjadi glukosa
melalui enzim ptyalin.4
Pada rongga mulut terdapat 3 jenis kelenjar saliva, yaitu kelenjar parotis, sub
mandibula dan sublingualis. Lidah, salah satu organ esensial pada rongga mulut, berfungsi
membalik makanan sekaligus untuk merasakan makanan.4
Persarafan daerah mulut melalui berbagai saraf bagian nervus fasialis dan nervus
trigeminus sedang bagian yang autonom melalui berbagai saraf seperti nervus fasialis, nervus
glosofaringeus dan nervus vagus.4
2.1.2 Orofagus
Fungsi orofagus bersangkutan dengan proses menelan. Proses menelan merupakan
(mengawali) / memicu gerakan peristaltik esofagus.4
2.1.3 Esofagus
Antara orofaring dan esofagus terdapat sfingter esofagus bagian atas. Fungsi esofagus
melanjutkan makanan halus ke lambung, esofagus bagian tengah ada pada rongga dada
sedangkan beberapa sentimeter terdapat pada rongga abdomen. Antara esofagus dan lambung
terdapat sfingter bagian bawah. Mukosa esofagus terdiri epitel skuamosa seperti kulit tetapi
tanpa keratinisasi. Mukosa esofagus menekskresikan cairan dan semacam lendir untuk
melicinkan permukaan sehingga bolus makanan turun lancar pada permukaan mukosa yang
licin. Fungsi esofagus semata-mata melanjutkan makanan ke lambung. Proses peristaltik
bermula dari proses menelan.4
2.1.4 Mukosa Esofagus
Mukosa esofagus yang skuamosa beralih ke sel epitel toraks pada suatu batas yang
disebut z-line berbentuk garis zig-zag naik turun, karena itu disebut z-line. Pada daerah itulah
terletak sfingter esofagus bagian bawah. Z-line ini nantinya sangat penting dalam menentukan
patologi esofagus bagian distal.4
2.1.5 Lambung
Lambung disebut juga gaster, secara anatomis berupa kantong di bawah diafragma.
Berbagai fungsi lambung dapat disebut disini, yakni 1). Menampung makanan 2).
Melumatkan dan mencerna makanan 3). Melanjutkan makanan 4). Sebagai pertahanan
terhadap mikroorganisme berbahaya melalui sekresi asam lambung dan juga 5). Fungsi
endokrin.4
3
Fungsi pencernaan dilakukan dengan mengaduk, melumatkan seolah-olah digiling
menjadi adonan homogen yang lunak sampai cair. Fungsinya adalah agar bolus makanan
mudah dilanjutkan melalui sfinter pilorus, mudah dicerna oleh usus kecil dan juga supaya zat
nutrien serta air mudah diabsorbsi.4
Fungsi menampung/reservoir dan melumatkan kemudian melanjutkan makanan
menimbulkan konsep waktu pengosongan lambung (gastric emptying time). Konsep waktu
pengosongan lambung ini penting dipahami, terutama berkaitan dengan gangguan motilitas
dan retensi makanan pada lambung.4
Pengosongan lambung berlangsung atas kontraksi lambung yang pada garis besarnya 2
jenis kontraksi, yang pertama berasal dari lanjutan peristalis esofagus, kedua berasal dari
kontraksi dari peacemaker kontraksi lambung yang berada pada fundus. Tentang adanya
pacemaker intrinsic pada lambung ini masih belum ada kesepakatan atau masih dalam
hipotesis. Sebagai dasar adanya hipotesi pacemaker lambung adalah adanya kontraksi tanpa
ada proses menelan, misalnya saat tidur.4
2.1.6 Duodenum
Secara makro anatomi (gros anatomy) duodenum terdiri atas 4 segmen yaitu segmen
proksimal mulai dari pylorus, bulbus duodeni sampai masuk ke retroperitoneal, segmen
kedua yang terletak pada retroperitoneal dan segmen ketiga yaitu setelah keluar dari
retroperitoneal berjalan horizontal (pars horizontal duodeni) dan segmen ke empat yaitu saat
duodenum mendaki ke atas sampai ke ligamentum Treitz.4
Pada duodenum sudah terdapat absorbsi air, glukosa, Fe++ (zat besi), kalsium,
magnesium, gliserol, asam lemak, asam amino, vitamin, natrium dan magnesium. Dari aspek
gastroenterologi klinik yang pertama adalah adanya papila vateri sebagai muara dua buah
saluran yaitu saluran empedu dan saluran pankreas. (Hardjodisastro, 2011)
Adonan makanan dari lambung merangsang duodenum mensekresi hormon sekretin
dan kolesistokinin yang merangsang vesika felea dan pankreas menyalurkan cairan empedu
dan cairan pankreas. Cairan empedu untuk membuat emulsi lemak sehingga mudah dicerna
oleh lipase pankreas. Cairan empedu dan cairan pankreas mengandung lipase yang mencerna
lemak, amilase yang mencerna amilum (karbohidrat) dan protease yang mencerna protein.
Cairan pankreas dan cairan empedu bersifat basa yang kemudian menetralkan HCl, dengan
demikian cairan makanan dalam jejunum sudah bersifat netral dengan ph = 7.4
2.1.7 Jejenum dan Ileum
Jejenum dan ileum merupakan organ saluran cerna yang paling panjang, berfungsi
digesti dan absorbsi sekaligus serta hanya ada perbedaan sedikit antara jejenum dan ileum,
4
karena itu dibahas bersamaan atau terintegrasi. Ileum berakhir pada valvula Boumannii
(ileocaecal valve). Pada Jejenum dan ileum terjadi digesti dan absorbsi semua nutrient.4
Perlu dijelaskan disini bahwa sel mukosa jejenum dan ileum juga mensekresi enzim
dipeptidase dan juga lipase, dengan demikian semua substrat nutrisi menjadi molekul tunggal
yang siap untuk diabsorbsi. Yang perlu dicatat disini adalah ileum terminalis memiliki fungsi
spesifik yaitu absorbsi asam empedu dan vitamin B 12. Asam empedu diabsorbsi masuk ke
sistem vena porta kembali ke hati untuk disekresikan kembali untuk jadi cairan empedu.
Siklus ini disebut siklus enterohepatik asam empedu.4
Pemahaman ini penting bila kita mendapati pasien dengan penyakit Crohns (Ileitis
terminalis) atau pasien pasca hemi kolektomi dekstra yaitu reseksi sekum dan kolon asendens
karena kanker kolon. Pada kasus ini dengan sendirinya tidak ada absorbsi asam empedu dan
vitamin B 12, karena itu pengaturan nutrisi harus rendah lemak dan diperlukan suplementasi
garam empedu dan vitamin B12, bila perlu diberi suntikan vitamin B 12 secara berkala.4
2.1.8 Kolon
Kolon merupakan segmen terakhir saluran cerna dimulai dari appendiks, sekum dan
valvula Boumannii sampai anus. Secara makro anatomi terdiri atas sekum yang letaknya
intraperitoneal, kolon asendens yang retro peritoneal, kolon transversum mulai dari fleksura
hepatika ke fleksura lienalis yang letaknya intra peritoneal lalu kolon sigmoid yang letaknya
intra peritoneal dan rektum yang retroperitoneal lalu anus. Pemahaman topografis ini penting
berkaitan dengan proses kolonoskopi, yang biasanya timbul kesulitan bila melewati
perbatasan intra ke retroperitoneal.4
Ada berbagai fungsi kolon yaitu pertama absorbsi air dan elektrolit, kedua
pembentukan feses yaitu proses pembusukan (putresifikasi), ketiga pemadatan dan keempat
reservoir feses agar dapat dikeluarkan pada saat yang tepat sesuai kebiasaan yaitu biasanya
pagi hari setelah bangun tidur.4

2.2 Definisi Perdarahan Saluran Cerna Atas (PSCBA)


Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) didefinisikan sebagai kehilangan darah
dalam lumen saluran cerna yang bermula dari esofagus sampai duodenum distal di sebelah
proksimal ligamentum Treitz.5,6

2.3 Etiologi dan Epidemiologi Perdarahan Saluran Cerna Atas (PSCBA)


Etiologi perdarahan saluran cerna atas di Indonesia berbeda dengan yang dilaporkan
kepustakaan barat. Di Indonesia sebagian besar kasus perdarahan SCBA (lebih kurang 70%)

5
disebabkan oleh pecahnya varises esofagus atau dampak lain dari akibat adanya hipertensi
portal (adanya gastropati hipertensi portal). Sedangkan di Negara Barat sebagian besar di
akibatkan tukak peptik dan gastritis erosif. Penyebab lain yang sering dilaporkan pada
perdarahan SCBA adalah sindroma mallory-weiss dan keganasan SCBA.6
Perbedaan etiologi terbanyak di negara Barat dan di Indonesia ini dapat dilihat pada
penelitian Herinsson pada tahun 2012 di Islandia, dimana temuan terbanyak adalah ulkus
peptikum (35,2%) diikuti oleh sindroma Mallory-Weiss (12,2%). Penelitian Hearnshaw pada
tahun 2010 di Inggris, kasus terbanyak adalah ulkus peptikum sebanyak 36%, diikuti oleh
varises esofagus sebanyak 11%. Di Indonesia, berdasarkan penelitian Adi pada tahun 2009
dari 1673 kasus perdarahan SCBA di SMF Penyakit Dalam RSU dr Soetomo Surabaya,
penyebabnya 76,9% pecahnya varises esofagus, 19,2% gastritis erosif, 1,0% tukak peptik,
0,6% kanker lambung, dan 2,6% karena sebab-sebab lain.6
Menurut jenis kelamin dan kelompok umur dari kasus perdarahan saluran cerna atas
adalah sebagai berikut: 1) Tukak lambung lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita
(1,3:1). Walaupun dapat terjadi pada semua kelompok umur, tukak lambung lebih sering
terjadi pada kelompok umur 55-70 tahun; 2) Pada tukak duodenum, perbandingan antara laki-
laki dengan wanita (2:1). Umur terbanyak antara kelompok umur 45-65 tahun dengan
kecendrungan makin tua umur, prevalensi makin meningkat; 3) Kanker gaster pada pria dua
kali lebih sering daripada wanita. Kebanyakan kasus kanker lambung terjadi pada umur 50-
70 tahun dan jarang di bawah umur 40 tahun.6
Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, kematian pada penderita
ruptur varises bisa mencapai 60%, sedangkan kematian pada perdarahan non-varises sekitar
9%-12%. Angka kematian di berbagai belahan dunia menunjukkan jumlah yang cukup tinggi,
terutama di Indonesia yang wajib menjadi perhatian khusus.7
Tabel 1. Penyebab tersering perdarahan SCBA pada pasien yang menjalani endoskopi di
RSCM selama tahun 2001 2005.
Penyebab Jumlah kasus Persentase
Pecahnya varises esofagus 280 kasus 33.4 %
Perdarahan ulkus peptikum 225 kasus 26.9 %
Gastritis erosiva 219 kasus 26.2 %
Tidak ditemukan 38 kasus 4.5 %
Lain lain 45 kasus 9%
Total 807 kasus 100 %
Sumber: The Indonesian Society of Gastroenterology, 2014

6
Etiologi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas:2,7
a. Sobekan daerah esofago-gastric junction (Mallory Weiss tears)
b. Pecahnya varises esofagus, gaster dan duodenum
c. Robeknya esofagus (Booerrhaaves syndrome)
d. Esofagitis
e. Tukak esofagus, gaster dan duodenum
f. Gastritis erosiva
g. Dieulafoys lesion (pecahnya arteri mukosa)
h. Keganasan SCBA
i. Fistula vaskular-enterik

2.3.1 Kelainan Varises Esofagus1,8


a. Varises Esofagus
Sebagaimana diketahui bahwa varises esofagus ditemukan pada penderita sirosis hati
dengan hipertensi portal. Sifat perdarahan yang ditimbulkan ialah muntah darah atau
hematemesis biasanya mendadak dan masif, tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah
yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur
dengan asam lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena.
Esophageal varices dan gastric varices adalah vena collateral yang berkembang
sebagai hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi segmental portal. Beberapa
penyebab dari hipertensi portal termasuk prehepatic thrombosis, penyakit hati, dan penyakit
postsinusoidal. Hepatitis B dan C serta penyakit alkoholic liver adalah penyakit yang paling
sering menimbulkan penyakit hipertensi portal intrahepatic di Amerika Serikat.
b. Karsinoma Esofagus1
Karsinoma esofagus sering memberikan keluhan melena daripada hematemesis. Pada
panendoskopi jelas terlihat gambaran karsinoma yang hampir menutup esofagus dan mudah
berdarah terletak di sepertiga bawah esofagus.
c. Sindroma Mallory-Weiss1
Muntah-muntah yang hebat mungkin dapat mengakibatkan ruptur dari mukosa dan
submukosa pada daerah kardia atau esofagus bagian bawah, sehingga timbul perdarahan.
Karena laserasi yang aktif disertai ulserasi pada daerah kardia dapat timbul perdarahan yang
masif. Timbulnya laserasi yang akut tersebut dapat terjadi sebagai akibat terlalu sering
muntah-muntah yang hebat, sehingga tekanan intra abdominal menaik yang dapat
menyebabkan pecahnya arteri di submukosa esofagus atau kardia.

7
Karena muntah-muntah yang hebat dan terus-menerus, maka tekanan intra-abdominal
menaik yang dapat mengakibatkan timbulnya laserasi di daerah persambungan esofagogastrik
(esophagogastric junction), sehingga timbul perdarahan. Sifat hematemesis, ialah timbul
perdarahan yang tidak masif, setelah penderita berulangkali muntah-muntah yang hebat, yang
disusul dengan rasa nyeri di epigastrium.

Gambar 2. Mallory-Weiss tear

d. Esofagitis dan Tukak Esofagus1


Esofagitis bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering bersifat intermiten atau
kronis dan biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul melena daripada hematemesis.
Tukak di esofagus jarang sekali mengakibatkan perdarahan jika dibandingkan dengan tukak
lambung dan duodenum.1

2.3.2 Kelainan di Lambung


a. Gastritis Erosiva Hemoragika1
Penyebab terbanyak dari gastritis erosiva hemoragika ialah obat-obatan yang dapat
menimbulkan iritasi pada mukosa lambung atau obat yang dapat merangsang timbulnya tukak
(ulcerogenic drugs). Obat-obat seperti aspirin yang termasuk golongan salisilat yang menyebabkan
iritasi dan dapat menimbulkan tukak multipel yang akut. Beberapa obat lain yang juga dapat
menimbulkan hematemesis ialah golongan kortikosteroid, butazolidin, reserpin, alkohol dan lain-lain.
Pada endoskopi tampak erosi di angulus, antrum yang multipel. Sebagian di antaranya tampak
bekas perdarahan atau masih terlihat perdarahan yang aktif di tempat erosi. Di sekitar erosi umumnya
terlihat hiperemis. Di samping itu tidak terlihat varises di esofagus dan fundus lambung.

8
Sifat hematemesis tidak masif dan timbulnya setelah berulangkali minum obat-obatan tersebut
yang disertai dengan rasa nyeri, pedih di ulu hati.1
b. Stress Ulcer
Dari buku Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology dikatakan bahwa
hingga saat ini masih belum dipaham bagaimana terjadinya stress ulcer, tetapi banyak
dikaitkan dengan hipersekresi daripada asam pada bebapa pasien, mucosal ischemia, dan
ulcerasi pada mucus gastric.
c. Tukak Lambung1,8
Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan terutama yang letaknya di
angulus dan prepilorus bila dibandingkan dengan tukak duodeni. Sesaat sebelum timbul
hematemesis, rasa nyeri dan pedih dirasakan bertambah hebat. Setelah muntah darah, rasa
nyeri dan pedih dirasakan berkurang.
Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster. Penggunaan
obat ini dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses penghancuran mukosa, dan
dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang dewasa yang menggunakan NSAIDs
mempunyai GI yang kurang baik. Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak
gaster dari penggunaan NSAIDs adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi
atau kombinasi dari NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama,
penggunaan disertai antikoagulan, dan severe comorbid illness.
Sebuah studi prospektif jangka panjang didapatkan pasien dengan arthritis dengan usia
diatas 65 tahun, yang secara teratur menggunakan aspirin pada dosis rendah beresiko
menderita dyspepsia apabila berhenti menggunakan NSAIDs. Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan NSAIDs harus dikurangi.
Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan terjadinya tukak gaster, tetapi
penggunaan bersama NSAIDs mempunyai potensi untuk menimbulkan tukak gaster.

9
Gambar 3. Bagan patofisiologi NSAID yang dapat menyebabkan perdarahan

d. Karsinoma Lambung
Insidensi karsinoma lambung di negara kita tergolong sangat jarang, yang umumnya
datang berobat sudah dalam fase lanjut, dan sering mengeluh rasa pedih, nyeri di daerah ulu
hati, serta merasa lekas kenyang, badan menjadi lemah. Jarang sekali mengalami
hematemesis, tetapi sering mengeluh buang air besar hitam pekat (melena).8

2.3.3 Kelainan di Duodenum


a. Tukak Duodeni8
Tukak duodeni yang menyebabkan perdarahan secara panendoskopi terletak di bulbus.
Sebelum timbul perdarahan, akan merasa nyeri dan pedih di perut atas agak ke kanan.
Keluhan ini juga dirasakan waktu tengah malam sedang tidur pulas, sehingga terbangun.
b. Karsinoma Papila Vaterii8
Karsinoma papila vaterii merupakan penyebaran dari karsinoma di ampula,
menyebabkan penyumbatan saluran empedu dan saluran pankreas yang pada umumnya sudah
dalam fase lanjut. Gejala yang ditimbulkan selain kolestatik ekstrahepatal, juga dapat
menyebabkan timbulnya perdarahan. Perdarahan yang terjadi lebih bersifat perdarahan
tersembunyi (occult bleeding), sangat jarang timbul hematemesis.

10
2.4 Manifestasi Klinis Perdarahan Saluran Cerna Atas (PSCBA)
Ada dua gejala khas PSCBA:8
a. Hematemesis
Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna atas, yang
berwarna coklat merah atau coffee ground.
b. Melena
Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran bercampur asam
lambung; biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna bagian atas, atau perdarahan
daripada usus-usus ataupun colon bagian kanan dapat juga menjadi sumber lainnya.
c. Hematochezia

Disertai gejala anemia, yaitu: pusing, syncope, angina atau dyspnea. Studi meta-
analysis mendokumentasikan insidensi dari gejala klinis PSCMBA akut sebagai berikut:
Hematemesis - 40-50%, Melena - 70-80%, Hematochezia - 15-20%, Hematochezia disertai
melena - 90-98%, Syncope - 14.4%, Presyncope - 43.2%, Dyspepsia - 18%, Nyeri epigastric
- 41%, Heartburn - 21%, Diffuse nyeri abdominal - 10%, Dysphagia - 5%, Berat badan turun
- 12%, dan Jaundice - 5.2%.

2.5 Diagnosis Perdarahan Saluran Cerna Atas (PSCBA)


Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan pada
umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi. Tujuan
pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan
mencegah perdarahan ulang.3
Adapun langkah-langkah praktis pengelolaan PSCBA adalah sebagai berikut:3
a. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik
b. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik
c. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang diperlukan
d. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah
e. Menegakkan diagnosis pasti penyebab perdarahan
f. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan, penyebab perdarahan,
mencegah perdarahan ulang.

11
Tabel 2. Perbedaan Perdarahan SCBA dan SCBB
Perdarahan SCBA Perdarahan
SCBB
Manifestasi klinik pada Hematemesis dan atau melena Hematokezia
umumnya
Aspirasi nasogatrik Berdarah Jernih
Rasio (BUN/kreatinin) Meningkat > 35 < 35
Auskultasi Usus Hiperaktif Normal
Sumber: Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

2.5.1 Anamnesis
Anamnesis yang teliti dan akurat dapat membawa kita pada prakiraan lokasi perdarahan
dan penyebabnya. Riwayat pemakaian aspirin, NSAID, anti koagulan, riwayat tukak
sebelumnya, bahkan pemakaian obat tradisional yang bersifat penghilang nyeri, merupakan
petunjuk yang bermanfaat. Demikian pula pemeriksaan fisik (termasuk di dalamnya penilaian
colok dubur) akan adanya stigmata penyakit hati kronis, diatesis hemoragis, sangat
membantu pada arah diagnosis.1
Setiap penderita dengan PSCBA, perlu ditanyakan apakah timbulnya mendadak dan
banyak, atau sedikit tetapi terus-menerus, ataukah timbulnya perdarahan berulang kali,
sehingga lama kelamaan badan menjadi bertambah lemah. Apakah perdarahan yang dialami
ini untuk pertama kali ataukah sebelumnya sudah pernah.1
Sebelum hematemesis apakah didahului dengan rasa nyeri atau pedih di epigastrium
yang berhubungan dengan makanan untuk memikirkan tukak peptik yang mengalami
perdarahan.1
Penderita dengan hematemesis yang disebabkan pecahnya varises esofagus, tidak
pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di epigastrium. Pada umumnya sifat perdarahan
timbulnya spontan dan masif. Darah yang dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak
membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Kepada penderita, perlu
ditanyakan apakah pernah menderita hepatitis, alkoholisme atau penyakit hati kronis.1
Sebelum timbul hematemesis, apakah didahului muntah-muntah yang hebat, misalnya
pada peminum alkohol, pada wanita hamil muda. Hal ini perlu dipikirkan akan
kemungkinannya Sindroma Mallory-Weiss.1

12
2.5.2 Pemeriksaan Fisik1,2
Pemeriksaan fisik tentunya tidak dapat memastikan sumber perdarahan. Tapi
pemeriksaan tekanan darah yang sederhana dapat memperkirakan seberapa banyak darah
yang hilang. Bila pasien posisi berbaring kemudian duduk, ternyata terdapat kenaikan nadi >
20 kali per menit dan tekanan sistolik turun > 10 mmHg, berarti telah banyak kehilangan
darah.
Yang pertama-tama perlu diamati ialah: keadaan umum, tensi, nadi, apakah sudah
memperlihatkan tanda-tanda syok atau belum. Bila penderita sudah dalam keadaan syok
sebaiknya segera diberi pertolongan untuk mengatasinya. Di samping itu perlu diamati
kesadaran penderita, apakah masih kompos mentis ataukah sudah koma hepatikum (terutama
pada penderita sirosis dengan perdarahan). Bila sudah syok atau koma, maka segera atasi
syok atau komanya. Disamping itu perhatikan apakah ada tanda-tanda anemi atau belum.
Hematemesis yang diduga karena pecahnya varises esofagus, perlu diperhatikan
gangguan faal hati, yaitu: ada tidaknya foetor hepatikum, ikterus, spider nevi, eritema
palmaris, liver nail, venektasi di sekitar abdomen, asites, splenomegali, odema sakral dan
pretibial, tanda endokrin sekunder pada kaum wanita (gangguan menstruasi, atrofi payudara)
dan pada kaum pria (ginekomasti, atrofi testis).
Seorang penderita dengan kelainan di lambung sebagai penyebab perdarahan, misalnya
tukak peptik atau gastritis hemoragika, akan nyeri tekan di daerah epigastrium. Dan bila
teraba suatu massa di epigastrium yang kadang-kadang terasa nyeri tekan, kemungkinan
besar adalah karsinoma di lambung sebagai penyebab perdarahan.
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Setiap penderita dengan perdarahan apapun, pertama-tama sebaiknya dilakukan
pemeriksaan golongan darah, Hb, hematokrit, jumlah eritrosit, leukosit, trombosit, dan
morfologi darah tepi. Dan pada penderita yang diduga menderita sirosis hati dengan
pecahnya varises esofagus terutama dengen perdarahan masif, perlu sekali diperiksa apakah
ada kelainan faal hati.1
Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit dilakukan secara serial (setiap 6-8 jam)
agar dapat dilakukan antisipasi transfusi secara lebih tepat serta untuk memantau lajunya
proses perdarahan.2
b. Pemasangan Nasogastric Tube (NGT)
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan inspeksi muntahan pasien atau pemasangan selang
NGT dan deteksi darah yang jelas terlihat; cairan yang bercampur darah, atau ampas kopi.
13
Namun, aspirat perdarahan telah berhenti, intermitten, atau tidak dapat dideteksi akibat
spasme pilorik.
Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal perlu dimasukkan pipa
nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini terutama penting apabila
perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah:
i. Menentukkan tempat perdarahan.
ii. Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti.
c. Endoskopi Diagnostik
Endoskopi gastrointestinal atas merupakan modalitas diagnostik yang paling akurat
untuk mengidentifikasi sumber perdarahan dan bukan hanya untuk mengidentifikasi lesi atau
kelainan yang ada pada SCBA. Kemungkinan ditemukannya sumber perdarahan yang masih
aktif, atau tanda bekas berdarah akan dipengaruhi oleh waktu atau kapan pemeriksaan itu
dikerjakan.

Tabel 3. Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Tukak Peptik Menurut Forest.


Aktivitas perdarahan Kriteria Endoskopis
Forrest Ia perdarahan aktif Perdarahan arteri menyembur
Forrest Ib perdarahan aktif Perdarahan merembes
Forest II - perdarahan berhenti dan masih Gumpalan darah pada dasar tukak atau
terdapat sisa-sisa perdarahan terlihat pembuluh darah
Forrest III - Perdarahan berhenti tanpa Lesi tanpa tanda sisa perdarahan
sisa perdarahan
Sumber: Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

A B C

14
D E F
Gambar 4. Endoscopic stigmata of recent hemorrhage of a peptic culter. A. active bleeding
with spurting; B.Oozing bleeding; C. Visible vessel with an adjacent clot; D. Adherent clot.
E. Based pigmented spot; F. a clean-based ulcer.
Sumber: National consensus on management of NVUGIB in Indonesia

d. Angiografi
Angiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan menatalaksana perdarahan berat,
khusunya ketika penyebab perdarahan tidak dapat ditentukan menggunakan endoskopi atas
maupun bawah.
e. Convetional radiographic imaging
Biasanya tidak terlalu dibutuhkan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi
adakalanya dapat memberikan beberapa informasi penting. Misalnya CT Scan; CT scan dapat
mengidentifikasi adanya lesi massa, seperti tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada
usus yang mungkin dapat menjadi sumber perdarahan.

2.6 Diagnosis Banding Perdarahan Saluran Cerna Atas (PSCBA)

a. Gastritis Akut
b. Barret Esophagus
c. Kanker Esofagus
d. Varises Esofagus
e. Tukak Peptik
f. Stress Ulcer
g. Kanker Lambung
h. Esofagitis
i. Gastrinoma

15
2.7 Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna Atas (PSCBA)
Pengelolaan penderita dengan perdarahan SCBA, secara garis besar yaitu: setelah
memperhatikan keadaan umum penderita, jumlah perdarahan, tensi dan nadi penderita, maka
dipakai pedoman sebagai berikut:
2.7.1 Resusitasi1
a. Jumlah Perdarahan
Bila perdarahan kurang dari 500 cc, biasanya jarang disertai gejala-gejala sistemik,
kecuali pada orang tua atau mereka yang sebelumnya sudah ada anemi, dengan perdarahan
yang sedikit saja sudah dapat menimbulkan perubahan hemodinamik. Oleh karena itu perlu
mengawasi tensi, nadi, suhu dan kesadaran penderita. Di samping itu perlu diperiksa kadar
Hb dan Ht secara berkala, untuk menentukan perlu tidaknya pemberian transfusi darah,
terutama pada penderita yang masih mengalami perdarahan sedikit demi sedikit.
Pada penderita dengan perdarahan sekitar 500-1000 cc, segera dipasang infus larutan
dektose 5%, atau Ringer Laktat atau NaCl 0,9%. Penderita sirosis hati dengan asites/edema,
sebaiknya tidak memberikan carian NaCl 0,9%.
Penderita yang mengalami perdarahan masif (lebih dari 1000 cc, Hb < 8 gr%, atau Ht <
30%), atau penderita yang datang dengan tanda-tanda hipotensi/presyok, maka pemberian
infus tetesannya dipercepat, segera disediakan darah atau plasma ekspander.
b. Tekanan Darah
Bila ditemukan tekanan darah menurun di bawah 90 mmHg disertai tanda-tanda
kegagalan sirkulasi perifer, infus dipercepat; 1000 cc dalam satu jam. Bila tekanan darah
tetap kurang dari 100 mmHg, sambil menunggu darah untuk transfusi, perlu ditambah plasma
ekspander.
Sebaiknya perlu diberikan transfusi darah biasa (whole blood). Jumlah dan kecepatan
transfusi yang harus diberikan bergantung pada respon hemodinamik terhadap perdarahan.
Disamping itu diberikan O2 melalui kateter hidung dengan kecepatan 5 liter/menit.
c. Kuras Lambung
Sesudah resusitasi berhasil baik dan keadaan penderita stabil, segera pasang
nasogastric tube no. 18. Lakukan kuras lambung memakai air es (10-150C) 1500 cc setiap
2,4, atau 6 jam tergantung dari perdarahannya.
Bila hasil kuras lambung terlihat merah muda jernih (perdarahan minimal atau berhenti)
lakukan endoskopi SCBA. Selanjutnya terapi tergantung dari sumber perdarahan.
Tetapi bila hasil kuras lambung masih memperlihatkan perdarahan terus berlangsung,
lakukan evaluasi sifat/macam perdarahan sambil dicoba untuk melakukan endoskopi SCBA.
16
2.7.2 Tatalaksana Perdarahan Variseal1,2,3
a. Terapi medikamentosa
Kasus perdarahan variseal atau terduga variseal harus mendapat pengobatan
medikamentosa awal untuk mengurangi atau menghentikan perdarahan sebelum pengobatan
definitif. Serta yang terpenting adalah untuk menekan perdarahan berulang pada 4-72 jam
pertama. Antibiotik sebaiknya diberikan untuk mengurangi komplikasi dan mortalitas.
Pada masa lampau digunakan vasopressin untuk menurunkan aliran vena porta. Tapi
karena efek vasokonstriksinya sering menimbukan efek samping, obat ini ditinggalkan. Saat
ini terdapat analognya, terlipressin, dimana dapat mengontrol perdarahan tanpa efek samping
sistemik yang bermakna. Studi yang terbanyak adalah penggunaan somatostatin dan
analognya (oktreotid) yang untuk menurunkan aliran darah portal, sehingga golongan obat ini
baku dipakai pada awal pengobatan untuk menghentikan proses perdarahan (stop gap
treatment) sebelum terapi definitif dilaksanakan. Dosis pemberian somatostatin, diawali
dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai
perdarahan berhenti; oktreotid dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25 mcg/jam
selama -24 jam atau sampai perdarahan berhenti. Peran terapi medikamentosa dengan
menggunakan obat somatostatin/oktreotid menjadi sangat penting bila terjadi perdarahan,
selain dari varises, juga dari gastropati hipertensi portal.
b. Non-selektif Beta Blocker
Bila penderita menolak operasi, dapat diberikan non-selektif beta-bocker, yang harus
memperhatikan efek samping antara lain: peningkatan kadar amoniak. Dosis propanolol 20
mg sehari 2 kali selama 3 hari. Kemudian dosis dinaikkan sampai denyut jatung menurun
25% daripada sebelumnya, yaitu 40 mg sehari dua kali. Dosis ini dipertahankan. Pengobatan
ini diberikan 10-14 hari setelah perdarahan berhenti, dan dilanjutkan sambil berobat jalan.
Pemberian propanolol (non-selektif beta blocker) secara oral terus menerus akan
menyebabkan pengurangan cardiac output, sehingga aliran darah ke hati akan berkurang yang
berakibat pula penurunan tekanan vena porta yang menetap. Dengan menurunnya tekanan
vena porta yang menetap, dapat mencegahnya timbulnya perdarahan ulang sebagai akibat
pecahnya varises esofagus.
c. Terapi Endoskopis
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak dengan
pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:
1) Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe)
2) Noncontact thermal (laser
17
3) Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol, cyanoacrylate, atau
pemakain klip).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila dilakukan ahli
endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan pada
90% kasus perdarahan SCBA, sedangkan sisanya 10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena
alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi tidak
terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun
pada kasus perdarahan arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%.
Terapi endoskopi yang relatif murah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah
penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan dengan menggunakan adrenalin 1 : 10000
sebanyak 0,5-1 ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak
melebihi 1 ml. Penyuntikan bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau polidoklonal
umumnya tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak atau perforasi akibat nekrosis
jaringan dilokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan
perdarahan bisa mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan ulang
frekuensinya sekitar 15-20%.
Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena varises
esofagus.Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan varises
esofagus. Dengan ligasi varises dapat dihindari efek samping akibat pemakaian sklerosan,
lebih sedikit frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai distal
mendekati kardia bergerak spiral setiap 1-2 cm. Dilakukan pada varises yang sedang berdarah
atau bila ditemukan tanda baru mengalami perdarahan seperti bekuan yang melekat, bilur-
bilur merah, noda hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi endoskopi sebagai alternative
bila ligasi endoskopi sulit dilakukan karena perdarahan yang masif, terus berlangsung, atau
teknik tidak memungkinkan. Sklerosan yang bisa digunakan antara lain campuran sama
banyak polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum
skleroterapi dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati kardia
dilanjutkan ke proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5 cm. Pada perdarahan varises
lambung dilakukan penyuntikan cyanoacrylate, skleroterapi untuk varises lambung kurang
baik.
d. Terapi Lain
Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esofagus dimulai
sekitar tahun 1950, paling populer adalah sengstaken blakemore tube (SB-tube) yang
mempunyai 3 pipa serta 2 balon masing-masing untuk esofagus dan lambung. Komplikasi
18
pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah pneumonia aspirasi, laserasi sampai
perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube
seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang berpengalaman dan ditidaklanjuti dengan
observasi yang ketat. Terapi radiologis berupa Trasjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt
(TIPS) dan terapi surgikal, merupakan pilihan lain yang dapat dipertimbangkan secara
khusus.

2.7.3 Tatalaksana Perdarahan Non Variseal2,3,7


Prinsip terapi medikamentosa adalah menciptakan situasi pH lambung di atas 4 agar
proses koagulasi dapat tercipta optimal dan mencegah terjadinya fibrinolisis pada bekuan
darah yang sudah terjadi. Hal ini dapat tercapai dengan pemberian obat injeksi golongan
penghambat pompa proton. Contoh klasik yang direkomendasikan adalah pemberian injeksi
bolus omeprazol 80 mg dilanjutkan drip infus 8 mg per jam selama 72 jam pasca terapi
endoskopis.
Obat-obatan golongan vasoaktif, dalam hal ini somatostatin dan oktreotid, dapat
digunakan pada perdarahan non variseal walaupun obat ini lebih ditujukan pada perdarahan
variseal.
Obat-obatan golongan antisekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk mencegah
perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik ialah proton pump inhibitor (PPI) dosis tinggi,
dimana obat-obat golongan PPI mengurangi sekresi asam lambung dengan jalan menghambat
enzim H+, K+, Adenosine Triphosphatase (ATPase) (enzim ini dikenal sebagai pompa
proton) secara selektif dalam sel-sel parietal. Enzim pompa proton bekerja memecah KH+
ATP yang kemudian akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam
dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. Ikatan antara bentuk aktif obat dengan
gugus sulfhidril dari enzim ini yang menyebabkan terjadinya penghambatan terhadap kerja
enzim. Kemudian dilanjutkan dengan terhentinya produksi asam lambung.
Diawali oleh bolus omeprazole 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8
mg/KGBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok plasebo 20% sedangkan
yang diberi omeprazole hanya 4,2%. Suntikan omeprazole yang beredar di Indonesia hanya
untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus ialah persediaan esomeprazole dan
pantoprazole dengan dosis sama seperti omeprazole. Pada perdarahan SCBA ini antasida,
sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan dengan tujuan penyembuhan lesi
mukosa penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang
SCBA karena tukak peptik kurang bermanfaat.

19
Gambar 5. Penanganan Perdarahan Saluran Cerna

2.8 Komplikasi Perdarahan Saluran Cerna Atas (PSCBA)


Komplikasi PSCBA meliputi:5
a. Instabilitas hemodinamik
b. Morbiditas bedah
c. Infeksi oleh patogen-patogen yang dibawa darah dari transfusi

2.9 Prognosis Perdarahan Saluran Cerna Atas (PSCBA)


Pada kasus perdarahan saluran cerna, prognosis yang buruk dapat dijumpai pada kasus-
kasus di mana usia pasien > 60 tahun, terdapat penyakit penyerta lain, koagulopati dan
imunisupresi, presentasi dengan syok (instabilitas hemodinamik), adanya kebutuhan

20
transfusi, perdarahan yang berulang, perdarahan yang tetap terjadi walaupun pasien telah
dirawar di rumah sakit, perdarahan yang berasal dari ruptur varises, dan terbukti terdapat
perdarahan dalam waktu dekat melalui endoskopi (terlihat pembuluh darah di dasar ulkus).9,10

21
BAB 3
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Oei Ek Hong
Umur : 54
No. RM : 013812
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Budha
Tanggal MRS : 15 Desember 2016 : 17.20
Pekerjaan: : Tukang Bangunan

II. ANAMNESA
Autoanamnesa/Alloanamnesa
Keluhan Utama : Muntah darah
Telaah : Pasien laki-laki berusia 54 tahun, datang ke RS.Royal Prima dengan
keluhan muntah muntah. Muntah-muntah berwarna merah kecoklatan.
Muntah-muntah dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Muntah-muntah dialami terus menerus dengan frekuensi 7 x dengan
konsistensi air > ampas, lendir (+) dan bergumpal-gumpal. Volume
muntah sebanyak 75 cc / x muntah. Muntah yang terus menerus
membuat pasien lemas. Sebelum muntah pasien mengalami mual-mual.
Sebelum muntah-muntah pasien merasa nyeri di daerah ulu hati kearah
dada, nyeri diarasakan seperti terbakar. Nyeri timbul dengan
konsistensi nyeri yang tidak bergitu berat. Nyeri juga dirasakan bila
ditekan di daerah ulu hati. Setelah pasien muntah, pasien merasa nyeri
berkurang. Pasien mengaku malam itu terlambat makan malam dan
mengaku sudah sering mengalami hal serupa. Keluarga pasien
mengaku pasien terlihat sangat pucat. Pasien juga mengalami nyeri
kepala. Pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua kaki. Bengkak
dialami sejak 3 minggu ini. Bengkak tidak terasa sakit. Pasien juga
mengeluhkan batuk-batuk. Batuk-batk dialami sejak 1 bulan sebelum
22
masuk rumah sakit. Batuk berdahak dengan dahak berwarna kuning.
Pasien juga sering mengalami sesak. Sesak timbul sejak 1 minggu ini.
Sesak tidak berhubungan dengan cuaca dan membaik dengan istirahat.
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Chronic Kidney Disease
b. Riwayat DM Tipe 2
c. Riwayat Dispepsia
d. Riwayat Stroke

Riwayat Pemakaian Obat


a. Aminefron
b. Gliquidone
c. Amlodipin

Riwayat Penyakit Keluarga


-
Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat peminum alkohol
b. Riwayat minum-minuman kaleng
c. Riwayat sering terlambat makan
d. Riwayat perokok
e. Riwayat makan makanan manis

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis GCS : 15 (E=4, V=5, M=6)
Tekanan Darah : 167/83 mmHg RR : 24/menit
HR : 106x/menit T : 36oC
Berat Badan : 67 kg TB : 176 cm

B. Status Generalis
1. Kepala : Simetris, Normocephali, rambut hitam dan distribusi merata,
tidak terdapat jejas

23
2. Mata : Pupil : Isokor Sklera : Ikterik -/-
Konjungtiva : Anemis +/+ Refleks Cahaya : +/+
3. Telinga : Bentuk telinga simetris, tidak ada massa, tidak ada benda
asing, tidak ada sekret, pendengaran baik, tophi (-), nyeri
tekan processus mastoideus (-).
4. Hidung : Bentuk normal, tidak ada deformitas, septum nasi simetris,
discharge(-/-), mukosa lembab, pernafasan cuping hidung (-),
tidak ada massa.
5. Mulut : Mulut bersih, mukosa mulut lembab, bibir sianosis(-), luka(-),
Sariawan (-), pembesaran tonsil (-), gusi berdarah (-), lidah
pucat (-), lidah kotor (-), atrofi papil (-), stomatitis (-).
6. Leher
Inspeksi : Jejas (-), Oedem (-)
Palpasi : Deviasi trakhea (-), Nyeri tekan (-), TVJ dalam batas normal,
TVJ R-2 mH2O. Pembesaran kelenjar getah bening (-),
pembesaran kelenjar thyroid (-), kaku kuduk (-)
7. Thorax (Paru)
a. Depan
Inspeksi : Bentuk simetris, pergerakan nafas dinding dada kanan dan kiri
sama, retraksi sela iga (-) , spider nevi (-).
Palpasi : Stem fremitus normal, nyeri tekan (-)
Perkusi : Batas Paru Hati Relatif ICS V LMCD/Absolut ICS VI LMCD,
Sonor pada kedua lapangan paru.
Auskultasi : Suara nafas bronkial
Suara tambahan: ronki basah di lapang paru kanan bawah
b. Belakang
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : Suara nafas bronkial
Suara tambahan: ronki basah di lapang paru kanan bawah
8. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba, tidak kuat angkat
24
Perkusi : Batas jantung kanan: linea sternalis dextra
Batas jantung kiri: ICS 7 linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Suara jantung S1, S2 normal
9. Abdomen
a. Inspeksi
Bentuk: Simetris kiri = kanan
Gerakan Lambung/usus: Tidak terlihat
b. Auskultasi
Peristaltik usus: + meningkat (Hiperperistaltik)
c. Palpasi
Dinding abdomen : Soepel, Hepar tidak teraba, lien teraba.
Nyeri tekan (+) daerah epigastrium
HATI
Pembesaran :-
Permukaan :-
Pinggir :-
Nyeri Tekan :-
LIMFA
Pembesaran : Schuffner (-) , Haecket (-)
GINJAL
Ballotement : (-), Kiri / Kanan, lain-lain: (-)
d. Perkusi
Bunyi timpani pada bagian abdomen
10. Genitalia : Normal
11. Ekstremitas
a. Superior : Akral hangat
b. Inferior : Bengkak (+/+), akral hangat

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium
a. Darah lengkap
b. Glukosa ad random
c. Ureum dan kreatinin
d. SGOT, SGPT
25
e. Albumin
f. Elektrolit
2. Foto thorax
3. USG abdomen

V. DIAGNOSA BANDING
1. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (PSCBA) e.c Stress Ulcer
2. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (PSCBA) e.c Tukak Peptik
3. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (PSCBA) e.c

VI. DIAGNOSA KERJA : Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (PSCBA) e.c stress
ulcer + Chronic Kidney Disease + DM Tipe II + TB Paru

VII. TERAPI : IVFD Ringer Lactat 20 gtt/i makro


Asam traneksamat 500 mg injeksi/8 jam
Omeprazole 80 mg
Ondansetron 4 mg injeksi/8 jam
Furosemide 10 mg injeksi/12 jam
Amlodipin 10 mg 1 x 1
Aminefron tab 3 x 1
Camidryl Syr 3 x C1
Ceftriaxon 1gr/24 jam

VIII. RENCANA : Pemasangan Nasogastric Tube (NGT)


Cool Spoling
Endoskopi

IX. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


a) Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 15 Desember 2016

HEMATOLOGI

26
No Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Hemoglobin 8,4 mg/dl 13.5 - 15.5
2 Leukosit 14.580 /mm3 5.000 -
11.000
3 Laju Endap Darah 75 mm/jam 0 - 20 .
4 Trombosit 278.000 /mm3 150000 - -
450000
5 Hematocrit 27 % 30.5 - 45.0 -
6 Eritrosit 3,03 10^6/mm3 4.50 - 6.50 -
7 MCV 89,6 fL 75.0 - 95.0 -
8 MCH 27,7 pg 27.0 - 31.0 .
9 MCHC 31 g/dl 33.0 - 37.0 .
10 RDW 14,8 % 11.50 - .
14.50
11 PDW 49,8 fL 12.0 - 55.0 .
12 MPV 6,6 fL 6.50 - 9.50 .
13 PCT 0.18 % 0.100 - .
0.500
14 Hitung Eosinofil 3 % 1-3 .
Jenis Basofil 0.1 % 0-1 .
Lekosit Monosit 8 % 2-8 .
Neutrofil 91,5 % 50 - 70 .
Limfosit 11 % 20-40 .
LUC 1.6 % 0-4

ELEKTROLIT
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Natrium 134,5 Mmol/L 136- 145 -
2 Kalium 4,5 Mmol/L 3,5-5,1 .
3 Klorida 126,5 mEq/L 94-111

RENAL FUNCTION

27
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Ureum darah 135 mg/dl 10 - 38 -
2 Kreatinin 11,24 mg/dL 0.55 - 1.30 -

LIVER FUNCTION
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Albumin 3,2 g/dl 3,0 5,0 -

b) Pemeriksaan Foto Thoraks pada tanggal 15 Desember 2016

Foto Thoraks :
Jantung ukuran membesar
Sinus costofrenicus kanan dan kiri masih lancip.
Tampak infiltrat dan fibrosis di lapangan paru kanan dan kiri
Kesan:
TB paru aktif
Cardiomegali

28
c) Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 16 Desember 2016

LIVER FUNCTION
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 SGOT 22 U/L 0-37 -
2 SGPT 35 U/L 12-65 -

DIABETIC
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Glukosa ad random 54 mg/dl < 200 .

DIABETIC
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Glukosa ad random 66 mg/dl < 200 .

DIABETIC
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Glukosa ad random 64 mg/dl < 200 .

DIABETIC
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Glukosa ad random 34 mg/dl < 200 .

DIABETIC
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Glukosa ad random 47 mg/dl < 200 .

ELEKTROLIT
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1. Analisa Gas Darah/AGDA
pH 7.330 7.350-7.450 .
PCO2 17.8 mmHg 35-45 -
PO2 174 mmHg 83-108 -
HCO3 14 mmol/L 21-28 -
CO2 Total 10 mmol/L 24-30 -
Base Excess -14 mmol/L (-2)-3 -
O2 Saturated 100 % 95-98 -

29
d) Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 18 Desember 2016
DIABETIC
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Glukosa ad random 137 mg/dl < 200 .

Hasil Pemeriksaan USG Ginjal Buli


Dilakukan pemeriksaan dengan hasil sebagai berikut:
Ginjal Kiri : Ukuran mengecil (8,84 cm), pinggir tidak rata, batas cortex dan medulla
tidak tegas, echostone (-)
Ginjal Kanan: Ukuran mengecil (8,35 cm), pinggir tidak rata, batas cortex dan
medulla tidak tegas, echostone (-)
Kandung Kemih: Normal
Kesimpulan: Bilateral Contracted Kidney dengan Chronic Kidney Disease

e) Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 23 Desember 2016


RENAL FUNCTION
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Ureum darah 128 mg/dl 10 - 38 -
2 Kreatinin 11,37 mg/dL 0.55 - 1.30 -

f) Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 26 Desember 2016


RENAL FUNCTION
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
1 Ureum darah 151 mg/dl 10 - 38 -
2 Kreatinin 11,82 mg/dL 0.55 - 1.30 -

X. FOLLOW-UP
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning

30
15 Desember 2016 Mual, lemas, Pasien tampak Perdarahan - Cool spoling (bilas
nyeri perut, kaki lemah, NGT saluran cerna NGT dengan NaCl
)
bengkak, batuk- berwarna coklat bagian atas +
- Asam traneksamat
batuk kehitaman, ronki CKD + DM 500 mg injeksi/8
basah lapang Tipe 2 + TB jam
- Omeprazole 80 mg
paru kanan, Paru
- Ondansetron 4 mg
edema pretibial injeksi/8 jam
TD= 160/90 - Furosemide 10 mg
injeksi/12 jam
mmHg
- Amlodipin 10 mg
HR= 88x/i 1 x1
RR= 20x/i - Aminefron tab 3 x
T=36,7oC 1
- Camidryl Syr 3 x
C1
- Ceftriaxon 1gr/24
jam

Pantau NGT

16 Desember 2016 Lemas, mual Lemah, keringat Perdarahan - NGT bersih, NGT
berkurang, dingin, saluran cerna aff
- Asam traneksamat
oyong, keringat takikardi, bagian atas +
500 mg injeksi/8
dingin dan sesak palpitasi, sesak, CKD + DM jam
pucat, kesadaran Tipe 2 + TB - Omeprazole 80 mg
- Furosemide 10 mg
menurun, edema Paru +
injeksi/12 jam
pretibial, ronki Hipoglikemi - Amlodipin 10 mg
basah lapang 1 x1
- Aminefron tab 3 x
paru kanan.
1
TD= 170/100 - Camidryl Syr 3 x
mmHg C1
HR= 110 x/i - Ceftriaxon 1gr/24
jam
RR= 24x/i
T=36,8oC Terapi tambah
KGD= 54 mg/dl - Dextrose 40% 50
ml bolus

31
- Dextrose 10% 20
gtt/i
- Ranitidine 50 mg

Pantau TTV

17 Desember 2016 Lemas, mual Lemah, edema Perdarahan - Asam traneksamat


berkurang, sesak pretibial saluran cerna 500 mg injeksi/8
jam
berkurang. berkurang, ronki bagian atas +
- Omeprazole 80 mg
basah lapang CKD + DM - Furosemide 10 mg
paru kanan. Tipe 2 + TB injeksi/12 jam
- Amlodipin 10 mg
TD= 170/90 Paru
1 x1
mmHg - Aminefron tab 3 x
HR= 82x/i 1
Camidryl Syr 3 x
RR= 22x/i
C1
T=36oC - Ranitidine 50 mg
- Ceftriaxon 1gr/24
jam

18 Desember 2016 Lemas, batuk- Lemah, edema Perdarahan - Asam traneksamat


batuk, mual (-), pretibial saluran cerna 500 mg injeksi/8
jam
sesak (-), berkurang, ronki bagian atas +
- Omeprazole 80 mg
basah lapang CKD + DM - Furosemide 10 mg
paru kanan. Tipe 2 + TB injeksi/12 jam
- Amlodipin 10 mg
TD= 150/80 Paru
1 x1
mmHg - Aminefron tab 3 x
HR= 78x/i 1
Camidryl Syr 3 x
RR= 20x/i
C1
T=36,3oC - Ranitidine 50 mg
- Ceftriaxon 1gr/24
jam

19 Desember 2016 Lemas, batuk- Lemah, edema Perdarahan - Asam traneksamat


batuk dan pretibial saluran cerna 500 mg injeksi/8
jam
gelisah berkurang, bagian atas +
- Omeprazole 80 mg
- Furosemide 10 mg

32
ronki basah CKD + DM injeksi/12 jam
lapang paru Tipe 2 + TB - Amlodipin 10 mg
1 x1
kanan, Paru
- Aminefron tab 3 x
TD= 160/80 1
mmHg Camidryl Syr 3 x
C1
HR= 87x/i
- Ranitidine 50 mg
RR= 18x/i - Ceftriaxon 1gr/24
T=36,5oC jam

20 Desember 2016 Lemas, muntah- Lemah, Perdarahan - Asam traneksamat


muntah hematemesis, saluran cerna 500 mg injeksi/8
jam
berwarna coklat pucat, ronki bagian atas +
- Ondansetron 4 mg
kehitaman 1 x basah lapang CKD + DM injeksi/ 8 jam
dengan volume paru kanan. Tipe 2 + TB - Furosemide 10 mg
injeksi/12 jam
150 cc/muntah TD= 140/80 Paru
- Amlodipin 10 mg
mmHg 1 x1
HR= 80x/i - Aminefron tab 3 x
1
RR= 20x/i
Camidryl Syr 3 x
T=37oC C1
- Ceftriaxon 1gr/24
jam

21 Desember 2016 Lemas, muntah Lemah, edema Perdarahan Terapi diteruskan


(-), batuk-batuk (-),ronki basah salurancerna - Asam traneksamat
masih ada di lapang paru bagian atas + 500 mg injeksi/8
jam
kanan. CKD + DM
- Ondansetron 4 mg
TD= 140/90 Tipe 2 + TB injeksi/ 8 jam
mmHg Paru - Furosemide 10 mg
injeksi/12 jam
HR= 89x/i
- Amlodipin 10 mg
RR= 20x/i 1 x1
T=36oC - Aminefron tab 3 x
1
- Camidryl Syr 3 x
C1
- Ceftriaxon 1gr/24

33
jam
22 Desember 2016 Lemas, mual- Pasien tampak CKD + DM Terapi diteruskan
- Asam traneksamat
mual asal mau lemah, ronki Tipe 2 + TB
500 mg injeksi/8
makan dan os basah di lapang Paru jam
masih paru kanan. - Ondansetron 4 mg
mengeluhkan TD= 130/80 injeksi/ 8 jam
- Furosemide 10 mg
batuk-batuk mmHg injeksi/12 jam
HR= 80/i - Amlodipin 10 mg
RR= 21x/i 1 x1
- Aminefron tab 3 x
T=37 oC
1
- Camidryl Syr 3 x
C1
- Ceftriaxon 1gr/24
jam

23 Desember 2016 Lemas, mual Pasien tampak CKD + DM Terapi diteruskan


dan muntah, lemah, Tipe 2 + TB - Ondansetron 4 mg
muntah warna konjungtiva Paru injeksi/ 8 jam
- Amlodipin 10 mg
kekuningan 3 anemis, pucat,
1 x1
kali dengan ronki basah - Aminefron tab 3 x
konsistensi dilapang paru 1
- Ceftriaxon 1gr/24
ampas > air dan kanan.
jam
volume 100 cc/x TD= 130/80
muntah, batuk mmHg Terapi tambahan
semakin berat. HR= 82x/i - Codein 20 mg tab 3
x1
RR= 20x/i
T=36,7oC
24 Desember 2016 Lemas, oyong, Lemah dan CKD + DM Terapi diteruskan
mual dan batuk- gelisah, ronki Tipe 2 + TB - Ondansetron 4 mg
batuk basah dilapang Paru + injeksi/ 8 jam
- Amlodipin 10 mg
paru kanan. Hipertensi
1 x1
TD= 200/100 - Aminefron tab 3 x
mmHg 1
- Ceftriaxon 1gr/24
HR= 82x/i
jam
- Codein 20 mg tab 3

34
RR= 20x/i x1
T=36,8oC
Terapi Tambahan
- Candesartan 16 mg 1
x1

25 Desember 2016 Lemas, oyong, Os masih lemah CKD + DM Terapi diteruskan


batuk-batuk dan gelisah, Tipe 2 + TB - Ondansetron 4 mg
masih ada serta sesak dan Paru + injeksi/ 8 jam
- Amlodipin 10 mg
mengeluhkan ditemukan ronki Hipertensi
1 x1
sesak. basah dilapang - Aminefron tab 3 x
paru kanan, 1
- Ceftriaxon 1gr/24
TD= 180/100
jam
mmHg - Codein 20 mg tab 3
HR= 80x/i x1
- Candesartan 16 mg 1
RR= 24x/i x1
T=36,8oC
26 Desember 2016 Lemas, gelisah, Os masih lemah CKD + DM Terapi Teruskan
batuk-batuk dan gelisah dan Tipe 2 + TB - Ondansetron 4 mg
berdahak masih ditemukan ronki Paru + injeksi/ 8 jam
- Amlodipin 10 mg
ada basah dilapang Hipertensi
1 x1
paru kanan, - Aminefron tab 3 x
TD= 140/90 1
- Ceftriaxon 1gr/24
mmHg
jam
HR= 80x/i - Codein 20 mg tab 3
RR= 20x/i x1
- Candesartan 16 mg 1
T=36oC x1
27 Desember 2016 Lemas, batuk- Os masih lemah CKD + DM Terapi Teruskan
batuk berdahak dan ditemukan Tipe 2 + TB - Amlodipin 10 mg
masih ada ronki basah Paru + 1 x1
- Aminefron tab 3 x
dilapang paru Hipertensi
1
kanan, - Ceftriaxon 1gr/24
TD= 140/90 jam
- Codein 20 mg tab 3
mmHg x1
HR= 86x/i - Candesartan 16 mg 1

35
RR= 21x/i x1
T=36oC
28 Desember 2016 Lemas, batuk- Os masih lemah CKD + DM Terapi Teruskan
batuk berdahak dan ditemukan Tipe 2 + TB - Amlodipin 10 mg
masih ada ronki basah Paru + 1 x1
- Aminefron tab 3 x
dilapang paru Hipertensi
1
kanan, - Ceftriaxon 1gr/24
TD= 140/80 jam
- Codein 20 mg tab 3
mmHg x1
HR= 80x/i - Candesartan 16 mg 1
x1
RR= 20x/i
T=36oC
29 Desember 2016 Lemas, batuk- Os masih lemah CKD + DM Terapi Teruskan
batuk berdahak dan ditemukan Tipe 2 + TB - Amlodipin 10 mg
masih ada ronki basah Paru + 1 x1
- Aminefron tab 3 x
dilapang paru Hipertensi
1
kanan, - Ceftriaxon 1gr/24
TD= 130/80 jam
- Codein 20 mg tab 3
mmHg x1
HR= 78x/i - Candesartan 16 mg 1
x1
RR= 20x/i
T=37oC
30 Desember 2016 Batuk-batuk Ronki basah CKD + DM Rencana PBJ
berdahak masih dilapang paru Tipe 2 + TB - Amlodipin 10 mg
ada kanan, Paru + 1 x1
- Aminefron tab 3 x
TD= 130/80 Hipertensi
1
mmHg - Ceftriaxon 1gr/24
HR= 78x/i jam
- Codein 20 mg tab 3
RR= 20x/i x1
T=37oC Candesartan 16 mg 1 x
1

36
BAB 4
KESIMPULAN

Perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan keadaan emergensi di bidang


gastroenterologi. Penyebab perdarahan SCBA dapat digolongkan menjadi dua kelompok,
perdarahan varises dan perdarahan non-varises. Pengelolaan perdarahan saluran makanan
secara praktis meliputi: evaluasi status hemodinamik, stabilisasi hemodinamik, melanjutkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang diperlukan, memastikan perdarahan
saluran makanan bagian atas atau bawah, menegakkan diagnosis pasti penyebab perdarahan,
terapi spesifik.
Tatalaksananya harus sesuai dengan kaidah emergensi, terutama dalam hal resusitasi
terhadap gangguan hemodinamik yang terjadi. Besar peran tatalaksana awal ini terhadap
angka morbiditas dan mortalitas pasien. Prinsip tatalaksana resusitasi cairan dan
medikamentosa dapat dikerjakan pada semua lini pelayanan kesehatan. Untuk selanjutnya
dapat dikelola dengan sistem rujukan. Sarana endoskopi dan sumber daya manusia
merupakan modalitas sentral dalam proses diagnosis maupun terapi defenitif pada kasus
perdarahan SCBA.
Manfaat terapi medik tergantung macam kelainan yang menjadi penyebab perdarahan.
Somatostatin dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan SCBA, terutama pada
perdarahan varises. Pada perdarahan karena tukak peptik pemberian PPI intra vena dosis
tinggi bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang. Koordinasi multidisiplin yang baik,
terutama bila adanya komorbid, akan meningkatkan keberhasilan dalam tatalaksana
perdarahan SCBA.

37
38

Anda mungkin juga menyukai