Anda di halaman 1dari 20

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1. Definisi
Menurut Sherwood (2014), Bronkitis adalah suatu penyakit peradangan
saluran napas bawah jangka panjang, umumnya dipicu oleh pajanan berulang asap
rokok, polutan udara, atau alergen. Menurut Widagdo (2012), bronkitis ialah
inflamasi non spesifik pada bronkus umumnya (90%) disebabkan oleh virus
(adenovirus, influenza, parainfluenza, RSV, rhinovirus, dan harpes simplex virus)
dan 10% oleh bakteri, dengan batuk sebagai gejala yang paling menonjol
Bronkitis merupakan proses radang akut pada mukosa bronkus berserta cabang –
cabangnya yang disertai dengan gejala batuk dengan atau tanpa sputum yang
dapat berlangsung sampai 3 minggu. Tidak dijumpai kelainan radiologi pada
bronkitis akut. Gejala batuk pada bronkitis akut harus dipastikan tidak berasal dari
penyakit saluran pernapasan lainnya. (Gonzales R, Sande M, 2008).

Gambar 1. Bronkitis akut


(Sumber: www.usdrugstore.blogspot.com, diakses tanggal 5 desember 2018;
19.00 WIB)

11
3.2. Etiologi
Menurut Marni (2014), penyakit ini bisa disebabkan oleh virus dan
bakteri. Virus yang sering menyebabkan penyakit Respiratorik Syncytial Virus.
Penyebab lain yang sering terjadi pada bronkhitis ini adalah asap rokok, baik
perokok aktif maupun perokok pasif, atau sering menghirup udara yang
mengandung zat iritan.
Bronkitis dapat disebabkan oleh :
 Infeksi virus : influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytial
virus (RSV), adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain.
 Infeksi bakteri : Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis,
Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik
(Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumonia, Legionella)
 Jamur
 Noninfeksi : polusi udara, rokok, dan lain-lain.
Penyebab bronkitis akut yang paling sering adalah infeksi virus yakni sebanyak
90% sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar < 10% (Jonsson J, Sigurdsson J,
Kristonsson K, et al, 2008).
3.3. Klasifikasi
Menurut Arif (2008) Bronkitis terbagi menjadi 2 jenis sebagai berikut:
a. Bronkitis akut
Bronkitis yang biasanya datang dan sembuh hanya dalam waktu 2 hingga
3 minggu saja, kebanyakan penderita bronkitis akut akan sembuh total tanpa
masalah lain.
b. Bronkitis kronis
Bronkitis yang biasanya datang secara berulang-ulang dalam waktu yang
lama, terutama pada perokok, bronkitis kronis ini juga berarti menderita batuk
yang dengan disertai dahak dan diderita selama berbulan-bulan hingga tahunan.
3.4. Anatomi
Bronkitis akut terjadi pada bronkus dan cabang – cabangnya, oleh karena
itu perlu diketahui terlebih dahulu anatomi dan fisiologi dari saluran pernapasan.
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa cabang utama bronkus kanan dan kiri akan

12
bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan ini
berjalan terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai
akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung
alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm.
Bronkiolus tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos
sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini
disebut saluran penghantar udara karena fungsinya menghantarkan udara ke
tempat pertukaran gas terjadi ( Wilson LM, 2006).
Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari
paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakkus
alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki
diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan mulai dari trakea
sampai sakkus alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di
dekatnya oleh septum. Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang
memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja, namun
jika seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan akan seluas
satu lapangan tenis ( Wilson LM, 2006).

Gambar 2. Anatomi saluran napas. (Sumber : Hasan I, 2006)

13
Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh
kapiler-kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu
tegangan permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan
cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai
lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat
inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi. Pembentukan surfaktan oleh
sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh kematangan sel-sel alveolus, enzim
biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat
serta perfusi ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta
mekanisme inflamasi yang berjung pada pelepasan produk yang mempengaruhi
elastisitas paru menjadi dasar patogenesis emphysema, dan penyakit lainnya
(Wilson LM, 2006)
Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus dextra
dan bronchus sinistra:
1. Bronkus dextra
Mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih pendek dan letaknya lebih
vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini disebabkan oleh desakan dari arcus
aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga benda-benda asing
mudah masuk ke dalam bronkus dextra. Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan masuk
kedalam hilus pulmonis setinggi vertebra thoracalis VI. Vena Azygos melengkung
di sebelah cranialnya. Ateria pulmonalis pada mulanya berada di sebelah inferior,
kemudian berada di sebelah ventralnya. Membentuk tiga cabang (bronkus
sekunder), masing-masing menuju ke lobus superior, lobus medius, dan lobus
inferior. Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior letaknya di sebelah
cranial a.pulmonalis dan disebut bronkusepar ter ialis. Cabang bronkus yang
menuju ke lobus medius dan lobus inferior berada di sebelah caudal a.pulmonalis
disebut bronkushyparterialis. Selanjutnya bronkus sekunder tersebut
mempercabangkan bronkus tertier yang menuju ke segmen pulmo (Luhulima JW,
2004).

14
2. Bronkus sinistra
mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya lebih panjang
daripada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae, menyilang di
sebelah ventral oesophagus, ductus thoracicus, dan aorta thoracalis. Pada mulanya
berada di sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah dorsalnya dan
akhirnya berada di sebelah inferiornya sebelum bronkus bercabang menuju ke
lobus superior dan lobus inferior, disebut letak bronkus hyparterialis. Pada tepi
lateral batas trachea dan bronkus terdapat lymphonodus tracheobronchialis
superior dan pada bifurcatio trachea (di sebelah caudal) terdapat lymphonodus
tracheobronchialis inferior. Bronkus memperoleh vascularisasi dari a.thyroidea
inferior. Innervasinya berasal dari N.vagus, n. Recurrens, dan truncus sympathicus
(Luhulima JW, 2004).

3.5. Patofisiologi
Menurut Kowalak (2011) Bronchitis terjadi karena Respiratory Syncytial
Virus (RSV),Virus Influenza, Virus Para Influenza, Asap Rokok, Polusi Udara
yang terhirup selama masa inkubasi virus kurang lebih 5 sampai 8 hari. Unsur-
unsur iritan ini menimbulkan inflamasi pada precabangan trakeobronkial, yang
menyebabkan peningkatan produksi sekret dan penyempitan atau penyumbatan
jalan napas. Seiring berlanjutnya proses inflamasi perubahan pada sel-sel yang
membentuk dinding traktus respiratorius akan mengakibatkan resistensi jalan
napas yang kecil dan ketidak seimbangan ventilasi-perfusi yang berat sehingga
menimbulkan penurunan oksigenasi daerah arteri. Efek tambahan lainnya meliputi
inflamasi yang menyebar luas, penyempitan jalan napas dan penumpukan mucus
di dalam jalan napas. Dinding bronkus mengalami inflamasi dan penebalan akibat
edema serta penumpukan sel-sel inflamasi. Selanjutnya efek bronkospasme otot
polos akan mempersempit lumen bronkus. Pada awalnya hanya bronkus besar
yang terlibat inflamasi ini, tetapi kemudian semua saluran napas turut terkena.
Jalan napas menjadi tersumbat dan terjadi penutupan, khususnya pada saat
ekspirasi. Dengan demikian, udara napas akan terperangkap di bagian distal paru.
Pada keadaan ini akan terjadi hipoventilasi yang menyebabkan ketidakcocokan

15
dan akibatnya timpul hipoksemia. Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi sekunder
karena hipoventilasi. Resistensi vaskuler paru meningkat ketika vasokonstriksi
yang terjadi karena inflamasi dan konpensasi pada daerah-daerah yang mengalami
hipoventilasi membuat arteri pulmonalis menyempit. Inflamasi alveolus
menyebabkan sesak napas.

3.6. Patogenesis
Seperti disebutkan sebelumnya penyebab dari bronkitis akut adalah virus,
namun organisme pasti penyebab bronkitis akut sampai saat ini belum dapat
diketahui, oleh karena kultur virus dan pemeriksaan serologis jarang dilakukan.
Adapun beberapa virus yang telah diidentifikasi sebagai penyebab bronkitis akut
adalah virus – virus yang banyak terdapat di saluran pernapasan bawah yakni
influenza B, influenza A, parainfluenza dan respiratory syncytial virus (RSV).
Influenza sendiri merupakan virus yang timbul sekali dalam setahun dan
menyebar secara cepat dalam suatu populasi. Gejala yang paling sering akibat
infeksi virus influenza diantaranya adalah lemah, nyeri otot, batuk dan hidung
tersumbat. Apabila penyakit influenza sudah mengenai hampir seluruh populasi di
suatu daerah, maka gejala batuk serta demam dalam 48 jam pertama merupakan
prediktor kuat seseorang terinfeksi virus influenza. RSV biasanya menyerang
orang – orang tua yang terutama mendiami panti jompo, pada anak kecil yang
mendiami rumah yang sempit bersama keluarganya dan pada tempat penitipan
anak. Gejala batuk biasanya lebih berat pada pasien dengan bronkitis akut akibat
infeksi RSV (Zambon M, Stockton J, Clewley J, et al, 2009)
Virus yang biasanya mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas seperti
rhinovirus, adenovirus dapat juga mengakibatkan bronkitis akut. Gejala yang
dominan timbul akibat infeksi virus ini adalah hidung tersumbat, keluar sekret
encer dari telinga (rhinorrhea) dan faringitis (Gonzales R, Sande M, 2008).
Bakteri juga memerankan perannya dalam pada bronkitis akut, antara lain,
Bordatella pertusis, bordatella parapertusis, Chlamydia pneumoniae dan
Mycoplasma pneumoniae. Infeksi bakteri ini biasanya paling banyak terjadi di
lingkungan kampus dan di lingkungan militer. Namun sampai saat ini, peranan

16
infeksi bakteri dalam terjadinya bronkitis akut tanpa komplikasi masih belum
pasti, karena biasanya ditemukan pula infeksi virus atau terjadi infeksi campuran
(Sidney S. Braman, 2006).
Pada kasus eksaserbasi akut dari bronkitis kronik, terdapat bukti klinis
bahwa bakteri – bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis
dan Haemophilus influenzae mempunyai peranan dalam timbulnya gejala batuk
dan produksi sputum. Namun begitu, kasus eksaserbasi akut bronkitis kronik
merupakan suatu kasus yang berbeda dengan bronkitis akut, karena ketiga bakteri
tersebut dapat mendiami saluran pernapasan atas dan keberadaan mereka dalam
sputum dapat berupa suatu koloni bakteri dan ini bukan merupakan tanda infeksi
akut (Sidney S. Braman, 2006).
Penyebab batuk pada bronkitis akut tanpa komplikasi bisa dari berbagai
penyebab dan biasanya bermula akibat cedera pada mukosa bronkus. Pada
keadaan normal, paru-paru memiliki kemampuan yang disebut mucocilliary
defence, yaitu sistem penjagaan paru-paru yang dilakukan oleh mukus dan siliari.
Pada pasien dengan bronkhitis akut, sistem mucocilliary defence paru-paru
mengalami kerusakan sehingga lebih mudah terserang infeksi. Ketika infeksi
timbul, akan terjadi pengeluaran mediator inflamasi yang mengakibatkan kelenjar
mukus menjadi hipertropi dan hiperplasia (ukuran membesar dan jumlah
bertambah) sehingga produksi mukus akan meningkat. Infeksi juga menyebabkan
dinding bronkhial meradang, menebal (sering kali sampai dua kali ketebalan
normal), dan mengeluarkan mukus kental. Adanya mukus kental dari dinding
bronkhial dan mukus yang dihasilkan kelenjar mukus dalam jumlah banyak akan
menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar.
Mukus yang kental dan pembesaran bronkhus akan mengobstruksi jalan napas
terutama selama ekspirasi (Gambar 3) .Jalan napas selanjutnya mengalami kolaps
dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru.. Pasien mengalami
kekurangan 02, iaringan dan ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, di mana
terjadi penurunan PO2 Kerusakan ventilasi juga dapat meningkatkan nilai
PCO,sehingga pasien terlihat sianosis (Melbye H, Kongerud J, Vorland L, 2009).

17
Pada bronkitis akut akibat infeksi virus, pasien dapat mengalami reduksi
nilai volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) yang reversibel. Sedangkan
pada infeksi akibat bakteri M. pneumoniae atau C. Pneumoniae biasanya
mempunyai nilai reduksi FEV1 yang lebih rendah serta nilai reversibilitas yang
rendah pula (Melbye H, Kongerud J, Vorland L, 2009).

Gambar 3: Patogenesis Bronkitis Akut


3.7. Gejala klinis
Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung 2-
3 minggu. Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna jernih,
putih, kuning kehijauan, atau hijau. Selain batuk, bronkitis akut dapat disertai
gejala berikut ini :
 Demam,
 Sesak napas,

18
 Bunyi napas mengi atau – ngik
 Rasa tidak nyaman di dada atau nyeri dada
Bronkitis akut akibat virus biasanya mengikuti gejala – gejala infeksi
saluran respiratori seperti rhinitis dan faringitis. Batuk biasanya muncul 3 – 4 hari
setelah rhinitis. Batuk pada mulanya keras dan kering, kemudian seringkali
berkembang menjadi batuk lepas yang ringan dan produktif.
Karena bronchitis akut biasanya merupakan kondisi yang tidak berat dan
dapat membaik sendiri, maka proses patologis yang terjadi masih belum diketahui
secara jelas karena kurangnya ketersediaan jaringan untuk pemeriksaan. Yang
diketahui adalah adanya peningkatan aktivitas kelenjar mucus dan terjadinya
deskuamasi sel – sel epitel bersilia. Adanya infiltrasi leukosit PMN ke dalam
dinding serta lumen saluran respiratori menyebabkan sekresi tampak purulen.
Akan tetapi karena migrasi leukosit ini merupakan reaksi nonspesifik terhadap
kerusakan jalan napas, maka sputum yang purulen tidak harus menunjukkan
adanya superinfeksi bakteri.
Pemeriksaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal.
Seiring perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai macam
ronki, suara napas yang berat dan kasar, wheezing ataupun suara kombinasi. Hasil
pemeriksaan radiologist biasanya normal atau didapatkan corakan bronchial. Pada
umumnya gejala akan menghilang dalam 10 -14 hari. Bila tanda – tanda klinis
menetap hingga 2 – 3 minggu, perlu dicurigai adanya infeksi kronis. Selain itu
dapat pula terjadi infeksi sekunder.
Gejala bronkitis akut tidaklah spesifik dan menyerupai gejala infeksi
saluran pernafasan lainnya. Oleh karena itu sebelum memikirkan bronkitis akut,
perlu dipikirkan kemungkinan lainnya seperti pneumonia, common cold, asma
akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik dan PPOK (Sidney S. Braman, 2006).

3.8. Diagnosis
Diagnosis dari bronkitis akut dapat ditegakkan bila pada anamnesa pasien
mempunyai gejala batuk yang timbul tiba – tiba dengan atau tanpa sputum dan
tanpa adanya bukti pasien menderita pneumonia, common cold, asma akut,

19
eksaserbasi akut bronkitis kronik dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Pada pemeriksaan fisik pada stadium awal biasanya tidak khas. Dapat ditemukan
adanya demam, gejala rinitis sebagai manifestasi pengiring, atau faring hiperemis.
Sejalan dengan perkembangan serta progresivitas batuk, pada auskultasi dada
dapat terdengar ronki, wheezing, ekspirium diperpanjang atau tanda obstruksi
lainnya. Bila lendir banyak dan tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah.
(Sidney S. Braman, 2006).
Dalam suatu penelitian terdapat metode untuk menyingkirkan
kemungkinan pneumonia pada pasien dengan batuk disertai dengan produksi
sputum yang dicurigai menderita bronkitis akut, yang antara lain bila tidak
ditemukan keadaan sebagai berikut:
 Denyut jantung > 100 kali per menit
 Frekuensi napas > 24 kali per menit
 Suhu > 38°C
 Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal konsolidasi dan
peningkatan suara napas.
Bila keadaan tersebut tidak ditemukan, kemungkinan pneumonia dapat
disingkirkan dan dapat mengurangi kebutuhan untuk foto thorax (Sidney S.
Braman, 2006).
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang memberikan hasil definitif untuk
diagnosis bronkitis. Pemeriksaan kultur dahak diperlukan bila etiologi bronkitis
harus ditemukan untuk kepentingan terapi. Hal ini biasanya diperlukan pada
bronkitis kronis. Pada bronkitis akut pemeriksaan ini tidak berarti banyak karena
sebagian besar penyebabnya adalah virus.Pemeriksaan radiologis biasanya normal
atau tampak corakan bronkial meningkat. Pada beberapa penderita menunjukkan
adanya penurunan ringan uji fungsi paru. Akan tetapi uji ini tidak perlu dilakukan
pada penderita yang sebelumnya sehat. (Sidney S. Braman, 2006).

3.9. Differensial Diagnosis


Batuk dengan atau tanpa produksi sputum dapat dijumpai pada common
cold. Common cold sendiri merupakan istilah konvensional dari infeksi saluran

20
pernapasan atas yang ringan, gejalanya terdiri dari adanya sekret dari hidung,
bersin, sakit tenggorok dan batuk serta bias juga dijumpai demam, nyeri otot dan
lemas. Seringkali common cold dan bronkitis akut memiliki gejala yang sama dan
sulit dibedakan. Batuk pada common cold merupakan akibat dari infeksi saluran
pernapasan atas yang disertai postnasal drip dan pasien biasanya sering berdeham.
Batuk pada bronkitis akut disebabkan infeksi pada saluran pernapasan bawah
yang dapat didahului oleh infeksi pada saluran pernapasan atas dan oleh sebab itu
mempersulit penegakkan diagnosis penyakit ini. (Sidney S. Braman, 2006).
Bronkitis akut juga sulit dibedakan dengan eksaserbasi akut bronkitis
kronik dan asma akut dengan gejala batuk. Dalam suatu penelitian mengenai
bronkitis akut, asma akut seringkali didiagnosa sebagai suatu bronkitis akut pada
1/3 pasien yang datang dengan gejala batuk. Oleh karena kedua penyakit ini
memiliki gejala yang serupa, maka satu – satunya alat diagnostik adalah dengan
mengevaluasi bronkitis akut tersebut, apakah merupakan suatu penyakit tersendiri
atau merupakan awal dari penyakit kronik seperti asma. (Sidney S. Braman,
2006).
Bronkitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang dapat sembuh
sendiri dan bila batuk lebih dari 3 minggu maka diagnosis diferensial lainnya
harus dipikirkan. Pasien dengan riwayat penyakit paru kronik sebelumnya seperti
bronkitis kronik, PPOK dan bronkiektasis, pasien dengan gagal jantung dan
dengan gangguan sistem imun seperti AIDS atau sedang dalam kemoterapi,
merupakan kelompok yang beresiko tinggi terkena bronkitis akut dan dalam hal
ini kelompok tersebut merupakan pengecualian. (Sidney S. Braman, 2006).

3.10. Tatalaksana
Suatu studi penelitian menyebutkan bahwa beberapa pasien dengan
bronkitis akut sering mendapatkan terapi yang tidak tepat dan gejala batuk yang
mereka derita seringkali berasal dari asma akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik
atau common cold. Beberapa penelitian menyebutkan terapi untuk bronkitis akut
hanya untuk meringankan gejala klinis saja dan tidak perlu pemberian antibiotik
dikarenakan penyakit ini disebabkan oleh virus (Sidney S. Braman, 2006).

21
3.10.1. Pemberian antibiotik
Beberapa studi menyebutkan, bahwa sekitar 65 – 80 % pasien dengan
bronkitis akut menerima terapi antibiotik meskipun seperti telah diketahui bahwa
pemberian antibiotik sendiri tidak efektif (Linder J, Sim I, 2007). Pasien dengan
usia tua paling sering menerima antibiotik dan sekitar sebagian dari mereka
menerima terapi antibiotik dengan spektrum luas (Steinman M, Sauaia A, Masseli
J, et al. 2006).Tren pemberian antibiotik spektrum luas juga dapat dijumpai di
praktek dokter – dokter pada umumnya (Steinman M, Landefeld C, Gonzales R,
2008).
Pada pasien bronkitis akut yang mempunyai kebiasaan merokok, sekitar
90% menerima antibiotik, dimana sampai saat ini belum ada bukti klinis yang
menunjukkan bahwa pasien bronkitis akut yang merokok dan tidak mempunyai
riwayat PPOK lebih perlu diberikan antibiotik dibandingkan dengan pasien
dengan bronkitis akut yang tidak merokok. Terdapat beberapa penelitian
mengenai kegunaan antibiotik terhadap pengurangan lama batuk dan tingkat
keparahan batuk pada bronkitis akut. Rangkuman penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1 (Sidney S. Braman, 2006).
Kesimpulan dari beberapa penelitian itu adalah pemberian antibiotik
sebenarnya tidak bermanfaat pada bronkitis akut karena penyakit ini disebabkan
oleh virus (GonzalesR, Brrtlett J, Besser R,et al, 2009). Dalam praktek dokter di
klinik, banyak pasien dengan bronkitis akut yang minta diberikan antibiotik dan
sebaiknya hal ini ditangani dengan memberikan penjelasan mengenai tidak
perlunya penggunaan obat tersebut dan justru pemberian antibiotik yang
berlebihan dapat meningkatkan kekebalan kuman (resistensi) terhadap antibiotik
(Snow V, Mottur-Pilson C, Gonzales R, 2009).
Namun begitu, penggunaan antibiotik diperlukan pada pasien bronkitis
akut yang dicurigai atau telah dipastikan diakibatkan oleh infeksi bakteri pertusis
atau seiring masa perjalanan penyakit terdapat perubahan warna sputum.
Pengobatan dengan eritromisin (atau dengan trimetroprim/sulfametoksazol bila
makrolid tidak dapat diberikan) dalam hal ini diperbolehkan. Pasien juga

22
dianjurkan untuk dirawat dalam ruang isolasi selama 5 hari (Sidney S. Braman,
2006).
3.10.2. Bronkodilator
Dalam suatu studi penelitian dari Cochrane, penggunaan bronkodilator
tidak direkomendasikan sebagai terapi untuk bronkitis akut tanpa komplikasi.
Ringkasan statistik dari penelitian Cochrane tidak menegaskan adanya
keuntungan dari penggunaan β-agonists oral maupun dalam mengurangi gejala
batuk pada pasien dengan bronkhitis akut (Hueston WJ, 2008).
Namun, pada kelompok subgrup dari penelitian ini yakni pasien bronkhitis akut
dengan gejala obstruksi saluran napas dan terdapat wheezing, penggunaan
bronkodilator justru mempunyai nilai kegunaan.Efek samping dari penggunaan β-
agonists antara lain, tremor, gelisah dan tangan gemetar (Smucny J, Flynn C,
Becker L, et al, 2007). Penggunaan antikolinergik oral untuk meringankan gejala
batuk pada bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti dan oleh karena itu tidak
dianjurkan (Sidney S. Braman, 2006).

3.10.3. Antitusif
Penggunaan codein atau dekstrometorphan untuk mengurangi frekuensi
batuk dan perburukannya pada pasien bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti
secara sistematis. Dikarenakan pada penelitian sebelumnya, penggunaan kedua
obat tersebut terbukti efektif untuk mengurangi gejala batuk untuk pasien dengan
bronkitis kronik, maka penggunaan pada bronkitis akut diperkirakan memiliki
nilai kegunaan. Suatu penelitian mengenai penggunaan kedua obat tersebut untuk
mengurangi gejala batuk pada common cold dan penyakit saluran napas akibat
virus, menunjukkan hasil yang beragam dan tidak direkomendasikan untuk sering
digunakan dalam praktek keseharian (Lee P, Jawad M, Eccles R, 2008)
Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efektif
dalam menurunkan frekuensi batuk per harinya. Dalam suatu penelitian, sebanyak
710 orang dewasa dengan infeksi saluran pernapasan atas dan gejala batuk, secara
acak diberikan dosis tunggal 30 mg Dekstromethorpan hydrobromide atau
placebo dan gejala batuk kemudian di analisa secara objektif menggunakan

23
rekaman batuk secara berkelanjutan. Hasilnya menunjukkan bahwa batuk
berkurang dalam periode 4 jam pengamatan (Pavesi L, Subburaj S, Porter – Shaw
K, 2009).
Dikarenakan pada penelitian ini disebutkan bahwa gejala batuk lebih
banyak berasal dari bronkitis akut, maka penggunaan antitusif sebagai terapi
empiris untuk batuk pada bronkitis akut dapat digunakan (Sidney S. Braman,
2006).

24
Tabel 1. Ringkasan penelitian mengenai efek penggunaan antibiotik untuk gejala
batuk pada pasien dengan bronkitis akut.

25
.3.10.4. Agen Mukokinetik
Penggunaan ekspektoran dan mukolitik belum memilki bukti klinis yang
menguntungkan dalam pengobatan batuk pada bronkitis akut di beberapa
penelitian, meskipun terbukti bahwa efek samping obat minimal (Sidney S.
Braman, 2006).

3.10.5. Lain – lain


Analgesik & antipiretik bila diperlukan dapat diberikan. Pada penderita,
diperlukan istirahat dan asupan makanan yang cukup, kelembaban udara yang
cukup serta masukan cairan ditingkatkan.

3.11. Perjalanan dan Prognosis


Perjalanan dan prognosis penyakit ini bergantung pada tatalaksana yang
tepat atau mengatasi setiap penyakit yang mendasari. Komplikasi yang terjadi
berasal dari penyakit yang mendasari. Menurut Marni (2014) komplikasi
bronchitis dengan kondisi kesehatan yang jelek, antara lain :
a. Sinusitis
b. Otitis media
c. Bronkkiektasis
d. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)
e. Gagal napas

26
BAB 4
KESIMPULAN

Bronkitis adalah peradangan akut pada bronkus dan cabang-cabangnya,


yang disebabkan sebagian besar oleh virus dan mengakibatkan terjadinya edema
dan pembentukan mukus. Gejala yang paling menonjol adalah batuk dengan atau
tanpa sputum, berlangsung tidak lebih dari 2 minggu. Untuk menegakkan
diagnosis dari penyakit ini harus disingkirkan kemungkinan adanya penyakit
pernapasan lainnya seperti pneumonia, common cold, asma akut, eksaserbasi akut
bronkitis kronik dan PPOK.
Pada penatalaksanaan bronkitis, antibiotik diperbolehkan bila dicurigai
penyebabnya adalah bakteri. Pemberian bronkodilator diperbolehkan bila gejala
batuk berbarengan dengan asma. Pemberian agen mukolitik tidak
direkomendasikan dan pemberian antitusif dengan Dekstrometorphan Hbr terbukti
dapat menekan gejala batuk.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Arif, M. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi III. Jakarta:


Penerbitan Media Aesculapius FKUI.
2. Boldy D, Skidmore S, Ayeres J. Acute bronchitis in the community: clinical
features, infective factors, changes in pulmonary function and bronchial
reactivity to histamine. Respir Med 1990; 84:377–385.
3. Fahy JV,Dickey BF. Review Artikel Airway Mucus Function and Dysfunction.
New England of Jurnal Medicine. Vol 363. No.23. Dec 2, 2010. Diunduh dari
www.nejm.org pada tanggal 6 mei 2011.
4. Gonzales R, Sande M. Uncomplicated acute bronchitis. Ann Intern Med 2008;
133: 981–991
5. GonzalesR, Brrtlett J, Besser R,et al. Principles of appropriate antibiotic use
for treatment of uncomplicated acute bronchitis: background. Ann Intern Med
2009; 134:521–529
6. Gonzales R, Wilson A, Crane L, et al. What’s in a name? Public knowledge,
attitude and experiences with antibiotic use for acute bronchitis. Am J Med
2009; 108:83–85
7. Hassan I. Bronchitis. Last update December,8 2006. Diunduh dari
www.emedicine.com pada tanggal 6 mei 2011.
8. Hueston WJ.Albuterol delivered by metered-dose inhaler to treat acute
bronchitis. J Fam Pract. 2008; 39:437–440.
9. Jonsson J, Sigurdsson J, Kristonsson K, et al. Acute bronchitis in adults.How
close do we come to its aetiology in generalpractice? Scand J Prim Health
Care. 2008; 15:156–160
10. Kowalak, Jenifer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
11. Luhulima JW. Trachea dan Bronchus. Diktat Anatomi Systema Respiratorius.
Bagian Anatomi FKUH. Makassar. 2004. hal 13-14.

28
12. Lee P, Jawad M, Eccles R. Antitussive efficacy of dextromethorphan in cough
associated with acute upper respiratory infection. J Pharm Pharmacol 2008;
52:1139–1142.
13. Linder J, Sim I. Antibiotic treatment of acute bronchitis in smokers. J Gen
Intern Med 2007; 17:230–234.
14. Melbye H, Kongerud J, Vorland L. Reversible airflow limitation in adults with
respiratory infection. Eur Respir J 2009 7:1239–1245
15. Marni. 2014. Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit. Yogyakarta: Goysen
Publishing.
16. Pavesi L, Subburaj S, Porter – Shaw K. Application and validation of a
computerized cough acquisition system for objective monitoring of acute
cough. Chest 2009; 120: 1121–1128.
17. Schappert S. Ambulatory care visits to physicians offices, Hospital out patient
departments and emergency departments, United States, 2008.
Hyattsville,MD: National Center for Health Statistics, 2008.
18. Sidney S. Braman. Chronic Cough Due to Acute Bronchitis :ACCP Evidence-
Based Clinical Practice Guidelines. Chest Journal. 2006;129;95S-103S.
19. Smucny J, Flynn C, Becker L, et al. Beta 2- agonists for acute bronchitis.
Cochrane Database Syst Rev (databaseonline). Issue 1, 2007.
20. Snow V, Mottur-Pilson C, Gonzales R. Principles of appropriate antibiotic use
for treatment of acute bronchitis in adults. Ann Intern Med 2009; 134:518–
520.
21. Steinman M, Landefeld C, Gonzales R. Predictors of broad spectrum
antibiotic prescribing for acute respiratory tract infections in adult primary
care. JAMA 2008; 289:719–725.
22. Steinman M, Sauaia A, Masseli J, et al.Office evaluation and treatment of
elderly patients with acute bronchitis. J Am Geriatr Soc 2006; 52: 875–879.
23. Shewrwood, Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Jakarta:
EGC
24. Widagdo. 2012. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Anak. Jakarta : Erlangga.

29
25. Wilson LM. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Editor
Hartanto Huriawati, dkk. EGC. Jakarta 2006. hal 737-740.
26. Armstrong G, Pinner R. Outpatient visits for infectious diseases in the United
States:.ArchIntern Med 2009; 159: 2531–2536
27. Zambon M, Stockton J, Clewley J, et al. Contribution of influenza and
respiratory syncytial virus to community cases of influenza like illness: an
observational study. Lancet 2009; 358:1410–1416.

30

Anda mungkin juga menyukai