Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

Seorang penderita bernama Ny. NF berusia 44 tahun masuk ke RSUD


Raden Mattaher Jambi dengan keluhan utama sesak nafas sejak ± 3 hari SMRS.
Pasien datang ke RSUD Raden Mattaher dengan keluhan sesak nafas sejak ± 1
bulan SMRS. Sesak dirasakan pasien bertambah apabila pasien beraktivitas, sesak
juga disertai dengan adanya jantung berdebar-debar. Pasien sedang hamil dengan
usia kehamilan 30-31 minggu. Kedua kaki bengkak (+) 4 hari yang lalu, batuk (+)
4 hari yang lalu, demam (+). Riwayat penyakit hipertiroid (+). Sebelumnya pasien
berobat ke bidan dan bidan menyarankan pasien untuk ke Rumah Sakit. Os
rujukan dari rumah sakit MMC.
Pada saat pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pada saat pra
anastesi didapatkan pasien termasuk ASA III. Setelah pemeriksaan, direncanakan
akan dilakukan anastesi spinal. Operasi direncanakan pada tanggal 17 April 2017
dan akan dilakukan oleh ahli kandungan dr. Zul, Sp.OG. dan ahli anastesi dr. Ade
susanti, SpAn.

1
BAB II
KUNJUNGAN PRA ANESTESI

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. NF
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
No. RM : 855433
Berat : 70 kg
Gol. Darah :B
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
MRS : 17 April 2017
Alamat : RT.005 Kab. Sarolangun
Diagnosis : G7P6A1 gravida 30-31 minggu + IUFD+ Krisis tiroid +
Atrial fibrilasi
Tindakan : Sectio Caesarea

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak nafas sejak ± 3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke RSUD Raden Mattaher dengan keluhan sesak
nafas sejak ± 1 bulan dan memberat 3 hari SMRS. Sesak dirasakan pasien
bertambah apabila pasien beraktivitas seperti ke kamar mandi atau berjalan
dan menyapu dan membersihkan rumah, namun keluhan sedikit berkurang
apabila pasien beristirahat, pasien juga mengelukan sesak disertai dengan
adanya keluhan jantung berdebar-debar dan pasien merasa mudah sekali
lelah. Pasien sedang hamil dengan usia kehamilan 30-31 minggu. Riwayat
kehamilan ke 7, dengan kehamilan ke 6 keguguran saat usia kandungan 6

2
bulan. Tujuh bulan setelah keguguran pasien hamil lagi yang ketujuh
kalinya. Selama trimester pertama dan trimester kedua pasien tidak pernah
merasakan sesak nafas. Pasien sering memeriksakan kandungannya ke
bidan desa setempat. Pasien mengaku tidak mengeluarkan darah atau
lendir. Pasien menyangkal pernah merasakan sakit seperti ini pada
kehamilan sebelumnya. Pasien juga mengaku pada kehamilan sebelumnya
tidak ada keluhan seperti ini dan tidak pernah mengeluh cepat lelah pada
aktivitas maupun sesak nafas. Pasien juga mengeluhkan tidak selera
makan dan bila makan akan terasa mual dan terasa ingin muntah. Kedua
kaki bengkak (+) 4 hari yang lalu, batuk (+) 4 hari yang lalu, demam (+).
Sebelumnya pasien berobat ke bidan dan bidan menyarankan agar pasien
dibawa ke RS. Sarolangun, lalu pasien langsung di rujuk ke RS. MMC dan
pasien diberi tahu bahwa janin yang di kandung oleh pasien sudah
meninggal dan pasien kemudian di Rujuk ke RSUD Raden mattaher
Jambi.

Riwayat penyakit dahulu:


 Riwayat penyakit darah tinggi (+) sejak ± 7 tahun yang lalu, os tidak
mengkonsumsi obat hipertensi.
 Riwayat penyakit hipertitoid (+) sejak ± 1 tahun yang lalu, konsumsi
obat PTU tidak rutin (+)
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit DM disangkal
 Riwayat penyakit alergi disangkal
 Riwayat penyakit asma disangkal
 Riwayat operasi sebelumnya disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


Tidak terdapat riwayat dengan penyakit yang sama dikeluarga

3
Riwayat Menstruasi:
Menarche: 15 tahun
HPHT: -

Riwayat persalinan:
- ♀, tahun 1993, BB 3000 gr, normal, ditolong bidan, aterm
- ♂, tahun 1996, BB 2800 gr, normal, ditolong bidan, aterm
- ♀, tahun 2001, BB 3500 gr, normal, ditolong bidan, aterm
- ♀, tahun 2003, BB 3000 gr, normal, ditolong bidan, aterm
- ♀, tahun 2006, BB 3100 gr, normal, ditolong bidan, aterm
- ♂, tahun 2016 Janin tunggal mati, normal, ditolong bidan

Riwayat KB:
Menggunakan KB suntik

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)
Tanda Vital
TD : 180/100
Respirasi : 27 x/ menit
Nadi : 110 x/ menit
Suhu : 36,7° C
Kepala
Mata : Pupil isokor kanan dan kiri, refleks cahaya (+/+),
konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-),
exoftalmus (+)
THT : discharge (-), DBN, T1-T1, Uvula ditengah, faring
hiperemis (-), Mallapati 1
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-), JVP
5+2 cmH2O.

4
Thorax:
Paru
Inspeksi : Pergerakan simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
Palpasi : Vocal Fremitus sama kanan dan kiri, nyeri tekan (-
)
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (+/+), Wheezing (-
/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI, kuat angkat
Perkusi : Batas jantung atas ICS II parasternal kiri, batas
kanan bawah: ICS V linea sternalis kanan. Batas
kiri bawah: SIC VI linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi : BJ I/II regular, gallop (+), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : BU (+) Normal
Palpasi : Supel, Nyeri Tekan (+), nyeri lepas (-), massa (-),
bekas operasi (-)
Pekusi : Timpani, asites (-)
Genitalia: Tidak ada kelainan
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-)
Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (+)

Pemeriksaan Penunjang
EKG : Atrial fibrilasi
Foto Thorak : Foto thoraks AP kesan:
cor: cardiomegali, pulmo: Bronkopneumonia

5
Laboratorium
 DARAH RUTIN
WBC : 15,5 103/mm3
RBC : 5,06 106/mm3
HGB : 9,0 g/dl
HCT : 29,6 %
PLT : 388 103/mm3
Clotting Time : 4,5 menit
Bleeding Time : 3 menit
GDS : 116 mg/dl

 KIMIA DARAH
Faal Hati
Protein Total : 7,1 g/dl
Albumin : 3,7 g/dl
Globulin : 3,4 g/dl
SGOT : 62 U/L
SGPT : 14 U/L
Faal Ginjal
Ureum : 12 mg/dl
Kreatinin : 0,5 mg/dl
Asam Urat : 8,4 mg/dl

RENCANA TINDAKAN ANESTESI


Diagnosis Pra Bedah : G7P6A1 gravida 30-31 minggu + IUFD+ Krisis
tiroid + Atrial fibrilasi.
Tindakan Bedah :
Status ASA : ASA III

6
Jenis/tind. anestesi : Regional Anestesi (spinal)
Premedikasi : Ranitidin 50 mg
Ondancetron 4 mg
Induksi : Bupivacain 0,5 % 20 mg
Adjuvant : Fentanyl 25 mcg

7
BAB III
ANASTESI

Tanggal : 18 April 2017


Nama : Ny. NF
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 44 tahun
BB : 70 kg
No. MR : 855433
Diagnosis : G7P6A1 gravida 30-31 minggu + IUFD+ Krisis tiroid +
Atrial fibrilasi
Tindakan : Sectio caesarea
Operator : dr. Zul, Sp.OG
Ahli Anastesi : dr. Ade Susanti, Sp.An

I. KETERANGAN PRA BEDAH


1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 180/90 mmHg
Pernafasan : 17 x/ menit
Nadi : 80 X/ menit
Suhu : 36°C
2. Pemeriksaan Penunjang
EKG : Atrial Fibrilasi
Foto Thorax : kardiomegali dengan CTR > 50%
Laboratorium
 DARAH RUTIN
WBC : 15,5 103/mm3
RBC : 5,06 106/mm3
HGB : 9,0 g/dl
HCT : 29,6 %

8
PLT : 388 103/mm3
PCT : ,177 103/mm3
Clotting Time : 4,5 menit
Bleeding Time : 3 menit
GDS : 136

 KIMIA DARAH
Faal Hati
SGOT : 62 U/L
SGPT : 14 U/L
Faal Ginjal
Ureum : 12 mg/dl
Kreatinin : 0,5 mg/dl
Faal Lemak
Cholesterol : 64 mg/dl
Trigliserida : 110 mg/dl
HDL : 20 mg/dl
LDL : 22 mg/dl
Imunologi
T3 : 5,22 (0,95-2,5)
T4 : > 320.00 (60-120)
TSH : < 0,05 (euthyroid 0,25-5, hipertiroid <
0,15, hipotiroid > 7)

3. Penyakit penyerta : Hipertensi (+), Jantung (+)

4. Status Fisik : ASA III

II. PRA ANESTESI


a. Pasien telah diberikan inform consent
b. Pasien puasa selama ± 6 jam sebelum dimulai operasi

9
III. TINDAKAN ANASTESI
Jenis/tindakan anestesi : Spinal anestesi
Lokasi penusukan : L3-L4
Analgesia setinggi : Segmen (dermatom) T4-T5
Premedikasi : Ranitidin 50 mg, Ondansetron 4 mg
Medikasi : Bupivacaine HCL 0,5 % spuit 4 cc,
klonidin 45 mg, Morfin 0,1 mg dan efedrin 1cc
Adjuvant : Fentanyl 25 mcg
Medikasi : intra operasi  Oksigen Nasokanul
2 liter/menit
Analgetik : Tramadol 100 mg + Ketorolac 30
mg  Drip dalam RL 500 ml

Jumlah cairan
Input (Kristaloid) : 2 kolf (1000 ml)
(koloid) :-
Output : ± 500 ml
Perdarahan : ± 200 ml

Kebutuhan cairan pada pasien ini:


BB = 70 kg
a) Maintenance (M)
4ml/ kgBB, 10 kg jam pertama  4x10 = 40 ml
2ml/kg BB, 10 kg jam kedua  2x10 = 20 ml
1ml/kg BB, sisa berat badan  1x50 = 50 ml +
M = 110 ml
b) Defisit cairan karena puasa (P)
P : Lama puasa x M
P:6xM 6 x 110 cc = 660 cc
Terapi cairan selama operasi:

10
Operasi sedang : 6cc/kgBB/jam  6 x 70 = 420 cc/jam
2 jam = 2 x 420cc = 840 cc
Kebuthan cairan:
Jam I : (½ P) + M + O = (½.660) + 110 + 420 = 860 cc
Jam II: (¼ P) + M + O = (¼.660) + 110 + 420 = 695 cc

Terapi cairan pasca bedah:


Cairan maintanance untuk pasien ini yaitu:
2cc/kgBB = 2x 70 = 140 cc/jam  46 tetes/menit
24 jam = 140 x 24 = 3360 cc  6-7 Kolf RL

IV. KEADAAN SELAMA OPERASI


1. Letak penderita : Terlentang
2. Intubasi : Tidk dilakukan
3. Penyulit Intubasi : Tidak ada
4. Penyulit Waktu Anastesi : Tidak ada

Monitoring Anestesi
a. 11.00 wib : TD = 180/80 mmHg N= 100x/menit
b. 11.15 wib : TD= 180/80 mmHg N= 110x/menit
c. 11.30 wib : TD= 180/110 mmHg N= 100x/menit
d. 11.45 wib : TD= 180/110mmHg N= 110x/menit
e. 12.00 wib : TD=140/70 mmHg N= 100x/menit
f. 12.15 wib : TD= 140/90 mmHg N= 100x/menit
g. 12.30 wib : TD= 140/90 mmHg N=100x/menit

V. RUANG PEMULIHAN
1. Masuk Jam : 13.00 WIB
2. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15
TD : 140/80 mmHg

11
Nadi : 98 x/ menit
Pernafasan : 19x/menit
Suhu : 36°C
3. Pernafasan : Baik

Skor aldrette
1. Aktifitas :1
2. Pernapasan :2
3. Warna kulit :2
4. Sirkulasi :2
5. Kesadaran :2
Jumlah :9

Pindah Ruangan : 13.30 WIB

INSTRUKSI ANASTESI
 Pasien di rawat di ICCU
 Observasi tanda-tanda vital, keadaan umum dan perdarahan
 Tirah baring dengan bantal selama 1x24 jam post operasi
 Makan dan minum bertahap ½ - 1 per jam
 Terapi selanjutnya sesuai instruksi dr. Zulheir Sp.OG

12
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Krisis Tiroid


4.1.1 Definisi
Krisis tiroid adalah suatu keadaan dimana gejala-gejala dari tirotoksikosis
dengan cepat menjadi hebat dan disertai oleh hiperpireksia, takikardia dan
kadang-kadang vomitus yang terus menerus. Krisis tiroid adalah kondisi
hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam tinggi dan
disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Awalnya,
timbul hipertiroidisme yang merupakan kumpulan gejala akibat peningkatan kadar
hormon tiroid yang beredar dengan atau tanpa kelainan fungsi kelenjar tiroid.
Ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan gejala yang lebih
berat, yaitu tirotoksikosis. Krisis tiroid merupakan keadaan dimana terjadi
dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis tersebut. Tipikalnya terjadi pada
pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak tuntas terobati yang
dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma.1

4.1.2 Etiologi
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular
toksik, nodul toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain, karsinoma tiroid
folikular metastatik, dan tumor penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak
menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Meskipun
tidak biasa terjadi, krisis tiroid juga dapat merupakan komplikasi dari operasi
tiroid. Kondisi ini diakibatkan oleh manipulasi kelenjar tiroid selama operasi pada
pasien hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah
operasi. Operasi umumnya hanya direkomendasikan ketika pasien mengalami
penyakit Graves dan strategi terapi lain telah gagal atau ketika dicurigai adanya
kanker tiroid. Krisis tiroid berpotensi pada kasus-kasus seperti ini dapat
menyebabkan kematian.1,2

13
4.1.3 Patogenesis
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing
hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan
thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar
tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan
prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan
ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat
dalam 2 bentuk yaitu bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik dan
bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang
bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk
bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah
yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.1,2
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis
ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen
dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan
reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada
patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh
autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena
peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak
ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan
pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,’5′-cyclic adenosine
monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang uptake
iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.1,2
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam
merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang
melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari
tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang
semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan atau
tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-
sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu
tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga

14
bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic
adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma
dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien
tirotoksikosis.1,2
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori
berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid
dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan
tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak
meningkat. Pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul.
Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis
hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan
reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis
krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan
obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga
menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin
katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal
menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.1,2
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat
patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat
terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar
hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat
ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan atau
mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang
pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid,
adanya zat mirip katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek
simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan
katekolamin.2

4.1.4 Manifestasi Klinis


Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau gejala-gejala
seperti iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan kurang dengan berat badan

15
sangat turun, keringat berlebih dan intoleransi suhu, serta prestasi sekolah yang
menurun akibat penurunan rentang perhatian. Riwayat penyakit sekarang yang
umum dikeluhkan oleh pasien adalah demam, berkeringat banyak, penurunan
nafsu makan dan kehilangan berat badan. Keluhan saluran cerna yang sering
diutarakan oleh pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, dan jaundice.
Sedangkan keluhan neurologik mencakup gejala-gejala ansietas (paling banyak
pada remaja tua), perubahan perilaku, kejang dan koma.1,2
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten
melebihi 38,5oC. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi
41oC dan keringat berlebih. Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan antara
lain hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau hipotensi pada fase
berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak bersesuaian dengan demam.
Tanda-tanda gagal jantung antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular,
seperti fibrilasi atrium, tetapi takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan
tanda-tanda neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan
tanda piramidal transien, tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis
mencakup tanda orbital dan goiter.1,2

4.1.5 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada
gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi
tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium
atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya akan ditemukan
konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya jika pasien
belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan didapat
dengan cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera. Temuan
biasanya mencakup peningkatan kadar T3, T4 dan bentuk bebasnya, peningkatan
uptake resin T3, penurunan kadar TSH, dan peningkatan uptake iodium 24 jam.1
Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan tetapi hal
ini jarang terjadi. Tes fungsi hati umumnya menunjukkan kelainan yang tidak
spesifik, seperti peningkatan kadar serum untuk SGOT, SGPT, LDH, kreatinin

16
kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada analisis gas darah, pengukuran kadar
gas darah maupun elektrolit dan urinalisis dilakukan untuk menilai dan memonitor
penanganan jangka pendek.1

4.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan krisis tiroid perlu proses dalam beberapa langkah.
Idealnya, terapi yang diberikan harus menghambat sintesis, sekresi, dan aksi
perifer hormon tiroid. Penanganan suportif yang agresif dilakukan kemudian
untuk menstabilkan homeostasis dan membalikkan dekompensasi multi organ.
Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengatasi
faktor pencetusnya yang kemudian diikuti oleh pengobatan definitif untuk
mencegah kekambuhan. Krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang
memerlukan perawatan intensif dan pengawasan terus-menerus.
1. Penatalaksanaan Krisis Tiroid: menghambat sintesis hormon tiroid
Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan methimazole
(MMI) digunakan untuk menghambat sintesis hormon tiroid. PTU juga
menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer dan lebih disukai
daripada MMI pada kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan MMI merupakan
agen farmakoogik yang umum digunakan pada keadaan hipertiroidisme.
Keduanya menghambat inkorporasi iodium ke TBG dalam waktu satu jam
setelah diminum. Riwayat hepatotoksisitas atau agranulositosis dari terapi
tioamida sebelumnya merupakan kontraindikasi kedua obat tersebut. PTU
diindikasikan untuk hipertiroidisme yang disebabkab oleh penyakit Graves.
Laporan penelitian yang mendukungnya menunjukkan adanya peningkatan
risiko terjadinya toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan dengan
metimazol. Kerusakan hati serius telah ditemukan pada penggunaan
metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya meninggal). PTU sekarang
dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua kecuali pada pasien yang alergi
atau intoleran terhadap metimazol atau untuk wanita dengan kehamilan
trimester pertama. Penggunaan metimazol selama kehamilan dilaporkan

17
menyebabkan embriopati, termasuk aplasia kutis, meskipun merupakan kasus
yang jarang ditemui.1,2
Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan
tanda kerusakan hati, terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi dimulai.
Untuk suspek kerusakan hati, hentikan bertahap terapi PTU dan uji kembali
hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan perawatan suportif. PTU tidak
boleh digunakan pada pasien anak kecuali pasien alergi atau intoleran
terhadap metimazol dan tidak ada lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan
edukasi mengenai efek samping yaitu kelelahan, kelemahan, nyeri perut,
hilang nafsu makan, gatal, atau menguningnya mata maupun kulit pasien.1,2
2. Penatalaksanaan Krisis Tiroid: menghambat sekresi hormon tiroid
Setelah terapi anti-tiroid dimulai, hormon yang telah dilepaskan dapat
dihambat dengan sejumlah besar dosis iodium yang menurunkan uptake
iodium di kelenjar tiroid. Cairan lugol atau cairan jenuh kalium iodida dapat
digunakan untuk tujuan ini. Terapi iodium harus diberikan setelah sekitar satu
jam setelah pemberian PTU atau MMI. Perlu diketahui bahwa iodium yang
digunakan secara tunggal akan membantu meningkatkan cadangan hormon
tiroid dan dapat semakin meningkatkan status tirotoksik. Bahan kontras yang
teriodinasi untuk keperluan radiografi, yaitu natrium ipodat, dapat diberikan
untuk keperluan iodium dan untuk menghambat konversi T4 menjadi T3 di
sirkulasi perifer. Kalium iodida dapat menurunkan aliran darah ke kelenjar
tiroid dan hanya digunakan sebelum operasi pada tirotoksikosis. Pasien yang
intoleran terhadap iodium dapat diobati dengan litium yang juga mengganggu
pelepasan hormon tiroid. Pasien yang tidak dapat menggunakan PTU atau
MMI juga dapat diobati dengan litium karena penggunaan iodium tunggal
dapat diperdebatkan. Litium menghambat pelepasan hormon tiroid melalui
pemberiannya. Plasmaferesis, pertukaran plasma, transfusi tukar dengan
dialisis peritoneal, dan perfusi plasma charcoal adalah teknik lain yang
digunakan untuk menghilangkan hormon yang berlebih di sirkulasi darah.
Namun, sekarang teknik-teknik ini hanya digunakan pada pasien yang tidak
merespon terhadap penanganan lini awal.1,2

18
3. Penatalaksanaan Krisis Tiroid: menghambat aksi perifer hormon tiroid
Propanolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer hormon tiroid.
Propanolol menghambat reseptor beta-adrenergik dan mencegah konversi T4
menjadi T3. Obat ini menimbulkan perubahan dramatis pada manifestasi
klinis dan efektif dalam mengurangi gejala. Namun, propanolol menghasilkan
respon klinis yang diinginkan pada krisis tiroid hanya pada dosis yang besar.
Pemberian secara intravena memerlukan pengawasan berkesinambungan
terhadap irama jantung pasien.1,2
Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat yang
berhasil digunakan pada krisis tiroid. Agen-agen beta-blocker non-selektif,
seperti propranolol maupun esmolol, tidak dapat digunakan pada pasien
dengan gagal jantung kongestif, bronkospasme, atau riwayat asma. Untuk
kasus-kasus ini, dapat digunakan obat-obat seperti guanetidin atau reserpin.
Pengobatan dengan reserpin berhasil pada kasus-kasus krisis tiroid yang
resisten terhadap dosis besar propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin
tidak dapat digunakan pada dalam keadaan kolaps kardiovaskular atau syok.1,2
4. Penatalaksanaan: penanganan suportif
Terapi cairan dan elektrolit yang agresif diperlukan untuk mengatasi
dehidrasi dan hipotensi. Keadaan hipermetabolik yang berlebihan dengan
peningkatan transit usus dan takipnu akan membawa pada kehilangan cairan
yang cukup bermakna. Kebutuhan cairan dapat meningkat menjadi 3-5 L per
hari. Dengan demikian, pengawasan invasif disarankan pada pasien-pasien
lanjut usia dan dengan gagal jantung kongestif. Agen yang meningkatkan
tekanan darah dapat digunakan saat hipotensi menetap setelah penggantian
cairan yang adekuat. Berikan pulan cairan intravena yang mengandung
glukosa untuk mendukung kebutuhan gizi. Multivitamin, terutama vitamin B1,
dapat ditambahkan untuk mencegah ensefalopati Wernicke. Hipertermia
diatasi melalui aksi sentral dan perifer. Asetaminofen merupakan obat pilihan
untuk hal tersebut karena aspirin dapat menggantikan hormon tiroid untuk
terikat pada reseptornya dan malah meningkatkan beratnya krisis tiroid. Spons

19
yang dingin, es, dan alkohol dapat digunakan untuk menyerap panas secara
perifer. Oksigen yang dihumidifikasi dingin disarankan untuk pasien ini.1,2
Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan
peningkatan angka harapan hidup. Awalnya, glukokortikoid digunakan untuk
mengobati kemungkinan insufisiensi relatif akibat percepatan produksi dan
degradasi pada saat status hipermetabolik berlangsung. Namun, pasien
mungkin mengalami defisiensi autoimun tipe 2 dimana penyakit Graves
disertai oleh insufisiensi adrenal absolut. Glukokortikoid dapat menurunkan
uptake iodium dan titer antibodi yang terstimulasi oleh hormon tiroid disertai
stabilisasi anyaman vaskuler. Sebagai tambahan, deksametason dan
hidrokortison dapat memiliki efek menghambat konversi T4 menjadi T3.
Dengan demikian dosis glukokortikoid, seperti deksametason dan
hidrokortison, sekarang rutin diberikan.1,2
Meskipun seringkali muncul pada pasien lanjut usia, dekompensasi
jantung juga dapat muncul pada pasien yang muda dan bahkan pada pasien
tanpa penyakit jantung sebelumnya. Pemberian digitalis diperlukan untuk
mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrium. Obat-obat
anti-koagulasi mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrium dan dapat diberikan
jika tidak ada kontra indikasi. Digoksin dapat digunakan pada dosis yang lebih
besar daripada dosis yang digunakan pada kondisi lain. Awasi secara ketat
kadar digoksin untuk mencegah keracunan. Seiring membaiknya keadaan
pasien, dosis digoksin dapat mulai diturunkan. Gagal jantung kongestif
muncul sebagai akibat gangguan kontraktilitas miokardium dan mungkin
memerlukan pengawasan dengan kateter Swan-Ganz.1,2
Keadaan hiperadrenergik telah dilaporkan pada pasien hipertiroid.
Hilangnya tonus vagal selama tirotoksikosis dapat memicu iskemia miokardial
transien dan pengawasan jangka panjang elektrokardiogram (EKG) dapat
meningkatkan deteksi takiaritmia dan iskemia miokardial tersebut. Blokade
saluran kalsium mungkin merupakan terapi yang lebih cocok dengan melawan
efek agonis kalsium yang terkait hormon tiroid pada miokardium dan
memperbaiki ketidakseimbangan simpatovagal.1,2

20
5. Penatalaksanaan: efek samping
Efek samping PTU yang pernah dilaporkan adalah perdarahan atau gusi
mudah berdarah, kerusakan hati (anoreksia, pruritus, nyeri perut kanan atas,
peningkatan kadar transaminase hingga tiga kali nilai normal), infeksi (terjadi
akibat agranulositosis), pruritus hingga dermatitis eksfoliatif, vaskulitis
maupun ulkus oral vaskulitik, dan pioderma gangrenosum. Meskipun
termasuk rekomendasi D, beberapa pendapat ahli masih merekomendasikan
bahwa obat ini harus tetap dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi
penyakit Graves selama kehamilan. Risiko kerusakan hati serius, seperti gagal
hati dan kematian, telah dilaporkan pada dewasa dan anak, terutama selama
enam bulan pertama terapi.1,2
Agranulositosis adalah efek samping yang jarang terjadi pada penggunaan
obat anti-tiroid dan merupakan etiologi atas infeksi yang didapat dari
komunitas dan mengancam jiwa pasien yang menggunakan obat-obat ini.
Manifestasi klinis yang sering muncul adalah demam (92%) dan sakit
tenggorokan (85%). Diagnosis klinis awal biasanya adalah faringitis akut
(46%), tonsilitis akut (38%), pneumonia (15%) dan infeksi saluran kencing
(8%). Kultur darah positif untuk Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Capnocytophaga species. Kematian disebabkan oleh
infeksi yang tidak terkendali, krisis tiroid dan gagal organ yang multipel. Basil
Gram negatif, seperti Klebsiella pneumoniae dan P. aeruginosa, merupakan
patogen yang paling sering ditemui pada isolat klinis. Antibiotik spektrum
luas dengan aktifitas anti-pseudomonas harus diberikan pada pasien dengan
agranulositosis yang disebabkan oleh obat anti-tiroid yang menampilkan
manifestasi klinis infeksi yang berat.1,2

4.1.7 Komplikasi
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain
hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada
tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual atau diplopia akibat
oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan

21
curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot proksimal.
Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid yang jarang
terjadi.1

4.1.8 Prognosis
Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian
keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi
terdapat laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor
pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis tiroid. Dengan diagnosis
yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik.1

4.1.9 Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang ketat
setelah diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik hanya
setelah dilakukan blokade hormon tiroid dan atau beta-adrenergik. Krisis tiroid
setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi akibat: 1) penghentian obat anti-
tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian RAI dan ditahan hingga 5-
7 hari setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari folikel yang
rusak; dan 3) efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid seringkali
lebih tinggi sebelum terapi RAI daripada setelahnya, banyak para ahli
endokrinologi meyakini bahwa penghentian obat anti-tiroid merupakan penyebab
utama krisis tiroid. Satu pilihannya adalah menghentikan obat anti-tiroid
(termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum dilakukan terapi RAI dan memulai
kembali obat dalam 3 hari setelahnya. Pemberian kembali obat anti-tiroid yang
lebih dini setelah terapi RAI dapat menurunkan efikasi terapi sehingga
memerlukan dosis kedua. Perlu pula dipertimbangkan pemeriksaan fungsi tiroid
sebelum prosedur operatif dilakukan pada pasien yang berisiko mengalami
hipertiroidisme.1

22
4.2 Penyakit Jantung dalam Kehamilan
4.2.1 Perubahan Fisiologis Hemodinamik Selama Kehamilan
Kehamilan menginduksi perubahan fisiologis pada sistem kardiovaskuler
untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik dari ibu dan bayi. Hal ini
termasuk dalam peningkatan jumlah total darah dalam tubuh, curah jantung dan
penurunan tekanan resistensi perifer serta tekanan darah. Perubahan ini
mengakibatkan peningkatan beban hemodinamik pada jantung ibu dan dapat
menyebabkan gejala dan tanda-tanda mirip penyakit jantung. Adaptasi
kardiovaskular ini sangat penting untuk diketahui, yang mana pada wanita dengan
penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya mungkin akan menunjukkan
pemburukan klinis selama masa kehamilan.3,4
Curah jantung merupakan hasil perkalian stroke volume dan denyut
jantung. Denyut jantung dan stroke volume meningkat seiring dengan
bertambahnya usia kehamilan. Volume plasma mencapai puncaknya sekitar 40%
dari volume plasma awal pada masa gestasi 24 minggu. Peningkatan curah
jantung sekitar 30-50% normal pada masa kehamilan. Peningkatan volume plasma
ini tidak proporsional dengan penambahan massa sel darah merah dimana volume
plasma meningkat 30-50% relatif lebih besar dibanding peningkatan sel darah
merah yang hanya terjadi 20-30%. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
hemodilusi dan menurunnya konsentrasi hemoglobin, sehingga mengakibatkan
anemia fisiologis dalam kehamilan dan menambah beban jantung.3,4,5
Pada awal kehamilan peningkatan curah jantung diakibatkan karena
peningkatan volume sekuncup, tetapi setelah masa gestasi 32 minggu, stroke
volume menurun akibat pembesaran uterus yang menekan vena kava inferior.
Penekanan vena kava inferior ini mengakibatkan penurunan aliran darah balik
vena ke jantung sehingga mengurangi preload dan berdampak akan terjadinya
hipotensi arterial yang dikenal dengan sindrom hipotensi supine, karena alas an
inilah tidak dianjurkan ibu hamil dalam posisi terlentang pada akhir kehamilan.5,6
Jadi pada akhir kehamilan curah jantung sangat tergantung pada denyut
jantung karena pengurangan volume sekuncup. Denyut jantung mulai meningkat
saat usia kehamilan 20 minggu dan terus meningkat hingga usia kehamilan 32

23
minggu dan terus bertahan tinggi hingga 2-5 hari setelah persalinan. Takikardia
akan mengurangi pengisian ventrikel kiri, mengurangi perfusi pembuluh darah
koroner pada saat diastol dan secara simultan kemudian meningkatkan kebutuhan
oksigen pada miokardium. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen akan memicu terjadinya iskemia miokard. Jadi wanita dengan penyakit
jantung koroner, gejalanya akan bertambah berat selama kehamilan.3,5
Resistensi vaskuler menurun pada trimester pertama dan awal trimester
kedua (sebagai akibat dari estrogen, progesteron, prostasiklin, atrial natriuretic
peptides, dan endothelial nitric oxide) sehingga tekanan darah sistemik biasanya
menurun pada awal kehamilan dan tekanan darah diastolik biasanya 10 mmHg di
bawah garis normal pada trimester kedua, tetapi kembali naik ke batas normal
secara perlahan pada trimester ketiga. Jadi tiga perubahan hemodinamik utama
yang terjadi dalam masa kehamilan adalah: peningkatan curah jantung,
peningkatan denyut jantung dan penurunan resistensi perifer.3-5

Gambar 1. Perubahan Fisiologis Selama Kehamilan7

Selama persalinan, terjadi peningkatan curah jantung (15 % selama kala I


dan 50% selama kala II) yang diakibatkan rasa takut, cemas, nyeri selama
persalinan dan kontraksi uterus. Kontraksi uterus akan mengembalikan darah 300-
500 ml dari uterus ke sirkulasi sistemik. Respon simpatis dari rasa takut, cemas

24
dan nyeri akan menaikkan denyut jantung dan tekanan darah yang akan
meningkatkan curah jantung. Curah jantung lebih banyak meningkat selama
kontraksi dibandingkan dengan di antara kontraksi.4,7
Segera setelah persalinan darah dari uterus akan kembali ke
sirkulasisistemik akibat hilangnya kompresi vena kava inferior dan kontraksi
uterus yang mengembalikan darah ke sirkulasi sistemik. Pada kehamilan normal,
mekanisme kompensasi ini akan melindungi ibu dari efek hemodinamik yang
terjadi akibat perdarahan post partum, namun bila ada kelainan jantung maka
sentralisasi darah yang akut ini akan meningkatkan tekanan pulmoner dan terjadi
kongesti paru. Dalam dua minggu pertama post partum terjadi mobilisasi cairan
ekstravaskuler dan diuresis. Pada wanita dengan stenosis katup mitral dan
kardiomiopati sering terjadi dekompensasi jantung pada masa mobilisasi cairan
post partum. Curah jantung biasanya akan kembali normal setelah 2 minggu post
partum.5,7

Gambar 2. Perubahan Hemodinamik Normal selama Kehamilan

4.2.2 Diagnosis
Kebanyakan wanita dengan kelainan jantung telah terdiagnosis sebelum
kehamilan, misalnya pada mereka yang pernah menjalani operasi karena kelainan
jantung kongenital maka akan mudah untuk mendapat informasi yang rinci.

25
Sebaliknya penyakit jantung pertama kali didiagnosis saat kehamilan bila
adagejala yang dipicu oleh peningkatan kebutuhan jantung.5
Gejala klasik penyakit jantung adalah: palpitasi, sesak nafas, dan nyeri
dada. Berhubung karena gejala ini juga dapat normal ditemukan selama kehamilan
maka perlu melakukan anamnesis yang cermat untuk menentukan apakah gejala
ini merupakan penyakit jantung ataupun bukan. Oleh karena itu perlu diperhatikan
pendekatan diagnosis kardiologis yang lengkap, mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, EKG, ekokardiografi sampai kateterisasi, termasuk
klasifikasifungsional dan etiologi maupun kelainan anatomik.5,8
1. Anamnesis
Kebanyakan pasien mengakui toleransi melakukan aktivitas sangat
berkurang dan merasa mudah kelelahan. Kondisi ini berhubungan erat dengan
peningkatan berat badan yang diperoleh selama masa kehamilan dan akibat
anemia fisiologis pada kehamilan. Episode pingsan atau sakit kepala ringan
terjadi sebagai akibat dari kompresi mekanik dari rahim yang hamil pada vena
cava inferior, sehingga menyebabkan aliran balik vena ke jantung tidak
adekuat, terutama pada trimester ketiga. Gejala lain yang sering dikeluhkan
termasuk hiperventilasi dan ortopnea yang disebabkan oleh tekanan mekanik
dari rahim yang membesar pada diafragma. Palpitasi juga umum dijumpai dan
hal ini diduga berhubungan dengan sirkulasi yang hiperdinamik selama
kehamilan. Pada pasien dengan riwayat penyakit jantung, sangat penting untuk
menanyakan tentang kapasitas fungsional, prevalensi gejala terkait lainnya,
regimen terapi yang diperoleh, tes diagnostik sebelumnya (misalnya
ekokardiogram, tes olahraga, dan kateterisasi jantung), dan riwayat operasi
paliatif. Pada pasien tanpa penyakit jantung penting untuk menanyakan
tentang riwayat penyakit jantung rematik, episode sianosis pada saat lahir atau
anak usia dini, adanya gangguan reumatologik (misalnya lupus eritematosus
sistemik), episode aritmia, terjadinya sinkop eksersional atau nyeri dada, dan
edema tungkai yang sering terjadi. Selain itu, pertanyaan mengenai ada
tidaknya riwayat keluarga dengan penyakit jantung bawaan, penyakit arteri
koroner prematur, atau kematian mendadak pada anggota keluarga.4

26
Klasifikasi penyakit jantung (status fungsional) berdasarkan
klasifikasiyang ditetapkan oleh New York Heart Association pada tahun 1979,
sebagai berikut:9
Kelas / derajat I: Aktivitas biasa tidak terganggu.
Kelas / derajat II: Aktivitas fisik terbatas, namun tidak ada gejala saat istirahat.
Kelas / derajat III: Aktivitas ringan sehari-hari terbatas, timbul sesak atau
nyeri, palpitasi pada aktifitas yang ringan.
Kelas / derajat IV: Gejala timbul pada waktu istirahat, dan terdapat gejala
gagal jantung.

2. Pemeriksaan Fisik
Hiperventilasi dapat ditemukan pada kehamilan normal, sehingga penting
untuk membedakan hiperventilasi dari dyspnea, yang umum ditemukan pada
gagal jantung kongestif.4
Impuls ventrikel kiri mudah teraba. Pulsasi perifer sering kolaps dan dapat
membingungkan dengan temuan klinis pada regurgitasi aorta. Sejumlah besar
wanita hamil mengalami edema kaki. Hal ini terjadi sebagai akibat dari
penurunan tekanan onkotik koloid plasma dengan peningkatan seiring dengan
tekanan vena femoralis sebagai akibat dari aliran balik vena yang tidak
adekuat.4
Pemeriksaan fisik harus fokus pada wajah, kelainan jari, atau skeletal yang
menunjukkan adanya anomali kongenital. Adanya clubbing, sianosis, atau
pucat, harus diamati dengan seksama. Pemeriksaan dada dapat
mengesampingkan deformitas pectus excavatum, tonjolan prekordial, atau
adanya pulsasi ventrikel kanan atau kiri. Bunyi jantung pertama biasanya
terpisah (yang dapat disalahartikan sebagai bunyi jantung keempat). Bunyi
jantung pertama yang keras dapat menunjukkan mitral stenosis, sedangkan
bunyi jantung pertama intensitas rendah menunjukkan blok jantung tingkat
pertama. Bunyi jantung kedua terpisah dapat diartikan sebagai defek septum
atrium, sedangkan suara paradoksikal yang terpisah dapat ditemukan pada
hipertrofi ventrikel kiri yang berat atau blok cabang berkas kiri. Bunyi jantung

27
ketiga adalah normal pada kehamilan. Bunyi jantung IV, ejection click,
opening snap, atau mid sistolik hingga late sistolik mengindikasikan penyakit
jantung. Murmur sistolik dapat terdengar pada wanita hamil dan merupakan
hasil dari sirkulasi hiperkinetik selama masa kehamilan. Murmur yang
terdengar yaitu murmur midsistolik dan didengar terbaik pada linea sternum
kiri bawah dan di atas area pulmonal memerlukan penyelidikan lebih lanjut
oleh echocardiography dan USG doppler.4

3. Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG sangat aman dan dapat membantu menjawab
pertanyaan yang sangat spesifik. Kehamilan dapat menyebabkan interpretasi
dari variasi gelombang ST-T lebih sulit dari yang biasanya. Depresi segmen
ST inferior sering didapati pada wanita hamil normal. Pergeseran aksis QRS
ke kiri, sering dijumpai, tetapi deviasi aksis ke kiri yang nyata (-30o)
menyatakan adanya kelainan jantung.10

4. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi termasuk dopler sangat aman dan tanpa
risikoterhadap ibu dan janin. Pemeriksaan transesofageal ekokardiografi pada
wanita hamil tidak dianjurkan karena risiko anestesi selama prosedur
pemeriksaan radiografi. Semua pemeriksaan radiografi harus dihindari
terutama pada awal kehamilan. Pemeriksaan radiografi mempunyai risiko
terhadap organogenesis abnormal pada janin, atau malignancy pada masa
kanak-kanak terutama leukemia. Jika pemeriksaan sangat diperlukan,
sebaiknya dilakukan pada kehamilan lanjut, dengan dosis radiasi seminimal
mungkin, dan perlindungan terhadap janin seoptimal mungkin.10

4.2.3 Penatalaksanaan
1. Antepartum
Penanganan antepartum termasuk kunjungan ke klinik jantung-kebidanan,
istirahat yang cukup, diet tinggi protein, rendah garam dan pembatasan

28
cairan pada trimester II dan III, perbaikan keadaan umum (roboransia dan anti
anemia), pencegahan infeksi, evaluasi pemberian digitalis, evaluasi terminasi
kehamilan dan pembedahan jantung. Pasien diharuskan segera melapor ke
dokter bila ditemukan gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas, khususnya
bila ada demam.5,8
2. Intrapartum
Standar penanganan penderita kelainan jantung dalam masa persalinan
adalah:
a. Diagnosis yang akurat.
b. Jenis persalinan berdasarkan pada indikasi obstetri.
c. Penanganan medis dimulai pada awal persalinan:
 Hindari partus lama.
 Induksi dilakukan bila serviks sudah matang.
d. Pertahankan stabilitas hemodinamik:
 Pemantauan hemodinamik invasif bila diperlukan.
 Mulai dengan keadaan hemodinamik yang sudah terkompensasi.
 Penanganan yang spesifik tergantung pada kondisi jantung.
e. Cegah nyeri dan respons hemodinamik dengan pemberian analgesia
epidural dengan narkotik dan teknik dosis rendah lokal.
f. Antibiotik profilaksis diberikan bila ada risiko endokarditis.
g. Ibu tidak boleh mengedan. Persalinan dengan vakum atau forcep rendah.
h. Hindari perdarahan dengan melakukan managemen aktif kala III
dan penggantian cairan yang dini dan sesuai.
i. Managemen cairan pada postpartum dini: sering diperlukan pemberian
diuresis yang agresif namun pelu hati-hati.
3. Postpartum
Persalinan dan masa postpartum merupakan periode dengan resiko
maksimum untuk pasien dengan kelainan jantung. Selama periode ini, pasien
harus dipantau untuk mengetahui ada tidaknya tanda-tanda gagal jantung,
hipotensi dan aritmia. Perdarahan postpartum, anemia, infeksi dan

29
tromboemboli merupakan komplikasi yang menjadi lebih serius bila ada
kelainan jantung.8,9
Sangat penting untuk mencegah kehilangan darah yang berlebihan pada
kala III. Oksitosin sebaiknya diberikan secara infus kontinu untuk
menghindari penurunan tekanan darah yang mendadak. Alkaloid ergot
seperti metil ergometrin tidak boleh dipakai karena obat ini dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan vena sentral dan hipertensi sementara.5,8
Dalam masa post partum diperlukan pengawasan yang cermat terhadap
keseimbangan cairan. Dalam 24-72 jam terjadi perpindahan cairan ke sirkulasi
sentral dan dapat menyebabkan kegagalan jantung. Perhatian harus diberikan
kepada penderita yang tidak mengalami diuresis spontan. Pada keadaan ini,
bila ada penurunan saturasi oksigen yang dipantau dengan pulse oxymetri,
biasanya menandakan adanya edema paru.5,8
Penderita harus mendapat istirahat yang cukup dan diberikan pencegahan
dengan antibiotik terhadap kemungkinan infeksi, termasuk endokarditis.
Penderita dengan kelas fungsional NYHA I dan II diusahakan untuk
mobilisasi dini, pemberian obat-obat kardiovaskular dievaluasi lagi,
selanjutnya ditentukan followup dan prognosis untuk kehamilan selanjutnya.
Harus dicegah terjadinya dekompensasi kordis.

Penggunaan Obat Kardiovaskular


1. Diuretik
Diuretik dapat digunakan untuk pengobatan gagal jantung kongestif yang
tidak dapat dikontrol dengan retriksi natrium dan merupakan obat lini terdepan
untuk pengobatan hipertensi. Tidak satu diuretik pun merupakan kontra
indikasi dan yang paling sering digunakan adalah golongan diuretik tiazid dan
forosemid. Diuretik diberikan untuk mengurangi gejala-gejala dispnea
nokturnal paroksismal dan exertional dan edema perifer yang nyata dalam
kehamilan.10,11
2. Obat Inotropik

30
Digoksin bermanfaat untuk efek baik pada kontraktilitas ventrikel dan
pada kontrol di tingkat atrial fibrilasi. Indikasi penggunaan digitalis tidak
berubah pada kehamilan. Digoksin dan digitoksin dapat melalui plasenta, dan
kadar serum pada janin lebih kurang sama dengan ibu. Digoksin dengan dosis
yang sama bila diberikan pada ibu hamil, akan menghasilkan kadar serum
yang lebih rendah bila dibanding diberikan pada wanita yang tidak hamil. Jika
efek yang diinginkan tidak tercapai, maka perlu diukur kadarnya dalam serum.
Digitalis dapat memperpendek masa gestasi dan kelahiran, karena efeknya
pada miometrium sama dengan efek inotropiknya pada miokardium. Digoxin
juga disekresi dalam ASI.10,11
Bila inotropik intravena atau vasopressor diperlukan, obat-obat standar
seperti dopamin, dobutamin, atau norepinefrin dapat digunakan, tetapi
efeknyamembahayakan janin karena akan menurunkan aliran darah ke uterus
danmestimulasi kontraksi uterus.10
3. Vasodilator
Bila diperlukan pada krisis hipertensi atau untuk mengurangi afterload dan
preload emergensi, nitropruside merupakan obat vasodilator pilihan.
Rekomendasi yang kontroversi telah dibuat karena obat ini sangat efektif,
bekerja segera, dan mudah ditoleransi. Juga efeknya segera menghilang bila
penggunaan obat tersebut segera dihentikan. Namun, nitroprusside natrium
harus digunakan hanya ketika semua intervensi lain telah gagal dan ketika itu
sangat penting untuk kesejahteraan ibu. Bahkan di bawah kondisi, dosis dan
durasi terapi harus diminimalkan karena metabolisme agen ini untuk tiosianat
dan sianida, yang dapat mengakibatkan keracunan sianida janin pada model
binatang, akan tetapi tidak menjadi problemyang signifikan pada manusia.10,11
Hidralazin, nitrogliserin, dan labetalol intravena adalah pilihan lain untuk
obat parenteral. Reduksi afterload kronik untuk pengobatan hipertensi,
regurgitasi aotral atau mitral, atau disfungsi ventrikel selama kehamilan telah
didapat dengan calcium chanel blocker, hidralazin, dan metildopa. Efek yang
membahayakan terhadap janin tidak dilaporkan. ACE inhibitor merupakan

31
kontra indikasi pada kehamilan karena obat ini menambah risiko untuk
terjadinya kelainan pada perkembangan ginjal janin.10
4. Obat Penghambat Reseptor Adrenergik
Dalam observasi terlihat bahwa penggunaan obat penghambat beta dapat
menurunkan darah ke umbilikus, memulai kelahiran prematur, dan
mengakibatkan plasenta yang kecil serta infark plasenta dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan bayi berat badan lahir rendah, sehingga
penggunaannya memerlukan perhatian. Sebagian besar penelitian tidak
mendukung hal ini dan obat penghambat beta telah banyak digunakan pada
wanita hamil tanpa efek yang merugikan.10
Beta blockers umumnya aman dan efektif selama kehamilan, walaupun
mungkin ada tingkat peningkatan pembatasan pertumbuhan janin ketika
diberikan. Beta blocker tidak berhubungan dengan peningkatan risiko kelainan
kongenital. Propranolol, labetalol, atenolol, nadolol, dan metoprolol
diekskresikan dalam ASI. Meskipun efek samping belum dilaporkan, adalah
tepat untuk memantau bayi yang baru lahir untuk gejala blokade beta ketika
obat tersebut pernah digunakan.11
5. Obat Anti Aritmia
Penghambatan nodus atrioventrikuler (AV node) kadang-kadang
diperlukan semasa kehamilan. Untuk itu dapat digunakan digoksin, penyekat
beta, dan penyekat kalsium. Laporan awal menyokong, penggunaan adenosin
yang dapat digunakan secara aman sebagai obat penyekat nodus. Obat ini
umumnya lebih disukai untuk menghindarkan penggunaan obat anti aritmia
standar pada pasien semasa kehamilan. Bila diperlukan untuk aritmia berulang
atau untuk keselamatan ibu, maka dapat digunakan.10
Lidokain merupakan obat lini pertama yang diberikan. Depresi
neonatustransien telah terbukti terjadi bila kadar lidokain darah janin melebihi
2,5 mikrogram/liter. Untuk itu, direkomendasikan untuk memelihara kadar
lidokaindarah pada ibu 4 mikrogram/liter, karena kadar pada janin 60% dari
kadar pada ibu.10

32
Jika diperlukan obat anti aritmia oral, dapat dimulai dengan kuinidin
karena mempunyai availabilitas jangka panjang. Dan obat ini paling sering
digunakan karena tidak jelas efek yang membahayan pada bayi. Informasi
awal mengenai amiodaron mendukung kemungkinan meningkatnya angka
kehilangan janin dan deformitas janin.10
6. Anti Koagulan
Fenomena tromboembolik tidak jarang merupakan komplikasi CHF. Lebih
lanjut, pasien hamil bahkan tanpa penyakit jantung akan mengalami
peningkatan risiko untuk terjadinya thromboemboli. Bila diperlukan
antikoagulan, sebagian penulis menganjurkan menggunakan heparin untuk
trimester pertama dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian warfarin pada
lima bulan berikutnya, dan kembali lagi menggunakan heparin sebelum
melahirkan. Walaupun kehamilan yang sukses dapat dicapai dengan cara ini,
penulis memilih untuk menghindarkan penggunaan warfarin selama
kehamilan. Obat anti platelet ternyata meningkatkan kesempatan untuk
terjadinya perdarahan maternal dan dapat melewati plasenta. Selain itu,
warfarin juga memberikan efek teratogenik pada janin, termasuk warfarin
embryopathy dan kelainan sistem saraf yang terdiri dari displasia garis tengah
punggung dan perut serta perdarahan ketika digunakan selama trimester
pertama.10,11
Meskipun heparin memiliki sejumlah efek samping, termasuk menipisnya
antitrombin III, trombositopenia, dan dini osteoporosis ibu, itu tetap
merupakan agen yang aman pada kehamilan. Baik heparin atau warfarin tidak
disekresikan ke dalam ASI dan karena itu tidak menimbulkan efek
antikoagulan pada bayi yang menkonsumsi ASI. Akibatnya, kedua obat
tersebut dapat digunakan pada periode postpartum.11

4.3 Aritmia
4.3.1 Definisi
Istilah aritmia merujuk pada setiap gangguang frekuensi, regularitas
tempat asal atau konduksi impuls listrik jantung. Aritmia atau disaritmia

33
merupakan gangguan irama jantung berupa irama yang bukan berasal dari nodus
SA, irama yang tidak teratur sekalipun berasal dari nodus SA, frekuensi kurang
dari 60x/menit (Sinus Bradikardi) atau lebih dari 100x/menit (sinus takikardi) atau
terdapat hambatan impuls supra atau intraventrikular.10,11

4.3.2 Etiologi
Beberapa kondisi atau penyakit yang dapat menyebabkan aritmia adalah:
10,11

1. Jantung normal adanya faktor presipitasi:


- Takut, cemas, gelisah, exercise
- Demam, nyeri, anemia, dehidrasi
- Infeksi : bronchitis, pneumonia, hepatitis, gastrirtis, pancreatitis
- Hormon tiroid
- Obat-obatan : digitalis, beta blocker, Ca Antagonis dan lain lain
- Hipersensitif vagal
- Tindakan medis : bronkoskopi, endoskopi
- Gangguang keseimbangan elektrolit asam dan basa: kalium,
natrium, kalsium, asidosis dan lain-lain
2. Jantung Abnormal
- Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan
miokard (miokarditis karena infeksi).
- Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme
arteri koroner), misalnya iskemia miokard, infark miokard
- Penyakit katup jantung
- Penyakit Jantung bawaan
- Gagal jantung apapun penyebabnya
- Manipulasi / tindakan jantung: punksi cairan perikard, kateterisasi
jantung, operasi jantung
- Proses degenerasi, fibrosis, dan kalsifikasi.

4.3.3 Klasifikasi

34
Aritmia jantung merupakan hasil dari abnormalitas pengaturan impuls,
konduksi atau keduanya.10,11
1. Gangguan Impuls
a. Irama Sinus
Aritmia yang terjadi pada keadaan bradikardia atau takikardi atau sinus
aresst.

Sinus Bradikardi

Ciri-cirinya:11,12
• Irama teratur
• RR interval jaraknya sama dalam 1 lead panjang
• PP interval jaraknya sama dalam 1 lead panjang
• Komplek QRS harus sama dalam 1 lead panjang
• Impuls dari SA node yang ditandai dengan adanya gel P yang
mempunyai bentuk lama dalam 1 lead panjang. Frekwensi (HR)
dibawah 60x/menit
• Adanya gel P yang selalu diikuti komplek QRS Gel P dan komplek
QRS normal dan sama bentuknya dalam satu lead.
Sinus takikardia

35
Ciri-cirinya: 11,12
• Irama teratur
• RR interval jaraknya sama dalam 1 lead panjang
• PP interval jaraknya sama dalam 1 lead panjang
• Komplek QRS harus sama dalam 1 lead panjang
• Impuls dari SA node yang ditandai dengan adanya gel P yang
mempunyai bentuk sama dalam 1 lead panjang. Frekwensi (HR)
diatas 100x/menit
• Adanya gel P yang selalu diikuti komplek QRS Gel P dan komplek
QRS normal dan sama bentuknya dalam satu lead.
Sinus Arrest

Ciri-cirinya:11,12
Gel P dan komplek QRS normal
Adanya gap yang panjang tanpa adanya gelombang yang muncul.
Gap ini jaraknya melebihi 2 kali RR interval.

b. Irama Atrial
Dibagi menjadi :
1. Atrial Flutter

Irama atrial pada atrial Flutter (jumlah gel.P banyak) gambaran terlihat
baik pada sadapan II, III, dan aVF seperti gambaran gigi gergaji ,

36
kelaianan ini dapat terjadi pada kelainan katub mitral atau tricuspid, cor
pulmonal akut atau kronis, penyakit jantung koroner dan dapat juga akibat
intoksikasi digitalis.11,12

2. Atrial Fibrilasi

Pada EKG terlihat gelombang yang sangat tidak teratur dan cepat sekali,
mencapai 300 -500 kali permenit dan sering kali ditemukan pulsus deficit.
Pada atrial fibrillation beberapa signal listrik yang cepat dan kacau
"menyala" dari daerah-daerah yang berada di atrial, bukan hanya dari satu
daerah pemacu jantung di SA node. Signal-signal ini pada gilirannya
menyebabkan kontraksi ventricle yang cepat dan tidak beraturan.
Penyebab-penyebab dari atrial fibrillation termasuk serangan jantung,
tekanan darah tinggi, gagal jantung, penyakit klep mitral (seperti mitral
valve prolapse), tiroid yang aktif berlebihan, gumpalan darah di paru
(pulmonary embolism), alkohol yang berlebihan, emphysema, dan radang
dari lapisan jantung (pericarditis).11,12

3. Atrial takikardi
Biasanya adalah paroksimal (PAT= paroxysmal atrial tachycardia), disebut
juga takikardi supraventrikuler paroksimal, yaitu takikardai yang berasal
dari atrium dan nodus AV. Pada gambar terdapat ektrassistole yang
berturut- turut.11,12

Ciri-cirinya :
• Irama teratur
• Komplek QRS normal

37
• PR interval <0,12detik dan
• Frekwensi jantungnya > 150x/menit
• Apabila gambaran EKG dari normal tiba tiba berubah menjadi
Atrial takikardia maka gambaran ini dinamakan paroksimal atrial
takikardia (PAT).

4. Ekstrasistole atrial
Disebut juga Premature atrial beats. Hal ini timbul akibat impuls yang
berasal dari atrium timbul premature . kelainan ini biasanya tidak memiliki
arti klinis penting dan biasanya tidak butuh terapi.

c. Irama Junctional
Gambaran EKG menunjukan laju QRS antara 40 -60 permenit dengan irama
biasanya teratur , gelombang biasanya terlihat negative disadapan II , III, aVF .
Gelombang P bisa mendahului atau tumpang tindih dengan QRS. 11,12
Biasanya disebabkan karena nodus SA kurang aktiv sehingga diambil alih:
1. AV junctional ektrasistole

Irama tidak teratur

38
Ada premature beat sebelum waktunya, dengan adanya gel P yang terbalik
atau tidak adanya gel P.
2. AV junctional takikardi paroksimal seperti PAT

3. AV junctional takikardi Non paroksimal

d. Irama Ventrikuler
1. Ventrikel Ekstra Sistole (VES)
Adalah gelombang ventrikel yang muncul tiba tiba pada gelombang sinus,
ini muncul karena pace maker ventrikel tiba – tiba lebih kuat dari SA node
dalam memproduksi listrik. jenis ini terdiri dari:12
 VES Uniform atau Unifokal
 VES yang bentuknya serupa pada lead yang sama. Muncul pada
gambaran EKG dimana saja, cirinya adanya beat dari ventrikel yang
jelas sekali kita lihat. Beat ini bisa ke arah positip defleksi atau negatif
defleksi, tergantung di lead mana kita melihatnya.
 VES multiform yaitu adanya lebih dari satu bentuk VES. Consekuti
atau Cauplet VES/PVC ---> yaitu VES yang muncul secara beruntun.

39
 VES Begimini artinya setiap satu komplek normal diikuti oleh satu
VES
 VES trigemini artinya setiap dua komplek normal diikuti oleh satu
VES

 VES Couplet artinya setelah komplek normal , muncul 2 VES


sekaligus , jika muncul lebih dari 2 sekaligus disebut Run of.

40
2. Ventrikular Takikardi (VT)

Ciri-cirinya:
• Irama regular
• Frekwensi 100-250x/menit
• Tidak ada gelombang P
• Komplek QRS lebar atau lebih dari normal
Pelepasan impuls yg cepat oleh fokus ektopic di Ventricel, yang ditandai oleh
sederetan denyut Ventrikel. Terdapat 3 atau lebih komplek yang berasal dari
ventrikel secara berurutan dengan laju lebih dari 100x/ menit. Pengaruhnya
terhadap jantung adalah ventrikel yang berdenyut sangat cepat tanpa sempat
mengosongkan dan mengisi darah secara sempurna, Akibatnya sirkulasi darah
menjadi tidak cukup.11,12

3. Ventrikel Fibrilasi (VF)


Adalah gambaran bergetarnya ventrikel, yang disebabkan karena begitu
banyak tempat yang memunculkan implus, sehingga sel jantung tidak sempat
berdepolarisasi dan repolarisasi sempurna. Disini sudah tidak terlihat

41
gelombang P, QRS dan T. hal ini biasa terjadi pada iskemiaakut atau infrak
miokard. 11,12

Ciri-cirinya :
• Irama chaotic atau kacau balau
• Tidak ada denyut jantung

4. Ventrikel Flutter
Ventrikel Fluter adalah gambaran getaran ventrikel yang disebabkan oleh
produksi sebuah pacemaker diventrikel dengan frekuensi 250 – 350 kali
permenit. Gambaran yang muncul adalah gelombang berlekuk dan rapat.

2. Gangguan Konduksi
Gangguan konduksi adalah gangguan yang terjadi pada jaringan konduksi
(jalur listrik jantung) sehingga listrik jantung tidak berjalan lancer atau berhenti di
tengah jalan terdiri: 11,12
a. Block SA node
Gangguan pada SA node menyebabkan block SA dan sinus Aresst.

b. Gangguan AV block
• AV Block derajat 1
Umumnya disebabkan karena gangguan konduksi di proximal His bundle ,
sering terjadi pada intoksitas digitalis, peradangan , proses degenerasi
maupun varian normal . Gambar yang muncul pada EKG adalah interval

42
PR yang melebar > 0,22 detik dan interval PR tersebut kurang lebih sama
disetiap gelombang.

Ciri-cirinya:
 Irama teratur
 Gel P normal, PP interval regular
 Komplek QRS normal, RR interval regular
 PR interval > 0,20 detik atau > 5 kotak kecil
 Panjang PR interval harus sama di setiap beat. Misalkan panjang PR
intervalnya 0,24detik, maka di tiap beat PR intervalnya harus sama
yaitu 0,24detik.

• AV Block derajat II
Dibagi menjadi 2 tipe:
Mobitz tipe 1 (wenckebach block)
Interval PR secara progresif bertambah panjang sampai suatu ketika
implus dari atrium tidak sampai ke ventrikel dan denyut ventrikel (
gelombang QRS)tidak tampak , atau gelombang P tidak diikuti oleh QRS.
Hal ini disebabkan karena tonus otot yang meningkat , keracunan digitalis
atau iskemik .

43
Ciri-cirinya:
 Irama irregular
 Gel P normal, PP interval regular
 Komplek QRS bisa normal juga bisa tidak normal, RR interval
irregular
 PR interval mengalami perpanjangan, mulai dari normal PR interval
dan memajang pada beat berikutnya, sampai ada gel P yang tidak
diikuti komplek QRS, kemudian kembali lagi ke normal PR interval
dan seterusnya.
 Misalkan awalnya PR interval 0,16 detik, kemudian memanjang dibeat
berikutnya 0,22 detik, terus memanjang lagi menjadi 0,28 detik, lalu
ada gel P yang tidak diikuti oleh QRS, setelah itu kembali lagi ke
normal PR interval yaitu 0,16 detik, dan seterusnya.

Mobitz tipe 2
Interval PR tetap sama tetapi didapatkan denyut ventrikel yang berkurang.
Dapat terjadi pada infrak miocard akut, miocarditis, dan proses degenerasi.

Ciri-cirinya:
• Irama irregular
• Gel P normal, PP interval regular
• Komplek QRS bisa normal atau bisa juga tidak normal, RR interval
irregular.
• PR interval harus sama di tiap beat!! Panjangnya bisa normal dan lebih
dari normal.
• Ada 2 atau lebih, gelombang P tidak diikuti oleh komplek QRS.19

• AV Block derajat III

44
Disebut juga block jantung komplit, dimana implus dari atrium tidak bisa
sampai pada ventrikel , sehingga ventrikel berdenyut sendiri karena implus
yang berasal dari ventrikel sendiri. Gambaran EKG memperlihatkan
adanya gelombang P teratur dengan kecepatan 60 – 90 kali permenit,
sedangkan komplek QRS hanya 40 – 60 kali permenit. hal ini disebabkan
oleh infrak miocard akut, peradangan, dan proses degenerasi. Jika
menentap diperlukan pemasangan pacu jantung.

c. Gangguan pada serabut HIS menyebabkan RBBB dan LBBB11,12


Bundle Branch Block menunjukan adanya gangguan konduksi dicabang kanan
atau kiri sistem konduksi , atau divisi anterior atau posterior cabang kiri.
Dimana pada EKG ditemukan komplek QRS yang melebar lebih dari 0,11
detik disertai perubahan bentuk komplek QRS dan aksis QRS. Bila cabang kiri
yang terkena disebut sebagai Left Bundle Branch Block (LBBB) dan jika
kanan yang terkena disebut Right Bundle Branch Block (RBBB)
1) LBBB
Pada EKG akan terlihat bentuk rsR’ atau R di lead I, aVL, V5 dan V6
yang melebar. Gangguan konduksi ini dapat menyebabkan aksis bergeser
ke kiri yang ekstrim, yang disebut sebagai left anterior hemiblock (jika
gangguan dicabang anterior kiri) dan left posterior hemiblock (jika
gangguan dicabang posterior kiri)

45
Ciri-cirinya:
• Adanya kuping kelinci di lateral lead dengan tidak adanya gel Q
• Komplek QRS lebar
• Tidak ada gelombang R kecil di V1
• Aksis jantung ke kiri (LAD)
2) RBBB
Pada EKG akan terlihat kompleks QRS yang melebar lebih dari 0,12 detik
dan akan tambapk gambaran rsR’atau RSR’ di V1, V2 , sementara itu di I,
aVL , V5 didapatkan S yang melebar karena depolarisasi ventrikel kanan
yang terlambat.

Ciri-cirinya:
• Adanya M shape di lead V1 (RSR)
• Gelombang S di lateral lead (V6, I, aVL)
• Komplek QRS yang lebar.
• Aksis jantung bisa normal atau RAD
• Karena terjadi blok di bundle his kanan, maka dari bundle his kiri
impuls mengarah ke kanan (gel R di V1)dengan singkat kemudian
ke kiri (gel S di V1) dan balik lagi ke kanan (gel R lagi di V1) dan
(gel S yang lebar di lateral lead).

4.3.4 Diagnosis
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan tanda dan gejala
seperti diatas, juga dilakukan pemeriksaan penunjang seperti: 11,12,13
Electrocardiogram (EKG):

46
Sebuah gambar impuls listrik yang berjalan melalui otot jantung. Sebuah EKG
dicatat pada kertas grafik, melalui penggunaan elektroda yang melekat pada kulit
lengan, dada, dan kaki.

4.3.5 Penatalaksanaan
1. Tujuan Terapi
Hasil yang diharapkan tergantung dari jenis aritmianya. Sebagai contoh,
tujuan akhir penanganan fibrilasi atrium adalah mengembalikan ritme sinus,
mencegah komplikasi tromboemboli, dan menjegah kejadian berulang.13
2. Terapi Non Farmakologi
a. Penderita dianjurkan untuk merubah gaya hidup seperti pengaturan
nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita yang menderita
obesitas.
b. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang
positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta
neurohormonal, meskipun efek terhadap kelengsungan hidup belum
dapat dibuktikan.
3. Terapi Farmakologi
Penggolongan antiaritmia dilakukan menurut klasifikasi Vaughn Williams
atas dasar sifat-sifat elekrtofisiologisnya yang diukur di sel-sel myocard
tertentu dalam 4 kelas sebagai berikut.11,12,13
1) Zat-zat stabilisasi membrane juga disebut efek kinidin dan efek anastesi
lokal. Zat-zat ini sangat mengurangi kepekaan membrane sel jantung
untuk rangsangan akibat penghambatan pemasukan ion Na ke membrane
dan perlambatan depolarisasinya. Efeknya ialah frekuensi jantung
berkurang dan ritmenya menjadi normal kembali. Zat-zat stabilisasi
membrane dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu : 11,12,13
• Kelompok kinidin: kinidin, disopiramida, β-bloker, dan prokainamida.
Zat-zat ini antara lain memperpanjang masa refrakter dan aksipotensial
sel-sel myocard.

47
• Kelompok lidokain: lidokain, mexiletin, fenitoin, aprindin (Fiboran),
dan tocainide (Tonocard). Zat-zat ini antara lain mempersingkat masa
refrakter dan aksi potensial sel-sel myocard, hanya efektif pada aritmia
bilik. Obat epilepsi fenitoin khusus digunakan pada aritmia akibat
keracunan digoksin.
• Kelompok Propafenon: propafenon dan flecainida (Tambocor)
memperpanjang sedikit masa refrakter dan oksipotensial.
2) Beta-blockers terdiri dari etenolol, bisoprolol, nadolol, dan karteolol.
Mengurangi hiperaktifitas adrenergik di myocard dengan penurunan
frekuensi dan daya kontraksinya. Beberapa β-bloker (antara lain
propanolol. esebutolol, alprenolol, dan oxprenolol) memiliki pula efek
kelas IA, sedangkan setolol termasuk kelas III. Propanolol, metoprolol,
dan timolol digunakan sebagai profilaktis setelah infark untuk mencegah
infark kedua.
3) K-chanels blokers terdiri dari amiodaron, setalol, dan bretylium. Akibat
blockade saluran kalium, masa refrakter dan lamanya aksi potensial
diperpanjang. Amiodaron efektif terhadap aritmia serambi dan bilik dan
setalol terutama efektif terhadap aritmia bilik.
4) Antagonis kalsium terdiri dari verapamil dan diltiasem. Mengakibatkan
penghambatan pemasukan ion Ca, antara lain penyaluran impuls AV
diperlambat dan masa refrakter diperpanjang. 11,12,13

4.4 Anestesi spinal


4.4.1 Definisi
Spinal anestesi adalah pemberian obat anestetik lokal dengan cara
menyuntikkan ke dalam ruang subarakhnoid. Teknik tersebut dinilai cukup efektif
dan mudah dikerjakan. Spinal anestesi/ Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan
oleh August Bier pada tahun 1898, teknik ini telah digunakan untuk anestesi,
terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilikus. Kelebihan utama teknik ini
adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek
minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien

48
tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan
penanganan post operatif dan analgesia yang minimal. Spinal anestesi dilakukan
di bawah lumbal 1 pada orang dewasa dan lumbal 3 pada anak-anak dengan
menghindari trauma pada medulla spinalis.14,15,16

Gambar 3. Spinal anestesi

4.4.2 Fisiologi
Ada 3 kelas saraf: motorik, sensorik dan otonom. Stimulasi saraf motorik
menyebabkan otot berkontraksi ketika terjadi blok saraf, otot mengalami
kelumpuhan. Saraf sensorik mengirimkan sensasi seperti sentuhan dan nyeri dari
sumsum tulang belakang ke otak, sedangkan saraf otonom mengontrol caliber
pembuluh darah, denyut jantung, kontraksi usus dan fungsi lainnya yang tidak
berhubungan dengan kendali kesadaran. Umumnya saraf otonom dan sensorik
terblok sebelum saraf motorik. Vasodilatasi dan penurunan tekanan darah pun
dapat terjadi ketika saraf otonom di blok.14

4.4.3 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesia


Persiapan Anestesi Regional14
Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena
untuk mengantisipasi terjadinya toksik sistemik reaction yg bisa berakibat fatal,
perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke
pembuluh darah → kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk

49
mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dengan
anestesi umum.
1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat aesthesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khususs, misalnya alergi, mual, muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak napas asca bedah sehingga kita dapat merencanakan
anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewakan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
3. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA)
 ASA I  Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik dan biokimia.
 ASA II  Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.
 ASA III  Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
 ASA IV  Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat.
 ASA V  Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
4. Masukan oral
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-
4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anesthesia. Minum bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi.
5. Premedikasi

50
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk memperlancar induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia. Obat
peredam kecemasan biasanya diazepam oral 10-15 mg beberapa jam sebelum
induksi. Jika disertai nyeri dapat diberikan petidin 50 mg intramuscular.
6. Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Induksi
anesthesia dapat dikerjakan dengan intravena, inhalasi, intramuscular atau
rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anesthesia sampai tindakan pembedahan selesai.

4.4.4 Indikasi dan kontra indikasi


 Indikasi:14,15
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan
dengan anesthesia umum ringan
 Kontra indikasi absolut:14,15
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapati atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi
 Kontra indikasi relatif:14,15
1. Infeksi sistemik

51
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik

4.4.5 Peralatan
1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau
jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

Gambar 4. Contoh jarum spinal


4. Anastetik lokal untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.
Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobarik. Anastetik
lokal dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik lokal
dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik. Anastetik lokal yang
sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur
anastetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan
tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:

52
1. Lidokaine (xylobain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis
20-100mg (2-5 ml)
2. Lidokaine (xylobain, lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2 ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dalam air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20 mg (1-4 ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,
sifat hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)

4.4.6 Teknik
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk. Perpotongan antara garis yang
menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

2. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.


3. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2 % 2-3
ml.

53
4. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang
dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter.

Gambar 5. Cara tusukan median atau paramedian

5. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ±
6 cm.
6. Penyebaran anastetik lokal tergantung:
a. Faktor utama:
 Berat jenis anestetik lokal (barisitas)

54
 Posisi pasien
 Dosis dan volume anestetik lokal
b. Faktor tambahan
 Ketinggian suntikan
 Kecepatan suntikan/barbotase
 Ukuran jarum
 Keadaan fisik pasien
 Tekanan intra abdominal
c. Lama kerja anestetik lokal tergantung:
 Jenis anestesia lokal
 Besarnya dosis
 Ada tidaknya vasokonstriktor
 Besarnya penyebaran anestetik lokal

4.4.7 Komplikasi14
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum
tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai
T-2.
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
9. Komplikasi pasca tindakan: Nyeri tempat suntikan, nyeri punggung, nyeri
kepala karena kebocoran likuor, retensio urine, dan meningitis.

55
4.4.8 Kekurangan
Kekurangan anestesi spinal diantaranya adalah sebagai berikut:12
1. Terkadang akan sulit untuk menemukan ruang dural dan mendapatkan CSF.
2. Hipotensi dapat terjadi pada saat blockade.
3. Beberapa pasien tidak cocok secara psikologis untuk tetap sadar, bahkan jika
dibius, selama operasi.
4. Ada risiko teoritis bahwa infeksi ke dalam ruang subarachnoid dan
menyebabkan meningitis. Ini seharusnya tidak pernah terjadi jika peralatan
disterilkan dengan benar dan teknik aseptik digunakan.
5. Sakit kepala postural dapat terjadi pasca operasi.

56
BAB V
PEMBAHASAN

Pasien masuk ruangan OK 10.45. Tahapan anastesi dimulai dengan


pemasangan IV line sebanyak 1 buah di vena metacarpal sinistra, pemberian
cairan RL 500 ml sebanyak ± 2 kolf hal ini dilakukan untuk mencegah komplikasi
tindakan dari anastesi spinal yaitu hipotensi.
Secara teori hidrasi dengan kristaloid yaitu 10-15 ml/kgBB 30 menit
sebelumnya. Berarti sekitar 800-1200 ml (± 2 kolf). Kemudian diberikan obat
premedikasi yaitu ondancetron 4 mg dan ranitidine 50 mg drip bersama larutan
RL. Kemudian hidupkan monitor, pasang tensimeter dan saturasi 02. Tentukan
tekanan darah basal dan nadi dasar pasien. Pukul 11.00 dilakukan anastesi spinal,
sebelumnya penderita dianjurkan untuk duduk dan membungkuk badan dengan
maksimal sambil memeluk bantal. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan
alkohol. Lakukan insersi jarum pada lokasi tusukan di L3-L4 dengan jarum spinal
no.25, identifikasi cairan yang keluar, apabila LCS (+) dan tidak di jumpai darah
maka lokasi penusukan sudah tepat. Kedalam LCS masukkan obat anastesi local
yang digunakan yaitu bupivacaine 20 mg dan Clonidine 0,075 mg. inhalasi
menggunakan O2 sebanyak 2 L.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL dan dikombinasikan dengan
Clonidine hydrochloride. Bupivacaine HCL merupakan anestesi lokal golongan
amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau
sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses
konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel.
Clonidine hydrochloride merupakan suatu agonis andrenoseptor α2
diketahui dapat menstimulasi reseptor adrenergik α2 presinaps dan menghambat
pengeluaran norepinefrin disentral maupun perifer. Stimulasi reseptor α2 dipusat
vasomotor medulla oblongata mengakibatkan clonidine memiliki efek
antihipertensi.

57
Setelah itu pasang kateter folley untuk melihat output cairan yaitu
sebanyak 500ml. Operasi dilakukan pukul 11.15 dengan TD 180/80 mmHg, N:
110x/ menit, pernafasan 20 x/ menit. Untuk mencegah perdarahan yang
berlebihan pada diberikan kalnex 500 mg IV. Pukul 12.30 operasi selesai,
diberiakan ketorolac 30 mg dan tramadol 100 mg di drip bersamaan cairan RL.
Dan ketrofen supositoria 200 mg.
Selama operasi jumlah cairan yang telah diberikan adalah RL 1500 ml
sebanyak 3 kolf, total cairan yang masuk adalah 1500 ml, dan jumlah pengeluaran
dari urin sebanyak 500ml dan perdarahan ± 200 ml
Pukul 13.00 pasien di bawa ke ICCU. Saran dari bagian anastesi yaitu
pantau vital sign tiap 15 menit, tidur terlentang dengan memakai bantal 1X24 jam
post operasi, boleh minum bertahap ½ gelas selama 1 jam, serta lanjutkan terapi
dari dr.Zulheir, Sp.OG

58
DAFTAR PUSTAKA

1. Djokomoeljanto R. Krisis tiroid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, editor.
Jilid III. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2007
2. Sibernagl S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC;
2006
3. Zagrosek VR, et al. ESC Guidelines on the management of cardiovascular
disease in pregnancy. In: European heart journal (2011). Berlin: European
Society of Cardiology; 2011
4. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, eds. Cardiac disorder in
pregnancy. In: Current diagnosis & treatment obstetrics & gynecology.10 th
ed. New York: The McGraw Hill; 2006
5. Easterling TR, Stout K. Heart disease. In: Obstetrics-normal and problem
pregnancies. 5 th ed. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, eds.
London:Churchill Livingstone Inc; 2002
6. Sulin, Djusar. Perubahan anatomi dan fisiologi pada perempuan hamil. dalam:
Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat. Saifuddin AB,
Rachimhadhi T, Wiknjosastro G, editor. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2008
7. Bender JR, Russel KS, Rosenfeld LE, Chaudry S, eds. Heart disease in
pregnancy. In: Oxford American Handbook of Cardiology. New York: Oxford
University Press; 2011
8. Hartanuh, Edi. Penyakit jantung pada kehamilan. dalam: Buku Ajar Kardiologi
FKUI. Rilantono LI, Baraas F, Karo SK, Roebiono PS, editor. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2003
9. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC,Wenstorm
KD, eds. Cardiovascular diseases. In : Williams obstetrics. 22nd ed. New York:
McGraw Hill; 2007
10. Anwar, TB. Wanita kehamilan dan penyakit jantung. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara: USU repository; 2004

59
11. Lang, RM. Pharmacologic Management of Heart Failure in Pregnancy. Serial
online. Diakses: 26 April 2017. Diunduh dari URL:
http://cmbi.bjmu.edu.cn/uptodate/congestive%20heart%20failure/Treatment/Ph
armacologic%20management%20of%20heart%20failure%20in%20pregnancy.
htm
10. Rakhman AM. Mekanisme dan Klasifikasi Aritmia. Dalam : Sudoyo AW,
Setiohadi B, Setiani S, Simadibrata M, Alwi I, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2010 : hal. 1602-04
11. Thaler, Malcolm S, Satu-satunya Buku EKG yang Anda Perlukan ; alih
bahasa, A. Samik Wahab ; editor bahasa Indonesia : Teuku Istia Muda Perdan,
Aryandhito Widhi Nugroho. Edisi 5. Jakarta: EGC, 2009. Hal 96-149
12. Trisnohadi HB. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik. Dalam : Sudoyo AW,
Setiohadi B, Setiani S, Simadibrata M, Alwi I, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2010 : hal. 1605-11
13. Dharma S. Aritmia. Dalam: Pedoman Praktis Interpretasi EKG. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010: hal. 31-44.
14. Latief. S.A.et all. Petunjuk Praktis Anastesiologi. Edisi kedua. Jakarta: Bagian
Anastesiologi dan Intensif FKUI; 2001
15. Edlin. Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache Setelah
Anestesia Spinal dengan Jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre. Thesis.
Universitas Sumatera Utara; 2010
16. Casey WF. Spinal anesthesia–A Practical Guide. United Kingdom: Consultant
Anaesthetist. 2000; Diakses: 26 April 2017. Diunduh dari URL:
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/ul208-02.htm

60

Anda mungkin juga menyukai