Anda di halaman 1dari 10

10 ATLET BERPRESTASI INDONESIA

siapakah atlet kebanggaan indonesia dari jaman olimpiade 1992 sampai sekarang??

Susi Susanti

Masa keemasannya yang berlangsung cukup panjang, berpuncak pada juara tunggal putri
bulutangkis Olimpiade Barcelona, Spanyol (1992). Dia peraih emas pertama Indonesia di Olimpiade.
Ketika itu Alan, pacarnya, juga juara di tunggal putra sehingga media asing menjuluki mereka sebagai
"Pengantin Olimpiade". Predikat pengantin ini rupanya terus melekat, terbukti saat mereka
dipercaya menjadi pembawa obor Olimpiade Athena 2004.

Prestasi yang mengharumkan nama bangsa juga diukir oleh Susi dengan meraih sederetan kejuaraan.
Dia menjuarai All England empat kali (1990, 1991, 1993, 1994). Sang juara yang punya semangat
pantang menyerah ini selalu menjadi ujung tombak tim Piala Sudirman dan Piala Uber. Juga juara
dunia (1993) dan puluhan gelar seri grand prix.

Kiprah Susi Susanti di dunia olahraga bulutangkis Indonesia memang luar biasa. Dalam setiap
pertandingan, ia menunjukkan sikap tenang bahkan terlihat tanpa emosi di saat-saat angka
penentuan. Semangatnya yang pantang menyerah meski angkanya tertinggal jauh dari lawan
membuat banyak pendukungnya menaruh percaya bahwa Susi pasti menang.

Berkat kegigihan dan ketekunannya, perempuan kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Februari 1971
ini turut menyumbang sukses tahun 1989 ketika Piala Sudirman direbut tim Indonesia untuk pertama
kalinya dan sampai sekarang belum lagi berulang. Dia pun turut menorehkan sukses saat merebut
Piala Uber tahun 1994 dan 1996 setelah piala itu absen lama dari Indonesia.

Semenjak SD, Susi sudah suka bermain bulutangkis. Kebetulan orang tuanya juga sangat mendukung
dan memberinya kebebasan untuk menjadi atlit bulutangkis. Setelah menang kejuaraan junior, ia
pindah dari Tasikmalaya ke Jakarta. Meski saat itu ia masih duduk di bangku 2 SMP, ia sudah mulai
berpikir untuk serius di dunia bulutangkis.

Sebagai atlit, jadwal latihannya sangat padat. Enam hari dalam seminggu, Senin - Sabtu dari jam 7
sampai jam 11 pagi, lalu disambung lagi jam 3 sore sampai jam 7 malam. Makan, jam tidur, dan
pakaian juga ada aturannya tersendiri. Ia tidak diperbolehkan memakai sepatu dengan hak tinggi
agar kakinya terhindar dari kemungkinan keseleo. Jalan-jalan ke mal pun hanya bisa dilakukannya
pada hari Minggu. Itu pun jarang karena ia sudah terlalu capek latihan.

Memang tidak ada pilihan lain, ia harus disiplin dan berkonsentrasi untuk menjadi juara. Ia akhirnya
menyadari bahwa untuk meraih prestasi memang perlu perjuangan dan pengorbanan. “Kalau mau
santai dan senang-senang terus, mana mungkin cita-cita saya untuk jadi juara bulutangkis tercapai?
Sekarang rasanya puas banget melihat pengorbanan saya ada hasilnya. Ternyata benar juga kata
pepatah: Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian,” kata Susi mengenang.

Ketika masih menjadi pemain, Susi berusaha menjadikan dirinya sebagai contoh bagi para pemain
lainnya. Ia sangat berdisiplin dengan waktu saat berlatih atau di luar latihan. Sementara di lapangan
ia memperlihatkan semangat pantang menyerah sebelum pertandingan berakhir. "Saya hanya
berharap teman-teman pemain mengikuti yang baik-baik dari saya," kata Susi.

Nyatanya, cara ini tidak melulu berhasil. Sepeninggal Susi (dan Mia Audina), sektor putri bulutangkis
Indonesia mandek. Piala Uber semakin jauh dan puncaknya, tidak satu pun pemain tunggal puteri
Indonesia lolos ke Olimpiade Athena 2004.

Susi yang telah mundur mengakui merosotnya prestasi karena memang kekurangan bibit pemain
unggul. "Kita bisa saja memberi prasayarat pemain untuk berhasil, tetapi kalau bibitnya tidak ada
bagaimana?" Susi melihat popularitas bulutangkis semakin merosot sementara proses seleksi melalui
kejuaraan antarklub dan daerah semakin sedikit.

Merasa Sedih
Susi merasa sedih karena olahraga bulutangkis tidak lagi dipandang antusias oleh masyarakat. Ia
mengingat betapa antusiasnya masyarakat menyambut kejuaraan bulutangkis seperti All England.
Susi melihat hal ini disebabkan karena perhatian anak-anak muda masa kini lebih ke hiburan. Belum
lagi maraknya kasus penyalahgunaan obat terlarang, seperti shabu dan narkotika.

Masyarakat juga lebih banyak membaca, mendengar, atau menyaksikan berita-berita kekalahan
pebulutangkis Indonesia lewat media massa. Itu tentu berbeda dengan era Tan Joe Hok cs, Liem Swie
King, hingga Ardy B Wiranata cs yang banjir mahkota juara.

Keadaan semakin rumit karena orang takut serius terjun di dunia olahraga Indonesia karena tidak
jelasnya jaminan akan masa depan. Susi sendiri sudah berniat tidak akan mengijinkan anaknya terjun
ke dunia olahraga mengingat pengalamannya dulu. Ia melihat banyak rekannya yang pernah menjadi
juara SEA Games, Asian Games, namun hidupnya terkatung-katung.

Selain itu, menjadi atlet olahraga membutuhkan banyak resiko misalnya sekolah yang terhenti,
padahal olahraga yang ditekuni tidak mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Susi
sendiri terpaksa mengorbankan sekolah (hanya sampai SMA). Ia pun menghadapi banyak halangan
sebab ada pihak-pihak dari organisasi yang tidak menyukainya. Meski ia berprestasi namun
kemudian berhenti, dari situlah ia mendapat pengalaman bahwa bulutangkis belum bisa menjamin
masa depannya.

Ia berharap bagi para atet berprestasi yang sudah tidak bermain diberikan dana pensiun yang
memadai. Ia khawatir kalau persoalan masa depan atlet belum terpecahkan atau tidak ada jaminan
dari pemerintah, bibit-bibit potensial atlet akan sulit ditemukan karena mereka akan memilih jalur
pendidikan. "Saya harap PBSI dan KONI memerhatikan persoalan ini. Kalau ini dibiarkan terus,
hasilnya akan seperti sekarang ini," ujarnya.

Ia menyesalkan masalah pembinaan yang membuat olahraga semakin terpuruk. Selama ini, hanya
kesadaran dari keluarga masing-masing yang ingin anaknya menjadi pemain bukan karena
pemerintah ingin memajukan olahraga. Pemerintah dan PBSI hanya menunggu, bukan membina dari
daerah, memantau, mencari yang berbakat, baru diambil. Mereka hanya terima jadi saja. Ia
beranggapan, semua orangtua saat ini akan seratus kali berpikir untuk membiarkan anaknya menjadi
atlet.
Susi mengaku mempunyai pengalaman yang mengecewakan terutama dalam organisasi. Ketika ia
dan Alan berprestasi, ada pihak-pihak tertentu yang tidak senang. Mereka berusaha membagi bonus
kepada Susi dan Alan dengan asumsi mereka berdua dianggap satu orang. Hal ini menunjukkan sikap
tidak profesional pemerintah maupun PBSI yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu.
Dari segi organisasi internal, Susi berharap agar orang-orang yang terlibat di PBSI (Persatuan
Bulutangkis seluruh Indonesia) adalah orang yang benar-benar ingin memajukan perbulutangkisan,
bukan untuk kepentingan pribadi.

Melihat keadaan dunia olahraga yang belum menjanjikan bagi para atlit, Susi belajar dari
pengalaman kakak-kakak seniornya. Susi belajar me-manage keuangannya. Saat ia meraih berbagai
prestasi dan hadiah seperti bonus, ia usahakan untuk diinvestasikan ke dalam bentuk tanah, rumah
atau tabungan. Ia tahu bahwa prestasi olahragawan itu singkat dan tidak selamanya berada di atas.

Kedua orang tuanya pun sering berpesan agar ia tidak sombong dan hidup sederhana. Susi juga
banyak mendapat masukan dari Ir. Ciputra, seorang pengusaha sukses yang dulu merupakan
pimpinannya di Klub Bulutangkis Jaya Raya, agar mempergunakan waktu sebaik mungkin dan giat
berprestasi sebisa mungkin.

Mulai dari Nol


Ketika berhenti dari dunia bulutangkis, Susi harus memulai dari nol lagi. Meski ada modal dari
pendapatan saat aktif di bulutangkis, Susi masih harus belajar dan bersabar mencari usaha apa yang
akan ia jalankan. Suaminya, Alan Budikusuma, berulang kali mencoba berbagai jalan untuk
menghidupi keluarga mulai dari jual beli mobil, dibantu menjadi rekanan di sebuah instansi, belajar
menjadi agen Gozen (alat olahraga bikinan Malaysia) dan menjadi pelatih di Pelatnas. Itu semua
menjadi bukti bahwa bahwa setelah tidak berprestasi, mereka berdua harus memulai lagi dari nol.

Untunglah, Susi dan Alan mendapat dukungan dari orang-orang yang terdekatnya. Sedikit demi
sedikit mereka belajar menimba pengalaman dan pengetahuan. Baru sekitar satu setengah tahun,
mereka bisa berdiri sendiri dan mempunyai keyakinan membuat usaha sendiri.

Sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh tiga orang anak, anak pertama perempuan bernama
Lourencia Averina, sedangkan yang kedua dan ketiga adalah lelaki; Albertus Edward dan Sebastianus
Frederick, Susi juga ingin ikut membantu keluarga. Bila anak-anaknya sekolah, ia ingin mempunyai
kesibukan tetapi tidak menyita waktu untuk keluarga.

Oleh karena itu, ia membuka toko di ITC Mega Grosir Cempaka Mas dengan nama D&V dari nama
kedua anaknya, Edward dan Verin. Ia menjual baju-baju dari Cina, Hongkong, dan Korea, dan
sebagian produk lokal.

Sebagai mantan atlit bulutangkis, peraih penghargaan tertinggi bulutangkis dari International
Badminton Federation (IBF) ‘Hall of Fame’ 2004 ini tetap peduli dengan dunia yang pernah
membesarkannya ini. Bersama suaminya, Alan Budi Kusuma - peraih medali emas Olimpiade 1992
pula - ia mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading. Di gedung pusat pelatihan bulutangkis
ini, Susi berharap akan muncul bibit pemain yang akan mengembalikan kejayaan bulutangkis
Indonesia.
yang tak terlupakan bagi Susi adalah saat ia berhasil menyumbangkan emas Olimpiade yang pertama
bagi Indonesia di Barcelona (Olimpiade Barcelona 1992) bersama Alan Budikusuma yang juga
mendapatkan emas. Sedangkan yang paling mengesalkan baginya adalah saat ia kalah hanya satu
poin dari Sarwendah (Kusumawardhani) di final Piala Dunia di Jakarta.
Taufik Hidayat

Taufik Hidayat (lahir di Bandung, Jawa Barat, 10 Agustus 1981; umur 29 tahun) adalah pemain bulu
tangkis tunggal putra dari Indonesia yang berasal dari klub SGS Elektrik Bandung dengan tinggi badan
176 cm.
Putra pasangan Aris Haris dan Enok Dartilah ini adalah peraih medali emas untuk Indonesia pada
Olimpiade Athena 2004 dengan mengalahkan Seung Mo Shon dari Korea Selatan di babak final. Pada
21 Agustus 2005, dia menjadi juara dunia dengan mengalahkan permain peringkat 1 dunia, Lin Dan di
babak final, sehingga menjadi pemain tunggal putra pertama yang memegang gelar Kejuaraan Dunia
Bulu Tangkis dan Olimpiade pada saat yang sama. Selain itu, ia juga sedang memegang gelar juara
tunggal putra Asian Games (2002, 2006). Ia tampil di Olimpiade Beijing 2008, namun langsung kalah
di pertandingan pertamanya, melawan Wong Choong Hann di babak kedua.
Selain itu, dia juga telah enam kali menjuarai Indonesia Terbuka: 1999, 2000, 2002, 2003, 2004, dan
2006.
Pengalaman lainnya antara lain pada Piala Thomas (2000, 2002, 2004, 2006, dan 2008) serta Piala
Sudirman (1999, 2001, 2003, dan 2005).
Ia menikahi Ami Gumelar, putri Agum Gumelar dan Linda Amalia Sari. Mereka telah dikaruniai
seorang putri pada tanggal 3 Agustus 2007, yang kemudian diberi nama Natarina Alika Hidayat.
Kelahiran putrinya ini tepat beberapa hari sebelum ia berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia untuk
mengikuti Kejuaraan Dunia. Kemudian mereka telah dikaruniai seorang putra pada tanggal 11 Juni
2010, yang kemudian diberi nama Nayutama Prawira Hidayat.[1][2]
Taufik kemudian mundur dari Pelatnas Cipayung pada 30 Januari 2009. Setelah itu ia menjadi pemain
profesional. Beberapa waktu lalu ia juga menjalin bisnis dengan Yonex dalam pengadaan alat
olahraga.
Lim Swie King

Liem Swie King, (lahir di Kudus, Jawa Tengah, 28 Februari 1956; umur 54 tahun) adalah seorang
pemain bulu tangkis yang dulu selalu menjadi buah bibir sejak dia mampu menantang Rudy Hartono
di final All England tahun 1976 dalam usianya yang ke-20. Kemudian Swie King menjadi pewaris
kejayaan Rudy di kejuaraan paling bergengsi saat itu dengan tiga kali menjadi juara ditambah empat
kali menjadi finalis. Bila ditambah dengan turnamen "grand prix" yang lain, gelar kemenangan Swie
King menjadi puluhan kali. Swie King juga menyumbang medali emas Asian Games di Bangkok 1978,
dan enam kali membela tim Piala Thomas. Tiga di antaranya Indonesia menjadi juara.
Mulai bermain bulu tangkis sejak kecil atas dorongan orangtuanya di kota kelahiran Kudus, Swie King
yang lahir 28 Februari 1956 akhirnya masuk ke dalam klub PB Djarum yang banyak melahirkan para
pemain nasional.
Usai menang di Pekan Olahraga Nasional saat berusia 17 tahun, akhir 1973, Liem Swie King direkrut
masuk pelatnas yang bermarkas di Hall C Senayan. Setelah 15 tahun berkiprah, Swie King merasa
telah cukup dan mengundurkan diri di tahun 1988. Saat aktif sebagai pemain, Liem terkenal dengan
pukulan smash andalannya, berupa jumping smash, yang dijuluki sebagai King Smash.
Liem Swie King sebenarnya dari marga Oei bukan marga Liem. Pergantian marga seperti ini pada
masa dahulu zaman Hindia Belanda biasa terjadi, pada masa itu seorang anak dibawah usia ketika
memasuki wilayah Hindia Belanda (Indonesia sekarang) harus ada orang tua yg menyertainya, bila
anak itu tidak beserta orang tua aslinya, maka oleh orang tuanya akan dititipkan kepada "orang tua"
yg lain, "orang tua" ini bisa saja bermarga sama atau lain dari aslinya.
Ivana Lie

Ivanna Lie Ing Hoa (lahir di Bandung, Jawa Barat, 7 Maret 1960; umur 50 tahun) adalah pemain bulu
tangkis Indonesia era 1980-an.

Chris John

Yohannes Christian John, atau lebih dikenal sebagai Chris John (lahir di Jakarta, 14 September 1979;
umur 31 tahun) adalah seorang petinju Indonesia. Ia tercatat sebagai petinju Indonesia ketiga yang
berhasil meraih gelar juara dunia, setelah Ellyas Pical dan Nico Thomas.
Rexy Mainaky

Rexy Ronald Mainaky (lahir di Ternate, Maluku Utara, 9 Maret 1968; umur 42 tahun) adalah
mantan pemain bulu tangkis Indonesia. Bersama dengan Ricky Subagja, Ia merebut medali
emas Olimpiade Atlanta 1996. Setelah pensiun, Ia menjadi pelatih bulu tangkis, dan saat ini
menjadi pelatih di Malaysia.

yayuk basuki

Sri Rahayu Basuki atau lebih dikenal dengan nama Yayuk Basuki (lahir pada 30 November
1970 di Yogyakarta) adalah pemain tenis dari Indonesia yang paling terkenal pada tahun
1990-an.
Ia memulai karier profesional pada tahun 1990. Pada tahun berikutnya, ia menjadi petenis
Indonesia pertama yang menjuarai turnamen profesional. Sepanjang kariernya, Yayuk
berhasil memperoleh enam gelar tunggal Tur WTA dan sembilan gelar dari ganda. Prestasi
terbaiknya dalam turnamen Grand Slam adalah mencapai babak perempat final Wimbledon
pada tahun 1997. Ia pensiun dari karier profesional pada tahun 2004.
Peringkat tertinggi yang pernah dicapainya adalah posisi ke-19 untuk bagian tunggal dan ke-9
untuk bagian ganda. Jumlah uang yang diperolehinya selama karier adalah US$1.645.049.

Markis Kido/hendra setiawan


Juara olimpiade beijing 2008

Maria Kristin Yulianti


Maria Kristin Yulianti (lahir di Tuban, Jawa Timur, 2 Juni 1985; umur 25 tahun) adalah pebulu
tangkis Indonesia. Ia telah aktif sebagai pemain bulu tangkis nasional Indonesia sejak tahun
2004. Pada tahun 2008 ia turut serta membawa tim Piala Uber Indonesia meraih peringkat
kedua. Yulianti merebut medali perunggu bagi Indonesia pada nomor tunggal putri di
Olimpiade Beijing 2008 dengan mengalahkan Lu Lan dari China. Sejak Saat itu
membangkitkan sektor tunggal putri Indonesia di mata dunia bulu tangkis. Saat Di Japan
Open dia mengalahkan Wong Mew Choo dari Malaysia, dan sebelum akhirnya tumbang
ditangan pemain China Lu Lan. Saat di France Open ia juga tumbang ditangan Lu Lan.
ak pernah terbayang jika 16 tahun kemudian Maria naik ke podium olimpiade dan
menyaksikan bendera Merah Putih dikibarkan di cabang yang dulu tidak disukainya itu. Dia
memang belum seperti Susi yang berdiri di tengah, Maria berdiri di tepi dengan perolehan
sebuah perunggu. Namun, hasil itu jauh melampaui perkiraan semua pihak, bahkan dirinya
sendiri.

Maria meraih perunggu setelah memenangi 5 dari 6 pertandingan, 4 dari 5 kemenangannya


diraih dengan rubber game atas 4 pemain yang memiliki peringkat dunia lebih baik dari
dirinya, mereka adalah:
• Juliano Schenk
• Tine Rasmussen
• Saina Nehwal
• Lu Lan
Sedangkan Maria, peringkat ke-21 dunia hanya kalah di semifinal dari Zhang Ning sang juara
bertahan, yang kemudian kembali menjadi juara olimpiade untuk yang kedua kalinya.
Semua ini bermula di Tuban, sebuah kabupaten di pantai utara Jawa Timur. Dorongan kuat
dari ayahnya, Yuli Purnomo membuat Maria mulai berlatih bulutangkis dalam usia enam
tahun. Bulu tangkis adalah olahraga kegemaran sang ayah, yang juga melatih bulutangkis
untuk anak-anak. Sebenarnya Maria lebih menyukali voli dari pada bulutangkis.
Maria ditolak masuk klub Djarum Kudus pada usia 10 tahun. la meneruskan latihannya di
klub JPNN Jember. Dia mencoba lagi masuk Djarum Kudus dan diterima tahun 1998. Di klub
ini, kecintaannya pada bulu tangkis mulai tumbuh.
Untuk pertama kalinya, Maria menjadi wakil negara pada ASEAN school 2002 di Malaysia.
Kariernya berlanjut hingga dia dipanggil masuk Pelatnas Cipayung tahun 2002. Belum genap
berusia 18 tahun, Maria sudah memperkuat tim Piala Sudirman Indonesia pada tahun 2003.
Setelah itu Maria berkutat di turnamen level satellite, dengan gelar internasional pertama
direbutnya di Malaysia Satellite 2004.
Kegagalan tim Piala Uber pada kualifikasi Piala Uber 2006, sempat mengancam posisi Maria
di pelatnas. PBSI memberi ultimatum kepada para pemain putri untuk tampil lebih baik atau
keluar dari pelatnas. Maria menyambut tantangan ini dengan dua gelar juara turnamen
satellite di Singapura dan Surabaya.

Posisinya sebagai pemain nomor 1 Nasional tak tergeser meski di turnamen level superseries
prestasinya belum beranjak dari 8 besar. Keadaan berubah setelah kejutan tim Piala
UberIndonesia pada putaran final di Istora Senayan, Jakarta, Mei 2008. Dengan Maria
sebagai tunggal pertama, Indonesia di luar dugaan lolos ke final sebelum menyerah dari
juara bertahan, China. Sukses ini membangkitkan kepercayaan diri pada Maria.

Sebulan berselang dia mencatat prestasi terbaik di superseries dengan menjadi runner up
Indonesia Open. Dalam perjalanan ke final, Maria mengalahkan pemain kelahiran China yang
peringkatnya jauh lebih tinggi darinya, Zhang Ning.
Bermodal inilah Maria menatap Olimpiade 2008 dengan lebih percaya diri. Mengalahkan
Schenk pada babak pertama, Maria semakin yakin setelah menang atas Rasmussen di 16
besar. Kejutan terbesar Maria dibuatnya pada perebutan tempat ketiga dengan
menundukkan Lu Lan, harapan Cina. Maria pun mengembalikan reputasi tunggal putri
Indonesia yang menunggu 12 tahun untuk kembali meraih medali dari olimpiade.
Seperti kacang tak lupa akan kulitnya, Maria mempersembahkan medali perunggu ini bagi
Hendrawan, mantan pelatih tunggal putri dan Marleve Mainaky pelatihnya sekarang.
Dengan berjalannya waktu, Maria juga mulai menemukan pola permainannya sendiri.
Senjata andalannya, yakni pukulan silang menukik dekat net yang kerap dikeluarkan setelah
menguras tenaga lawan dengan bermain reli dan menempatkan bola ke sudut-sudut
lapangan.
Uniknya, kemenangan Maria hampir selalu terjadi dalam tiga game, setelah kalah di game
pertama. Petugas media Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) sampai menjulukinya THE QUEEN
OF THREE GAMES.
la juga berharap keberhasilannya memicu pemain putri lain untuk berprestasi. Dia juga ingin
tunggal putri di Indonesia tak lagi dipandang sebelah .

Pertandingan yang paling mengesankan baginya adalah Pertandingan di Sudirman Cup 2003,
karena pada saat melawan Inggris bisa mengalahkan pemain yang rankingnya jauh diatasnya
dan bisa menyumbangkan point buat regu Indonesia.

Sedangkan pertandingan paling mengecewakan adalah pertandingan di Uber Cup 2006,


karena selain baru cedera, permainannya kurang bisa maksimal, membuatnya drop dan tidak
bisa mengeluarkan kemampuannya dengan maksimal.

Maria tetap tampil menawan, meskipun cedera lutut sering menderanya di tengah
pertandingan.

Diawal tahun ini, Maria melewatkan 2 turnamen, karena sedang proses penyembuhan
cederanya. Tapi, Maria sudah masuk dalam pemanggilan PBSI tahap satu. Dan ia pun siap
untuk bertanding di all england, dan turnamen lainnya, untuk mengukirkan berbagai prestasi
di tingkat Internasional.

Catatan prestasi Maria sebagai hasil dari kerja kerasnya selama ini:
Medali Perunggu Olimpiade Beijing 2008
Juara II Djarum Indonesia Open SS 2008
Juara II Uber Cup Jakarta Mei 2008
Perempat Finalis Jerman Open Februari 2008
Medali Emas Sea Games Perseorangan Desember 2007
Medali Emas Sea Games Tim Putri Desember 2007
Perempat Finalis Taiwan GP 2007
8 Besar Indonesia Open 2007
Juara II Jerman Open 2006
Juara I Singapore Satellite 2006
Juara I Surabaya Satellite 2006
Maria pun telah menargetkan, agar medali emas olimpiade London 2012 dapat diraihnya.
Wah, Good Luck ya.

"Untuk mencapai keberhasilan, diperlukan kerja keras dan harus punya target."
Maria adalah sosok yang selalu berusaha dan berdoa, bertanggung jawab, dan disiplin.

Anda mungkin juga menyukai