Anda di halaman 1dari 5

Kamus Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (kamus SIBI) diterbitkan oleh pemerintah dan

disebarluaskan melalui sekolah-sekolah. Khususnya ke SLB/B sejak tahun 2001.

SIBI hanya bisa digunakan sebagai bahasa isyarat di sekolah saja, tidak digunakan
sebagai media komunikasi sehari-hari. Ini karena kosakata dalam SIBI dibuat hanya
dengan mengubah Bahasa Indonesia lisan menjadi bahasa isyarat.

sumber:
lokernia.wordpress.com
Artinya terlalu baku dengan tata bahasa kalimat Bahasa Indonesia yang membuat
penyandang tuna rungu kesulitan untuk berkomunikasi. Tidak hanya itu, kosakata
bahasa isyarat yang dipakai banyak mengambil dari Bahasa Isyarat Amerika.

Kata-kata berhomonim (kata yang memiliki makna berbeda tetapi lafal atau ejaannya
sama – Wikipedia) dalam SIBI, diisyaratkan dalam satu gerakan yang sama. Kata-kata
berimbuhan pun diterjemahkan lengkap dengan imbuhan-imbuhannya. Tentu ini
menyulitkan para penyandang tuna rungu.

Misalnya saja kata pengangguran diisyaratkan dengan tiga gerakan.


Gerakan ke-1: pe

Gerakan ke-2: anggur

Gerakan ke-3: an
Padahal buah anggur tidak ada kaitannya sama sekali dengan pengangguran. Anggur
itu buah, sementara pengangguran berarti orang yang tidak punya pekerjaan.
Atau perasaan, menggunakan isyarat untuk imbuhan ‘pe’, kemudian isyarat untuk
‘rasa’, dan terakhir isyarat untuk imbuhan ‘an’.

sumber:
https://lokernia.wordpress.com/
Isyarat yang terlalu ribet itu membuat penyandang tuna rungu tidak
pernah istiqomah memakainya dalam percakapan sehari-hari. Seperti halnya dalam
kata perjalanan. Iya, bila satu kata ‘perjalanan’ saja diubah ke dalam bahasa isyarat
menghasilkan 3 gerakan seperti yang dicontohkan di atas …
… tetapi ketika dihubungkan dalam satu kalimat, misalnya, “Mobil itu sedang dalam
perjalanan ke sini.” Kata perjalanan tidak diisyaratkan dengan tiga gerakan per-jalan-
nan, tetapi memakai dua jari yang mengisyaratkan manusia sedang berjalan.
Ini tentu menjadi kebingungan tersendiri bagi beberapa penyandang tuna rungu. Banyak
dari mereka yang kemudian mengartikan bahasa isyarat tersebut dengan tafsiran yang
salah; yang mereka tangkap adalah mobil berjalan seperti orang berjalan, bukan dengan
menggunakan roda.
sumber:
www.tribunnews.com
Guru SLB/B di Indonesia sampai saat ini masih banyak yang mengajar dengan
menggunakan SIBI dan bahasa bibir atau oral kepada siswanya. Dampak penggunaan
SIBI bagi siswa penyandang tuna rungu adalah tidak maksimalnya mereka menangkap
informasi, bahkan tidak jarang menjadi salah paham dengan informasi yang
disampaikan.

Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan anak tuna rungu yang
belum pernah mengenal Bahasa Indonesia?
Proses menghubungkan SIBI dengan Bahasa Indonesia tidak berjalan lancar karena
anak-anak belum mengetahui tata Bahasa Indonesia. Di sinilah SIBI gagal sebagai
media komunikasi untuk penyandang tuna rungu.

Tetapi sebagai bangsa yang beradab, kita tetap patut untuk mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya pada Alm. Bapak Anton WIdyatmoko yang telah berusaha
memfasilitasi kebutuhan penyandang tuna rungu.

Hal ini tentu sesuai dengan Pasal 24 ayat 3 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas
Perserikatan Bangsa Bangsa bahwa Negara-negara harus mengambil langkah-
langkah yang layak, termasuk memfasilitasi pembelajaran bahasa isyarat dan pemajuan
identitas linguistik masyarakat tuli.
Gerakan Kesejahteraan Tuna rungu Indonesia (GERKATIN) kemudian memperjuangkan
bahasa isyarat yang alami serta sesuai dengan nurani para penyandang tuna rungu di
Indonesia. Yang terpenting adalah BISINDO dapat digunakan dalam pergaulan sehari-
hari tanpa ribet.

Penyandang tuna rungu lebih nyaman menggunakan BISINDO karena tadi, kepraktisan
dan kecepatannya membuat mereka lebih cepat memahami maksud dari isyarat yang
dilontarkan orang lain meskipun dalam hal tata bahasa, tidak mengikuti aturan Bahasa
Indonesia seperti SIBI.
BISINDO

Tetapi kehadiran BISINDO mendatangkan problem baru. Dualisme bahasa isyarat yang
dianut penyandang tuna rungu di Indonesia menyulitkan mereka untuk berkomunikasi
secara ‘pas’. Maksudnya, mereka bingung menggunakan bahasa isyarat yang akan
dipakai untuk berkomunikasi.
Melihat tidak sedikit penyandang tuna rungu yang kesulitan menggunakan SIBI, secara
alami mereka akan menggunakan BISINDO sebagai alat komunikasi sehari-hari.

Namun harus kita ketahui, keberadaan BISINDO, dinukil dari selasar, belum diakui
pemerintah sebagai bahasa isyarat yang ‘memasyarakat’ di kalangan penyandang tuna
rungu. Kurang lebih selama 33 tahun sejak BISINDO diperkenalkan.
Entah apa yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam hal ini. Padahal sudah jelas,
dalam beberapa faktor, SIBI tidak didukung oleh kaum yang memakainya. Seperti tadi
disebutkan di atas, lahirnya SIBI tidak melibatkan penyandang tuna rungu sama sekali.

Selain itu, faktor kepraktisan menjadi alasan kedua.

sumber:
www.harianjogja.com
Sekarang, tidak perlu menggugat sejarah yang terjadi. Secara sadar, mari kita kembali
bela hak-hak penyandang tuna rungu di negeri ini. Sebab mereka sama-sama Warga
Negara Indonesia yang harus mendapatkan perhatian dari pemerintah.

SIBI tidak perlu disalah-salahkan, sebab di sekolah-sekolah …, khususnya SLB/B,


masih digunakan sebagai bahasa komunikasi dalam pendidikan.

Fokus kita adalah bagaimana Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dapat digunakan
oleh penyandang tuna rungu dengan tanpa paksaan untuk melakukan komunikasi
sehari-hari di lingkungan sosialnya masing-masing.

Meskipun, mungkin, di antara pembaca sekalian bukan tuna rungu, kita bisa
mempelajari BISINDO karena lebih praktis dipelajari daripada SIBI.

Kita juga patut untuk terus mendukung GERKATIN dalam menyosialisasikan BISINDO
di Indonesia, agar masyarakat umum tahu bahasa isyarat yang cocok digunakan untuk
berkomunikasi dengan kaum tuna rungu.

Harapannya memang, semakin banyak orang yang tahu dan bisa menggunakan Bahasa
Isyarat Indonesia, sehingga BISINDO, yang kemudian menjadi bahasa isyarat alami
Indonesia tidak menghilang eksistensinya.

Anda mungkin juga menyukai