Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia, salah satu negara berkembang di Asia tenggara yang mempunyai
kekayaan sumber daya alam yang sangat luas. Oleh sebab itu, dengan adanya
sumber daya alam tersebut Indonesia harus dapat memanfaatkannya, khususnya
dalam bidang pengobatan. Salah satu sumber daya alam di Indonesia yang dapat
digunakan sebagai pengobatan alternatif yakni propolis. Aktifitas biologis dari
propolis telah banyak dimanfaatkan oleh manusia dalam berbagai pengembangan
produk obat dan kosmetik, serta berbagai olahan makanan. Menurut Chee (2002)
di eropa pada abad pertengahan manusia telah menggunakan propolis untuk
pengobatan infeksi mulut dan thorat, dan perawatan gigi.
Propolis mempunyai kandungan kimia tertinggi yaitu flavonoid, asam
fenolat, dan tannin (Hartini, 2017 ) yang mempunyai pengaruh terhadap jamur,
bakteri, virus, serta mempunyai khasiat lain sebagai antiradang, antiinflamasi,
antitumor, antioksidan, immunomodulator dan penyembuhan luka (Susilo, 2009;
Sahlan et al., 2013, Chee, 2002). Propolis sendiri terbentuk dari campuran resin
dan air liur lebah yang dikumpulkan dari tunas daun dan batang tumbuhan
melalui permukaan kulitnya oleh lebah (Pratami, 2018). Literatur saat ini
menjelaskan bahwa propolis dikumpulkan dari resin tanaman, propolis terdiri
dari campuran yang mengandung sekitar 50% resin dan balsam, 30% lilin, 10%
minyak esensial dan aromatik, 5% serbuk sari, dan 5% kotoran (Toreti et al.,
2013).
Candida sp. merupakan salah satu spesies jamur penyebab utama pada
penyakit kandiasis, penyakit keputihan, dan juga infeksi lainnya. Infeksi karena
jamur dari Candida sp. sangat erat kaitannya dengan penderita HIV/AIDS
(Hanum, 2009). Jamur ini dapat ditemukan dalam keadaan normal dengan jumlah
kecil pada mulut, vagina, saluran pencernaan, dan kulit (Hartini, 2017). Candida
albicans dapat meningkatkan efek infeksi periodontitis dengan bertindak bersama
dengan bakteri anaerobik ( Siqueira et al., 2015). Beberapa spesies dari Candida
mampu meyebabkan Kandidiasis ( Qurrohman, 2015) spesies Candida terdiri
dari kelompok organisme yang heterogen, dan lebih dari 17 spesies Candida yang
berbeda diketahui sebagai agen etiologi infeksi manusia. Namun, lebih dari 90%
infeksi invasif disebabkan oleh Candida albicans, Candida glabrata, Candida
parapsilosis, Candida tropicalis dan Candida krusei (Sardi, 2013).
Sama halnya dengan spesies Candida, Cryptococcus neoformans
merupakan jamur yang mirip dengan ragi yang sering menyerang pada orang
yang mempunyai sistem kekebalan tubuh yang rendah. C. neorformans
menyebabkan meningoensefalitis (peradangan pada selaput meningen dan
jaringan otak) yang mengancam jiwa pada penderita immunocompromised
(imunitas lemah), khususnya pada pasien AIDS ( Chee, 2002). Propolis, produk
lebah madu yang cukup diminati ini merupakan salah satu bahan biologis obat
tradisoinal yang telah dikenal dan diteliti sejak lama di berbagai Negara dunia
dan dikatakan memiliki sifat antijamur, terutama telah dibuktikan berfungsi
sebagai antijamur untuk berbagai spesies Candida (Chee, 2002) namun di
Indonesia sendiri hanya sedikit yang telah melakukan penelitian terhadap
propolis yang berasal dari Indonesia, begitupun dengan penelitian terhadap
aktifitas antijamur dari propolis. Oleh karna itu, penelitian ini sangat penting
untuk dilakukan, ada berbagai macam metode untuk pengujian aktifitas antijamur
tersebut , namun pada penelitian saat ini digunakan dengan metode difusi.
Saat ini, ada beberapa produk yang mengandung propolis yang sudah dijual
di seluruh dunia, terutama di Jepang, seperti permen, coklat, sampo, krim kulit,
larutan antiseptik dan pasta gigi (Mangiring et al., 2018). Namun, aplikasi
propolis dalam makanan masih terbatas, karena selain larut dalam alkohol,
propolis juga memiliki rasa dan aroma yang kuat (Busch et al., 2017). Oleh karna
itu, untuk mengatasi propolis yang mempunyai kelarutan yang rendah dalam air,
maka dilakukan proses mikroenkapsulasi dengan metode semprot kering yang
menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi masalah ini untuk menjaga bahan
aktif tersebut juga meningkatkan dosis dengan matriks dari enkapsulasi larut air
(Busch et al., 2017; Mangiring et al., 2018). Adapun alasan pemilihan metode
spray drying yakni metode tersebut mempunyai kelebihan dari segi ketersediaan
peralatan, biaya proses rendah, jenis zat penyalut lebih beragam, meningkatkan
kelarutan dan penyerapan senyawa flavonoid, retensi bahan mudah menguap
yang baik, stabilitas produk akhir yang baik, dan produksi dalam skala besar
secara kontinyu (Pratami, 2018).
Mikroenkapsulasi merupakan suatu teknik yang dilakukan untuk
melindungi bahan aktif berupa (padatan, cairan, dan gas) dengan suatu polimer
penyalut yang berukuran sangat kecil (mikron) dari kondisi lingkungan berupa
penguraiaan. Adapun kelebihan dari mikroenkapsulasi yakni untuk
memperpanjang waktu penyimpanan, mengendalikan pelepasan suatu senyawa
aktif melalui penggabungan senyawa bioaktif ke dalam sistem makanan sehingga
mampu mencegah peningkatan konsentrasi obat dalam saluran pencernaan secara
mendadak (Saputra, 2009). Melalui mikroenkapsulasi juga dapat menutupi rasa
yang tidak diinginkan, mengurangi volatilitas, reaktivitas dan higroskopis,
meningkatkan kelarutan, dan memungkinkan peningkatan stabilitas dalam
kondisi lingkungan yang buruk (Mangiring et al., 2018).
Dalam rangka penelitian, proses enkapsulasi yang terdiri dari bahan inti
berupa propolis padatan dan karang dari lebah Tetragonula spp. dan bahan
penyalut berupa kombinasi dari Maltodekstrin dan Gom arab yang dilakukan
dengan metode spray drying atau semprot kering, pemilihan bahan penyalut pada
proses enkapsulasi sangat mempengaruhi hasil mikrokapsul yang dihasilkan
(Pratami, 2018). Penelitian yang menggunakan bahan penyalut berupa kombinasi
maltodekstrin dan gum arab dalam metode semprot kering telah dilakukan di
Argentina yang menunjukkan bahwa campuran gum arab dan maltodekstrin yang
diproteksi lebih baik daripada gum arab saja. Demikian pula, serbuk semprot-
kering dengan bahan penyalut yang dimodifikasi (gum arab dan maltodekstrin)
menunjukkan perbedaan kelarutan air, efisiensi retensi surface morfologi dan
beta karoten (Busch et al., 2017).
Setelah dilakukan proses mikroenkapsulasi, pada mikrokapsul yang
diperoleh dilakukan karakterisasi dan evaluasi kualitas sediaan, meliputi
organoleptik, sifat fisika kimia dan aktivitas biologis. Oleh karena itu, pembuatan
mikroenkapsulat dengan bahan penyalut maltodekstrin dan gum arab diharapkan
dapat meningkatkan perlindungan terhadap propolis dari lebah Tetragonula spp.
juga meningkatkan fungsi propolis sebagai antijamur.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana proses pengujian aktifitas antijamur terhadap propolis padatan
dan karang dari lebah Tetragonula spp. dengan menggunakan metode disc
difusi ?
b. Apakah kemampuan mikroenkapsulasi propolis dari lebah Tetragonula spp.
dengan penyalut maltodekstrin dan gom arab lebih baik dibandingkan
dengan propolis tanpa mikroenkapsulasi ?

1.3 Hipotesis
a. Ekstrak etanol Propolis dari lebah Tetragonula spp. memiliki aktifitas
antifungi terhadap Candida sp. dan Cryptococcus neoformans.
b. Ekstrak etanol propolis dari lebah Tetragonula spp. memiliki aktifitas
antifungi lebih tinggi pada Cryptococcus neoformans dibanding Candida sp.
c. Mikroenkapsulasi ekstrak etanol propolis (EEP) menggunakan maltodekstrin
dan gum arab melalui penyemprotan kering dapat menjaga karakteristik kimia
propolis dalam hal perlindungan zat aktif propolis dan aktifitas antijamur.

1.4 Tujuan Penelitian


a. Melakukan ekstraksi propolis dari sarang lebah Tetragonula spp.
b. Melakukan uji aktifitas antifungi mikroenkapsulat terhadap Candida sp. dan
Cryptococcus neoformans.
c. Melakukan mikroenkapsulasi ektrak etanol propolis dengan kombinasi
maltodekstrin dan gum arab dengan karakter fisik yang baik sebagai bahan
aktif antifungi menggunakan metode spray drying.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Propolis


2.1.1 Pengertian Propolis
Istilah “Propolis” berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu pro yang berarti
pertahanan dan polis kota, yang dapat diartikan secara rinci bahwa propolis
merupakan sarang lebah (Bankova et al., 2000). Propolis (lem lebah) merupakan
bahan berwarna gelap lengket yang terbentuk dari campuran resin dan air liur
lebah yang dikumpulkan oleh lebah madu dari berbagai jenis tumbuhan, yang
kemudian bercampur dengan lilin dan enzim lebah untuk melindungi dinding
permukaan sarang lebah (Bankova et al., 2000). Karakteristik propolis pada suhu
normal bentuknya padat, sedangkan pada suhu hangat, bentuknya menjadi cairan
kental lengket, bergetah, berwarna coklat kehitaman. Propolis mempunyai bau
yang khas aromatis dan rasa yang pahit (Pratami, 2018). Bentuk fisik bahan baku
propolis, sebelum diekstraksi, yang diperoleh dari sarang lebah diperlihatkan
dalam (Pratami, 2018) Gambar 2.1

Gambar 2.1 Bahan baku propolis dari sarang lebah.

Propolis telah dikenal oleh manusia mesir kuno sejak lama untuk digunakan
sebagai bahan perekat (Bogdanov, 2016). Propolis banyak dikenal oleh dokter –
dokter dari romawi dan yunani karna khasiatnya untuk membalsam mayat, juga
dapat digunakan sebagai bahan aktif untuk produk obat – obatan dan kosmetik
(Susilo, 2009), propolis digunakan oleh lebah seperti lebah Tetragonula sp. yang
merupakan lebah tak bersengat untuk dijadikan alat pertahanan utama untuk
melindungi sarang lebah dan sebagai salah satu komponen penyusun struktur
sarang tersebut. (Pratami, 2018).
2.1.2 Kandungan Propolis
Propolis mempunyai kandungan yang berbeda- beda di setiap wilayah,
namun juga mempunyai kandungan yang begitu kompleks. Oleh karna itu,
kandungan kimia dari propolis sendiri sangat bergantung pada kondisi cuaca,
vegetasi, ketinggian, ketersediaan makanan, waktu, dan aktifitas yang
dokembangkan selama eksploitasi propolis, juga dengan daerah asal, spesies
lebah dan lokasi geografis merupakan penentu utama (Pratami, 2018; Huang et
al., 2014, de Groot, 2013). Dari penelitian yang sebelumnya telah dilaporkan 300
komponen senyawa kimia yang telah ditemukan dalam ekstrak etanol propolis
yang berbeda (Huang et al., 2014; Toreti et al., 2013) yang dapat dilihat pada
tebel 2.1 (Pratami, 2018; de Groot, 2013). Aktivitas biologis dari propolis
berkorelasi erat dengan senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan sehingga
dapat dikarakterisasi dengan parameter – parameter seperti : kadar flavon dan
flavonol total, kadar flavanon dan dihidroflavonol total, dan kadar fenolik total
(Pratami, 2018).
Tabel 2.1 Komposisi Senyawa Kimia dari Propolis. Sumber :(Pratami,
2018; Krell, 1996).
Golongan Senyawa Nama Senyawa
Asam aromatik Asam sinamat: asam sinamat, asam kafeat, asam
(Substitusi) kumarat, asam dihidrosinamat, asam ferulat.
Asam benzoate: asam benzoat, asam gentisik, asam
salisilat, asam vanilat, asam veratrik.
Ester aromatik Asam aromatic dari benzil, butil, sinamil, etil,
metil-butenil (prenil, isoprenil), metil, pentil,
pentenil dan fenetil ester.
Flavonon Alpinetin, isosakuranetin, naringenin, pinobanksin
(dan ester dan eter), pinocembrin, pinostrobin,
sakuranetin.
Flavon dan flavonol Acacetin, apigenin, krisin, galangin, kaempferid,
kaempferol, kuersetin, ramnetin, tektokrisin.
Kalkon dan Alpinetin kalkon, 2’,6’-dihidroksi-4’,4’-
dihidrokalkon dimetoksidihidrokalkon, isosakuranetin kalkon,
naringenin kalkon, pinobanksin kalkon,
pinocembrin kalkon, pinostrobin kalkon,
sakuranetin kalkon.
Terpenoid β-Bisabolol, γ- dan δ-cadinen, Δ3-karen,
kalamenen, kariofilin, simen, β-eudesmol, limonen,
linalil asetat, α- dan γ-murolen, β-selinen.
Hidrokarbon asiklik Dotriakontanil heksadekanoat, heneikosan,
dan ester heptakosan, pentakosan, triacontil heksadekanoat,
triakontil oktadekenoat, trikosan, tripentakontan,
tritriakontan .
Alkohol Benzil alkohol, sinamil alkohol, isobutil alkohol, 3-
metil-2-buten-1-ol (prenil alkohol), fenetil alkohol,
1-tetrakosanol.
Aldehid Benzaldehid, 3,4-dihidroksibenzaldehid, n-
heksanal, isovanilin, propionaldehid, vanillin.
Asam alifatis (rantai Asam asetat, asam butanoat, asam sitrat, asam
pendek) fumarat, asam malat, asam 4-pentenoat, Asam
2,3,4-trihidroksibutanoat.
Ester alifatik Asam alifatis benzil, butil, etil, isoamil, isobutil,
metil-butenil, metil dan phenetil ester.
Asam lemak alifatik Asam arakidonat, asam serotik, asam laurat, asam
(rantai panjang) dan linoleat, asam miristik, asam oleat, asam palmitat,
ester asam pelargonik, asam stearat dan ester etil
palmitat, etil stearat.
Asam amino Alanin, arginin, asam glutamat, leusin, metionin,
fenilalanin, prolin, asam piroglutamat, triptofan,
tirosin.
Hidrokarbon aromatik 3,4-Dihidroksistiren, naftalen, stiren.
Asetofenon dan keton Asetofenon, dihidroksiasetofenon, metilasetofenon,
lainnya 6-metil-5-hepten-2-on.
Derivat Gliserol 2-Asetil-1-kumaroil-3-sinamoilgliserol, 2-asetil-1-
(E)-kumaroil-3-(E)-feruloilgliserol, 2-asetil-1,3-
di[(E)-p-kumaroil]glicerol, gliceril fosfat,
monoasetil gliserin.
Steroid kalinasterol asetat, A-dihidrofukosterol asetat,
fukosterol asetat, stigmasterol asetat.
Gula dan gula alkohol Fruktosa, glukosa, gliserol, inositol, salisin,
sorbitol, sukrosa.
Senyawa organik Asam N-karboksipirolidin-2-karboksilat, guaiakol,
lainnya dan mineral elemisin, eugenol, 5-hepten-2-on, hidrokuinon.
14 macam mineral yang paling terkenal seperti Fe
dan Zn, sisanya seperti Au, Ag, Hg.

2.1.3 Aktifitas Biologis Propolis


Sebagian penelitian terbaru telah menemukan komposisi senyawa kimia
propolis yang terhubung dengan berbagai aktifitas biologis yang penting dalam
bidang kesehatan, meski demikian komponen senyawa kimia dari propolis
tersebut berbeda- beda. Beberapa senyawa kimia dari propolis memiliki aktifitas
antibakteri, antitumor, antiinflamasi, antioksidan, dan hepatoprotektor (Toreti et
al., 2013; Pratami, 2018; Sahlan, 2013). Adapun berbagai aktifitas biologis dari
propolis yang telah dirangkum dalam tabel 2.2.
Tabel 2.2 Aktifitas biologi dari propolis. Sumber : (Toreti et al., 2013,
Pratami, 2018))
Komponen Kimia Aktifitas Biologi
Akasetin Anti- Inflamasi
Apigenin Anti – inflamasi, antimikroba
Artepilin C Aktifitas antitumor, antioksidan
Asam Kafeat dan Fenetil Aktifitas antitumor, anti – inflamasi
ester
Krisin Anti – inflamasi, antibakteri
Asam Kafeat Antifungi, antivirus, anti-inflamasi
Asam sinamat Anti- inflamasi
Derivate asam Hepatoprotektor
dikafeoilkuinik
Asam ferulat Anti-inflamasi
Galangin Anti- inflamasi
Asam galat Anti- inflamasi
Asam moronat Anti-HIV
Asam isoferulat Anti-inflamasi
Pinostrobin Anestesi lokal
Asam protokatekin Anti-inflamasi, antibakteri
Pinocembrin Antifungi, anestesi local
Propofol Antioksidan
ρ- asam kumarat Antibakteri
m- asam kumarat Anti-inflamasi
o- asam kumarat Anti-inflamasi, antivirus
Quercetin Antihistamin, pengobatan ulkus
Senyawa volatile (fenol, Antibakteri
ester, terpenoid, dll)
2,2- Dimetil-6-karboksietil- Antimikroba
2H-1-Benzopiren
3-[3,4-Dihidroksi-5- Antioksidan
prenil]fenil]-2-(E)- asam
propenoat
Daidzein Antioksidan
Xantosimol Antibakteri, antifungi, antioksidan, antiproliferatif
Guttiferon E Antibakteri, antioksidan, antifungi
Medikarpin Antibakteri, antifungi
Formononetin Antiproliferatif
Isolikuiritigenin Anti-inflamasi, antibakteri
Mucronulatol Antiproliferatif
Neovestitol Antibakteri, anti-inflamsi, antioksidan, anti karies
Vestitol Antibakteri, anti-inflamasi, antioksidan, anti karies
Biochanin A antiproliferatif

2.2 Lebah Penghasil Propolis


Klasifikasi lebah Tetragonula spp menurut Sakagami (Inoue & Sakagami, 1984)
yakni sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthopoda
Kelas : Insekta
Bangsa : Hymenoptera
Suku : Apidae
Marga : Tetragonula
Jenis : Tetragonula spp.
Lebah merupakan salah satu serangga yang bermanfaat bagi manusia yang kaya
akan khasiatnya dalam bidang kesehatan. Di Indonesia sendiri terdapat banyak jenis
lebah penghasil propolis bahkan telah dibudidayakan, salah satunya adalah Lebah
Tetragonula sp. yang merupakan lebah yang tak bersengat dan berukurun kecil ini
(Pratami, 2018). Serangga Lebah termasuk dalam kelas insect dan family Apideae
yang dikelompokkan dalam ordo Hymenoptera yang mempunyai arti “sayap bening”
(Sadam, 2016). Lebah tak bersengat menghasilkan produk berupa madu, propolis,
royal jeli, lilin lebah (Pratami, 2018). Lebah madu dari Tetragonula sp mempunyai
morfologi antara lain : ukuran tubuh yang kecil 3-4 mm, berwarna coklat kehitaman,
dan tak bersengat (Pratami, 2018; Suriawanto, 2017) seperti yang dapat dilihat pada
Gambar 2.2.
A B

C D

Keterangan : Tetragonula fuscobalteata (A); Tetragonula laeviceps (B);


Tetragonula biroi (C); Tetragonula sapiens (D). (Jalil et al., 2012)
Gambar 2.2 Lebah madu Tetragonula spp.
Adapun beberapa jenis lebah penghasil madu, diantaranya yakni Apis
andreniyormis, A. cerana, A. dorsata, A. floare, A. koschevnikovi, A. melifera, A.
nigrocicta, Tetragonula insica, T. laeviceps, T. terminate (Pratami, 2018). Lebah
Tetragonula spp. mempunyai keunggulan karna mudah dibudidayakan sehingga
mempermudah untuk dapat memanfaatkan produknya sepanjang tahun dan
mempunyai kemampuan menghasilkan produk propolis lebih banyak dibanding
spesies lebah yang lainnya, serta mempunyai kandungan kimia yang beragam . Lebah
ini mudah ditemukan di daerah Sulawesi Selatan karna daerah ini merupakan tempat
budidaya lebah Tetragonula sp. karna mempunyai tingkat keragaman vegetasi dan
hewan yang tinggi. Di Indonesia ada beberapa daerah yang telah membudidayakan
lebah Tetragonula sp. diantaranya yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Kalimantan,
Nusa Tenggara Barat, Bengkulu yang dimana selama 4 bulan sekali dapat
menghasilkan panen propolis (Pratami, 2018).

2.3 Proses Ekstraksi Propolis


Proses ekstraksi propolis dilakukan dengan menggunakan metode yang
dikembangkan oleh (Sahlan, 2013) yakni dimulai dengan diperolehnya terlebih
dahulu bahan baku propolis yang berasal dari lebah Tetragonula sp. dengan cara
memanen sarang lebah dan memeras produk utamannya (madu). Bahan baku propolis
mempunyai keragaman warna yakni dimulai dari warna kuning sampai coklat
kehitaman. Ada dua tipe propolis yaitu bagian padatan diperoleh dari bagian dalam
sarang lebah dan tipe karang diperoleh dari bagian luar sarang lebah. Propolis
mempunyai karakteristik keragaman tekstur yang berbeda disetiap wilayah,
bentuknya seperti tanah liat sampai keras seperti karang dan semi padat. Bahan baku
propolis disetiap daerah berbeda – beda, yang dapat dilihat dalam Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Bahan Baku propolis dari empat wilayah.
Keterangan : (A) Kalimantan Barat; (B) Jawa Barat; (C) Sulawesi Selatan; (D)
Nusa Tenggara Barat. Sumber : (Pratami, 2018).

2.4 Jamur
2.4.1 Jamur
Beberapa tahun belakangan, jamur telah muncul sebagai penyebab utama
penyakit pada manusia. Jamur mempunyai keanekaragaman hayati dengan
banyaknya spesies hingga saat ini. Secara umum, jamur merupakan organisme
tumbuh - tumbuhan yang termasuk dalam golongan eukariotik yang mempunyai
inti sel dan organel, berbentuk benang – benang atau sel tunggal uniseluler –
multiseluler, jamur dapat tumbuh dengan baik pada tempat yang lembab juga
dapat beradaptasi pada lingkungannya sehingga jamur dapat ditemukan hampir
diseluruh dunia (Webster dan Weber, 2007). Ilmu yang mempelajari jamur yaitu
mikologi, dalam dunia mikrobia, termasuk ke dalam divisio Mycota (fungi).
Dalam bahasa Yunani, Mycota berasal dari kata mykes yang disebut juga fungi
dalam (bahasa Latin) sedangkan logos yang berarti ilmu (Sumarsih, 2003,
Gandahusada et al, 1998).
Jamur atau disebut juga mikotik dibagi menjadi 2 jenis, yaitu 1. yang
bermiselium sejati, terdiri dari sel yang bercabang juga memanjang (hifa) disebut
kapang, dan 2. yang bersel satu tidak atau mempunyai miselium semu, berbentuk
bulat, lonjong atau memanjang yang dapat berkembang biak dengan membentuk
seperti tunas dan membentuk koloni yang basah atau berlendir disebut ragi atau
khamir (Gholib, 2002; Gandahusada et al., 1998). Ada beberapa istilah yang
dikenal untuk menyebut jamur, antara lain:
a. Mushroom yaitu jamur yang dapat menghasilkan badan buah besar,
termasuk jamur yang dapat dimakan,
b. Mold yaitu jamur yang berbentuk seperti benang-benang, dan
c. Khamir yaitu jamur bersel satu.
Klasifikasi jamur menurut Webster (Webster dan Weber, 2007) terdiri
dari, Chytridiomycota; Zygomycota; Myxomycota (Gandahusada et al., 1998);
Ascomycota; Basidiomycota; dan Deuteromycota. Jamur mempunyai
karakteristik yaitu termasuk dalam golongan heterotrof karena tidak mempunyai
klorofil (Gandahusada et al., 1998) dan mendapatkan makanan dengan cara
penyerapan ekstraseluler karena aktifitas enzim yang disekresikan dan diikuti
dengan penyerapan zat yang terlarut. Dalam keadaan vegetatif, jamur terdiri atas
massa benang yang bercabang-cabang yang disebut miselium. Miselium tersusun
dari hifa (filamen) yang merupakan benang-benang tunggal. Hifa tersebut dapat
bersekat sehingga dapat terbagi menjadi banyak sel, atau bahkan tidak bersekat
yang biasa disebut dengan hifa senositik. Badan vegetatif jamur yang tersusun
dari filamen-filamen disebut thallus. (Webster dan Weber, 2007; Sumarsih,
2003). Spora dari jamur dapat dibentuk scara seksual dan aseksual. Spora
aseksual atau yang biasa disebut talospora, yaitu spora yang dapat langsung
dibentuk dari hifa reproduktif, sedangkan spora dari seksual dibentuk dari dua sel
atau hifa (Gandahusada et al., 1998). Bentuk dari khamir dan kapang tidaklah
mutlak ini dikarenakan terdapat jamur yang dapat membentuk kedua sifat
tersebut dalam keadaan yang berbeda (jamur dimorfik), disamping itu terdapat
jamur yang dapat membentuk tunas yang memanjang yang dapat bertunas lagi
pada ujungnya secara terus – menerus, sehingga membentuk seperti hifa dengan
penyempitan pada sekat yang biasa disebut dengan hifa semu morfologi jamur
dapat dilihat dalam Gambar 2.4 (Gandahusada et al., 1998).

Gambar 2.4 Morfologi dari jamur. Sumber : diakses dari


http://rgutama.blogspot.co.id/2017/02/biokimia-dasar-morfologi-jamur.html

Dinding sel biasanya tersusun berdasarkan glukan dan kitin, jarang pada
glukan dan selulosa (Oomycota). Jamur mempunyai siklus hidup yang sederhana
atau kompleks dan bereproduksi dengan cara seksual (yaitu fusi nuklir dan
meiosis) dan atau parasexual (yaitu melibatkan fusi nuklir diikuti dengan de-
diploidisasi bertahap) dan atau aseksual (yaitu divisi nuklir murni mitosis).
Habitatnya terdapat dimana-mana (air dan tanah). Peran ekologis jamur tumbuh
sebagai saprofit, bersimbiosis , dan parasit (Webster dan Weber, 2007).
Jamur mempunyai sifat seperti kuman, sistem enzim pada jamur dapat
mengubah selulosa, karbohidrat, dan zat organik yang lain yang berasal dari
tumbuh – tumbuhan, serangga, hewan, dan benda mati yang lain untuk menjadi
zat anorganik yang dibutuhkan oleh timbuh – tumbuhan, sifat inilah yang
menyebabkan kerusakan pada benda juga makanan. Sama halnya dengan benda
dan makanan, jamur dapat masuk ke dalam tubuh manusia juga hewan sehingga
dapat menimbulkan suatu penyakit, penyakit yang biasanya disebabkan oleh
jamur disebut dengan mikosis (Gandahusada et al., 1998). Mikosis yang biasa
terjadi pada kulit, rambut, dan kuku disebut dengan mikosis superfisialis seperti
yang dapat dilihat dalam Gambar 2.5, sedangkan mikosis yang mengenai alat
dalam yaitu disebut dengan mikosis profunda atau yang biasa dikenal dengan
mikosis sistemik (Gandahusada et al., 1998).

Gambar 2.5 Penyakit mikosis superfisial pada kulit. Sumber : diakses dari
http://nyllaambar.blogspot.co.id/2011/06/mikosis.html

2.4.2 Candida spp.


Candida spp. termasuk ke dalam mikrobiota normal yang tumbuh sebagai
sel ragi tunas, berbentuk oval dan berukuran 3-6 mm (Qurrohman, 2015) sering
dijumpai di mukosa mulut, vagina, dan saluran cerna (Sardi et al., 2013).
Candida spp. merupakan salah satu jamur patogen yang paling sering
menyebabkan infeksi oportunistik pada manusia dan sering di isolasi dari tubuh
manusia, terbukti Candida spp. juga mendapati nomor ke empat penyebab infeksi
darah. Jamur ini dapat memproduksi toksin yang dapat merusak sistem imun
bahkan menurunkan imunitas dalam tubuh manusia, bila tidak segera di tangani
(Tyasrini et al., 2006).
Beberapa spesies dari Candida mampu menyebakan penyakit kadidiasis,
antara lain Candida albicans, C. tropicalis, C. glabrata, C. parapsilosis, C.
krusei, dan spesies lainnya yaitu Candida stellatoidea, C. pseudotropicalis, C.
famata, C. rugosa, C. geotrichium, C. dubliniensis, dan C. guilliermondii
(Lestari, 2013). Dialam bebas jamur ini sering ditemukan di tanah, buah –
buahan, kotoran binatang serta air. Pada umumnya Candida sp. akan tumbuh baik
pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) karna pada media tersebut jamur ini
akan tumbuh membentuk koloni seperti ragi yang berbentuk oval dengan
diameter 2-6 mm, yang berwarna putih – kekuningan dengan permukaan yang
halus (Tyasrini et al., 2006).
Klasifikasi Candida spp. menurut Komariah (Komariah dan Sjam, 2012)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Subfilum : Saccharomycota
Kelas : Saccharomyces
Ordo : Saccharomycetales
Family : Saccharomycetaceae
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans
Morfologi dari spesies Candida mempunyai beberapa bentuk elemen jamur
yaitu sel ragi (blastospora/ yeast), hifa dan bentuk intermedia/ pseudohifa yang
dapat dilihat pada gambar 2.6. (Komariah dan Sjam, 2012). Sel ragi dan sel tunas
pada umumnya berbentuk bulat, oval, hingga mendekati silindris, dengan ukuran
2-7 x 3-8,5μm (Tyasrini et al., 2006). Candida sp. melakukan reproduksi dengan
cara memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan memanjang
membentuk hifa dan merupakan organisme yang cukup cepat dalam proses
pertumbuhannya, yakni terjadi pada pH optimum antara 2,5 – 7,5 dengan
temperatur berkisar 200C – 380C, dimana jamur tersebut dapat bertumbuh sekitar
48-72 jam. Identifikasi spesies dapat dilakukan secara mikroskopik dan
makroskopik (Komariah et al., 2012). Dinding sel spesies Candida tersusun atas
manoprotein dan protein – protein spesifik, yang menempel pada lapisan glukan
dan kitin (Tyasrini et al., 2012).
Candida hidup sebagai saprofit yang dapat ditemukan pada saluran cerna
juga saluran napas sehingga dapat menimbulkan pencemaran pada lingkungan
sekitarnya, dengan begitu lingkungan tersebut merupakan sumber dari infeksi
(Gandahusada et al.,1998).

Gambar 2.6 Ilustrasi morfologi Candida. Sumber: (Komariah et al., 2012)

Keterangan : (A) Bentuk khamir; (B) Bentuk pseudohifa; (C) Bentuk hifa.

2.4.2 Candidiasis atau Kandidosis


Kandidiasis atau kandidosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh salah
satu jamur ragi Candida spp. dimana Candida albicans adalah penyebab yang
paling umum dan di ikuti oleh C. parapsilosis. Kandidiasis adalah infeksi akut
atau kronis yang dihasilkan oleh Candida, umumnya sering terjadi pada kulit dan
selaput lendir, tetapi bisa menyebabkan penyakit sistemik yang serius (Dabas,
2013). Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1842 oleh Gruby
(Gandahusada et al., 1998). Dalam kondisi tertentu, Candida dapat menjadi
patogen dan menyebabkan penyakit kandidiasis. Infeksi dari Candida spp.
bermula karena sering terjadi setelah pengobatan dengan antibiotik antibakteri
yang juga membunuh bakteri jinak yang bersaing dengan spesies Candida.
(Webster dan Weber, 2007).
Meskipun C. albicans adalah spesies yang paling sering terisolasi, diikuti
oleh C. glabrata dan spesies lainnya, perubahan epidemiologi ini dapat dikaitkan
dengan imunosupresi berat atau penyakit, prematuritas, paparan antibiotik
spektrum luas dan pasien yang lebih tua. Penyebab utama dari penyakit ini yaitu
dari spesies Candida (khamir) yang sering ditemukan pada manusia dan binatang
yang bersifat saprofit. Bila terdapat faktor predisposisi yakni keadaan yang
menguntungkan terhadap pertumbuhan jamur tersebut, maka spesies jamur
Candida ini dapat menimbulkan penyakit primer dan sekunder. Faktor
predisposisi tersebut ada 2 macam, antara lain : (a) fisiologik, seperti kehamilan
siklus mentruasi, juga umur pada bayi; dan (b) non- fisiologi, seperti trauma
akibat kerusakan pada kulit saat bekerja, dan kerusakan mukosa mulut akibat dari
terkanan gigi palsu.
Cara infeksi pada umumnya secara endogen dan eksogen, karena biasanya
jamur telah berada di dalam tubuh manusia tersebut dan terdapat faktor
predisposisi yang menimbulkan penyakit sedangkan untuk secara eksogen
biasanya menimbulkan kelainan pada kulit, dan dapat pula melalui suntikan yang
biasa sering terjadi pada penderita kecanduan narkotik (Hermawan dan
Widyanto, 2000). Pengobatan dilakukan dengan memberikan obat topikal seperti
(a) Derivat imidazole seperti mikonazol, klotrimazol, ekonazol, dan ketokonazol
derivate baru dari golongan ini yang dapat diberikan secara oral, (b) Larutan
gentian violet 1% yang juga termasuk obat topikal dengan harga murah, namun
untuk saat ini pemakaiannya sudah jarang dikarenakan warna dari larutan
tersebut dapat menyebabkan iritasi (c) Derivat polyen, seperti Nistatin dan
amfoterisan. Nistatin, penggunaan obat ini hanya digunakan untuk mengatasi
pada infeksi saluran pencernaan sehingga dapat mengurangi sumber infeksi,
namun obat ini tidak dapat diserap oleh saluran pencernaan. Sedangkan,
amfoterisin merupakan obat topikal yang sering digunakan pada kulit, dan
penggunaan secara per oral digunakan untuk memberishkan saluran pencernaan
(Hermawan dan Widyanto, 2000).
Gambaran klinis infeksi kandidiasis yaitu berupa kandidiasis pada kulit dan
juga kuku, kandidiasis pada saluran pencernaan, kandidiasis seperti pada saluran
pernafasan (misalnya bronchitis), kandidiasis vagina, dan kandidiasis yang lain
(Hermawan dan Widyanto, 2000).
Kandidiasis ada beberapa jenis (Dabas, 2013), yang dapat dijelaskan
dibawah ini :
a. Oral Candidiasis
Kandidiasis oral adalah salah satu infeksi mukosa mulut yang paling
umum terlihat pada penderita dengan HIV. Ada tiga faktor umum yang dapat
menyebabkan kandidiasis oral yang terbukti secara klinis: status imun
penderita, lingkungan mukosa mulut dan partikel khusus C. albicans
(berbentuk hifa biasanya berhubungan dengan infeksi patogen) yang dapat
dilihat pada Gambar 2.7. Munculnya OPC pada pasien HIV-positif menandai
awal AIDS (Dabas, 2013).
Gambar 2.7 Jenis kandidiasis OPC dan gejalanya.

Keterangan : (a) kandidiasis pesudomembran akut; (b) Angular cheilitis; (c)


dan (d) kandidiasis pseudomembran sebagai konsekuensi dari
penggunaan antibakteri spektrum luas.

b. Cutaneous Candidiasis
Kandidiasis kulit atau yang biasa kita kenal dengan penyakit kutu air
atau “rangen” merupakan infeksi sekunder yang terjadi pada permukaan
kulit, lipatan tubuh, dan kuku sebagai infeksi sub – akut atau kronis. Infeksi
ini biasanya terjadi di daerah yang hangat, lembab dan berkerut, seperti
lipatan aksilaris dan ditemukan pada penderita diabetes dan obesitas. Infeksi
ini juga sering terjadi pada seseorang yang mempunyai kebiasaan melakukan
aktifitas yang berhubungan dengan air sehingga dapat menimbulkan daerah
pada kulit tersebut selalu lembab (Dabes, 2013).
Gejala yang timbul biasanya terjadi rasa gatal dan rasa sakit akibat dari
infeksi sekunder oleh kuman tersebut.. Faktor predisposisi lainnya adalah
antibiotik dan kontrasepsi (Gandahusada et al., 1998).
c. Volvovaginal Candidiasis
Kandidiasis kulit juga dapat ditemukan pada daerah inguinal, pada bayi
terjadi akibat dari perawatan yang kurang baik, sedangkan pada orang
dewasa infeksi ini sering ditemukan pada wanita yang terinfeksi oleh spesies
Candida dalam vagina. Gejala utama dari kandidiasis ini yaitu fluor albus
yang sering disertai dengan rasa gatal dalam vagina, infeksi ini juga bisa
terjadi tanpa adanya gejala seperti gatal namun biasanya dapat menimbulkan
gejala seperti keputihan sebelum datang haid. Infeksi ini terjadi akibat dari
kuku atau bahkan air yang digunakan tercemar dari kuman tersebut.
(Gandahusada et al., 1998).
d. Invasive Candidiasis, infeksi yang dapat melibatkan hampir semua organ. C.
albicans terus menginfeksi untuk sebagian besar infeksi jamur invasive
(Dabes, 2013).
e. Pada penderita Diabetes Melitus Candida dapat menimbulkan kelainan
seperti pecah – pecah pada sudut mulut dan juga terlihat basah, serta
seringkali terjadi kelainan pada kulit (Gandahusada et al.,1998).

2.4.3 Cryptococcus neoformans


Cryptococcus neoformans (filum Basidiomycota) adalah jamur yang mirip
dengan ragi dan termasuk organisme intraseluler fakultatif yang dapat
menginfeksi manusia dengan cara merusak sistem imun (Srikanta et al., 2013).
Cryptococcus merupakan basidiomisetes dikenal dengan istilah sleeping giant
dan pertama kali ditemukan oleh Bussed an Buschke pada tahun 1894 yang
bersifat saprofit. Habitat dari Crytococcus neoformans terdapat pada kotoran
burung dan tanah yang terkontaminasi oleh kotoran dari burung (Efrida, 2012).
Cryptococcus neoformans dapat bertahan hidup dalam keadaan kering,
khamir ini berkembang biak secara tunas (Gandahusada et al., 1998) dan
mempunyai ukuran basidiospora kecil yaitu 1,8 μm - 3,0 μm, dan dapat berupa
sel ragi yang dalam suhu 370C, atau akan membentuk hifa dikariotik pada suhu
240C (Efrida, 2012). Kapsul dari Cryptococcus selalu dikaitkan dengan sel ragi
yang terdiri dari polisakarida dan glukoronixyloman yang dapat dilihat dalam
Gambar 2.8 (Srikanta et al., 2013). C
Klasifikasi Cryptococcus neoformans menurut Gholib (2002) sebagai
berikut :
Kingdom : Fungi
Filum : Basidiomycota
Subfilum : Basidiomycotina
Class : Heterobasidiomycetes
Ordo : Filobasidiales
Family : Filobasidiaceae
Genus : Filobasidiella (Cryptococcus)
Spesies : Cryptococcus neoformans

Gambar 2.8 Kapsul dari Cryptococcus neoformans. Sumber: Srikanta et al., 2013

Cryptococcus termasuk kedalam kelompok khamir, Pada kapang


penyebaran sel spora biasanya lewat udara, sedangkan pada khamir lewat benda
cair. ada 3 (tiga) kelompok dari C.neoformans, yaitu: C.neoformans var. grubii
(serotype A), C. neoformans var. neoformans (serotype D) dan C.neoformans var.
gattii (serotype B dan C) (Herkert, 2017). Perbedaan varietas ini berdasarkan
pada kemampuan varietas gattii dalam menggunakan glisin atau prolin sebagai
sumber nitrogen satu-satunya sedangkan varietas neoformans atau grubii tidak.
Varietas gattii juga resisten terhadap canavanine sedangkan varietas neoformans
atau grubii biasanya sensitif. Kesanggupan dalam menggunakan glisin dan
ketahanan terhadap canavanine digunakan dalam membedakan varietas gattii
dengan varietas neoformans atau grubii (Efrida, 2012).
2.4.4 Kriptokokosis
Kriptokokosis (mikosis sistemik) adalah suatu penyakit infeksi sistemik
yang disebabkan oleh jamur ragi Cryptococcus neoformans, dan dapat
ditemukan diberbagai jaringan bahkan organ seperti hati, limpa, paru, pankreas,
sumsum tulang, payudara, ginjal, otot, kelenjar prostat, saluran kemih, kelenjar
pituitari, jantung, saluran cerna serta leher dan kepala yang manifestasinya
berupa gingivitis, sinusitis, yang dapat menyerang sistem syaraf pusat dan
selaput otak dengan gejala seperti meningitis, meningoensefasilitis,
kriptokokosis kulit, kriptokokosis paru, dan pericarditis (Adawiyah dan Syam,
2014). Infeksi ini terjadi dengan inhalasi spora di dalam paru yang menimbulkan
kelaina pada setempat dan seringkali tidak menimbulkan gejala yang tidak jelas.
Bila terjadi gejala, gejala tersebut hanya menyerupai gejala pada penyakit paru
biasa tidak menimbulkan gejala yang khas. Dari organ paru tersebut jamur
menyebar ke organ – organ yang lain terutama pada otak. Pada keadaan lanjut,
infeksi ini dapat menyebar ke kulit yang dapat menimbulkan kelainan
(Gandahusada et al., 1998).
Infeksi ini umumnya sering terjadi pada pasien penderita gangguan steroid,
diabetes militus, lupus eritematosa sistemik, dan lebih umumnya pada HIV /
AIDS (Efrida, 2012; Nguyen, 2014). Epidemiologi kriptokokosis menurut Efrida
(2012) mortalitas penyakit HIV terkait penyakit meningitis yang disebabkan
jamur Cryptococcus sangat tinggi yakni berkisar 10 – 30%. Infeksi jamur
terjadi secara inhalasi sel ragi kecil yang memicu terjadinya kolonisasi pada
saluran nafas dan kemudian diikuti dengan infeksi dan inokulasi primer pada
kulit Infeksi yang terjadi tergantung dari faktor hospes yaitu gangguan dari
imunitas dan kondisi imunokompromis lainnya ( Adawawiyah dan Syam, 2014;
Efrida, 2012).
Penyakit ini untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1894 oleh Bussed an
Buschke. Diagnosis kriptikokokosis berpusat pada deteksi mikroskopik, kultur,
dan antigen dan manajemen dari meningitis kriptokokosis dibagi menjadi tiga
fase dimana fase pertama induksi, fase kedua konsolidasi dan fase ketiga
pemeliharaan terapi. Terapi induksi dimaksudkan untuk sterilisasi cairan
serebrospinal (Abassi, et al., 2015). Pengobatan ini dilakukan dengan
penggunaan obat amfoterisin – B yang diberikan secara intravena. Namun obat
ini kurang berkhasiat untuk pengobatan kriptokokosis otak. Pengobatan lain
yaitu dengan 5- fluorositosin, akan tetapi obat ini tidak tersedia di Indonesia
sehingga digunakan pengobatan lain dengan pemberian derivat tri – azol, yaitu
itrakonazol dan flukonazol. Beberapa kasus telah berhasil menggunakan
pengobatan dengan itrakonzol meskipun obat ini bersifat lipofilik (Gandahusada
et al., 1998).

2.4.5 Flukonazol Sebagai Antijamur


Saat ini, khususnya di Indonesia penggunaan sejumlah agen antifungi telah
banyak digunakan dalam pengobatan terhadap infeksi kandidiasis dan
kriptokokosis. Obat antifungi yang utama dalam pengobatan infeksi kandidiasis
yakni golongan Imidazol, golongan polyen, golongan tri-azol (Paramita, 2016).
Salah satu golongan agen antifungi yang masih digunakan dalam pengobatan
infeksi kandidiasis dan kriptokokosis yaitu golongan azol, beberapa contoh
golongan azol tersebut dapat dikelompokan menjadi dua golongan yaitu golongan
imidazole contoh obatnya ketokonazol, dan mikonazol sedangkan untuk
golongan tri-azol yang mempunyai 3 atom nitrogen dalam cincin azol contoh
obatnya antara lain vorikonazol, flukonazol, dan itrakonazol, kedua golongan ini
dibedakan oleh jumlah atom nitrogen dalam cincin azol (Maertens, 2004).
Umumnya, golongan azol mempunyai mekanisme kerja yaitu dengan
mencegah sintesis ergosterol, dan menghambat enzim lanosterol 14-α
demethylase yang terlibat di dalam proses konversi lanosterol menjadi ergosterol
yang merupakan bioregulator untuk mempertahankan integritas pada membran
sel jamur (Maertens, 2004). Nitrogen dalam cincin azol akan berikatan dengan
enzim lanosterol tersebut sehingga dapat menurunkan produksi dari ergosterol
dan demetilasi lanosterol akan terhambat, yang akan mengakibatkan proses
pertumbuhan pada jamur tersebut terhambat dikarenakan terjadinya kerusakan
fungsi dan struktur dari membrane sel jamur tersebut (Yugo dan Ridhawati,
2013).
Flukonazol adalah salah satu obat antifungi golongan triazol yang masih
tetap digunakan untuk pengobatan lini pertama pada infeksi kandidiasis maupun
kriptokokosis secara luas. posakonazol dan vorikonazol merupakan generasi
lanjutan dari golongan azol tetapi penggunaanya masih belum luas dibandingkan
pada generasi sebelumnya. Flukonazol banyak digunakan dalam pengujian
terhadap koloni spesies Candida dan Cryptococcus neoformans dengan metode
difusi disk-cakram (Yugo dan Ridhawati, 2013). Struktur kimia dari flukonazol
dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Struktur kimia Flukonazol. Sumber : Maertens, 2004.

a. Farmakokinetik
Flukonazol dapat diabsorpsi dengan baik, dengan bioavailibilitas lebih
dari 80% (Maertens, 2004). Tingkat puncaknya terjadi 1-2 jam pada orang
dewasa sehat dan penyerapan gastrointestinal tidak dipengaruhi oleh pH
lambung. Volume distribusi 0.7 – 1.0 L/Kg, protein plasma 11%, eksresi
melalui ginjal (60-75%), waktu paruh 27-34 jam. (Charlier et al., 2006).
Farmakokinetik flukonazol bergantung sesuai dengan usia, pada bayi
flukonazol mempunyai volume distribusi 2-3 kali lipat lebih tinggi dari orang
dewasa 2L/Kg yang akan menurun pada usia 3 bulan 1L/Kg, volume distribusi
lebih besar dan lebih bervariasi lagi pada bayi premature sehingga perlu untuk
menggandakan dosis flukonazol pada bayi untuk mencapai tingkat plasma
yang sebanding. Karena berkurangnya aktifitas enzim dan filtrasi glomerulus,
maka waktu paruh pada bayi akan meningkat dibandingkan dengan orang
dewasa (55-90 jam) (Charlier et al., 2006).
b. Dosis
Untuk formula flukonazol ada dalam bentuk sediaan tablet, kapsul, larutan
oral, dan sediaan intravena dengan dosis:
 Pada orang dewasa dosis yang digunakan 200–400 mg / hari
direkomendasikan dalam pengaturan profilaksis. Untuk pengobatan
kandidiasis sistemik, dosis muatan 800 mg / hari direkomendasikan pada
hari pertama, diikuti dengan dosis 400 mg / hari (Charlier et al., 2006).
 Pada anak anak dosis yang direkomendasikan adalah 3 mg / kg / hari
setelah usia 1 tahun. Neonatus dengan kandidiasis invasif harus menerima
3-6 mg / kg setiap 72 jam selama 2 minggu pertama, setiap 48 jam selama
2-4 minggu (Charlier et al., 2006).
 Untuk ibu hamil, flukonazol ditemukan dalam ASI. Abnormalitas janin
telah dilaporkan setelah penggunaan jangka panjang pada wanita hamil,
yang merekomendasikan flukonazol harus dihindari jika menyusui,
(Charlier et al., 2006).
 Pada pasien gagal ginjal pemberian dosis yang dianjurkan dapat dilihat dari
penurunan fungsi kreatin yang dapat dilihat pada tabel 2.3

Tabel 2.3 Pengurangan dosis flukonazol untuk pasien gagal ginjal. Sumber :
Charlier et al., 2006.
Klirens Kreatin Persentasi dosis yang dianjurkan
>50 mL/min 100
11-50 mL/min 50
Pasien Haemodialisis 100 setelah dialisis
Haemofiltrasi 200

c. Indikasi
 Pengobatan candidiasis orofaringeal, esofageal, atau vulvovaginal & infeksi
sistemik serius yang disebabkan oleh Candida.
 Juga untuk pengobatan meningitis (radang selaput otak) yang disebabkan
oleh Cryptococcus neoformans.
d. Kontraindikasi
Penderita yang hipersensitif terhadap Fluconazole atau golongan azole
lainnya. Tidak ada indikasi rutin untuk mengukur kadar flukonazol. Pasien
dengan usus pendek yang membutuhkan terapi jangka panjang mungkin
memerlukan konfirmasi penyerapan. Pemantauan obat harus dilakukan di
antara neonatus (terutama bayi prematur) dengan kandidiasis invasif untuk
memastikan konsentrasi plasma terapi flukonazol dalam kisaran antara 4 dan
20 mg / L. Konsentrasi saliva sebanding dengan kadar plasma setelah 1
minggu dan berpotensi digunakan untuk memantau kepatuhan (Charlier,
2006).
e. Efek Samping
Mual, nyeri perut, diare, & kemerahan pada kulit (Charlier, 2006).
f. Interaksi Obat
Flukonazol di metabolisme melalui hati dengan enzim cytochrome P450,
memnungkinkan terjadinya interaksi obat yang dapat dilihat pada tabel 2.4

Tabel 2.4 Interaksi obat dengan flukonazol. Sumber : Charlier et al.,2006.


Obat Mekanisme Penanganan Interaksi
Obat
Siklosporin peningkatan AUC siklosporin. Meningkatkan aktifitas
antijamur dan
memonitoring dosis
siklosporin.
Hidroklortiazid Peningkatan 40% flukonazol. -
(HCT)
Glimepirid Melalui CYP2C9, dapat Pengurangan dosis bila
meningkatkan AUC dengan diperlukan.
dosis tinggi
Flukonazol >400 mg.
Losartan Melalui CYP2C9, losartan Memantau tekanan
terakumulasi. darah, dan
mempertimbangkan
alternatif antijamur.
Methadon Melalui CYP3A4, peningkatan pantau untuk
AUC meningkatkan efek
narkotika
Midazolam peningkatan AUC Monitoring untuk
peningkatan sedasi
Fenitoin peningkatan AUC pantau untuk toksisitas
fenitoin, pertimbangkan
menggunakan
ketoconazole
Rifabutin Melalui CYP3A4, peningkatan Monitoring untuk
AUC toksisitas rifabutin,
mempertimbangkan
untuk penggunaan
rifamisin.
Rifampicin mempercepat metabolisme meningkatkan
flukonazol oleh CYP3A4 flukonazol sebesar 25%
bila diperlukan
Warfarin Melalui CYP2C9, dosis Memantau peningkatan
flukonazol> 100 mg, dikurangi INR.
metabolisme warfarin

g. Farmakodinamik
Parameter farmakodonik flukonazol yang merupakan hasil prediksi
terbaik dalam kandidiasis sistemik eksperimental adalah rasio AUC / MIC.
Namun, respon klinis juga terkait dengan status kekebalan pasien dan
keberadaan bahan asing atau vegetasi (Charlier, 2006).
2.4.6 Metode Diffusion Disc
Metode difusi merupakan metode pengujian antimikroba maupun antijamur
yang telah digunakan sejak lama. Metode ini dapat dilihat dan mengukur dengan
ada atau tidaknya zona hambat yang terbentuk disekitar zat antijamur dalam
waktu tertentu dengan masa inkubasi (Prayoga, 2013). Umumnya, metode difusi
disk digunakan sebagai uji kepekaan antimikroba dimana nilai diameter zona
hambat merupakan faktor penentu dalam memutuskan kepekaan suatu antibiotika
(Paramita, 2016). Kemampuan antifungi dalam melawan jamur dapat dilakukan
dengan metode difusi disk cakram dan metode difusi disk sumuran, yaitu :
1. Metode Difusi Disk - Cakram
Metode ini merupakan cara yang paling sederhana dan sering
digunakan dalam menentukan kepekaan kuman terhadap obat- obatan.
Metode ini menggunakan kertas cakram yang berfungsi sebagai tempat
menampung zat antifungi. Kertas saring tersebut kemudiaan ditempatkan
pada cawan petri berisi agar yang telah diinokulasi dengan jamur uji, yang
kemudian diinkubasi pada waktu dan suhu tertentu. Hasil pengamatan
dapat dilihat dengan melihat dan mengukur ada atau tidak zona hambat
atau zona bening yang terbentuk pada kertas cakram yang menunjukan
pertumbuhan jamur (Prayoga, 2013). Efektifitas suatu zat antimikroba dan
antifungi dapat diklasifikasikan dalam tabel 2.5.

Diameter Zona Hambat Respon Hambatan Pertumbuhan


>20 mm Kuat
16 – 20 mm Sedang
10 – 15 mm Lemah
<10 mm Tidak ada

Tabel 2.5 Klasifikasi dari efektifitas zat antimikroba atau antifungi.


Sumber: Prayoga, 2013.

2. Metode Difusi Disk - Sumuran


Pada metode difusi disk sumuran dilakukan dengan cara lempeng
yang telah diinokulasikan dengan jamur uji dibuat dengan suatu lubang
untuk diisi dengan zat antijamur. Kemudian di inkubasi sesuai dengan
suhu dan waktu yang sesuai dengan jamur uji tersebut. Hasil pengamatan
dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan disekeliling
lubang tersebut (Prayoga, 2013).

2.5 Mikroenkapsulasi
2.5.1 Pengertian Mikroenkapsulasi

Mikroenkapsulasi adalah suatu teknologi yang mencakup proses penyalutan


tipis untuk melindungi bahan aktif berupa partikel padat, tetesan cairan dan
dispersi zat cair menggunakan bahan penyalut atau bahan pelindung dalam
bentuk mikrokapsul (Nugraheni et al.,2015). Struktur utama dari mikrokaspul
yaitu inti dan penyalut (Hidayah, 2016). Teknik ini telah digunakan oleh industri
farmasi selama bertahun – tahun untuk meningkatkan stabilitas formulasi dan
pelepasan terkontrol (Mangiring et al., 2018). Sebagai hasil dari
mikroenkapsulasi, mikrokapsul mempunyai rentang ukuran partikel antara 5 –
5000 μm dengan bentuk berupa bola, persegi panjang, atau tidak beraturan dan
ukuran tersebut sangat bervariasi tergantung dari metode, karakteristik dan
ukuran bahan penyalut yang digunakan (Pratami, 2018) juga memiliki stabilitas
dan kelarutan yang lebih baik (Nugraheni et al., 2015). Hal penting lain dalam
proses mikroenkapsulasi adalah mengatur pelepasan bahan aktif pada waktu yang
dikehendaki. Bahan-bahan yang berhubungan dengan makanan yang
dienkapsulasi meliputi asam, pewarna, enzim, mikroorganime, perasa, lemak dan
minyak, vitamin dan mineral, garam, pemanis dan gas (Hidayah, 2016).

Teknik mikroenkapsulasi dalam industri farmasi bertujuan untuk


mengurangi rasa pahit obat, memisahkan material yang tidak kompatibel,
mencegah kerusakan obat yang diakibatkan oleh uap air dan cahaya, mengurangi
risiko iritasi lokal organ atau jaringan yang ditimbulkan obat, mengendalikan
pendistribusian obat, serta mengoptimalkan penyerapan obat (Isriany, 2012).
Dalam metode mikroenkapsulasi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu
spray drying (pengeringan semprot), spray chilling (pendinginan semprot),
koaservasi, freeze drying, spray cooling, fluif bed coating, dan lipasome
entrapment (Pratami, 2018; Hidayah, 2016). Secara umum, mikroenkapsulasi
mempunyai tiga tipe yaitu Tipe mononuclear: bahan inti terletak ditengah
diselimuti oleh kulit, Tipe polinuklear; terdapat banyak bahan inti yang diselimuti
oleh kulit, Tipe matrix; bahan inti terdistribusi secara homogen dalam material
pembungkusnya (Pratami, 2018) yang dapat dilihat pada gambar 2.10

Gambar 2.10 Tipe Morfologi Mikroenkapsulasi. Sumber : Pratami, 2018

2.5.2 Keuntungan dan Kekurangan Mikroenkapsulasi


Dengan adanya kemajuan teknologi mikroenkapsulasi memungkin adanya
keuntungan dan kerugian dari tenik tersebut, mikroenkapsulasi mempunyai
beberapa keuntungan yaitu (a) dengan adanya lapisan dinding polimer, bahan inti
akan terlindung dari pengaruh lingkungan luar (kelembaban, cahaya, panas dan
oksidasi). (b) dapat menutupi rasa dan bau yang tidak enak serta dapat menjaga
stabilitas bahan inti dari perubahan warna dan bau yang dipertahankan dalam
jangka waktu yang lama. (c) dapat memperbaiki proses (kelarutan, dispersi, sifat
alir) sehingga dapat dicampur dengan komponen lain yang berinteraksi dengan
bahan inti. (d) dapat menghasilkan produk lempas lambat, lepas terkendali, dan
lepas tertuju (Pratami, 2018; Mangiring et al., 2018).
Mikroenkapsulasi juga mempunyai kerugian yaitu selama proses
penyimapanan dan produksi dapat terjadi perubahan stabilitas pengkapsulan,
ketidakpuasan konsumen terhadap kualitas produk enkapsulasi, dan dapat
meningkatkan kekomplekan proses produksi (Hidayah, 2016).

2.5.3 Komponen Mikroenkapsulasi


Komponen bahan penyusun dari teknik mikroenkapsulasi ada tiga, yaitu
bahan inti, bahan penyalut, dan pelarut (Pratami, 2018). Bahan inti terdiri dari
berbagai macam berupa zat padat, cair ataupun gas yang merupakan bahan
spesisfik yang akan di salut. Bahan inti yang digunakan sebaiknya tidak larut dan
juga tidak bereaksi dengan bahan penyalut yang digunakan. Komponen dari
bahan inti ini dapat bervariasi, yaitu dapat berupa bahan inti padat dan bahan inti
cair. Bahan inti padat dapat berupa zat tunggal atau campuran dari beberapa zat
aktif dengan bahan pembawa lain seperti stabilisator, pengencer, pengisi,
penghambat atau pemicu yang dapat melepaskan bahan aktif. Selain itu, ada
bahan inti cair berupa zat yang terdispersi dan zat terlarut (Pratami, 2018).
Bahan penyalut merupakan bahan yang digunakan untuk dapat melindung
bahan aktif dengan tujuan tertentu yang berfungsi untuk memperbaiki warna,
rasa, dan bau dari bahan inti atau bahan aktif yang tidak enak, serta untuk
melindungi bahan aktif terhadap lingkungan, meningkatkan stablilitas, mencegah
penguapan, dan dapat sesuai dengan bahan inti yang digunakan. Umumnya,
jumlah penyalut yang sering digunakan yaitu 3-3-%, dan jumlah penyalut yang
akan digunakan yaitu 1-70% dengan ketebalan dinding dari penyakut berkisar
0,1-60 μm (Pratami, 2018). Dan bahan pelarut yaitu bahan yang digunakan untuk
mendispersikan bahan inti. Pemilihan bahan pelarut juga disesuaikan dengan sifat
kelarutan dari bahan inti dan bahan penyalut. Umumnya, pelarut polar dapat
melarutkan senyawa yang bersifat polar, dan pelarut non – polar dapat
melarutkan senyawa yang bersifat non-polar (Pratami, 2018).

2.5.4 Metode Mikroenkapsulasi


Metode mikroenkapsulasi dapat dilakukan dengan berbagai cara dan dapat
dikelompokan menjadi tiga kelas, yakni metode kimia, metode fisikokimia, dan
metode fisik mekanik (Peanparkdee et al., 2016) dapat dilihat pada tabel 2.6 dan
tabel 2.7 kapsul yang dihasilkan yang dapat dilihat dibawah ini :
1. Spray chilling / spray cooling
Dalam metode spray chilling bahan yang akan dienkapsulasikan
dicampur dengan bahan penyalut dan diuapkan oleh udara dingin atau
didinginkan yang kemudian dibandingkan dengan udara panas pada metode
pemanasan semprot. Pada metode ini bahan penyalut biasanya yang
digunakan adalah minyak nabati, dan suhu yang digunakan yaitu 45 – 122oC
atau minyak nabati terhidrogenasi. Cairan beku, zat yang tidak tahan panas,
dan yang tidak larut dalam pelarut biasanya dapat dienkapsulasi dengan
metode semprot dingin. Metode ini merupakan cara yang paling murah dan
umumnya digunakan untuk mengenkapsulasi sejumlah garam organic dan
anorganik seperti ferrous sulfat, vitamin, mineral serta zat bertekstur, enzim,
rasa dan bahan pembawa lainnya. Metode ini berfungsi untuk meningkatkan
stabilitas panas, memperlambat pelepasan penyalut dalam keadaan yang
basah dan atau mengubah bahan hidrifilik cair menjadi serbuk yang mengalir
bebas (Poshadri dan Kuna, 2010).
Pada metode spray cooling caranya hamper mirip dengan metode spray
drying dimana bahan aktif tersebar dalam bahan pelapis dan terjadi proses
atomisasi. Proses ini tidak terlalu mahal. Secara umum dalam metode ini
tidak ada proses evaporasi air. Dan terdapat kekurangan dalam metode ini
yaitu memerlukan penanganan dan kondisi penyimpanan yang special (tidak
mudah dan sembarangan untuk dilakukan) (Hidayah, 2016).
2. Freeze drying
Merupakan metode mikroenkapsulasi yang banyak digunakan dalam
proses pengeringan pada hamper semua bahan yang sensitive terhadap panas
dan aroma. Metode ini telah digunakan untuk mengenkapsulasi essence yang
dapat larut dalam air dan aroma alami. Proses pembuatannya, pada tahap
pertama sampel dibekukan dengan suhu antara -90 dan -40oC, kemudian
sampel dilakukan pengeringan dengan sublimasi langsung dibawah tekanan
rendah sehingga suhu akan menurun berkisar -90 dan -20oC. setelah sampel
yang dikeringkan terbentuk maka sampel ersebut dapat dihancurkan dalam
bentuk yang lebih kecil, dan bial perlu dapat dilakukan proses penghancuran
melalui grinding. Pada metode ini terdapat kerugian yaitu penggunaan energi
yang cukup tinggi, proses yang cukup lama, dan struktur morfologi yang
terbuka dimana secara umum kurang bagusnya ikatan yang mengelilingi zat
aktif, metode freeze drying lebih mahal 30-50 kali dibandingkan dengan
metode spray drying (Hidayah, 2016).
3. Koaservasi
Koaservasi sering disebut dengan metode “pemisahan fase” yang
dianggap sebagai metode mikroenkapsulasi yang paling baik, karena
komponennya dapat terikat oleh matriks. Metode ini mencakup pengendapan
atau pemisahan fase koloid dari fase cair. Kedua metode dari koaservasi
yaitu secara sederhana dan kompleks dapat digunakan, pada koaservasi
sederhana, polimer yang tidak larut atau yang lebih larut dalam air biasanya
digunakan. Sedangkan pada koaservasi kompleks, kapsul dibentuk oleh
interaksi ionik dari dua polimer bermuatan sebaliknya, pada umumnya
muatan psotif dalam molekul protein dan makromolekul anionic seperti
gelatin dan gum arab (Poshadri dan Kuna, 2010).
4. Fluidized Bed Coating
Metode ini merupakan teknik yang digunakan dalam mengkapsul bubuk
dengan peralatan yang diset dalam proses kontinyu atau tidak. Bubuk
tersebut dibentuk oleh udara yang ekstrim dengan temperatur yang spesifik
kemudian dispray dengan atomisasi untuk membuat bahan penyalut.
Sehingga secara berangsur-angsur bahan aktif akan tertutup oleh bahan
penyalut pada saat dispray. Bahan penyalut yang digunakan harus memiliki
sifat viskositas cocok sehingga dapat dipompa dan diatomisasi, harus stabil
dalam kondisi panas dan seharusnya dapat membentuk lapisan film sebagai
bahan penyalut. Keterbatasan penggunaan teknologi ini hanya dapat
digunakan untuk mengkapsul partikel padat dan ukuran produk yang
terbentuk tidak dapat kurang dari 10 μm (Hidayah, 2016).
Tabel 2.6 Metode Pembuatan Mikroenkapsulasi. Sumber : Pratami, 2018.
Metode Kimia Metode Fisikokimia Metode Fisik Mekanik
Polimerisasi antar muka Koaservasi pemisahan Pengeringan semprot dan
fase pembekuan
Poli kondensasi Enkapsulasi pada gel Piringan pemutar
Polimerasi in situ Mikroenkapsulasi Penguapan pelarut
superkritikal dengan CO2
Penyalutan dalam panci

Tabel 2.7 Proses Mikroenkapsulasi dan kapsul yang dihasilkan. Sumber : da


Silva et al.,, 2014; Hidayah, 2016.
Metode Bahan inti Ukuran Muatan (%)
Mikroenkapsulasi (μm)
Metode fisika
Spray drying Cair / padat 5 - 150 5-50
Freeze drying Cair / padat 600 Berbagai
macam
Spray cooling/chilling Cair / padat 20 - 200 10-20
Fluidized bed coating Padat >100 5-50
Co – Kristalisasi Cair / padat -
Lyophilization Cair -
Metode fisikokimia
Koaservasi sederhana Cair / padat 20 – 500 40-90
Koaservasi kompleks Cair / padat 1 – 500 40-90
Pelarut evaporasi Cair / padat 1-5000
Liposome Cair / padat 0.02 – 3 5-50

2.5.5 Metode Spray Drying


Spray drying merupakan metode mikroenkapsulasi yang telah banyak
dilakukan dan yang paling umum digunakan dalam industri farmasi maupun
industri makanan. Teknik ini merupakan salah satu metode mikroenkapsulasi
yang termasuk secara fisika – mekanika, mempunyai biaya yang sangat murah
dan biasanya digunakan untuk mengenkapsulasi wewangian, vitamin, perasa, dan
minyak essensial (Pratami, 2018). Beberapa produk seperti vitamin, mineral,
pewarna, lemak dan minyak, aroma senyawa, oleoresin dan enzim telah berhasil
dienkapsulasi menggunakan teknik ini (da Silva et al., 2014).
Bagian utama peralatan spray drying terdiri dari bagian inlet (suhu 150–
220°C) dan outlet (suhu 50–80°C) yang diatur untuk menghasilkan bubuk dengan
temperatur kurang dari 100°C (Hidayah, 2016). Ukuran partikel dari
mikroenkapsulasi yang dihasilkan dari metode semprot kering yang dapat dilihat
pada Gambar 2.11. dipengaruhi oleh ukuran penyemprot, laju penyemprotan,
viskositas dan tegangan permukaan (Pratami, 2018). Dalam proses pengeringan
semprot, material inti dicampur atau dihomogenisasi dalam larutan bahan dinding
(bahan penyalut), untuk membentuk emulsi yang stabil. Emulsi ini dimasukkan
ke dalam pengering semprot dan dibentuk menjadi partikel kering (Paenparkdee
et al., 2016).
Metode spray drying memiliki keuntungan dan kerugian, diantaranya:
keuntungan dari teknik ini adalah biayanya yang cukup relatif rendah,
kemudahan dalam scale up (dari skala laboratorium ke skala industri), kapsul
memiliki kualitas tinggi, ukurannya kecil dan stabilitasnya tinggi. Kemudahan
bahan inti untuk lepas tanpa adanya sisa-sisa pelapis, terutama pelapis yang
terbuat dari bahan dengan kelarutan air yang tinggi. Keterbatasan dari proses
spray drying ini mencakup terbatasnya bahan-bahan yang cocok digunakan
sebagai pelapis, pelarut organik (khawatir mudah terbakar dan toksik) (Hidayah,
2016).

Gambar 2.11 skema proses mikroenkapsulasi dengan metode semprot kering


(Spray drying). Sumber : Pratami, 2018.
Selain itu juga, bahan dinding dapat dipilih dari berbagai polimer,
tergantung pada bahan inti dan karakteristik yang diinginkan produk akhir. Untuk
proses pengeringan semprot, bahan dinding harus larut dalam air pada tingkat
yang dapat diterima dan memiliki sifat emulsifikasi yang baik, pembentukan
film, dan pengeringan (Paenparkdee et al., 2016).

2.6 Bahan Penyalut Mikrokapsul


Pilihan bahan dinding yang benar sangat penting karena mempengaruhi proses
enkapsulasi secara efisiensi dan stabilitas pada mikrokapsul. Umumnya, bahan
dinding atau bahan penyalut harus memiliki karakteristik sebagai berikut: tidak reaktif
dengan inti; kemampuan untuk menyegel dan memelihara inti di dalam kapsul;
kemampuan memberikan yang maksimal perlindungan terhadap inti terhadap kondisi
buruk; kekurangan rasa tidak menyenangkan dalam hal penerapan dan kelayakan
ekonomi (da Silva et al., 2014). Material enkapsulasi dapat berupa karbohidrat (pati,
modifikasi pati, dekstrin, selulosa, dan kitosan), gum (gum arab, alginat dan
karagenan), lipid (wax, parafin, mono- dan digliserida, minyak dan lemak
terhidrogenasi), atau protein (gluten, casein, gelatine dan albumin) (da Silva et
al.,2014), bahan penyalut yang umum digunakan dalam metode semprot kering dapat
dilihat pada tabel 2.8.
Tabel 2.8 Bahan penyalut yang umum sering digunakan. Sumber : Poshadri dan
Kuna, 2010, yang telah dimodifikasi.
Kategori Bahan penyalut
Karbohirat Pati, maltodekstrin, chitosan, padatan
sirup jagung, dekstran, pati
termodifikasi, siklodekstrin.
Selulosa Karboksimetil selulosa, metil
selulosa, etil selulosa.
Gum Gum Arab, agar, natrium alginat,
karagenan.
Lipids Lilin, parafin, lilin lebah, glycerols,
minyak, lemak.
Protein Gluten, kasein, gelatin, albumin,
peptide.
2.6.1 Maltodekstrin
Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang
mengandung unit α-D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4
glikosidik dengan DE kurang dari 20. Rumus umum maltodekstrin adalah
[(C6H10O5)nH2O)]. Maltodekstrin dapat diperoleh dengan menghidrolisis pati
singkong secara parsial dengan enzim α-amilase pada suhu 85°C selama 65 menit
(Fasikhatun, 2010). Jenis bahan penyalut dari karbohidrat seperti maltodekstrin,
merupakan bahan penyalut yang baik karena memiliki viskositas yang rendah
pada padatan tinggi dan memiliki sifat kelarutan yang tinggi (Khasanah et al.,
2015).
Beberapa alasan yang mendasari maltodekstrin untuk bahan
mikroenkapsulasi yaitu: maltodekstrin dapat mengurangi reaktifitas bahan inti
dengan lingkungan, controlled release yang cocok untuk bahan inti obat-obatan,
maltodekstrin dapat meningkatkan proses dan tekstur, maltodekstrin dapat
memperkuat kelarutan (Pratami, 2018). maltodekstrin DE 5-10 dari pati singkong
dapat digunakan sebagai bahan penyalut lapis tipis tablet dengan hasil yang
cukup baik pada konsentrasi 10-25%, bahkan pada konsentrasi 10% hasilnya
lebih baik dari tablet yang disalut dengan hidroksimetil selulosa (Fasikhatun,
2010).
2.6.2 Gum arab
Gum arab adalah salah satu bahan dinding atau bahan penyalut yang
berasal daro eksudat alami dari batang dan cabang tanaman polong dari famili
Acacia. Meskipun merupakan salah satu bahan dinding yang paling disukai,
secara umum dapat digunakan untuk bahan inti lainnya karena produksi yang
rendah (300g / tanaman / tahun) dan biaya tinggi (Poshadri dan Kuna, 2010).
Gum arab merupakan bahan pengental emulsi yang efektif karena
kemampuannya melindungi koloid dan sering digunakan dalam industri pangan.
Jenis pengental ini juga tahan panas pada proses yang menggunakan panas. Gum
arab memiliki keunikan karena kelarutannya yang tinggi dan viskositasnya
rendah. Selain kelarutannya yang tinggi, karakteristik utama gum arab adalah
bersifat pembentuk tekstur, pembentuk film, pengikat dan juga pengemulsi yang
baik dengan adanya komponen protein di dalam gum arab (Pratami, 2018).
Gum arab mempunyai sifat yang unik dibandingkan dengan jenis gum yang
lainnya. Hal ini karena sampai konsentrasi 40-50%, tidak memberikan viskositas
yang tinggi sedangkan gum yang lain hanya mampu ditambahkan dengan
konsentrasi 1-5%. Kemampuannya ini dapat menciptakan kestabilan yang
sempurna dan sifat sebagai emulsifier ketika dicampur dengan sejumlah besar
bahan insoluble. Gum arab merupakan agen pengemulsi yang efektif karena
kemampuannya sebagai koloid pelindung. Selain itu, gum arab juga sering
digunakan dalam persiapan pangan emulsi minyak dalam air yang mampu
menstabilkan sebagian besar minyak pada kisaran pH yang luas dan dengan
keberadaan elektrolit meskipun tanpa ditambahakan agen penstabil lainnya.
Meskipun mekanisme emulsifikasi gum arab belum dimengerti dengan jelas,
namun diduga karena kemampuannya membentuk film sehingga mencegah
coalescence globula minyak (Fasikhatun, 2010).

2.7 Evaluasi dan Karakterisasi Mikroenkapsulasi


Untuk mengontrol kualitas produk dan jaminan mutu dari proses
mikroenkapsulasi dilakukan beberapa evaluasi dan karakterisasi. Evaluasi yang
dimaksud yaitu perolehan kembali rendemen semprot kering. Perolehan kembali
ditentukan dengan membandingkan bobot mikrokapsul yang diperoleh dengan
bobot bahan pembentuk mikrokapsul. Karakterisasi mikrokapsul dilakukan
secara fisika dan kimia. Karakterisasi secara fisika meliputi penetapan kadar air,
kelarutan, pemeriksaan bentuk dan morfologi mikrokapsul, serta distribusi
ukuran partikel. Serta uji aktivitas mikrokapsul sesuai bahan inti.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Diagram Alir Penelitian

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratur
3.3 Bahan Penelitian
3.4 Alat Penelitian
3.5 Cara Kerja
3.5.1 Pembuatan ekstrak

Anda mungkin juga menyukai