Anda di halaman 1dari 28

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CRUSH INJURY


DI RUANG SERUNI RUMAH SAKIT DAERAH dr. SOEBANDI
JEMBER

OLEH:
Handita Diani Ratri, S. Kep
NIM 182311101032

PROGRAM STUDI PENDIDIKANPROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER, 2018
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori Tentang Penyakit


1. Review Anatomi Fisiologi
Tulang dideskripsikan sebagai jaringan. Disebut juga dengan sel tulang
yang dikenal dengan nama osteosit, dan matriks tulang terbuat dari garam kalsium
dan kolagen. Garam kalsium merupakan kalsium karbonat dan kalsium fosfat,
yang memberikan kekuatan pada tulang yang membutuhkan untuk berfungsi
sebagai penyokong dan pelindung. Matriks tulang tidak menetap, tetapi terus
berganti secara konstan, dengan kalsium yang diambil dari tulang kedalam darah
digantikan dengan kalsium diet. Dalam keadaan normal, jumlah kalsium yang
berkurang digantikan dengan jumlah yang sama oleh kalsium yang tersimpan.
Osteosit dapat bertindak sebagai mekanosensor yang memberikan signal yang
dibutuhkan untuk pemodelan tulang dan pembentukan kembali sebagai perbaikan
dari perubahan mikroarsitektural didalam matriks tulang. Osteosit dapat
mendeteksi level perubahan hormon, seperti esterogen dan glukokortikoid yang
berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup.

Gambar 1. Bagian dalam tulang


Tulang sebagai organ, dua tipe dari jaringan tulang yang selalu ada, yaitu
tulang kompakta yang bentuk sangat padat tetapi sangat terstruktur. Tulang
kompakta terbuat dari osteon atau sistem havers, keadaan mikroskopik dari
silinder tulang matriks dengan osteosit dalam cincin konsentris mengelilingi
kanalis havers sentralis. Didalam kanalis havers terdapat pembuluh darah, osteosit
terhubung dengan pembuluh darah dari satu dengan yang lainnya sepanjang
mikroskopis dari canaliculi pada matriks. Tipe kedua dari jaringan tulang adalah
tulang spons, terdapat osteosit, matriks,dan pembuluh darah tetapi tidak tersusun
dalam sistem havers.
Osteoblas merupakan sel mesenchymal yang berlokasi pada permukaan
mineral matriks dan bertanggung jawab sebagai pembentukan tulang baru. Dan
juga sebagai sintesis dan pengatur regulasi dan juga mineralisasi dari matriks
ekstraselular. Sedangkan osteoklas merupakan polikaryon besar yang berisi 3
sampai 30 nuklei. Tipikal sel ini mengandung banyak lisosom, mitokondria, dan
kompleks golgi yang luas. Dibawah kondisi normal, osteoklas jarang ditemukan
di tulang, tetapi terlihat banyak pada tulang metafisis yang berkembang atau pada
tulang trabekular pada postmenopausal osteoporosis.

2. Definisi
Crush injury didefinisikan sebagai kompresi dari ekstremitas atau bagian
lain dari tubuh yang menyebabkan pembengkakan otot dan/atau gangguan saraf di
area tubuh yang terkena (Clifton, 2009). Broke (2017) menyebutkan bahwa crush
injury merupakan cidera yang terjadi ketika adanya kekuatan atau tekanan yang
diletakkan pada bagian tubuh. Jenis cedera ini paling sering terjadi ketika bagian
tubuh terjepit di antara dua benda berat. Banerjee (2017) mendefinisikan crush
injury sebagai kondisi yang ditumbulkan dari adanya kompresi ekstremitas atau
bagian tubuh yang lain yang kemudian menyebabkan pembengkakan otot dan/
atau gangguan neurologis. Sedangkan crush syndrome adalah crush injury dengan
manifestasi sistemik. Manifestasi sistemik disebabkan oleh rhabdomyolysis
traumatik karena cedera reperfusi otot ketika gaya tekan pada jaringan dilepaskan.
Hal ini dapat menyebabkan cedera jaringan lokal, disfungsi organ, dan kelainan
metabolik, termasuk asidosis, hiperkalemia, dan hipokalsemia.

3. Epidemiologi
Korban bencana alam, termasuk gempa bumi, dilaporkan memiliki lebih
dari 20% insiden crush injury, seperti halnya 40% dari mereka yang selamat dari
struktur yang runtuh baik dalam bencana alam maupun bencana buatan manusia.
Crush injury juga dapat disebabkan oleh peristiwa yang lebih umum, termasuk
kecelakaan kendaraan, kecelakaan industri atau pertambangan, dan insiden
pertanian, di mana ekstremitas terhimpit pada bagian mesin yang bergerak. Pada
tahun 2005 keseluruhan insiden crush injury adalah 0,1 per 10.000 penduduk,
dengan demikian dapat diketahui bahwa insiden crush injury sangat jarang terjadi.
Namun, apaila pasien dengan crush injury jika ditangani dengan tepat maka
mungkin pasien dapat mengalami kematian. Secara keseluruhan mortalitas dari
crush injury adalah sekitar 5%, tetapi sangat bervariasi dengan penyebab
pencetusnya (Sahjian & Frakes, 2007).

4. Etiologi
Penyebab utama dari crush injury adalah banyak faktor antara lain;
tertindih oleh objek berat, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja pada Industri,
dan kecelakaan kerja lain yang menyebabkan luka hancur yang serius (Sahjian &
Frakes, 2007).

5. Klasifikasi
Menurut klasifikasi Oestern dan Tscherne pada cedera jaringan lunak dalam
fraktur tertutup, pasien dengan crush injury masuk kedalam Grade 3. Berikut ini
adalah klasifikasi Oestern dan Tscherne pada cedera jaringan lunak dalam fraktur
tertutup (Moore, 2013).
Grade 0 a. Kerusakan jaringan lunak minimal
b. Cedera tidak langsung pada ekstremitas
c. Pola fraktur sederhana
Grade 1 a. Abrasi atau lecet superfisial
b. Pola fraktur ringan
Grade 2 a. Abrasi dalam
b. Memar kulit atau otot
c. Pola fraktur yang parah
d. Trauma langsung pada ekstremitas
Grade 3 a. Memar kulit yang luas atau crush injury
b. Kerusakan parah pada otot di bawahnya
c. Sindrom kompartemen
d. Avulsi subkutan

Gambar 2. Klasifikasi Oestern dan Tscherne

6. Patofisiologi
a) Mekanisme Cedera Sel Otot
Patofisiologi crush injury dimulai dengan cedera otot dan kematian sel
otot. Pada awalnya, ada tiga mekanisme yang bertanggung jawab atas
kematian sel otot (Darren et al., 2004):
1) Immediate Cell Disruption: kekuatan lokal yang menghancurkan sel
menyebabkan Immediate Cell Disruption (lisis). Walaupun
memiliki efek immediate, mungkin inilah mekanisme yang paling
tidak berpengaruh dibandingkan dengan kedua mekanisme yang
lain.
2) Direct pressure on muscle cell: tekanan langsung dari crush injury
menyebabkan sel otot menjadi iskemik. Sel-sel kemudian beralih ke
metabolisme anaerobik, menghasilkan sejumlah besar asam laktat.
Iskemia berkepanjangan kemudian menyebabkan sel membran
bocor. Proses ini terjadi selama satu jam pertama setelah crush
injury.
3) Vascular compromise: kekuatan crush injury menekan pembuluh
darah utama mengakibatkan hilangnya suplai darah ke jaringan otot.
Biasanya, otot bisa bertahan sekitar 4 jam tanpa aliran darah (warm
ischemia time) sebelum kematian sel terjadi. Setelah waktu ini, sel-
sel mulai mati sebagai akibat dari kompromais vaskular.
b) Pelepasan Substansi Dari Otot yang Cedera
Mekanisme yang tercantum di atas menyebabkan jaringan otot yang
terluka untuk menghasilkan dan melepaskan sejumlah substansi yang
dapat menjadi racun dalam sirkulasi. Mekanisme tekanan pada crush
injury sebenarnya berfungsi sebagai mekanisme perlindungan,
mencegah racun mencapai sirkulasi pusat (Darren et al., 2004). Setelah
pasien terbebaskan dan tekanan dilepaskan, racun bebas masuk dalam
sirkulasi dan berefek sistemik. Racun-racun tersebut dapat
mempengaruhi organ yang jauh dari lokasi crush injury. Kebocoran
racun dapat berlangsung selama 60 jam setelah crush injury terbebaskan.
Beberapa substansi dan efeknya adalah sebagai berikut (Darren et al.,
2004) :
1) Asam amino dan asam organik lainnya, berkontribusi terhadap
asidosis, aciduria, dan dysrhythmia.
2) Creatine phosphokinase (CPK) dan enzim intraseluler lain,
berfungsi sebagai penanda dalam laboratorium untuk crush injury.
3) Free radicals, superoxides, dan peroxides, terbentuk ketika oksigen
kembali pada jaringan iskemik, menyebabkan kerusakan jaringan
lebih lanjut.
4) Histamin, menyebabkan vasodilatasi, bronkokonstriksi.
5) Asam laktat berperan besar terhadap terjadinya asidosis dan
disritmia.
6) Leukotrienes, berperan dalam cedera paru (ARDS), dan hepatic
injury.
7) Lysozymes, enzim pencernaan sel yang menyebabkan cedera selular
lebih lanjut.
8) Mioglobin presipitat, dalam tubulus ginjal, khususnya dalam
pengaturan asidosis dengan pH urin rendah, mengarah ke gagal
ginjal.
9) Nitratoksida, menyebabkanva sodilatasi, yang memperburuk
hemodinamik.
10) Fosfat hyperphosphatemia, menyebabkan pengendapan kalsium
serum, yang mengarah kehypocalcemia dan disritmia.
11) Kalium hiperkalemia, menyebabkan disritmia, terutama bila
dikaitkan dengan asidosis dan hypocalcemia.
12) Prostaglandin, menyebabkan vasodilatasi, cedera paru.
13) Purin (asam urat), dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih lanjut
(nefrotoksik).
14) Thromboplastin, menyebabkan koagulasi intravaskuler diseminata
(DIC).
c) Konsekuensi Reperfusi
1) Ruang Ketiga. Kebocoran membran sel dan kapiler menyebabkan
cairan intravaskuler terakumulasi ke jaringan yang cedera. Hal ini
menyebabkan hipovolemia yang signifikan dan akhirnya
hipovolemik shock. Kehilangan kalsium ke dalam jaringan yang
cedera juga berkontribusi untuk hypokalsemia (Darren et al., 2004).
2) Sindrom Kompartemen. Kelompok otot yang dikelilingi oleh
lapisan keras dari fasia jaringan membentuk kompartemen jaringan.
Ketika jaringan otot dalam kompartemen membengkak, tekanan
dalam kompartemen juga meningkat. Hal ini menyebabkan iskemia
yang memburuknya dan selanjutnya terjadi kerusakan otot. Selain
itu, pembuluh darah atau saraf yang berjalan melalui kompartemen
juga akan cedera (Darren et al., 2004).

7. Manifestasi Klinis
Crush injury memiliki beberapa tanda dan gejala yang dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu (Clifton, 2009):
a) Hipotensi
Munculnya ruang ketiga yang masif, memerlukan penggantian cairan
yang cukup dalam 24 jam pertama; terjadinya penumpukan cairan pada
ruang ketiga ini mencapai > 12 L selama periode 48-jam. Ruang ketiga
dapat mengakibatkan komplikasi sekunder seperti sindrom
kompartemen, yang merupakan pembengkakan dalam ruang anatomi
tertutup; yang seringkali membutuhkan fasiotomi. Hipotensi juga
berperan dalam insidensi gagal ginjal.
b) Kegagalan Ginjal
Rhabdomyolysis melepaskan mioglobin, kalium, fosfor, dan kreatinin ke
sirkulasi. Myoglobinuria dapat mengakibatkan nekrosis tubular ginjal
jika tidak ditangani. Pelepasan elektrolit dari otot yang iskemik
menyebabkan kelainan metabolik
c) Kelainan Metabolik
Kalsium mengalir ke dalam sel otot melalui membran yang bocor,
menyebabkan hypokalsemia sistemik. Kalium dilepaskan dari otot
iskemik ke dalam sirkulasi sistemik, menyebabkan hyperkalemia. Asam
laktat dilepaskan dari otot iskemik ke dalam sirkulasi sistemik,
menyebabkan asidosis metabolik. Ketidakseimbangan kalium dan
kalsium dapat menyebabkan aritmia jantung yang mengancam jiwa,
termasuk cardiac arrest; dan asidosis metabolik dapat memperburuk
kondisi pasien.
Secara umum, ada beberapa tanda dan gejala lain yang mungkin dapat
dijumpai pada pasien dengan crush injury (Darren et al., 2004) :
a) Cedera kulit
b) Bengkak
c) Kelumpuhan, terjadinya kelumpuhan pada pasien crush injury
menyebabkan seringkali crush injury keliru diartikan sebagai cedera
sumsum tulang belakang.
d) Parestesia, mati rasa dapat menutupi derajat cedera (masking effect).
e) Nyeri, seringkali memberat pada pembebasan crush injury.
f) Nadi, pulsasi distal mungkin ada atau tidak ada.
g) Myoglobinuria, urin dapat menjadi berwarna merah tua atau coklat,
menunjukkan adanya myoglobin.
Beberapa tanda dan gejala yang cukup signifikan yaitu (Darren et al.,
2004) :
a) Hiperkalemia
Seperti disebutkan sebelumnya, hiperkalemia sering hadir pada pasien
dengan crush injury. Dengan tidak adanya analisis laboratorium, tingkat
hiperkalemia dapat diperkirakan secara kasar dengan elektrokardiogram
(EKG). Perubahan elektrokardiografi adalah sebagai berikut:
1) Hiperkalemia ringan (5,5-6,5 mEq/L), hiperkalemia ringan dapat
diketahui dengan adanya gelombang T yang meninggi.
2) Hiperkalemia Sedang (6,5-7,5 mEq/L), ditunjukkan dengan interval
PR yang memanjang, penurunan amplitudovgelombang P, depresi
atau elevasi segmen ST, sedikit pelebaran QRS kompleks.
3) Hiperkalemia berat (7,5-8,5 mEq/L), ditunjukkan dengan adanya
pelebaran lebih lanjut dari QRS karena blok pada bundel cabang
atau intraventricular, gelombang P yang datar dan lebar.
4) Hiperkalemia yang mengancam nyawa (> 8,5 mEq/L), hilangnya
gelombang P; blok AV; disritmia ventrikel; pelebaran lebih lanjut
dari kompleks QRS, akhirnya membentuk pola sinusoid.
b) Sindrom Kompartemen
Seperti disebutkan pada patofisiologi, sindrom kompartemen dapat
terjadi bersamaan dengan crush injury. Tanda dan gejala yang
berhubungan dengan ini meliputi:
1) Nyeri yang berat pada ekstremitas yang terlibat.
2) Nyeri pada peregangan pasif otot-otot yang terlibat.
3) Penurunan sensasi pada saraf tepi yang terlibat.
4) Peningkatan tekanan intracompartmental pada direct manometry.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang utama yaitu kreatin kinase serum, serta miogobin
urin dan serum. Mioglobin yang terlepas dalam jumlah besar melampaui kapasitas
pengikatannya dengan globulin plasma, akan difiltrasi oleh glomeruli dan
mencapai tubuli, yang berakibat obstruksi tubular dan disfungsi ginjal.
Pemeriksaan elektrolit perlu dilakukan untuk mendeteksi secara dini terjadinya
gangguan elektrolit, terutama hiperkalemia, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia.
Pemeriksaan penunjang lainnya sesuai dengan dugaan faktor penyebab, yaitu
antara lain uji toksikologi, kultur bakteri, esai virus, dan imaging radiografik
(Wangko, 2013).

9. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi


Berikut ini adalah penatalaksanaan pada crush injury menurut San
Francisco Emergency Medical Services Agency (2002) .
a) Pra-Rumah Sakit:
1) Masukkan infus cairan sebelum melepas bagian tubuh yang hancur.
(Langkah ini terutama penting dalam kasus crush injury
berkepanjangan (> 4 jam), namun, crush injury dapat terjadi dalam
< 1 jam)
2) Jika prosedur ini tidak dapat dilaksanakan, sebaiknya gunakan
tourniquet pada anggota tubuh yang terlibat sampai hidrasi
intravena (IV) dapat dimulai. Namun penggunaan tourniquet ini
masih menjadi perdebatan.
b) Rumah Sakit
1) Hipotensi:
 Memulai (atau melanjutkan) hidrasi IV sampai dengan 1,5
L/jam cairan yang mengandung kalium (misalnya, laktat
Ringer’s) harus dihindari. Normal salin adalah pilihan awal yang
baik.
2) Kegagalan Ginjal
 Mencegah gagal ginjal dengan hidrasi yang sesuai, dengan
menggunakan cairan IV dan manitol untuk mempertahankan
diuresis minimal 300 cc/jam1
 Triase untuk penentuan diperlukannya hemodialisis
3) Kelainan Metabolik
 Asidosis: alkalinization urin sangat penting; masukkan natrium
bikarbonat IV sampai pH urin mencapai 6,5 untuk mencegah
mioglobin dan endapan asam urat di ginjal.
 Hiperkalemia/Hipokalsemia: pertimbangkan untuk dosis dewasa
adalah sebagai berikut: kalsium glukonat 10% 10cc atau kalsium
klorida 10% 5cc IV dalam 2 menit; natrium bikarbonat 1
meq/kg IV bolus lambat; insulin 5-10 U dan D5O bolus IV 1-2
ampul; kayexalate 25-50g dengan sorbitol 20% 100ml PO atau
PR, atau dialysis untuk gagal jantung akut.
 Jantung Aritmia: Monitor untuk aritmia jantung dan serangan
jantung.
4) Komplikasi sekunder
 Monitor sindrom kompartemen; memonitor tekanan
kompartemen jika peralatan tersedia; mempertimbangkan
fasiotomi darurat untuk sindrom kompartemen.
 Pada luka terbuka dirawat luka (clean, debride, covered sterile),
dan posisikan area yang terlibat sejajar dengan jantung untuk
membatasi edema dan mempertahankan perfusi. Pemberian
antibiotik juga bermanfaat, begitu juga toksoid tetanus.
 Gunakan es untuk area luka dan monitor pada 5 P: pain, pallor,
parasthesias, pain with passive movement,dan pulselessness
 Perhatikan semua luka korban, bahkan yang terlihat baik-baik
saja
 Keterlambatan hidrasi > 12 jam dapat meningkatkan kejadian
gagal ginjal
B. Clinical Pathway

Kecelakaan saat bekerja, adanya bencana


alam, kecelakaan lalu lintas

Terhimpitnya bagian tubuh oleh benda

Crush injury

Benda menekan langsung pada otot Persepsi nyeri

Aliran darah ke otot putus Nyeri akut

Sel otot iskemik

Terjadi kematian sel otot

Kemampuan otot hilang Hambatan mobilitas fisik

Hambatan bergerak Kesulitan untuk melakukan Kesulitan untuk melakukan


miring kanan-miring kiri ADL
Risiko jatuh
Risiko kerusakan integritas Defisit perawatan diri:
kulit mandi
C. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas
Nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
nomor register, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis medis.
b) Keluhan Utama
Alasan yang menyebabkan lansia masuk ke rumah sakit. Biasanya
karena adanya gangguan pada sistem muskoloskletal.
c) Riwayat Kesehatan Sekarang
Sejak kapan timbul keluhan, apakan ada riwayat trauma. Hal-hal yang
menimbulkan gejala. Timbulnya gejala mendadak atau perlahan.
Timbulnya untuk pertama kalinya atau berulang. Perlu ditanyakan pula
tentang ada-tidaknya gangguan pada sistem lainnya.
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat penyakit keluarga perlu diketahui untuk menentukan hubungan
genetik yang perlu diidentifikasi misalnya (penyakit diabetes melitus
yang merupakan predisposisi penyakit sendi degeneratif, TBC, artritis,
riketsia, osteomielitis, dll)
e) Riwayat Kesehatan dahulu
Data ini meliputi kondisi kesehatan individu. Data tentang adanya efek
langsung atau tidak langsung terhadap muskuloskeletal, misalnya
riwayat trauma atau kerusakan tulang rawan, riwayat artritis dan
osteomielitis.
f) Pemeriksaan Fisik
Primary survey
1) Airway: Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya sumbatan
atau obstruksi,
2) Breathing: memastikan irama napas normal atau cepat, pola napas
teratur, tidak ada dyspnea, tidak ada napas cuping hidung,dan suara
napas vesikuler,
3) Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan
darah dibawah normal bila terjadi syok, pucat oleh karena
perdarahan, sianosis, kaji jumlah perdarahan dan lokasi, capillary
refill >2 detik apabila ada perdarahan.
4) Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil
anisokor apabila adanya diskontinuitas saraf yang berdampak pada
medulla spinalis.
5) Exposure/Environment: crush injury pada ekstremitas, luka laserasi
pada wajah dan tangan, memar pada abdomen, perut semakin
menegang.
Secondary survey (pemeriksaan fokus)
1) Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga,
dan mulut. Temuan yang dianggap kritis: Pupil tidak simetris,
midriasis tidak ada respon terhadap cahaya, patah tulang tengkorak
(depresi/non depresi, terbuka/tertutup), robekan/laserasi pada kulit
kepala, darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut, cairan
serebro spinal di telinga atau di hidung, battle sign dan racoon eyes
2) Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher
bagian belakang. Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena
jugularis, deviasi trakea atau tugging, emfisema kulit
3) Dada: lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot
asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang dianggap
kritis: luka terbuka, sucking chest wound, flail chest dengan
gerakan dada para doksikal, suara paru hilang atau melemah,
gerakan dada sangat lemah dengan pola napas yang tidak adekuat
(disertai dengan penggunaaan otot-otot asesoris).
4) Abdomen: memar pada abdomen dan tampak semakin tegang,
lakukan auskultasi dan palpasi dan perkusi pada abdomen. Temuan
yang dianggap kritis ditekuannya penurunan bising usus, nyeri
tekan pada abdomen bunyi dullness.
5) Pelvis: daerah pubik, stabilitas pelvis, krepitasi dan nyeri tekan.
Temuan yang dianggap kritis: pelvis yang lunak, nyeri tekan dan
tidak stabil serta pembengkakan di daerah pubik
6) Extremitas: ditemukan crush injury pada ekstremitas. Anggota
gerak atas dan bawah, denyut nadi, fungsi motorik, fungsi
sensorik.Temuan yang dianggap kritis: nyeri, melemah atau
menghilangnya denyut nadi, menurun atau menghilangnya fungsi
sensorik dan motorik.
7) Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi, pernafasan
dan tekanan darah.
8) Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow
Coma Scale): terjadi penurunan kesadaran pada pasien.

2. Diagnosa Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut (00256)
Definisi: pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau yang digambarkan
sebagal kerusakan; awitan yang tiba-tiba atau lambat dengan intensitas
ringan hingga berat, dengan berakhirnya dapat diantisipasi atau diprediksi,
dan dengan durasi kurang dari 3 bulan.

Batasan karakteristik.
- Perubahan selera makan
- Perubahan pada parameter fisiologis
- Diaforesis
- Perilaku distraksi
- Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri untuk
pasien yang tidak dapat mengungkapkannya
- Fokus menyempit
- Sikap melindungi area nyeri
- Perilaku protektif
- Laporan tentang perilaku nyeri/ perubahan aktivitas
- Dilatasi pupil
- Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri
- Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan standar
instrumen nyeri
- Fokus pada diri sendiri
- Perilaku ekspresif
- Ekspresi wajah nyeri
- Sikap tubuh melindungi
- Putus asa

Faktor yang berhubungan


- Agens cedera biologi
- Agens cedera kimiawi
- Agens cedera fisik
2. Hambatan mobilitas fisik (00085)
Definisi:keterbatasan dalam gerakan fisik satu atau lebih ekstremitas secara
mandiri dan terarah.

Batasan karakteristik:
- Hambatan gangguan sikap berjalan
- Hambatan penurunan keterampilan motorik halus
- Hambatan penurunan keterampilan motorik kasar
- Hambatan penurunan rentang gerak
- Hambatan waktu reaksi memanjang
- Hambatan membolak-balik posisi
- Hambatan melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
- Ketidaknyamanan
- Dyspnea setelah beraktivitas
- Tremor akibat bergerak
- Instabilitas postur
- Gerakan lambat
- Gerakan spastik
- Gerakan tidak terkoordinasi

Faktor yang berhubungan:


- Intoleransi aktivitas
- Ansietas
- Indeks massa tubuh di atas persentil ke-75 sesuai usia
- Kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat
- Penurunan kekuatan otot
- Penurunan kendali otot
- Penurunan massa otot
- Penurunan ketahanan tubuh
- Depresi
- Disuse
- Kurang dukungan lingkungan
- Kurang pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik
- Kaku sendi
- Malnutrisi
- Nyeri
- Fisik tidak bugar
- Keengganan memulai pergerakan
- Gaya hidup kurang gerak
Kondisi terkait:
- Kerusakan integritas struktur tulang
- Gangguan fungsi kognitif
- Gangguan metabolisme
- Kontraktur
- Keterlambatan perkembangan
- Gangguan musculoskeletal
- Gangguan neuromuscular
- Agens farmaseutika
- Program pembatasan gerak
- Gangguan sensori perseptual
3. Defisit perawatan diri: mandi (00108)
Definisi: ketidakmampuan melakukan pembersihan dir saksama secara
mandiri

Batasan karakteristik
- Ketidakmampuan mengakses kamar mandi
- Ketidakmampuan menjangkau sumber air
- Ketidakmampuan mengambil perlengkapan mandi
- Ketidakmampuan mengatur air mandi
- Ketidakmampuan membasuh tubuh
- Ketidakmampuan mengeringkan tubuh

Faktor yang berhubungan


- Nyeri
- Kelemahan
- Ansietas
- Penurunan motivasi
- Kendala lingkungan

Kondisi terkait
- Gangguan fungsi kognitif
- Gangguan muskuloskeletal
- Ketidakmampuan merasakan bagian tubuh
- Gangguan neuromuskular
- Gangguan persepsi
- Ketidakmampuan merasakan hubungan spasial
4. Risiko kerusakan integritas kulit (00047)
Definisi: rentang mengalami kerusakan epidermis dan/atau dermis, yang
dapat mengganggu kesehatan.

Faktor risiko
Eksternal
- Agens cedera kimiawi
- Ekskresi
- Kelembapan
- Hipertermia
- Hipotermia
- Lembap
- Tekanan pada tonjolan tulang
- Sekresi
Internal
- Gangguan volume cairan
- Nutrisi tidak adekuat
- Faktor psikogenik

Populasi berisiko
- Usia ekstrem

Kondisi terkait
- Gangguan metabolisme
- Gangguan pigmentasi
- Gangguan sirkulasi
- Agens farmaseutika
- Gangguan sensasi
- Gangguan turgor kulit
- Terapi radiasi
- Trauma vaskular
- Pungsi arteri
- Perubahan hormonal
- Imunodefisiensi
5. Resiko jatuh (00155)
Definisi rentan terhadap peningkatan risiko jatuh yang dapat menyebabkan
bahaya fisik dan gangguan kesehatan

Faktor risiko
Dewasa
a. Penggunaan alat bantu (misal walker, kursi roda, tongkat)
b. Prosthesis ekstremitas bawah
c. Riwayat jatuh
d. Tinggal sendiri
e. Usia ≥ 60 tahun
Kognitif
a. Gangguan fungsi kognitif
Fisiologis
a. Anemia
b. Artritis
c. Diare
d. Defisit proprioseptif
e. Gangguan keseimbangan
f. Gangguan mendengar
g. Gangguan mobilitas
h. Gangguan visual
i. Gangguan pada kaki
j. Hipotensi ortostatik
k. Inkontinensia
l. Kesulitan gaya berjalan
m. Mengantuk
n. Neoplasma
o. Neuropati
p. Penurunan kekuatan ekstremitas bawah
q. Penyakit vaskuler
r. Periode pemulihan pasca operasi
s. Perubahan kadar gula darah
t. Sakit akut
u. Pusing saat mengekstensikan leher
3. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC) Paraf dan
Keperawatan Nama
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam Manajemen Nyeri (1400)
menunjukkan kriteria hasil 1. Lakukan pengkajian nyeri
Kontrol nyeri (1605) komprehensif yang meliputi
No. Indikator Awal Tujuan lokasi, karakteristik, durasi,
1 2 3 4 5 frekuensi, kualitas, intensitas,
1. Mengenali kapan 2 √ dan faktor pencetus
nyeri terjadi 2. Observasi adanya petunjuk
2. Menggambarkan 2 √ nonverbal mengenai
faktor penyebab ketidaknyamanan
3. Menggunakan 2 √ 3. Perawatan analgesik bagi
tindakan pencegahan pasien dilakukan dengan
4. Menggunakan 2 √ pemantauan yang ketat
tindakan pengurangan 4. Kendalikan faktor lingkungan
nyeri tanpa analgesik yang dapat mempengaruhi
5. Melaporkan nyeri 2 √ respon klien terhadap
yang terkontrol ketidaknyamanan
Keterangan 5. Anjurkan pasien untuk
1. Tidak pernah menunjukkan memonitor nyeri dan
2. Jarang menunjukkan menangani nyeri dengan tepat
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan Pemberian analgesik (2210)
1. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas dan keparahan nyeri
sebelum mengobati
2. Cek adanya riwayat alergi obat
3. Pilih analgesik atau kombinasi
analgesik yang sesuai ketika
lebih dari satu diberikan
4. Berikan analgesik sesuai waktu
paruhnya, terutama pada nyeri
yang berat
5. Cek perintah pengobatan
meliputi obat, dosis dan
frekuensi obat analgesik yang
diresepkan
2. Hambatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam pasien Terapi aktifitas: ambulasi (0221)
mobilitas fisik menunjukkan hasil: 1. Dorong untuk duduk di tempat
tidur, di samping tempat tidur
KoordinasiPergerakan (0212) ("menjuntai"), atau di kursi,
Tujuan sebagaimana yang dapat
No Indikator
1 2 3 4 5 ditoleransi [pasien)
1. Kontraksi kekuatan otot √ 2. Bantu pasien untuk duduk di
2. Bentuk otot √ sisi tempat tidur untuk
3. Kecepatan gerakan √ memfasilitasi penyesuaian sikap
4. Kehalusan gerakan √ tubuh
5. Kontrol gerakan √ 3. Bantu pasien untuk
6. Kemantapan gerakan √ perpindahan, sesuai kebutuhan
7. Keseimbangan gerakan √ 4. Bantu pasien untuk berdiri dan
8. Tegangan otot √ ambulasi dengan jarak tertentu
dan dengan sejumlah staf
Gerakan kearah yang
9. √ tertentu
diinginkan
5. Dorong ambulasi independen
Gerakan dengan waktu
10. √ dalam batas aman
yang diinginkan
6. Dorong pasien untuk "bangkit
Gerakan dengan kecepatan
11. √ sebanyak dan sesering yang
yang diinginkan
diinginkan" (up ad lib), jika
12. Gerakan dengan ketepatan √
sesuai
yang diinginkan
Keterangan:
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu

3. Defisit Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam pasien Bantuan perawatan diri mandi
perawatan menunjukkan hasil: (1801)
diri: mandi 1. Fasilitasi pasien untuk
Perawatan Diri: Mandi (0200) menggosok gigi dengan tepat
Tujuan 2. Fasilitasi pasien untuk mandi
No. Indikator Awal sendiri, dengan tepat
1 2 3 4 5
1. Mandi di bak mandi 2 √ 3. Monitor kebersihan kuku,
2. Mandi dengan bersiram 2 √ sesuai dengan kemampuan
3. Mencuci wajah 2 √ merawat diri pasien
4. Mencuci bagian atas 2 √ 4. Monitor integritas kulit pasien
5. Mencuci bagian bawah 2 √ 5. Dukung orangtua/keluarga
Membersihkan area berpartisipasi dalam ritual
6. 2 √ menjelang tidur yang biasa
perineum
7 Mengeringkan badan 2 √ dilakukan, dengan tepat
Keterangan: 6. Berikan bantuan sampai
1. Sangat terganggu pasien benar-benar mampu
2. Banyak terganggu merawat diri secara mandiri
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
4. Risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam pasien Manajemen Tekanan (3500)
kerusakan menunjukkan hasil: 1. Berikan pakaian yang tidak
integritas ketat pada pasien;
kulit Integritas jaringan: kulit & membran mukosa (1101) 2. Beri bantalan pada tepi
Tujuan balutan gips yang kasar dan
No. Indikator Awal koneksi traksi dengan cara
1 2 3 4 5
1. Suhu kulit 2 √ yang tepat;
2. Sensasi 2 √ 3. Tinggikan ekstremitas yang
3. Elastisitas 2 √ cidera;
4. Hidrasi 2 √ 4. Monitor area kulit dari adanya
5. Keringat 2 √ kemerahan dan adanya pecah-
6. Tekstur 2 √ pecah;
7. Ketebalan 2 √ 5. Berikan pijatan punggung
8. Perfusi jaringan 2 √ atau leher dengan cara yang
Pertumbuhn rambut tepat
9. 2 √
pada kulit
Pengecekan kulit (3590)
10. Integritas kulit 2 √
1. Periksa kulit dan selaput
Keterangan:
lendir terkait dengan adanya
1. Sangat terganggu
kemerahan, kehangatan
2. Banyak terganggu
ekstrim, edema atau drainase;
3. Cukup terganggu
2. Monitor kulit dan selaput
4. Sedikit terganggu
lendir terhadap area
5. Tidak terganggu
perubahan warna, memar, dan
pecah;
3. Monitor sumber tekanan dan
gesekan;
4. Ajarkan anggota keluarga
atau pemberi asuhan
mengenai tanda-tanda
kerusakan kulit dengan tepat

NIC: Pencegahan luka tekan


(3540)
1. Gunakan alat pengkajian luka
tekan atau dekubitus yang
tepat untuk mengkaji risiko
pada pasien;
2. Dorong pasien untuk tidak
merokok dan menghindari
konsumsi alkohol;
3. Ubah posisi klien dengan
teknik yang benar (misalnya,
menghindari untuk menggeser
pasien) dan untuk mencegah
trauma pada kulit;
4. Gunakan kasur khusus anti
dekubitus;
5. Lembabkan kulit yang pecah-
pecah
5. Resiko jatuh Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam, Pencegahan jatuh (6490)
menunjukkan kriteria hasil 1. Identifikasi kekurangan kognitif
Kejadian jatuh (1912) atau fisik dari pasien yang
No. Indikator Awal Tujuan mungkin meningkatkan potensi
1 2 3 4 5 jatuh pada lingkungan tertentu
1. Jatuh saat berdiri 2 √ 2. Indentifikasi perilaku dan faktor
2. Jatuh saat duduk 2 √ yang mempengaruhi risiko jatuh
3. Jatuh saat 2 √ 3. Ajarkan pasien untuk
dipindahkan beradaptasi terhadap modifikasi
4. Jatuh dari tempat 2 √ gaya berjalan yang (telah)
tidur disarankan
5. Jatuh saat 2 √ 4. Letakkan benda-benda dalam
dipindahkan jangkauan yang mudah bagi
pasien
Keterangan : 5. Monitor kemampuan untuk
1. 10 dan labih berpindah dari tempat tidur ke
2. 7-9 kursi atau sebaliknya
3. 4-6
4. 1-3
5. Tidak ada
DAFTAR PUSTAKA

Banerjee. 2017. Crush Injury, Crush Syndrome, Traumatic Rhabdomyolysis,


Muscle Reperfusion Syndrome.
https://www.cancertherapyadvisor.com/critical-care-medicine/crush-injury-
crush-syndrome-traumatic-rhabdomyolysis-muscle-reperfusion-
syndrome/article/585746/. [Diakses pada 25 November 2018].
Broke, J. 2017. Crush Injury. https://medlineplus.gov/ency/article/000024.htm.
[Diakses pada 25 November 2018].
Clifton Rd. 2009. Crush Injury and Crush Syndrome.USA: Centers for Disease
Control and Prevention.
Darren J. Malinoski, MD, Matthew S. Slater, MDc, Richard J. Mullins, MD. 2004.
Crush injury and rhabdomyolysis. Crit Care Clin 20 (2004) 171–192.
Moore, D. 2013. Tscherne Classification.
https://www.orthobullets.com/trauma/1002/tscherne-classification. [Diakses
pada 25 November 2018].
Sahjian, M., & Frakes, M. 2007. Crush Injury. Advance Emergency Nursing
Journal.
https://www.nursingcenter.com/journalarticle?Article_ID=717617&Journal
_ID=646631&Issue_ID=717590. [Diakses pada 25 November 2018].
San Francisco Emergency Medical Services Agency. 2002. Crush Syndrome.
https://web.archive.org/web/20111028105440/http://firespecialops.com/files
/2010/02/San-Fran-EMS-Crush-Protocol.pdf. [Diakses pada 25 November
2018].
Wangko, S. 2013. Rabdomiolisis. Jurnal Biomedik, 5(3): 157-164.

Anda mungkin juga menyukai