Anda di halaman 1dari 92

1

2
3
Mobil Sedot Tinja

4
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb,

Salam sejahtera untuk kita semua,

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan
karunia-Nya, buku panduan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
(Ranperda) Pengelolaan Air Limbah Domestik dapat tersusun.

Buku panduan ini disusun guna menjadi acuan Satker PAMS,


Pemerintah Kabupaten/Kota dan Konsultan dalam melaksanakan
kegiatan Penyusunan Ranperda Pengelolaan Air Limbah Domestik
di provinsi masing-masing. Buku panduan ini berisikan informasi
mengenai Umum, Pembentukan Peraturan Daerah, Penyusunan
Ranperda Pengelolaan Air Limbah Domestik.

Semoga buku panduan ini memberikan manfaat bagi pelaksanaan


kegiatan Bantek Penyusunan Ranperda Pengelolaan Air Limbah
Domestik, TA. 2015.

Kepada semua pihak kami ucapkan terimakasih atas bantuan dan


kerjasamanya. Masukan dan saran sangat kami harapkan demi
penyempurnaan buku panduan ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, Juni2015

Tim Penyusun
Direktorat PPLP Ditjen Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

5i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Tabel iii
Daftar Gambar iii

BAB I UMUM 1
1.1 HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1
1.2 KEDUDUKAN PERATURAN DAERAH 3
1.3 FUNGSI PERATURAN DAERAH 3
1.4 LANDASAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 4
1.5 ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 5
1.6 MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH 6
1.7 ASAS MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH 8

BAB II PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 13

2.1 PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 13
2.2 PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK PERATURAN DAERAH 20

BAB III PENYUSUNAN RANPERDA PENGELOLAAN AIR LIMBAH


DOMESTIK 33

3.1 KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERDA PENGELOLAAN AIR


LIMBAH DOMESTIK 33
3.2 MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH PENGELOLAAN
AIR LIMBAH DOMESTIK MENURUT HIRARKI PERUNDANG-
UNDANGAN 35
3.3 MODEL RANPERDA PENGELOLAAN AIR
LIMBAH DOMESTIK 44

ii
6
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kewenangan Urusan Persampahan 34
Tabel 3.2 Muatan Ranperda Pengelolaan Sampah 41

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tahap Penyusunan Prolegda 14
Gambar 2.2 Tahap Penyusunan Ranperda 15
Gambar 2.3 Tahap Pembentukan Ranperda 19

i7ii
Sanimas Bali - Mck Jempiring

8
9
iplt kota palangkaraya

10
BAB 1
UMUM
1.1 HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 1 (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum. Hal ini bermakna bahwa Indonesia
adalah Negara Hukum (rechtstaat) dan bukan Negara
Kekuasaan (machtstaat); dengan demikian penyelenggaraan
kekuasaan negara didasarkan pada prinsip-prinsip hukum
sebagai landasan untuk menjalankan program pembangunan
nasional. Ketentuan pasal 1 (3) UUD 1945 tersebut adalah
sebagai bentuk titah konstitusi kepada seluruh rakyat Indonesia
terutama para pejabat di tataran pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah untuk dapat memposisikan hukum sebagai
titik tolak dalam bertingkah laku dan merumuskan kebijakan
publik.
Sebagai negara hukum dalam mengimplementasikan berbagai
produk hukum menggunakan teori norma hukum yang
berjenjang (hirarki) dalam artian bahwa produk hukum yang
berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan produk

1
hukum yang lebih tinggi diatasnya (lex superior derogat
legi inferior). Hal ini sebagaimana diimplementasikan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan hirarki
norma hukum yang dianut adalah :
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Jenis Peraturan Perundang-undangan lain mencakup peraturan


yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat, diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.1
Peraturan Daerah dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dibedakan
menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Mengingat lingkup berlakunya Peraturan
Daerah hanya terbatas pada daerah yang bersangkutan
1. Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

2
sedangkan lingkup berlakunya Peraturan Menteri mencakup
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, maka dalam
hirarki, Peraturan Menteri berada diatas Peraturan Daerah.2

1.2 KEDUDUKAN PERATURAN DAERAH

Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan


Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Pada saat
ini Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang sangat
strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain berhak
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah untuk melaksanakan
otonomi daerah dan tugas pembantuan sesuai dengan
ketentuan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

1.3 FUNGSI PERATURAN DAERAH

Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu:


a. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi
daerah dan pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia tahun
1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
b.
Merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan

2. Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia RI, “Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah

3
hirarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian
Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
c. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah
serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam
pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia tahun
1945.
d.
Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan
kesejahteraan daerah.

1.4 LANDASAN PEMBENTUKAN PERATURAN


DAERAH

Dalam Pembentukan Peraturan Daerah paling sedikit harus


memuat 3 (tiga) landasan yaitu:
a. Landasan filosofis, adalah landasan yang berkaitan dengan
dasar atau ideologi Negara;
b. Landasan sosiologis, adalah landasan yang berkaitan
dengan kondisi atau kenyataan empiris yang hidup dalam
masyarakat, dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang
dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan, dan harapan
masyarakat; dan
c. Landasan yuridis, adalah landasan yang berkaitan dengan
kewenangan untuk membentuk, kesesuaian antara jenis
dan materi muatan, tata cara atau prosedur tertentu, dan
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Mengingat Peraturan Daerah adalah merupakan produk

4
politis maka kebijakan daerah yang bersifat politis dapat
berpengaruh terhadap substansi Peraturan Daerah. Oleh
karena itu, perlu dipertimbangkan kebijakan politis tersebut
tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat.

1.5 ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik


termasuk Peraturan Daerah sebagaimana tercantum pada
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 meliputi :
a. Kejelasan Tujuan
Bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai.
b. Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat
Bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk
peraturan perundang-undangan yang berwenang karena
peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan
atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga Negara
atau pejabat yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian Antara Jenis, Hirarki, dan Materi Muatan
Bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan.
d. Dapat Dilaksanakan
Bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan

5
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
Bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
f. Kejelasan Rumusan
Bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan
Bahwa dalam peraturan perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan
dan terbuka.

1.6 MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

Yang dimaksud dengan materi muatan suatu peraturan


perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal
1 angka 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah
materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan
sesuai dengan jenis, fungsi dan hirarki peraturan perundang-
undangan.
Materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas
dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang

6
berbunyi sebagai berikut:
“Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran
lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.
Materi muatan Peraturan Daerah juga dapat memuat sanksi
pidana sebagaimana ketentuan Pasal 15 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011. Materi muatan yang berupa sanksi
pidana dalam Peraturan Daerah berupa ancaman pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga
dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda
sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan lainnya.
Selanjutnya materi Peraturan Daerah dilarang bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 250 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Adapun yang dimaksud dengan “Bertentangan dengan
kepentingan umum” meliputi:
a. Terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b. Terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. Terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat; dan/atau
e. Diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras,
antar-golongan, dan gender.

7
1.7 ASAS MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

Peraturan Daerah mempunyai materi muatan yang mengandung


asas-asas sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mempunyai
pengertian sebagai berikut :
a. Pengayoman
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan
harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Kemanusiaan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga
Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Kebangsaan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-
undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

8
f. Bhineka Tunggal Ika
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya
yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Keadilan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara tanpa kecuali.
h.
Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan
Pemerintahan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan tidak
boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan
latar belakang, antara lain: agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan Kepastian Hukum
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
adanya kepastian hukum.
j. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat
dengan kepentingan bangsa dan negara.

9
Pengelolaan Air Limbah Jawa Tengah

10
11
12
BAB 2
PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH
2.1 PROSES PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH

Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014


tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah menyebutkan
bahwa Pembentukan Produk Hukum Daerah adalah
pembuatan peraturan perundang-undangan daerah yang
mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Usulan
pembentukan produk hukum daerah - yang dimaksud dalam
hal ini adalah Peraturan Daerah – dapat berasal dari dua jalur,
yaitu atas usulan eksekutif (Pemerintah Daerah) dan atas
usulan legislatif (DPRD).
Proses dalam tiap-tiap tahapan tersebut adalah sebagai
berikut:

13
A. Perencanaan
Perencanaan adalah tahap dimana pemerintah daerah dan
DPRD menyusun daftar Peraturan daerah yang akan disusun ke
depan. Proses ini umumnya dikenal dengan istilah penyusunan
Program Legislasi Daerah (Prolegda). Hasil pembahasan
tersebut kemudian dituangkan dalam Keputusan DPRD.
Secara umum ada lima tahap dalam penyusunan Prolegda,
yaitu:

1 2 3 4 5
Tahap Tahap Tahap Tahap Tahap
Mengumpulkan Penyaringan Penetapan Pembahasan Penetapan
Masukan Masukan Awal Bersama Prolegda

Gambar 2.1. Tahap Penyusunan Prolegda

Pada tahap mengumpulkan masukan, Pemerintah Daerah


dan DPRD secara terpisah membuat daftar Ranperda, baik
dari SKPD, anggota DPRD, fraksi dan masyarakat. Hasil dari
proses pengumpulan masukan tersebut kemudian disaring/
dipilih untuk kemudian ditetapkan oleh masing-masing pihak
(Pemerintah Daerah dan DPRD). Tahap selanjutnya adalah
pembahasan masing-masing usulan dalam forum bersama
antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Dalam tahap inilah
seluruh masukan tersebut diseleksi dan kemudian, setelah
ada kesepakatan bersama, ditetapkan oleh DPRD melalui
Keputusan DPRD.
B. Penyusunan
Tahap Penyusunan Ranperda merupakan tahap penyiapan
sebelum sebuah Ranperda dibahas bersama antara DPRD dan
Pemerintah Daerah. Secara garis besar tahap ini terdiri dari:

14
Pembuatan Naskah Akademik

Penyusunan Draft Ranperda

Harmonisasi, Pembulatan, dan


Pemantapan Konsepsi

Persetujuan Draft Ranperda

Gambar 2.2. Tahap Penyusunan Ranperda

Persiapan penyusunan Ranperda di lingkungan Pemerintah


Daerah, lebih rinci adalah sebagai berikut:
1. Kepala Daerah memerintahkan pimpinan SKPD menyusun
Ranperda berdasarkan Prolegda.
2. Pimpinan SKPD menyusun Ranperda disertai dengan
penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.
3. Ranperda diajukan kepada biro hukum provinsi atau bagian
hukum kabupaten/kota.
4. Biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/
kota melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Ranperda.3
5. Kepala Daerah membentuk Tim Penyusun Rancangan
Perda yang diketuai oleh Kepala SKPD pemrakarsa.
6. Ranperda Provinsi yang telah dibahas diparaf koordinasi
oleh kepala biro hukum dan pimpinan SKPD terkait.

3). Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi adalah adalah suatu tahapan untuk memastikan bahwa
1.Ranperda yang disusun telah selaras dengan: a.Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan UU lain, b. Teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan.2.Menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur dalam Ranperda

15
7. Ranperda kabupaten/kota yang telah dibahas diparaf
koordinasi oleh kepala bagian hukum dan pimpinan SKPD
terkait.
8. Pimpinan SKPD mengajukan Ranperda yang telah diparaf
koordinasi kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris
Daerah.
9.
Sekretaris Daerah melakukan perubahan dan/atau
penyempurnaan Ranperda yang telah diparaf koordinasi.
10. Sekretaris Daerah menyampaikan Ranperda kepada Kepala
Daerah.
11. Kepala Daerah menyampaikan ranperda kepada pimpinan
DPRD.
12.
Kepala Daerah membentuk Tim asistensi pembahasan
Ranperda yang diketuai oleh Sekretaris Daerah atau pejabat
yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
Persiapan penyusunan Ranperda di lingkungan DPRD, lebih
rinci adalah sebagai berikut:
1. Pengajuan Ranperda oleh anggota DPRD, komisi,
gabungan komisi, atau Balegda kepada pimpinan DPRD
disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau
naskah akademik.
2. Pimpinan DPRD menyampaikan Ranperda kepada Balegda
untuk pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi Ranperda.
3. Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian Ranperda
kepada semua anggota DPRD dalam rapat paripurna.
4. Pembahasan Ranperda dalam rapat paripurna.
5. Penyempurnaan Ranperda oleh komisi, gabungan komisi,
Balegda atau panitia khusus.

16
6. Ranperda disampaikan kepada pimpinan DPRD.
7. Ranperda disampaikan kepada Kepala Daerah untuk
pembahasan.
C. Pembahasan
Ranperda yang berasal dari DPRD atau Kepala Daerah dibahas
oleh DPRD dan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan
bersama.4 Pembahasan dilakukan melalui 2 (dua) tingkat
pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dan pembicaraan
tingkat II. Urutan kegiatan pembahasan adalah sebagai berikut:
1. Pembicaraan tingkat 1
Dalam hal Ranperda berasal dari Kepala Daerah maka
urutan kegiatan pada pembicaaran tingkat I adalah sebagai
berikut:
a. Penjelasan kepala daerah dalam rapat paripurna
mengenai Rancangan Perda;
b. Pemandangan umum fraksi terhadap Rancangan Perda;
dan
c. Tanggapan dan/atau jawaban kepala daerah terhadap
pemandangan umum fraksi.
Dalam hal Ranperda berasal dari DPRD maka urutan
kegiatan pada pembicaaran tingkat I adalah sebagai berikut:
a. Penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi,
pimpinan Balegda, atau pimpinan panitia khusus dalam
rapat paripurna mengenai Rancangan Perda;
b. Pendapat kepala daerah terhadap Rancangan Perda;
dan
c. Tanggapan dan/atau jawaban fraksi terhadap pendapat
kepala daerah.

4
. Apabila dalam satu masa sidang kepala daerah dan DPRD menyampaikan Ranperda mengenai materi yang sama, maka yang dibahas
Ranperda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan Ranperda yang disampaikan oleh kepala daerah digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan

17
2. Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau
panitia khusus yang dilakukan bersama dengan kepala
daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya.
3. Pembicaraan tingkat II, meliputi:
a. Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang
didahului dengan:
1) penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan
gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang
berisi pendapat fraksi dan hasil pembahasan; dan
2) Permintaan persetujuan dari anggota secara lisan
oleh pimpinan rapat paripurna.
b. Pendapat akhir kepala daerah.
4. Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD
dan kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD
kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi Perda.
Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah
untuk mufakat, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Dalam hal rancangan Perda tidak mendapat persetujuan
bersama antara DPRD dan kepala daerah, Rancangan Perda
tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPRD
masa itu.
Rancangan Perda dapat ditarik kembali sebelum dibahas
bersama oleh DPRD dan kepala daerah. Penarikan kembali
Rancangan Perda oleh kepala daerah, disampaikan dengan
surat kepala daerah disertai alasan penarikan. Penarikan
kembali Rancangan Perda oleh DPRD, dilakukan dengan
keputusan pimpinan DPRD dengan disertai alasan penarikan.
Rancangan Perda yang sedang dibahas hanya dapat ditarik
kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan kepala
daerah.Penarikan kembali Rancangan Perda hanya dapat

18
dilakukan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh
kepala daerah.
Rancangan Perda yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi
pada masa sidang yang sama.

PEMBICARAAN TINGKAT I

Dalam hal Ranperda Dalam hal Ranperda berasal


berasal dari Kepala Daerah dari DPRD

Penjelasan Pimpinan Komisi,


Penjelasan Kepala Daerah Gabungan Komisi, Balegda
atau Panitia Khusus

Pemandangan Umum Fraksi Pendapat Kepala Daerah

Tanggapan Kepala Daerah Tanggapan Fraksi

PEMBICARAAN TINGKAT II
Pembahasan bersama
dengan Kepala Daerah atau
Pejabat yang mewakili Penyampaian Laporan
Pimpinan Komisi, Gabungan
Komisi, Balegda atau
Panitia Khusus

Permintaan Persetujuan dari


Anggota Secara Lisan

Persetujuan Bersama DRPD


dan Kepala Daerah Pendapat Akhir
Kepala Daerah

Gambar 2.3. Tahap Pembahasan Ranperda

19
D. Pengesahan
Setelah ada persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala
Daerah terkait Ranperda yang dibahas bersama, Kepala Daerah
mengesahkan Ranperda tersebut dengan cara membubuhkan
tanda tangan pada naskah Ranperda. Penandatanganan
ini harus dilakukan oleh Kepala Daerah dalam jangka waktu
maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal Ranperda tersebut
disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Jika Kepala
Daerah tidak menandatangani Ranperda tersebut sesuai waktu
yang ditetapkan, maka Ranperda tersebut otomatis menjadi
Perda dan wajib untuk diundangkan. Penomoran Perda
dilakukan oleh kepala biro hukum provinsi atau kepala bagian
hukum kabupaten/kota.
E. Pengundangan
Pengundangan merupakan pemberitahuan secara formal
suatu Perda sehingga mempunyai daya ikat pada masyarakat.
Perda yang telah ditetapkan, diundangkan dalam lembaran
daerah. Tambahan lembaran daerah memuat penjelasan perda
dan ditetapkan bersamaan dengan pengundangan Perda.
Sekretaris Daerah mengundangkan perda. Perda dimuat dalam
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum.

2.2 PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK


PERATURAN DAERAH

Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau


pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap
suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam
suatu Rancangan Peraturan Daerah sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

20
Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor
87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Pemrakarsa dalam
mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan
penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.
Pemrakarsa dalam melakukan Penyusunan Naskah Akademik
dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan pihak ketiga yang mempunyai keahlian sesuai materi
yang akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah. Teknik
penyusunan Naskah Akademik mengikuti ketentuan pada
Lampiran II Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014.

2.2.1 Sistematika Naskah Akademik Adalah


Sebagai Berikut:

Sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut:

JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG- UNDANGAN TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-

21
UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI,
ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
BAB VI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
Uraian singkat setiap bagian adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
Memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan,
identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode
penelitian.
A. Latar Belakang
Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya
penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah tertentu. Latar belakang menjelaskan mengapa
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah suatu Peraturan Perundang-undangan
memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif
mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan
materi muatan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah
tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis,
sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak
perlunya penyusunan Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah.

22
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa
yang akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik
tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu
Naskah Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu
sebagai berikut:
1. Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana
permasalahan tersebut dapat diatasi.
2.
Mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan
masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan
negara dalam penyelesaian masalah tersebut.
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-
Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang
dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik
dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara
mengatasi permasalahan tersebut.
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai
alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum
penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

23
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-
Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik
adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan
pembahasan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah.
D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan
suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode
penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode
penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat
dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis
empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian
sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi
pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang
berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil
penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode
yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi
(focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode
yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali
dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan
Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan
observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner
untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan
yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan
yang diteliti.

24
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
Memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas,
praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial,
politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam
suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut:
A. Kajian teoretis
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan
penyusunan norma. Analisis terhadap penentuan asas-
asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang
kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan
yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian.
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada,
serta permasalahan yang dihadapi masyarakat.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang
akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah
terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya
terhadap aspek beban keuangan negara.

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang- undangan
terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan
Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan
Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan
horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan
yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan
yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan

25
Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak
bertentangan dengan Undang- Undang atau Peraturan Daerah
yang baru.
Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini
dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi
atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui
posisi dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang
baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi,
harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta
posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah untuk
menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari
penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan
landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Undang-
Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN


YURIDIS

1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk

26
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat
dan negara.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang
telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum
yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur
sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang
baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan
yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau
tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-
Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah
ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama
sekali belum ada.

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN


RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-
UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan
ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.
Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi

27
muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah
dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan
yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya
mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup:
A. Ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai
pengertian istilah, dan frasa;
B. Materi yang akan diatur;
C. Ketentuan sanksi; dan
D. Ketentuan peralihan.

BAB VI PENUTUP
Bab penutup terdiri atas sub bab simpulan dan saran.
A. Simpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan
dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan
asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
B. Saran
Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam
suatu Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan
Perundang-undangan di bawahnya.
2.
Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan
Rancangan Undang-Undang/Rancangan Peraturan Daerah
dalam Program Legislasi Nasional/Program Legislasi
Daerah.
3.
Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung
penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih
lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

28
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang bahan
penyusunan Naskah Akademik.
LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

2.2.2 Proses Penyusunan Naskah Akademik

Proses penyusunan Naskah Akademik terbagi dalam beberapa


tahap. Berikut adalah tahapan penyusunan Naskah Akademik:
a. Tahap persiapan penyusunan Naskah Akademik
1) Pembentukan Tim Penyusun Naskah Akademik
2) Pengumpulan data-data dan informasi penyusunan
agenda dan pembagian kerja serta persiapan-persiapan
b. Tahap Pelaksanaan Penyusunan Naskah Akademik
1) Penyusunan Kerangka Draft Naskah Akademik
2) Penyusunan draft naskah akademik
c. Diskusi publik draft Naskah Akademik
1) Menginformasikan draft Naskah Akademik
2) Menghimpun masukan-masukan dan berbagai hal
d. Evaluasi Draft Naskah Akademik
1) Menginventarisasi masukan-masukan
2) Mengakomodir masukan-masukan yang bermanfaat ke
dalam Naskah Akademik
e. Penetapan atau finalisasi draft Naskah Akademik
f. Memberikan Naskah Akdemik kepada lembaga legislative
dan lembaga eksekutif untuk dijadikan sebagai bahan
masukan dan pertimbangan dalam pembahasan
pembentukan peraturan daerah

29
IPAL Perpipaan Terpusat di Denpasar Bali untuk melayani limbah
buangan domestik, perhotelan dan restoran di Denpasar dan
sekitarnya.

30
31
32
BAB 3
PENYUSUNAN RANPERDA
PENGELOLAAN AIR LIMBAH
DOMESTIK
3.1 KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERDA
PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK

Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada


Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Mengenai dasar kewenangan pembentukan Peraturan
Daerah diatur dalam:
a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:
”Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan”
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah [Pasal 65 ayat (2) huruf b, Pasal 154 ayat (1) huruf a,
dan Pasal 236 ayat (2), Pasal 242 (1) ] yang masing-masing

33
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 65 ayat (2) huruf b :
”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan
Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD”
Pasal 154 ayat (1) huruf a :
”DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda
yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat
persetujuan bersama”
Pasal 242 ayat (1) :
“Rancangan Perda Yang telah disetujui bersama oleh DPRD
dan Kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada
Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Perda”
Pasal 236 ayat (2) :
”Perda dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama
Kepala Daerah ”
Pemerintah Daerah memiliki kewenangan di bidang
persampahan yang merupakan bagian dari urusan
pemerintahan konkuren, sebagaimana diatur dalam UU Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota untuk urusan air limbah
adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Kewenangan Urusan Air Limbah Domestik

Daerah
Sub Urusan Daerah Provinsi
Kabupaten/Kota
Air Limbah Pengelolaan dan Pengelolaan dan
pengembangan sistem pengembangan
air limbah domestik sistem air limbah
regional domestik dalam Daerah
kabupaten/kota

34
3.2 MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
MENURUT HIRARKI PERUNDANG-UNDANGAN

Dalam pembentukan Peraturan Daerah Pengelolaan Air Limbah


Domestik belum ada peraturan perundang-undangan yang
secara hirarki memerintahkan secara tegas untuk pembentukan
Perda Pengelolaan Air Limbah Domestik dan Materi Muatan
apa saja yang perlu diatur dalam Peraturan Daerah (Perda)
Pengelolaan Air Limbah Domestik. Namun demikian,
beberapa peraturan perundang-undangan yang secara hirarki
kedudukannya diatas Peraturan Daerah memerintahkan secara
tidak tegas untuk mengatur Pengelolaan Air Limbah Domestik.
Peraturan Perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan
perintah untuk membentuk Perda Pengelolaan Air Limbah
Domestik, adalah :
1. UUD Negara RI tahun 1945
2. UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan
3. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
4. UU No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan Publik
5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Menurut UUD Negara RI Tahun 1945
1. Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 :
“……….membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia …….”

35
2. Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Menurut UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan
Pasal 13, “ Air, sumber-sumber air beserta bangunan-bangunan
pengairan harus dilindungi serta diamankan, dipertahankan
dan dijaga kelestariannya, supaya dapat memenuhi fungsinya
sebagaimana mestinya (mempunyai fungsi sosial serta
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat), dengan
jalan:
a. Melakukan usaha-usaha penyelamatan tanah dan air;
b. Melakukan pengamanan dan pengendalian daya rusak air
terhadap sumber-sumbernya dan daerah sekitarnya;
c. Melakukan pencegahan terhadap terjadinya pengotoran air,
yang dapat merugikan penggunaan serta lingkungannya;
d. Melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap
bangunan pengairan, sehingga tetap berfungsi
sebagaimana mestinya.
Menurut UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
1. Pasal 1 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum.
2. Pasal 13, bahwa pengendalian pencemaran dan/
atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi aspek

36
pencegahan, penanggulangan dan pemulihan dilaksanakan
oleh pemerintah, pemerintah daerah dan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan,
peran, dan tanggung jawab masing-masing. Pada
penjelasan terkait ayat ini yang dimaksud pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
ada dalam ketentuan ini antara lain :
a. pengendalian air, udara, dan laut; atau
b. kerusakan ekosistem dan kerusakan akibat perubahan
iklim
3. Pasal 14, instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup
4. Pasal 20, disebutkan bahwa setiap orang diperbolehkan
untuk membuang limbah ke media lingkungan dengan
persyratan : memenuhi baku mutu lingkungan hidup serta
mendapat ijin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
Menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan
Publik,
1. Pasal 5 ayat (1) Ruang lingkup pelayanan publik meliputi
pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan
administratif yang diatur dalarn peraturan perundang-
undangan.
2. Pasal 5 Ayat (2) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan
dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi,
lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi,
perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata,
dan sektor strategis lainnya.

37
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air
1. (Pasal 8) klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 kelas
yaitu :
(1) kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk air bakti air minum dan atau peruntukkan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut
(2) kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan
ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut
(3) kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air
untuk mengairi pertamanan dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut
(4) kelas empat air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk pertamanan dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut
2. Pasal 20 Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-
masing dalam rangka pengendalian pencemaran air pada
sumber air berwenang :
(1) menetapkan daya tampung beban pencemaran;
(2)
melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber
pencemar;

38
(3) menetapkan persyaratan air limbah untuk aplikasi pada
tanah;
(4) menetapkan persyaratan pembuangan air limbah ke air
atau sumber air;
(5) memantau kualitas air pada sumber air; dan
(6) memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan
mutu air.
3. Pasal 21
(1) Baku mutu air limbah nasional ditetapkan dengan
Keputusan Menteri dengan memperhatikan saran
masukan dari instansi terkait.
(2) Baku mutu air limbah daerah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Propinsi dengan ketentuan sama
atau lebih ketat dari baku mutu air limbah nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(3) Hasil inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar
sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b,
yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota disampaikan kepada Menteri secara
berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali
4. Pasal 23
Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran yang
dipergunakan untuk perizinan termasuk pemberian izin
pembuangan air limbah
5. Pasal 24
(1) Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana
dan atau sarana pengelolaan air limbah yang disediakan
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dikenakan retribusi.
(2)
Retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

39
6. Pasal 31, setiap orang wajib : melestarikan kualitas air
pada sumber air dan mengendalikan pencemaran air pada
sumber air.
7. Pasal 32, ditegaskan bahwa setiap orang yang melakukan
usaha dan atau kegiatan berkewajiban memberikan
informasi yang benar dan akurat mengenai pelaksanaan
kewajiban pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air.
8. Pasal 35,
(1)
Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan
memanfaatkan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada
tanah wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didasar-kan pada hasil kajian Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
(3)
Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan
ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan memperhatian
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
9. Pasal 43
(1)
Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota melakukan upaya pengelolaan dan
atau pembinaan pengelolaan air limbah rumah tangga.
Berikut tabel muatan yang diperintahkan, dalam penyusunan
Ranperda Pengelolaan Air Limbah Domestik.

40
Tabel 3.2 Muatan Ranperda Pengelolaan Air Limbah Domestik

Muatan Yang Pengaturan Dalam Model Ranperda


No
Diperintahkan Pengelolaan Air Limbah Domestik
1. Pengelolaan Air Limbah 1. SPAL secara umum
2. SPAL-T:
a. Cakupan pelayanan SPAL-T
b. Komponen-komponen dari SPAL – T
c. Pengaturan Efluen sebagai hasil akhir pengolahan air
limbah domestik
3. SPAL-S:
a. Cakupan pelayanan SPAL-S
b. Komponen-komponen dari SPAL – S
4. MCK
5. Penyelenggaraan SPAL:
a. Perencanaan
b. Pelaksanaan Konstruksi
c. Operasi dan Pemeliharaan
d. Pemanfaatan
e. Pemantauan dan evaluasi

2 Tugas dan Wewenang 1. Tugas pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan


Pemerintah Daerah Air Limbah Domestik
2. Wewenang pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam
Pengelolaan Air Limbah Domestik
3. Kelembagaan

3 Hak Hak-hak masyarakat dalam pengelolaan air limbah:


a. Mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat terbebas dari
pencemaran air limbah domestik
b. Mendapatkan pelayanan pengelolaan air limbah domestik
c. Mendapatkan pembinaan pola hidup sehat dan bersih dan
pengelolaan air limbah domestik yang berwawasan lingkungan
d. Mendapatkan rehabilitasi lingkungan karena dampak negatif
dari kegiatan pengelolaan air limbah domestik
e. Memperoleh informasi tentang pengelolaan air limbah
domestik

4 Kewajiban 1. Kewajiban setiap orang dalam Pengelolaan Air Limbah


Domestik:
a. Mengelola air limbah domestik
b. Melakukan pengangkutan lumpur tinja
c. Melakukan pembuangan lumpur tinja ke IPLT secara
berkala dan terjadwal
d. Membayar retribusi/iuran
2. Kewajiban setiap orang atau badan sebagai pengelola dan/
atau penanggung jawab SPAL-T skala permukiman atau skala
kawasan tertentu.
a. Melakukan pembuangan lumpur tinja ke IPLT secara
berkala dan terjadwal
b. Melakukan pengolahan air limbah domestik
c. Membangun komponen SPAL-T sesuai dengan ketentuan
teknis
d. Membuat bak kontrol
e. Memeriksa kadar parameter baku mutu air limbah
domestik

41
Muatan Yang Pengaturan Dalam Model Ranperda
No
Diperintahkan Pengelolaan Air Limbah Domestik
5 Peran serta masyarakat a. Peran serta dalam proses perencanaan pengelolaan air limbah
domestik
b. Peran serta dalam pembangunan instalasi pengolahan air
limbah domestik dalam skala yang ditentukan dalam Peraturan
Daerah ini;
c. Memberikan informasi tentang suatu keadaan pada kawasan
tertentu terkait dengan pengolahan air limbah domestik
d. Memberikan saran, pendapat atau pertimbangan terkait
dengan pengelolaan air limbah domestik
e. Melaporkan kepada pihak yang berwajib terkait dengan
adanya pengelolaan dan atau pengolahan air limbah domestic
yang tidak sesuai ketentuan dan atau terjadinya pencemaran
lingkungan dari hasil pembuangan air limbah domestik

6 Perizinan Kewajiban operator air limbah domestik memiliki izin


2. Izin mengelola air limbah domestik dengan sistem setempat
yang terintegrasi dengan IMB
3. Penolakan izin oleh Kepala Daerah
4. Pendelegasian pengaturan tata cara memperoleh izin dengan
Peraturan Bupati/Walikota
5. Izin pengelolaan air limbah domestik dengan sistem terpusat,
wajib mendapat izin lingkungan
6. Pendelegasian pengaturan tata cara memperoleh izin
lingkungan dengan Peraturan Bupati/Walikota

7 Pembiayaan 1. Sumber-sumber pembiayaan


2. Sumber pembiayaan lain yang sah

8 Larangan 1. Kegiatan yang dilarang dalam pengelolaan air limbah domestik


2. Pengaturan lainnya dapat di sesuaikan dengan kebutuhan,
kearifan lokal dan peraturan perundang-undangan di daerah
masing-masing

9 Pembinaan dan pengawasan 1. Lembaga pelaksana pembinaan dan pengawasan


2. Pendelegasian pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati/Walikota

10 Insentif - Desinsentif 1. Pemberian insentif dari pemerintah kepada lembaga dan


badan dan/atau pelaku usaha
2. Pemberian insentif dari pemerintah kepada perseorangan
3. Bentuk-bentuk insentif
4. Pemberian desinsentif dari pemerintah kepada lembaga dan
badan dan/atau pelaku usaha
5. Pemberian desinsentif dari pemerintah kepada perseorangan
6. Bentuk-bentuk desinsentif

11 Sanksi administratif Bentuk-bentuk sanksi administratif


2. Penerapan sanksi administratif
3. Pendelegasian tata cara dan tahapan penerapan sanksi
administratrif diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati/
Walikota

12 Sanksi Pidana 1. Bentuk-bentuk pelanggaran yang mendapat sanksi pidana dan


ancaman sanksi pidananya
2. Pengaturan lainnya dapat di sesuaikan dengan kebutuhan,
kearifan lokal dan peraturan perundang-undangan di daerah
masing-masing

13 Kerjasama dan Kemitraan 1. Tata Cara kerjasama Antar Daerah


2. Kerjasama dengan Badan Usaha

42
Muatan Yang Pengaturan Dalam Model Ranperda
No
Diperintahkan Pengelolaan Air Limbah Domestik
14 Retribusi dan Jasa 1. Bagian dari Pengelolaan Air Limbah Domestik yang dikenakan
Pelayanan retribusi dan/atau jasa pelayanan
2. Penetapan struktur dan besaran retribusi dan/atau tarif jasa
pelayanan
3. Kelembagaan yang melaksanakan pemugutan retribusi dan/
atau jasa pelayanan
4. Amanat untuk mengikuti ketentuan yang berlaku (apabila
sudah ada) untuk besaran dan mekanisme pemungutan
retribusi dan/atau jasa pelayanan

15 Ketentuan Penyidikan 1. Penyidik PPNS


2. Wewenang penyidik PPNS

16 Mekanisme pengaduan dan Pengaduan Masyarakat : tata cara pengaduan dan penanganan
penyelesaian sengketa pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan
2. Lembaga Pengelola pengaduan masyarakat
3. Jenis-jenis sengketa yang mungkin timbul dalam pengelolaan
air limbah domestik
4. Tata cara penyelesaian sengketa dalam pengelolaan air limbah
domestik

17 Materi muatan lainnya Dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing


daerah

43
3.3 MODEL RANPERDA PENGELOLAAN AIR
LIMBAH DOMESTIK

RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
NOMOR....TAHUN....
TENTANG
PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MASA ESA


BUPATI/WALIKOTA....

Menimbang : a. bahwa dalam meningkatkan lingkungan yang


baik dan sehat, serta untuk memperoleh
derajat kesehatan yang optimal merupakan
hak konstitusional warga negara yang dijamin
dalam Undang-Undang Dasar 1945, sehingga
menjadi kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk
menetapkan kebijakan daerah mengenai upaya
kesehatan dan kebijakan pengelolaan lingkungan
hidup;
b. bahwa air limbah domestik yang dibuang ke media
lingkungan Kota/ Kabupaten ....... berpotensi
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan, yang dapat menurunkan derajat
kesehatan dan produktifitas kegiatan manusia;
c. bahwa pengelolaan air limbah domestik merupakan
urusan pemerintah daerah dalam rangka pelayanan

44
umum yang harus dilaksanakan secara sinergi,
berkelanjutan dan profesional, guna terkendalinya
pembuangan air limbah domestik, terlindunginya
kualitas air tanah dan air permukaan, dan
meningkatkan upaya pelestarian fungsi lingkungan
hidup khususnya sumber daya air;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Air limbah Domestik;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan;
2. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 503);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
4. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

45
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal (Iembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2OO5 Nomor 15O,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor a585);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
9. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/
PRT/M/2008 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air
Limbah Permukiman (KSNP-SPALP;)
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun
2011 Tentang Pembentukkan Produk Hukum
Daerah Nomor 694);
11. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 10 /
PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 267);
12. Peraturan Daerah .....

46
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA ……


Dan
BUPATI/WALIKOTA ………………

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN


AIR LIMBAH DOMESTIK

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
1. Air Limbah adalah air buangan yang berasal dari rumah tangga
termasuk tinja manusia dari lingkungan permukiman.
2. Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan
/atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran),
perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama.
3. Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik yang selanjutnya
disingkat SPAL, adalah satu kesatuan sistem fisik (teknik) dan
nonfisik (kelembagaan, keuangan, administrasi, peran masyarakat,
dan hukum) dari prasarana dan sarana Air Limbah Domestik.
4.
Penyelenggaraan SPAL adalah kegiatan merencanakan,
melaksanakan konstruksi, mengoperasikan, memelihara,

47
merehabilitasi, memanfaatkan, memberdayakan masyarakat,
memantau dan mengevaluasi sistem fisik dan nonfisik pengelolaan
Air Limbah Domestik.
5. Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat yang selanjutnya
disingkat SPAL-T adalah SPAL secara kolektif melalui jaringan
pengumpul dan diolah serta dibuang secara terpusat.
6. Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Setempat yang
selanjutnya disingkat SPAL-S adalah SPAL secara individual dan
/atau komunal, melalui pengolahan dan pembuangan Air Limbah
Domestik setempat.
7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan
negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
8. Daerah adalah Kabupaten/Kota ……...
9.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10. ............. adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota .......................
11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota .......................
yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan
rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
12. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintah daerah.
13. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh DPRD kab/kota dengan persetujuan
bupati/walikota

48
14. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah
Peraturan Bupati/Walikota
15. Unit Pelayanan adalah prasarana dan sarana untuk mengumpulkan
Air Limbah Domestik dari rumah.
16.
Unit Pengumpulan adalah prasarana dan sarana untuk
mengumpulkan Air Limbah Domestik dari unit pelayanan melalui
jaringan perpipaan ke unit pengolahan terpusat.
17.
Unit Pengolahan Terpusat adalah prasarana dan sarana untuk
mengolah Air Limbah Domestik dan lumpur secara terpusat.
18. Unit Pengolahan Setempat adalah prasarana dan sarana untuk
mengumpulkan dan mengolah Air Limbah Domestik secara
setempat.
19. Unit Pengangkutan adalah sarana pengangkut lumpur tinja ke unit
pengolahan lumpur tinja.
20. Unit Pengolahan Lumpur Tinja adalah prasarana dan sarana untuk
mengolah lumpur tinja di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).
21.
Unit Pembuangan Akhir adalah sarana pembuangan efluen
hasil pengolahan ke badan air penerima atau saluran drainase,
dan sarana pembuangan lumpur hasil pengolahan ke tempat
pemrosesan akhir.
22. Sistem penyedotan terjadwal adalah penyedotan lumpur tinja yang
dilakukan secara periodik oleh instansi yang berwenang yang
merupakan program pemerintah daerah.
23. Sistim penyedotan tidak terjadwal adalah penyedotan lumpur tinja
atas permintaan pelanggan
24. Baku mutu air limbah domestik adalah batas kadar dan jumlah
unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam limbah cair untuk
dibuang dari satu jenis kegiatan tertentu.
25. Perencanaan adalah proses kegiatan untuk menentukan tindakan
yang akan dilakukan secara menyeluruh dan terpadu terkait dengan

49
aspek fisik dan aspek non fisik .
26.
Pelaksanaan konstruksi adalah kegiatan mendirikan baru atau
memperbaiki prasarana dan sarana fisik yang digunakan dalam
pengelolaan air limbah domestik.
27. Operasi adalah kegiatan operasional dan pemeliharaan prasarana
dan sarana fisik dan non fisik yang digunakan dalam pengelolaan
air limbah domestik.
28. Pemantauan adalah kegiatan pengamatan menyeluruh dan terpadu
sejak tahap perencanaan, pembangunan, dan operasi pengelolaan
air limbah domestik.
29. Evaluasi adalah kegiatan penilaian terhadap seluruh perencanaan,
pembangunan, operasi, pemeliharaan dan pemantauan
penyelenggaraan pengelolaan air limbah domestik, untuk kemudian
dijadikan masukan perbaikan dan peningkatan kinerja pengelolaan
air limbah domestik.
30. Orang adalah seorang dan atau badan hukum
31. Operator air limbah domestik adalah unit yang melaksanakan operasi
dan pemeliharaan sarana dan prasarana air limbah domestik yang
dapat berbentuk unit pelaksana teknis, badan usaha milik daerah,
koperasi, badan usaha swasta, dan/atau kelompok masyarakat
yang melaksanakan pengelolaan air limbah domestik.

Pasal 2
Pengelolaan air limbah domestik berdasarkan pada asas:
a. tanggung jawab;
b. keterpaduan dan keberlanjutan;
c. kelestarian lingkungan hidup;
d. perlindung sumber air;
e. keadilan;

50
f. kehati-hatian;
g. partisipatif; dan
h. manfaat.

Pasal 3
Pengelolaan air limbah domestik bertujuan untuk:
a. mengendalikan pembuangan air limbah domestik;
b. melindungi kualitas air tanah dan air permukaan;
c. meningkatkan derajat kesehatan masyarakat; dan
d. meningkatkan upaya pelestarian lingkungan hidup khususnya
sumber daya air.

BAB II
SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK

Bagian Kesatu
SPAL

Pasal 4
(1) SPAL dilakukan secara sistematis, menyeluruh, berkesinambungan
dan terpadu antara sistem fisik dan non fisik.
(2) Sistem fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek
teknik operasional.
(3) Aspek non fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
aspek kelembagaan, keuangan, administrasi, peran masyarakat,
dan hukum.

51
Pasal 5
(1) SPAL terdiri dari:
a. SPAL-T; dan
b. SPAL-S.
(2) Pemilihan SPAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan:
a. rencana tata ruang wilayah;
b. cakupan pelayanan;
c. kepadatan penduduk;
d. kedalaman muka air tanah;
e. permeabilitas tanah;
f. kemiringan tanah; dan
g. kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat.

Paragraf 1
SPAL-T

Pasal 6
Cakupan pelayanan SPAL-T sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf a, meliputi:

a. skala perkotaan;
b. skala permukiman; dan
c. skala kawasan tertentu.

52
Pasal 7
(1) Skala perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a,
meliputi layanan untuk lingkup kota atau regional.
(2) Skala permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b,
meliputi layanan untuk lingkup permukiman.
(3) Skala kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf c, meliputi layanan untuk lingkup kawasan komersial dan/
atau bangunan tertentu seperti rumah susun, hotel, pertokoan,
pusat perbelanjaan, dan perkantoran.

Pasal 8
(1) Dalam hal sudah terdapat jaringan SPAL-T skala perkotaan, setiap
SPAL-T skala permukiman dan kawasan tertentu yang berada dalam
cakupan pelayanan SPAL-T skala perkotaan, harus disambungkan
pada SPAL-T skala perkotaan.
(2) Dalam hal permukiman baru yang belum termasuk dalam cakupan
pelayanan SPAL-T skala perkotaan, permukiman baru tersebut
harus membuat SPAL-T skala permukiman sesuai persyaratan
teknis yang berlaku.
Pasal 9
Komponen SPAL-T sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a, terdiri dari:

a. unit pelayanan;
b. unit pengumpulan;
c. unit pengolahan; dan
d. unit pembuangan akhir.

53
Pasal 10
(1) Unit pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a,
berfungsi untuk menampung dan menyalurkan air limbah domestik
dari sumber ke unit pengumpulan.
(2) Unit pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari:
a. sambungan rumah; dan
b. lubang inspeksi.

Pasal 11
Unit pengumpulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b,
berfungsi untuk mengumpulkan air limbah domestik dari unit pelayanan
melalui jaringan pengumpul dan menyalurkan ke unit pengolahan.

Pasal 12
(1) Unit pengumpulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
b, dilakukan secara terpisah antara jaringan drainase dan jaringan
pengumpul air limbah domestik.
(2) Pemisahan unit pengumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara bertahap.

Pasal 13
(1) Unit pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c,
berfungsi untuk mengolah air limbah domestik dan lumpur.
(2) Unit pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
prasarana dan sarana Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL),
yang terdiri dari fasilitas utama, fasilitas pendukung, dan zona
penyangga.

54
Pasal 14
(1) IPAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat berupa
IPAL komunal dan/atau IPAL kota.
(2) IPAL komunal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
cakupan pelayanan skala permukiman atau skala kawasan tertentu.
(3) IPAL kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
cakupan pelayanan skala perkotaan.

Pasal 15
Dalam hal fasilitas utama Unit Pengolahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2), tidak dilengkapi dengan bangunan pengolahan
lumpur, lumpur yang dihasilkan harus diangkut dan diolah di IPAL yang
mempunyai bangunan pengolahan lumpur atau diolah di IPLT.

Pasal 16
(1) Unit Pembuangan Akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf d, berfungsi untuk menyalurkan efluen air limbah domestik
dan/atau menampung lumpur hasil pengolahan.
(2) Unit Pembuangan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a. sarana pembuangan efluen; dan
b. sarana penampungan sementara lumpur hasil pengolahan.
(3) Sarana pembuangan efluen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, berupa sistem perpipaan yang menyalurkan efluen hasil
olahan ke badan air penerima atau saluran drainase.
(4)
Sarana penampungan sementara lumpur hasil pengolahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, adalah bangunan
dan/atau wadah penampung lumpur hasil olahan, sebelum dibuang

55
ke tempat pemrosesan akhir sampah, atau untuk dimanfaatkan
lebih lanjut.

Pasal 17
(1) Efluen yang dibuang ke badan air penerima dan/atau saluran
drainase, harus memenuhi standar baku mutu Air Limbah Domestik.
(2) Lokasi pembuangan akhir efluen, harus memperhatikan faktor
keamanan pengaliran sumber air baku dan daerah terbuka.

Paragraf 2
SPAL-S

Pasal 18
(1) Cakupan pelayanan SPAL-S sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) huruf b, meliputi :
a. skala individual; dan/atau
b. skala komunal.
(2) Cakupan pelayanan skala individual sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, meliputi layanan untuk lingkup 1 (satu) unit rumah
tinggal atau bangunan.
(3) Cakupan pelayanan skala komunal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, terdiri atas lingkup:
a. rumah tinggal; dan/atau
b. Mandi Cuci Kakus yang selanjutnya disingkat (MCK).
(4) Pertimbangan dalam pemilihan SPAL-S skala komunal sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan persyaratan
teknis yang berlaku.

56
Pasal 19
Dalam hal permukiman baru tidak termasuk dalam skala cakupan
pelayanan SPAL-T skala permukiman dan skala perkotaan, permukiman
baru tersebut harus membuat SPAL-S skala komunal lingkup rumah
tinggal atau SPAL-T skala permukiman sesuai persyaratan teknis yang
berlaku.

Pasal 20
Komponen SPAL-S sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf b terdiri dari:

a. unit pengolahan setempat;


b. unit pengangkutan;
c. unit pengolahan lumpur tinja; dan
d. unit pembuangan akhir.

Pasal 21
(1) Unit pengolahan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 huruf a, berfungsi untuk menampung dan mengolah air limbah
domestik dari rumah tinggal dan/atau MCK.
(2) Unit pengolahan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat berupa:
a. cubluk kembar;
b. tangki septik dengan sistem resapan;
c. biofilter; dan/atau
d. unit pengolahan setempat air limbah domestik fabrikasi lainnya
sesuai perkembangan teknologi dan dinyatakan layak secara
teknis oleh peraturan perundang-undangan.

57
(3) Unit Pengolahan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus memenuhi persyaratan teknis yang berlaku.

Pasal 22
(1) Lumpur tinja yang terbentuk di tangki septik dengan sistem resapan
pada unit pengolahan setempat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2) huruf b, harus disedot, diangkut, dan diolah di
IPLT secara berkala dan terjadwal.
(2) Lumpur tinja yang terdapat di biofilter dan/atau unit pengolahan
air limbah fabrikasi lainnya pada unit pengolahan setempat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 pada ayat (2) huruf c dan
huruf d, harus disedot, diangkut, dan diolah di IPLT secara berkala
dan terjadwal sesuai dengan spesifikasi pabrik.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang penyedotan lumpur tinja terjadwal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan
Peraturan Bupati/Walikota.

Pasal 23
(1) Unit pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf
b, berfungsi untuk melakukan pengurasan, pengangkutan, dan
pembuangan lumpur tinja dari unit pengolahan setempat ke IPLT.
(2) Unit pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
berupa truk tinja atau motor roda tiga yang telah dimodifikasi
sebagai pengangkut tinja.
(3) Unit pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus
diberi tanda pengenal khusus sebagai kendaraan pengangkut
lumpur tinja.

58
Pasal 24
(1) Unit pengolahan lumpur tinja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 huruf c, berfungsi untuk mengolah lumpur tinja dari
unit pengolahan setempat dan/atau lumpur dari unit pengolahan
SPAL-T.
(2) Unit pengolahan lumpur tinja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), berupa prasarana dan sarana IPLT, yang terdiri dari fasilitas
utama, fasilitas pendukung dan zona penyangga.

Pasal 25
Ketentuan mengenai unit pembuangan akhir pada SPAL-S sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 huruf d, mengikuti ketentuan mengenai
unit pembuangan akhir pada SPAL-T sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dan Pasal 17.

Paragraf 3
MCK

Pasal 26
(1) Unit MCK, dapat berupa:
a. bangunan MCK; dan
b. toilet bergerak (mobile toilet).
(2) Pembangunan MCK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
harus memenuhi ketentuan teknis yang berlaku.
(3) MCK dapat dilakukan oleh Pemerintah atau kelompok masyarakat
pengelola MCK dengan kemampuan memadai.

59
Pasal 27
(1) Lumpur tinja dari bangunan MCK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1) huruf a, harus disedot, diangkut, dan diolah di
IPLT secara berkala dan terjadwal.
(2) Lumpur tinja dari toilet bergerak (mobile toilet) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b, harus disedot, diangkut,
dan diolah di IPLT secara berkala dan/atau setiap selesai suatu
kegiatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyedotan lumpur tinja MCK
terjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bupati/Walikota.

Bagian kedua
Penyelenggaraan SPAL

Pasal 28
Penyelenggaraan SPAL meliputi:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan konstruksi;
c. operasi dan pemeliharaan;
d. pemanfaatan; dan
e. pemantauan dan evaluasi.

60
Paragraf 1
Perencanaan

Pasal 29
Perencanaan SPAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf
a, meliputi:

a. rencana induk;
b. studi kelayakan; dan
c. perencanaan teknis.

Pasal 30
(4) Rencana induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a,
ditetapkan untuk jangka waktu 20 tahun, dan dilakukan peninjauan
ulang atau evaluasi setiap lima tahun sekali.
(1) Rencana Induk SPAL ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.

Pasal 31
(1) Studi kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b,
disusun berdasarkan:
a. rencana induk SPAL yang telah ditetapkan,
b. kelayakan teknis, ekonomi, dan keuangan; dan
c. kajian lingkungan, sosial, hukum, dan kelembagaan.
(2) Studi kelayakan berlaku paling lama 5 (lima) tahun.

61
Pasal 32
(1) Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf
c, disusun berdasarkan:
a. rencana induk SPAL yang telah ditetapkan;
b. hasil studi kelayakan;
c. jadwal pelaksanaan konstruksi;
d. kepastian sumber pembiayaan;
e. kepastian hukum;
f. ketersediaan lahan; dan
g. hasil konsultasi dengan instansi teknis terkait.Perencanaan
teknis
(2) Perencanaan teknis SPAL dilakukan dengan mengacu pada norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang berlaku.

Paragraf 2
Pelaksanaan Konstruksi

Pasal 33
(1) Pelaksanaan konstruksi SPAL sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf b, meliputi kegiatan pembangunan baru dan/atau
rehabilitasi sarana dan prasarana SPAL.
(2) Pelaksanaan konstruksi SPAL sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), harus dilakukan dengan prinsip berwawasan lingkungan.
(3) Pelaksanaan konstruksi SPAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (1) dilakukan sesuai dengan perencanaan teknis yang
telah ditetapkan.

62
Paragraf 3
Operasi dan Pemeliharaan

Pasal 34
(1) Operasi dan pemeliharaan SPAL - T meliputi kegiatan:
a. pengolahan air limbah domestik;
b. pemeriksaan jaringan perpipaan;
c. pembersihan lumpur di bak kontrol;
d. penggelontoran;
e. penggantian komponen; dan
f. perawatan IPAL serta bangunan pendukung lainnya.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
operator air limbah domestik.

Pasal 35
(1) Operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana SPAL-S skala
komunal meliputi kegiatan:
a. pengolahan air limbah domestik;
b. pemeriksaan jaringan dan unit pengolahan setempat;
c. pembersihan lumpur pada bak kontrol;
d. penggelontoran jaringan pipa;
e. perbaikan dan penggantian komponen; dan
f. penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja secara berkala
dan terjadwal.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
kelompok masyarakat pengguna SPAL-S skala komunal

63
Pasal 36
(1) Operasi dan pemeliharaan SPAL-S skala individual meliputi
kegiatan:
a. pengolahan air limbah domestik;
b. pemeriksaan unit pengolahan setempat;
c. perbaikan dan penggantian komponen; dan
d. penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja secara berkala
dan terjadwal.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
individu.

Pasal 37
(1) Operasi dan pemeliharaan unit pengangkutan lumpur tinja meliputi
kegiatan:
a. penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja;
b. pemeriksaan alat angkut lumpur tinja; dan
c. perbaikan dan penggantian komponen.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh operator pengangkutan lumpur tinja dan/atau Pemerintah
Kabupaten/Kota.

Pasal 38
(3) Operasi dan pemeliharaan IPLT meliputi kegiatan:
a. pengolahan lumpur tinja;
b. pemeriksaan IPLT;
c. pembersihan lumpur di bak kontrol;

64
d. perbaikan dan penggantian komponen; dan
e. perawatan IPLT serta bangunan pendukung lainnya.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
operator IPLT.

Paragraf 4
Pemanfaatan

Pasal 39
(1) Setiap orang dapat memanfaatkan efluen air limbah domestik dan/
atau lumpur hasil pengolahan untuk keperluan tertentu.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang pemanfaatan efluen air limbah
domestik dan/atau lumpur hasil pengolahan diatur lebih lanjut
dengan peraturan Bupati/Walikota.

Paragraf 5
Pemantauan dan Evaluasi

Pasal 40
(1) Pemantauan dilaksanakan terhadap seluruh aspek SPAL baik fisik
maupun non fisik.
(2) Evaluasi dilaksanakan terhadap hasil perencanaan, pembangunan,
dan operasional dalam penyelenggaraan SPAL.
(3) Evaluasi harus dilakukan sebagai dasar perbaikan dan peningkatan
kinerja SPAL.
(4) Pemantauan dan evaluasi SPAL-S dilakukan oleh individu atau
kelompok masyarakat dengan pembinaan dan pengawasan dari
pemerintah daerah.

65
Pasal 41
(1) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pemantauan dan evaluasi
secara menyeluruh terhadap penyelenggaraan SPAL.
(2) Pemantauan dan evaluasi SPAL-T skala perkotaan dilakukan oleh
pemerintah Kabupaten/Kota.
(3) Pemantauan dan evaluasi SPAL-T skala permukiman dan skala
kawasan tertentu dilakukan oleh operator air limbah domestik.
(4) Operator air limbah domestik sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) wajib melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi kepada
pemerintah Kabupaten/Kota secara berkala melalui instansi yang
bertugas mengurusi air limbah domestik.

BAB III
TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAERAH

Bagian Kesatu
Tugas

Pasal 42
Pemerintah Daerah bertugas:
a. menyusun rencana SPAL secara menyeluruh;
b. membangun dan/atau mengembangkan prasarana dan sarana
SPAL;
c. melaksanakan pendidikan, penyuluhan dan sosialisasi serta
pembinaan dalam rangka menumbuh-kembangkan kesadaran
masyarakat;
d. memfasilitasi, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi

66
sebagai upaya pengendalian dalam pengolahan, dan pemanfaatan
SPAL;
e. melakukan koordinasi antar lembaga pemerintah, masyarakat, dan
operator SPAL-T; dan
f. menetapkan standar pelayanan minimal pengelolaan air limbah
domestik.

Bagian Kedua
Wewenang

Pasal 43
Pemerintah Daerah berwenang:
a. menetapkan kebijakan dan strategi SPAL;
b. melaksanakan SPAL skala kota, skala permukiman dan skala
kawasan tertentu untuk masyarakat berpenghasilan rendah, sesuai
dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
oleh Pemerintah;
c. memberi izin dan rekomendasi;
d. melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan air
limbah domestik yang dilaksanakan oleh masyarakat, dan/atau
operator air limbah domestik;
e. melaksanakan pengembangan kelembagaan air limbah domestik,
kerjasama antar daerah, kemitraan, dan jejaring tingkat kabupaten/
kota dalam pengelolaan air limbah domestik; dan
f. menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat dalam
pengelolaan air limbah domestik sesuai dengan kewenangannya.

67
Pasal 44
Kelembagaan
(1) Pemerintah Daerah dapat membentuk unit atau instansi sebagai
operator air limbah domestik.
(2) Pemerintah Daerah dapat menunjuk UPTD atau Perusahan Daerah
yang telah ada sebagai operator IPAL dan IPLT.
(3) Perusahaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi
wewenang untuk:
a. mengelola IPAL skala kota dan kawasan;
b. mengelola IPLT;
c. mengelola sistem layanan lumpur tinja terjadwal; dan
d. memungut retribusi atas jasa pelayanan yang diberikan.

BAB IV
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 45
Dalam kegiatan pengelolaan air limbah domestik, masyarakat berhak
untuk:

a. mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dan terbebas dari


pencemaran air limbah domestik;
b. mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan air limbah domestik
yang layak dari pemerintah daerah, dan/atau pihak lain yang diberi
tanggung jawab;
c. mendapatkan pembinaan pola hidup sehat dan bersih dan
pengelolaan air limbah domestik yang berwawasan lingkungan;

68
d. mendapatkan rehabilitasi lingkungan karena dampak negatif dari
kegiatan pengelolaan air limbah domestik; dan
e.
memperoleh informasi tentang kebijakan dan rencana
pengembangan pengelolaan air limbah domestik.

Pasal 46
Setiap orang berkewajiban untuk:
a. mengelola air limbah domestik yang dihasilkan melalui SPAL-S
atau SPAL-T;
b. melakukan pembuangan lumpur tinja ke IPLT secara berkala dan
terjadwal bagi yang menggunakan SPAL-S skala individual; dan
c. membayar retribusi/iuran bagi yang menerima pelayanan sistem
terpusat dan sistem komunal yang dikelola oleh instansi yang
berwenang.

Pasal 47
(1) Setiap orang atau Badan sebagai pengelola dan/atau penanggung
jawab SPAL-S skala komunal wajib melakukan pembuangan lumpur
tinja ke IPLT secara berkala dan terjadwal.
(2) Setiap orang atau Badan sebagai pengelola dan/atau penanggung
jawab SPAL-T skala permukiman atau skala kawasan tertentu wajib
:
a. melakukan pengolahan air limbah domestik sehingga mutu
air limbah yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku
mutu air limbah domestik yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. membangun komponen SPAL-T sesuai dengan ketentuan
teknis yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku;

69
c. membuat bak kontrol untuk memudahkan pengambilan contoh
air limbah domestik; dan
d. memeriksa kadar parameter baku mutu air limbah domestik
secara periodik paling sedikit sekali dalam 6 ( bulan ) bulan.
(3) Hasil pemeriksaan kualitas air limbah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui SKPD yang
bertanggung jawab di bidang pengelolaan air limbah domestik.

Pasal 48
(1) Setiap orang atau Badan sebagai pengelola dan/atau penanggung
jawab SPAL-T skala permukiman atau skala kawasan tertentu
wajib memberikan kesempatan kepada petugas dari SKPD
yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan air limbah untuk
memasuki lingkungan kerja perusahaannya dan membantu
terlaksananya kegiatan petugas tersebut.
(2) Setiap orang atau Badan sebagai pengelola dan/atau penanggung
jawab SPAL-T skala permukiman atau skala kawasan tertentu wajib
memberikan keterangan dengan benar, baik secara lisan maupun
tertulis, apabila diminta oleh petugas.

Pasal 49
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan SPAL meliputi:
a. berperan serta dalam proses perencanaan pengelolaan air limbah
domestik;
b. berperan serta dalam pembangunan instalasi pengolahan air
limbah domestik dalam skala yang ditentukan dalam Peraturan
Daerah ini;
c. memberikan informasi tentang suatu keadaan pada kawasan
tertentu terkait dengan pengolahan air limbah;

70
d. memberikan saran, pendapat atau pertimbangan terkait dengan
pengelolaan air limbah; dan
e. melaporkan kepada pihak yang berwajib terkait dengan adanya
pengelolaan dan atau pengolahan air limbah yang tidak sesuai
ketentuan dan atau terjadinya pencemaran lingkungan dari hasil
pembuangan air limbah.

BAB V
KERJASAMA DAN KEMITRAAN

Pasal 50
Pemerintah Kabupaten/Kota dapat bekerjasama dalam penyelenggaran
SPAL dengan :

a. pemerintah Kabupaten/Kota lain;


b. badan usaha; dan
c. kelompok masyarakat.

Pasal 51
(1) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dituangkan
dalam sebuah perjanjian kerjasama.
(2) Tata cara pelaksanaan kerjasama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 52
Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dapat dilakukan
pada kegiatan antara lain :

71
a. penyedotan lumpur tinja;
b. pengangkutan lumpur tinja;
c. pengolahan lumpur tinja; dan
d. pengolahan air limbah domestik sistem terpusat.

BAB VI
PEMBIAYAAN

Pasal 53
(1) Pembiayaan pengelolaan air limbah domestik setempat skala
individual dan skala komunal bersumber dari masyarakat.
(2) Pembiayaan SPAL-S skala individual dan komunal di kawasan
masyarakat berpenghasilan rendah berasal dari APBD dan atau
sumber lain yang sah.
(3) Pembiayaan pengelolaan air limbah domestik terpusat berasal
dari masyarakat, APBD, subsidi dari Pemerintah dan Pemerintah
Provinsi, serta sumber lain yang sah.

BAB VII
PERIZINAN

Pasal 54
(1) Operator air limbah domestik wajib memiliki izin pengelolaan air
limbah domestik dari Bupati/Walikota.
(2) Izin mengelola air limbah domestik dengan SPAL-S terintegrasi
dalam izin mendirikan bangunan.
(3) Kepala daerah dapat menolak permohonan izin sebagaimana

72
yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung
cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran
dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. kewajiban yang telah ditetapkan sesuai persyaratan bagi pengelola
air limbah domestik tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan;
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Bupati/Walikota.

Pasal 55
(1) Pengelola air limbah domestik dengan SPAL-T, selain izin
pengelolaan air limbah domestik wajib mendapat izin lingkungan.
(2) Tata cara pemberian izin lingkungan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Bupati/Walikota.

BAB VIII
RETRIBUSI DAN JASA PELAYANAN

Pasal 56
(1) Retribusi dan/atau jasa pelayanan air limbah dikenakan atas
jasa pelayanan SPAL-T, pelayanan penyedotan lumpur tinja dan
pembuangan ke IPLT.
(2) Penetapan struktur dan besaran retribusi dan/atau tarif jasa
pelayanan mengacu prinsip membayar pencemaran lingkungan
atau polluters pay principle (ppp).
(3) Pemerintah daerah menunjuk operator air limbah sebagai pemungut

73
retribusi dan/atau tarif.
(4) Pungutan retribusi dan/atau tarif atas jasa pelayanan SPAL
T, sistem layanan lumpur tinja dan IPLT yang tidak dikelola oleh
instansi yang berwenang, ditetapkan dalam izin pengelolaan air
limbah domestik.
(5) Besaran dan mekanisme pemungutan retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan yang berlaku.

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 57
(1) Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan
air limbah domestik dilakukan oleh SKPD yang membidangi air
limbah domestik.
(2) Ketentuan teknis pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Bupati/Walikota.

BAB X
INSENTIF – DESINSENTIF

Bagian Kesatu
Insentif

Pasal 58
(1) Pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada lembaga
dan badan dan/atau pelaku usaha yang melakukan:

74
a. praktik dan innovasi terbaik dalam pengelolaan air limbah
domestik;
b. pelaporan atas pelanggaran terhadap larangan; dan
c. tertib penanganan air limbah domestik.
(2) Pemerntah daerah dapat memberikan insentif kepada perseorangan
yang melakukan:
a. praktik dan innovasi terbaik dalam pengelolaan air limbah
domestik; dan
b. pelaporan atas pelanggaran terhadap larangan.
(3) Insentif kepada lembaga, badan usaha dan perseorangan dapat
berupa :
a. pemberian penghargaan; dan/atau
b. pemberian subsidi.

Bagian Kedua
Desinsentif

Pasal 59
(1) Pemerintah daerah memberikan desinsentif kepada lembaga,
badan dan/atau pelaku usaha dan perseorangan yang melakukan:
a. tidak melaksanakan kewajiban dalam pengelolaan air limbah
domestik; dan/atau
b. pelanggaran tertib pengelolaan air limbah domestik.
(2) Desinsentif kepada lembaga, badan usaha dan perseorangan
dapat berupa:
a. penghentian subsidi; dan/atau
b. denda dalam bentuk uang/barang/jasa.

75
BAB XI
LARANGAN

Pasal 60
Setiap orang atau Badan dilarang:
a. melakukan penyambungan ke dalam jaringan air limbah domestik
terpusat tanpa izin;
b. menyalurkan air hujan ke dalam jaringan air limbah terpusat atau
instalasi pengolahan air limbah domestik setempat;
c. membuang benda-benda padat, sampah dan lain sebagainya yang
dapat menutup saluran dan benda-benda yang mudah menyala
atau meletus yang akan menimbulkan bahaya atau kerusakan
jaringan air limbah domestik terpusat atau instalasi pengolahan air
limbah setempat;
d. membuang air limbah medis, laundry dan limbah industri ke
jaringan air limbah terpusat atau instalasi pengolahan air limbah
setempat;
e. menyalurkan air limbah yang mengandung bahan dengan kadar
yang dapat mengganggu dan merusak sistem air limbah terpusat;
f. menyalurkan air limbah domestik ke tanah, sungai dan sumber air
lainnya tanpa pengolahan;
g. menambah atau merubah bangunan jaringan air limbah terpusat
tanpa izin; dan
h. mendirikan bangunan di atas jaringan air limbah terpusat tanpa
izin.

76
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 61
(1) Setiap orang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46, 47, 48 dan 49 dikenakan sanksi
administrative.
(2) Sanksi administratif sebagimana dimaksud pada ayat (1), berupa:
a. peringatan lisan;
b. peringatan tertulis;
c. pemberlakuan desinsentif;
d. pembekuan sementara izin; dan
e. pencabutan izin;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan tahapan penerapan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bupati/Walikota.

BAB XIII
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 62
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Pemerintah Kota diberi
wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan

77
atau laporan berkenaan dengan tindak pidana agar keterangan
atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai
orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang
dilakukan sehubungan dengan tindak pidana;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi
atau badan sehubungan dengan tindak pidana;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-
dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta
melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana;
g.
menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang
meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan
sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau
dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran
penyidikan tindak pidana menurut hukum yang bertanggung
jawab.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum melalui Penyidik dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang Hukum Acara Pidana.

78
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 63
(1) Setiap orang atau badan yang dengan sengaja melanggar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, diancam hukuman pidana
paling lama 6 (enam) bulan penjara atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelanggaran.
(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masuk ke kas daerah.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 64
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten/Kota ,,,,.

79
Ditetapkan di ....
Pada tanggal …. (bulan) 2015

BUPATI/WALIKOTA ....

Ttd

.................................

Diundangkan di ..............
Pada tanggal ….. (bulan) 2015

Sekretaris Daerah ...........

Ttd

……………………………….

80
81
82

Anda mungkin juga menyukai