Latar belakang
Dengan meningkatnya pembangunan nasional dan juga terjadinya peningkatan
industrialisasi diperlukan saran-sarana yang mendukung lancarnya proses industrialisasi
tersebut, yaitu dengan meningkatkan sektor pertanian. Kondisi pertanian di Indonesia
di masa mendatang banyak yang akan diarahkan untuk kepentingan agroindustri. Salah
satu bentuknya akan mengarah pada pola pertanian yang makin monokultur, baik itu
pada pertanian darat maupun akuakultur. Dengan kondisi tersebut, maka berbagai
jenis penyakit yang tidak dikenal atau menjadi masalah sebelumnya akan menjadi
kendala bagi peningkatan hasil berbagai komoditi agroindustri. Peningkatan sektor
pertanian memerlukan berbagai sarana yang mendukung agar dapat dicapai hasil yang
memuaskan dan terutama dalam hal mencukupi kebutuhan nasional dalam bidang
pangan/sandang dan meningkatkan perekonomian nasional dengan mengekspor hasil
ke luar negeri.
Sarana-sarana yang mendukung peningkatan hasil di bidang pertanian ini adalah alat-
alat pertanian, pupuk, bahan-bahan kimia yang termasuk di dalamnya adalah
pestisida. Di negara-negara dunia ketiga yang sedang berkembang yang mencukup
kebutuhannya sendiri dalam bidang pangan/sandang, penggunaan bahan-bahan kimia
pertanian membantu pada kemajuan dan perkembangan pertanian selanjutnya. Tetapi
di negara-negara berkembang telah mengurangi penggunaan dari bahan-bahan kimia
pertanian karena merupakan salah satu penyebab utama dari pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan terutama lingkungan pertanian disebabkan oleh penggunaan
bahan-bahan kimia pertanian. Telah dapat dibuktikan secara nyata bahwa bahan-
bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida, meningkatkan produksi pertanian dan
membuat pertanian lebih efisien dan ekonomi. Pencemaran oleh pestisida tidak saja
pada lingkungan pertanian tapi juga dapat membahayakan kehidupan manusia dan
hewan dimana residu pestisida terakumulasi pada produk-produk pertanian dan pada
perairan. Bagaimana cara untuk meningkatkan produksi pertanian disamping juga
menjaga keseimbangan lingkungan agar tidak terjadi pencemaran akibat penggunaan
pestisida yang dapat mengganggu stabilitas lingkungan pertanian. Untuk itu perlu
diketahui gambaran umum dari pestisida dan alternatif lain yang dapat menggantikan
peranan pestisida pada lingkungan pertanian dalam mengendalikan hama, penyakit
dan gulma, salah satunya adalah dengan menggunakan pestisida biologi.
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian dan jenis-jenis pestisida
2. Mengetahui pengertian dan jenis-jenis pestisida biologi
3. Mengetahai keuntungan dari pestisida biologi
BAB II
PEMBAHASAN
Gangguan pada tanaman bisa disebabkan oleh faktor abiotik maupun biotik. Faktor
abiotik diantaranya keadaan tanah (struktur tanah, kesuburan tanah, kekurangan unsur hara) ;
tata air (kekurangan, kelebihan, pencemaran air) ; keadaan udara (pencemaran udara) dan
faktor iklim. Gangguan dari faktor abiotik bisa diatasi dengan tindakan pengoreksian atau
tidak bisa dikoreksi dengan penggunaan pestisida. Sedangkan faktor biotik yang
menyebabkan gangguan pada tanaman atau biasa disebut dengan organisme pengganggu
tanaman (OPT). OPT dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : Hama (serangga, tungau, hewan
menyusui, burung dan moluska) ; Penyakit (jamur, bakteri, virus dan nematoda) dan Gulma
(tumbuhan pengganggu). Gangguan yang disebabkan oleh OPT inilah yang bisa dikendalikan
dengan pestisida.
2.2 Penggolongan Pestisida Berdasarkan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman)
1. Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang bisa mematikan
semua jenis serangga.
2. Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan
untuk memberantas dan mencegah fungsi/cendawan.
3. Bakterisida merupakan senyawa mengandung bahan aktif beracun yang bisa
membunuh bakteri.
4. Nermatisida digunakan untuk mengendalikan nematode/cacing
5. Akarisida atau mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang
digunakan untuk membunuh tungau, caplak dan laba-laba.
6. Rodenstisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan
untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus.
7. Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu : siput, bekicot serta
tripisan yang banyak dijumpai di tambak.
8. Herbisida adalah senyawa kimia beracun yang dimanfaatkan untuk membunuh
tumbuhan pengganggu seperti gulma.
9. Algasida digunakan untuk mengendalikan ganggang (algae).
10. Pilkisida digunakan untuk mengendalikan ikan buas.
11. Avisida digunakan untuk meracuni burung perusak hasil pertanian.
12. Antraktan digunakan untuk menarik atau mengumpulkan serangga.
13. ZPT digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman yang efeknya bisa memacu
pertumbuhan atau menekan pertumbuhan.
14. Plant Activator digunakan untuk merangsang timbulnya kekebalan tumbuhan sehingga
tahan terhadap penyakit tertentu.
c. Substansi aktif
Istilah substansi aktif yaitu bahan-bahan yang mempunyai aktivitas tertentu yang
dihasilkan oleh makhluk hidup, dan bahan aktif ini biasanya dapat bersifat positif pada
makhluknya sendiri akan tetapi dapat bersifat negatif atau positif pada makhluk hidup lain.
Substansi aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme umumnya digolongkan menjadi
dua macam, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Substansi aktif primer biasanya
bersifat intraseluler atau terdapat didalam sel. Biasanya metabolit primer dihasilkan dalam
jumlah yang relatif kecil. Substansi sekunder adalah hasil dari metabolisme didalam sel yang
disekresikan keluar dari sel atau dikumpulkan dalam kantong-kantong khusus diantara sel
atau jaringan didalam tubuhnya.
Bacillus thuringiensis membentuk spora yang membentuk kristal protein-toksin. Kristal
tersebut bersifat toksik terhadap serangga. Penelitian Heimpel (1967) diketahui bahwa B.
thuringiensis menghasilkan beberapa jenis toksin, seperti α(alfa), β(beta), γ(gamma)-
eksotoksin, dan δ(delta)-endotoksin, serta faktor louse. Peneliti lain menginformasikan bahwa
yang berperan penting sebagai insektisida adalah protein β-eksotoksin dan δ-endotoksin.
Berbagai macam B. thuringiensis diantaranya:
1. Bacillus thuringiensis varietas tenebrionis menyerang kumbang kentang colorado dan larva
kumbang daun.
2. Bacillus thuringiensis varietas kurstaki menyerang berbagai jenis ulat tanaman pertanian.
3. Bacillus thuringiensis varietas israelensis menyerang nyamuk dan lalat hitam.
4. Bacillus thuringiensis varietas aizawai menyerang larva ngengat dan berbagai ulat, terutama
ulat ngengat diamondback.
d. Insektisida biologi berbahan aktif Bacillus thuringiensis
Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang dapat mengendalikan hama ulat
daun, kumbang daun, dan kutu daun pada tanaman holtikultura. Bakteri B.
thuringiensis cukup efektif untuk mengendalikan berbagai jenis hama dari golongan
lepidoptera, coleoptera, dan hemiptera.
Senyawa toksin penting dalam upaya pengembangan produk bioinsektisida secara
komersial. Karaterisasi kimia β-eksotoksin pertama kali diaporkan oleh Mc. Connel dan
Richard. Peneliti tersebut mengatakan bahwa β-eksotoksin terdiri dari komposisi senyawa
asam nukleat, seperti adenine, ribose, glucose, dan asam alarik dengan ikatan kelompok
fosfat. Selain itu, β-eksotoksin diketahui bersifat termostabil, artinya bahwa senyawa tersebut
tahan atau tidak rusak jika terkena suhu tinggi, maka digolongkan sebagaithermostabel
eksotoksin, larut didalam air dan sangat beracun terhadap beberapa jenis ulat. Sementara α-
eksotoksin bersifat sebaliknya, tidak stabil jika terkena panas. Senyawa tersebut diketahui
beracun bagi mencit dan ulat (Plutella xylostella).
Reaksi toksisitas terhadap serangga dari δ-endotoksin dan strain B.
thuringiensisterhadap serangga tampaknya juga sangat bervariasi. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Heimpel dan rekannya (1959 dan 1967) terhadap serangga Lepidoptera
menunjukkan adanya respon yang berbeda terhadap δ-endotoksin.
Fenomena lain mekanisme kerja dari toksin bakteri B. thuringiensis yaitu, terjadinya
mekanis intraseluler dari β-eksotoksin, sebagai substansi protein aktif yang bersifat racun,
senyawa ini akan menghambat sintesa asam ribonukleat, dengan cara menghentikan proses
katalisa polimerasi oleh DNA-dependen RNA-polymersae.
e. Mekanisme Patogenisitas
Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada
usus serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna
protein serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada
pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau
lubang pada sel sehingga sel mengalami lisis. Pada akhirnya serangga akan mengalami
gangguan pencernaan dan mati.
Gambar. 2.3 Ulat yang mati akibat toksin Bacillus thuringien
f. Cara Isolasi
Isolat Bacillus thuringiensis dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran
hewan, serangga dan bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif
adalah dengan seleksi asetat. Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media
pertumbuhan bakteri (misal LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media
asetat tersebut menghambat pertumbuhan spora B. thuringiensis menjadi sel vegetatif.
Setelah beberapa jam media tersebut dipanaskan pada suhu 80°C selama beberapa menit.
Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh
termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang
telah dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni yang tumbuh kemudian
dipindahkan ke media sporulasi B. thuringiensis. Koloni yang tumbuh pada media ini dicek
keberadaan spora atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk
isolat B. thuringiensis.
g. Penapisan Isolat yang Toksik
Tidak semua isolat Bt beracun terhadap serangga. Untuk itu perlu dilakukan penapisan
daya racun dari isolat-isolat yang telah diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan
untuk hal ini. Pertama dengan pendekatan molekular dan kedua dengan bioasai.
Pendekatan molekular dilakukan dengan PCR menggunakan primer-primer yang dapat
menggandakan bagian-bagian tertentu dari gen-gen penyandi protein kristal (gencry).
Hasil PCR ini dapat dipakai untuk memprediksi potensi racun dari suatu isolat tanpa terlebih
dulu melakukan bioasai terhadap serangga target. Dengan demikian penapisan banyak isolat
untuk kandungan gen-gen cry tertentu dapat dilakukan dengan cepat.
Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat maka perlu dilakukan bioasai
dengan mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat tersebut kepada serangga target.
Dari bioasai ini dapat dibandingkan daya racun antar isolat.
h. Cara Perbanyakan
Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam media cair dapat dilakukan dengan cara
yang mudah dan sederhana. Karena yang diperlukan sebagai bioinsektisida adalah protein
kristalnya, maka diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media
yang mengandung tryptose telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis.
Dalam 2–5 hari B. thuringiensis akan bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan pada
suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis ini dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih
besar dengan fermentor.
i. Potensi sebagai Bioinsektisida
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau protein
kristal Bt dalam bentuk kering atau padatan. Padatan ini dapat diperoleh dari hasil fermentasi
sel-sel Bt yang telah disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan spora dan protein
kristal yang diperoleh dapat dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi, perekat,
perata, dan lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.
2. Jamur Patogen Serangga (Beauveria bassiana)
Contoh insektisida biologi dari jamur adalah Beauveria bassiana. Cendawan ini biasa
dikenal sebagai cendawan patogen serangga yaitu cendawan yang dapat menimbulkan
penyakit pada serangga. Beberapa contoh serangga yang dapat dikendalian oleh Beauveria
bassiana antara lain berbagai jenis wereng, walang, walang sangit, ulat, lembing dan sundep
beluk (penggerek batang).
Beauveria bassiana secara alami terdapat didalam tanah sebagai jamur saprofit.
Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, seperti kandungan
bahan organik, suhu, kelembapan, kebiasaan makan serangga, adanya pestisida sintetis, dan
waktu aplikasi. Secara umum, suhu di atas 30 C, kelembapan tanah yang berkurang dan
adanya antifungal atau pestisida dapat menghambat pertumbuhannya.
Beauveria bassiana termasuk dalam golongan pathogen serangga ordo Monililes, famili
Moniliaceae. Jamur Beauveria bassiana menyerang banyak jenis serangga, di antaranya
kumbang, ngengat, ulat, kepik dan belalang. Jamur ini umumnya ditemukan pada serangga
yang hidup di dalam tanah, tetapi juga mampu menyerang serangga
pada tanaman atau pohon.
a. Klasifikasi BVR (Beauveria bassiana)
Kerajaan: Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Sordariomycetes
Ordo : Hypocreales
Famili : Cordycipitaceae
Genus : Beauveria