Anda di halaman 1dari 22

1. BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Bumi adalah rumah (ekologi )bagi


makhluk hidup. Makhluk hidup perlu melakukan adaptasi untuk sintas di bumi
ini, sehingga terjadilah interaksi. Interaksi yang terjadi meliputi factor biotik
dan abiotik. Makhluk hidup terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan dan jasad
renik (mikroorganisme). Mikroorganisme memberikan peranan penting bagi
kelangsungan hidup di bumi ini. Contohnya, pada sebuah pohon, pohon tidak
akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang berarti jika tidak ada
mikroba di akar-akarnya yang membantu dalam penyerapan air, perlindungan
terhadap akar, dan sebagainya. Seperti yang kita ketahui jikalau pohon salah
satu penghasil oksigen terbesar di bumi, oksigen sangat penting bagi
manusia dari dulu hingga sekarang, beruntungnya oksigen tak pernah kurang
untuk makhluk hidup di bumi ini. Jadi dapat disimpulkan mikroorganisme
(jasad renik) penting untuk kehidupan di bumi ini. Maka dari itu marilah kita
dalami lebih lanjut apa itu mikroorganisme dan apa perannya terutama di
bidang pertanian. 1.2 Tujuan Untuk mengetahui peranan mikrob dalam
bidang pertanian 1.3 Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah dari
mikroorganisme ? 2. Bagaiman bentuk dan susunan pada mikroorganisme?
3. Bagaimana pertumbuhan dan cara hidup mikroorganisme? 4. Dimana saja
terdapat mikroorganisme ? 5. Apa saja peran mikroorganisme di bidang
pertanian ? 1
2. 5. 1.4 Manfaat 1. Mengetahui asal-muasal ditemukannya mikroorganisme 2.
Mengerti bentuk dan susunan mikroorganisme 3. Mengetahui penyebaran
mikroorganisme 4. Mengetahui peran mikroorganisme di bidang pertanian
dan berita terbarunya. 2
3. 6. BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Mikrobiologi Mikrobiologi
adalah ilmu yang mempelajari bentuk, sifat, kehidupan dan penyebaran jasad
hidup yang termasuk mikroba (jasad renik, mikrobia, mikroorganisme).
Mikroba berasal dari kata: micros: kecil/sangat kecil, bios= hidup/kehidupan.
bidang ilmu biologi ini mencangkup salah satu kelompok besar jasah hidup
yang mempunyai bentuk dan ukuran sangat kecil, serta sifat hidup yang
berbeda dengan jasad lain umumnya(Suriawiria,1985). Mikroorganisme
memiliki fleksibilitas metabolisme yang tinggi karena mikroorganisme ini harus
mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang besar sehingga apabila ada
interaksi yang tinggi dengan lingkungan menyebabkan terjadinya konversi zat
yang tinggi pula. Akan tetapi karena ukurannya yang kecil, maka tidak ada
tempat untuk menyimpan enzim-enzim yang telah dihasilkan. Dengan
demikian enzim yang tidak diperlukan tidak akan disimpan dalam bentuk
persediaan. Enzim-enzim tertentu yang diperlukan untuk perngolahan bahan
makanan akan diproduksi bila bahan makanan tersebut sudah ada.
Mikroorganisme ini juga tidak memerlukan tempat yang besar, mudah
ditumbuhkan dalam media buatan, dan tingkat pembiakannya relatif cepat
(Darkuni,2001). Oleh karena aktivitasnya tersebut, maka setiap
mikroorganisme memiliki peranan dalam kehidupan, baik yang merugikan
maupun yang menguntungkan (Iqbal,2008). 3
4. 7. BAB III PEMBAHASAN 3.1 Sejarah Mikroorganisme Dunia mikroorganisme
terdiri dari lima kelompok organisme : bakteri, protozoa, virus, algae, dan
cendawan mikroskopis. Mikrobiologi dapat dikatakan ilmu yang masih muda.
Dunia jasad renik barulah ditemukan sekitar 300 tahun yang lalu, dan makna
sesungguhnya mengenai mikroorganisme itu barulah dipahami dan dihargai
200 tahun kemudian. Selama 40 tahun terakhir, mikrobiologi muncul sebagai
bidang biologi yang berarti. Kini mikroorganisme digunakan hamper semua
peneliti dalam gejala biologis (Pelczar,1986). Dunia mikroba walaupun sudah
lama dikenal peranannya didalam kehidupan, baru terbuka secara luas
setelah Anthony van Leeuwenhoek (1632-1723) menciptakan mikroskop
sederhananya. Diaktakan sederhana karena mikroskop tersebut hanya terdiri
dari satu lensa yang dapat mencapai perbesaran kurang dari 200 kali. Tetapi
dengan adanya mikroskop sederhana tersebut maka rahasia besar tentang
bentuk mikroba yang sebelumnya masih merupakan masalah misteri , mulai
terbuka dan terungkap(Suriawiria,1986). Dunia mikroba mulai terbuka lagi
ketika Louis Pasteur (1822-1895) seorang ahli kimia Prancis, menemukan
prinsip-prinsip dasar yang berkaitan dengan sifat hidup mikroba, antara lain
dalam masalah fermentasi, sehingga banyak masalah dan pertanyaan yang
tadinya belum terjawab setelah penemuan-penemuan Pasteur menjadi
jelas(Suriawiria,1986). Tampil pula peranan penemu lainnya yang berjasa
banyak didalam mikrobiologi seperti Robert Koch (1843-1910) seorang dokter
Jerman. Atas penemuan dan hasil penelitiannya, kemudian kaitan dan
peranan mikroba sebagai jasad penyebab penyakit dapat diterangkan secara
jelas. Sehingga salah satu batasan (postulat) yang telah disusunnya saat itu,
masih tetap berlaku sampai sekarang ini, yang umum dikenal dengan nama
Postulat Koch(Suriawiria,1986). Dalam postulat-postulat Koch disebutkan,
untuk menetapkan organism sebagai suatu penyakit, maka organism tersebut
harus memenuhi sejumlah syarat berikut. 1. Mikroorganisme yang dicurigai
haruslah segera diselidiki agar segera diketahui bila penyakit sedang
berjangkit. 2. Mikrorrganisme itu dapat diambil (diisolasi) dan ditumbuhkan
menjadi biakan murni (pure culture) di laboratorium. 4
5. 8. 3. Jika biakan murni itu disuntikan kepada binatang yang sehat, maka akan
menimbulkan penyakit yang sama. 4. Mikroorganisme yang disuntikkan pada
binatang yang sehat tersebut dapat diperoleh kembali menggunakan
prosedur laboratorium(Irianto,2012). Mengenai perkembangan mikrobiologi
dapatlah disimpulkan bahwa mikrobiologi maju dengan pesat karena hal-hal
berikut : 1. Penemuan serta penyempurnaan mikroskop 2. Jatuhnya teori
abiogenesis 3. Keyakinan orang bahwa pembusukan itu disebabkan oleh
mikroorganisme 4. Bukti yang menunjukkan bahwa penyakit itu disebabkan
oleh bibit penyakit(Irianto, 2012). 3.2 Bentuk dan susunan Mikroorganisme
Bentuk umum mikroba terdiri dari satu sel (uniseluler) seperti yang umum
didapatkan pada bacteria, ragi dan mikralge. Dapatt pula berbentuk filament
atau serat, yaitu rangkaian sel yang terdiri dari 2 sel atau lebih yang
berbentuk rantai, seperti yang didapatkan pada fungi dan mikroalge. Bentuk
filament pada kenyataannya dapat berupa filament semu kalau hubungan
antar sel satu dengan lainnya tidak ada atau tidak nyata (missal pada
beberapa jenis ragi dan fungi ), dan filament benar kalau hubungan satu
dengan lainnya terdapat hubungan yang jelas, baik hubungan secara
morfologis (bentuk) atau secara fisiologis ( fungsi sel), misalnya pada
beberapa jenis fungi dan mikroalge. Bentuk lain yang perlu diketengahkan
adalah koloni, yaitu gabungan dua sel atau lebih sidalam satu ruang seperti
yang didapatkan pada mikroalge. Bentuk jaringan semu yaitu susunan serat
membentuk jaringan seperti yang didapatkan pada fungi, tetapi jaringan
tersebut tidak berfungsi seperti layaknya jaringan yang dimiliki tanaman tinggi
atau hewan. Selintas perlu diketahui bahwa bakteri dan juga mikroalge biru-
hijau tidak mempunyai inti yang jelas seperti halnya terdapat pada jasad
hidup lainnya. Sebagai penggantinya ditemukan nukleo-protein. Bentuk sel
mikroba, perlu menengetengahkannya adanya variasi bentuk pada sel
bakteri. Bentuk umum bakteri adalah bulat (kokus), dan batang/bulat
memanjang (basil). Dari kedua bentuk ini didapatkan variasi seperti , a.
Bakteri berbentuk bulat (Bola) - Monokokus, pada Neisseria gonorrhoeae,
penyebab penyakit kencing nanah 5
6. 9. - Diplokokus, pada Diplococcus penumoniae, penyebab radang paru-paru -
Sarkina - Streptokokus - Stafilokokus b. Bakteri berbentuk batang - Basilus
tinggal, pada Salmonella typhi penyebab penyakit tipus - Diplobasil -
Streptobasil, pada Bacillus anthracis penyebab penyakit antraks. c. Bakteri
berbentuk melilit - Spiral, pada Spirillum - Vibrio, pada Vibrio cholerae
penyebab penyakit kolera - Spirochaeta Bentuk umum (variasi bentuk) yang
kemudian terjadi baik secara tetap ataupun sebagai bentuk kelainan karena
pengaruh lingkungan, untuk tiap kelompok mikroba berbeda-beda. Bahkan
akibat pengaruh lingkungan ini terdapat bentuk involusi yaitu bentuk
sementara yang terjadi karena lingkungan yang berbeda. Missal bentuk
bacteria Bacillus megaterium terhadap kehadiran senyawa karsinogen. Yang
normal memiliki bentuk bulat lonjong, sedang yang terkena pengaruh
senyawa tersebut terbentuk hampir bulat atau tidak beraturan. Tetapi bentuk
yang terakhir tersebut adalah bentuk sementara, karena begitu lingkungannya
kembali normal, bentuknya akan kembali ke asal lagi. Sel mikroba, sebagi
contoh umum disini adalah sel bakteri, mempunyai ciri-ciri morfologis (bentuk
luar) dan antomis(bentuk/kandungan dalam) yang unik kalau dibandingkan
dengan sel jasad hidup lainnya. a. Susunan luar 1. Kapsula Berupa lapisan
mucus (lendir) yang melindungi sel, tersusun oleh hasil metabolism sel yang
disekresikan. Umumnya lapisan ini terdiri dari senyawa kompleks yakni
polisakarida, gula amina, asam gula dan campurannya. Bakteri berkapsul
yang tumbuh dalam susu akan menyebabkan susu tersebut menjadi
berlendir. Fungsi kapsul ialah melindungi sel terhadap kehadiran factor
lingkungan yang merugikan, dan juga bertindak sebagi pengikat sel. Secara
khusus, kapsula bagi 6
7. 10. bakteri punya arti yang penting karena erat hubungannya denga
pathogenitas suatu jenis. Jenis pathogen (penyebab penyakit) misalnya, akan
turun nilai keganasannya (virulensinya) kalau kapsul dihilangkan. 2.
Flagella/Trikha Berupa alat pergerakan bakteri yang ditemukan hampir pada
semua jenis berbentuk lengkung dan sebagian yang berbentuk batang.
Flagela terdiri dari tiga bagian : tubuh dasar, struktur seperti kait, dan sehelai
filament panjang di luar dinding sel. Flagella terbuat dari subunit-subunit
protein, protein ini yang disebut flagelin.Berukuran sangat kecil dan tidak
terlihat dengan hanya menggunakan mikroskop biasa, rata-rata ketebalan
0,02-0,1 mikron dengan panjang tidak melebihi panjang selnya. Adapun
prosedur warna khusus yang menggunakan mordan (substansi yang
mengikat zat warna pada suatu permukaan), diameternya dapat diperbesar
dengan cukup untuk membuatnya tampak dibawah mikroskop cahaya. Bukti
tak langsung ada flagella dapat dilihat pada preparat basah adanya
pergerakan. Berdasarkan letaknya flagella pada bakteri dapat dibagi menjadi
4 golongan, yaitu: - Monopolar-Monotrikha, flagella hanya satu buah terletak
pada bagian ujung sel - Monopolar-Lofotrikha, flagella banyak, tetapi pada
salah satu ujung sel saja - Bipolar-Amfitrikha, tiap-tiap ujung sel terletak satu
buah atau satu berkas flagella - Peritrikha, jumlah flagella sangat banyak dan
terletak di semua permukaan sel 3. Dinding sel Bagian ini selain berperan
dalam melindungi sel, juga berpegaruh terhadap bentuk sel. Sifatnya elastis,
terletak di antara kapsula dan membran sitoplasma dengan susunan kimiawi
yang kompleks. Pada umumnya makromolekul dinding sel terdiri dari bahan
mukokompleks, yaitu bahan utama penyusun dinding sel, tersusun oleh
heteropolomer zat gula amino (asetil glukosamin) dan asam asetil muramat
dengan asam amino seperti glutamate, alanin, glisin, diaminopimelat atau
lisin. Fungsi dinding sel yang paling menonjol antara lain : - Member
perlindungan kepada protoplasma - Berperan didalam reproduksi sel - Turut
mengatur pertukaran zat dari dalam dan luar sel (karena bersifat
seemipermeabel) 7
8. 11. - Mempengaruhi kegiatan metabolisme 4. Pili Bagian ini sering disebut
fimbria, adalah benang-benang halus yang keluar/menonjol dari dinding sel,
yang hanya ditemukan pada bakteri berbentuk batang bersifat Gram negative.
Susunan kimia pili terdiri dari protein yang dinamakan pilia, yaitu
heteropolimer dari 18 asam amino yang bersifat antigenik. Baik pili,
flagella/trikha ataupun kapsula, dapat terlepas dari sel secara mekanik tanpa
harus merusak pertumbuhan ataupun kehidupan jasadnya. 3.3 Pertumbuhan
dan cara hidup mikroorganisme Pertumbuhan bakteri pada umumnya akan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pengaruh faktor ini akan memberikan
gambaran yang memperlihatkan peningkatan jumlah sel yang berbedadan
pada akhirnya memberikan gambaran pula terhadap kurva pertumbuhannya.
Sedangkan kebutuhan mikroorganisme untuk pertumbuhan dapat dibedakan
menjadi dua kategori, yaitu: kebutuhan fisik dan kebutuhan kimiawi atau
kemis. Aspek-aspek fisik dapat mencakup suhu, pH dan tekanan osmotik.
Sedangkan kebutuhan kemis meliputi air, sumber karbon, nitrogen oksigen,
mineral-mineral dan faktor penumbuh. Terdapat beberapa faktor abiotik yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri, antara lain: suhu, kelembapan,
cahaya, pH, AW dan nutrisi. Apabila faktor-faktor abiotik tersebut memenuhi
syarat, sehingga optimum untuk pertumbuhan bakteri, maka bakteri dapat
tumbuh dan berkembang biak. Bakteri juga memiliki batasan suhu tertentu dia
bisa tetap bertahan hidup, ada tiga jenis bakteri berdasarkan tingkat
toleransinya terhadap suhu lingkungannya: 1. Mikroorganisme psikrofil yaitu
mikroorganisme yang suka hidup pada suhu yang dingin, dapat tumbuh
paling baik pada suhu optimum dibawah 20oC. 2. Mikroorganisme mesofil,
yaitu mikroorganisme yang dapat hidup secara maksimal pada suhu yang
sedang, mempunyai suhu optimum di antara 20oC sampai 50oC 3.
Mikroorganisme termofil, yaitu mikroorganisme yang tumbuh optimal atau
suka pada suhu yang tinggi, mikroorganisme ini sering tumbuh pada suhu
diatas 40oC, bakteri jenis ini dapat hidup di tempat-tempat yang panas
bahkan di sumber-sumber mata air panas 8
9. 12. bakteri tipe ini dapat ditemukan, pada tahun 1967 di yellow stone park
ditemukan bakteri yang hidup dalam sumber air panas bersuhu 93-94oC. 3.4
Tempat ditemukaannya mikroorganisme Mikroorganisme dijumpai dimana-
mana, disegala lingkungan hidup manusia. Mereka ada dalam tanah;
lingkungan akuatik, berkisar dari aliran air sampai pada lautan; dan atmosfer.
Keadaan lingkungan setempat menentukan ciri-ciri populasi mikroba. Mereka
dapat ada dalam jumlah yang luar biasa besarnya dan dalam keragaman
yang luas. Pencarian mikroorganisme ekstraterestial (luar bumi) . para
ilmuwan, ahli filsafat, dan penulis telah berspekulasi tentang kemungkinan
adanya kehidupan ditempat lain dialam semesta ini. Ketika para astronot
mendarat di bulan pada tahun 1969, disiapkan fasilitas yang teliti untuk
pemeriksaan mikrobilogis contoh-contoh tanah bulan dibawa mereka kembali
ke bumi. Akan tetapi , pada pemeriksaan yang ekstensif menyingkap bahwa
tidak ditemukannya jasad renik. Dan begitu juga yang terjadi di planet Mars.
3.5 Peran mikroorganisme di bidang pertanian Salah satu kriteria yang
menjadi syarat pertanian organik adalah tidak menggunakan bahan artifisial
seperti pupuk buatan, insektisida, herbisida, fungisida, hormon tumbuh pada
tanah dan ekosistem(Sharma,2002). Dilain pihak untuk menghasilkan
produktivitas tanaman yang tinggi sebagian besar petani masih
menggantungkan harapannya pada pupuk buatan yang diketahui cepat
menunjukkan respon seperti yang diharapkan. Walaupun pupuk buatan dan
pestisida mampu meningkatkan produksi tanaman secara nyata tetapi juga
berdampak negatif terhadap pencemaran lingkungan antara lain kesuburan
tanah menurun dengan cepat, pencemaran air dan tanah, bahaya residu
pestisida, penurunan keanekaragaman hayati (biodiversity), dan
ketergantungan pada energy yang tidak dapat diperbaharui meningkat.
Menurut Sharma (2002) upaya mengatasi masalah di atas dapat dilakukan
dengan meningkatkan peran mikroba tanah yang bermanfaat melalui
berbagai aktivitasnya yaitu: - Meningkatkan kandungan beberapa unsur hara
di dalam tanah. - Meningkatkan ketersediaan unsur hara di dalam tanah.
Meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara. - Menekan mikroba tular
tanah patogen melalui interaksi kompetisi. 9
10. 13. - Memproduksi zat pengatur tumbuh yang dapat meningkatkan
perkembangan system perakaran tanaman. - Meningkatkan aktivitas mikroba
tanah heterotrof yang bermanfaat melalui aplikasi bahan organik. 3.5.1 Peran
Mikroba Tanah Dalam Penyediaan dan Penyerapan Unsur Hara Tanaman
dapat menyerap unsur hara melalui akar atau melalui daun. Sebagian besar
unsur hara diserap dari dalam tanah, hanya sebagian kecil yaitu unsur C dan
O diambil tanaman dari udara melalui stomata. Tanaman menyerap unsur
hara dari dalam tanah umumnya dalam bentuk ion (NH4 +, NO3-, H2PO4-,
K+,Ca2 +, dll). Unsur hara tersebut dapat tersedia di sekitar akar tanaman
melalui aliran massa, difusi dan intersepsi akar. Sistem perakaran sangat
penting dalam penyerapan unsur hara karena sistem perakaran yang baik
akan memperpendek jarak yang ditempuh unsur hara untuk mendekati akar
tanaman. Bagi tanaman yang sistem perakarannya kurang berkembang,
peran akar dapat ditingkatkan dengan adanya interaksi simbiosis dengan
Jamur mikoriza (Douds and Millner, 1999). Selain itu juga menurut
Lugtenberg and Kravchenko (1999) mikroba tanah akan berkumpul di dekat
perakaran tanaman (rhizosfer) yang menghasilkan eksudat akar dan serpihan
tudung akar sebagai sumber makanan mikroba tanah. Bila populasi mikroba
di sekitar rhizosfir didominasi oleh mikroba yang menguntungkan tanaman,
maka tanaman akan memperoleh manfaat yang besar dengan hadirnya
mikroba tersebut. Tujuan tersebut dapat tercapai hanya apabila kita
menginokulasikan mikroba yang bermanfaat sebagai inokulan di sekitar
perakaran tanaman. Sebagian besar penyebab kekurangan unsur hara
didalam tanah adalah karena jumlah unsur hara (makro) sedikit atau dalam
bentuk tidak tersedia yaitu diikat oleh mineral liat atau ion-ion yang terlarut
dalam tanah. Untuk meningkatkan kuantitas unsur hara makro terutama N
dapat dilakukan dengan meningkatkan peran mikroba penambat N simbiotik
dan non simbiotik. Ketersediaan P dapat ditingkatkan dengan menanfaatkan
mikroba pelarut P, karena masalah pertama P adalah sebagian besar P
dalam tanah dalam bentuk tidak dapat diambil tanaman atau dalam bentuk
mineral anorganik yang sukar larut seperti C32HPO4. Jamur mikoriza dapat
pula meningkatkan penyerapan sebagian besar unsur hara makro dan mikro
terutama unsur hara immobil yaitu P dan Cu(Sharma,2002). 10
11. 14. Mikroba tanah juga menghasilkan metabolit yang mempunyai efek
sebagai zat pengatur tumbuh. Bakteri Azotobacter selain dapat menambat N
juga menghasilkan thiamin, riboflavin, nicotin indol acetic acid dan giberelin
yang dapat mempercepat perkecambahan bila diaplikasikan pada benih dan
merangsang regenerasi bulu-bulu akar sehingga penyerapan unsur hara
melalui akar menjadi optimal. Metabolit mikroba yang bersifat antagonis bagi
mikroba lainnya seperti antibiotik dapat pula dimanfaatkan untuk menekan
mikroba patogen tular tanah disekitar erakaran tanaman. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya mikroba tanah melakukan immobilisasi berbagai unsur
hara sehingga dapat mengurangi hilangnya unsur hara melalui pencucian.
Unsur hara yang diimobilisasi diubah sebagai massa sel mikroba dan akan
kembali lagi tersedia untuk tanaman setelah terjadi mineralisasi yaitu apabila
mikroba mati. 2.5.2 Mikroba Tanah yang Bermanfaat Peran mikroba tanah
dalam siklus berbagai unsur hara di dalam tanah sangat penting, sehingga
bila salah satu jenis mikroba tersebut tidak berfungsi maka akan terjadi
ketimpangan dalam daur unsur hara di dalam tanah. Ketersediaan unsur hara
sangat berkaitan dengan aktivitas mikroba yang terlibat di dalamnya. 2.5.3
Mikroba penambat N Beberapa reaksi redox dari nitrogen terjadi secara alami
hampir eksklusif oleh mikroorganisme, dan keterlibatan mikrobia di dalam
siklus nitrogen mempunyai arti penting. Secara termodinamis, gas nitrogen,
N2, adalah bentuk stabil dari nitrogen, dan itu akan menjadi bentuk bolak-
balik dari nitrogen di bawah kondisi keseimbangan. Dijelaskan bahwa
reservoir utama untuk nitrogen di atas bumi ini adalah di atmospir. Ini berbeda
dengan karbon, di mana atmospir adalah suatu reservoir minor secara relatif
(CO2, CH4). Hanya suatu jumlah relative kecil mikroorganisme bisa
menggunakan N2, prosesnya disebut fiksasi nitrogen, pendauran ulang
nitrogen di atas bumi melibatkan sejumlah perubahan bentuk, amoniak dan
nitrat. Bagaimanapun, sebab N2 betul-betul reservoir nitrogen yang terbesar
tersedia untuk mikroorganisme hidup, kemampuan untuk menggunakan N2
arti penting ekologis. Fiksasi nitrogen dapat juga terjadi secara kimiawi di
dalam atmospir, melalui petir, dan suatu jumlah tertentu fiksasi nitrogen terjadi
di dalam industry produksi pupuk nitrogen, sekitar 85% fiksasi 11
12. 15. nitrogen di atas bumi berasal dari proses biologi, sekitar 60% fiksasi
nitrogen biologi terjadi di daratan, dan yang 40% fiksasi nitrogen biologi terjadi
di samudra. Di bawah kebanyakan kondisi, hasil akhir dissimilatory reduksi
nitrat adalah N2 atau N2O, dan konversi nitrat ke gas bahan campuran
nitrogen disebut denitrifikasi. Proses ini dibentuk dari gas N2 secara biologi,
dan sebab N2 sangat sedikit digunakan oleh mikroorganisme dibandingkan
nitrat sebagai sumber nitrogen, denitrifikasi adalah suatu proses merugikan
karena memindahkan fiksasi nitrogen dari lingkungan . Amoniak diproduksi
selama dekomposisi dari bahan nitrogen organic (ammonifikasi) dan terjadi
pada pH netral sebagai ion ammonium (NH4). Dibawah kondisi anaerob
amoniak adalah stabil, dan itu bentuk nitrogen mendominasi di dalam
sedimen paling anaerob. Di dalam tanah, sebagian besar amoniak yang
dilepaskan oleh dekomposisi aerobik dengan cepat didaur ulang dan
dikonversi ke asam amino didalam tumbuhan. Sebab amoniak mudah
menguap, beberapa kehilangan dapat terjadi dari tanah (terutama tanah
sangat bersifat alkali) dengan penguapan, dan hilangnya amoniak utama
pada atmospir terjadi di dalam areal populasi binatang padat (sebagai contoh,
peternakan lembu). Pada suatu basis global, amoniak hanya sekitar 15%
nitrogen dilepaskan ke atmospir, kebanyakan nitrogen dalam wujud N2 atau
N2O (berasal dari denitrifikasi). Di dalam lingkungan oxic, amoniak dapat
dioksidasi ke nitrogen oksida dan nitrat, tetapi amoniak adalah suatu bahan
campuran agak stabil dan katalisator atau agen mengoksidasi kuat pada
umumnya diperlukan untuk reaksi kimia. Bagaimanapun, suatu kelompok
khusus bakteri, bakteri nitrifikasi, adalah katalisator biologi, mengoksidasi
amoniak ke nitrat di dalam suatu proses yang disebut nitrifikasi. Nitrifikasi
adalah suatu proses aerobik utama yang terjadi dengan baik pada tanah pH
netral; dapat dihambat oleh kondisi anaerob atau di dalam tanah sangat
asam; bagaimanapun, nitrifikasi dapat terjadi kondisi anaerob jika tingkat
nitrat tinggi. Jika material nitrogen tinggi dalam protein, seperti limbah atau
pupuk, ditambahkan kedalam tanah, tingkat nitrifikasi menjadi meningkat.
Walaupun nitrat siap berasimilasi dengan tumbuhan, tapi mudah larut dalam
air dan dengan cepat tercuci dari tanah apabila curah hujan tinggi. Amoniak
anhydrous digunakan secara ekstensif sebagai pupuk nitrogen , bahan kimia
yang biasanya ditambahkan kedalam pupuk, menghalangi proses nitrifikasi.
Salah satu penghambat nitrifikasi umum adalah suatu bahan campuran
pengganti pyridine disebut nitrapyrin (2-chloro-6- trichloromethylpyridine).
Nitrapyrin secara spesifik menghalangi langkah pertama dalam 12
13. 16. nitrifikasi, yaitu oksidasi NH3 ke NO2, secara efektif menghambat kedua
langkah dalam proses nitrifikasi. Penambahan penghambat nitrifikasi dapat
meningkatkan efisiensi pemupukan dan membantu mencegah polusi dari
pelepasan nitrat dari tanah yang dipupuk. Komponen utama nitrogen di atas
bumi adalah N2, yang mana dapat digunakan sebagai nitrogen sumber oleh
bakteri pengfiksasi nitrogen. Amoniak yang dihasilkan oleh fiksasi nitrogen
atau oleh ammonifikasi dari nitrogen bahan campuran organik dapat
berasimilasi ke bahan organik atau dapat dioksidasi ke nitrat oleh bakteri
nitrifikasi. Hilangnya nitrogen dari biosphere terjadi sebagai hasil denitrifikasi,
di mana nitrat dikompersikan kembali ke N2 . (Madigan et al.2000). Di dalam
tanah kandungan unsur N relatif kecil (<2%), sedangkan di udara kandungan
N berlimpah. Hampir 80% kandungan gas di udara adalah gas N2. Sebagian
besar tanaman tidak dapat memanfaatkan N langsung dari udara, hanya
sebagian kecil tanaman legum yang bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium
yang dapat memanfaatkan sumber N yang berlimpah dari udara. Tanaman
non legume masih dapat memanfaatkan N dari udara apabila diinokulasi
dengan mikroba penambat N nonsimbiotik. Tabel di bawah ini merangkum
jenis mikroba penambat N non simbiotik yang dapat dimanfaatkan untuk
tanaman non legum. Faktor yang mempengaruhi aktivitas bakteri penambat N
: - Ketersediaan senyawa nitrogen : amonium, nitrat dan senyawa nitrogen
organik dapat dimanfaatkan teiapi dapat menghambat fiksasi nitrogen. -
Ketersediaan nutrisi anorganik : molibdenum, besi, kalsium, dan kobalt. -
Sumber energi: heterotrof: gula sederhana, selulosa, jerami dan sisa
tanaman. autotrof: cahaya matahari - pH : Azotobacter, Sianobakteri peka
terhadap pH<6 Beijerinckia dapat tumbuh pada pH 3-9. - Kelembaban :
Kelembaban yang tinggi menjadi kondisi anaerob - Suhu : penambatan N
optimum pada suhu sedang 2.5.4. Mikroba Pelarut Fosfat Mikroba peiarut
fosfat terdiri dari golongan bakteri dan Jamur. Kelompok bakteri pelarut fosfat
adalah: Pseudomonas, Bacillus, Escherichia, Brevibacterium dan Seralia,
sedangkan dari golongan Jamur adalah : Aspergillus, Penicillium, Culvularia,
Humicola dan Phoma. Mikroba 13
14. 17. pelarut fosfat bersifat menguntungkan karena mengeluarkan berbagai
macam asam organik seperti asam formiat, asetat, propional, laktat, glikolat,
fumarat, dan suksinat. Asam-asam organik ini dapat membentuk khelat
organik (kompleks stabil) dengan kation Al, Fe atau Ca yang mengikat P
sehingga ion H2PO4 2-, menjadi bebas dari ikatannya dan tersedia bagi
tanaman untuk diserap. Bakteri pengoksidasi sulfur (Thiobacillus) dan
pengoksidasi ammonium (Nitrosomonas) dapat pula mengeluarkan asam
anorganik (asam sulfat dan asam nitrit) yang dapat mengkhelat kation Ca dari
Ca3(P04)2- menjadi HPO4 2- yang dapat diserap tanaman. Beberapa
spesies jamur dari genus Aspergillus mempunyai kemampuan yang lebih
tinggi dalam melarutkan fosfat terikat dibandingkan dengan bakteri. Hal ini
memberi peluang yang baik untuk dikembangkan di daerah tropis yang
tanahnya masam, karena jamur menyukai lingkungan pertumbuhan yang
bersifat masam. 2.5.5. Jamur Mikoriza Arbuskula (CMA) Mikoriza yang secara
harfiah berarti "jamur akar" dan mengacu pada asosiasi yang simbiotik yang
ada antara jamur dan akar tumbuhan. Mungkin akar dari mayoritas dari
tumbuhan terestrial adalah mycorrhizal. Ada dua kelas umum mikoriza;
ektomikoriza, di mana sel jamur membentuk suatu bungkus pelindung luas di
sekitar bagian luar dari akar dengan hanya sedikit penetrasi ke dalam
jaringan akar dan ericoid mikoriza, di mana miselium jamur ditempelkan di
dalam jaringan akar. Ektomikoriza ditemukan sebagian besar di dalam pohon
hutan terutama pohon jarum, pohon besar dan pohon oak yang banyak
dikembangkan pada hutan daerah temperata. Di dalam suatu hutan, hampir
setiap akar pohon memiliki mikoriza. Sistem perakaran dari suatu pohon yang
ada mikorizanya dapat menginfeksi akar yang pendek dan akar yang
panjang, Akar pendek memiliki karakteristik cabang dikotom, menunjukkan
tipe pelindung jamur sedangkan akar panjang pada umumnya tidak terkena
infeksi. Kebanyakan jamur mikoriza tidak menyerang selulosa dan serasah
daun tetapi sebagai gantinya menggunakan karbohidrat sederhana untuk
pertumbuhan dan pada umumnya mempunyai kebutuhan akan satu atau
lebih vitamin, mereka memperoleh nutrisi dari sekresi akar. Mikoriza jamur
tidak pernah ditemukan secara alami kecuali bersama-sama akar dan
karenanya dapat dipertimbangkan symbiosis obligat. Jamur ini menghasilkan
substansi pertumbuhan tanaman dengan induksi perubahan morfologi di
dalam 14
15. 18. akar, menyebabkan dibentuk akar bercabang dikotom pendek. Di
samping hubungan erat antara jamur dan akar, ada sedikit spesifik jenis
dilibatkan, satu jenis cemara dapat membentuk mikoriza dengan lebih dari 40
jenis jamur. Efek yang diuntungkan pada tumbuhan dari jamur mikoriza,
terbaik diamati pada lahan miskin, di mana pohon yang tumbuh dengan subur
ada mikoriza, tetapi tidak ada mikroriza tidak ada pertumbuhan. Kapan pohon
ditanam di padang rumput yang luas, yang mana biasanya kekurangan suatu
inokulum jamur, pohon yang secara artifisial diinokulasi pada saat
penanaman, tumbuh jauh lebih dengan cepat dibanding pohon yang tidak
diinokulasi. Mikoriza tumbuhan bisa menyerap nutrisi dari lingkungannya lebih
efisien di banding dengan pengerjaan non-mikoriza. Penyerapan nutrisi dapat
ditingkatkan dengan semakin besar area permukaan yang disajikan oleh
miselium jamur (Madigan et al., 2000). CMA menginfeksi hampir 95 % semua
tanaman (crop plant). Simbiosis ini bersifat mutualistik, jamur mendapatkan
karbohidrat dari tanaman dimana aliran nutrisi diregulasi oleh tanaman inang.
Fotosintat tanaman inang diabsorpsi jamur, khususnya pada arbuskula yang
mempunyai luas permukaan kontak yang besar antara jamur dengan
tanaman inang. Fungsi CMA dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman
adalah : sebagai fasilitator dalam penyerapan berbagai unsur hara,
pengendali hayati penyakit tular tanah, penekan stress abiotik (kekeringan,
salinitas, logam berat) dan sebagai penstabil tanah (stabilator agregat tanah).
CMA yang menginfeksi akar tanaman akan membentuk hifa internal di dalam
sel epidermis dan korteks akar, arbuskula terbentuk di dalam korteks akar,
dan hifa eksternal berada di luar akar tanaman. Genus Glomus dan
Acaulospora membentuk vesikula yang terbentuk pada hifa interkalar atau
apikal yang mengandung lemak dan berfungsi sebagai cadangan makanan.
Jamur Gigaspora dan Scutellospora tidak membentuk vesikula. Hifa eksternal
sangat penting dalam penyerapan unsur hara karena panjang hifa eksternal
dapat mencapai beberapa kali panjang akar sehingga memperluas
permukaan akar dalam menyerap larutan nutrisi dalam tanah (Douds and
Millner, 1999). 2.5.6. Strategi Keberhasilan Pemanfaatan Mikroba Tanah
Keberhasilan peningkatan peran mikroba tanah yang bermanfaat untuk
meningkatkan pertumbuhan dan hasil suatu tanaman perlu ditunjang langkah
berikut: 15
16. 19. 1. Seleksi isolat unggul. Isolat yang diperoleh harus diseleksi
keunggulannya dengan menguji efektivitas terhadap pertumbuhan tanaman.
Seleksi bakteri penambat N dapat melalui uji kuantitas N yang ditambatnya
dengan metode reduksi asetilen. Mikroba pelarut fosfat diseleksi berdasarkan
pelarutan P tidak larut secara kualitatif (zona bening) dan kuantitatif (jumlah P
tersedia/terlarut). CMA diseleksi berdasarkan besarnya derajat infeksi pada
akar atau peningkatan serapan P tanaman dibanding kontrol. 2. Perbanyakan
isolat yang unggul sebagai inokulan dalam carrier /pembawa yang cocok.
Populasi mikroba yang akan digunakan sebagai produk inokulan harus tinggi
(>108 CFU/ g media) atau inokulan mikoriza mengandung spora >50
buah/gram carrier. 3. Viabilitas mikroba tetap tinggi pada saat diaplikasikan.
Kontrol viabilitas perlu dilakukan selama masa penyimpanan produk inokulan.
Pada umumnya kualitas inokulan yang sudah dikemas akan menurun setelah
masa simpan 6 bulan. 4. Aplikasi dilapangan harus tepat baik waktu, dosis
dan caranya. Inokulasi mikroba yang bermanfaat akan lebih efektif bila
dilakukan bersamaan dengan penanaman benih sehingga mikroba tersebut
akan segera mengkolonisasi benih yang berkecambah. Dosis yang digunakan
harus sesuai dengan anjuran pada kemasannya. Dosis yang tepat dapat
mendukung keberhasilan dominasi mikroba introduksi di rhizosfer tanaman.
Cara pemberian inokulan selain bersamaan dengan benih (seed inoculation)
dapat pula dilakukan di pembibitan (seedling inoculation). 16
17. 20. BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 1. Peran mikroba tanah yang
bermanfaat pada bidang pertanian melalui berbagai aktivitasnya yaitu,
meningkatkan kandungan beberapa unsur hara di dalam tanah,
meningkatkan ketersediaan unsur hara di dalam tanah, meningkatkan
efisiensi penyerapan unsur hara, menekan mikroba tular tanah patogen
melalui interaksi kompetisi, memproduksi zat pengatur tumbuh yang dapat
meningkatkan perkembangan system perakaran tanaman, meningkatkan
aktivitas mikroba tanah heterotrof yang bermanfaat melalui aplikasi bahan
organik. 2. Mikroba tanah juga menghasilkan metabolit yang mempunyai efek
sebagai zat pengatur tumbuh. Bakteri Azotobacter selain dapat menambat N
juga menghasilkan thiamin, riboflavin, nicotin indol acetic acid dan giberelin
yang dapat mempercepat perkecambahan bila diaplikasikan pada benih dan
merangsang regenerasi bulu-bulu akar sehingga penyerapan unsur hara
melalui akar menjadi optimal. 3. Mikroba pelarut fosfat terdiri dari golongan
bakteri dan Jamur. Mikroba pelarut fosfat bersifat menguntungkan karena
mengeluarkan berbagai macam asam organik seperti asam formiat, asetat,
propional, laktat, glikolat, fumarat, dan suksinat. 4. Fungsi CMA dalam
meningkatkan pertumbuhan tanaman adalah : sebagai fasilitator dalam
penyerapan berbagai unsur hara, pengendali hayati penyakit tular tanah,
penekan stress abiotik (kekeringan, salinitas, logam berat) dan sebagai
penstabil tanah (stabilator agregat tanah). 5. Mikroba tanah bermanfaat untuk
meningkatkan pertumbuhan dan hasil suatu tanaman. 17
18. 21. DAFTAR PUSTAKA Douds D.D and Patricia D Millner. 1999. Biodiversity
Of Arbuscular Mycorrhizal Fungi In Agroecosystems. Agriculture, Ecosystems
and Environment. Vol 74. Hal 77-93 Iqbal Ali, 2008. Peran Mikroorganisme
Dalam Kehidupan. Penerbit Angkasa Bandung: Bandung Irianto, Koes. 2012.
Menguak dunia mikroorganisme jilid I. Penerbit Yrama Widya. Bandung
Lugtenberg B.J.J and Lev V Kravchenko. 1999. Tomato Seed And Root
Exudate Sugars: Composition, Utilization By Pseudomonas Biocontrol Strains
And Role In Rhizosphere Colonization. Enviromental Microbiology. Vol 1 (5).
Hal 439-446. Madigan, M.T; J.M. Martinko and J. Parker.,2000. Biology of
Microorganisms. Eighth edition. Prentice Hall. International. Inc. Sharma, A.
K.2002. Organic farming. Central Arid Zone Research institute Jodhpur.
Agrobios. India Suriawiria, Unus. 1985. Pengantar mikrobiologi umum.
Penerbit Angkasa Bandung: Bandung 18
Pestisida Biologis 5 Keuntungan Utama
Jun 22, 2017
Lima keuntungan dari pestisida biologis:
① Toksisitas pestisida biologis biasanya lebih rendah dari pada pestisida
tradisional;
Selektivitas, mereka hanya untuk tujuan hama dan penyakit dan terkait erat dengan
sejumlah kecil organisme berperan. Dan tidak berbahaya bagi manusia, burung,
serangga dan mamalia lainnya;
③ residu rendah, efisien. Sejumlah kecil pestisida biologis yang bisa berperan tinggi
dalam perannya. Dan biasanya cepat rusak. Dari keseluruhan untuk menghindari
pestisida tradisional yang disebabkan oleh masalah pencemaran lingkungan;
④ tidak mudah menghasilkan resistansi obat;
⑤ Sebagai komponen dari IPMP (Inergrated Pest Management Programs), dapat
mengurangi penggunaan pestisida tradisional tanpa mempengaruhi hasil panen.

Latar belakang
Dengan meningkatnya pembangunan nasional dan juga terjadinya peningkatan
industrialisasi diperlukan saran-sarana yang mendukung lancarnya proses industrialisasi
tersebut, yaitu dengan meningkatkan sektor pertanian. Kondisi pertanian di Indonesia
di masa mendatang banyak yang akan diarahkan untuk kepentingan agroindustri. Salah
satu bentuknya akan mengarah pada pola pertanian yang makin monokultur, baik itu
pada pertanian darat maupun akuakultur. Dengan kondisi tersebut, maka berbagai
jenis penyakit yang tidak dikenal atau menjadi masalah sebelumnya akan menjadi
kendala bagi peningkatan hasil berbagai komoditi agroindustri. Peningkatan sektor
pertanian memerlukan berbagai sarana yang mendukung agar dapat dicapai hasil yang
memuaskan dan terutama dalam hal mencukupi kebutuhan nasional dalam bidang
pangan/sandang dan meningkatkan perekonomian nasional dengan mengekspor hasil
ke luar negeri.
Sarana-sarana yang mendukung peningkatan hasil di bidang pertanian ini adalah alat-
alat pertanian, pupuk, bahan-bahan kimia yang termasuk di dalamnya adalah
pestisida. Di negara-negara dunia ketiga yang sedang berkembang yang mencukup
kebutuhannya sendiri dalam bidang pangan/sandang, penggunaan bahan-bahan kimia
pertanian membantu pada kemajuan dan perkembangan pertanian selanjutnya. Tetapi
di negara-negara berkembang telah mengurangi penggunaan dari bahan-bahan kimia
pertanian karena merupakan salah satu penyebab utama dari pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan terutama lingkungan pertanian disebabkan oleh penggunaan
bahan-bahan kimia pertanian. Telah dapat dibuktikan secara nyata bahwa bahan-
bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida, meningkatkan produksi pertanian dan
membuat pertanian lebih efisien dan ekonomi. Pencemaran oleh pestisida tidak saja
pada lingkungan pertanian tapi juga dapat membahayakan kehidupan manusia dan
hewan dimana residu pestisida terakumulasi pada produk-produk pertanian dan pada
perairan. Bagaimana cara untuk meningkatkan produksi pertanian disamping juga
menjaga keseimbangan lingkungan agar tidak terjadi pencemaran akibat penggunaan
pestisida yang dapat mengganggu stabilitas lingkungan pertanian. Untuk itu perlu
diketahui gambaran umum dari pestisida dan alternatif lain yang dapat menggantikan
peranan pestisida pada lingkungan pertanian dalam mengendalikan hama, penyakit
dan gulma, salah satunya adalah dengan menggunakan pestisida biologi.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan jenis-jenis pestisida?
2. Apa pengertian dan jenis-jenis pestisida biologi?
3. Apa keuntungan dari pestisida biologi?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian dan jenis-jenis pestisida
2. Mengetahui pengertian dan jenis-jenis pestisida biologi
3. Mengetahai keuntungan dari pestisida biologi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pestisida


Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari bahasa inggris
yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh. Yang dimaksud hama bagi petani sangat
luas yaitu : tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi
(jamur), bakteria dan virus, nematoda (cacing yang merusak akar), siput, tikus, burung dan
hewan lain yang dianggap merugikan. pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta
jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman atau
hasil-hasil pertanian.
2. Memberantas rerumputan.
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman, tidak
termasuk pupuk.
4. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan peliharaan dan ternak.
5. Memberantas dan mencegah hama-hama air.
6. Memberikan atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga,
bangunan dan alat-alat pengangkutan, memberantas atau mencegah binatang-binatang yang
dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan pada tanaman, tanah dan air.

Gangguan pada tanaman bisa disebabkan oleh faktor abiotik maupun biotik. Faktor
abiotik diantaranya keadaan tanah (struktur tanah, kesuburan tanah, kekurangan unsur hara) ;
tata air (kekurangan, kelebihan, pencemaran air) ; keadaan udara (pencemaran udara) dan
faktor iklim. Gangguan dari faktor abiotik bisa diatasi dengan tindakan pengoreksian atau
tidak bisa dikoreksi dengan penggunaan pestisida. Sedangkan faktor biotik yang
menyebabkan gangguan pada tanaman atau biasa disebut dengan organisme pengganggu
tanaman (OPT). OPT dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : Hama (serangga, tungau, hewan
menyusui, burung dan moluska) ; Penyakit (jamur, bakteri, virus dan nematoda) dan Gulma
(tumbuhan pengganggu). Gangguan yang disebabkan oleh OPT inilah yang bisa dikendalikan
dengan pestisida.
2.2 Penggolongan Pestisida Berdasarkan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman)
1. Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang bisa mematikan
semua jenis serangga.
2. Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan
untuk memberantas dan mencegah fungsi/cendawan.
3. Bakterisida merupakan senyawa mengandung bahan aktif beracun yang bisa
membunuh bakteri.
4. Nermatisida digunakan untuk mengendalikan nematode/cacing
5. Akarisida atau mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang
digunakan untuk membunuh tungau, caplak dan laba-laba.
6. Rodenstisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan
untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus.
7. Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu : siput, bekicot serta
tripisan yang banyak dijumpai di tambak.
8. Herbisida adalah senyawa kimia beracun yang dimanfaatkan untuk membunuh
tumbuhan pengganggu seperti gulma.
9. Algasida digunakan untuk mengendalikan ganggang (algae).
10. Pilkisida digunakan untuk mengendalikan ikan buas.
11. Avisida digunakan untuk meracuni burung perusak hasil pertanian.
12. Antraktan digunakan untuk menarik atau mengumpulkan serangga.
13. ZPT digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman yang efeknya bisa memacu
pertumbuhan atau menekan pertumbuhan.
14. Plant Activator digunakan untuk merangsang timbulnya kekebalan tumbuhan sehingga
tahan terhadap penyakit tertentu.

2.3 Pestisida Biologi


Pestisida Biologi adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri
patogen, virus dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis
insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi
(mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti bakterisida, nematisida dan
herbisida biologi. Pestisida alami adalah suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari
alam seperti tumbuhan. Pestisida alami merupakan pemecahan jangka pendek untuk
mengatasi masalah hama dengan cepat, pestisida nabati bersifat ramah lingkungan karena
bahan ini mudah terdegradasi di alam, sehingga aman bagi manusia maupun lingkungan.
Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati
dan pestisida hayati.
 Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari
daun, buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun
terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida nabati pada umumnya digunakan untuk
mengendalikan hama (bersifat insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakterisidal).
 Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik
berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya
(penyebab penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik
bagi serangga ( hama ) maupun nematoda (penyebab penyakit tanaman).
Pestisida dapat digolongkan menjadi bermacam-macam dengan berdasarkan fungsi
dan asalnya. Penggolongan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fungisida Biologi (Biofungisida) berasal dari kata latin fungus atau kata Yunani
spongos yang berarti jamur, berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan.
Beberapa fungisida yang telah digunakan adalah:
 Spora Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman
karet dan layu fusarium pada cabai.
 Gliocladium spesies G. roseum dan G. virens. untuk mengendalikan busuk akar pada cabai
akibat serangan jamur Sclerotium Rolfsii.
 Bacillus subtilis yang merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan serangan
jamur Fusarium sp. pada tanaman tomat.
2. Herbisida Biologi (Bioherbisida)
Termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan menggunakan
penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus.Phytophthora palmivora yang
digunakan untuk mengendalikan Morrenia odorata, gulma pada tanaman
jeruk. Colletotrichum gloeosporioides digunakan pada tanaman padi dan kedelai.
3. Insektisida Biologi (Bioinsektisida)
Berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang
menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-
hewan lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida
harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran
dan tidak pada jenis-jenis lainnya. Mikroba patogen yang telah sukses dan berpotensi sebagai
insektisida biologi salah satunya adalah Bacillus thuringiensis.
Jenis insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal dari protozoa,Nosema
locustae, yang telah dikembangkan untuk membasmi belalang dan jangkrik. Cacing yang
pertama kali sebagai insektisida ialah Neoplectana carpocapsae. Insektisida ini digunakan
untuk membunuh semua bentuk rayap.
4. Nematisida Biologi (Bionematisida), berasal dari kata latin nematoda atau bahasa
Yunani nema yang berarti benang, berfungsi untuk membunuh nematoda (semacam cacing
yang hidup di akar).

2.3.1 Insektisida Biologi


Pengendalian hayati merupakan teknik dasar yang penting dalam konsep
pengendalian hama, yakni dengan memanfaatkan musuh alami serangga hama itu
sendiri yang berupa predator, parasit dan patogen. Patogen serangga adalah
mikroorganisme (cendawan, bakteri, virus, protozoa, nematoda dan mikroba lainnya)
yang dapat menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit pada serangga hama.
Patogen serangga merupakan agensia hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai salah
satu alternatif pengendalian hama. Teknik pengendalian hama ini berpotensi
mengurangi ketergantungan pada insektisida kimia. Secara spesifik mikroorganisme
yang dapat menibulkan penyakit pada serangga disebut “mikroorganisme
entomopatogen”.
Insektisida biologi adalah pestisida yang bahan aktifnya menggunakan
mikroorganisme seperti bakteri, protozoa, virus, nematode, maupun jamur untuk
mengatasi masalah hama dan penyakit tanaman yang disebabkan oleh serangga.

2.3.1.1 Agen Hayati yang berperan sebagai insektisida biologi


Agen hayati yang paling banyak digunakan sebagai insektisida biologi adalah
dari jenis bakteri, jamur dan virus. Untuk jenis bakteri dikenal Bacillus thuringiesis,
sedangkan untuk jamur yang lazim adalah Beauveria bassiana dan dari golongan
nematoda yakni Heterorhabditis indicus.
1. Bakteri Patogen Serangga (Bacillus thuringiensis)
Salah satu alternatif pengendalian serangga hama yang aman bagi lingkungan dan
makhluk hidup lain adalah pengendalian secara biologis dengan menggunakan
insektisida mikroba. Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan salah satu jenis bakteri
yang sering digunakan sebagai insektisida mikroba untuk mengontrol serangga hama
seperti Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus thuringiensis mampu menghasilkan
suatu protein yang bersifat toksik bagi serangga, terutama seranggga dari ordo
Lepidoptera. Protein ini bersifat mudah larut dan aktif menjadi toksik, terutama
setelah masuk ke dalam saluran pencemaan serangga. Bacillus thuringiensis mudah
dikembangbiakkan, dan dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida pembasmi hama
tanaman. Pemakaian biopestisida ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif
yang timbul dari pemakaian pestisida kimia.
Bakteri penyebab penyakit serangga pada umumnya di bagi ke dalam dua
kelompok besar, yakni bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri yang
membentuk spora. Bakteri yang tidak membentuk spora terdapat dalam saluran
pencernaan serangga, merupakan patogen yang potensial menyerang bagian
pencernaan. Tingkat kematian karena bakteri patogen ini rendah. Sedangkan bakteri
pembentuk spora menginveksi larva di dalam mesofagus, kemudian membentuk spora
dan sporanya menyerang bagian tubuh serangga. Tingkat kematian karena bakteri
patogen ini tinggi. Kebanyakan spesies bakteri entomopatogen yang diisolasi dari
serangga yang sakit adalah bakteri yang tidak membentuk spora, akan tetapi untuk
produksi komersial, bakteri yang membentuk spora lebih mudah untuk diformulasikan
dan dapat di simpan lebih lama karena dalam bentuk spora bakteri tidak
membutuhkan makanan.
Bakteri yang paling banyak dimanfaatkan sebagai insektisida hayati adalah
species Bacillus thuringiensis (Bt). Salah satu keunggulan B. thuringiensis sebagai agen
hayati adalah kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik artinya bakteri
dapat mematikan serangga tertentu saja sehingga tidak beracun terhadap hama bukan
sasaran atau manusia dan ramah lingkungan karena mudah terurai dan tidak
menimbulkan residu yang mencemari lingkungan.

Gambar 2.1. Bacillus thuringiensis


a. Klasifikasi Bacillus thuringiensis
Kingdom : Eubacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies : Bacillus thuringiensis
b. Deskripsi
Bacillus thuringiensis adalah bakteri tanah gram positif, pembentuk spora,
berbentuk batang dengan lebar 1,0 sampai 1,2 µm dan panjang 3,0 sampai 5,0 µm
(Sembiring, 2004). Bakteri ini termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup
di daun tanaman konifer maupun pada tanah. Apabila kondisi lingkungan tidak
menguntungkan maka bakteri ini akan membentuk fase sporulasi.
B. thuringiensis dibagi menjadi 67 subspesies (hingga tahun 1998) berdasarkan
serotipe dari flagela (H). Ciri khas dari bakteri ini yang membedakannya dengan
spesies Bacillus lainnya adalah kemampuan membentuk kristal paraspora yang
berdekatan dengan endospora selama fase sporulasi III dan IV. Sebagian besar ICP
disandikan oleh DNA plasmid yang dapat ditransfer melalui konjugasi antargalur B.
thuringiensis, maupun dengan bakteri lain yang berhubungan. Selama pertumbuhan
vegetatif terjadi, berbagai galur B. thuringiensis menghasilkan bermacam-
macam antibiotik, enzim, metabolit, dan toksin, yang dapat merugikan organisme
lain. Selain endotoksin (ICP), sebagian subspesies B. thuringiensis dapat membentuk
beta-eksotoksi yang toksik terhadap sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia
dan insekta.
Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah kemampuannya membentuk
kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel
mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang mengandung
toksin ( d – endotoksin ) yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase
eksponesial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah
sporulasi sempurna. Sembilan puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan
asam amino terbanyak terdiri dari asam glutamat, asam aspartat dan arginin,
sedangkan lima persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa.

Gambar 2.2 Terbentuknya Spora dan Kristal saat sporulasi


Kristal protein merupakan protoksin dalam bentuk protein murni yang kaya akan
asam glutamate dan asam aspartat. Berdasarkan protoksinnya, Kristal protein memiliki
berbagai macam bentuk antara lain bipiramidal, kuboidal, persegi panjang, dan
jajaran genjang. Ada hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya
bunuhnya. Toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain
bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi
toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang pada salah satu strain mungkin
mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan serangga dan
ukuran molekul protein yang menyusun kristal, serta susunan molekul asam amino dan
kandungan karbohidrat dalam kristal.
Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika
terjadi pemecahan dinding sel. Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan
menjadi inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian
kepala serangga akan tampak terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya.
Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam hitungan hari atau satu minggu.
Bakteri tersebut akan menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam
kecoklatan, merah, atau kuning, ketika membusuk.
Toksin Cry sebenarnya merupakan protoksin, yang harus diaktifkan terlebih
dahulu sebelum memberikan efek negatif. Aktivasi toksin Cry dilakukan oleh protease
usus sehingga terbentuk toksin aktif dengan bobot 60 kDA yang disebut delta-
endotoksin. Delta-endotoksin ini diketahui terdiri dari tiga domain. Toksin tersebut
tidak larut pada kondisi normal sehingga tidak membahayakan manusia, hewan tingkat
tinggi, dan sebagian insekta. Namun. pada kondisi pH tinggi (basa) seperti yang
ditemui di dalam usus lepidoptera, yaitu di atas 9.5, toksin tersebut akan aktif.
Selanjutnya, toksin Cry akan menyebabkan lisis (pemecahan) usus lepidoptera. B.
thuringiensis dapat memproduksi dua jenis toksin, yaitu toksin kristal (Crystal, Cry)
dan toksin sitolitik (cytolytic, Cyt). Toksin Cyt dapat memperkuat toksin Cry sehingga
banyak digunakan untuk meningkatkan efektivitas dalam mengontrol insekta. Lebih
dari 50 gen penyandi toksin Cry telah disekuens dan digunakan sebagai dasar untuk
pengelompokkan gen berdasarkan kesamaan sekuens penyusunnya.

c. Substansi aktif
Istilah substansi aktif yaitu bahan-bahan yang mempunyai aktivitas tertentu yang
dihasilkan oleh makhluk hidup, dan bahan aktif ini biasanya dapat bersifat positif pada
makhluknya sendiri akan tetapi dapat bersifat negatif atau positif pada makhluk hidup lain.
Substansi aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme umumnya digolongkan menjadi
dua macam, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Substansi aktif primer biasanya
bersifat intraseluler atau terdapat didalam sel. Biasanya metabolit primer dihasilkan dalam
jumlah yang relatif kecil. Substansi sekunder adalah hasil dari metabolisme didalam sel yang
disekresikan keluar dari sel atau dikumpulkan dalam kantong-kantong khusus diantara sel
atau jaringan didalam tubuhnya.
Bacillus thuringiensis membentuk spora yang membentuk kristal protein-toksin. Kristal
tersebut bersifat toksik terhadap serangga. Penelitian Heimpel (1967) diketahui bahwa B.
thuringiensis menghasilkan beberapa jenis toksin, seperti α(alfa), β(beta), γ(gamma)-
eksotoksin, dan δ(delta)-endotoksin, serta faktor louse. Peneliti lain menginformasikan bahwa
yang berperan penting sebagai insektisida adalah protein β-eksotoksin dan δ-endotoksin.
Berbagai macam B. thuringiensis diantaranya:
1. Bacillus thuringiensis varietas tenebrionis menyerang kumbang kentang colorado dan larva
kumbang daun.
2. Bacillus thuringiensis varietas kurstaki menyerang berbagai jenis ulat tanaman pertanian.
3. Bacillus thuringiensis varietas israelensis menyerang nyamuk dan lalat hitam.
4. Bacillus thuringiensis varietas aizawai menyerang larva ngengat dan berbagai ulat, terutama
ulat ngengat diamondback.
d. Insektisida biologi berbahan aktif Bacillus thuringiensis
Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang dapat mengendalikan hama ulat
daun, kumbang daun, dan kutu daun pada tanaman holtikultura. Bakteri B.
thuringiensis cukup efektif untuk mengendalikan berbagai jenis hama dari golongan
lepidoptera, coleoptera, dan hemiptera.
Senyawa toksin penting dalam upaya pengembangan produk bioinsektisida secara
komersial. Karaterisasi kimia β-eksotoksin pertama kali diaporkan oleh Mc. Connel dan
Richard. Peneliti tersebut mengatakan bahwa β-eksotoksin terdiri dari komposisi senyawa
asam nukleat, seperti adenine, ribose, glucose, dan asam alarik dengan ikatan kelompok
fosfat. Selain itu, β-eksotoksin diketahui bersifat termostabil, artinya bahwa senyawa tersebut
tahan atau tidak rusak jika terkena suhu tinggi, maka digolongkan sebagaithermostabel
eksotoksin, larut didalam air dan sangat beracun terhadap beberapa jenis ulat. Sementara α-
eksotoksin bersifat sebaliknya, tidak stabil jika terkena panas. Senyawa tersebut diketahui
beracun bagi mencit dan ulat (Plutella xylostella).
Reaksi toksisitas terhadap serangga dari δ-endotoksin dan strain B.
thuringiensisterhadap serangga tampaknya juga sangat bervariasi. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Heimpel dan rekannya (1959 dan 1967) terhadap serangga Lepidoptera
menunjukkan adanya respon yang berbeda terhadap δ-endotoksin.
Fenomena lain mekanisme kerja dari toksin bakteri B. thuringiensis yaitu, terjadinya
mekanis intraseluler dari β-eksotoksin, sebagai substansi protein aktif yang bersifat racun,
senyawa ini akan menghambat sintesa asam ribonukleat, dengan cara menghentikan proses
katalisa polimerasi oleh DNA-dependen RNA-polymersae.
e. Mekanisme Patogenisitas
Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada
usus serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna
protein serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada
pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau
lubang pada sel sehingga sel mengalami lisis. Pada akhirnya serangga akan mengalami
gangguan pencernaan dan mati.
Gambar. 2.3 Ulat yang mati akibat toksin Bacillus thuringien

f. Cara Isolasi
Isolat Bacillus thuringiensis dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran
hewan, serangga dan bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif
adalah dengan seleksi asetat. Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media
pertumbuhan bakteri (misal LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media
asetat tersebut menghambat pertumbuhan spora B. thuringiensis menjadi sel vegetatif.
Setelah beberapa jam media tersebut dipanaskan pada suhu 80°C selama beberapa menit.
Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh
termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang
telah dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni yang tumbuh kemudian
dipindahkan ke media sporulasi B. thuringiensis. Koloni yang tumbuh pada media ini dicek
keberadaan spora atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk
isolat B. thuringiensis.
g. Penapisan Isolat yang Toksik
Tidak semua isolat Bt beracun terhadap serangga. Untuk itu perlu dilakukan penapisan
daya racun dari isolat-isolat yang telah diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan
untuk hal ini. Pertama dengan pendekatan molekular dan kedua dengan bioasai.
Pendekatan molekular dilakukan dengan PCR menggunakan primer-primer yang dapat
menggandakan bagian-bagian tertentu dari gen-gen penyandi protein kristal (gencry).
Hasil PCR ini dapat dipakai untuk memprediksi potensi racun dari suatu isolat tanpa terlebih
dulu melakukan bioasai terhadap serangga target. Dengan demikian penapisan banyak isolat
untuk kandungan gen-gen cry tertentu dapat dilakukan dengan cepat.
Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat maka perlu dilakukan bioasai
dengan mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat tersebut kepada serangga target.
Dari bioasai ini dapat dibandingkan daya racun antar isolat.
h. Cara Perbanyakan
Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam media cair dapat dilakukan dengan cara
yang mudah dan sederhana. Karena yang diperlukan sebagai bioinsektisida adalah protein
kristalnya, maka diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media
yang mengandung tryptose telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis.
Dalam 2–5 hari B. thuringiensis akan bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan pada
suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis ini dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih
besar dengan fermentor.
i. Potensi sebagai Bioinsektisida
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau protein
kristal Bt dalam bentuk kering atau padatan. Padatan ini dapat diperoleh dari hasil fermentasi
sel-sel Bt yang telah disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan spora dan protein
kristal yang diperoleh dapat dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi, perekat,
perata, dan lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.
2. Jamur Patogen Serangga (Beauveria bassiana)
Contoh insektisida biologi dari jamur adalah Beauveria bassiana. Cendawan ini biasa
dikenal sebagai cendawan patogen serangga yaitu cendawan yang dapat menimbulkan
penyakit pada serangga. Beberapa contoh serangga yang dapat dikendalian oleh Beauveria
bassiana antara lain berbagai jenis wereng, walang, walang sangit, ulat, lembing dan sundep
beluk (penggerek batang).
Beauveria bassiana secara alami terdapat didalam tanah sebagai jamur saprofit.
Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, seperti kandungan
bahan organik, suhu, kelembapan, kebiasaan makan serangga, adanya pestisida sintetis, dan
waktu aplikasi. Secara umum, suhu di atas 30 C, kelembapan tanah yang berkurang dan
adanya antifungal atau pestisida dapat menghambat pertumbuhannya.
Beauveria bassiana termasuk dalam golongan pathogen serangga ordo Monililes, famili
Moniliaceae. Jamur Beauveria bassiana menyerang banyak jenis serangga, di antaranya
kumbang, ngengat, ulat, kepik dan belalang. Jamur ini umumnya ditemukan pada serangga
yang hidup di dalam tanah, tetapi juga mampu menyerang serangga
pada tanaman atau pohon.
a. Klasifikasi BVR (Beauveria bassiana)
Kerajaan: Fungi

Filum : Ascomycota

Kelas : Sordariomycetes

Ordo : Hypocreales

Famili : Cordycipitaceae

Genus : Beauveria

Spesies : Beauveria bassiana

b. Karakteristik Beauveria bassiana


 cendawan berwarna putih, penyebaran spora melalui air atau terbawa angin
 Menginfeksi serangga melalui integument/jaringan lunak. Selanjutnya hifa tumbuh dari
konidia dan merusak jaringan
 Cendawan tumbuh keluar dari tubuh inang pada saat cendawan siap menghasilkan spora
untuk disebarkan
 Apabila keadaan tidak mendukung, perkembangan cendawan hanya berlangsung didalam
tubuh serangga tanpa keluar menembus integument.
 Tubuh serangga mati yang terinfeksi Beauveria bassiana mengeras seperti mumi.

. Mekanisme infeksi Beauveria bassiana terhadap serangga


Cara cendawan Beauvaria bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak
inang, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang,
kemudian kontak dan menginfeksi inang baru. Beauveria bassiana masuk ke tubuh serangga
inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Inokulum jamur yang
menempel pada tubuh serangga inang akan berkecambah dan berkembang membentuk
tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh. Penembusan dilakukan secara
mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Pada proses selanjutnya,
jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan berkembang dalam tubuh inang
dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus ke
luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam hitungan
hari, serangga akan mati. Serangga yang terserang jamur Beauveria bassiana akan mati
dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih.
Dalam infeksinya, Beauveria bassiana akan terlihat keluar dari tubuh serangga
terinfeksi mula-mula dari bagian alat tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen
antena, antara segmen kepala dengan toraks , antara segmen toraks dengan abdomen dan
antara segmen abdomen dengan cauda (ekor). Setelah beberapa hari kemudian seluruh
permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa jamur yang berwarna
putih.Penetrasi jamur entomopatogen sering terjadi pada membran antara kapsul kepala
dengan toraks atau diantara segmen-segmen apendages demikian pula miselium jamur keluar
pertama kali pada bagian-bagian tersebut.
Penggunaan jamur ini untuk membasmi hama dapat dilakukan dengan beberapa
metode. Jamur ini bisa dipakai untuk jebakan hama. Adapun cara penggunaanya yaitu dengan
memasukkan Beauveria bassiana beserta alat pemikat berupa aroma yang diminati serangga
(feromon) ke dalam botol mineral. Serangga akan masuk ke dalam botol dan terkena spora.
Akhirnya menyebabkan serangga tersebut terinfeksi.
Cara aplikasi lain yaitu dengan metode penyemprotan. Serangga yang telah
terinfeksi Beauveria bassiana, selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan, baik dengan
cara mengeluarkan spora menembus kutikula keluar tubuh inang, maupun melalui fesesnya
yang terkontaminasi. Serangga sehat kemudian akan terinfeksi.

Anda mungkin juga menyukai