Anda di halaman 1dari 39

MINI CLINICAL EXAMINATION

“Peritonitis Generalisata e.c Perforasi Gaster”

Pembimbing :
dr. Wisnu Budi Pramono, Sp.An

Disusun Oleh:
R. Siti Farahnur Syaiful.R
1710221016

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
Periode 10 September – 13 Oktober 2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui mini clinical examination dengan judul :


“Peritonitis Generalisata e.c Perforasi Gaster”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
R. Siti Farahnur Syaiful R
1710221016

Purwokerto, Oktober 2018

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Wisnu Budi Pramono, Sp. An


BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


a. Nama : Tn. S
b. Usia : 52 tahun
c. Alamat : Sidakangen RT 018/007 Kalimanah
d. Pekerjaan : Petani
e. No. CM : 02069035
f. Tanggal Masuk RSMS : 24 September 2018
g. Tanggal Operasi : 24 September 2018
h. Pro : Laparotomi
i. Diagnosis : Peritonitis generalisata ec perforasi hollow
viscus
j. Diagnosis Post Op : Peritonitis generalisata ec perforasi gaster
1.2 ANAMNESIS
a. Keluhan utama
Nyeri perut kanan atas menjalar sampai ke pinggang
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan nyeri perut kanan atas
menjalar sampai ke pinggang disertai dengan adanya benjolan pada perut
kanan atas sejak ± 2 tahun lalu. Pasien juga merasakan berat badannya
turun dalam beberapa bulan terakhir. Pasien terkadang merasakan mual
tetapi tidak disertai dengan muntah. BAB dan BAK pasien normal.
Awalnya pasien kadang kadang merasakan sakit pada pinggang sebelah
kanannya dan juga sempat beberapa kali pasien merasakan seperti adanya
pasir yang keluar ketika BAK namun pasien membiarkannya karena
setelah itu tidak merasakannya kembali. Kemudian dalam 6 bulan terakhir
ini pasien mengatakan kadang kadang ketika BAK seperti keluar
semacam cendol cendol dan juga sempat membuat BAK pasien tidak
lancar, tetapi setelah beberapa kali ketika BAK cendol cendolnya keluar
pasien BAK nya kembali normal. Namun semakin lama pasien
mengatakan nyeri pada pinggang kanan atasnya semakin bertambah dan
menjalar sampai ke pinggang. Selain itu juga terdapat adanya benjolan
pada perut kanan atas pasien yang semakin membesar. Sehari hari pasien
bekerja sebagai supir truk dan pasien mengakui jarang sekali minum air
putih.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat kencing manis : disangkal
2. Riwayat alergi : disangkal
3. Riwayat hipertensi : disangkal
4. Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat penyakit paru : disangkal
7. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
8. Riwayat operasi : disangkal
c. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat kencing manis : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat asma : disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : disangkal
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum/kesadaran : tampak sakit sedang/compos mentis
b. Vital sign
Nadi : 108/80 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36 0C
Berat badan : 52 kg
Tinggi badan : 162 cm
c. Airway
Clear +, buka mulut 3 jari, Mallampati II, TMD 6 cm, Gigi palsu -, Gigi
tanggal +, Gigi goyang - massa jalan napas -, massa di leher -
d. Status Generalis
a. Kepala : mesocephal
b. Mata : CA (-/-), SI (-/-), isokor
c. Hidung : nafas cuping hidung (–), discharge (-)
d. Mulut : sianosis (–), kering (-), buka mulut 3 jari,
mallampati II
e. Leher : tidak terdapat deviasi trakea, pembesaran thyroid
(-), pembesaran KGB (-)
f. Thorax : simetris (+), retraksi -
g. Paru : simetris (+), vocal fremitus dextra = vocal fremitus
sinistra, sonor pada kedua lapang paru, SD vesikuler (+/+), RBK
(-/-), RBH (-/-), Wheezing (-/-)
h. Cor : ictus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba di
SIC 6 linea midclavicular sinistra, batas kanan atas jantung : SIC
2 linea parasternalis dextra, batas kanan bawah jantung : SIC 4
linea parasternalis dextra, batas kiri atas jantung : SIC 2 linea
parasternalis sinistra, batas kiri bawah jantung : SIC 6 linea
midclavicular sinistra, S1>S2, regular, murmur -, gallop –
i. Abdomen : cembung, nyeri tekan (+) pada hipokondrium
kanan, epigastrium, lumbal kanan dan umbilikus, BU (+) normal,
teraba benjolan di perut kanan atas, konsistensi lunak.
j. Ekstremitas : Akral hangat(+/+/+/+), edema (-/-/-/-), motorik
(5/5/5/5)
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 21 Mei 2018 (pre operasi)
Hemoglobin 12.2 g/dL
Leukosit 7190 U/L
Hematokrit 36 % (L)
Trombosit 286.000/uL
Eritrosit 4.2 juta (L)
Total Protein 6.35 g/dl
GDS 82 mg/dL
Albumin 2.60 g/dL (L)
Globulin 4.25 g/dl (H)
SGOT 20 U/L
SGPT 19 U/L
Ureum Darah 24.4 mg/dL
Kreatinin 1.06 mg/dL
Natrium 141 mol/L
Kalium 4.5 mol/L
Klorida 105 mol/L
HbsAg Non reaktif
2. Hasil pemeriksaan lab tanggal 26 Mei 2018 (pre operasi)
PT 11.0
APTT 47.6 (H)
3. Hasil pemeriksaan Elektrokardiografi tanggal 26 Mei 2018

4. Hasil Foto Thorax tanggal 23 Mei 2018


Kesan :
- Cor tak membesar
- Gambaran Bronkopneumonia
5. Hasil USG Abdomen tanggal 24 Mei 2018

Kesan :
 lesi semi kistik bentuk relatif oval dengan multiple septasi di dalamnya
pada hampir seluruh hemiabdomen kanan yang mendesak struktur lobus
kanan hepar dan vesica urinaria (ukuran tdk terjangkau probe) ->
cenderung gambaran severe hidronefrosis kanan
 Tak tampak kelainan lain pada sonografi organ-organ intra abdomen
tersebut di atas saat ini
1.5 PERKEMBANGAN PASIEN PREOPERASI
Hari, Subjektif dan Objektif Assessment Planning
tanggal
Minggu, S: Pasien mengeluhkan Batu Renal Dextra Pro Extended
27 Mei nyeri perut kanan atas Pyelolithotomy
2018 menjalar sampai ke - Konsul Anestesi:
Di pinggang disertai dengan ACC operasi
bangsal adanya benjolan pada ASA II
edelweis perut kanan atas sejak ± 2 Puasa 6 jam
tahun lalu. Pasien juga Pasang Infus
merasakan berat badannya Inform consent
turun dalam beberapa keluarga
bulan terakhir. Pasien
terkadang merasakan mual
tetapi tidak disertai
dengan muntah. BAB dan
BAK pasien normal..

Keadaan Umum : tampak


sakit sedang
Kesadaran : compos
mentis
GCS : E4V5M6
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 36.5 0C
Status generalis :
Kepala : mesocephal
Mata : CA (-/-), SI (-/-),
isokor
Hidung : nafas cuping
hidung (–), discharge (-)
Mulut : sianosis (–),
kering (-), buka mulut 3
jari, mallampati II
Leher : tidak terdapat
deviasi trakea,
pembesaran thyroid (-),
pembesaran KGB (-)
Thorax : simetris (+),
retraksi -
Paru : simetris (+), vocal
fremitus dextra = vocal
fremitus sinistra, sonor
pada kedua lapang paru,
SD vesikuler (+/+), RBK
(-/-), RBH (-/-), Wheezing
(-/-)
Cor : ictus cordis tidak
tampak, ictus cordis teraba
di SIC 6 linea
midclavicular sinistra,
batas kanan atas jantung :
SIC 2 linea parasternalis
dextra, batas kanan bawah
jantung : SIC 4 linea
parasternalis dextra, batas
kiri atas jantung : SIC 2
linea parasternalis sinistra,
batas kiri bawah jantung :
SIC 6 linea midclavicular
sinistra, S1>S2, regular,
murmur -, gallop –
Abdomen : cembung,
nyeri tekan (+) pada
hipokondrium kanan,
epigastrium, lumbal kanan
dan umbilikus, BU (+)
normal, teraba benjolan di
perut kanan atas,
konsistensi lunak.
Ekstremitas : Akral hangat
(+/+/+/+), edema (-/-/-/-),
motorik (5/5/5/5)

Hasil pemeriksaan darah


lengkap tanggal 21 Mei
2018 (pre operasi)
Hemoglobin 12.2 g/dL
Leukosit 7190 U/L
Hematokrit 36 % (L)
Trombosit 286.000/uL
Eritrosit 4.2 juta (L)
Total Protein 6.35 g/dl
GDS 82 mg/dL
Albumin 2.60 g/dL (L)
Globulin 4.25 g/dl (H)
SGOT 20 U/L
SGPT 19 U/L
Ureum Darah 24.4 mg/dL
Kreatinin 1.06 mg/dL
Natrium 141 mol/L
Kalium 4.5 mol/L
Klorida 105 mol/L
HbsAg Non reaktif
Hasil pemeriksaan lab
tanggal 26 Mei 2018 (pre
operasi)
PT 11.0
APTT 47.6 (H)

1.6 DIAGNOSA
Peritonitis generalisata ec perforasi hollow viscus
Assesment : ASA III E
Rencana Operasi : Pro Laparotomi
Rencana Anestesi : GA Intubasi
1.7 LAPORAN DURANTE OPERASI
1. Tanggal operasi : 28 Mei 2018
2. Jam mulai anestesi : 08.35 WIB
3. Jam selesai anestesi : 11.00 WIB
4. Kondisi sebelum anestesi
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 111/81 mmHg
Heart rate : 91 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,50C
Teknik Anestesi
General Anestesi
Premedikasi : Ondansentron 4 mg
Preemptive analgesia : fentanyl 100 mikrogram
Inhalasi : isoflurane
Intravena : propofol 100 mg, recuronium 30 mg
Airway : Face mask no. 4
Intubasi : ET kinking no 7.5
Monitoring Durante Operasi
Tekanan darah, SpO2, dan HR
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR (x/min)
08.35 100/80 100% 90
08.45 90/60 100% 69
09.00 95/60 100% 70
09.15 90/55 100% 69
09.30 78/50 100% 60
09.45 80/50 100% 68
10.00 90/55 100% 70
10.15 95/60 100% 100
10.30 80/50 100% 75
10.45 80/50 100% 80
11.00 90/60 100% 100

Obat yang masuk


a. Ondansetron 4 mg
b. Fentanyl 100 mcg
c. Propofol 100 mg
d. Recuronium 30 mg
e. Ketorolac 30 mg
f. Asam Tranexamat 500 mg
g. Vit K 1 Amp/10 mg
h. Efedrine 40 mg
Cairan yang masuk
Ringer laktat : 2500 ml
Koloid : 500 ml
NaCl : 500 ml
Perdarahan
200 cc
Urin output
500
Terapi Cairan
Rumus:
Maintenance = 2 x kgBB/jam
Pengganti Puasa (PP) = Puasa (jam) x M
Stress Operasi (SO) = 6cc/kgBB (operasi sedang)
Jam I = ½ PP + M + SO
Jam II = ¼ PP + M + SO
Jam III = Jam II
Jam IV = M + SO
25 Menit = 5/12 Jam I
EBV = 70 x BB
Perhitungan (BB= 52 Kg):
Maintenance (M) = 2 x 52 kg = 104 cc
Stress Operasi (SO) = 6 x 52 kg = 312 cc
Pengganti puasa = 6 x 104 cc = 624 cc
EBV = 70 x BB = 70 x 52 = 3640 cc
Lama Operasi (145 menit)
Input Cairan durante operasi
Jam I = ½ PP + M + SO
= ½ 624 + 104 + 312
= 728 cc
Jam II = ¼ PP + M + SO
= ¼ 624 + 104 + 312
= 572 cc
Jam III (25 menit) = 5/12 Jam II
= 5/12 572
= 238.3 cc
Output durante operasi
Jumlah perdarahan = 200 cc
Urin output = 500 cc
Total output durante operasi = 700 cc
Tabel Keseimbangan Cairan Durante Operasi
Output Cairan Input Cairan
Perdarahan + urin output Durante operasi = 3500 cc
= 200 + 500 cc
Output cairan D.O. = 700 cc Input cairan D.O. = 3500 cc

Kebutuhan durante operasi


145 menit :1538.3 cc

Total Cairan Output Total Cairan Input


1538.3 + 700 3500 cc
= 2238.3 cc = 3500 cc
Balance Cairan: +1261.7 cc

I.8. MONITORING POST OPERASI


Hari, Subjektif dan Objektif Assessment Planning
tanggal
Selasa, S: Pasien mengeluhkan Suspek tumor - Infus PCT 3 x
29 Mei sedikit nyeri luka post renal dextra 500 mg
2018 operasi. Mual (-), muntah - Inj Cefotaxim 2
Di (-). BAB dan BAK pasien x1 gr
bangsal normal. - Inj Ketorolac 2 x
edelweis 30 mg
Keadaan Umum : tampak - Inj Ranitidin 2 x
tenang 50 mg
Kesadaran : compos Instruksi lain :
mentis - Evaluasi
GCS : E4V5M6 keadaan umum
TD : 120/80 mmHg dan tanda vital
Nadi : 88 x/menit - Jika sudah sadar
RR : 20 x/menit penuh, mual (-),
Suhu : 36.5 0C muntah (-), boleh
makan dan minum
Status generalis :
Kepala : mesocephal
Mata : CA (-/-), SI (-/-),
isokor
Hidung : nafas cuping
hidung (–), discharge (-)
Mulut : sianosis (–),
kering
Leher : tidak terdapat
deviasi trakea,
pembesaran thyroid (-),
pembesaran KGB (-)
Thorax : simetris (+),
retraksi -
Paru : simetris (+), vocal
fremitus dextra = vocal
fremitus sinistra, sonor
pada kedua lapang paru,
SD vesikuler (+/+), RBK
(-/-), RBH (-/-), Wheezing
(-/-)
Cor : ictus cordis tidak
tampak, ictus cordis teraba
di SIC 6 linea
midclavicular sinistra,
batas kanan atas jantung :
SIC 2 linea parasternalis
dextra, batas kanan bawah
jantung : SIC 4 linea
parasternalis dextra, batas
kiri atas jantung : SIC 2
linea parasternalis sinistra,
batas kiri bawah jantung :
SIC 6 linea midclavicular
sinistra, S1>S2, regular,
murmur -, gallop –
Abdomen : datar, nyeri
tekan (-), BU (+) normal.
Ekstremitas : Akral hangat
(+/+/+/+), edema (-/-/-/-),
motorik (5/5/5/5)
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Urolitiasis
2.1.1 Definisi
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti
batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di
dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis,
nefrolitiasis)
2.1.2 Etiologi urolithiasis
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
a. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
b. Umur : penyakit ini paling banyak didapatkan pada usia 30-50 tahun.
c. Jenis Kelamin : jumlah pasien laki-laki 4 kali lebih banyak dibandingkan
dengan pasien perempuan (4:1).
Faktor ekstrinsik diantaranya adalah geografi , iklim dan temperatur, asupan air,
diet, pekerjaan.
2.1.3 Patofisiologi urolithiasis
Beberapa teori pembentukan batu adalah:
1. Teori Nukleasi : Batu terbentuk didalam urine karena adanya inti batu
(nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang terlewat jenuh
(supersaturated) akan mengendap didalam nukleus itu sehingga akhirnya
membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran
kemih.
2. Teori Matriks : Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin,
globulin dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-
kristal batu.
3. Teori Penghambat Kristalisasi : Urine orang normal mengandung zat-zat
penghambat pembentuk kristal, antara lain magnesium, sitrat, pirofosfat,
mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu
berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu didalam saluran kemih.

2.1.4 Diagnosis Urolithiasis


Gambaran klinis pasien dengan urolitiasi :
a. Nyeri : Batu pada traktus urinarius bagian atas seringkali mengakibatkan
nyeri. Karakter nyerinya tergantung pada lokasi. Nyeri kolik renal dan nyeri
renal non-kolik adalah 2 tipe nyeri dari ginjal. Nyeri kolik renal biasanya
disebabkan oleh peregangan pada collecting system of ureter. Sedangkan
nyeri renal non kolik disebabkan distensi pada kapsul renal.
b. Hematuria : Pasien seringkali mengeluh adanya gross hematuria secara
intermitten atau kadang-kadang urin pekat seperti teh (old blood).
c. Infeksi : Infeksi juga berperan dalam menimbulkan nyeri. Bakteri
uropatogenik dapat mengganggu peristaltic ureter melalui produksi
eksotoksin dan endotoksin. Inflamasi local akibat infeksi mengakibatkan
aktivasi kemoreseptor dan membetuk persepsi nyeri local.
d. Demam : Batu pada traktus urinarius yang menimbulkan demam dapat
merupakan kondisi medis emergensi. Tanda klinis sepsis bervariasi
termasuk demam, takikardi, hipotensi dan vasodilatasi kutaneus. Tenderness
pada CVA menandakan adanya obstruksi akut pada traktus urinarius bagian
atas. Dapat teraba massa akibat hidronephrosis ginjal. Pada kondisi ini
diperlukan pemasangan retrograde catether (double-J) atau jika gagal dapat
dilakukan nephrostomi.
e. Nausea dan vomitus : Obstruksi pada traktus urinarius bagian atas disertai
dengan nausea dan vomitus. Cairan intravena dibutuhkan untuk
mengembalikan ke kondisi euvolemia.
Pemeriksaan Laboratorium pasien dengan urolitiasis :
 Darah rutin
 Urine rutin (pH, Bj urine, sedimen urine): Menentukan hematuria, leukosituria,
dan kristaluria.
 Kultur urine: Mmenunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
 Faal ginjal (Ureum, Creatinin): Bertujuan untuk mencari kemungkinan
penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersiapkan pasien menjalani
pemeriksaan foto IVP.
 Kadar elektrolit: Untuk mencari faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih
(antara lain kadar kalsium, oksalat, fosfat).
Pemeriksaan Radiologi pasien dengan urolitiasis :
a. BNO: Melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran kemih.
b. Ultrasonografi (USG): Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya batu
di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow ),
hidronefrosis, pionefrosis, atau adanya pengkerutan ginjal. Dapat menunjukkan
ukuran , bentuk dan posisi batu. Dapat diketahui adanya batu radiolusen dan
dilatasi sistem ductus kolektivus.
c. Intra-Venous Pielografi (IVP): Menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal.
d. CT Scan: Teknik imaging yang paling baik untuk melihat gambaran semua
jenis batu dan juga dapat terlihat lokasi dimana terjadinya obstruksi.
e. Pemeriksaan Renografi: Merupakan alat uji fungsi ginjal manusia dengan
menggunakan teknologi nuklir. Berdasarkan renogram akan memberikan
informasi tentang keadaan fungsi ginjal meliputi respons vaskuler, kapasitas
uptake dan kemampuan mengeluarkan perunut.
2.1.5 Penatalaksanaan urolithiasis
a. Konservatif
Batu pada saluran kemih dapat keluar spontan tanpa membutuhkan
intervensi. 40-50 % batu dengan ukuran 4-5mm keluar spontan. Sedangkan batu
ukuran >6mm hanya memiliki kemingkinan 5% keluar spontan.
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5
mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan untuk
mengurangi rasa nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum
dan minum banyak serta skipping supaya dapat mendorong batu keluar. Untuk
mengurangi rasa nyeri dapat diberikan analgetik atau inhibitor sintesis
prostaglandin (intravena, intramuskular, atau supositoria). Terapi konservatif
hanya diberikan selama 6 minggu.
b. Relief of Obstruction
Pasien dengan batu obstruksi disertai demam dan infeksi merupakan kondisi
emergensi urologi yang membutuhkan drainase. Pielografi retrograde ditujukan
untuk traktus urinarius bagian atas kemudian diikuti dengan pemasangan
retrograde double J ureteral stent.
c. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)
Batu dipecah dengan gelombang kejut menjadi fragmen-fragmen kecil
sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.
d. Operatif
Batu ginjal yang terletak di kaliks perlu dilakukan tindak bedah bila terdapat
hidrokaliks. Batu sering harus dikeluarkan melalui nefrolitotomi yang tidak
gampang karena batu biasanya tersembunyi di dalam kaliks. Batu pelvis juga
perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis, infeksi, atau menyebabkan nyeri
yang hebat. Pada umumnya, batu pelvis terlebih lagi yang berbentuk tanduk rusa
amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal. Operasi untuk batu pielum yang
sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk bentuk tanduk rusa (staghorn)
dengan pielolitotomi yang diperluas (extended pyelolithotomy).
2.1.6 Extended Pyelolithotomy
Merupakan suatu tindakan operasi terbuka (selain nefrektomi dan
anatrophic nephrolithotomy) yang dalam prosedurnya dilakukan insisi pielotomi
dengan hooked scalpel. Insisi apek dilakukan langsung dekat dengan
ureteropelvic junction dimana keuntungan dari tindakan ini adalah batu dapat
terpajan secara maksimal sehingga pada stone free rate berkisar antara 71%-82%
dan jumlah prosedur yang kecil yakni 1,4%. Namun, operasi terbuka ini memiliki
risiko terjadinya komplikasi minor (demam, perdarahan yang membutuhkan
transfusi, ekstravasasi, pneumonia/atelectasis, ileus paralitik, dll) maupun mayor
(kematian, perdarahan yang memerlukan transfusi berkala, infeksi, cedera saluran
kemih dll). Selain itu, tindakan operasi terbuka memiliki kerugian yakni, nyeri
pascaoperasi, jaringan parut pascaoperasi, serta lama perawatan dan pemulihan di
rumah sakit.
2.2 Anestesi Umum (General Anesthesia)
2.2.1 Definisi
Anestesi umum merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Pada tindakan anestesi umum
terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah anestesi umum dengan
Teknik intravena anestesi dan anestesi umum dengan inhalasi yaitu dengan face
mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal
tube atau dengan teknik gabungan keduanya yaitu inhalasi dan intravena.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka
2.2.2 Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum
Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah
anestisia umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu
dikonversikan menjadi anestesia umum.
Keuntungan anestesia umum
 Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.
 Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis.
 Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
 Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.
Kerugian anestesia umum
 Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesia umum.
 Memerlukan pemantauan yang lebih holostik.
 Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
 Risiko komplikasi lebih besar.
 Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum
a. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus
adalah:
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin
cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan
parsial
b. Faktor Sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena

Faktor-faktor yang mempengaruhi:

a. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan

darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan

sebagian kembali melalui vena.

b. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam

darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan

seimbang.

c. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak

aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil

dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin

lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang

adekuat.

c. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.

2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat

anestesika, kecuali halotan.


3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:

a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal.

Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial

zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak

menerima 14% curah jantung.

b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.

c) Lemak : jaringan lemak

d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah :

ligament dan tendon.

d. Faktor Zat Anestetika


Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC
(Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika
dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)
terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat
anestetika tersebut.
e. Faktor Lain
 Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
 Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
 Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman
anestesia semakin cepat.
2.2.4 Jenis Anestesi Umum
1. Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan berupa
gas. Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran. Agen ini dapat diberikan dan diserap
secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-paru
(alveoli). Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi
gas dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap obat
anestetik dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar,
koefisien gas darah, curah jantung, dan perfusi.
a. Isofluran: Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat
dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
b. Sevofluran: Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi
lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
inhalasi di samping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia.
2. Anestesi Intravena
Anestesi intravena merupakan suatu tindakan pemberian anestesi dengan
memasukkan obat melalui intravena. Keuntungan anestesi intravena lebih
dapat diterima pasien, kurang perasaan klaustrofobik (perasaan akan-akan
wajah ditutupi topeng), tahap tidak sadar yang lebih cepat dan lebih
menyenangkan bagi ahli anestesi. Oleh karena itu, agen intravena dapat
digunakan sendiri untuk menimbulkan anestesi.
a. Propofol: Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih
susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Onset cepat,
lama kerja pendek. Efek kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek puncak 1
menit, lama aksi 5-10 menit. Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme,
pemulihan cepat. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Efek hipnotik 1,8 kali pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar
dibandingkan pentothal. Efek anti emetik positif. Mekanisme kerja diduga
menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi dengan GABA
(gamma-aminobutyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada SSP.
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan juga
tekanan darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik.
Efek negative inotropik disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler.
Tergantung dosis, propofol dapat menyebabkan depresi nafas dan apnoe
sementara pada beberapa pasien setelah induksi IV. Pemberian opioid
preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat menurunkan volume
tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP dapat
menurunkan metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan TIK.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intra
vena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2
mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrose 5%. Pada
manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil
tidak dianjurkan.
b. Opioid: Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi
diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
2.2.5 Rumatan Anestesia
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara
mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat
tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat
rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah
anestesi yang adekuat. Untuk itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap
indikator-indikator kedalaman anestesi.
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan cara intravena
(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena
inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia yaitu tidur
ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil
10-50 ug/kgBB. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa,
tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan O2 atau
N20+O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau
sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu
(assisted) atau dikendalikan (controlled).

2.2.6 Prosedur Anestesi Umum


a. Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun
darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan
pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan
pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang
mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal
ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai
gambaran prognosis pasien secara umum.
b. Persiapan pasien
Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui
keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan
pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien. Yang harus diperhatikan
pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus,
penyakit paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit
jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis),
penyakit hati, dan penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid,
obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan
aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti
alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa
kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu
seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesi seperti: merokok dan alkohol.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan
buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan
menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik
tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan.
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan
uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien > 40 tahun anjuran pemeriksaan EKG
dan foto toraks. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium, dibuat rencana obat dan teknik anestesi yang akan
digunakan.
a. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia
harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat, air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anesthesia.
b. Klasifikasi status fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (TheAmerican Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5
kelompok atau kategori sebagai berikut:
 ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
 ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
 ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
 ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
 ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
c. Klasifikasi Mallapati
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang
dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan
menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.
Gambar Mallampati Classification and Cormack-Lehanne
Classification

d. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya
-Meredakan kecemasan dan ketakutan
-Memperlancar induksi anesthesia
-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual muntah pasca bedah
-Menciptakan amnesia
-Mengurangi isi cairan lambung
-Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai
nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2
jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa ondansentron 2-4 mg (zofran,
narfoz).
e. Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan
anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti
berfungsi, sesuai dengan tujuan kita memberi anesthesia yang lancer dan aman.
Untuk persiapan anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:
 Scope : Laringoscope dan Stetoscope
 Tubes : Pipa trakea yang dipilih sesuai usia
 Airway : Orotracheal airway, untuk menahan lidah pasien saat
pasien tidak sadar, untuk menjaga agar lidah tidak
menutup jalan nafas.
 Tape : Plaster untuk memfiksasi orotracheal airway.
 Introducer: Mandrain atau stilet dari kawat untuk memandu agar pipa
trakea mudah untuk dimasukkan
 Conector : Penyambung antara pipa dan alat anesthesia
 Suction : Penyedot lendir.

f. Teknik Anestesi Umum


1. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
 Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
 Keadaan umum baik (ASA I – II)
 Lambung harus kosong
Prosedur :
 Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
 Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
 Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang) efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non
opioid, dll
 Induksi
 Pemeliharaan
2. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi:
 Operasi lama
 Sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
 Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil
dgn durasi singkat)
 Intubasi setelah induksi dan suksinil
 Pemeliharaan
3. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien
dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit.
Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan
kemudian kita akhiri efek anestesinya. Indikasi:
 Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun; kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan napas, dan lainnya.
 Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi; saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka
panjang.
 Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
g. Pemantauan dan Pencatatan
Selama operasi, pemantauan ditujukan untuk menjaga keselamatan pasien.
Semua perubahan selama anestesi dicatat dalam rekam medis anestesi. Tanda-
tanda vital dicatat dalam interval waktu tertentu, demikian juga obat-obat yang
digunakan, dosis, waktu pemberian. Jumlah dan jenis cairan yang diberikan juga
dicatat. Transfusi produk darah, jika ada dicatat jenis dan jumlahnya. Produksi
urin pun diamati dan dicatat.
2.2.7 Mempertahankan Anestesi Dan Pengakhiran Anestesi
I. Mempertahankan Anestesi
 Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi: EKG,
pengukuran tekanan darah yang tidak invasive, oksimetri nadi,
kapnometri, gas napas, pengukuran gas anestesi.
 Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan
opioid (misalnya, remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi
(misalnya 0,5 MAC Desfluran) atau sebagai anestesi intravena total
(TIVA) dengan opioid dan propofol.
 Segera rencanakan terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian
analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kg metamizol) dan pemberian
opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg piritramid).
 Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
1. Peningkatan tekanan darah.
2. Peningkatan frekuensi denyut jantung.
3. Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
4. Terdapat pergerakan.
5. Berkeringat.
II. Pengakhiran Anestesia
 Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi
berakhir (pada penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah
kulit dijahit).
 FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
 Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
 Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan
telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).
 Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di
dalam ruangan pasca-bedah.
2.3 Anestesia untuk Pembedahan Ginjal
a. Intra Operatif
Anestesi umum biasanya digunakan untuk operasi ginjal terbuka
atau laparoskopi. Karena posisi pasien dan peningkatan tekanan intra-
abdominal yang terkait dengan operasi laparoskopi, intubasi endotrakeal
dianjurkan. Induksi anestesi mungkin dengan agen intravena atau inhalasi,
dan induksi cepat harus dilakukan pada mereka yang memiliki neuropati
otonom. Pemeliharaan harus dengan agen inhalasi, sebaiknya halotan,
isofluran atau desfluran. Atracurium adalah relaksan otot non-
depolarisasi pilihan pada mereka dengan gangguan fungsi ginjal. Akses
intravena dengan ukuran aboccath besar adalah wajib karena risiko
perdarahan.
b. Obat-obat Anestesi
Premedikasi
1. Obat-obat anastesi inhalasi: Semua obat anestesi inhalasi mengalami
biotransformasi sampai taraf tertentu, dengan sebagian besar
metabolisme produk non volatil dieksresi oleh ginjal. Akan tetapi,
efek reversibel terhadap sistem syaraf pusat dari obat-obatan inhalasi
ini tergantung pada eksresi paru, sehingga kegagalan fungsi ginjal
tidak akan mempengaruhi respon terhadap obat tersebut.
Methoxyfluran kontra indikasi terhadap pasien dengan penyakit ginjal
karena biotransformasinya menjadi nephrotoksik, yaitu florida
inorganik dan asam oksalik. Enfluran juga mengalami biotransformasi
menjadi florida inorganik tetapi kadar setelah 2-4 jam anastesi hanya
19 mM pada pasien dengan penyakit ginjal ringan sampai dengan
sedang, secara signifikasn nilainya lebih rendah dari ambang
nephrotoksis yaitu 50 mM, sehingga dengan kadar ini florida tidak
menyebabkan gangguan ginjal lebih lanjut. Kadar flurida dari
isoflurana adalah 3-5 mM dan hanya 1 sampai 2 mM setelah halotan,
sehingga obat-obat tersebut tidak potensial nephrotoksis.
Desfluran dan sevofluran, berbeda dalam stabilitas molekular dan
biotransformasinya. Desfluran sangat stabil dan tahan terhadap
degradasi soda lime dan hepar. Eksresi dari florida organik dan
inorganik minimal. Konsentrasi rata-rata setelah pemberian 1.0 MAC
(minimum alveolar concentration)/ jam desflurane adalah kurang dari
1 mmol/L. Paparan lama desflurane berkaitan dengan fungsi ginjal
normal.
Sevoflurane, sangat tidak stabil. Soda lime menyebabkan
dekomposisi. Biotranformasinya oleh hepar sama seperti enfluran.
Terdapat laporan konsentrasi inorganik plasma mencapai kadar
nephrotoksik (50 mmol/L) setelah dipapar dengan inhalasi sevofluran.
Akan tetapi, tidak ada bukti terjadi perubahan pada fungsi ginjal
manusia.
2. Obat-obat anastesi intravena
Propofol mengalami biotransformasi cepat di hepar menjadi bentuk
inaktif yang dieksresi oleh ginjal. Farmakokinetik tampaknya tidak
mengalami perubahan pada pasien dengan gagal ginjal. Induksi
standar dengan propofol aman untuk gagal ginjal. Kelompok
benzodiazepin terikat kuat dengan protein. Gagal ginjal kronik
meningkatkan fraksi bebas benzodiazepin dalam plasma, berpotensi
meningkatkan efek klinik. Metabolit benzodiazepin tertuntu secara
farmakologik aktif dan potensial diakumulasi dengan pemberian dosis
ulangan obat induk pada pasien anephrik. Sebagai contoh 60-80%
midazolam dieksresi dalam bentuk aktif metabolit hydroxy, yang
dapat terakumulasi selama pemberian lama infus midazolam pada
gagal ginjal.
Pemeliharaan
Obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab
eksresinya melalui sistem respirasi, adanya gangguan fungsi ginjal
tidak akan mengubah obat tersebut. Isoflouran, halotan dan terutama
desfularan dimetabolisme dihepar sehingga tidak mempunyai efek
nephrotoksis.
2.3.1 Posisi
Posisi pasien dalam operasi ginjal khususnya extended pyelolithotomy umumnya
adalah posisi lumbotomy (flank). Dilakukan dengan posisi pasien fleksi lateral
dengan sisi yang dilibatkan terletak diatas, kepala dan kaki diposisikan lebih
rendah sementara regio lumbal yang akan dibedah lebih tinggi (Gambar). Posisi
lumbotomy ini akan mempermudah operator dalam melakukan tindakan
pembedahan (extended pyelolithotomi).

Gambar 4.3 Posisi Lumbotomy

Gambar Posisi ginjal dengan kidney rest dibagian bawah krista iliaka
untuk meminimalkan interferensi pada pergerakan diafragma bagian
bawah. Kidney rest, penghalang meja yang dielevasikan, digunakan
untuk semakin memisahkan krista iliaka dari tepi lateral kosta.

Posisi lateral dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien dan
memiliki efek yang minimal pada tubuh. Beberapa penelitian menggambarkan
efek hemodinamik pada perubahan posisi dari supine ke posisi lateral. Perubahan
akan lebih sering pada posisi lateral yang lebih dari biasanya dengan posisi rest
kidney, dimana vena cava inferior dapat memampat (kinking), terutama di posisi
lateral kanan, selain itu posisi kepala dan kaki yang lebih rendah (gravitasi) akan
menyebabkan penurunan aliran balik vena (venous return) dan curah jantung
(cardiac output). Perambahan hati pada vena kava dan pergeseran mediastinum
dapat menurunkan aliran balik vena lebih lanjut. Venous return dipengaruhi oleh;
kontraksi otot, penurunan venous compliance, aktivitas respirasi, kompresi vena
cava, dan gravitasi. Ini menjelaskan mengapa posisi lumbotomy berisiko untuk
hipotensi.
Posisi lumbotomy memiliki efek mendalam pada sistem pernapasan.
Seperti semua posisi yang lain, hubungan posisi secara mekanik dengan
terbatasnya gerakan dada sehingga membatasi pengembangan paru dan
menyebabkan berkurangnya volume paru. Ventilasi paru menurun sementara
perfusi meningkat mengakibatkan ketidakcocokkan antara ventilasi dan perfusi
yang besar. Terdapat juga penurunan pada komplians thoracic, volume tidal,
kapasitas vital dan kapasitas residual fungsional. Masalah-masalah ini dapat
diperburuk oleh penyakit pernapasan yang sudah ada sebelumnya. Kesulitan
dengan saturasi oksigen arteri yang rendah selama operasi dapat diatasi dengan
meningkatkan fraksi oksigen inspirasi, atau menerapkan sejumlah kecil positive
end expiratory pressure (PEEP).
2.3.2 Monitoring
Pemantauan rutin parameter kardiovaskular dan pernapasan sangat penting
karena risiko dari masalah yang terjadi karena posisi pasien. Pemantauan invasif
tekanan darah dan tekanan vena sentral dapat digunakan. Keputusan ini
tergantung pada kondisi pra-operasi pasien dan risiko operasi.
Pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dapat mengambil manfaat dari
pemantauan tekanan vena sentral untuk memandu kebutuhan cairan. Namun,
akses vena sentral mungkin sulit pada mereka yang sebelumnya pernah
dimasukkan jalur hemodialisis ke dalam pembuluh darah leher. Panduan USG
harus digunakan pada pasien ini jika tersedia. Eksisi massa ginjal yang besar dapat
mengakibatkan perdarahan major dan penggunaan pemantauan invasif dianjurkan.
Operasi ginjal mungkin memakan waktu beberapa jam dan suhu pasien harus
diperhatikan
2.3.3 Keseimbangan Cairan
Pada pemeliharaan cairan selama operasi, kehilangan cairan karena
penguapan, pembukaan abdomen (10-30 mL/ kg/ jam) harus diperhitugkan, dapat
terjadi kehilangan darah, dan perdarahan dapat juga terjadi sehingga kebutuhan
cairan selama operasi menjadi tinggi. Kristaloid dipakai untuk pemeliharaan.
Cairan yang mengandung potasium dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. Koloid dan PRC diberikan bila terjadi perdarahan.
Produk darah lainnya seperti fresh frozen plasma, cryopresipitat dan
platelet dapat diperlukan pada kehilangan darah yang massif. Keluaran urin dapat
menurun selama pembedahan, parameter ini dapat dipakai untuk menilai
penggantian cairan. Keluaran urin post operasi sekitar 0,5-1 ml/ kgBB/ Jam pada
fungsi ginjal normal.
2.3.4 Analgetik Post-operatif
Operasi terbuka berhubungan dengan nyeri yang signifikan sesudah
operasi. Fentanyl merupakan obat yang cocok untuk pasien dengan gagal ginjal
dimana fentanyl dimetabolisme di hepar. Morfin dapat dipakai dengan hati-hati,
pengurangan pada dosis dan interval waktu diantara dua dosis harus dibuat pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (biasanya 0,5 mg bolus dengan interval
waktu 10 menit). Pada semua pasien pendekatan multi analgesi dapat dipakai.
Sayangnya penggunaan obat analgesik anti inflamasi non steroid kontra indikasi
relatif karena memiliki efek nephretoksik

KESIMPULAN

1. Pasien Tn. A dengan Batu Renal Dextra dilakukan tindakan Extended


Pyelolithotomy pada tanggal 28 Mei 2018 dengan menggunakan teknik
general anestesi
2. Tahapan preoperative diantaranya adalah memeriksa pasien untuk
memastikan kelayakan pasien apakah dapat dilakukan operasi atau tidak,
puasa, dan dapat dilakukan premedikasi. Pada kasus ini, pasien diinstruksikan
untuk puasa selama 6 jam.
3. Tahapan intraoperatif diantaranya adalah pemberian induksi dan juga
pemasangan ET.
4. Tahapan postoperative dilakukan dengan melakukan menajemen nyeri dan
keseimbangan cairan. Diantaranya dengan pemberian infus paracetamol,
analgesik, kristaloid, dan antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anestesiologi. Edisi pertama. Jakarta.


Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002. p.34-98.
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Fisiologi Ginjal. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. 2nd Ed. Jakarta: FKUI; 2009. p. 21.
3. GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Renal Disease,.
Clinical Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed.
New York; 2006. p: 742-754
4. Kohl JL. Anesthesia for Patient with Renal Failure. Available at:
http://www.aana.com/newsandjournal/Documents/renal_failure_1085_p43
1.pdf. Accessed on June 14th, 2018.
5. Rang ST, West NL, Howard J, Cousins J. Anaesthesia for Chronic Renal
Disease and Renal Transplantation. EAU-EBU 2006.
doi:10.1006/j.eeus.2006.08.005.
6. Roizen MF, Foss JF, Fischer SP. Preoperative evaluation. In: Miller
RD, editor. Anesthesia. 5th Edition. Philadelphia: Churchill-
Livingstone; 2000.
7. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simandibrata M, Setiati S, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th
Ed. Jakarta: InternaPublishing; 2010. p. 1035-40.
8. Sherwood L. Sistem Kemih. In: Yesdelita N, editor. Fisiologi Manusia:
dari Sel ke Sistem. 6th Ed. Jakarta: EGC; 2011. p. 554.

Anda mungkin juga menyukai