Pembimbing :
dr. Wisnu Budi Pramono, Sp.An
Disusun Oleh:
R. Siti Farahnur Syaiful.R
1710221016
Disusun Oleh :
R. Siti Farahnur Syaiful R
1710221016
Mengetahui,
Dokter Pembimbing,
Kesan :
lesi semi kistik bentuk relatif oval dengan multiple septasi di dalamnya
pada hampir seluruh hemiabdomen kanan yang mendesak struktur lobus
kanan hepar dan vesica urinaria (ukuran tdk terjangkau probe) ->
cenderung gambaran severe hidronefrosis kanan
Tak tampak kelainan lain pada sonografi organ-organ intra abdomen
tersebut di atas saat ini
1.5 PERKEMBANGAN PASIEN PREOPERASI
Hari, Subjektif dan Objektif Assessment Planning
tanggal
Minggu, S: Pasien mengeluhkan Batu Renal Dextra Pro Extended
27 Mei nyeri perut kanan atas Pyelolithotomy
2018 menjalar sampai ke - Konsul Anestesi:
Di pinggang disertai dengan ACC operasi
bangsal adanya benjolan pada ASA II
edelweis perut kanan atas sejak ± 2 Puasa 6 jam
tahun lalu. Pasien juga Pasang Infus
merasakan berat badannya Inform consent
turun dalam beberapa keluarga
bulan terakhir. Pasien
terkadang merasakan mual
tetapi tidak disertai
dengan muntah. BAB dan
BAK pasien normal..
1.6 DIAGNOSA
Peritonitis generalisata ec perforasi hollow viscus
Assesment : ASA III E
Rencana Operasi : Pro Laparotomi
Rencana Anestesi : GA Intubasi
1.7 LAPORAN DURANTE OPERASI
1. Tanggal operasi : 28 Mei 2018
2. Jam mulai anestesi : 08.35 WIB
3. Jam selesai anestesi : 11.00 WIB
4. Kondisi sebelum anestesi
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 111/81 mmHg
Heart rate : 91 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,50C
Teknik Anestesi
General Anestesi
Premedikasi : Ondansentron 4 mg
Preemptive analgesia : fentanyl 100 mikrogram
Inhalasi : isoflurane
Intravena : propofol 100 mg, recuronium 30 mg
Airway : Face mask no. 4
Intubasi : ET kinking no 7.5
Monitoring Durante Operasi
Tekanan darah, SpO2, dan HR
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR (x/min)
08.35 100/80 100% 90
08.45 90/60 100% 69
09.00 95/60 100% 70
09.15 90/55 100% 69
09.30 78/50 100% 60
09.45 80/50 100% 68
10.00 90/55 100% 70
10.15 95/60 100% 100
10.30 80/50 100% 75
10.45 80/50 100% 80
11.00 90/60 100% 100
2.1 Urolitiasis
2.1.1 Definisi
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti
batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di
dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis,
nefrolitiasis)
2.1.2 Etiologi urolithiasis
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
a. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
b. Umur : penyakit ini paling banyak didapatkan pada usia 30-50 tahun.
c. Jenis Kelamin : jumlah pasien laki-laki 4 kali lebih banyak dibandingkan
dengan pasien perempuan (4:1).
Faktor ekstrinsik diantaranya adalah geografi , iklim dan temperatur, asupan air,
diet, pekerjaan.
2.1.3 Patofisiologi urolithiasis
Beberapa teori pembentukan batu adalah:
1. Teori Nukleasi : Batu terbentuk didalam urine karena adanya inti batu
(nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang terlewat jenuh
(supersaturated) akan mengendap didalam nukleus itu sehingga akhirnya
membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran
kemih.
2. Teori Matriks : Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin,
globulin dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-
kristal batu.
3. Teori Penghambat Kristalisasi : Urine orang normal mengandung zat-zat
penghambat pembentuk kristal, antara lain magnesium, sitrat, pirofosfat,
mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu
berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu didalam saluran kemih.
a. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan
b. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam
seimbang.
c. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil
dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin
adekuat.
c. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah :
d. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya
-Meredakan kecemasan dan ketakutan
-Memperlancar induksi anesthesia
-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual muntah pasca bedah
-Menciptakan amnesia
-Mengurangi isi cairan lambung
-Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai
nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2
jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa ondansentron 2-4 mg (zofran,
narfoz).
e. Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan
anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti
berfungsi, sesuai dengan tujuan kita memberi anesthesia yang lancer dan aman.
Untuk persiapan anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:
Scope : Laringoscope dan Stetoscope
Tubes : Pipa trakea yang dipilih sesuai usia
Airway : Orotracheal airway, untuk menahan lidah pasien saat
pasien tidak sadar, untuk menjaga agar lidah tidak
menutup jalan nafas.
Tape : Plaster untuk memfiksasi orotracheal airway.
Introducer: Mandrain atau stilet dari kawat untuk memandu agar pipa
trakea mudah untuk dimasukkan
Conector : Penyambung antara pipa dan alat anesthesia
Suction : Penyedot lendir.
Gambar Posisi ginjal dengan kidney rest dibagian bawah krista iliaka
untuk meminimalkan interferensi pada pergerakan diafragma bagian
bawah. Kidney rest, penghalang meja yang dielevasikan, digunakan
untuk semakin memisahkan krista iliaka dari tepi lateral kosta.
Posisi lateral dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien dan
memiliki efek yang minimal pada tubuh. Beberapa penelitian menggambarkan
efek hemodinamik pada perubahan posisi dari supine ke posisi lateral. Perubahan
akan lebih sering pada posisi lateral yang lebih dari biasanya dengan posisi rest
kidney, dimana vena cava inferior dapat memampat (kinking), terutama di posisi
lateral kanan, selain itu posisi kepala dan kaki yang lebih rendah (gravitasi) akan
menyebabkan penurunan aliran balik vena (venous return) dan curah jantung
(cardiac output). Perambahan hati pada vena kava dan pergeseran mediastinum
dapat menurunkan aliran balik vena lebih lanjut. Venous return dipengaruhi oleh;
kontraksi otot, penurunan venous compliance, aktivitas respirasi, kompresi vena
cava, dan gravitasi. Ini menjelaskan mengapa posisi lumbotomy berisiko untuk
hipotensi.
Posisi lumbotomy memiliki efek mendalam pada sistem pernapasan.
Seperti semua posisi yang lain, hubungan posisi secara mekanik dengan
terbatasnya gerakan dada sehingga membatasi pengembangan paru dan
menyebabkan berkurangnya volume paru. Ventilasi paru menurun sementara
perfusi meningkat mengakibatkan ketidakcocokkan antara ventilasi dan perfusi
yang besar. Terdapat juga penurunan pada komplians thoracic, volume tidal,
kapasitas vital dan kapasitas residual fungsional. Masalah-masalah ini dapat
diperburuk oleh penyakit pernapasan yang sudah ada sebelumnya. Kesulitan
dengan saturasi oksigen arteri yang rendah selama operasi dapat diatasi dengan
meningkatkan fraksi oksigen inspirasi, atau menerapkan sejumlah kecil positive
end expiratory pressure (PEEP).
2.3.2 Monitoring
Pemantauan rutin parameter kardiovaskular dan pernapasan sangat penting
karena risiko dari masalah yang terjadi karena posisi pasien. Pemantauan invasif
tekanan darah dan tekanan vena sentral dapat digunakan. Keputusan ini
tergantung pada kondisi pra-operasi pasien dan risiko operasi.
Pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dapat mengambil manfaat dari
pemantauan tekanan vena sentral untuk memandu kebutuhan cairan. Namun,
akses vena sentral mungkin sulit pada mereka yang sebelumnya pernah
dimasukkan jalur hemodialisis ke dalam pembuluh darah leher. Panduan USG
harus digunakan pada pasien ini jika tersedia. Eksisi massa ginjal yang besar dapat
mengakibatkan perdarahan major dan penggunaan pemantauan invasif dianjurkan.
Operasi ginjal mungkin memakan waktu beberapa jam dan suhu pasien harus
diperhatikan
2.3.3 Keseimbangan Cairan
Pada pemeliharaan cairan selama operasi, kehilangan cairan karena
penguapan, pembukaan abdomen (10-30 mL/ kg/ jam) harus diperhitugkan, dapat
terjadi kehilangan darah, dan perdarahan dapat juga terjadi sehingga kebutuhan
cairan selama operasi menjadi tinggi. Kristaloid dipakai untuk pemeliharaan.
Cairan yang mengandung potasium dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. Koloid dan PRC diberikan bila terjadi perdarahan.
Produk darah lainnya seperti fresh frozen plasma, cryopresipitat dan
platelet dapat diperlukan pada kehilangan darah yang massif. Keluaran urin dapat
menurun selama pembedahan, parameter ini dapat dipakai untuk menilai
penggantian cairan. Keluaran urin post operasi sekitar 0,5-1 ml/ kgBB/ Jam pada
fungsi ginjal normal.
2.3.4 Analgetik Post-operatif
Operasi terbuka berhubungan dengan nyeri yang signifikan sesudah
operasi. Fentanyl merupakan obat yang cocok untuk pasien dengan gagal ginjal
dimana fentanyl dimetabolisme di hepar. Morfin dapat dipakai dengan hati-hati,
pengurangan pada dosis dan interval waktu diantara dua dosis harus dibuat pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (biasanya 0,5 mg bolus dengan interval
waktu 10 menit). Pada semua pasien pendekatan multi analgesi dapat dipakai.
Sayangnya penggunaan obat analgesik anti inflamasi non steroid kontra indikasi
relatif karena memiliki efek nephretoksik
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA