Anda di halaman 1dari 27

Manajemen Pengelolaan Gangren Pada Kaki

Diabetik

Kelompok VI
Putri Bunga Cinta Tamara A.T 112015099
Gizela Yuanita 112015107
Angelica Marchely Felicita 112015123
Nisrina Nindriya 112015142
Putri Handayani 112015167
Natashya Risa Pramana 112015172
Novia Christina Margareta 112015179
Siti Nor Afiqah binti MD Hanif 112015194
Salfarina Azira Bt Mat Saridan 112015200

Universitas Kristen Krida Wacana


Fakultas Kedokteran 2016
Daftar Isi
Abstract
Diabetes Mellitus is a serious, life-long condition which is one of the leading cause of death in the world.
Dermatologists frequently encounter patients with diabetes mellitus. Up to 15% of patients with diabetes mellitus
will develop diabetic foot ulcers. Foot ulcer patients have an increased risk of amputation and increased mortality
rate. The high-risk diabetic foot can be identified with a simplified screening, and subsequent foot ulcers can be
prevented. Early recognition of the high-risk foot and timely treatment will save legs and improve patients’ quality
of life. Peripheral arterial disease, neuropathy, deformity, previous amputation, and infection are the main factors
contributing to the development of diabetic foot ulcers. Early recognition of the high-risk foot is imperative to
decrease the rates of mortality and morbidity. An interprofessional approach (ie, physicians, nurses, and foot
care specialists) is often needed to support patients’ needs.
Key words: diabetes; diabetic foot ulcer; neuropathy; wounds

Abstrak
Diabetes Mellitus adalah suatu kondisi serius seumur hidup yang merupakan salah satu penyebab utama kematian
di dunia. Dermatologist sering menemukan pasien dengan diabetes mellitus. 15 % dari pasien dengan diabetes
mellitus akan menderita ulkus kaki diabetik. Pasien dengan ulkus di kaki memiliki risiko tinggi untuk amputasi
dan angka kematian semakin meningkat. Kaki diabetik berisiko tinggi dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan
skrining yang sederhana dan ulkus kaki selanjutnya dapat dicegah. Mengenal pasti secara awal dari kaki diabetik
berisiko tinggi dan pengobatan yang tepat pada waktunya akan menyelamatkan kaki dan meningkatkan kualitas
hidup pasien. Penyakit arteri perifer, neuropati, deformitas, riwayat amputasi sebelumnya dan infeksi merupakan
faktor utama yang berkontribusi terhadap perkembangan ulkus kaki diabetik. Mengenal pasti secara awal dari
kaki berisiko tinggi penting untuk mengurangi tingkat mortalitas dan morbiditas. Pendekatan interprofessional
(yaitu, dokter, perawat, dan spesialis perawatan kaki) sering diperlukan untuk mendukung kebutuhan pasien.
Kata kunci: diabetes; ulkus kaki diabetik; neuropathy; luka

I. Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan
penanganan yang seksama. Prevalensi DM setiap tahun semakin meningkat, terutama pada
kelompok yang berisiko tinggi untuk mengalami penyakit DM. DM adalah penyakit metabolik
yang dapat menyerang semua usia, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi normal
(hiperglikemia) dan glukosuria disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut.
Apabila DM dibiarkan tidak terkendali dapat menyebabkan terjadinya komplikasi metabolik
akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang yaitu mikroangiopati dan makroangiopati.
Penderita DM juga rentan terhadap infeksi pada kaki yang luka yang kemudiannya dapat
berkembang menjadi gangren sehingga menyebabkan kasus amputasi kaki semakin
meningkat.1-3
Gangren kaki diabetik ini berwarna merah kehitaman dan berbau busuk karena adanya
sumbatan pada pembuluh darah sedang atau besar di tungkai. Studi epidemiologi melaporkan
lebih dari satu juta amputasi dilakukan pada penyandang diabetes setiap tahunnya.2 Dari hasil
suatu penelitian didapatkan bahwa jumlah penderita gangren diabetik yang terbanyak adalah
pada kelompok laki-laki yaitu sekitar 68% sedangkan pada jenis kelamin perempuan sebanyak
32% dan dijumpai 10% dari seluruh penderita gangren ini yang mengalami gangren rekuren.
Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sendiri masalah daripada gangren ini masih juga
merupakan masalah yang sangat besar, dimana sebagian besar perawatan penyandang dari
penderita diabetes selalu menyangkut tentang gangren diabetes. Angka kematian dan angka
amputasi masih sangat tinggi dimana masing-masing sebesar 16% dan 25% (data dari RS Cipto
tahun 2003). Nasib para penyandang diabetes paska amputasi pun masih sangat buruk.
Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun paska amputasi dan sebanyak 37% akan
meninggal tiga tahun paska operasi.
Terdapat beberapa upaya untuk menyembuhkan luka gangren, yaitu meliputi
mechanical control, metabolic control, vascular control, infeksi control, wound control, dan
educational control. Meskipun telah banyak upaya dilakukan untuk memperbaiki kualitas
hidup penderita DM dengan luka gangren, hal tersebut belum menunjukkan hasil yang
memuaskan. Ini terbukti dengan semakin banyaknya angka kasus kejadian gangren baik di
Indonesia maupun di seluruh dunia. Oleh karena itu, mengingat prevalensi penderita DM
dengan gangren kaki diabetik semakin meningkat dan pentingnya pengelolaan dari kasus ini,
maka penulis membuat karya ilmiah ini dengan tujuan untuk mengetahui manajemen
pengelolaan pada penderita gangren diabetik.1-3

II. Epidemiologi
Prevalensi penderita ulkus kaki diabetik di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi
sekitar 30%, angka mortalitas sebanyak 32% dan ulkus kaki diabetik merupakan sebab
perawatan di Rumah Sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk DM.4
Penderita ulkus kaki diabetik di Indonesia memerlukan biaya yang cukup tinggi sebesar
1.3 juta sampai 1.6 juta per bulannya, dan 43.5 juta untuk penderita selama satu tahunnya.4 Di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) data pada tahun 2003, masalah ulkus kaki
diabetik merupakan masalah yang cukup serius, sebagian besar penderita DM dirawat karena
menderita ulkus diabetik. Akibat dari masalah ulkus diabetik angka amputasi masih cukup
tinggi sebesar 23.5%. Penderita DM pasca amputasi sebanyak 14.3% akan meninggal dalam
satu tahun, dan 37% akan meninggal dalam tiga tahun. Menurut Friedman bahwa salah satu
tugas kesehatan keluarga adalah membuat keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat dan
memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit. Tujuannya adalah untuk mengurangi
risiko terjadi ulkus diabetik. Oleh karena itu, dibutuhkan juga pengetahuan yang cukup oleh
anggota keluarga tentang masalah kesehatan yang satu ini.4

III. Etiologi
Proses terjadinya kaki diabetik awalnya disebabkan oleh adanya angiopati, neuropati
dan infeksi. Adanya neuropati akan menyebabkan terjadinya gangguan sensorik dan motorik,
di mana menyebabkan hilangnya atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga dapat
menyebabkan ulkus diabetik yang dapat terjadi tanpa dapat dirasakan oleh penderita.
Gangguan motorik menyebabkan atrofi pada kaki sehingga merubah titik tumpu yang
menyebabkan adanya ulserasi pada kaki pasien. Angiopati akan menyebabkan terganggunya
aliran darah ke kaki. Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh daah yang lebih besar
maka penderita akan merasa sakit tungkainya sesudah ia berjalan dalam jarak tertentu. Infeksi
sering merupakan komplikasi yang menyertai faktor kaki diabetik akibat berkurangnya aliran
darah atau neuropati, sehingga faktor angiopati dan infeksi berpengaruh terhadap
penyembuhan atau pengobatan dari pasien kaki diabetik. Ulkus diabetik jika tidak diobati bisa
menjadi gangren kaki diabetik.5
Bakteri penyebab gangren pada penderita DM adalah bakteri anaerob, yaitu bakteri
yang lebih suka hidup di daerah yang sedikit oksigen, dalam kasus ini yang tersering adalah
bakteri Clostridium. Bakteri ini dalam pertumbuhan akan menghasilkan gas, yang disebut gas
gangren. Selain karena kerja bakteri Clostridium, peningkatan kadar gula darah dan fungsi
insulin yang gagal meregulasinya, maka tubuh justru gagal mendapatkan energi dan cadangan
makanan. Sebaliknya, jamur dan bakteri justru tumbuh subur disekitar luka.5

IV. Faktor Risiko


Identifikasi faktor risiko penting untuk dilakukan. Risiko untuk terjadinya ulkus atau
gangren biasanya meliputi penderita dengan diabetes lebih dari 10 tahun, laki-laki, kontrol gula
darah yang buruk, adanya komplikasi kardiovaskuler, retina, dan ginjal. Hal-hal yang
berhubungan dengan peningkatan risiko antara lain adalah neuropati perifer dengan hilangnya
sensasi protektif, perubahan biomekanik, kejadian yang meningkatkan tekanan pada kaki,
penyakit vaskuler perifer (penurunan pulsasi arteri pada pedis), riwayat adanya ulkus atau
amputasi serta kelainan kuku yang berat.2
Terdapat tiga alasan mengapa penderita diabetes lebih tinggi risikonya mengalami
masalah kaki diabetik. Pertama, berkurangnya sensasi rasa nyeri setempat (neuropati)
membuatkan pasien tidak menyadari bahkan sering mengabaikan luka tersebut. Luka timbul
spontan dan sering disebabkan karena trauma misalnya kemasukan pasir, tertusuk duri, lecet
akibat pemakaian sepatu atau sandal yang sempit dan bahan yang keras. Mulanya luka
tersebut hanya kecil, kemudian meluas dalam waktu yang tidak begitu lama. Luka yang terbuka
ini menimbulkan bau yang disebut gas gangren. Jika tidak dilakukan perawatan akan sampai
ke tulang yang mengakibatkan infeksi tulang (osteomielitis). Upaya yang dilakukan untuk
mencegah perluasan infeksi terpaksa harus dilakukan amputasi (pemotongan tulang).2

V. Patofisiologi
Ulkus kaki diabetes disebabkan adanya tiga faktor yang sering disebut trias yaitu:
iskemik, neuropati, dan infeksi. Pada penderita DM apabila kadar glukosa darah tidak
terkendali akan terjadi komplikasi kronik berupa neuropati perifer. Neuropati sensorik
biasanya derajatnya cukup dalam (>50%) sebelum mengalami kehilangan sensasi proteksi
yang berakibat pada kerentanan terhadap trauma fisik dan termal sehingga meningkatkan risiko
ulkus kaki. Tidak hanya sensasi nyeri dan tekanan yang hilang, tetapi juga propriosepsi yaitu
sensasi posisi kaki juga menghilang. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot di kaki,
mengakibatkan penonjolan tulang-tulang abnormal, arsitektur normal kaki berubah, deformitas
yang khas seperti hammer toe dan hallux rigidus. Sedangkan neuropati autonomi ditandai
dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat
pintasan arteriovenosus kulit, hal ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga
membuat kaki rentan terhadap trauma yang minimal. Hal tersebut juga dapat diakibatkan
karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson menghilang,
penurunan kecepatan induksi, parestesia, menurunnya reflek otot dan atrofi otot. Karena
adanya deformitas pada kaki maka timbulnya keterbatasan dalam mobilitas sendi sehingga
dapat menyebabkan tekanan plantar kaki yang tinggi dan mudah terjadinya ulkus.6
Iskemik pula merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya aliran darah
pada jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan adanya proses
makroangiopati pada pembuluh darah dan sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh hilang
atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, arteri tibialis dan arteri popliteal yang
menyebabkan kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena
penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat
mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah, lalu terjadinya kesemutan,
rasa tidak nyaman dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang
akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita DM berupa
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer pada tungkai bawah terutama kaki,
akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi berkurang kemudian timbul ulkus
kaki diabetes.
Pada penderita DM yang tidak terkendali kadar gula darahnya akan menyebabkan
penebalan tunika intima (hiperplasia membran basalis arteri) pada pembuluh darah besar dan
pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin yang keluar dari kapiler sehingga
mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis jaringan yang mengakibatkan
ulkus diabetikum. Eritrosit pada penderita DM yang tidak terkendali akan meningkatkan
HbA1C yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen ke jaringan oleh
eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang mengganggu sirkulasi jaringan dan
kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya timbul ulkus kaki
diabetes. Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan
tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan
terbentuknya trombosit pada dinding pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah.
Penderita DM biasanya mempunyai kadar kolesterol total, LDL (Low Density Lipoprotein) dan
trigliserida plasma yang tinggi. Gangguan sirkulasi ke sebagian besar jaringan akan
menyebabkan hipoksia dan cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan yang akan
merangsang terjadinya aterosklerosis. Perubahan atau adanya inflamasi pada dinding
pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya penumpukan lemak pada lumen pembuluh
darah, konsentrasi HDL (High Density Lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah.
Adanya faktor risiko lain yaitu hipertensi akan meningkatkan kerentanan terhadap
aterosklerosis. Apabila kadar glukosa darah tidak terkendali pada penderita DM menyebabkan
abnormalitas leukosit sehingga fungsi khemotaksis di lokasi radang terganggu, demikian pula
fungsi fagositosis dan bakterisid menurun sehingga apabila adanya infeksi, mikroorganisme
sukar untuk dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intraseluler. Pada penderita ulkus
kaki diabetes, 50% akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi karena
merupakan media pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus
diabetikum yaitu kuman aerobik Staphylococcus atau Streptococcus serta kuman anaerob yaitu
Clostridium perfringens, Clostridium novy, dan Clostridium septikum. Selain itu pada
penderita diabetes juga terdapat gangguan penyembuhan luka intrinsik, termasuk diantaranya
gangguan fungsi matrik metalloproteinase, gangguan collagen cross-linking, dan gangguan
imunologi terutama gangguan fungsi PMN.6

Gambar 1. Patofisiologi gangren kaki diabetic

VI. Klasifikasi Kaki Diabetes


Klasifikasi Wagner-Meggit dikembangkan pada tahun 1970an, sudah diterima secara
luas dan digunakan untuk mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes. Lesi ini dibagi menjadi 6
derajat. Empat derajat pertama (derajat 0, 1, 2, dan 3) didasarkan pada kedalaman lesi dan
jaringan lunak yang terkena. Dua derajat terakhir (derajat 4 dan 5) benar-benar berbeda karena
mereka dibedakan berdasarkan luasnya gangren dan berkurangnya perfusi pada kaki. Derajat
4 menunjukkan gangren pada kaki secara parsial dan derajat 5 menunjukkan komplit gangren
pada kaki. Tetapi klasifikasi Wagner tidak cukup untuk mendeskripsikan semua ulkus kaki
diabetes dan infeksi. Klasifikasi ini terbatas dalam mengidentifikasikan dan mendeskripsikan
penyakit pembuluh darah sebagai faktor risiko yang berdiri sendiri. Sebagai tambahan, luka
superfisial yang terinfeksi tidak dapat diklasifikasikan dalam sistem ini.7
Tabel 1. Klasifikasi Kaki Diabetes berdasarkan Wagner-Meggit
Derajat 0 Simptoms pada kaki seperti nyeri
Derajat 1 Ulkus superfisial
Derajat 2 Ulkus dalam
Derajat 3 Ulkus sampai mengenai tulang
Derajat 4 Gangren telapak kaki
Derajat 5 Gangren seluruh kaki

Gambar 2. Klasifikasi Kaki Diabetes berdasarkan Wagner-Meggit

Suatu klasifikasi yang baru dianjurkan oleh International Working Group on Diabetic
Foot (IWGDF) untuk mengklasifikasikan kaki diabetes yang dapat diterima oleh semua pihak
bagi mempermudah para peneliti dalam membandingkan hasil penelitian dari berbagai tempat
di muka bumi. Dengan klasifikasi ini akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih dominan,
vaskular, infeksi atau neuropatik sehingga arah pengelolaan pun dapat tertuju dengan lebih
baik. Misalnya suatu ulkus gangren dengan critical limb ischemia tentu lebih memerlukan
tindakan untuk mengevaluasi dan memperbaiki keadaan vaskularnya dahulu. Sebaliknya jika
faktor infeksi menonjol, tentu pemberian antibiotik harus adekuat. Demikian juga sekiranya
faktor mekanik yang dominan, tentu koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus
diutamakan.8
Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan juga sangat erat dengan pengelolaan
adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes.8
 Stadium 1 : Normal foot
 Stadium 2 : High risk foot
 Stadium 3 : Ulcerated foot
 Stadium 4 : Infected foot
 Stadium 5 : Necrotic foot
 Stadium 6 : Unsalvable foot
Untuk stadium 1 dan 2, peran pencegahan primer sangat penting dan semuanya dapat
dikerjakan pada pelayanan kesehatan primer, baik oleh podiatrist maupun oleh dokter
umum/dokter keluarga. Untuk stadium 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan perawatan di
tingkat pelayanan kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan
spesialistik. Untuk stadium 5 dan 6, jelas merupakan kasus rawat inap, dan jelas sekali
memerlukan suatu kerjasama tim yang sangat erat dimana harus ada dokter bedah, utamanya
dokter ahli bedah vaskular/ahli bedah plastik dan rekonstruksi.
Untuk optimalisasi pengelolaan kaki diabetes, pada setiap tahap harus diingat berbagai
faktor yang harus dikendalikan, yaitu:
 Mechanical control-pressure control
 Metabolic control
 Educational control
 Wound control
 Microbiological control-infection control
Pada tahap yang berbeda diperlukan optimalisasi hal yang berbeda pula. Misalnya pada
stadium 1 dan 2 tentu saja faktor wound control dan infection control belum diperlukan,
sedangkan untuk stadium 3 dan selanjutnya tentu semua faktor tersebut harus disertai
keharusan adanya kerjasama multidisipliner yang baik. Sebaliknya untuk stadium 1 dan 2,
peran usaha pencegahan untuk tidak terjadi ulkus sangat mencolok. Peran rehabilitasi medis
dalam usaha mencegah terjadinya ulkus dengan usaha mendistribusikan tekanan plantar kaki
memakai alas kaki khusus, serta berbagai usaha untuk non-weight bearing lain merupakan
contoh usaha yang sangat bermanfaat untuk mengurangi kecacatan akibat deformitas yang
terjadi pada kaki diabetes.8
VII. Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui
riwayat penyakit dan menegakkan diagnosis. Bagian pertama dari anamnesis adalah keluhan
utama yang merupakan gangguan terpenting yang membawa pasien datang berobat.
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan
DM dan riwayat penyakit sekarang, seperti adanya keluhan pasien sering merasa haus dan
lapar, banyak minum, nafsu makan yang meningkat tapi berat badan terasa menurun, dan
meningkatnya frekuensi buang air kecil terutama saat malam hari.9
Setelah menanyakan keluhan utama dan keluhan tambahan, ditanyakan riwayat
penyakit sekarang yang berisi perkembangan penyakit dari waktu ke waktu sejak akhir masa
sehat, hingga pasien datang berobat. Setiap keluhan dalam riwayat penyakit sekarang harus
dideskripsikan dengan lengkap. Ada beberapa pertanyaan tambahan yang berkaitan dengan
pemantauan penyakit dan komplikasi diabetes yang harus dokter tanyakan pada pasien yang
menderita diabetes. Antaranya:10
Riwayat Penyakit Sekarang :
• Bagaimana pertama kali didiagnosis?
• Bagaimana pertama kali penatalaksanaannya?
• Jika pernah menggunakan insulin - kapan pertama kali dimulai?
• Seberapa sering memeriksa gula darah?
• Bacaan apa yang biasanya didapatkan?
• Apakah pernah dirawat di rumah sakit karena ketoasidosis diabetikum?
• Apakah makan sesuai dengan diet penderita diabetes?
• Apakah memakai alas kaki?
Pada riwayat penyakit dahulu dapat ditanyakan mengenai adanya penyakit-penyakit
yang pernah diderita pasien beserta riwayat kecelakaan atau riwayat operasi dan riwayat alergi.
Kemudian pada riwayat penyakit keluarga ditanyakan status kesehatan dari seluruh anggota
keluarga, kemudian menanyakan riwayat penyakit yang bersifat familial seperti DM, dan
penyakit menular seperti tuberkulosis paru.11
Selain itu, pada anamnesis dilakukan anamnesis sistem untuk menanyakan secara
terperinci semua keluhan pada setiap sistem dalam tubuh, seperti pada sistem serebrospinal,
kardiovaskular, respirasi, digesti, muskuloskeletal dan intergument. Anamnesis sistem
dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat komplikasi dari diabetes. Setelah anamnesis
sistem, dilakukan riwayat pribadi yang dapat berupa kebiasaan seperti kebiasaan merokok atau
minum alkohol, lingkungan tempat tinggal, olahraga dan pola makan.11
VIII. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita kaki diabetik dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu; 2,12
a. Pemeriksaan ulkus dan keadaan umum ekstremitas
b. Penilaian kemungkinan isufisiensi vaskuler
c. Penilaian kemungkinan neuropati perifer

8.1. Pemeriksaan Ekstremitas


Ulkus diabetes mempunyai kecenderungan terjadi pada beberapa daerah yang menjadi
tumpuan beban terbesar, seperti tumit, area kaput metatarsal di telapak, ujung jari yang
menonjol (pada jari pertama dan kedua). Ulkus dapat timbul pada malleolus karena pada daerah
ini sering mendapatkan trauma. Kelainan lain yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik,
seperti adanya callus hipertropik, kuku yang rapuh/pecah, kulit kering, hammer toes dan fissure.

8.2. Penilaian Isufisiensi Arteri Perifer


Penilaian kemungkinan adanya insufiensi vaskular biasanya dilakukan dengan
pemeriksaan fisik yang akan rnemperlihatkan hilangnya atau menurunnya nadi perifer dibawah
level tertentu. Penemuan lain yang berhubungan dengan penyakit aterosklerosis meliputi
adanya bunyi bising (bruit) pada arteri iliaka dan femoralis, atrofi kulit, hilangnya rambut pada
kaki, sianosis jari kaki, ulserasi dan nekrosis iskemia, kedua kaki pucat pada saat kaki diangkat
setinggi jantung selama 1-2 menit. Pemeriksaan vaskuler noninvasif meliputi pengukuran
oksigen transkutan, ankle-brachial index (ABI) dan tekanan sistolik jari kaki. ABI merupakan
pemeriksaan noninvasif yang dengan mudah dilakukan dengan menggunakan alat Doppler.
Cuff tekanan dipasang pada lengan atas dan dipompa sampai nadi pada brachialis tidak dapat
dideteksi Doppler. Cuff kemudian dilepaskan perlahan sampai Doppler dapat mendeteksi
kembali nadi brachialis. Tindakan yang sama dilakukan pada tungkai, dimana cuff dipasang
pada bagian distal dan Doppler dipasang pada arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior.
ABI didapatkan dari tekanan sistolik ankle dibagi tekanan sistolik brachialis.
Gambar 3. Pemeriksaan ankle brachial index (ABI)

8.3. Penilaian Neuropati Perifer


Tanda adanya neuropati perifer meliputi hilangnya sensasi rasa getar dan posisi,
hilangnya reflek tendon dalam, ulserasi tropik, foot drop, atrofi otot, dan pembentukan calus
hipertropik khususnya pada daerah penekanan misalnya pada tumit. Status neurologis dapat
diperiksa dengan menggunakan monofilament Semmes-Weinsten untuk mengetahui apakah
penderita masih memiliki “sensasi protektif”. Pemeriksaan menunjukkan hasil abnormal jika
penderita tidak dapat merasakan sentuhan monofilamen ketika ditekankan pada kaki dengan
tekanan yang cukup sampai monofilamen bengkok. Alat pemeriksaan lain adalah garpu tala
128Hz, dimana dapat digunakan untuk rnengetahui sensasi getar penderita dengan
memeriksanya pada pergelangan kaki dan sendi metatarsophalangeal pertama. Pada neuropati
metabolik terdapat gradien intensitas dan paling parah pada daerah distal. Jadi, pada pasien
yang tidak dapat merasakan getaran pada pergelangan ketika garpu tala dipindahkan dari ibu
jari kaki ke pergelangan menunjukkan gradien intensitas karena neuropati metabolik. Pada
umumnya, seseorang tidak dapat merasakan getaran garpu tala pada jari tangan lebih dari 10
detik setelah pasien tidak dapat merasakan getaran pada ibu jari kaki. Beberapa penderita
dengan sensasi normal hanya menunjukkan perbedaan antara sensasi pada jari kaki dengan
tangan pemeriksa kurang dari 3 detik.
IX. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kaki diabetik, yaitu; 2,12
9.1 Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan darah : Leukositosis mungkin menandakan adanya abses atau infeksi
lainnya pada kaki. Penyembuhan luka dihambat oleh adanya anemia. Adanya
insufisiensi arterial yang telah ada, keadaan anemia menimbulkan nyeri saat istirahat.
 Profil metabolik : Pengukuran kadar glukosa darah, glikohemoglobin dan kreatinin
serum membantu untuk menentukan kecukupan regulasi glukosa dan fungsi ginjal.
Pada penderita kaki diabetik umumnya akan ditemukan adanya peningkatan gula darah
sewaktu > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan gula darah dua jam post
prandial > 200 mg/dl.
 Pemeriksaan Urin : Pada pemriksaan urin biasanya akan didapatkan adanya glukosa
dalam urin. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict (reduksi). Hasil dapat dilihat
melalui perubahan warna pada urin, yaitu: hijau (+), kuning (++), merah (+++), dan
merah bata (++++).
 Kultur Pus : Kultur pus biasanya dilakukan untuk mengetahui jenis kuman pada luka
dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman tersebut.
 Pemeriksaan laboratorium vaskuler noninvasif : Pulse Volume Recording (PVR), atau
plethymosgrafi.

9.2 Pemeriksaan Radiologi


 Pemeriksaan foto polos pada kaki diabetik dapat menunjukkan demineralisasi dan sendi
Charcot serta adanya osteomielitis.
 Computed Tomographic (CT) scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI):
Meskipun pemeriksa yang berpengalaman dapat mendiagnosis abses dengan
pemeriksaan fisik, CT scan atau MRI dapat digunakan untuk membantu diagnosis
abses apabila pada pemeriksaan fisik tidak jelas.
 Bone scanning masih dipertanyakan kegunaannya karena besarnya hasil false positif
dan false negatif. Penelitian mutakhir menyebutkan 99mTc-IabeIed Ciprofloxacin
sebagai penanda (marker) untuk osteomielitis.
 Arteriografi konvensional : Apabila direncanakan pembedahan vaskuler atau
endovaskuler, arteriografi diperlukan untuk memperlihatkan luas dan makna penyakit
aterosklerosis. Risiko yang berkaitan dengan injeksi kontras pada angiografi
konvensional berhubungan dengan suntikan dan agen kontras.
 Teknik : Secara khusus, kateter dimasukan secara retrograd melalui tusukan pada
femur, kontras disuntikkan melalui aorta infrarenal. Gambar diambil sejalan dengan
kontras ke bawah pada kedua kaki.
 Komplikasi berkaitan dengan tusukan: Risiko dapat berupa perdarahan,
terbentuknya pseudoaneurisma, dan pembekuan atau hilangnya lapisan intima
arteri. Saat ini metode terbaru dengan suntikan secara perkutan dapat mengurangi
komplikasi yang terjadi.
 Risiko berkaitan dengan kontras: Bahan kontras angiografi merupakan bahan
nefrotoksik. Risiko terjadinya gagal ginjal akut tinggi pada pasien dengan
insufisiensi renal dan pada penderita diabetes. Pada pasien dengan faktor risiko
tersebut 30% kemungkinan dapat terjadi kegagalan ginjal akut. Oleh karena itu,
pemeriksaan kreatinin serum dilakukan sebelum dilakukan angiografi. Untuk
mencegah kemungkinan laktat asidosis, penderita diabetes yang mengkonsumsi
Metformin (Glucophage) tidak boleh minum obat tersebut menjelang dilakukan
angiografi dengan kontras. Pasien dapat kembali mengkonsumsi obat tersebut
setelah fungsi ginjal normal kembali dalam 1-2 hari setelah terpapar kontras.
 Alternatif selain angiografi konvensional
 Magnetic Resonance Angiography (MRA): MRA merupakan alternatif yang dapat
digunakan pada penderita risiko tinggi atau penderita yang alergi bahan kontras.
Kontras yang digunakan adalah Gadolinum chelates, berpotensi menimbulkan 3
efek samping pada penderita dengan insufisiensi renal: acute renal injury,
pseudohipokalemia, dan fibrosis nefrogenik sistemik.
 Multidetector Computed Tomographic Angiography (MDCT) menghindari
penusukan arteri. Dengan menggunakan injeksi kontras intravena, CT scan
multidetektor (16 atau 64 channel) dapat meningkatkan resolusi gambar angiografi
dan dengan kecepatan relatif tinggi. Penggunaan kontras pada MDCT mempunyai
risiko yang sama.
 Carbon dioxide Angiography merupakan salah satu alternatif pada penderita
dengan insufisiensi renal, tetapi tidak secara luas dapat digunakan dan masih
membutuhkan bahan kontras iodium sebagai tambahan gas karbon dioksida untuk
mendapatkan gambar yang baik.
 Plain radiografi tidak digunakan untuk pemeriksaan rutin pada penyakit arteri
perifer oklusif. Hal ini disebabkan kalsifikasi arteri yang terlihat pada plain
radiografi bukan merupakan indikator spesifik penyakit aterosklerosis. Kalsifikasi
pada lapisan media arteri bukan merupakan diagnosis aterosklerosis, bahkan juga
kalsifikasi pada lapisan intima yang merupakan diagnosis aterosklerosis, tidak akan
menyebabkan stenosis hemodinamik yang signifikan.

X. Prognosis
Prognosis kaki diabetik bergantung pada berbagai faktor yang terlibat dalam
patofisiologinya serta berat ringannya komplikasi dan penyakit yang menyertai.
Penatalaksanaan ataupun menejemen pengelolaan secara holistik harus ditekankan untuk
menurunkan mortalitas dan morbiditas kaki diabetik.2

XI. Pengelolaan Kaki Diabetes


Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu pencegahan
terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi perlukaan
pada kulit) dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder
dan pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi).

11.1 Pencegahan Primer


11.1.1 Kiat-kiat Pencegahan Terjadinya Kaki Diabetes
Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat penting untuk pencegahan kaki
diabetes. Penyuluhan ini harus selalu dilakukan pada setiap pertemuan dengan penyandang
DM, dan harus selalu diingatkan kembali tanpa bosan. Anjuran ini berlaku untuk semua pihak
terkait pengelolaan DM, baik pada ahli gizi, ahli perawatan kaki, maupun dokter sebagai agen
pengelolaan. Pengelolaan kaki diabetes terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak,
disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai dengan
tingkat besarnya resiko tersebut. Bila sudah terdapat deformitas (stadium 2 dan 5), perlu
perhatian khusus mengenai sepatu/alas kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran
tekanan pada kaki.

11.2 Pencegahan Sekunder


11.2.1 Pengelolaan Holistik Ulkus/Gangren Diabetik
Dalam pengelolaan kaki diabetes, kerjasama multidisipliner sangat diperlukan.
Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal
dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola bersama: 2
 Wound control
 Microbiological control-infection control
 Mechanical control-pressure control
 Educational control
Untuk pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang optimal, berbagai hal dibawah ini
merupakan penjabaran lebih rinci dari keenam aspek tersebut pada tingkat pencegahan
sekunder dan tersier, yaitu pengelolaan optimal ulkus/gangren diabetik.

11.3 Terapi farmakologis


Kalau mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada kelainan akibat
aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain sebagainya
yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk pembuluh darah kaki
penyandang DM. Tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan
pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki
penyandang DM.

11.4 Revaskularisasi
Jika memungkinkan kesembuhan luka rendah atau jikalau ada klaudikasio intermitten
yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum tindakan revaskularisasi,
diperlukan pemeriksaan arteriografi untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih
jelas, sehingga dokter ahli bedah vaskular dapat lebih mudah melakukan rencana tindakan dan
mengerjakannya.Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk
oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovaskular. Pada keadaan sumbatan
akut dapat pula dilakukan tromboarterektomi. Dengan berbagai teknik bedah tersebut,
vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih
baik. Paling tidak faktor vaskular sudah lebih memadai, sehingga kesembuhan luka tinggal
bergantung pada berbagai faktor lain yang juga masih banyak jumlahnya. Terapi hiperbarik
dilaporkan juga bermanfaat untuk memperbaiki vaskularisasi dan oksigenisasi jaringan luka
pada kaki diabetes sebagai terapi adjuvan. Walaupun demikian masih banyak kendala untuk
menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada pengelolaan umum kaki diabetes.
11.5 Wound Control
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang harus dikerjakan
dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin. Klasifikasi ulkus
pedis dilakukan setelah debridemen yang adekuat. Jaringan nekrotik dapat menghalangi proses
penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk bakteri. Untuk membantu penyembuhan
luka, maka tindakan debridement sangat dibutuhkan. Debridement dapat dilakukan dengan
beberapa metode seperti mekanikal, surgikal, enzimatik, autolisis dan biochemical. Cara yang
paling efektif dalam membuat dasar luka menjadi baik adalah dengan metode autolisis
debridemen.8
Autolisis debridemen adalah suatu cara peluruhan jaringan nekrotik yang dilakukan
oleh tubuh sendiri dengan syarat utama, lingkungan luka harus dalam keadaan lembab. Pada
keadaan lembab, proteolitik enzim secara selektif akan melepas jaringan nekrosis dari tubuh.
Pada keadaan melunak, jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan sendirinya ataupun dibantu
dengan surgikal atau mekanikal debridemen. Tindakan debridemen lain juga bisa dilakukan
dengan biomekanikal menggunakan maggot. Saat ini terdapat banyak sekali macam dressing
(pembalut) yang masing-masing tentu dapat dimanfaatkan sesuai dengan keadaan luka, dan
juga letak luka tersebut. Dressing yang mengandung komponen zat penyerap seperti
carbonated dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada keadaan luka yang masih
produktif. Demikian pula hydrophilic fiber dressing atau silver impregnated dressing akan
dapat bermanfaat untuk luka produktif dan terinfeksi. Tetapi jangan lupa bahwa tindakan
debridement yang adekuat merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan dahulu sebelum
menilai dan mengklasifikasikan luka. Debridement yang baik dan adekuat tentu akan sangat
membantu mengurangi jaringan nekrotik pada tubuh, dengan demikian tentu akan sangat
mengurangi produksi pus/cairan dari ulkus/gangren.
Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka,
seperti cairan normal saline sebagai pembersih luka, senyawa silver sebagai bagian dari
dressing. Demikian pula berbagai cara debridement non surgikal dapat dimanfaatkan untuk
mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim. Jika luka sudah lebih
baik dan tidak terinfeksi lagi, dressing seperti hydrocolloid dressing yang dapat dipertahankan
beberapa hari dapat digunakan. Tentu saja untuk kesembuhan luka kronik seperti pada luka
kaki diabetes, suasana sekitar luka yang kondusif untuk penyembuhan harus dipertahankan.
Yakinkan bahwa luka selalu dalam keadaan optimal, dengan demikian pnyembuhan luka akan
terjadi sesuai dengan tahapan yang harus selalu dilewati dalam rangka proses penyembuhan.
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranjak pada proses
selanjutnya yaitu proses granulasi dan kemudian epitelisasi. Untuk menjaga suasana kondusif
bagi kesembuhan luka dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan normal saline. Cara
tersebut saat ini dipakai di banyak sekali tempat perawatan kaki diabetes. Berbagai sarana dan
penemuan baru dapat dimanfaatkan untuk wound control seperti: dermagrafi, apligraft, growth
factor, protease inhibitor dan sebagainya untuk mempercepat kesembuhan luka. Informasi
terbaru mengenai wound control memiliki beberapa teknik baru yang sangat membantu
khususnya pada neurophatic ulcers. Terapi hiperbarik oksigen telah digunakan namun
efikasinya masih minimal.8

11.6 Microbiological Control


Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah yang
berbeda, umumnya pada pasien didapatkan infeksi bakteri yang multipel, anaerob dan aerob.
Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan
resistensinya. Untuk lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik dengan
spektrum luas, mencakup kuman gram negatif dan positif (seperti misalnya golongan
Sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman anaerob
(misalnya Metronidazole).

11.7 Pressure Control


Jika tetap dipakai untuk berjalan (kaki dipakai untuk menahan berat badan (weight
bearing), luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan sempat menyembuh, apalagi bila luka
tersebut terletak dibagian plantar seperti luka pada kaki Charcot. Peran jajaran rehabilitasi
medis pada usaha pressure control ini juga sangat mencolok. Berbagai cara untuk mencapai
keadaan non wight-bearing dapat dilakukan antara lain:
 Removable cast walker
 Total contact casting
 Felt padding
 Temporary shoes
 Crutches
 Wheelchair
 Cradled insoles
 Electric carts
Berbagai cara surgikal dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada luka seperti:
a. Dekompresi uklus/gangren dengan insisi abses
b. Prosedur koreksi bedah seperti operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection,
Achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.

11.8 Educational Control


Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetik. Dengan
penyuluhan yang baik, penyandang DM, ulkus/gangren diabetik maupun keluarganya
diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk
kesembuhan luka yang optimal. Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting yang
harus dilaksanakan untuk pengelolaan kaki diabetikum dan kemudian segera setelah
perawatan, keterlibatan ahli rehabilitasi medis berlanjut sampai jauh sesudah amputasi, untuk
memberikan bantuan bagi para amputase menghindari terjadinya ulkus baru. Pemakaian alas
kaki atau sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan sangat membantu mencegah
terjadinya ulkus baru. Ulkus yang terjadi berikut memberikan prognosis yang lebih buruk dari
yang pertama.

11.9 Konsep Dasar Hiperbarik Oksigen (HBO)


Batasan HBO
Hiperbarik oksigen (HBO) adalah suatu cara terapi dimana penderita
harus berada dalam suatu ruangan bertekanan, dan bernafas dengan oksigen 100% pada
suasana tekanan ruangan yang lebih besar dari 1 ATA (Atmosfer absolute) (Lakesla, 2009).
Kondisi lingkungan dalam HBO bertekanan udara yang lebih besar dibandingkan dengan
tekanan di dalam jaringan tubuh (1 ATA). Keadaan ini dapat dialami oleh seseorang pada
waktu menyelam atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) yang dirancang
baik untuk kasus penyelaman maupun pengobatan penyakit klinis. Individu yang mendapat
terapi HBO adalah suatu keadaan individu yang berada di dalam ruangan bertekanan tinggi (>
1 ATA) dan bernafas dengan oksigen 100%. Tekanan atmosfer pada permukaan air laut adalah
sebesar 1 atm. Dasar dari terapi hiperbarik sedikit banyak mengandung prinsip fisika. Teori
Toricelli yang mendasari terapi digunakan untuk menentukan tekanan udara 1 atm adalah 760
mmHg. Dalam tekanan udara tersebut komposisi unsur-unsur udara yang terkandung di
dalamnya mengandung Nitrogen (N2) 79 % dan Oksigen (O2) 21%. Dalam pernafasan kita
pun demikian. Pada terapi hiperbarik oksigen ruangan yang disediakan mengandung Oksigen
(O2) 100% (Mathieu, 2006). Sedangkan prinsip yang dianut secara fisiologis adalah bahwa
tidak adanya O2 pada tingkat seluler akan menyebabkan gangguan kehidupan pada semua
organisme. Oksigen yang berada di sekeliling tubuh manusia masuk ke dalam tubuh melalui
cara pertukaran gas.
Fase-fase respirasi dari pertukaran gas terdiri dari fase ventilasi, transportasi, utilisasi
dan difusi. Dengan kondisi tekanan oksigen yang tinggi, diharapkan matriks seluler yang
menopang kehidupan suatu organisme mendapatkan kondisi yang optimal. Efek fisiologis
dapat dijelaskan melalui mekanisme oksigen yang terlarut plasma. Pengangkutan oksigen ke
jaringan meningkat seiring dengan peningkatan oksigen terlarut dalam plasma. Oksigen dalam
darah diangkut dalam bentuk larut dalam cairan plasma dan bentuk ikatan dengan hemoglobin.
Bagian terbesar berada dalam bentuk ikatan dengan hemoglobin dan hanya sebagian kecil
dijumpai dalam bentuk larut. Dalam HBO oksigen bentuk larut menjadi amat penting, hal ini
disebabkan sifat dari oksigen bentuk larut lebih mudah dikonsumsi oleh jaringan lewat difusi
langsung dari pada oksigen yang terikat oksigen lewat sistem hemoglobin.

11.9.1 Dasar Fisiologi



Aspek fisiologi dari terapi HBO mencakup beberapa hal yaitu sebagai berikut:

a. Fase Respirasi
Seperti diketahui, kekurangan oksigen pada tingkat sel menyebabkan terjadinya
gangguan kegiatan basal yang pokok untuk hidup suatu organisme. Untuk mengetahui
kegunaan HBO dalam mengatasi hipoksia seluler, perlu dipelajari fase-fase pertukaran gas
sebagai berikut:
 Fase Ventilasi 

Fase ini merupakan penghubung antara fase transportasi dan lingkungan gas diluar. Fungsi
dari saluran pernafasan adalah member O2 dan membuang CO2 yang tidak diperlukan
dalam metabolisme. Gangguan yang terjadi dalam fase ini akan menyebabkan hipoksia
jaringan. Gangguan tersebut meliputi gangguan membran alveoli, atelektasis, penambahan

ruang rugi, ketidakseimbangan ventilasi alveolar dan perfusi kapiler paru. 


 Fase Tranportasi

Fase ini merupakan penghubung antara lingkungan luar dengan organ-organ (sel dan
jaringan). Fungsinya adalah menyediakan gas yang dibutuhkan dan membuang gas yang
dihasilkan oleh proses metabolisme. Gangguan dapat terjadi pada aliran darah lokal atau
umum, hemoglobin, shunt anatomis atau fisiologis. Hal ini dapat diatasi dengan merubah
tekanan gas di saluran pernafasan.
 Fase Utilisasi

Pada fase utilisasi terjadi metabolisme seluler, fase ini dapat terganggu apabila terjadi
gangguan pada fase ventilasi maupun transportasi. Gangguan ini dapat diatasi dengan
hiperbarik oksigen, kecuali gangguan itu disebabkan oleh pengaruh biokimia, enzim, cacat

atau keracunan.


 Fase Difusi

Fase ini adalah fase pembatas fisik antara ketiga fase tersebut dan dianggap pasif, namun

gangguan pada pembatas ini akan mempengaruhi pertukaran gas. 


b. Transportasi dan Utilisasi Oksigen



 Efek kelarutan oksigen dalam plasma
Pada tekanan barometer normal, oksigen yang larut dalam plasma sangat sedikit. Namun
pada tekanan oksigen yang aman 3 ATA, dimana PO2 arterial mencapai ±2000 mmHg,
tekanan oksigen meningkat 10 sampai 13 kali dari normal dalam plasma. Oksigen yang
larut dalam plasma sebesar ± 6 vol % (6ml O2 per 100ml plasma) yang cukup untuk
memberi hidup meskipun tidak ada darah (Grim et al, 2009).
 Haemoglobin (Hb)

1 gr Hb dapat mengikat 1,34ml O2, sedangkan konsentrasi normal dari Hb adalah ±15 gr
per 100ml darah. Bila saturasi Hb 100% maka 100ml darah dapat mengangkut 20,1ml O2
yang terikat pada Hb (20,1 vol%). Pada tekanan normal setinggi permukaan laut, dimana
PO2 alveolar dan arteri ±100 mmHg, maka saturasi Hb dengan O2 ±97 % dimana kadar
O2 dalam darah adalah 19,5 vol %. Saturasi Hb akan mencapai 100% pada PO2 arteri
antara 100-200 mmHg (Grim et al, 2009) 

 Utilisasi O2

Utilisasi O2 rata-rata tubuh manusia dapat diketahui dengan mengukur perbedaan antara
jumlah O2 yang ada dalam darah arteri waktu meninggalkan paru dan jumlah O2 yang ada
dalam darah vena diarteri pulmonalis. Darah arteri mengandung ±20% oksigen, sedangkan
darah vena mengandung ±14 % vol oksigen sehingga 6 vol % oksigen dipakai oleh

jaringan.


 Efek Kardiovaskuler

Pada manusia, oksigen hiperbarik menyebabkan penurunan curah jantung sebesar 10-20
%, yang disebabkan oleh terjadinya bradikardia dan penurunan isi sekuncup. Tekanan
darah umumnya tidak mengalami perubahan selama pemberian hiperbarik oksigen. Pada
jaringan yang normal HBO dapat menyebabkan vasokontriksi sebagai akibat naiknya PO2
arteri. Efek vasokontriksi ini kelihatannya merugikan, namun perlu diingat bahwa pada
PO2 ±2000 mmHg, oksigen yang tersedia dalam tubuh adalah 2 kali lebih besar dari pada
biasanya. Pada keadaan dimana terjadi edema, efek vasokontriksi yang ditimbulkan oleh
hiperbarik oksigen justru dikehendaki, karena akan dapat mengurangi edema. 


11.9.2 Mekanisme HBO


HBO memiliki mekanisme dengan memodulasi nitrit okside (NO) pada sel endotel.
Pada sel endotel ini HBO juga meningkatkan vascular endotel growth factor (VEGF). Melalui
siklus Krebs terjadi peningkatan nucleotide acid dihidroxy (NADH) yang memicu peningkatan
fibroblas. Fibroblas diperlukan untuk sintesis proteoglikan dan bersama dengan VEGF akan
memacu kolagen sintesis pada proses remodeling, salah satu tahapan dalam penyembuhan luka.
Mekanisme di atas berhubungan dengan salah satu manfaat utama HBO yaitu untuk wound
healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang mengalami edema dan infeksi. Di bagian
edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang besar. Daerah edema ini mengalami
kondisi hipo-oksigen karena hipoperfusi. Peningkatan fibroblast sebagaimana telah disinggung
sebelumnya akan mendorong terjadinya vasodilatasi pada daerah edema tersebut. Maka,
kondisi daerah luka tersebut menjadi hipervaskular, hiperseluler dan hiperoksia. Dengan
pemaparan oksigen tekanan tinggi, terjadi peningkatan IFN-γ, i-NOS dan VEGF. IFN- γ
menyebabkan TH-1 meningkat yang berpengaruh pada β-cell sehingga terjadi pengingkatan
Ig-G. Dengan meningkatnya Ig-G, efek fagositosis leukosit juga akan meningkat. Sehingga
pemberian HBO pada luka akan berfungsi menurunkan infeksi dan edema (Ishihara, 2007).8
Adapun cara HBO pada prinsipnya adalah diawali dengan pemberian O2 100%,
tekanan 2 – 3 Atm. Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan decompresion sickness.
Maka akan terjadi kerusakan jaringan, penyembuhan luka, hipoksia sekitar luka. Kondisi ini
akan memicu meningkatnya fibroblas, sintesa kolagen, peningkatan leukosit killing, serta
angiogenesis yang menyebabkan neovaskularisasi jaringan luka. Kemudian akan terjadi
peningkatan dan perbaikan aliran darah mikrovaskular (Mathieu, 2006). Densitas kapiler
meningkat mengakibatkan daerah yang mengalami iskemia akan mengalami reperfusi. Sebagai
responnya, akan terjadi peningkatan NO hingga 4 – 5 kali dengan diiringi pemberian oksigen
hiperbarik 2-3 ATA selama 2 jam. Terapi ini paling banyak dilakukan pada pasien dengan
diabetes mellitus dimana memiliki luka yang sukar sembuh karena buruknya perfusi perifer
dan oksigenasi jaringan di daerah distal.8
Indikasi-indikasi lain dilakukannya HBO adalah untuk mempercepat penyembuhan
penyakit, luka akibat radiasi, cedera kompresi, osteomyelitis, intoksikasi karbon monoksida,
emboli udara, gangren, infeksi jaringan lunak yang sudah nekrotik, skin graft dan flap, luka
bakar, abses intrakranial dan anemia. Prosedur pemberian HBO yang dilakukan pada tekanan
2-3 ATA dengan O2 intermitten akan mencegah keracunan O2. Efek samping biasanya akan
mengenai sistem saraf pusat seperti timbulnya mual, kedutan pada otot muka dan perifer serta
kejang. Sedang menurut Lorrain Smith, efek samping bisa mengenai paru-paru yaitu batuk,
sesak dan nyeri substernal.8

XII. Komplikasi
Kaki diabetik sendiri sudah merupakan komplikasi kronik DM yang diakibatkan oleh
kelainan neuropati sensorik, motorik maupun otonomik serta kelainan pada pembuluh darah.
Alasan terjadinya peningkatan insiden ini adalah interaksi beberapa faktor patogen berupa
neuropati, biomekanika abnormal, penyakit arteri perifer dan penyembuhan luka yang buruk.13
Tindakan amputasi biasanya dilakukan secara elektif, namun bila ada infeksi dengan
ancaman kematian dapat dilakukan amputasi secara emergensi. Indikasi amputasi adalah
sebagai berikut: 14
 Jaringan nekrotik luas, iskemik jaringan yang tidak dapat direkonstruksi, gagal
revaskularisasi, Charcot’s of Foot dengan instabilitas, infeksi akut dengan ancaman
kematian (gas gangrene dan necrotizing fasciitis), infeksi/luka yang tidak membaik
dengan terapi adekuat, gangren, deformitas anatomi yang berat dan tidak terkontrol,
dan ulkus berulang.
Gambar 4.
PENUTUP
XIII. Kesimpulan
Ulkus diabetes merupakan salah safu komplikasi penyakit diabetes yang menjadi salah
satu masalah yang sering timbul pada penderita diabetes. Ulkus diabetes menjadi masalah
dibidang sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Neuropati
perifer, penyakit vaskuler perifer, deforrnitas struktur kaki menjadi faktor utama penyebab
ulkus diabetes. Faktor lain turut berperan timbulnya ulkus diabetes meliputi trauma, kelainan
biomekanik, keterbatasan gerak sendi, dan peningkatan resiko infeksi. Penegakan diagnosis
dapat dilakukan dengan penelusuran riwayat dengan baik, pemeriksaan fisik untuk neuropati
perifer dan insufisiensi vaskuler serta beberapa modalitas pemeriksaan tambahan lainnya.
Pemeriksaan dan klasifikasi ulkus menjadi bagian yang penting dalam penanganan ulkus
diabetes, yaitu dalam penentuan rencana terapi yang tepat serta pengamatannya. Selama ini ada
beberapa sistem klasifikasi yang telah dikenalkan. Klasifikasi ulkus didasarkan pada ukuran
dan kedalam ulkus, adanya hubungan dengan tulang, jumlah jaringan granulasi dan fibrosis,
keadaan sekitar luka dan adanya infeksi.
Perawatan ulkus diabetes pada dasarnya terdiri dari 3 komponen utama yaitu
debridement, offloading dan penanganan infeksi. Penggunaan balutan yang efektif dan tepat
membantu penanganan ulkus diabetes yang optimal. Keadaan sekitar luka harus dijaga
kebersihan dan kelembabannya. Penegakan diagnosis dini dan penanganan tepat ulkus diabetes
merupakan hal yang penting untuk mencegah amputasi anggota gerak bawah dan menjaga
kualitas hidup penderita.

Daftar Pustaka
1. American Diabetes Association: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.
Diabetes Care, 2004. Hal5-10.
2. Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo, Setiyohadi, Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2011. Hal.1961-2.
3. Tjokroprawiro A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University Press;
2007.
4. Widyatmoko S, Sulistiyani, Ulum M. Hubungan Perawatan Kaki Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 dengan Kejadian Ulkus Diabetik di RSUD. Dr. Moewardi. Surakarta: Penerbit
Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2012, Hal 5.
5. Desalu OO, Salawu FK, Jimoh AK, etall. Diabetic Foot Care: Self Reported Knowledge
and Practice Among Patients Attending Three Tertiarty Hospital in Nigeria. Ghana Med J
2011; 45(2): 60-5.
6. Tellechea A, Leal E, Veves, et all. Inflammatory and Angiogenic Abnormalities in Diabetic
Wound Healing: Role of Neuropeptides and Therapeutic Perspective. The Open
Circulation and Vascular Journal. Vol.3. 2010.
7. The Journal of Diabetic Foot Complication 2012; Vol 4, Issue 1, No. 1, Hal 2.
8. Albert, Martine. (2011) The Role of Hyperbaric Oxygen Therapy in Wound Healing.Wound
Care Canada Volume 6, Number 1, 2011.
9. Setiati S, Nafrialdi, Alwi I, Syam AF, Simadibrata M. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Komprehensif. Jakarta: Interna Publishing; 2013.Hal 365-72.
10. Thomas J dan Monaghan T. Oxford Handbook of Clinical Examination and Practical
Skills. Edisi ke-2. Oxford University Press, United Kingdom. 2014. Hal 63.
11. Suzanna N. Bahan Ajar Status, SOAP & RMBM (POMR). Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2013.Hal 7-12.
12. Alwi I, Salim S, Hidayat R,Kurniawan J, Tahapary DL. Panduan Praktis Klinis: Prosedur
di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2015. Hal.64-5.
13. Powers A. Diabetes Mellitus. In: Longo Fauci Kasper, Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi ke 18. United states of America.Mcgraw Hill.2012
14. Ismiarto YD. Aspek Bedah Penanganan Luka Diabetes. Dalam : Kariadi SHKS, Arifin
AYL, Adhiarta IGN, Permana H, Soetedjo NNM. Editors. Naskah Lengkap Forum
Diabetes Nasional V. Bandung. 2011

Anda mungkin juga menyukai