BAHAN BAKU
Oleh :
Anggota Kelompok :
Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga
2017/2018
1
Daftar Isi
2
3.8 Kandungan Senyawa Aktif dalam Jahe Merah (Zingiber officinale var rubrum)
dan Jahe Gajah (Zingiber officinale Roscoe var officinale) ................................... 21
3
BAB II
2.1 Problem
Anda adalah apoteker pada sebuah industri obat tradisional, salah satu
produk yang diproduksi menggunakan ekstrak etanol Zingiber officinale var
rubrum. Saat akan melakukan pembelian bahan baku, ternyata stok simplisia
Jahe merah sedang kosong disebabkan karena petani pemasok dari Magelang
mengalami gagal panen, dan supplier menawarkan bahwa dia punya stok
simplisia jahe gajah. Apakah anda menerima atau menolak tawaran tersebut ?
Jelaskan.
2.2 Breakdown Problem
1. Apa saja syarat bahan baku obat tradisional ?
2. Apa saja faktor – faktor yang mempengaruhi bahan baku obat tradisional?
3. Bagaimana standardisasi simplisia jahe merah, apakah jahe gajah dapat
dijadikan bahan baku pengganti?
4. Bagaimana sikap yang diambil mengenai tawaran penggantian stok
simplisia jahe merah dengan jahe gajah akibat stok jahe merah kosong?
4
BAB III
1. Bahan Utama
5
Sumber bahan utama harus dicantumkan nama dan alamat produsen
atau distributor bahan baku.
Uraian bahan utama diperlukan untuk mengetahui spesifikasi bahan
utama (sifat,karakteristik organoleptik, dan lain-lain).
Cara pengujian bahan utama, meliputi identifikasi, pemerian uraian
tentang cara pemeriksaan fisika dan kimia serta acuan yang digunakan
(Farrnakope Indonesia, Materia Medika Indonesia, standar atau acuan
lain yang diakui).
2. Bahan Tambahan
Sumber bahan tambahan harus dicantumkan nama dan alamat
produsen atau distributor bahan tambahan.
Uraian bahan tambahan diperlukan untuk mengetahui spesifikasi
bahan tambahan (sifat, karakteristik organoleptik, dan lain-lain).
Khusus untuk bahan tambahan yang mempengaruhi stabilitas produk
obat tradisional (misalnya pengawet, pemantap dan lain-lain) perlu
dilengkapi informasi cara pengujian seperti pada bahan utama.
3. Produk Jadi
Formula harus mencantumkan semua bahan utama dan bahan
tambahan yang digunakan lengkap dengan jumlah masing-masing
bahan tersebut dalam satu kali pembuatan. Tata nama bahan utama
dituliskan dengan nama latin simplisia sesuai dengan yang tercantum
dalam Materia Medika Indonesia dengan menyebutkan nama marga(
genus), atau nama jenis (spesies) atau petunjuk jenis (Specific epithet)
dari tanamana asal diikuti dengan bagian tanaman yang digunakan.
Cara pernbuatan harus menguraikan tahap demi tahap mulai dari
penimbangan bahan baku sampai dengan pengemasan terakhir.
Cara pengujian obat Fitofarmaka, meliputi pemerian, keseragaman
bobot, volume, pemeriksaan kimia dan fisika antara lain, kadara air,
waktu hancur untuk pil, tablet, dan kapsul, serta pengujian terhadap
cemaran mikroba dan cemaran kimia lainnya.
Cara pemeriksaan mutu bahan baku dan produk jadi obat Fitofarmaka,
yaitu (BPOM RI, No: HK.00.05.41.1384):
6
1. Sumber perolehan bahan baku dapat berasal dari, antara lain:
Dalam negeri, bila dari petani pengumpul, distributor, sebutkan nama
dan alamat serta sumber wilayah bahan tersebut diperoleh. Untuk
ekstrak sebutkan nama perusahaan pembuat ekstrak atau distributor.
Impor, untuk simplisia sebutkan nama dan alatnat importir serta
sertifikat analisisnya.
2. Penilaian mutu bahan baku, yaitu: Tuliskan identitas dan pemerian bahan
baku :
Simplisia:
Nama latin tanaman dan familia.
Pemerian meliputi bentuk, bau, rasa, dan warna.
Pengamatan makroskopik meliputi uraian tentang bentuk dan ukuran,
tentang sifat patahan dan ciri-ciri khas lainnya.
Pengujian secara fisika-kimia antara lain reaksi warna.
Ekstrak atau Tingtur (Sediian Olahan):
Sebutkan cara pembuatan dan hasil total ekstrak yang diperoleh.
Pemeian meliputi bentuk, bau, rasa dan warna.
Identitas kandungan kimia.
Hasil pengujian secara fisika - kimia yang menunjukkan zat penanda
antara lain reaksi warna, kromatogram, dan atau spektrogram.
Lampirkan hasil penilaian mutu dalam bentuk sertifikat analisa.
Sediaan Kapsul:
Cantumkan sertifikat bahan cangkang kapsul yang digunakan.
7
hewan coba / jaringan / organ yang digunakan disesuaikan dengan uji
toksisitas, antara lain : toksisitas dosis tunggal, toksisitas dosis berulang,
toksisitas pada sistem reproduksi dan teratogenisitas, dan karsinogenisitas.
2. Uji Farmakodinamik
Merupakan laporan uji preklinik secara in vitro pada organ/janngan atau
secarain vivo pada hewan atau pada model penyakit dimana obat tersebut
diharapkan bekerja. Metoda penelitian dan hewan coba/jaringan/organ
yang digunakan disesuaikan dengan efek farmakodinamik bahan berkhasiat.
Uji farmakodinamik meliputi :
- mekanisme dan spesifisitas kerja bahan berkhasiat;
- efek bahan berkhasiat terhadap berbagai organ;
- mula kerja, efek puncak dan masa kerja bahan berkhasiat;
- hubungan dosis-intensitas efek obat;
- toleransi dan ketergantungan;
- interaksi obat;
- efek terapi obat terhadap hewan coba yang dibuat sakit.
8
- Riwayat penggunaan harus dapat ditelusur apakah herbal yang akan diuji
klinik memiliki riwayat empiris baik untuk indigenus ataupun
nonindigenus.
- Bagian tumbuhan yang digunakan
-Identifikasi senyawa aktif/senyawa identitas untuk keperluan standardisasi
2. Standardisasi bahan baku dan produk uji:
- Cara penyiapan bahan baku dan produk uji, termasuk metode ekstraksi
yang digunakan,
- Metode analisa kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif atau senyawa
identitas.
3. Pihak sponsor ataupun produsen harus memahami bahwa proses pembuatan
produk uji harus konsisten pada setiap tahap atau fase, dan proses
pembuatan tersebut harus mengacu kepada standar CPOTB.
4. Lakukan penilaian terhadap data nonklinik yang ada/telah dilakukan,
bagaimana profil keamanan dan/atau aspek lainnya. bagaimana LD50, data
toksisitas akut, subkronik dan atau kronik sesuai kebutuhan untuk kondisi
yang diujikan.
5. Pertimbangkan untuk mengontrak ORK bila diperlukan. Bila melakukan
kontrak dengan ORK, lengkapi dengan surat perjanjian kontrak dan
dijelaskan fungsi sponsor apa yang dikontrakkan kepada ORK.
6. Persiapkan kompetensi monitor (sponsor/ORK).
7. Pemilihan tempat pelaksanaan uji klinik dan pemilihan peneliti serta
persiapkan tempat pelaksanaan tersebut.
8. Pembuatan/penyusunan protokol uji klinik.
9. Penyediaan dokumen uji lain terkait dengan pelaksanaan uji klinik.
10. Persiapkan untuk adanya penjaminan mutu pelaksanaan uji klinik dan
untuk dapat dihasilkannya data yang akurat dan terpercaya.
11. Pengajuan persetujuan untuk dokumen/ pelaksanaan uji klinik.
12. Pertimbangan/peninjauan dan persetujuan uji klinik oleh Komisi Etik dan
regulator.
13. Persetujuan subjek (Informed Consent) dan rekrutmen subjek
14. Penapisan (screening) dan penyertaan (enrollment) subjek.
9
15. Pengelolaan pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan maupun pelaporan lain.
16. Pengelolaan data penelitian
17. Laporan akhir penelitian
Bahan baku adalah semua bahan awal yang berkhasiat maupun yang
tidak berkhasiat, yang berubah maupun yang tidak berubah, yang digunakan
dalam pengolahan obat tradisional, walaupun tidak semua bahan tersebut
masih terdapat didalam produk ruahan (PERKAP BPOM RI,2014).
Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk
pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu
pengeringan simplisia tidak lebih dari 60º. Sedangkan sediaan galenik yang
selanjutnya disebut Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat
dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di
luar pengaruh cahaya matahari langsung.
10
Karena penyebarannya yang luas. Setiap sususan dari klasifikasi
mempunyai keuntungan dan kerugian, tetapi demi tujuan ilmu pengetahuan
klasifikasi bahan baku terbagi menjadi (Shah, Seth, 2010) :
1. Klasifikasi Secara Alphabetis
Klasifikasi abjad adalah cara paling sederhana klasifikasi dari setiap
item terputus. Simplisia diatur dalam urutan abjad dari nama Latin dan
bahasa Inggris mereka (Nama umum) atau nama bahasa kadang-kadang
lokal (vernakular nama). Beberapa farmakope, kamus dan buku-buku
referensi yang mengklasifikasikan simplisia menurut sistem ini adalah
sebagai berikut:
1. India Pharmacopoeia
2. British Pharmacopoeia
3. British Herbal Pharmacopoeia
4. Amerika Serikat Pharmacopoeia dan formularium Nasional
5. British Pharmaceutical Codex
6. Eropa Pharmacopoeia
11
dari tanaman ini digunakan sebagai obat, misalnya daun, akar, batang,
dll. Obat yang diperoleh langsung dari bagian tanaman dan
mengandung jaringan seluler disebut sebagai bahan baku obat
terorganisir, misalnya rimpang, kulit, daun, buah-buahan, seluruh
bagian tanaman, rambut dan serat. Obat-obatan yang disiapkan dari
tanaman oleh beberapa proses fisik menengah seperti sayatan,
pengeringan atau ekstraksi dengan pelarut.
Keuntunga: lebih bermanfaat untuk mengidentifikasi dan
mendeteksi pemalsuan. sistem klasifikasi ini lebih nyaman untuk studi
praktis terutama ketika kimiasifat obat ini tidak jelas dipahami.
Kerugian: tidak ada korelasi kandungan kimia dengan tindakan
terapeutik, pengulangan obat atau tanaman terjadi (Shah, Seth, 2010).
4. Klasifikasi Secara Farmakologi
Pengelompokan obat sesuai dengan tindakan farmakologis atau
konstituen yang paling penting atau penggunaan terapi disebut sebagai
klasifikasi farmakologis. Klasifikasi ini lebih relevan dan sebagian
besar merupakan metode yang diikuti. Obat-obatan seperti digitalis,
squill dan strophanthus memiliki tindakan kardiotonik.
Keuntungan: menyarankan pengganti obat, jika mereka tidak
tersedia di tertentu menempatkan atau titik waktu. Kerugian : obat
memiliki tindakan yang berbeda pada tubuh diklasifikasikan secara
terpisah di lebih dari satu kelompok yang menyebabkan ambiguitas dan
kebingungan. Misalnya, Cinchona adalah obat antimalaria karena
kehadiran kina tetapi dapat diletakkan di bawah kelompok obat yang
mempengaruhi jantung karena tindakan antiaritmia dari quinidine
(Shah, Seth, 2010).
5. Klasifikasi Secara Kimia
Tergantung pada konstituen aktif, simplisia dibagi beberapa
klasifikasi. Tanaman yang mengandung berbagai konstituen di
dalamnya seperti alkaloid, glikosida, tanin, karbohidrat, saponin, dll.
Terlepas dari karakter morfologi dan taksonomi, obat dengan
12
kandungan kimia serupa dikelompokkan ke dalam kelompok yang
sama.
Keuntungan: merupakan pendekatan yang populer untuk studi
fitokimia. Kerugian: ambiguitas muncul ketika obat tertentu memiliki
sejumlah senyawa milik kelompok yang berbeda dari senyawa (Shah,
Seth, 2010).
6. Klasifikasi Secara Kemotaksonomi
Sistem klasifikasi ini bergantung pada kesamaan kimia dari takson,
yaitu didasarkan pada adanya hubungan antara konstituen dalam
berbagai tanaman. Ada jenis kandungan kimia yang menjadi ciri
tertentu dari kelas tanaman. Konsep memanfaatkan fakta
kimia/karakter untuk memahami status taksonomi, hubungan dan
evolusi dari tanaman. Misalnya, alkaloid tropane umumnya terjadi
antara anggota Solanaceae sebagai kemotaksonomi penanda. Demikian
pula, metabolit tanaman sekunder lainnya dapat berfungsi sebagai dasar
klasifikasi simplisia (Shah, Seth, 2010).
13
b. Berdasarkan kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia, biologis):
1. Tidak selalu mungkin memperoleh simplisia sepenuhnya murni.
2. Bahan asing yang tidak berbahaya dalam jumlah sangat kecil pada
umumnya tidak merugikan
3. Harus bebas dari serangga, fragmen hewan/kotoran hewan
4. Tidak boleh menyimpang bau dan warnanya
5. Tidak boleh mengandung lendir dan cendawan atau menunjukkan
tandatanda pengotoran lain
6. Tidak boleh mengandung bahan lain yang beracun/berbahaya.
(Materia Medika Indonesia, 1995)
c. Parameter Pemilihan Bahan Baku
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap konsumsi
langsung, dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter standar
umum :
1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3
parameter mutu umum suatubahan (material), yaitu kebenaran jenis
(identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis) serta
aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, dan transportasi).
2. Bahwa simplisia sebagai bahan baku dan produk konsumsi manusia
sebagai obat tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk
kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu, Aman,
Manfaat). (Depkes RI, 2000)
3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung
jawab terhadap respon biologis harus mempunyai spesifikasi kimia, yaitu
informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan. (Depkes RI,
2000)
3.4.4 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Bahan Baku
Faktor yang dapat mempengaruhi kualitas bahan baku yang akan digunakan
antara lain :
1. Ketinggian
Ketinggian merupakan faktor yang sangat penting dalam kultivasi
tanaman obat. Misalnya, Teh, cinchona dan eucalyptus dapat
14
tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.000-2.000 meter. Cinnamon
dan cardamom tumbuh pada ketinggian 500-1.000 meter(Shah dan
Seth, 2010).
2. Temperatur
Temperatur merupakan faktor yang kritis dalam mengontrol
pertumbuhan, metabolisme dan hasil metabolit sekunder dari
tanaman. Meskipun beberapa spesies dapat beradaptasi terhadap
lingkungan, tetapi tanaman tersebut dapat tetap tumbuh dengan baik
pada rentang temperature tertentu (Shah dan Seth, 2010).
3. Curah hujan
Curah hujan dapat mempengaruhi ketersediaan air dalam
tanah.Perbedaan curah hujan menyebabkan variasi hasil
produksi.Curah hujan yang terlalu tinggi dapat mengurangi
metabolit sekunder pada tanaman karena air dapat melarutkan
senyawa pada tanaman (Shah dan Seth, 2010).
4. Lamanya siang dan penerangan
Telah terbukti bahwa lamanya siang mempengaruhi produksi
metabolit.Tanaman yang tumbuh pada siang yang panjang dapat
menghasilkan senyawa yang lebih banyak atau sedikit daripada
tanaman yang tumbuh pada siang yang pendek.Selama kultivasi kita
harus memenuhi keperluan tanaman sehingga dapat tumbuh dengan
baik. Penyinaran dibutuhkan untuk meningkatkan alkaloid pada
belladonna, stramonium, cinchona dan lain sebagainya (Shah dan
Seth, 2010).
5. Tanah dan kesuburan tanah
Setiap spesies tanaman memiliki kebutuhan nutrisi dan tanah
tersendiri.Tiga hal terpenting sebagai karakteristik dasar pada tanah
adalah sifat fisika, kimia dan mikroba.Tanah menyediakan air dan
nutrisi yang dibutuhkan tanaman.Variasi ukuran partikel tanah
mempengaruhi kapasitas penjebakan air. Kesuburan tanah
merupakan kapasitas tanaman dalam penyediaan nutrisi yang cukup
dan seimbang dengan proporsi tanaman.Kesuburan tanaman dapat
15
dipelihara dengan penambahan pupuk kandang, bakteri pembentuk
nitrogen atau penggunaan bahan kimia (Shah dan Seth, 2010).
3.5 Simplisia
3.5.1 Definisi Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan
untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain
suhu pengeringan tidak lebih dari 60oC (BPOM,2014).
16
2. Bentuk Rimpang
Rimpang jahe dinyatakan utuh apabila maksimal 2 anak rimpang patah
pada pangkalnya
3. Rimpang Bertunas
Jahe segar dinyatakan rimpang bertunas apabila salah satu atau beberapa
ujung dari rimpang telah bertunas.
4. Kenampakan Irisan Melintang
Jahe segar bila diiris melintang pada salah satu rimpangnya dinyatakan
cerah apabila penampangnya berwarna cerah khas jahe segar
5. Serangga Hidup, Hama, dan Penyakit
Semua organisme yang dapat dilihat dengan mata tanpa pembesaran.
6. Rimpang yangTerluka
Rimpang yang luka pada jaringan endodermis
7. Rimpang Busuk
Rimpang dinyatakan busuk bila terdapat bagian yang lebih lunak yang
disebabkan jamur atau bakteri dari rimpang yang masih segar
8. Kadar Ekstrak Larut dalam Air
Persentase ekstrak yang larut dalam air dari bahan yang telah dikeringkan
di udara.
Jahe merah ditandai dengan ukuran rimpang yang kecil, berwarna merah
jingga, berserat kasar, beraroma serta berasa tajam (pedas). Dipanen
setelah tua dan memiliki minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil sehingga
jahe merah pada umumnya dimanfaatkan
sebagai bahan baku obat-obatan.
21 Mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 1,70 % v/b
22 Identitas simplisia
Pemerian, berupa irisan rimpang pipih, bagian ujung bercabang
pendek. Bentuk bulat telur terbalik. Pada setiap cabang terdapat
17
parut melekuk ke dalam. Warna putih kekuningan, bau khas, rasa
pedas. Dalam bentuk potongan, Panjang umumnya 3-4 cm, tebal 1-
6,5 mm. bagian luar berwarna cokelat kekuningan, baralur
memanjang terkadang terdapat serat bebas. Bekas patahan pendek
dan berserat menonjol. Pada irisan melintang terdapat berturut-
turut kosteks sempit yang tebalnya kurang lebih sepertiga jari-jari
dan endodermis. Berkas pengangkut tersebar berwarna kelabu sel
kelenjar berupa titik yang lebih kecil berwarna kekuningan.
18
3.6.3 Standardisasi Simplisia Jahe Merah (Zingiber officinalis
Var..Rubrum Rhizoma)
Senyawa marker identitas adalah shogaol
19
Volume Penotolan : Totolkan 3µL larutan uji dan 1 µL Larutan
pembanding
Deteksi : Anisaldehid-asam sulfat, panaskan lempeng
pada suhu 100oC selama 15 menit
20
3.8 Kandungan Senyawa Aktif dalam Jahe Merah (Zingiber officinale var
rubrum) dan Jahe Gajah (Zingiber officinale Roscoe var officinale)
Secara umum rimpang jahe mengandung 1-2% minyak atsiri, 5-8% zat
resin, tepung dan getah (Claus et al., 1970; Evans, 2009). Kandungan kimia jahe
merah bervariasi, ditentukan oleh lokasi penanaman. Pada rimpang jahe merah
penyusun utama minyak atsirinya adalah monoterpenoid (81,9%) dengan
kandungan terbanyak adalah camphene (14,7%), geranyl acetate (13,7%), geranial
(14,3%), neral (7,7%), geraniol (7,3%) dan 1,8-cineole (5%).
Pemetaan kandungan kimia jahe gajah telah banyak dilakukan, baik pada
jahe segar maupun jahe kering. Jolad et al menemukan beberapa senyawa baru pada
jahe segar yaitu paradol, dihidroparadol, gingerol dan derivatnya, shogaol, 3-
dihidroshogaol, gingerdiol dan turunannya, 1-dehydrogingerdiones,
diarylheptanoids. Jolad juga menentukan 6-gingerol sebagai marker utama dari
jahe. Pada jahe kering juga ditemukan beberapa senyawa baru yaitu 5-(4’-hydroxy-
3’-methoxyphenyl)pent-2-en-1-al dan 5-(4’-hydroxy-3’-methoxyphenyl)3-
hydroxy-1-pentanal. Kandungan shogaol lebih tinggi dibanding gingerol terdapat
pada jahe kering (Jolad et al, 2004; Jolad et al., 2005). Kandungan 6gingerol, 8-
gingerol, 10-gingerol, dan 6-shogaol dalam jahe merah lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jahe jenis lain (Dugasani et al., 2010).
21
Kandungan kimia khas dari jahe adalah gingerol dan shogaol. Kandungan
gingerol dan shogaol pada jahe merah lebih tinggi dibanding pada jahe gajah
sehingga dapat dikembangkan lebih jauh studi yang terkait dengan aktivitas
gingerol dan shogaol.
22
BAB IV
Pembahasan
1. pemerian,
2. mikroskopik,
3. senyawa identitas,
4. pola kromatografi,
5. susut pengeringan,
6. abu total,
7. abu tidak larut asam,
8. sari larut air dan sari larut etanol.
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap konsumsi
langsung, dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter standar
umum :
23
1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3
parameter mutu umum suatubahan (material), yaitu kebenaran jenis
(identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis)
serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, dan transportasi).
2. Bahwa simplisia sebagai bahan baku dan produk konsumsi manusia
sebagai obat tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk
kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu, Aman,
Manfaat). (Depkes RI, 2000)
3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang
bertanggung jawab terhadap respon biologis harus mempunyai
spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar)
senyawa kandungan. (Depkes RI, 2000)
Bahan baku dalam kasus ini yaitu jahe merah (Zingiber officinalis
Var..Rubrum Rhizoma. Jahe merah ditandai dengan ukuran rimpang yang
kecil, berwarna merah jingga, berserat kasar, beraroma serta berasa
tajam (pedas). Senyawa aktif yang ingin kami gunakan yaitu shogaol 1.36
mg/g yang berpotensi sebagai antiinflamasi. Sedangkan pada jahe putih besar
atau jahe gajah (Zingiber Offcinale var. officinarum) memiliki rimpang yang
jauh lebih besar dan gemuk namun rasa dan aromanya kurang tajam dibanding
jahe merah dan jahe putih kecil. Senyawa aktif shogaol juga terdapat pada jahe
gajah yaitu 0.92 mg/g yang berpotensi sebagai antiinflmasi.
24
kimia namun kadarnya berbeda. Kandungan kimia khas dari jahe adalah
gingerol dan shogaol. Kandungan gingerol dan shogaol pada jahe merah lebih
tinggi dibanding pada jahe gajah sehingga dapat dikembangkan lebih jauh studi
yang terkait dengan aktivitas gingerol dan shogaol. Jahe merah memiliki
prospek pengembangan yang unggul sebagai obat yang berasal dari bahan
alam.
25
BAB V
Solusi
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap konsumsi
langsung, dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter standar
umum :
4. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3
parameter mutu umum suatubahan (material), yaitu kebenaran jenis
(identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis)
serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, dan transportasi).
5. Bahwa simplisia sebagai bahan baku dan produk konsumsi manusia
sebagai obat tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk
kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu, Aman,
Manfaat). (Depkes RI, 2000)
6. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang
bertanggung jawab terhadap respon biologis harus mempunyai
spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa
kandungan. (Depkes RI, 2000)
2). Faktor yang dapat mempengaruhi kualitas bahan baku yang akan digunakan
antara lain :
1. Ketinggian
2. Temperatur
3. Curah hujan
4. Lamanya siang dan penerangan
5. Tanah dan kesuburan tanah
26
Abu tidak larut asam tidak lebih dari 2,0 %
Sari larut air tidak kurang dari 15,6 %
Sari larut etanol tidak kurang dari 4,3 %
Senyawa aktif yang ingin kami gunakan dari jahe merah yaitu shogaol
1.36 mg/g yang berpotensi sebagai antiinflamasi. Sedangkan pada jahe putih
besar atau jahe gajah (Zingiber Offcinale var. officinarum) memiliki rimpang yang
jauh lebih besar dan gemuk namun rasa dan aromanya kurang tajam dibanding jahe
merah dan jahe putih kecil. Senyawa aktif shogaol juga terdapat pada jahe gajah
yaitu 0.92 mg/g yang berpotensi sebagai antiinflmasi.
4). Bahan baku simplisia jahe gajah kami terima dengan alasan memenuhi
standardisasi simplisia jahe merah, kandungan shogaol dengan kadar 0.92
mg/g berpotensi sebagai antiinflamasi. Jahe gajah dan jahe merah memiliki
aktivitas farmakologi yang sama. Aktivitas farmakologi yang mirip ini disebabkan
oleh adanya kesamaan kandungan kimia namun kadarnya berbeda.
27
BAB VI
Daftar Pustaka
Agoes, Goeswin. 2009. Teknologi Bahan Alam (Serial Farmasi Industri 2) ed.
revisi. Bandung: ITB.
Claus EP, Tyler VE, Brady LR. 1970. Pharmacognosy 6th ed. London: Henry
Kimpton Publishers hal. 214.
Dugasani S, Pichika MR, Nadarajah VD, Balijepalli MK, Tandra S, Korlakunta JN.
Comparative antioxidant and anti-inflammatory effects of [6]gingerol,
[8]-gingerol, [10]-gingerol and [6]shogaol. Journal of
ethnopharmacology. 2010;127(2):515-20.
Hegarty, M.P, E.E. Hegarty, and R.B.H. Wills. 2001. Australian Plant Bushfoods.
Kingston: Rural Industries Research and Development Corporation.
28
Hernani dan Hayani. Tanaman Jahe Merah (Zingiber Officinale Var Rubrum).hal
12 tahun 2001; Universitas Sumatera Utara.
Jolad SD, Lantz RC, Chen GJ, Bates RB, Timmermann BN. Commercially
processed dry ginger (Zingiber officinale): Composition and effects on
LPS-stimulated PGE2 production. Phytochemistry. 2005;66:1614-1635.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2014 Tentang Persyaratan Mutu Obat Tradisional.
Rukmana, H.R. & Yudirachman, H.H. 2016. Budidaya & Pascapanen Tanaman
Obat Unggulan. Yogyakarta: Lily Publisher.
Setyawan, B., 2015. Peluang Usaha Budidaya Jahe. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
Shah, Biren N., and A.K. Seth. 2010. Textbook of Pharmacognosy and
Phytochemistry. New Delhi : Reed Elsevier India Private Limited. Page : 31-
35, 93-96.
29
30
31