Anda di halaman 1dari 31

TUGAS FITOFARMASI

BAHAN BAKU

Oleh :

Kelas : Kamis – Kelompok : 3

Anggota Kelompok :

1. Lukluk Afifatul Umroh (051511133066)


2. Diah Ayu Retanti (051511133067)
3. Aziszia Insyana L (051511133071)
4. Puja Adi Priatna (051511133079)
5. Galang Desanto E. P (051511133087)
6. Yotomi Desia Eka Rani (051511133090)

Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga
2017/2018

1
Daftar Isi

Bab I Cover ........................................................................................................... 1

Bab II Problem dan Breakdown Problem ............................................................... 3

Bab III Landasan Teori dan Penelusuran Literatur ................................................. 5

3.1 Landasan Regulasi Fitofarmaka ........................................................................ 5

3.1.1 Definisi Fitofarmaka ............................................................................... 5

3.1.2 Persyaratan mutu obat Fitofarmaka.......................................................... 5

3.2 Uji Praklinik Obat Fitofarmaka ......................................................................... 7

3.3 Uji Klinik Obat Fitofarmaka .............................................................................. 8

3.4 Bahan Baku .......................................................................................................10


3.4.1 Definisi Bahan Baku ...................................................................... 10
3.4.2 Klasifikasi Bahan Baku ................................................................. 10
3.4.3 Identifikasi Bahan Baku ................................................................ 13
3.4.4 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Bahan Baku ....................... 14
3.5 Simplisia .........................................................................................................16
3.5.1 Definisi Simplisia .......................................................................... 16
3.5.2 Standardisasi Simplisia ................................................................. 16
3.6 Simplisia Jahe Merah (Zingiber officinalis Var..Rubrum Rhizoma) ............. 17
3.6.1 Makroskopik Jahe Merah (Zingiber officinalis Var..Rubrum
Rhizoma) ....................................................................................... 17
3.6.2 Mikroskopik Jahe Merah (Zingiber officinalis Var..Rubrum
Rhizoma) ....................................................................................... 18
3.6.3 Standardisasi Simplisia Jahe Merah (Zingiber officinalis
Var..Rubrum Rhizoma) ................................................................. 19
3.6.4 Pola Kromatografi ......................................................................... 19
3.7 Simplisia Jahe Gajah (Zingiber Offcinale var. officinarum)...........................20
3.7.1 Makroskopik Simplisia Jahe Gajah (Zingiber Offcinale var.
officinarum) ................................................................................... 20

2
3.8 Kandungan Senyawa Aktif dalam Jahe Merah (Zingiber officinale var rubrum)
dan Jahe Gajah (Zingiber officinale Roscoe var officinale) ................................... 21

Bab IV Pembahasan ............................................................................................... 23

Bab V Solusi .......................................................................................................... 24

Bab VI Daftar Pustaka ........................................................................................... 28

3
BAB II

Problem dan Breakdown Problem

2.1 Problem
Anda adalah apoteker pada sebuah industri obat tradisional, salah satu
produk yang diproduksi menggunakan ekstrak etanol Zingiber officinale var
rubrum. Saat akan melakukan pembelian bahan baku, ternyata stok simplisia
Jahe merah sedang kosong disebabkan karena petani pemasok dari Magelang
mengalami gagal panen, dan supplier menawarkan bahwa dia punya stok
simplisia jahe gajah. Apakah anda menerima atau menolak tawaran tersebut ?
Jelaskan.
2.2 Breakdown Problem
1. Apa saja syarat bahan baku obat tradisional ?
2. Apa saja faktor – faktor yang mempengaruhi bahan baku obat tradisional?
3. Bagaimana standardisasi simplisia jahe merah, apakah jahe gajah dapat
dijadikan bahan baku pengganti?
4. Bagaimana sikap yang diambil mengenai tawaran penggantian stok
simplisia jahe merah dengan jahe gajah akibat stok jahe merah kosong?

4
BAB III

Landasan Teori dan Penelusuran Literatur

3.1 Landasan Regulasi Fitofarmaka

3.1.1 Definisi Fitofarmaka

Fitofarmaka merupakan sediaan obat dan obat tradisional yang telah


dibuktikan keamanan dan khasiatnya bahan bakunya terdiri dari simplisia atau
sediaan galenik (sediaan dari bahan baku hewan atau tumbuhan yang diambil
sarinya) yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku (MenKes RI, No
760/MENKES/ PER/ lX/1992).
Bahan baku Fitofarmaka menurut peraturan MenKes RI, No
760/MENKES/ PER/ lX/1992, yaitu:
1. Bahan baku Fitofarmaka dapat berupa simplisia atau sediaan galenik.
2. Bahan baku Fitofarmaka harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam
Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia, Materia Medika
Indonesia, ketentuan atau persyaratan lain yang berlaku.
3. Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain diluar yang disebut dalam point
(2) harus mendapatkan persetujuan pada waktu pendaftaran fitofarmaka
Sediian Fitofarmaka menurut peraturan MenKes RI, No
760/MENKES/ PER/ lX/1992, yaitu: bentuk sediaan harus dipilih sesuai
dengan sifat bahan baku dan tujuan penggunaan, sehingga bentuk sediaan
tersebut dapat memberikan keamanan, khasiat, dan mutu yang paling tinggi.

3.1.2 Persyaratan mutu obat Fitofarmaka


Persyaratan mutu obat Fitofarmaka yaitu (BPOM RI, No:
HK.00.05.41.1384):

1. Bahan Utama

5
 Sumber bahan utama harus dicantumkan nama dan alamat produsen
atau distributor bahan baku.
 Uraian bahan utama diperlukan untuk mengetahui spesifikasi bahan
utama (sifat,karakteristik organoleptik, dan lain-lain).
 Cara pengujian bahan utama, meliputi identifikasi, pemerian uraian
tentang cara pemeriksaan fisika dan kimia serta acuan yang digunakan
(Farrnakope Indonesia, Materia Medika Indonesia, standar atau acuan
lain yang diakui).
2. Bahan Tambahan
 Sumber bahan tambahan harus dicantumkan nama dan alamat
produsen atau distributor bahan tambahan.
 Uraian bahan tambahan diperlukan untuk mengetahui spesifikasi
bahan tambahan (sifat, karakteristik organoleptik, dan lain-lain).
 Khusus untuk bahan tambahan yang mempengaruhi stabilitas produk
obat tradisional (misalnya pengawet, pemantap dan lain-lain) perlu
dilengkapi informasi cara pengujian seperti pada bahan utama.
3. Produk Jadi
 Formula harus mencantumkan semua bahan utama dan bahan
tambahan yang digunakan lengkap dengan jumlah masing-masing
bahan tersebut dalam satu kali pembuatan. Tata nama bahan utama
dituliskan dengan nama latin simplisia sesuai dengan yang tercantum
dalam Materia Medika Indonesia dengan menyebutkan nama marga(
genus), atau nama jenis (spesies) atau petunjuk jenis (Specific epithet)
dari tanamana asal diikuti dengan bagian tanaman yang digunakan.
 Cara pernbuatan harus menguraikan tahap demi tahap mulai dari
penimbangan bahan baku sampai dengan pengemasan terakhir.
 Cara pengujian obat Fitofarmaka, meliputi pemerian, keseragaman
bobot, volume, pemeriksaan kimia dan fisika antara lain, kadara air,
waktu hancur untuk pil, tablet, dan kapsul, serta pengujian terhadap
cemaran mikroba dan cemaran kimia lainnya.
Cara pemeriksaan mutu bahan baku dan produk jadi obat Fitofarmaka,
yaitu (BPOM RI, No: HK.00.05.41.1384):

6
1. Sumber perolehan bahan baku dapat berasal dari, antara lain:
 Dalam negeri, bila dari petani pengumpul, distributor, sebutkan nama
dan alamat serta sumber wilayah bahan tersebut diperoleh. Untuk
ekstrak sebutkan nama perusahaan pembuat ekstrak atau distributor.
 Impor, untuk simplisia sebutkan nama dan alatnat importir serta
sertifikat analisisnya.
2. Penilaian mutu bahan baku, yaitu: Tuliskan identitas dan pemerian bahan
baku :
Simplisia:
 Nama latin tanaman dan familia.
 Pemerian meliputi bentuk, bau, rasa, dan warna.
 Pengamatan makroskopik meliputi uraian tentang bentuk dan ukuran,
 tentang sifat patahan dan ciri-ciri khas lainnya.
 Pengujian secara fisika-kimia antara lain reaksi warna.
Ekstrak atau Tingtur (Sediian Olahan):
 Sebutkan cara pembuatan dan hasil total ekstrak yang diperoleh.
 Pemeian meliputi bentuk, bau, rasa dan warna.
 Identitas kandungan kimia.
 Hasil pengujian secara fisika - kimia yang menunjukkan zat penanda
antara lain reaksi warna, kromatogram, dan atau spektrogram.
 Lampirkan hasil penilaian mutu dalam bentuk sertifikat analisa.
Sediaan Kapsul:
 Cantumkan sertifikat bahan cangkang kapsul yang digunakan.

3.2 Uji Praklinik Obat Fitofarmaka


Uji Nonklinik/praklinik adalah uji yang dilakukan pada hewan coba
untuk menilai keamanan serta profil farmakodinamik produk yang diuji
(BPOM RI, No. 13 2014). Uji praklinik obat Fitofarmaka, meliputi (BPOM
RI, No: HK.00.05.41.1384):
1. Uji Toksisitas
Dimaksudkan untuk mencari ada/tidaknya pengaruh toksik dari bahan
berkhasiat dan spektrum toksisitas pada hewan coba. Metoda penelitian dan

7
hewan coba / jaringan / organ yang digunakan disesuaikan dengan uji
toksisitas, antara lain : toksisitas dosis tunggal, toksisitas dosis berulang,
toksisitas pada sistem reproduksi dan teratogenisitas, dan karsinogenisitas.
2. Uji Farmakodinamik
Merupakan laporan uji preklinik secara in vitro pada organ/janngan atau
secarain vivo pada hewan atau pada model penyakit dimana obat tersebut
diharapkan bekerja. Metoda penelitian dan hewan coba/jaringan/organ
yang digunakan disesuaikan dengan efek farmakodinamik bahan berkhasiat.
Uji farmakodinamik meliputi :
- mekanisme dan spesifisitas kerja bahan berkhasiat;
- efek bahan berkhasiat terhadap berbagai organ;
- mula kerja, efek puncak dan masa kerja bahan berkhasiat;
- hubungan dosis-intensitas efek obat;
- toleransi dan ketergantungan;
- interaksi obat;
- efek terapi obat terhadap hewan coba yang dibuat sakit.

3.3 Uji Klinik Obat Fitofarmaka


Uji Klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan subjek
manusia disertai adanya intervensi produk uji, untuk menemukan atau
memastikan efek klinik, farmakologik dan/atau farmakodinamik lainnya,
dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkan, dan/atau
mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dengan tujuan
untuk memastikan keamanan dan/atau efektifitas produk yang diteliti (BPOM
RI, No. 13 2014).
Langkah-langkah berikut dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka
persiapan pelaksanaan uji klinik (BPOM RI, No. 13 2014):
1. Karakteristik produk uji:
Terhadap produk yang akan diuji dilakukan pemastian tumbuhan:
- Kebenaran identitas untuk tumbuhan yang digunakan.
- Tidak termasuk dalam daftar tumbuhan yang dilarang di indonesia

8
- Riwayat penggunaan harus dapat ditelusur apakah herbal yang akan diuji
klinik memiliki riwayat empiris baik untuk indigenus ataupun
nonindigenus.
- Bagian tumbuhan yang digunakan
-Identifikasi senyawa aktif/senyawa identitas untuk keperluan standardisasi
2. Standardisasi bahan baku dan produk uji:
- Cara penyiapan bahan baku dan produk uji, termasuk metode ekstraksi
yang digunakan,
- Metode analisa kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif atau senyawa
identitas.
3. Pihak sponsor ataupun produsen harus memahami bahwa proses pembuatan
produk uji harus konsisten pada setiap tahap atau fase, dan proses
pembuatan tersebut harus mengacu kepada standar CPOTB.
4. Lakukan penilaian terhadap data nonklinik yang ada/telah dilakukan,
bagaimana profil keamanan dan/atau aspek lainnya. bagaimana LD50, data
toksisitas akut, subkronik dan atau kronik sesuai kebutuhan untuk kondisi
yang diujikan.
5. Pertimbangkan untuk mengontrak ORK bila diperlukan. Bila melakukan
kontrak dengan ORK, lengkapi dengan surat perjanjian kontrak dan
dijelaskan fungsi sponsor apa yang dikontrakkan kepada ORK.
6. Persiapkan kompetensi monitor (sponsor/ORK).
7. Pemilihan tempat pelaksanaan uji klinik dan pemilihan peneliti serta
persiapkan tempat pelaksanaan tersebut.
8. Pembuatan/penyusunan protokol uji klinik.
9. Penyediaan dokumen uji lain terkait dengan pelaksanaan uji klinik.
10. Persiapkan untuk adanya penjaminan mutu pelaksanaan uji klinik dan
untuk dapat dihasilkannya data yang akurat dan terpercaya.
11. Pengajuan persetujuan untuk dokumen/ pelaksanaan uji klinik.
12. Pertimbangan/peninjauan dan persetujuan uji klinik oleh Komisi Etik dan
regulator.
13. Persetujuan subjek (Informed Consent) dan rekrutmen subjek
14. Penapisan (screening) dan penyertaan (enrollment) subjek.

9
15. Pengelolaan pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan maupun pelaporan lain.
16. Pengelolaan data penelitian
17. Laporan akhir penelitian

3.4 Bahan Baku


3.4.1 Definisi Bahan Baku

Bahan baku adalah semua bahan awal yang berkhasiat maupun yang
tidak berkhasiat, yang berubah maupun yang tidak berubah, yang digunakan
dalam pengolahan obat tradisional, walaupun tidak semua bahan tersebut
masih terdapat didalam produk ruahan (PERKAP BPOM RI,2014).
Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk
pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu
pengeringan simplisia tidak lebih dari 60º. Sedangkan sediaan galenik yang
selanjutnya disebut Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat
dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di
luar pengaruh cahaya matahari langsung.

Syarat mutu untuk simplisia berdasarkan Farmakope Herbal


Indonesia (2008) meliputi identitas simplisia dan kandungan kimia
simplisia. Identitas simplisia yang digunakan untuk mengetahui mutu
simplisia antara lain pemerian, mikroskopik, senyawa identitas, pola
kromatografi, susut pengeringan, abu total, abu tidak larut asam, sari larut
air dan sari larut etanol.

3.4.2 Klasifikasi Bahan Baku


Sumber alami bahan baku adalah tanaman tingkat tingkat, mikroba,
hewan dan organisme laut. Beberapa produk yang berguna diperoleh dari
mineral baik organik maupun anorganik di alam. Untuk mengikuti studi
tentang efek terapi individu, satu keharusan mengadopsi beberapa urutan
tertentu tentang pengaturan, dan hal ini disebut sistem klasifikasi bahan
baku. Sebuah metode klasifikasi harus sederhana, mudah digunakan, dan
terbebas dari hal yang membingungkan dan bermakna ganda (Shah, Seth,
2010).

10
Karena penyebarannya yang luas. Setiap sususan dari klasifikasi
mempunyai keuntungan dan kerugian, tetapi demi tujuan ilmu pengetahuan
klasifikasi bahan baku terbagi menjadi (Shah, Seth, 2010) :
1. Klasifikasi Secara Alphabetis
Klasifikasi abjad adalah cara paling sederhana klasifikasi dari setiap
item terputus. Simplisia diatur dalam urutan abjad dari nama Latin dan
bahasa Inggris mereka (Nama umum) atau nama bahasa kadang-kadang
lokal (vernakular nama). Beberapa farmakope, kamus dan buku-buku
referensi yang mengklasifikasikan simplisia menurut sistem ini adalah
sebagai berikut:
1. India Pharmacopoeia
2. British Pharmacopoeia
3. British Herbal Pharmacopoeia
4. Amerika Serikat Pharmacopoeia dan formularium Nasional
5. British Pharmaceutical Codex
6. Eropa Pharmacopoeia

Keuntungan : Sangat mudah dan cepat untuk digunakan, tidak ada


pengulangan entri dan tanpa kebingungan, di lokasi sistem ini,
pelacakan dan penambahan obat entri mudah. Kerugian : tidak ada
hubungan antara sebelumnya dan sesudahnya dalam entri obat (Shah,
Seth, 2010).
2. Klasifikasi Secara Taksonomi
Semua tanaman memiliki karakter yang berbeda dari morfologi,
mikroskopis, kimia, embriologis, serologi dan genetika. Dalam
klasifikasi ini obat mentah diklasifikasikan menurut Kingdom,
Subkingdom, division, calss, order, family, genus dan spesies.
Keuntungan: klasifikasi taksonomi sangat membantu untuk
mempelajari evolusi perkembangan. Kerugian tidak adanya korelasi
antara konstituen kimia dan aktivitas biologis obat (Shah, Seth, 2010).
3. Klasifikasi Secara Morfologi
Dalam sistem ini obat disusun sesuai dengan karakter morfologi atau
eksternal dari bagian tanaman atau bagian-bagian hewan, yaitu bagian

11
dari tanaman ini digunakan sebagai obat, misalnya daun, akar, batang,
dll. Obat yang diperoleh langsung dari bagian tanaman dan
mengandung jaringan seluler disebut sebagai bahan baku obat
terorganisir, misalnya rimpang, kulit, daun, buah-buahan, seluruh
bagian tanaman, rambut dan serat. Obat-obatan yang disiapkan dari
tanaman oleh beberapa proses fisik menengah seperti sayatan,
pengeringan atau ekstraksi dengan pelarut.
Keuntunga: lebih bermanfaat untuk mengidentifikasi dan
mendeteksi pemalsuan. sistem klasifikasi ini lebih nyaman untuk studi
praktis terutama ketika kimiasifat obat ini tidak jelas dipahami.
Kerugian: tidak ada korelasi kandungan kimia dengan tindakan
terapeutik, pengulangan obat atau tanaman terjadi (Shah, Seth, 2010).
4. Klasifikasi Secara Farmakologi
Pengelompokan obat sesuai dengan tindakan farmakologis atau
konstituen yang paling penting atau penggunaan terapi disebut sebagai
klasifikasi farmakologis. Klasifikasi ini lebih relevan dan sebagian
besar merupakan metode yang diikuti. Obat-obatan seperti digitalis,
squill dan strophanthus memiliki tindakan kardiotonik.
Keuntungan: menyarankan pengganti obat, jika mereka tidak
tersedia di tertentu menempatkan atau titik waktu. Kerugian : obat
memiliki tindakan yang berbeda pada tubuh diklasifikasikan secara
terpisah di lebih dari satu kelompok yang menyebabkan ambiguitas dan
kebingungan. Misalnya, Cinchona adalah obat antimalaria karena
kehadiran kina tetapi dapat diletakkan di bawah kelompok obat yang
mempengaruhi jantung karena tindakan antiaritmia dari quinidine
(Shah, Seth, 2010).
5. Klasifikasi Secara Kimia
Tergantung pada konstituen aktif, simplisia dibagi beberapa
klasifikasi. Tanaman yang mengandung berbagai konstituen di
dalamnya seperti alkaloid, glikosida, tanin, karbohidrat, saponin, dll.
Terlepas dari karakter morfologi dan taksonomi, obat dengan

12
kandungan kimia serupa dikelompokkan ke dalam kelompok yang
sama.
Keuntungan: merupakan pendekatan yang populer untuk studi
fitokimia. Kerugian: ambiguitas muncul ketika obat tertentu memiliki
sejumlah senyawa milik kelompok yang berbeda dari senyawa (Shah,
Seth, 2010).
6. Klasifikasi Secara Kemotaksonomi
Sistem klasifikasi ini bergantung pada kesamaan kimia dari takson,
yaitu didasarkan pada adanya hubungan antara konstituen dalam
berbagai tanaman. Ada jenis kandungan kimia yang menjadi ciri
tertentu dari kelas tanaman. Konsep memanfaatkan fakta
kimia/karakter untuk memahami status taksonomi, hubungan dan
evolusi dari tanaman. Misalnya, alkaloid tropane umumnya terjadi
antara anggota Solanaceae sebagai kemotaksonomi penanda. Demikian
pula, metabolit tanaman sekunder lainnya dapat berfungsi sebagai dasar
klasifikasi simplisia (Shah, Seth, 2010).

7. Klasifikasi Secara Serotaksonomi


Serotaksonomi dapat dijelaskan sebagai studi tentang aplikasi atau
ultilitas serologi dalam memecahkan masalah taksonomi. Serologi
dapat didefinisikan sebagai studi reaksi antigen-antibodi (Shah, Seth,
2010).

3.4.3 Identifikasi Bahan Baku


Baku Identifikasi bahan baku simplisia dapat ditentukan melalui :
a. Berdasarkan kebenaran jenis (identifikasi spesies tumbuhan)
1. Parameter makroskopik: deskripsi morfologis simplisia
2. Parameter mikroskopik: mencakup pengamatan terhadap
penampang melintang simplisia atau bagian simplisia dan terhadap
fragmen pengenal serbuk simplisia
3. Reaksi identifikasi: Reaksi warna untuk memastikan identifikasi
dan kemurnian simplisia (terhadap irisan/serbuk simplisia)

13
b. Berdasarkan kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia, biologis):
1. Tidak selalu mungkin memperoleh simplisia sepenuhnya murni.
2. Bahan asing yang tidak berbahaya dalam jumlah sangat kecil pada
umumnya tidak merugikan
3. Harus bebas dari serangga, fragmen hewan/kotoran hewan
4. Tidak boleh menyimpang bau dan warnanya
5. Tidak boleh mengandung lendir dan cendawan atau menunjukkan
tandatanda pengotoran lain
6. Tidak boleh mengandung bahan lain yang beracun/berbahaya.
(Materia Medika Indonesia, 1995)
c. Parameter Pemilihan Bahan Baku
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap konsumsi
langsung, dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter standar
umum :
1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3
parameter mutu umum suatubahan (material), yaitu kebenaran jenis
(identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis) serta
aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, dan transportasi).
2. Bahwa simplisia sebagai bahan baku dan produk konsumsi manusia
sebagai obat tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk
kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu, Aman,
Manfaat). (Depkes RI, 2000)
3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung
jawab terhadap respon biologis harus mempunyai spesifikasi kimia, yaitu
informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan. (Depkes RI,
2000)
3.4.4 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Bahan Baku
Faktor yang dapat mempengaruhi kualitas bahan baku yang akan digunakan
antara lain :
1. Ketinggian
Ketinggian merupakan faktor yang sangat penting dalam kultivasi
tanaman obat. Misalnya, Teh, cinchona dan eucalyptus dapat

14
tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.000-2.000 meter. Cinnamon
dan cardamom tumbuh pada ketinggian 500-1.000 meter(Shah dan
Seth, 2010).
2. Temperatur
Temperatur merupakan faktor yang kritis dalam mengontrol
pertumbuhan, metabolisme dan hasil metabolit sekunder dari
tanaman. Meskipun beberapa spesies dapat beradaptasi terhadap
lingkungan, tetapi tanaman tersebut dapat tetap tumbuh dengan baik
pada rentang temperature tertentu (Shah dan Seth, 2010).
3. Curah hujan
Curah hujan dapat mempengaruhi ketersediaan air dalam
tanah.Perbedaan curah hujan menyebabkan variasi hasil
produksi.Curah hujan yang terlalu tinggi dapat mengurangi
metabolit sekunder pada tanaman karena air dapat melarutkan
senyawa pada tanaman (Shah dan Seth, 2010).
4. Lamanya siang dan penerangan
Telah terbukti bahwa lamanya siang mempengaruhi produksi
metabolit.Tanaman yang tumbuh pada siang yang panjang dapat
menghasilkan senyawa yang lebih banyak atau sedikit daripada
tanaman yang tumbuh pada siang yang pendek.Selama kultivasi kita
harus memenuhi keperluan tanaman sehingga dapat tumbuh dengan
baik. Penyinaran dibutuhkan untuk meningkatkan alkaloid pada
belladonna, stramonium, cinchona dan lain sebagainya (Shah dan
Seth, 2010).
5. Tanah dan kesuburan tanah
Setiap spesies tanaman memiliki kebutuhan nutrisi dan tanah
tersendiri.Tiga hal terpenting sebagai karakteristik dasar pada tanah
adalah sifat fisika, kimia dan mikroba.Tanah menyediakan air dan
nutrisi yang dibutuhkan tanaman.Variasi ukuran partikel tanah
mempengaruhi kapasitas penjebakan air. Kesuburan tanah
merupakan kapasitas tanaman dalam penyediaan nutrisi yang cukup
dan seimbang dengan proporsi tanaman.Kesuburan tanaman dapat

15
dipelihara dengan penambahan pupuk kandang, bakteri pembentuk
nitrogen atau penggunaan bahan kimia (Shah dan Seth, 2010).

3.5 Simplisia
3.5.1 Definisi Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan
untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain
suhu pengeringan tidak lebih dari 60oC (BPOM,2014).

Simplisia sbg bahan baku (awal) dan produk siap konsumsi


langsung, harus memenuhi :
a. Parameter mutu bahan:
1. Kebenaran jenis (identifikasi)
2. Kemurnian (bebas kontaminasi kimia & biologi)
3. Stabilitas (wadah, penyimpanan, transportasi)
b. Trilogi produk kefarmasian : Quality-Safety-Efficacy
c. Spesifikasi kimia : komposisi (jenis & kadar) senyawa
3.5.2 Standardisasi Simplisia
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda – beda bergantung pada:
1. Bagian yang digunakan
2. Umur tanaman
3. Waktu panen
4. Lingkungn tempat tumbug
Simplisia yang diterima haruslah simplisia yang murni dan sesuai
persyaratn yang disebutkan dalam Farmakope Indonesia, Materia Medica.
Pada pemeriksaan mutu yang dilakukan yaitu organoleptis, mikroskopik
dan atau secara kimia.
Pe r s y a r a t a n S i mp l i s i a
1. Kesegaran
Jahe segar rimpang (rhizoma) dari tanaman jahe Zingiber officinale var
emprit, yang sudah tua/matang fisiologis, berbentuk utuh dan segar serta
dibersihkan. jahe dinyatakan segar apabila kulit jahe tampak halus/tidak
mengkerut, kaku, dan mengkilat.

16
2. Bentuk Rimpang
Rimpang jahe dinyatakan utuh apabila maksimal 2 anak rimpang patah
pada pangkalnya
3. Rimpang Bertunas
Jahe segar dinyatakan rimpang bertunas apabila salah satu atau beberapa
ujung dari rimpang telah bertunas.
4. Kenampakan Irisan Melintang
Jahe segar bila diiris melintang pada salah satu rimpangnya dinyatakan
cerah apabila penampangnya berwarna cerah khas jahe segar
5. Serangga Hidup, Hama, dan Penyakit
Semua organisme yang dapat dilihat dengan mata tanpa pembesaran.
6. Rimpang yangTerluka
Rimpang yang luka pada jaringan endodermis
7. Rimpang Busuk
Rimpang dinyatakan busuk bila terdapat bagian yang lebih lunak yang
disebabkan jamur atau bakteri dari rimpang yang masih segar
8. Kadar Ekstrak Larut dalam Air
Persentase ekstrak yang larut dalam air dari bahan yang telah dikeringkan
di udara.

3.6 Simplisia Jahe Merah (Zingiber officinalis Var..Rubrum Rhizoma)

3.6.1 Makroskopik Jahe Merah (Zingiber officinalis Var..Rubrum Rhizoma)

Jahe merah ditandai dengan ukuran rimpang yang kecil, berwarna merah
jingga, berserat kasar, beraroma serta berasa tajam (pedas). Dipanen
setelah tua dan memiliki minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil sehingga
jahe merah pada umumnya dimanfaatkan
sebagai bahan baku obat-obatan.
21 Mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 1,70 % v/b
22 Identitas simplisia
 Pemerian, berupa irisan rimpang pipih, bagian ujung bercabang
pendek. Bentuk bulat telur terbalik. Pada setiap cabang terdapat

17
parut melekuk ke dalam. Warna putih kekuningan, bau khas, rasa
pedas. Dalam bentuk potongan, Panjang umumnya 3-4 cm, tebal 1-
6,5 mm. bagian luar berwarna cokelat kekuningan, baralur
memanjang terkadang terdapat serat bebas. Bekas patahan pendek
dan berserat menonjol. Pada irisan melintang terdapat berturut-
turut kosteks sempit yang tebalnya kurang lebih sepertiga jari-jari
dan endodermis. Berkas pengangkut tersebar berwarna kelabu sel
kelenjar berupa titik yang lebih kecil berwarna kekuningan.

Syarat mutu jahe kering (Sesuai SNI 01-3393-1994)

3.6.2 Mikroskopik Jahe Merah (Zingiber officinalis Var..Rubrum


Rhizoma)
Fragmen pengenal adalah serabut, butir amilum, berkas pengangkut,
parenkim dengan sel sekresi.

18
3.6.3 Standardisasi Simplisia Jahe Merah (Zingiber officinalis
Var..Rubrum Rhizoma)
 Senyawa marker identitas adalah shogaol

 Susut pengeringan tidak lebih dari 10 %


 Abu total tidak lebih dari 5,0 %
 Abu tidak larut asam tidak lebih dari 2,0 %
 Sari larut air tidak kurang dari 15,6 %
 Sari larut etanol tidak kurang dari 4,3 %

(Sumber: Farmakope Herbal Indonesia Edisi I hal 9)

3.6.4 Pola Kromatografi


Fase gerak : Toluen P-etil asetat
Fase diam : Silika gel 60 F254
Larutan Uji : 10% dalam etanol
Larutan Pembanding : Eugenol 1% dalam etanol

19
Volume Penotolan : Totolkan 3µL larutan uji dan 1 µL Larutan
pembanding
Deteksi : Anisaldehid-asam sulfat, panaskan lempeng
pada suhu 100oC selama 15 menit

3.7 Simplisia Jahe Gajah (Zingiber Offcinale var. officinarum)

3.7.1 Makroskopik Simplisia Jahe Gajah (Zingiber Offcinale var.


officinarum)

Jahe putih besar atau jahe gajah (Zingiber Offcinale var.


officinarum) memiliki rimpang yang jauh lebih besar dan gemuk namun
rasa dan aromanya kurang tajam dibanding jahe merah dan jahe putih kecil.
Jahe gajah berdiameter 48-85 mm, tinggi 62-113 mm dan panjang 158 – 327
mm. Kandungan minyak atsiri dalam jahe gajah adalah sekitar 0,82 – 2,8
%. (Setyawan, 2015). Kadar pati dalam jahe putih besar sebesar 55,10%,
kadar serat sebesar 6,89%, dan kadar abu 6,6-7,5%. Jika diiris rimpang jahe
putih besar berwarna putih kekuning-kuningan. Batangnya berbentuk bulat,
berwarna hijau, memiliki tinggi 55,88-88,38 cm, daunnya tersusun
berselang seling dengan luas 24,87-27,52 cm (Rukmana & Yudirachman
2016).

20
3.8 Kandungan Senyawa Aktif dalam Jahe Merah (Zingiber officinale var
rubrum) dan Jahe Gajah (Zingiber officinale Roscoe var officinale)

Biosistesis fitokimia sangat dipengaruhi oleh faktor sehingga perbedaan


faktor genetik yang ditampilkan dengan perbedaan varietas sangat berpengaruh
terhadap kadar dan komposisi minyak atsiri. Tumbuhan berbeda dari spesies yang
sama dapat menghasilkan minyak atsiri yang berbeda kadarnya (Hegarty dkk.,
2001).

Secara umum rimpang jahe mengandung 1-2% minyak atsiri, 5-8% zat
resin, tepung dan getah (Claus et al., 1970; Evans, 2009). Kandungan kimia jahe
merah bervariasi, ditentukan oleh lokasi penanaman. Pada rimpang jahe merah
penyusun utama minyak atsirinya adalah monoterpenoid (81,9%) dengan
kandungan terbanyak adalah camphene (14,7%), geranyl acetate (13,7%), geranial
(14,3%), neral (7,7%), geraniol (7,3%) dan 1,8-cineole (5%).

Pemetaan kandungan kimia jahe gajah telah banyak dilakukan, baik pada
jahe segar maupun jahe kering. Jolad et al menemukan beberapa senyawa baru pada
jahe segar yaitu paradol, dihidroparadol, gingerol dan derivatnya, shogaol, 3-
dihidroshogaol, gingerdiol dan turunannya, 1-dehydrogingerdiones,
diarylheptanoids. Jolad juga menentukan 6-gingerol sebagai marker utama dari
jahe. Pada jahe kering juga ditemukan beberapa senyawa baru yaitu 5-(4’-hydroxy-
3’-methoxyphenyl)pent-2-en-1-al dan 5-(4’-hydroxy-3’-methoxyphenyl)3-
hydroxy-1-pentanal. Kandungan shogaol lebih tinggi dibanding gingerol terdapat
pada jahe kering (Jolad et al, 2004; Jolad et al., 2005). Kandungan 6gingerol, 8-
gingerol, 10-gingerol, dan 6-shogaol dalam jahe merah lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jahe jenis lain (Dugasani et al., 2010).

21
Kandungan kimia khas dari jahe adalah gingerol dan shogaol. Kandungan
gingerol dan shogaol pada jahe merah lebih tinggi dibanding pada jahe gajah
sehingga dapat dikembangkan lebih jauh studi yang terkait dengan aktivitas
gingerol dan shogaol.

22
BAB IV

Pembahasan

Berdasarkan BPOM RI, No: HK.00.05.41.1384 persyaratan mutu obat


fitofarmaka ditentukan oleh, bahan utama, bahan tambahan dan produk jadi.
Penilaian mutu tersebut didasarkan oleh tempat perolehan daerah asal, jenis
simplisia, ekstrak maupun sediaan produk. Persyaratan yang lainnya, harus
lolos uji Nonklinik/praklinik dan Uji praklinik obat Fitofarmaka (BPOM RI,
No: HK.00.05.41.1384).
Bahan baku adalah semua bahan awal yang berkhasiat maupun yang
tidak berkhasiat, yang berubah maupun yang tidak berubah, yang digunakan
dalam pengolahan obat tradisional, walaupun tidak semua bahan tersebut
masih terdapat didalam produk ruahan (PERKAP BPOM RI,2014). Dalam
permasalahan ini kami menggunakan bahan baku berupa simplisia yaitu bahan
alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan belum
mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia
tidak lebih dari 60º. Syarat mutu untuk simplisia berdasarkan Farmakope
Herbal Indonesia (2008) meliputi identitas simplisia dan kandungan kimia
simplisia. Identitas simplisia yang digunakan untuk mengetahui mutu simplisia
antara lain:

1. pemerian,
2. mikroskopik,
3. senyawa identitas,
4. pola kromatografi,
5. susut pengeringan,
6. abu total,
7. abu tidak larut asam,
8. sari larut air dan sari larut etanol.
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap konsumsi
langsung, dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter standar
umum :

23
1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3
parameter mutu umum suatubahan (material), yaitu kebenaran jenis
(identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis)
serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, dan transportasi).
2. Bahwa simplisia sebagai bahan baku dan produk konsumsi manusia
sebagai obat tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk
kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu, Aman,
Manfaat). (Depkes RI, 2000)
3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang
bertanggung jawab terhadap respon biologis harus mempunyai
spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar)
senyawa kandungan. (Depkes RI, 2000)

Bahan baku dalam kasus ini yaitu jahe merah (Zingiber officinalis
Var..Rubrum Rhizoma. Jahe merah ditandai dengan ukuran rimpang yang
kecil, berwarna merah jingga, berserat kasar, beraroma serta berasa
tajam (pedas). Senyawa aktif yang ingin kami gunakan yaitu shogaol 1.36
mg/g yang berpotensi sebagai antiinflamasi. Sedangkan pada jahe putih besar
atau jahe gajah (Zingiber Offcinale var. officinarum) memiliki rimpang yang
jauh lebih besar dan gemuk namun rasa dan aromanya kurang tajam dibanding
jahe merah dan jahe putih kecil. Senyawa aktif shogaol juga terdapat pada jahe
gajah yaitu 0.92 mg/g yang berpotensi sebagai antiinflmasi.

Sehingga dapat disimpulkan bahan baku simplisia jahe gajah kami


terima dengan alasan memenuhi standardisasi simplisia jahe merah, kandungan
shogaol dengan kadar 0.92 mg/g berpotensi sebagai antiinflamasi. Jahe gajah
dan jahe merah memiliki aktivitas farmakologi yang sama. Aktivitas
farmakologi yang mirip ini disebabkan oleh adanya kesamaan kandungan

24
kimia namun kadarnya berbeda. Kandungan kimia khas dari jahe adalah
gingerol dan shogaol. Kandungan gingerol dan shogaol pada jahe merah lebih
tinggi dibanding pada jahe gajah sehingga dapat dikembangkan lebih jauh studi
yang terkait dengan aktivitas gingerol dan shogaol. Jahe merah memiliki
prospek pengembangan yang unggul sebagai obat yang berasal dari bahan
alam.

25
BAB V

Solusi

1). Parameter Pemilihan Bahan Baku

Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap konsumsi
langsung, dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter standar
umum :
4. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3
parameter mutu umum suatubahan (material), yaitu kebenaran jenis
(identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis)
serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, dan transportasi).
5. Bahwa simplisia sebagai bahan baku dan produk konsumsi manusia
sebagai obat tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk
kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu, Aman,
Manfaat). (Depkes RI, 2000)
6. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang
bertanggung jawab terhadap respon biologis harus mempunyai
spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa
kandungan. (Depkes RI, 2000)

2). Faktor yang dapat mempengaruhi kualitas bahan baku yang akan digunakan
antara lain :
1. Ketinggian
2. Temperatur
3. Curah hujan
4. Lamanya siang dan penerangan
5. Tanah dan kesuburan tanah

3). Standardisasi jahe merah,

 Senyawa marker identitas adalah shogaol


 Susut pengeringan tidak lebih dari 10 %
 Abu total tidak lebih dari 5,0 %

26
 Abu tidak larut asam tidak lebih dari 2,0 %
 Sari larut air tidak kurang dari 15,6 %
 Sari larut etanol tidak kurang dari 4,3 %

(Sumber: Farmakope Herbal Indonesia Edisi I hal 9)

Fase gerak : Toluen P-etil asetat


Fase diam : Silika gel 60 F254
Larutan Uji : 10% dalam etanol
Larutan Pembanding : Eugenol 1% dalam etanol
Volume Penotolan : Totolkan 3µL larutan uji dan 1 µL Larutan
pembanding
Deteksi : Anisaldehid-asam sulfat, panaskan lempeng
pada suhu 100oC selama 15 menit

Senyawa aktif yang ingin kami gunakan dari jahe merah yaitu shogaol
1.36 mg/g yang berpotensi sebagai antiinflamasi. Sedangkan pada jahe putih
besar atau jahe gajah (Zingiber Offcinale var. officinarum) memiliki rimpang yang
jauh lebih besar dan gemuk namun rasa dan aromanya kurang tajam dibanding jahe
merah dan jahe putih kecil. Senyawa aktif shogaol juga terdapat pada jahe gajah
yaitu 0.92 mg/g yang berpotensi sebagai antiinflmasi.
4). Bahan baku simplisia jahe gajah kami terima dengan alasan memenuhi
standardisasi simplisia jahe merah, kandungan shogaol dengan kadar 0.92
mg/g berpotensi sebagai antiinflamasi. Jahe gajah dan jahe merah memiliki
aktivitas farmakologi yang sama. Aktivitas farmakologi yang mirip ini disebabkan
oleh adanya kesamaan kandungan kimia namun kadarnya berbeda.

27
BAB VI
Daftar Pustaka

Agoes, Goeswin. 2009. Teknologi Bahan Alam (Serial Farmasi Industri 2) ed.
revisi. Bandung: ITB.

Claus EP, Tyler VE, Brady LR. 1970. Pharmacognosy 6th ed. London: Henry
Kimpton Publishers hal. 214.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Materia Medika Indonesia Jilid


VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2000.

Depkes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi i. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia. Hal 9.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope Herbal Indonesia


Edisi I. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dugasani S, Pichika MR, Nadarajah VD, Balijepalli MK, Tandra S, Korlakunta JN.
Comparative antioxidant and anti-inflammatory effects of [6]gingerol,
[8]-gingerol, [10]-gingerol and [6]shogaol. Journal of
ethnopharmacology. 2010;127(2):515-20.

Fathona, D dan C. Hany, W. 2011. Kandungan Gingerol dan Shogaol, Intensitas


Kepedasan dan Penerimaan Panelis terhadap Oleoresin Jahe Gajah
(Zingiber officinale var. Roscoe), Jahe Emprit (Zingiber officinale var.
Amarum), dan Jahe Merah (Zingiber officinale var. Rubrum). Institut
Pertanian Bogor.

Hegarty, M.P, E.E. Hegarty, and R.B.H. Wills. 2001. Australian Plant Bushfoods.
Kingston: Rural Industries Research and Development Corporation.

28
Hernani dan Hayani. Tanaman Jahe Merah (Zingiber Officinale Var Rubrum).hal
12 tahun 2001; Universitas Sumatera Utara.

Jolad SD, Lantz RC, Chen GJ, Bates RB, Timmermann BN. Commercially
processed dry ginger (Zingiber officinale): Composition and effects on
LPS-stimulated PGE2 production. Phytochemistry. 2005;66:1614-1635.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 760/Menkes/Per/ Lx/1992


tentang Fitofarmaka Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor:
HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat
Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2014. Persyaratan Mutu
Obat Tradisional. Jakarta.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2014 Tentang Persyaratan Mutu Obat Tradisional.

Rafi, Mohamad et all. 20120. Simultaneous determination of gingerols and shogaol


using capillary liquid chromatography and its application in discrimination
of three ginger varieties from Indonesia . Talanta 103. Halaman 28–32.

Rukmana, H.R. & Yudirachman, H.H. 2016. Budidaya & Pascapanen Tanaman
Obat Unggulan. Yogyakarta: Lily Publisher.

Setyawan, B., 2015. Peluang Usaha Budidaya Jahe. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.

Shah, Biren N., and A.K. Seth. 2010. Textbook of Pharmacognosy and
Phytochemistry. New Delhi : Reed Elsevier India Private Limited. Page : 31-
35, 93-96.

29
30
31

Anda mungkin juga menyukai