Anda di halaman 1dari 56

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Atas dan rahmatnya penulisan buku
Farmakognosi Uji Fitofarmasi ini dapat diselesaikan.

Farmakognosi merupakan salah satu ilmu yang mempelajari tentang bagian-bagian


tanaman atau hewan yang dapat digunakan sebagai obat alami yang telah melewati berbagai
macam uji sperti uji farmakodinamik, uji toksikologi dan uji biofarmasetika.

Praktikum Fitofarmasi bertujuan untuk memberikan keterampilan kepada mahasiswa


dalam uji fitofarmasi sediaan bahan alam (sediaan fitofarmasi), baik itu uji skrining
fitofarmasi maupun identifikasi dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

Akhirnya, kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kkat sempurna. Saran dan
kritik dari para pembaca akan sangat kami harapkan untuk kesempurnaan buku ini.

Malang, April 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... ii
BAB 1 FARMAKOGNOSI UMUM ............................................................................................................. 1
Pengertian Farmakognosi ................................................................................................................... 1
Sejarah Farmakognosi ......................................................................................................................... 1
Peran Farmakognosi ........................................................................................................................... 1
BAB 2 SIMPLISIA ..................................................................................................................................... 3
Pengertian Simplisia............................................................................................................................ 3
Penamaan Simplisia ............................................................................................................................ 3
Jenis-jenis Simplisia ............................................................................................................................. 4
Prosedur Pembuatan Simplisia ......................................................................................................... 16
Pengujian Simplisia ........................................................................................................................... 21
BAB 3 EKSTRAKSI .................................................................................................................................. 23
Pengertian Ekstraksi.......................................................................................................................... 23
Klasifikasi Ekstraksi............................................................................................................................ 23
Metode Pembuatan Ekstraksi ........................................................................................................... 26
Pengaruh waktu ekstraksi ................................................................................................................. 30
BAB 4 SKRINING FITOFARMASI ............................................................................................................ 31
Skrining Fitokimia Alkaloid ................................................................................................................ 31
Skrining Fitokimia Glikosida Saponin, Triterpenoid Dan Steroi ........................................................ 31
Skrining Fitokimia Golongan Flavonoid............................................................................................. 32
Skrining Fitokimia Golongan Polifenol Dan Tanin ............................................................................. 33
Skrining Fitokimia Golongan Antrakinon .......................................................................................... 34
BAB 5 KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)............................................................................................. 36
Gambaran Umum KLT ....................................................................................................................... 36
Sejarah KLT ........................................................................................................................................ 38
Tahapan Metode Analisis KLT ........................................................................................................... 39
Identifikasi alkaloid secara KLT ........................................................................................................ 50
ii
Identifikasi Sapogenin Steroid Atau Triterpenoid Secara KLT .......................................................... 50
Identifikasi Terpenoid Atau Steroid Bebas Secara KLT ..................................................................... 51
Identifikasi Flavonoid Secara KLT ...................................................................................................... 51
Identifikasi Golongan Polifenol Dan Tanin Secara KLT...................................................................... 51
Identifikasi Golongan Antrakinon Secara KLT ................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. lii

iii
BAB 1 FARMAKOGNOSI UMUM

Pengertian Farmakognosi
Farmakognosi merupakan salah satu ilmu yang mempelajari tentang bagian-bagian
tanaman atau hewan yang dapat digunakan sebagai obat alami yang telah melewati berbagai
macam uji sperti uji farmakodinamik, uji toksikologi dan uji biofarmasetika.

Farmakognosi berasal dari kata pharmakon yang berarti obat dan gnosis yang berarti
pengetahuan, melalui perkembangan ilmu lebih lanjut, para ahli kimia mulai memberikan
perhatian pada senyawa-senyawa kimia kandungan bahan alam yang diduga mempunyai
khasiat bagi kesehatan.

Sejarah Farmakognosi
Dalam sejarah penemuan obat bahan alam di mulai dari pengetahuan manusia akan
khasiat bahan alam bagi kesehatan yang merupakan awal dari berkembangnya farmakognosi.
Bukti dari hal itu dapat diketahui melalui buku material medika yang diterbitkan sebelum
abad 19 yakni buku pertama yang memuat tentang khasiat dan penggunaan lebih kurang
600 macam obat dari bahan alam “tanaman, hewan, mineral”.
Sejak saat itu terjadi peningkatan yang pesat terhadap pengetahuan mengenai obat
dari bahan alam sehingga dianggap perlu untuk mengadakan pemisahan disiplin ilmu, oleh
karena itu pada abad 19, material medika sudah memiliki dua disiplin ilmu yaitu:
1. Farmakologi yang mempelajari kerja obat “action of drug”
2. Farmakognosi yang mempelajari segala aspek obat dari alam

Peran Farmakognosi
Penggunaan tumbuhan obat sebagai obat di Indonesia telah meningkat, akan tetapi
dalam penggunaannya masih banyak hanya sebatas pengalaman yang diturunkan dari nenek
moyang bangsa Indonesia. Disini peran ilmu farmakognosi yang memilah tanaman yang
berkhasiat obat atau tidaknya dengan berbagai tes yang dilakukan terhadap tumbuhan
tersebut seperti kromatografi, spektrofotometri dan lain-lain.
Alam memberikan kepada kita bahan alam darat atau laut berupa tumbuhan, hewan
dan mineral yang jika diadakan identifikasi dan menentukan sistematikanya maka diperoleh

1
2

bahan alam berkhasiat obat. Jika bahan alam yang berkhasiat obat ini dikoleksi, dikeringkan,
diolah, diawetkan dan disimpan, akan diperoleh bahan yang siap pakai atau yang disebut
dengan simplisia disinilah keterkaitannya dengan farmakognosi.
Beberapa istilah dalam pembelajaran farmakognosi yaitu :
a. Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan
b. Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat
tanaman
c. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel
dengan cara tertentu di keluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan
cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni
d. Simplisia mineral adalah simplisia yang berupa mineral (pelikan) yang belum diolah
dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni
e. Alkaloida adalah suatu basa organic yang mengandung unsur nitrogen yang umumnya
berasal dari tanaman, yang mempunyai efek fisiologis kuat/keras terhadap manusia
f. Glikosida adalah suatu zat yang oleh enzim tertentu akan terurai menjadi satu macam
gula serta satu atau lebih bukan zat gula
g. Enzim adalah suatu biokatalisator yaitu senyawa atau zat yang berfungsi mempercepat
reaksi biokimia/metabolism dalam tubuh organisme
h. Vitamin adalah suatu zat yang dalam jumlah sedikit sekali diperlukan oleh tubuh manusia
untuk membentuk metabolism tubuh. Tubuh manusia sendiri tidak dapat memproduksi
vitamin
i. Hormon adalah suatu zat yang dikeluarkan oleh kelenjar endokrin yang mempengaruhi
faal, tubuh dan mempengaruhi besar bentuk tubuh
j. Pemerian adalah uraian tentang bentuk, bau, rasa, warna simplisia, jadi merupakan
informasi yang diperlukan pada pengamatan terhadap simplisia nabati yang berupa bagian
tanaman (kulit, daun, akar, dan sebagainya)
BAB 2 SIMPLISIA

Pengertian Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah
dikeringkan. Biasanya simplisia berasal dari tumbuhan yang diperoleh dengan cara
menebang atau memungut langsung dari tempat tumbuh alami atau dari tanaman yang
dibudidayakan.

Simplisia atau Herbal adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobtan dan belum mengalami pengolahan. Kecuali
dikatakan lain suhu pengerigan simplisia tidak lebih dari 60o C. (Farmakophe
Herbal Indonesia, 2008).

Penamaan Simplisia
a. Tata Nama Simplisia
Dalam ketentuan umum Farmakope Indonesia disebutkan bahwa nama simplisia
nabati ditulis dengan menyebutkan nama genus atau spesies nama tananman, diikuti
nama bagian tanaman yang digunakan. Ketentuan ini tidak berlaku untuk simplisisa
nabati yang diperoleh dari beberapa macam tanaman dan untuk eksudat nabati.
Contoh

Genus + nama bagian tanaman : Cinchonae Cortex, Digitalis Folium, Thymi Herba,
Zingiberis Rhizoma.

Petunjuk spesies + nama bagian tanaman : Belladonnae Herba, Serpylli Herba.

Genus+petunjuk spesies+nama bagian tanaman : Capsici frutescentis Fructus.

b. Tata Nama Latin Tanaman

Nama latin tananman terdidri dari 2 kata, kata pertama mennnjukkan genus dan kata
kedua menunjukkan spesies, misalnya nama latin pada Oryza sativa, jadi Oryza
adalah genusnya sedangkan sativa adalah spesiesnya. Huruf pertama dari genus ditulis

3
4
dengan huruf besar dan huruf pertama dari petunjuk spesies ditulis dengan huruf
kecil.

Nama latin tanaman tidak boleh lebih dari 2 perkataan, jika lebih dari 2 kata (3 kata),
2 dari 3 kata tersebut harus digabungkan dengan tanda (-). Contoh : Hibiscus rosa-
sinensis

Kadang-kadang terjadi penggunaan 1 nama latin terhadap 2 tanaman yang berbeda,


hal ini disebut homonim dan keadaan ini terjadi sehingga ahli botani lain keliru
menggunakan nama latin yang bersangkutan terhadap tanaman lain yang juga cocok
dengan uraian morfologis tersebut.

Jenis-jenis Simplisia
1. Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman,
eksudat tanaman, atau gabungan antara ketiganya. Eksudat tanaman adalah isi sel yang
secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel dengan cara tertentu di keluarkan dari
selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya
dan belum berupa zat kimia murni. Contohnya Amilum, Folium, Herba, Flos, Fructus,
Radix, Rhizoma, Cortex, Lignum
AMYLUM
Amylum diambil dari farinanya, yaitu bentuk pati kasar ditambah air, kemudian
disaring. Filtrate yang didapat kemudian diendapkan. Endapan tersebut diambil sebagai
Amylum setelah dikeringkan.
Contoh :
Amylum Oryzae ( Pati Beras)
Tanaman : Oryza sativa L.
Familia : Poaceae
Karakteristik : terdiri atas butir-butir tunggal atau majemuk
Berbentuk segi banyak (poligon) berukuran 5 µm
Umumnya tidak mempunyai hilus, pada pembesaran kuat tedapat hilus
Amylum Solani (Pati Kentang)
Tanaman : Solanum tuberosum L
Familia : Solanaceae
Karakteristik : Terdiri atas butir-butir tunggal
5
Butir pati berbentuk oval, bulat. Berukuran 100 µm
Lamela jelas, hilus eksentris (dipinggir)

FOLIUM

APII GRAVEOLENTIS FOLIUM

Nama Lain : Daun seledri


Nama Tanaman Asal : Apium graveolens
Keluarga : Apiaceae
Zat Berkhasiat : Flavo-glukosida zat pahit ,minyak atsiri, vitamin
Penggunaan : stomakika, diuretika

ABRI FOLIUM

Nama Lain : Daun saga


Nama Tanaman Asal : Abrus precatorius
Keluarga : Papilionaceae
6
Zat Berkhasiat : Glisirizin ,Ca-Oksalat
Penggunaan : Obat Sariawan

MELALEUCAE FOLIUM

Nama Lain : Daun kayu putih


Nama Tanaman Asal : Melaleuca leucadendra
Keluarga : Myrtaceae
Zat Berkhasiat : Minyak atsiri, sineol
Penggunaan : Perdarahan stomachicum, spasmolika

GUAZUMAE FOLIUM
7

Nama Lain : Daun jatiblanda


Nama Tanaman Asal : Guazuma ulmifolia
Keluarga : Sterculiaceae
Zat Berkhasiat : Zat penyamak (tanin), lendir, damar
Penggunaan : Astringen, obat langsing

HERBA

ANDROGRAPHIDIS HERBA

Nama lain : Sambiloto


Nama tanaman asal : Andrographis paniculata (Nees)
Keluarga : Acanthaceae
Zat berkhasiat utama / isi : Minyak atsiri, alkaloida, asam kersik, damar, garam
alkali, androgen folida dan kamelgin.
Penggunaan : Tonikum, antipiretika, diuretika.
Pemerian : Tidak berbau, rasa sangat pahit.
Bagian yang digunakan : Ranting berdaun.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
8
PHYLLANTHI HERBA

Nama lain : Meniran


Nama tanaman asal : Phyllanthus niruri (L)
Keluarga : Euphorbiaceae
Zat berkhasiat utama / isi : Zat pahit filantin, damar, mineral, zat penyamak
Penggunaan : Diuretika
Pemerian : Bau aromatik , rasa pahit
Bagian yang digunakan : Semua bagian diatas tanah
Keterangan :
- Penyimpanan : Dalam wadah tertutup bai

CORTEX

ALSTONIAE CORTEX (MMI)


9
Nama lain : Kulit Pule

Nama tanaman asal : Alstonia scholaris (L) R.Br

Keluarga : Apocynaceae

Zat berkhasiat utama / isi : Alkaloida- alkaloida ditamina, ekitamina, ekhitenina,


akhitamidina, alstonina

Penggunaan : Antipiretika, antimalaria, stomakika, antidiabetika,


antelmintika

Pemerian : Tidak berbau, rasa pahit, yang tidak mudah hilang

Bagian yang digunakan : Kulit batang dan kulit cabang

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

ALYXIAE CORTEX (MMI)

Nama lain : Pulasari

Nama tanam asal : Alyxia reinwardtii (BL), juga disebut Alyxia stellata
(Roomset Schult)

Keluarga : Apocynaceae

Zat berkhasiat utama / isi : Alkaloida zat pahit, kumarin, zat penyamak, minyak atsiri,
asam organik

Penggunaan : Bahan pewangi, (campuran boreh), karminativa, antidemam


10
Pemerian : Bau dan rasa mirip kumarin, agak pahit

Bagian yang digunakan : Kulit batang dan kulit cabang

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

RHIZOMA

CURCUMAE AERUGINOSAE RHIZOMA

Nama lain : Temu hitam


Nama tanaman asal : Curcuma aeruginosa (Roxb)
Keluarga : Zingiberaceae
Zat berkhasiat utama/isi : Minyak atsiri, pati, damar,
lemak Persyaratan kadar : Minyak atsiri tidak kurang dari 0,3 %
Penggunaan : Bagian dari jamu, antirematik, karminativa
Pemerian : Bau aromatik lemah, rasa sangat pahit, lama – lama
menimbulkan rasa tebal
Bagian yang digunakan : Kepingan – kepingan akar tinggal yangdikeringkan
Keterangan
- Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
11
LANGUATIS RHIZOMA

Nama lain :Laos, Lengkuas, Galanga Rhizoma


Nama tanaman asal : Alpina officinarum (Hance),
Alpinia galanga(L),
Languas galanga (L)
Keluarga : Zingiberaceae
Zat berkhasiat utama/isi : Minyak atsiri yang mengandung; metilsinamat, sineol,
kamfer dan galangol
Penggunaan :Bumbu, karminativa, antifungi
Pemerian :Bau aromatik, rasa pedas
Bagian yang digunakan :Akar tinggal
Keterangan :
- Waktu panen :Pada umur 2,5 – 4 bulan , agar diperoleh rimpang muda
yang belum banyak berserat. Cara panen dilakukan dengan mencabut tanaman ,
rimpang dipisahkan dari batang, kemudian dicuci dan dikeringkan.
- Penyimpanan :Dalam wadah tertutup baik
12
RADIX

CATHARANTHI RADIX

Nama lain : Akar Tapak dara

Nama tanaman asal : Catharanthus roseus (L), Vinca rosea (L), Lochnera rosea

Keluarga : Apocynaceae

Zat berkhasiat utama /isi : Alkaloida: ajmalisin, serpentina, tetrahidroalstonin, vindesin,


vinkristin, vinblastin

Penggunaan : Peluruh kemih (emenagoga), obat diabetes, obat kanker

Pemerian : Tidak berbau, rasa pahit

Bagian yang digunakan : Akar

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik


13
GLYCYRRHIZAE RADIX

Nama lain : Akar manis, Liquiritae Radix

Nama tanaman asal : Glycyrrhiza glabra varietas typical, Glycyrrhiza glabra,


varietas glandulifera dan jenis Glycyrrhiza lainnya

Keluarga : Papilionaceae

Zat berkhasiat utama / isi : Glysirisin dengan kadar 5-10 %, yaitu garam K dan Ca dari
asam glisirizat (zat ini 50 x lebih manis dari gula tebu), pati, gula, asparagin

Persyaratan kadar : Kadar zat yang larut dalam air tidak kurang dari 20%,
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan di udara

Penggunaan : Antitusiva.

Akar dalam bentuk serbuk sebagai pengisi/pembalut pil

Ekstrak untuk pewangi tembakau dan campuran obat batuk

Pemerian : Bau khas lemah, rasa manis

Bagian yang digunakan : Akar dan batang dibawah tanah

Waktu panen : Akar-akar digali tiap 3 tahun, disisakan secukupnya agar


dapat dipungut pada tahun berikutnya

Jenis-jenisnya : Glycyrrhiza glabra varietas typical berasal dari Spanyol

Glycyrrhiza glabra varietas glandulifera berasal dari Rusia

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Keterangan lain : Yang belum dikupas berwarna coklat kekuningan atau coklat
tua, berkeriput memanjang kadang – kadang terdapat tunas kecil dan daun sisik yang
tersusun melingkar.
14
FLOS

CARYOPHYLLI FLOS

Nama lain : Cengkeh

Tanaman asal : Eugenia caryophyllus spreng.

Keluarga : Myrtaceae

Zat berkhasiat utama/isi :

Minyak atsiri mengandung eugenol , zat serupa damar yang tdak berasa, zat hablur
berupa jarum yang disebut kariofilin, zat penyamak, dan gom

Persyaratan kadar : Kadar minyak atsiri tidak kurang dari 15,0

Penggunan : Stimulansia, obat mulas, menghilangkan rasamual dan muntah

Pemerian : Bau aromatik kuat, rasa pedas

Bagian yg digunakan : Bunga yang masih kuncup

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik


15
LIGNUM

SAPPAN LIGNUM

Nama lain : Kayu secang

Nama tanaman asal : Caesalpinia sappan

Keluarga : Caesalpiniaceae

Zat berkhasiat utama : Brazilin, zat warna merah sappan, asam tanat, asam galat

Penggunaan : Astringensia, luka memar, batuk darah, sipili

Pemerian : Tidak berbau, rasa kelat

Bagian yang digunakan : Irisan-irisan kecil atau serutan-serutan kayu

Keterangan Penyimpanan : Dalam wadah tertutup


16
2. Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang dapat berupa hewan utuh atau zat-zat berguna
yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni. Misalnya minyak ikan
dan madu.
3. Simplisia pelikan atau mineral
Simplisia mineral adalah simplisia berupa bahan mineral yang belum diolah atau telah
diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni, contoh serbuk seng
dan serbuk tembaga.

Prosedur Pembuatan Simplisia


a. Pemanenan
Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan
bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering.Alat yang diguna-kan dipilih dengan
tepat untuk mengurangi terbawanya bahan atau tanah yang tidak diperlukan. Seperti
rimpang, alat untuk panen dapat menggunakan garpu atau cangkul. Bahan yang rusak
atau busuk harus segera dibuang atau dipisahkan. Penempatan dalam wadah (keran-
jang, kantong, karung dan lain-lain) tidak boleh terlalu penuh sehingga bahan tidak
menumpuk dan tidak rusak. Selanjutnya dalam waktu pengangkutan diusahakan
supaya bahan tidak terkena panas yang berlebihan, karena dapat menyebab-kan
terjadinya proses fermentasi/ busuk. Bahan juga harus dijaga dari gang-guan hama
(hama gudang, tikus dan binatang peliharaan).
b. Penanganan Pasca Panen
Pasca panen merupakan kelanjut-an dari proses panen terhadap tanaman
budidaya atau hasil dari penambangan alam yang fungsinya antara lain untuk
membuat bahan hasil panen tidak mudah rusak dan memiliki kualitas yang baik serta
mudah disimpan untuk diproses selanjutnya. Untuk memulai proses pasca panen
perlu diperhatikan cara dan tenggang waktu pengumpulan bahan tanaman yang ideal
setelah dilakukan proses panen tanaman tersebut. Selama proses pasca panen sangat
penting diperhatikan keber-sihan dari alat-alat dan bahan yang digunakan, juga bagi
pelaksananya perlu memperhatikan perlengkapan seperti masker dan sarung
tangan. Tujuan dari pasca panen ini untuk menghasilkan simplisia tanaman obat yang
bermutu, efek terapinya tinggi sehingga memiliki nilai jual yang tinggi.
17
c. Penyortiran (segar)
Penyortiran segar dilakukan setelah selesai panen dengan tujuan untuk
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing, bahan yang tua dengan yang
muda atau bahan yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Bahan nabati yang baik
memiliki kandungan campuran bahan organik asing tidak lebih dari 2%. Proses
penyortiran pertama bertujuan untuk memisahkan bahan yang busuk atau bahan yang
muda dan yang tua serta untuk mengurangi jumlah pengotor yang ikut terbawa dalam
bahan.
d. Pencucian
Pencucian bertujuan menghilang-kan kotoran-kotoran dan mengurangi
mikroba-mikroba yang melekat pada bahan.Pencucian harus segera di-lakukan setelah
panen karena dapat mempengaruhi mutu bahan. Pen-cucian menggunakan air bersih
seperti air dari mata air, sumur atau PAM. Penggunaan air kotor menye-babkan
jumlah mikroba pada bahan tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Pada saat
pencucian per-hatikan air cucian dan air bilasan-nya, jika masih terlihat kotor ulangi
pencucian/pembilasan sekali atau dua kali lagi.Perlu diperhatikan bahwa pencucian
harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mung-kin untuk menghindari larut dan
terbuangnya zat yang terkandung dalam bahan. Pencucian bahan dapat dilakukan
dengan beberapa cara antara lain.
Perendaman bertingkat
Perendamana biasanya dilakukan pada bahan yang tidak banyak
mengandung kotoran seperti daun, bunga, buah dll. Proses perendaman dilakukan
beberapa kali pada wadah dan air yang berbeda, pada rendaman pertama air cuciannya
mengandung kotoran paling banyak. Saat perendaman kotoran-kotoran yang melekat
kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung dengan tangan. Metoda ini akan
menghemat peng-gunaan air, namun sangat mudah melarutkan zat-zat yang
terkandung dalam bahan.
Penyemprotan
Penyemprotan biasanya dilakukan pada bahan yang kotorannya banyak
melekat pada bahan seperti rimpang, akar, umbi dan lain-lain. Proses penyemprotan
dilakukan de-ngan menggunakan air yang ber-tekanan tinggi. Untuk lebih me-
nyakinkan kebersihan bahan, ko-toran yang melekat kuat pada bahan dapat
dihilangkan langsung dengan tangan. Proses ini biasanya meng-gunakan air yang
18
cukup banyak, namun dapat mengurangi resiko hilang/larutnya kandungan dalam
bahan.
Penyikatan (manual maupun oto-matis)
Pencucian dengan menyikat dapat dilakukan terhadap jenis bahan yang
keras/tidak lunak dan kotoran-nya melekat sangat kuat. Pencucian ini memakai alat
bantu sikat yang di- gunakan bentuknya bisa bermacam-macam, dalam hal ini perlu
diper-hatikan kebersihan dari sikat yang digunakan. Penyikatan dilakukan terhadap
bahan secara perlahan dan teratur agar tidak merusak bahannya. Pem-bilasan
dilakukan pada bahan yang sudah disikat.Metode pencuci-an ini dapat menghasilkan
bahan yang lebih bersih dibandingkan de-ngan metode pencucian lainnya, namun
meningkatkan resiko kerusa-kan bahan, sehingga merangsang tumbuhnya bakteri atau
mikro-organisme.
Perajangan
Perajangan pada bahan dilakukan untuk mempermudah proses selanjutnya
seperti pengeringan, pengemasan, penyulingan minyak atsiri dan
penyimpanan. Perajangan biasanya hanya dilakukan pada bahan yang ukurannya
agak besar dan tidak lunak seperti akar, rim-pang, batang, buah dan lain-lain. Ukuran
perajangan tergantung dari bahan yang digunakan dan ber-pengaruh terhadap kualitas
simplisia yang dihasilkan. Perajangan terlalu tipis dapat mengurangi zat aktif yang
terkandung dalam bahan. Sedangkan jika terlalu tebal, maka pengurangan kadar air
dalam bahan agak sulit dan memerlukan waktu yang lama dalam penjemuran dan
kemungkinan besar bahan mudah ditumbuhi oleh jamur.Ketebalan perajangan untuk
rimpang temulawak adalah sebesar 7 – 8 mm, jahe, kunyit dan kencur 3 – 5
mm. Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual dengan pisau yang tajam dan
terbuat dari steinlees ataupun dengan mesin pemotong/ perajang. Bentuk irisan split
atau slice tergantung tujuan pemakaian. Untuk tujuan mendapatkan minyak atsiri
yang tinggi bentuk irisan sebaiknya adalah membujur (split) dan jika ingin bahan
lebih cepat kering bentuk irisan sebaiknya me-lintang (slice).
e. Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara pengawetan atau pengolahan pada bahan
dengan cara mengurangi kadar air, sehingga proses pem-busukan dapat
terhambat. Dengan demikian dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah rusak
dan tahan disimpan dalam waktu yang lama Dalam proses ini, kadar air dan reaksi-
reaksi zat aktif dalam bahan akan berkurang, sehingga suhu dan waktu pengeringan
19
perlu diperhati-kan. Suhu pengeringan tergantung pada jenis bahan yang
dikeringkan. Pada umumnya suhu pengeringan adalah antara 40 – 600C dan hasil
yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar air
10%. Demikian pula de-ngan waktu pengeringan juga ber-variasi, tergantung pada
jenis bahan yang dikeringkan seperti rimpang, daun, kayu ataupun bunga. Hal lain
yang perlu diperhatikan dalam pro-ses pengeringan adalah kebersihan (khususnya
pengeringan mengguna-kan sinar matahari), kelembaban udara, aliran udara dan tebal
bahan (tidak saling menumpuk). Penge-ringan bahan dapat dilakukan secara
tradisional dengan menggunakan sinar matahari ataupun secara mo-dern dengan
menggunakan alat pe-ngering seperti oven, rak pengering, blower ataupun
dengan fresh dryer.
Pengeringan hasil rajangan dari temu-temuan dapat dilakukan dengan
menggunakan sinar matahari, oven, blower dan fresh dryer pada suhu 30 –
500C. Pengeringan pada suhu terlalu tinggi dapat merusak komponen aktif, sehingga
mutunya dapat menurun. Untuk irisan rim-pang jahe dapat dikeringkan meng-gunakan
alat pengering energi surya, dimana suhu pengering dalam ruang pengering berkisar
antara 36 – 450C dengan tingkat kelembaban 32,8 – 53,3% menghasilkan kadar
minyak atsiri lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari lang-sung
maupun oven. Untuk irisan temulawak yang dikeringkan dengan sinar matahari
langsung, sebelum dikeringkan terlebih dulu irisan rimpang direndam dalam larutan
asam sitrat 3% selama 3 jam. Selesai peren-aman irisan dicuci kembali sampai bersih,
ditiriskan kemudian dijemur dipanas matahari. Tujuan dari perendaman adalah untuk
mencegah terjadinya degradasi kur-kuminoid pada simplisia pada saat penjemuran
juga mencegah peng-uapan minyak atsiri yang berlebihan. Dari hasil analisis
diperoleh kadar minyak atsirinya 13,18% dan kur-kumin 1,89%. Di samping meng-
gunakan sinar matahari langsung, penjemuran juga dapat dilakukan dengan
menggunakan blower pada suhu 40 – 500C. Kelebihan dari alat ini adalah
waktu penjemuran lebih singkat yaitu sekitar 8 jam, di-bandingkan dengan sinar
matahari membutuhkan waktu lebih dari 1 minggu. Pelain kedua jenis pengeri-ng
tersebut juga terdapat alat pengering fresh dryer, dimana suhunya hampir sama
dengan suhu ruang, tempat tertutup dan lebih higienis. Kelemahan dari alat ter-sebut
waktu pengeringan selama 3 hari. Untuk daun atau herba, penge-ringan dapat
dilakukan dengan me-nggunakan sinar matahari di dalam tampah yang ditutup dengan
20
kain hitam, menggunakan alat pengering fresh dryer atau cukup dikering-anginkan
saja.
Pengeringan dapat menyebabkan perubahan-perubahan hidrolisa enzi-matis,
pencokelatan, fermentasi dan oksidasi. Ciri-ciri waktu pengering-an sudah berakhir
apabila daun atau-pun temu-temuan sudah dapat di-patahkan dengan mudah. Pada
umumnya bahan (simplisia) yang sudah kering memiliki kadar air ± 8 – 10%. Dengan
jumlah kadar air tersebut kerusakan bahan dapat ditekan baik dalam pengolahan mau-
pun waktu penyimpanan.
f. Penyortiran (kering).
Penyortiran dilakukan bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing yang
terdapat pada simplisia, misalnya akar-akar, pasir, kotoran unggas atau benda asing
lainnya. Proses penyortiran merupakan tahap akhir dari pembuatan simplisia kering
sebelum dilakukan pengemasan, penyimpanan atau pengolahan lebih lanjut. Setelah
penyortiran simplisia ditimbang untuk mengetahui rendemen hasil dari proses pasca
panen yang dilakukan.
g. Pengemasan
Pengemasan dapat dilakukan terhadap simplisia yang sudah di-
keringkan. Jenis kemasan yang di-gunakan dapat berupa plastik, kertas maupun
karung goni.Persyaratan jenis kemasan yaitu dapat menjamin mutu produk yang
dikemas, mudah dipakai, tidak mempersulit penanganan, dapat melindungi isi pada
waktu pengangkutan, tidak beracun dan tidak bereaksi dengan isi dan kalau boleh
mempunyai bentuk dan rupa yang menarik.
Berikan label yang jelas pada tiap kemasan tersebut yang isinya menuliskan ;
nama bahan, bagian dari tanaman bahan yang digunakan, tanggal pengemasan,
nomor/kode produksi, nama/alamat penghasil, berat bersih, metode pe-nyimpanan.
h. Penyimpanan
Penyimpanan simplisia dapat di-lakukan di ruang biasa (suhu kamar) ataupun
di ruang ber AC. Ruang tempat penyimpanan harus bersih, udaranya cukup kering dan
ber-ventilasi. Ventilasi harus cukup baik karena hama menyukai udara yang lembab
dan panas. Perlakuan sim-plisia dengan iradiasi sinar gamma dosis 10 kGy dapat
menurunkan jumlah patogen yang dapat meng-kontaminasi simplisia tanaman obat.
Dosis ini tidak merubah kadar air dan kadar minyak atsiri simplisia selama
penyimpanan 3 – 6 bulan. Jadi sebelum disimpan pokok utama yang harus diperhati-
kan adalah cara penanganan yang tepat dan higienes.
21
Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai tempat penyimpanan simplisia adalah :
a. Gudang harus terpisah dari tem-pat penyimpanan bahan lainnya ataupun
penyimpanan alat dan dipelihara dengan baik.
b. Ventilasi udara cukup baik dan bebas dari kebocoran atau ke-mungkinan masuk
air hujan.
c. Suhu gudang tidak melebihi 300C.
d. Kelembabab udara sebaiknya di-usahakan serendah mungkin (650 C) untuk
mencegah terjadinya penyerapan air. Kelembaban udara yang tinggi dapat
memacu pertumbuhan mikroorganisme se-hingga menurunkan mutu bahan baik
dalam bentuk segar maupun kering.
e. Masuknya sinar matahari lang-sung menyinari simplisia harus dicegah.
f. Masuknya hewan, baik serangga maupun tikus yang sering me-makan simplisia
yang disimpan harus dicegah.(Anonim : 2009

Pengujian Simplisia
1. Susut pengeringan
Pada uji susut pengeringan, dilakukan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperatur105o C selama 60 menit, 90 menit, dan 120 menit atau sampai berat
konstan. Pada suhu 105o C ini, air akan menguap, dan senyawa-senyawa yang
mempunyai titik didih yang lebih rendah dari air akan ikut menguap juga. Susut
pengeringan dinyatakan sebagai nilai prosen terhadap bobot awal.
Rumus :
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
Susut pengeringan = × 100 %
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎

2. Parameter Kadar Air


Parameter kadar air merupakan pengukuran kandungan air yang berada di dalam
bahan. Penetapan parameter dilakukan dengan cara yang tepat yaitu titrasi,
destilasi atau gravimetri. Tujuan dari parameter ini adalah memberikan batasan
maksimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan (Anonim,
2000).
3. Kadar abu
Bahan yang dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya
terdekstruksi dan menguap. Sehingga tinggal unsur mineral dan organik. Tujuan
dari parameter ini adalah memberikan gambaran kandungan mineral internal dan
22
eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak (Anonim,
2000).
4. Kadar abu tidak larut asam
Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu pada penetapan kadar abu yang
tidak larut dalam asam ketika dilarutkan dengan pelarut asam (Anonim, 2000).
Lima g serbuk simplisa dimaserasi dengan 100 ml etanol selama 24 jam seperti
tertera pada monografi, menggunakan labu bersumbat sambil sekali-sekali
dikocok selama 6 jam pertama, kemudian didiamkan. Disaring cepat, 20 ml filtrat
diuapkan dalam cawan dangkal (Depkes, 1989).
BAB 3 EKSTRAKSI

``

Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan, penarikan atau pengeluaran suatu komponen
cairan/campuran dari campurannya. Biasanya menggunakan pelarut yang sesuai dengan
komponen yang diinginkan. Cairan dipisahkan dan kemudian diuapkan sampai pada
kepekatan tertentu. Ekstraksi memanfaatkan pembagian suatu zat terlarut antar dua pelarut
yang tidak saling tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut
lain. Ekstraksi memegang peranan penting baik di laboratorium maupun industry. Di
laboratorium, ekstraksi seringkali dilakukan untuk menghilangkan atau memisahkan zat
terlarut dalam larutan dengan pelarut air yang diekstraksi dengan pelarut lain seperti eter,
kloroform, karbondisulfida atau benzene.

Klasifikasi Ekstraksi
Beberapa cara dapat mengklasifikasikan system ekstraksi. Cara kalsik adalah
mengklasifikasi berdasarkan sifat zat yang diekstraksi, sebagai khelat atau system ion
berasosiasi. Akan tetapi klasifikasi sekarang didasarkan pada hal yang lebih ilmiah, yaitu
proses ekstraksi. Bila ekstraksi ion logam berlangsung, maka proses ekstraksi berlangsung
dengan mekanisme tertentu. Berarti jika ekstraksi berlangsung melalui pembentukan khelat
atau struktur cincin, ekstraksi dapat diklasifikasikan sebagai ekstraksi khelat.

Suatu zat pengkelat lain yang sangat penting untuk ekstraksi pelarut dari ion logam
adalah difeniltiokarbazon atau “ditizon”. Ditizon dan kelat logamnya sangat tak-dapat larut
dalam air, tetapi dapat larut dalam pelarut semacam kloroform dan karbon letraklorida.
Larutan reagensia itu sendiri adalah hijau tua, semenlara kompleks logam adalah violet tua,
merah, jingga, kuning atau warna lain bergantung pada ion logamnya, logam yang
membentuk ditizonat antara lain Mn, Fe, Co, Ni, Cu, Zn, Pd, Ag, Cd, In, Sn, dan Pb.
Konsentrasi kelat dalam ekstrak itu normalnya ditetapkan secara spektrofotometris.

Golongan ekstraksi berikutnya dikenal sebagai ekstraksi melalui solvasi sebab spesies
ekstraksi disolvasi ke fase organik. Contoh dari golongan ini adalah ekstraksi besi (III) dari
asam hidroklorida dengan dietileter atau ekstraksi uranium dari media asam nitrat dengan
tributilfosfat.Kedua ekstraksi tersebut dimungkinkan akibat solvasi spesies logam ke fase

23
24
organic. Umumnya, garam logam yang sederhana cenderung menjadi lebih dapat larut dalam
pelarut yang sangat polar seperti air daripada dalam pelarut organik yang tetapan
dielektriknya jauh lebih rendah. Banyak ion disolvasikan oleh air, dan energi solvasi itu
disumbangkan untuk merusak kisi kristal garam. Lagi pula dibutuhkan kerja yang lebih kecil
untuk memisahkan ion-ion yang muatannya berlawanan dalam pelarut dielektrik tinggi.
Kemudian, biasanya diperlukan terbentuknya suatu spesies yang tak bermuatan jika suatu ion
harus diekstrak dari dalam air ke dalam suatu pelarut organik.

Sebaliknya kadang-kadang, suatu spesies tak bermuatan yang dapat di-eksjrak ke


dalam suatu pelarut organik diperoleh lewat asosiasi ion-ion yang muatannya berlawanan.
Memang harus diakui bahwa sukar untuk membedakan antara pasangan ion dan suatu
molekul netral. Agaknya jika komponen-komponen-nya tetap bersama-sama di dalam air,
spesies itu akan disebut suatu molekul; jika komponen itu cukup dipisahkan oleh air sehingga
tak dapat dideteksi sebagai suatu kesatuan, maka entitas itu akan disebut suatu pasangan ion
jika memang muncul demikian dalam suatu pelarut takpolar. Suatu contoh yang lazim dari
suatu sistem ekstraksi yang melibatkan pembentukan pasangan ion dalam fasa organiknya
dijumpai dalam penggunaan tetraphenilarsonium kloirida untuk mengekstrak permanganat,
perrenat, dan perteknetat dari air ke dalam kloroform. Spesies yang berpindah ke dalam fase
organik adalah suatu pasangan ion, [(C6H5)4As+,J. Serupa pula ekstraksi ion uranil, UO]+,
dari dalam larutan nitrat berair ke dalam pelarut seperti eter (sebuah proses penting dalam
kimia uranium) melibatkan suatu asosiasi dari [UO2+, 2NO]. Diduga bahwa ion uranil
disolvasi baik oleh eter maupun oleh air, suatu fakta yang tak diragukan lagi mempermudah
penembusan fasa organik oleh suatu pasangan ion yang kemudian menyesuaikan diri lebih ke
karakter dari pelarut itu.

Golongan ekstraksi ketiga adalah proses yang melibatkan pembentukan pasangan ion.
Ekstraksi berlangsung melalui pembentukan spesies netral yang tidak bermuatan diekstraksi
ke fase organic.Contoh yang terbaik dari golongan ini adalah ekstraksi scandium dengan
triotilamin atau uranium dengn trioktilamin.Dalam hal ini pasangan ion terbentuk antara Sc
atau U dalam asam mineral bersama-sama dengan amina berberat molekul tinggi.

Sedangkan kategori terakhir merupakan ekstraksi sinergis. Nama yang digunakan


menyatakan adanya efek saling memperkuat yang berakibat penambahan ekstraksi dengan
memanfaatkan pelarut pengekstraksi. Misalkan ekstraksi Uranium dengan Tributilfosfat
(TBP) bersama-sama dengan 2-thenoyltrifluoroaseton (TTA). Walaupun TBP maupun TTA
25
masing-masing dapat mengekstraksi Uranium namun jika kita menggunakan campuran dari
dua pengekstraksi tersebut, kita mendapatkan kenaikan pada hasil ekstarksi. Karena itulah
ekstraksi jenis ini disebut sbagai ekstaraksi sinergis. Pelarut organic yang dipilih untuk
ekstraksi pelarut adalah mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (< 10%), dapat
menguap sehingga memudahkan penghilangan pelarut organic setelah dilakukan ekstraksi,
dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel.
Beberapa masalah sering dijumpai ketika melakukan ekstraksi pelarut yaitu terbentuknya
emulsi, analit terikat kuat pada partikulat, analit terserap oleh partikulat yng mungkin ada,
analit terikat pada senyawa yang mempunyai berat molekul tinggi, dan adanya kelarutan
analit secara bersama-sama dalam kedua fase. Terjadinya emulsi merupakan hal yang sering
dijumpai. Oleh karena itu, jika emulsi antara kedua fase ini tidak dirusak maka recovery yang
diperoleh kurang bagus. Emulsi dapat dipecah dengan cara:

1. Penambahan garam ke dalam fase air (salting out)


2. Pemanasan atau pendinginan corong pisah yang digunakan
3. Penyaringan melalui glass-wood
4. Penyaringan dengan menggunakan kertas saring
5. Penambahan sedikit pelarut organic yang berbeda
6. Sentrifugasi

Jika senyawa-senyawa yang akan dilakukan ekstraksi pelarut berasal dari plasma maka ada
kemungkinan senyawa tersebut terikat pada protein sehingga recovery yang dihasilkan
rendah. Teknik yang dapat digunakan untuk memisahkan senyawa yang terikat pada protein
meliputi:

1. Penambahan detergen
2. Penambahan pelarut organic yang lain
3. Penambahan asam kuat
4. Pengenceran air
5. Penggantian dengan senyawa yang mampu mengikat lebih kuat
26
Metode Pembuatan Ekstraksi
Teknik ekstraksi dapat dibedakan menjadi tiga cara yaitu ekstraksi bertahap (batch-
extraction = ekstraksi sederhana), ekstraksi kontinyu (ekstraksi samapi habis), dan ekstraksi
arah berlawanan (counter current extraction). Ekstraksi bertahap merupakan cara yang paling
sederhana. Caranya cukup dengan menambahkan pelarut pengekstraksi yang tidak bercampur
dengan pelarut semula kemudian dilakukan pengocokan sehingga terjadi keseimbangan
konsentrasi zat yang akan diekstraksi pada kedua lapisan, setelah ini tercapai lapisan
didiamkan dan dipisahkan. Ekstraksi kontinyu digunakan bila perbandingan distribusi relaitf
kecil sehingga untuk pemisahan yang kuantitatif diperlukan beberapa tahap ekstraksi.

Efesiensi yang tinggi pada ekstraksi tergantung pada viskositas fase dan factor-faktor
lain yang mempengaruhi kecepatan tercapainya suatu kesetimbangan, salah satu diantaranya
adalah dengan menggunakan luas kontak yang besar. Ekstraksi kontinyu counter current, fase
cair pengekstraksi dialirkan dengan arah yang berlawanan dengan larutan yang mengandung
zt yang akan diekstraksi. Biasanya digunakan untuk pemisahan zat, isolasi atau
pemurnian.Sangat penting untuk fraksionasi senyawa organik tetapi kurang bermanfaat untuk
senyawa-senyawa an-organik.

Disamping itu, terdapat macam-macam pembagian ekstraksi yang dihimpun dari


beberapa referensi. Adapun macam-macamnya adalah ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-
cair, ekstraksi fase padat, dan ekstraksi asam basa. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Ekstraksi padat cair (ekstraksi soxhlet)


Ekstraksi padat cair adalah transfer difusi komponen terlarut dari padatan inert ke
dalam pelarutnya atau digunakan untuk memisahkan analit yang terdapat pada padatan
menggunakan pelarut organic. Proses ini merupakan proses yang bersifat fisik, karena
komponen terlarut kemudian dikembalikan lagi ke keadaan semula tanpa mengalami
perubahan kimiawi. Ekstraksi dari bahan padat dapat dilakukan jika bahan yang
diinginkan dapat larut dalam solven pengekstraksi. Padatan yang akan diekstrak
dilembutkan terlebih dahulu, dapat dengan cara ditumbuk atau dapat juga di iris-iris
menjadi bagian-bagian yang tipis. Kemudian padatan yang telah halus di bungkus dengan
kertas saring dan dimasukkan kedalam alat ekstraksi soxhlet. Pelarut organic dimasukkan
ke dalam labu godog.Kemudian peralatan ekstraksi di rangkai dengan pendingin
air.Ekstraksi dilakukan dengan memanaskan pelarut organic sampai semua analit
terekstrak.
27

2. Ekstraksi Cair-Cair
Merupakan metode pemisahan yang baik karena pemisahan ini dapat dilakukan dalam
tingkat makro dan mikro. Dan yang menjadi pokok pembahasan dalam ekstraksi cair-cair
ini adalah kedua fasa yang dipisahkan merupakan cairan yang tidak saling tercampur.
Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tetentu
antara dua pelarut yang tidak saling bercampur seperti benzene dan kloroform.
Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai cara untuk praperlakuan sampel atau clean-up
sampel untuk memisahkan analit-analit dari komponen-komponen matriks yang mungkin
menganggu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit. Kebanyakan prosedur ekstraksi
cair-cair melibatkan ekstraksi analit dari fasa air kedalam pelarut organic yang bersifat
non-polar atau agak polar seperti n-heksana, metil benzene atau diklorometana. Meskipun
demikian, proses sebaliknya juga mungkin terjadi. Analit-analit yang mudah tereksitasi
dalam pelarut organic adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen
dengan konstituen yang bersifat non-polar atau agak polar.
28

3. Ekstraksi Fase Padat (Solid Phase Extraction)

Jika dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair, SPE merupakan teknik yang relative
baru, akan tetapi SPE cepat berkembang sebagai alat yang utama untuk praperlakuan
sampel atau untuk clean-up sampel-sampel kotor, misalnya sampel-sampel yang
mempunyai kandungan matriks yang tinggi seperti garam-garam, protein, polimer, resin
dan lain-lain. Keunggulan SPE dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair adalah:

 Proses ekstraksi lebih sempurna


 Pemisahan analit dari pengganggu yang mungkin ada menjadi lebih efesien
 Mengurangi pelarut organic yang digunakan
 Fraksi analit yang diperoleh lebih mudah dikumpulkan
 Mampu menhilangkan partikulat
 Lebih mudah diatomatisasi

Sementara itu kerugian SPE adalah banyaknya jenis cartridge (berisi penyerap tertentu)
yang beredar dipasaran sehingga reprodusibilitas hasil bervariasi jika menggunakan
cartridge yang berbeda dan juga adanya adsorbs yang bolak balik pada cartridge SPE.
29

4. Ekstraksi asam basa


Merupakan ekstraksi yang didasarkan pada sifat kelarutannya. Senyawa asam atau
basa direaksikan dengan pereaksi asam atau basa sehingga terbentuk garam. Garam ini
larut dalam air tetapi tidak larut dalam senyawa organic. Salah satu teknik yang paling
penting dalam kimia analitik adalah titrasi, yaitu penambahan secara cermat volume suatu
larutan yang mengandung zat A yang konsentrasinya diketahui, kepada larutan kedua
yang konsentrasinya belum diketahui, yang akan mengakibatkan reaksi antara keduanya
secara kuantitatif. Selesainya reaksi yaitu pada titik akhir ditandai dengan semacam
perubahan sifat fisis, misalnya warna campuran yang berekasi. Titik akhir dapat dideteksi
dalam campuran reaksi yang tidak berwarna dengan menambahkan zat terlarut yang
dinamakan indicator, yang mengubah warna pada titik akhir.
30
Pengaruh waktu ekstraksi
Waktu ektraksi terbagi menjadi 3 tahapan, yaitu : ekstraksi cepat bebas solut, tahap transisi
difusi internal dan permukaan, tahap ekstraksi lambat. Waktu yang digunakan pada tahap
pertama, tergantung pada kelarutan solut dalam fluida superkritis CO2 dan ukuran partikel.
BAB 4 SKRINING FITOFARMASI

Tujuan dari skrining Fitokimia diharapkan mahasiswa mampu mengidentifikasi


kanungan kimia dalam ekstrak tanaman.

Skrining Fitokimia Alkaloid


a. Penyiapan sampel
Ekstrak sebanyak 0,3 g ditambah 5 ml HCL 2 N, dipanaskan diatts penangas air
selama 2-3 menit, sambl diaduk. Setelaah dingin ditambah 0,3 g NaCl, diaduk rata
kemudian disaring. Filtrate yang diperoleh ditambah 5 ml HCL 2 N dan dibagi
menjadi tiga bagian yang disebut sebagai larutan 1A, 1B dan 1C.
b. Reaksi pengendapa
Larutan 1 A + Pereksi Larutan 1 B + Pereksi Larutan 1 C sebagai
Mayer Wagner blanko

Catatan : adanya kekeruhan atau


endapan positif alkaoid

Skrining Fitokimia Glikosida Saponin, Triterpenoid Dan Steroi


a. Uji Buih

Sampel 0,3 g, dalam tabung reaksi

10 ml aquades

Kocok ± 30 detik

Adnya Buih yang stabil dengan tinggi 1-3


cm = positif Saponin

31
32

b. Reaksi warna
0,3 gram ekstrak dilrutkan dalam 15 ml etanol, lalu dibagi menjai 3 masing 5 ml ( 2A,
2B dan 2C). larutan 2A sebagai blanko.
Uji Liebermann-Burchard

Larutan 2B

3 tetes asam asetat anhidrat

1 tetes H2SO4 pekat, kemudian dikocok

Hasil

Warna hijau biru = positif saponin steroid


Warna merah ungu = positif Triterpen Steroid
warna kuning muda = positif saponin jenuh

Uji Salkowski

Larutan 2C

1-2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung

Hasil : cincin ungu = (+) steroid tak jenuh

Skrining Fitokimia Golongan Flavonoid


0,3 gram ekstrak dikocok dengan 3 ml n-heksana berkali-kali samai ekstrak n-heksana tidak
berwarna. Residu dilarutkan dalam etanol dan dibaagi menjadi 4 bagian (3A, 3B, 3C, 3D).
a. U ji Bate-Smith dan Metcalf
Larutan 3A sebagai blanko, lartan 3B ditambah 0,5 ml HCL pekat dan diamati
perubahan warna yang terjadi, kemudian dipanaskan diatas penangas air dan diamati
33
lagi perubahan warna yang terjadi. Bila perlahan-lahan menjadi merah terang atau
ungu menunjukkan adanya senyawa leukoantosianin.
b. Uji Wilstater

Larutan 3A sebagai blanko. Larutan 3C ditambah 0,5 ml HCL pekat dan 4 potong
magnesium. Diamati warna yang terjadi. Diencerkan dengan aquades, kemudian
ditambah 1 ml butanol. Diamati warna yang terjadi disetiap lapisan. Perubahan warna
merah jingga menunjukkan adanya flavonol, merah tua menunjukkan adanya
flavonon.

Skrining Fitokimia Golongan Polifenol Dan Tanin


0,3 gram ekstrak ditambah 10 ml aquaes panas, diaduk dan dibiarkan sampai teperatur kamar,
lalu tambahkan 3-4 tetes NaCl 10%, diaduk dan disaring. Filtrate dibagi menjadi tiga bagian
sekitar 4 ml (4A, 4B, 4C ).
a. Uji Ferriklorida

Larutan 4C

beberapa tetes FeCl3

Hasil
Warna hijau kehitaman = (+) tanin

Jika pada penambahan gelatin dan NaCl tidak timbul endapan tetapi setelah
ditambahkan larutan FeCl3, terjadi perubahan warna menjadi hijau biru hingga hitam,
menunjukkan adanya senyawa polifenol.

FeCl3 positif, uji gelatin positif = Tanin (+)

FeCl3 positif, uji gelatin negative = Polifenol (+)

FeCl3 negatif = Polifenol (-), Tanin (-)


34
b. Uj Gelatin
Larutan 4A sebagai blanko

larutan 4B

Sedikin larutan gelatin

5 ml NaCl 10 %

Hasil : endapan putih = (+) Tanin

Skrining Fitokimia Golongan Antrakinon


a. Uji Borntrager
Larutan 5A sebagai blanko

0,3 g sampel

10 ml aquades, kemudian saring

filtrat diekstraksi dengan 3 ml Toluena, dalam corong pisah. ekstraksi lakukan 2x

fase toluena dibagi menjadi 2 ( 5A


dan 5B)

Larutan 5B + Amonia, kemudian


kocok

Hasil : warna merah = (+)


Antrakinon
35
b. Uji Modifikasi Borntrager
Larutan 6A sebagai blanko

0,3 g sampel

1 ml KOH 5 N

1 ml H2SO4 encer, dipanskan dan


disaring

filtrat + asam asetat glasial

diekstraksi dengan toluena, fase toluena dibagi menjadi 2 (6A dan 6B)

larutan 6B + Ammonia

hasil : warna pink-merah pada lapisan alkalis = (+)


antrakinon
BAB 5 KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

Gambaran Umum KLT


Kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi kertas tergolong "kromatografi
planar." KLT adalah yang metode kromatografi paling sederhana yang banyak digunakan.
Peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemisahan dan analisis sampel
dengan metode KLT cukup sederhana yaitu sebuah bejana tertutup (chamber) yang berisi
pelarut dan lempeng KLT. Dengan optimasi metode dan menggunakan instrumen komersial
yang tersedia, pemisahan yang efisien dan kuantifikasi yang akurat dapat dicapai.
Kromatografi planar juga dapat digunakan untuk pemisahan skala preparatif yaitu dengan
menggunakan lempeng, peralatan, dan teknik khusus.
Pelaksanaan analisis dengan KLT diawali dengan menotolkan alikuot kecil sampel
pada salah satu ujung fase diam (lempeng KLT), untuk membentuk zona awal. Kemudian
sampel 2 dikeringkan. Ujung fase diam yang terdapat zona awal dicelupkan ke dalam fase
gerak (pelarut tunggal ataupun campuran dua sampai empat pelarut murni) di dalam chamber.
Jika fase diam dan fase gerak dipilih dengan benar, campuran komponen-komponen sampel
bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda selama pergerakan fase gerak melalui fase diam.
Hal ini disebut dengan pengembangan kromatogram. Ketika fase gerak telah bergerak sampai
jarak yang diinginkan, fase diam diambil, fase gerak yang terjebak dalam lempeng
dikeringkan, dan zona yang dihasilkan dideteksi secara langsung (visual) atau di bawah sinar
ultraviolet (UV) baik dengan atau tanpa penambahan pereaksi penampak noda yang cocok.
Perbedaan migrasi merupakan hasil dari perbedaan tingkat afinitas masing-masing
komponen dalam fase diam dan fase gerak. Berbagai mekanisme pemisahan terlibat dalam
penentuan kecepatan migrasi. Kecepatan migrasi komponen sampel tergantung pada sifat
fisika kimia dari fase diam, fase gerak dan komponen sampel. Retensi dan selektivitas
kromatografi juga ditentukan oleh interaksi antara fase diam, fase gerak dan komponen
sampel yang berupa ikatan hidrogen, pasangan elektron donor atau pasangan elektron-
akseptor (transfer karge), ikatan ionion, ikatan ion-dipol, dan ikatan van der Waals.
Pengambilan sampel, pengawetan, dan pemurnian sampel adalah masalah umum
untuk KLT dan metode kromatografi lainnya. Sebagai contoh, pengembangan KLT biasanya

36
37
tidak sepenuhnya melarutkan kembali analit yang berada dalam lempeng kecuali dilakukan
pemurnian sebelumnya (clean up). Metode clean up paling sering dilakukan pada ekstraksi
selektif dan kromatografi kolom. Dalam beberapa kasus zat/senyawa perlu dikonversi dahulu
sebelum dianalisis dengan KLT. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan turunan senyawa yang
lebih cocok untuk proses pemisahan, deteksi, dan / atau kuantifikasi. KLT dapat mengatasi
sampel yang terkontaminasi, seluruh kromatogram dapat dievaluasi, mempersingkat proses
perlakuan sampel sehingga hemat waktu dan biaya. Kehadiran pengotor atau partikel yang
terjerap dalam sorben fase diam tidak menjadi masalah, karena lempeng hanya digunakan
sekali (habis pakai).
Deteksi senyawa menjadi mudah ketika senyawa secara alami dapat berwarna atau
berberfluoresensi atau menyerap sinar UV. Namun, perlakuan penambahan pereaksi
penampak noda dengan penyemprotan atau pencelupan terkadang diperlukan untuk
menghasilkan turunan senyawa yang berwarna atau berfluoresensi. Pada umumnya senyawa
aromatik terkonjugasi dan beberapa senyawa tak jenuh dapat menyerap sinar UV. Senyawa-
senyawa ini dapat dianalisis dengan KLT dengan fase diam yang diimpregnasi indikator
fluoresensi dan deteksi dapat dilakukan hanya dengan pemeriksaan di bawah sinar UV 254
nm.
Pada KLT, identifikasi awal suatu senyawa didasarkan pada perbandingan nilai Rf
dibandingkan Rf standar. Nilai Rf umumnya tidak sama dari laboratorium ke laboratorium
bahkan pada waktu analisis yang berbeda dalam laboratorium yang sama, sehingga perlu
dipertimbangkan penggunaan Rf relatif yaitu nilai Rf noda senyawa dibandingan noda
senyawa lain dalam lempeng yang sama. Faktor-faktor yang menyebabkan nilai Rf bervariasi
meliputi dimensi dan jenis ruang, sifat dan ukuran lempeng, arah aliran fase gerak, volume
dan komposisi fase gerak, kondisi kesetimbangan, kelembaban, dan metode persiapan sampel
KLT sebelumnya. Konfirmasi identifikasi dapat diperoleh dengan mengerok noda dalam
lempeng kemudian analit dalam lempeng dielusi dan dideteksi dengan spektrometri
inframerah (IR), spektrometri Nuclear magnetic resonance (NMR), spektrometri massa, atau
metode spektrometri lain jika senyawa hasil elusi cukup tersedia. Metode identifikasi ini juga
dapat menggunakan untuk menandai zona langsung pada lapisan (in situ).
38
Sejarah KLT
Kromatografi kolom pertama kali ditemukan oleh ahli botani Rusia, Tswett pada
tahun l903. Sekitar tahun l938 pemisahan pada lapisan tipis ditemukan oleh Izmailov dan
Shraiber, melalui teknik sederhana yang hanya membutuhkan sampel dan sorben yang sedikit
yaitu dengan memisahkan ekstrak tanaman menggunakan aluminium oksida yang disebar
pada lapisan kaca. Sorben ditaruh pada objek glass mikroskop sebagai suatu lapisan padatan
yang berair dengan tebal sekitar 2 mm. Sampel (ekstrak tumbuh-tumbuhan) diteteskan ke
dalam lapisan, kemudian pelarut (metanol) ditambahkan tetes demi tetes dari atas. Pada
lapisan sorben diperoleh serangkaian cincin melingkar berbentuk lapisan yang berbeda
warna. Dari sini lahirlah teknik baru KLT yang disebut drop kromatografi.
Pada l949 Meinhard dan Hall menggunakan binder tepung untuk memberikan
ketegasan pada masing-masing lapisan pada pemisahan ion anorganik, mereka menyebutnya
sebagai permukaan kromatografi. Pada tahun 1950, Kirkner dan koleganya menampilkan
KLT seperti yang kita kenal sekarang. Mereka menggunakan gel silika yang diletakkan pada
lempeng kaca dengan bantuan bahan pengikat, dan lempeng dikembangkan dengan prosedur
naik konvensional seperti yang digunakan pada kromatografi kertas. Kirkner adalah orang
yang pertama kali menciptakan istilah "kromatostrips" untuk lapisan yang mengandung
indikator fluoresensi. Stahl memperkenalkan istilah "kromatografi lapis tipis" pada akhir
1950-an. Kontribusi besar Stahl adalah pada standarisasi bahan, prosedur, dan tata-nama serta
deskripsi sistem pelarut selektif untuk klasifikasi senyawa. Laboratorium manual pertamanya
dipopulerkan dengan nama KLT, dan ia memperoleh dukungan dari perusahaan-perusahaan
komersial (Merck, Desaga) untuk menawarkan bahan baku dan peralatan untuk KLT. Teknik
lempeng KLT pertama kali dikomersilkan pada 1965. KLT dengan cepat menjadi sangat
populer setelah kurang lebih 400-500 publikasi per tahun muncul 6 di akhir tahun 1960
sehingga KLT mulai diakui sebagai prosedur yang relatif cepat dan murah untuk pemisahan
berbagai campuran sampel. Sorben yang paling banyak digunakan adalah silika gel dengan
ukuran pori rata-rata 60˚A.
Modifikasi silika gel dimulai dengan silanisation untuk menghasilkan fase terbalik.
Fase terbalik memperbesar kemungkinan pemisahan berdasar partisi dibandingkan dengan
adsorpsi seperti yang digunakan dalam teknik sebelumnya. Pengenalan scanner
spektrodensitometer komersial memungkinkan kuantifikasi analit secara langsung pada
lempeng KLT. Awalnya area puncak yang diukur secara manual, tetapi kemudian integrator
dapat mengukur area puncak secara otomatis. Kemajuan utama berikutnya adalah munculnya
KLTKT (kinerja tinggi lapis tipis kromatografi). Pada l973 Halpaap adalah orang yang
39
pertama mengakui keuntungan penggunaan partikel gel silika yang lebih kecil (sekitar 5-6
mm) pada persiapan lempeng KLT. Ia membandingkan efek ukuran partikel dengan waktu
pengembangan, nilai-nilai Rf dan Jarak setara lempeng teori. Pada pertengahan 1970-an,
diakui bahwa KLTKT dapat meningkatkan presisi sampai sepuluh kali lipat, waktu analisis
dapat dikurangi dengan faktor yang sama, mengurangi kuantitas fase gerak yang diperlukan
dan mengurangi jarak pengembangan sampel.

Tahapan Metode Analisis KLT


Pada metode analisis KLT, beberapa persiapan harus dipenuhi untuk mendapatkan
hasil pemisahan sampel yang baik meliputi preparasi sampel, penanganan lempeng KLT,
penanganan eluen, penanganan chamber tempat elusi, aplikasi sampel, proses pengembangan
sampel dan evaluasi noda.
1. Preparasi sampel
Sebelum melakukan preparasi sampel terlebih dahulu ditentukan jenis sampel dan
sifat fisika kimia analit yang akan dianalisis. Jenis sampel terbagi menjadi :
a. Sampel larutan jernih
Preparasi sampel larutan jernih lebih mudah dibandingkan jenis sampel yang lain
yaitu dengan mengencerkan sampel dengan pelarut yang sesuai yaitu yang mudah
menguap yang dapat melarutkan sampel dan sebisa mungkin sedikit melarutkan
matrik. Pelarut pada metode KLT sebaiknya menggunakan pelarut yang mudah
menguap karena akan memudahkan penguapan pelarut saat aplikasi (penotolan)
sampel.
b. Sampel larutan keruh
Preparasi larutan keruh dilakukan dengan mengekstraksi analit dengan pelarut
yang dapat melarutkan analit dengan cara manual (dikocok) atau menggunakan
alat yaitu vorteks atau ultrasonic degaser. Penarikan analit dengan cara ekstraksi
harus dipastikan bahwa analit sudah terekstraksi sempurna. Pemastian
kesempurnaan ekstraksi dapat dilakukan dengan cara ekstraksi berulang atau
dengan menganalisis sisa (ampas) hasil ekstraksi.
c. Sampel semisolid (setengah padat)
Preparasi sampel semisolid dilakukan dengan cara penghancuran sampel dengan
cara digerus atau diblender. Sampel yang telah dihancurkan diekstraksi dengan
pelarut yang dapat melarutkan analit dengan cara manual (dikocok) atau
menggunakan alat dengan menggunakan vorteks atau ultrasonic degaser.
40
Kesempurnaan penarikan analit dengan cara ekstraksi juga harus dipastikan.
Ekstraksi pada sampel semisolid dapat di bantu dengan pemanasan. Pemanasan
dapat mengencerkan bentuk sampel dari semisolid menjadi larutan sehingga
penarikan analit dalam sampel menjadi lebih mudah. Hanya saja pada pemisahan
ampas dengan larutan pengekstrak sebaiknya dilakukan sebelum dingin karena
bila pemisahan 16 dilakukan setelah sampel dingin dikawatirkan analit akan
terjebak kembali ke dalam sampel semisolid.
d. Sampel padat
Preparasi sampel padat dilakukan dengan cara menyerbuk sampel dengan cara
digerus atau diblender. Serbuk diekstraksi dengan pelarut yang dapat melarutkan
analit dengan cara manual (dikocok) atau menggunakan alat yaitu vorteks atau
ultrasonic degaser.

Sifat fisika kimia analit yang harus diketahui sebelum melakukan


preparasi sampel adalah kelarutan analit dan stabilitas analit. Dari kelarutan analit
dapat dipilih pelarut untuk preparasi sampel. Stabilitas analit menentukan cara
preparasi sampel. Misalnya untuk analit yang tidak stabil pada suhu tinggi,
dihindari adanya pemanasan pada preparasi sampel. Pada ekstraksi sampel dengan
ultrasonic degasser sebaiknya alat diatur pada suhu normal tanpa pemanasan.

Penyaringan larutan sampel juga merupakan tahapan penting pada


preparasi sampel. Penyaringan dapat memperbaiki kromatogram yang dihasilkan
dan mempermudah penotolan sampel karena dapat memisahkan analit dari
partikel-partikel yang ada dalam larutan sampel. Adanya partikel dalam larutan
sampel dapat menyebabkan munculnya pengotor pada kromatogram yang
dihasilkan terutama bila partikel tersebut larut dalam fase gerak dan terdeteksi
oleh detektor yang digunakan. Selain itu adanya partikel dalam larutan sampel
dapat mengganggu penetrasi analit dalam lempeng KLT ketika penotolan larutan
sampel. Berbagai penyaring yang tersedia dipasaran dapat digunakan, seperti
penyaring berbahan selulosa asetat, selulosa dan nitrat, alumina atau polipropilen.

Pada khasus dimana terdapat banyak kontaminan yang mengganggu


noda analit pada kromatogram KLT maka diperlukan prosedur preparasi sampel
tambahan yaitu metode pembersihan (clean-up) seperti yang dilakukan pada
metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Prosedur clean-up dapat
41
menggunakan solid phase extraction yang sesuai. Sorben solid phase extraction
(SPE) dapat berupa diatomeae bumi, gel silika, C2, C8, C18, CN, diol, NH2 dan
fenil-terikat pada gel silika, serta sorben penukar ion dengan bahan dasar silika
dan berbagai polimer. Selektifitas ekstraksi dapat dicapai dengan memilih sorben
yang tepat yaitu yang dapat menyerap analit tetapi tidak menyerap kotoran, atau
yang dapat menyerap kotoran dan tidak menyerap analit sehingga analit terelusi
keluar. Pada sampel biologis seperti plasma darah pada tahapan preparasi sampel
dapat ditambah dengan trikloroasetat, asam perklorat atau asetonitril untuk
menghilangkan protein dengan cara pengendapan.

2. Penanganan Lempeng KLT


Sebelum menggunakan lempeng KLT, pastikan dulu jenis lempeng yang
digunakan (dapat dilihat di macam sorben) sehingga tidak terjadi kesalahan
penanganan lempeng. Lempeng KLT bersifat rapuh dan harus ditangani dengan benar
mulai dari pembukaan kemasan sampai ke tahap dokumentasi. Pendukung sorben
yang paling umum digunakan pada lempeng KLT adalah aluminium foil, film plastik
dan piring kaca. Lempeng tersebut digunakan untuk berbagai tujuan dan penanganan
masing-masing jenis pendukung sorben berbeda-beda. Film plastik jarang digunakan
karena tidak tahan pemanasan. Pendukung sorben yang banyak digunakan adalah
aluminium foil.
Pemotongan Lempeng
Pemotongan lempeng KLT dengan pendukung aluminium foil dapat menggunakan
gunting. Saat memotong lempeng dengan pendukung aluminium foil sudut gunting
harus diperhatikan. Sudut gunting tidak boleh cenderung ke kiri seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.1, karena hal ini biasanya menyebabkan lepasnya sorben
dari pendukungnya. Akibatnya, terjadi kesenjangan kapilaritas antara sisi lapisan
sorben tepi dengan sisi lapisan sorben tengah, di mana pelarut bergerak maju lebih
cepat pada sisi tepi dibandingkan sisi tengah dari kromatogram tersebut. Hal ini
terjadi karena pelarut juga mengalir dari bagian tepi potongan menuju ke tengah
kromatogram sehingga menyebabkan deformasi noda dan kromatogram miring dan
menyimpang jalur (gambar 2.2). Pemotongan lempeng dengan pendukung kaca dapat
menggunakan alat pemotong kaca khusus seperti T. Omori yang diproduksi oleh
DESAGA (Gambat 2.3). Alat ini dapat memotong lempeng kaca selebar 1 cm dengan
baik.
42

Pengambilan dan pemindahan lempeng dilakukan dengan hati-hati yaitu


dengan memegang bagian tepi dari lempeng. Pada saat penanganan lempeng
diusahakan tidak meninggalkan sidik jari ataupun keringat pada sorben lempeng KLT.
Dan juga jangan meletakkan benda diatas sorben lempeng KLT karena benda tersebut
dapat meninggalkan kotoran pada lempeng KLT. Sidik jari, keringat dan kotoran yang
menempel pada sorben lempeng KLT dapat terlihat jelas setelah diderivatisasi oleh
penampak noda, misalnya, ninhidrin atau vanilin-asam sulfat ataupun setelah dilihat
dibawah sinar UV. Adanya noda sidik jari, keringat atau kotoran dalam lempeng KLT
menyebabkan munculnya noda tambahan yang tidak diinginkan yang dapat
mengganggu keberadaan noda analit.
43

Aktivasi lempeng
Aktivasi lempeng ditujukan untuk menghilangkan kelembaban air atmosfer
yang teradsorbsi dalam lempeng. Contoh aktivasi lempeng yaitu pegeringan lempeng
silika gel 30 menit pada 120 ° C. Jika suhu yang digunakan terlalu tinggi akan
44
menyebabkan pelepasan senyawa kimia dalam lempeng yang dapat merubah sifat
silika gel secara irreversible (tak terpulihkan). Pada kromatografi adsorbsi, aktivitas
lempeng yang tinggi dapat meningkatkan ketertambatan fase diam sehingga jarak
migrasi sampel menjadi lebih pendek. Untuk mendapatkan reprodusibilitas nilai
ketertambatan (faktor retardasi) diperlukan penentuan tingkat aktivasi lempeng yang
baik.
Proses aktivasi lempeng diatas hanya cocok untuk lempeng silika gel dan
aluminium oksida. Untuk lempeng dengan sorben lain aktivasi lempeng dilakukan
sesuai petunjuk yang disarankan produsen lempeng. Misalnya untuk lempeng KLTKT
modifikasi amino (Merck) merekomendasikan agar lempeng diaktivasi selama 10
menit pada 120 ° C sebelum digunakan.
Temperatur dan lama aktivasi lempeng merupakan sumber kesalahan dalam
aktivasi. Terlalu pendek waktu aktivasi akan mengakibatkan tidak sempurnyanya
penghilangan kelembaban air dalam lempeng ataupun sisa eluen pencucian lempeng
sehingga lempeng akan memberikan latar belakang yang tidak seragam. Sebaliknya
waktu aktivasi yang terlalu lama akan menghilangkan air kimia terikat yang dapat
merubah sifat fisika kimia lempeng. Selain itu lapisan sorben lempeng dapat retak
karena adanya modifikasi kimia.
3. Penanganan Eluen
Pemilihan eluen merupakan faktor yang paling berpengaruh pada sistem KLT.
Eluen dapat terdiri dari satu pelarut atau campuran dua sampai enam pelarut.
Campuran pelarut harus saling sampur dan tidak ada tanda-tanda kekeruhan. Fungsi
eluen dalam KLT :
- Untuk melarutkan campuran zat
- Untuk mengangkat atau membawa komponen yang akan dipisahkan melewati
sorben fase diam sehingga noda memiliki Rf dalam rentang yang dipersyaratkan
- untuk memberikan selektivitas yang memadai untuk campuran senyawa yang
akan dipisahkan.

Eluen juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

- memiliki kemurnian yang cukup,


- stabil,
- memiliki viskositas rendah,
- memiliki partisi isotermal yang linier,
45
- tekanan uap yang tidak terlalu rendah atau tidak terlalu tinggi,
- toksisitas serendah mungkin

Pemilihan eluen yang cocok dapat dilakukan melalui tahapan optimasi eluen.
Optimasi eluen diawali dengan menentukan sifat fisika kimia analit yang akan
dianalisis dan jenis sorben fase diam yang digunakan. Misalnya sorben dengan prinsip
pemisahan berdasarkan muatan ion diperlukan data tentang jenis dan intensitas
muatan ion analit dalam pemilihan komposisi eluen. Pada sorben dengan prinsip
pemisahan berdasarkan polaritas dibutuhkan nilai koefisien partisi (P atau log P) dan
tetapan dissosiasi (pKa) analit dalam penentuan eluen. Nilai koefisien partisi analit
digunakan untuk menentukan afinitas analit terhadap fase diam dan fase gerak. Nilai
tetapan disosiasi (pKa) digunakan untuk menentukan bentuk analit (ion atau molekul)
pada pH lingkungan tempat analit berada. Bila analit berada pada pH dibawah pKa,
analit akan berbentuk molekul. Bila analit berada pada pH diatas pKa, analit
berbentuk ion. Saat analit berbentuk molekul afinitas analit terhadap fase diam dan
fase gerak akan sesuai dengan nilai koefisien partisinya tetapi ketika analit berbentuk
ion maka analit akan bersifat polar atau sebagian besar larut dalam pelarut polar dan
hampir tidak dapat larut dalam pelarut non polar. Oleh karena itu nilai log P dan pKa
analit menentukan apakah analit satu dengan analit yang lain dapat dipisahkan dengan
metode KLT. Bila dua analit memiliki koeffisien partisi (log P) sama dan nilai tetapan
disosiasi (pKa) juga sama, maka kedua analit tersebut akan sulit dipisahkan dengan
metode KLT. Bila dua analit memiliki nilai log P sama tetapi nilai pKa berbeda, maka
kedua analit masih dapat dipisahkan dengan cara mengatur pH dari eluen yang
digunakan. pH eluen diatur agar salah satu analit berada dalam bentuk molekul
sedangkan analit yang lain berada dalam bentuk ion. Selain nilai log P dan pKa tentu
sifat fisika kimia yang lain (misalnya ikatan kimia) juga menentukan proses
pemisahan analit. Tabel 2 menunjukkan beberapa pelarut yang paling sering
digunakan dalam KLT, disertai dengan nilai log P dan koefisien kecepatan migrasi
masing-masing pelarut, yang digunakan sebagai acuan kekuatan elusi.

Nilai K merupakan kecepatan migrasi pelarut melewati lempeng silika gel,


yang berhubungan dengan lamanya waktu pengembangan KLT. Semakin besar nilai
K semakin cepat waktu pengembangan KLT. Nilai log P menunjukkan polaritas
pelarut yang berhubungan dengan afinitas analit dengan pelarut. Analit yang bersifat
polar akan memiliki afinitas tinggi terhadap pelarut polar dan afinitasnya rendah
46
terhadap pelarut non polar. Sebaliknya analit yang bersifat non polar akan memiliki
afinitas tinggi terhadap pelarut non polar dan afinitasnya rendah terhadap pelarut
polar. Pencarian eluen berdasarkan pustaka yang ada juga dapat membantu tahapan
optimasi eluen. Eluen dari pustaka dapat dimodifikasi untuk mendapatkan pemisahan
yang efisien. Bila noda yang dihasilkan belum bagus (noda masih berekor atau belum
simetris), eluen dapat dimodifikasi dengan menambahkan sedikit asam atau basa
sehingga merubah pH eluen. Dari beberapa eluen yang dicoba dalam optimasi eluen
dapat ditentukan efisiensi kromatogram yang dihasilkan sehingga dapat diperoleh
eluen yang optimal.

4. Penanganan Chamber

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan chamber adalah


kondisi chamber dan jenis chamber. Chamber harus dipastikan dalam kondisi bersih
(bebas dari kotoran) dan kering (bebas dari adanya air). Adanya kotoran dan air dalam
chamber akan menggangu kromatogram yang dihasilkan dan mempengaruhi
reprodusibilitas pemisahan KLT.

Jenis chamber yang digunakan juga harus diperhatikan untuk menentukan


teknik pengembangan yang akan digunakan. Ada berbagai jenis chamber KLT,
masing-masing dirancang dengan fitur khusus untuk mengontrol reprodusibilitas
pengembangan KLT. Dalam chamber terjadi beberapa hal yaitu kejenuhan uap
pelarut, adsorpsi uap pelarut oleh sorben lempeng KLT, munculnya efek tepi yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan gaya kapilaritas pada sisi tengah dengan sisi tepi
lempeng KLT. Hal- hal tersebut sangat mempengaruhi proses pemisahan, oleh karena
itu modifikasi fitur pada chamber dilakukan untuk menghilangkan efek yang tidak
diinginkan dan memperbaiki resolusi pemisahan. Berikut ini adalah beberapa jenis
chamber KLT :

1. Chamber Nu (chamber normal, alas datar, tak jenuh)


2. Chamber Ns (chamber normal, alas datar, jenuh)
3. Camber Twin-trough (chamber dengan dua kompartemen tempat eluen)
4. Chamber Su (chamber sandwich, tak jenuh)
5. Chamber Ss (chamber sandwich, jenuh)
6. Chamber horizontal (jenuh dan tak jenuh)
7. Chamber elusi otomatis
47
Chamber N

Chamber normal merupakan chamber dengan alas datar dimana semua


komponen pelarut berada dalam kesetimbangan dengan uap pelarut yang berada
didalam chamber baik sebelum maupun ketika proses kromatografi berlangsung.
Proses yang terjadi dalam chamber adalah diawali dengan terjadi keseimbangan
antara fase eluen dan fase uap eluen dalam chamber N. Ketika lempeng masuk
kedalam chamber, lempeng langsung kontak dengan uap eluen. Sorben lempeng KLT
berinteraksi dengan molekul uap pelarut. Interaksi yang terjadi tergantung dari
kejenuhan chamber. Secara bersamaan pelarut bermigrasi melewati sorben lempeng
KLT melalui gaya kapilaritas dan juga berinteraksi dengan uap eluen secara simultan
(gambar 2.7).

5. Aplikasi Sampel

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya
jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin.
Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain, jika sampel yang digunakan
terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Aplikasi sampel pada sorben lempeng
KLT dapat dilakukan secara manual dengan peralatan sederhana dan dapat juga
dengan peralatan otomatis. Semakin tepat posisi penotolan dan kecepatan penotolan
semakin baik kromatogram yang dihasilkan. Aplikasi sampel secara otomatis dapat
memperbaiki kualitas penotolan sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara manual
48
terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 μl. Penotolan sampel yang
tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda (gambar 2.8).
Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5
μl. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 μl maka penotolan
harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan.

Aplikasi pita dengan teknik manual hampir tidak mungkin tanpa beberapa
kerusakan pada lempeng KLT. Hal ini juga sangat sulit untuk mendapatkan panjang
dan lebar pita yang seragam begitu juga dengan konsentrasi seragam. Kerusakan pada
permukaan sorben lempeng KLT yang disebabkan oleh mikro pipet merupakan
kesalahan terbesar yang berpengaruh pada noda yang dihasilkan. Untuk mendapatkan
hasil terbaik, perlu diperhatikan prosedur yang digunakan dimana kontak dengan
permukaan sorben dapat dihindari sebisa mungkin. Untuk aplikasi dosis pita dapat
menggunakan mikro pipet yang dilengkapi dengan reservoir larutan sampel.
Meskipun demikian sulit untuk menghasilkan ukuran dan bentuk pita yang seragam
secara menyeluruh.

Gambar 2.8 Pengaruh kesalahan sampel loading pada sorben KLT


49
6. Evaluasi Noda
Evaluasi lempeng KLT dapat dilakukan secara langsung maupun dengan
instrumen. Untuk noda yang berwarna evaluasi noda dapat dilakukan dengan
visualisasi langsung pada lempeng KLT dengan menggunakan cahaya matahari, atau
dapat dibantu dengan menggunakan lampu UV yang memberikan pencahayaan pada
panjang gelombang tertentu.
Untuk noda yang tidak berwarna beberapa jenis visualisasi dari zona
kromatografi diperlukan untuk mengevaluasi noda hasil kromatografi. Sebagian besar
senyawa akan menyerap sinar UV atau sinar tampak atau fluoresensi tetapi beberapa
senyawa membutuhkan visualisasi yang sesuai untuk mengamati noda hasil
kromatografi. Visualisasi dapat dilakukan dengan cara penyemprotan atau pencelupan
ke dalam pereaksi penampak noda. Karena sorben yang digunakan pada lempeng
KLT umumnya bersifat inert maka reaksi kimia dapat dilakukan di atas lempeng
tanpa terpengaruh lapisan sorben. Berbagai macam pereaksi kimia telah digunakan
untuk mendeteksi zona kromatografi dengan penampakan hasil yang baik. Beberapa
pereaksi yang disebut sebagai pereaksi universal digunakan untuk memvisualisasikan
berbagai senyawa yang berbeda struktur molekulnya. Termasuk dalam kelompok
pereaksi ini adalah pelarut asam dan uap amonia, fluorescein, diklorofluoresein, dan
yodium. Adapun beberapa pereaksi dapat digunakan dalam teknik destruktif
(destructive tekniques). Teknik ini menyebabkan kerusakan pada senyawa yang akan
meninggalkan noda yang tampak pada lapisan kromatografi. Sebaliknya ada teknik
non destruktif (nondestructive tekniques) yang memungkinkan deteksi senyawa dalam
zona kromatografi tanpa merubah sorben lempeng atau zona kimianya. Termasuk
dalam teknik non destruktif adalah sinar tampak dan UV, dan kadang-kadang dengan
penggunaan yodium atau amonia uap. Dua pereaksi terakhir dalam banyak kasus
“reaksi” dimasukkan dalam reaksi reversibel. Pereaksi lainnya yang merupakan
kelompok gugus spesifik dan dapat digunakan untuk mendeteksi gugus senyawa,
seperti alkohol, aldehid, keton, ester, atau asam. Pereaksi ini disebut kelompok
pereaksi gugus spesifik.
Seringkali, senyawa yang dipisahkan dapat dideteksi dan divisualisasikan oleh
kombinasi teknik-teknik di atas. Sebuah teknik non-destruktif, seperti radiasi UV,
yang mungkin digunakan pertama, kemudian diikuti dengan pereaksi universal, dan
akhirnya digunakan pereaksi gugus spesifik untuk meningkatkan selektivitas dan
sensitivitas. Stabilitas juga merupakan bagian penting dalam pemilihan pereaksi
50
pendeteksi yang cocok. Beberapa pereaksi mempunyai stabilitas yang baik selama
beberapa minggu sementara yang lain harus dibuat hanya sebelum digunakan.
Stabilitas zona kromatografi yang divisualisasikan juga kemungkinan berbeda.
Beberapa noda memudar cukup cepat, ada yang lama memudar bahkan ada tetap
stabil, tetapi muncul latar belakang pada lempeng yang menyulitkan visualisasi noda.
Kadang-kadang latar belakang gelap atau berwarna dapat diringankan oleh adanya
paparan lempeng KLT dengan uap asam atau alkali atau mengeringkan lempeng
dalam oven sebelum pemberian pereaksi penampak noda.
Pemilihan pelarut yang digunakan untuk menyiapkan pereaksi visualisasi juga
membutuhkan pertimbangan. Kadangkadang pemilihan pelarut yang sedikit,
menyebabkan visualisasi zona kromatografi dapat menyebar dan berkembang menjadi
ekor. Efeknya dapat terlihat zona “leaking” pada permukaan. Hal ini biasanya
disebabkan oleh analit di zona kromatografi yang larut dalam pelarut pereaksi.
Masalahnya dapat diselesaikan dengan menggunakan pelarut dengan kekuatan elusi
yang lebih rendah dalam penyusunan pereaksi. Semua efek ini perlu dipertimbangkan
sehingga prosedur visualisasi yang paling efektif dapat digunakan.

Identifikasi alkaloid secara KLT


Larutan 1C diambah NH4OH 28% sampai larutan menjadi basa, kemudian diekstraksi dengan
5 ml kloroform bebas air, lalu disaring. Filtrate diuapkan sampai kering, kemudian dilarutkan
dalam methanol dan siap untuk pemeriksaan dengan KLT.
Fase diam : silika gel GF 354
fase gerak : Etil asetat-Metanol-Air (9:2:2)
penampak noda : pereaksi dragendorf
jika timbul warna jingga menunjukka adanya alkaloid dalam ekstrak.

Identifikasi Sapogenin Steroid Atau Triterpenoid Secara KLT


Ekstrak sebanyak 0,5 g ditambah 5 ml HCL 2 N, didihkan dan tutup dengan corong berisi
kapas basah selama 2 jam untuk menghidrolisis saponin. Setelah dingin, netralkan dengan
ammonia, kemudian ekstraksi dengan ml n-heksana sebanyak 3 kali, lalu uapkan sampai
tinggal 0,5 ml, totolkan pada pelat KLT.
Fase diam : silika gel GF 254
Fase gerak : n-heksana – etil asetat (4:1)
Penampak noda : Anisaldehida asam sulfat, antimony klorida
adanya sapogenin ditnjukkan dengan terjadinya warna :
51
- merah ungu untu anisaldehida asam sulfat
- merah muda untuk antimony klorida

Identifikasi Terpenoid Atau Steroid Bebas Secara KLT


Sedikit ekstrak ditambah beberapa tetes etanol, diaduk sampai larut, totolkan pada fase diam.
Uji KLT menggunakan:
Fase diam : silika gel GF 254
Fase gerak : n-heksana – etil asetat (4:1)
Penampak noda : Anisaldehida asam sulfat
adanya terpenoid atau steroid ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu atau ungu.

Identifikasi Flavonoid Secara KLT


Larutan 3D ditotolkan pada fase diam, uji KLT menggunakan:
Fase diam : silika gel GF 254
Fase gerak : butanol- asam asetat glasial- air (4:1: 5)
Penampak noda : pereaksi sitrat borat atau uap ammonia.
adanya flavonoid ditunjukkan dengan timbulnya noda berwarna kuning intensif.
Noda kuning yang ditimbulkan oleh uap ammonia akan hilang secara perlahan ketika
ammonianya menguap meninggalkan noda. Sedangkan noda kuning yang ditimbulkan oleh
pereaksi sitrat borat sifatnya permanen.
fase gerak tersebut biasanya disebut BAW (Butanol, Acetic acid, Water). BAW dibuat
dengan cara mencampur ketiga komponen tersebut. Dengan perbandingan (4:1:5), maka akan
terjadi 2 lapisan. Lapisan atas diambil dan dipakai sebagai fase gerak untuk mengevaluasi
senyawa golongan flavonoid.

Identifikasi Golongan Polifenol Dan Tanin Secara KLT


Sebagaian larutan 4A digunakan untuk pemeriksaan KLT.
Fase diam : silika gel GF 254
Fase gerak : kloroform – etil asetat (1:9)
Penampak noda : pereaksi FeCl3
jika timbul warna hitam menunjukkan adanya polifenol dalam sampel.

Identifikasi Golongan Antrakinon Secara KLT


Sampel ditotolkanpada fase diam dengan KLT.
Fase diam : silika gel GF 254
Fase gerak : Toluena – etil – asam asetat asetat (75: 24: 1)
52
Penampak noda : larutan KOH 10% dalam methanol
timbulnya noda warna kuning, kuning kecoklatan, merah, ungu atau hijau ungu menunjukkan
adanya senyawa antrakinon.
DAFTAR PUSTAKA

Eliyannoor, Benbasyar. 2015. Penuntun Praktikum Farmakognosi. Edisi 2. Penerbit buku


kedokteran EGC. Jakarta.

Adhyatma. 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.

Wulandari, Lastyo. 2011. Kromatografi Lapis Tipis. Fakultas Farmasi universitas Jember. PT
Taman Kampus Presindo. Jember

Subchan Agus S, Bilal, Lailiiyatus S, Anggraeni I.O, dan Annisa L.S. 2019. Pedoman
Praktikum Fitofarmasi. Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang. Malang

iv

Anda mungkin juga menyukai