Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Atas dan rahmatnya penulisan buku
Farmakognosi Uji Fitofarmasi ini dapat diselesaikan.
Akhirnya, kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kkat sempurna. Saran dan
kritik dari para pembaca akan sangat kami harapkan untuk kesempurnaan buku ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... ii
BAB 1 FARMAKOGNOSI UMUM ............................................................................................................. 1
Pengertian Farmakognosi ................................................................................................................... 1
Sejarah Farmakognosi ......................................................................................................................... 1
Peran Farmakognosi ........................................................................................................................... 1
BAB 2 SIMPLISIA ..................................................................................................................................... 3
Pengertian Simplisia............................................................................................................................ 3
Penamaan Simplisia ............................................................................................................................ 3
Jenis-jenis Simplisia ............................................................................................................................. 4
Prosedur Pembuatan Simplisia ......................................................................................................... 16
Pengujian Simplisia ........................................................................................................................... 21
BAB 3 EKSTRAKSI .................................................................................................................................. 23
Pengertian Ekstraksi.......................................................................................................................... 23
Klasifikasi Ekstraksi............................................................................................................................ 23
Metode Pembuatan Ekstraksi ........................................................................................................... 26
Pengaruh waktu ekstraksi ................................................................................................................. 30
BAB 4 SKRINING FITOFARMASI ............................................................................................................ 31
Skrining Fitokimia Alkaloid ................................................................................................................ 31
Skrining Fitokimia Glikosida Saponin, Triterpenoid Dan Steroi ........................................................ 31
Skrining Fitokimia Golongan Flavonoid............................................................................................. 32
Skrining Fitokimia Golongan Polifenol Dan Tanin ............................................................................. 33
Skrining Fitokimia Golongan Antrakinon .......................................................................................... 34
BAB 5 KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)............................................................................................. 36
Gambaran Umum KLT ....................................................................................................................... 36
Sejarah KLT ........................................................................................................................................ 38
Tahapan Metode Analisis KLT ........................................................................................................... 39
Identifikasi alkaloid secara KLT ........................................................................................................ 50
ii
Identifikasi Sapogenin Steroid Atau Triterpenoid Secara KLT .......................................................... 50
Identifikasi Terpenoid Atau Steroid Bebas Secara KLT ..................................................................... 51
Identifikasi Flavonoid Secara KLT ...................................................................................................... 51
Identifikasi Golongan Polifenol Dan Tanin Secara KLT...................................................................... 51
Identifikasi Golongan Antrakinon Secara KLT ................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. lii
iii
BAB 1 FARMAKOGNOSI UMUM
Pengertian Farmakognosi
Farmakognosi merupakan salah satu ilmu yang mempelajari tentang bagian-bagian
tanaman atau hewan yang dapat digunakan sebagai obat alami yang telah melewati berbagai
macam uji sperti uji farmakodinamik, uji toksikologi dan uji biofarmasetika.
Farmakognosi berasal dari kata pharmakon yang berarti obat dan gnosis yang berarti
pengetahuan, melalui perkembangan ilmu lebih lanjut, para ahli kimia mulai memberikan
perhatian pada senyawa-senyawa kimia kandungan bahan alam yang diduga mempunyai
khasiat bagi kesehatan.
Sejarah Farmakognosi
Dalam sejarah penemuan obat bahan alam di mulai dari pengetahuan manusia akan
khasiat bahan alam bagi kesehatan yang merupakan awal dari berkembangnya farmakognosi.
Bukti dari hal itu dapat diketahui melalui buku material medika yang diterbitkan sebelum
abad 19 yakni buku pertama yang memuat tentang khasiat dan penggunaan lebih kurang
600 macam obat dari bahan alam “tanaman, hewan, mineral”.
Sejak saat itu terjadi peningkatan yang pesat terhadap pengetahuan mengenai obat
dari bahan alam sehingga dianggap perlu untuk mengadakan pemisahan disiplin ilmu, oleh
karena itu pada abad 19, material medika sudah memiliki dua disiplin ilmu yaitu:
1. Farmakologi yang mempelajari kerja obat “action of drug”
2. Farmakognosi yang mempelajari segala aspek obat dari alam
Peran Farmakognosi
Penggunaan tumbuhan obat sebagai obat di Indonesia telah meningkat, akan tetapi
dalam penggunaannya masih banyak hanya sebatas pengalaman yang diturunkan dari nenek
moyang bangsa Indonesia. Disini peran ilmu farmakognosi yang memilah tanaman yang
berkhasiat obat atau tidaknya dengan berbagai tes yang dilakukan terhadap tumbuhan
tersebut seperti kromatografi, spektrofotometri dan lain-lain.
Alam memberikan kepada kita bahan alam darat atau laut berupa tumbuhan, hewan
dan mineral yang jika diadakan identifikasi dan menentukan sistematikanya maka diperoleh
1
2
bahan alam berkhasiat obat. Jika bahan alam yang berkhasiat obat ini dikoleksi, dikeringkan,
diolah, diawetkan dan disimpan, akan diperoleh bahan yang siap pakai atau yang disebut
dengan simplisia disinilah keterkaitannya dengan farmakognosi.
Beberapa istilah dalam pembelajaran farmakognosi yaitu :
a. Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan
b. Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat
tanaman
c. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel
dengan cara tertentu di keluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan
cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni
d. Simplisia mineral adalah simplisia yang berupa mineral (pelikan) yang belum diolah
dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni
e. Alkaloida adalah suatu basa organic yang mengandung unsur nitrogen yang umumnya
berasal dari tanaman, yang mempunyai efek fisiologis kuat/keras terhadap manusia
f. Glikosida adalah suatu zat yang oleh enzim tertentu akan terurai menjadi satu macam
gula serta satu atau lebih bukan zat gula
g. Enzim adalah suatu biokatalisator yaitu senyawa atau zat yang berfungsi mempercepat
reaksi biokimia/metabolism dalam tubuh organisme
h. Vitamin adalah suatu zat yang dalam jumlah sedikit sekali diperlukan oleh tubuh manusia
untuk membentuk metabolism tubuh. Tubuh manusia sendiri tidak dapat memproduksi
vitamin
i. Hormon adalah suatu zat yang dikeluarkan oleh kelenjar endokrin yang mempengaruhi
faal, tubuh dan mempengaruhi besar bentuk tubuh
j. Pemerian adalah uraian tentang bentuk, bau, rasa, warna simplisia, jadi merupakan
informasi yang diperlukan pada pengamatan terhadap simplisia nabati yang berupa bagian
tanaman (kulit, daun, akar, dan sebagainya)
BAB 2 SIMPLISIA
Pengertian Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah
dikeringkan. Biasanya simplisia berasal dari tumbuhan yang diperoleh dengan cara
menebang atau memungut langsung dari tempat tumbuh alami atau dari tanaman yang
dibudidayakan.
Simplisia atau Herbal adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobtan dan belum mengalami pengolahan. Kecuali
dikatakan lain suhu pengerigan simplisia tidak lebih dari 60o C. (Farmakophe
Herbal Indonesia, 2008).
Penamaan Simplisia
a. Tata Nama Simplisia
Dalam ketentuan umum Farmakope Indonesia disebutkan bahwa nama simplisia
nabati ditulis dengan menyebutkan nama genus atau spesies nama tananman, diikuti
nama bagian tanaman yang digunakan. Ketentuan ini tidak berlaku untuk simplisisa
nabati yang diperoleh dari beberapa macam tanaman dan untuk eksudat nabati.
Contoh
Genus + nama bagian tanaman : Cinchonae Cortex, Digitalis Folium, Thymi Herba,
Zingiberis Rhizoma.
Nama latin tananman terdidri dari 2 kata, kata pertama mennnjukkan genus dan kata
kedua menunjukkan spesies, misalnya nama latin pada Oryza sativa, jadi Oryza
adalah genusnya sedangkan sativa adalah spesiesnya. Huruf pertama dari genus ditulis
3
4
dengan huruf besar dan huruf pertama dari petunjuk spesies ditulis dengan huruf
kecil.
Nama latin tanaman tidak boleh lebih dari 2 perkataan, jika lebih dari 2 kata (3 kata),
2 dari 3 kata tersebut harus digabungkan dengan tanda (-). Contoh : Hibiscus rosa-
sinensis
Jenis-jenis Simplisia
1. Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman,
eksudat tanaman, atau gabungan antara ketiganya. Eksudat tanaman adalah isi sel yang
secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel dengan cara tertentu di keluarkan dari
selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya
dan belum berupa zat kimia murni. Contohnya Amilum, Folium, Herba, Flos, Fructus,
Radix, Rhizoma, Cortex, Lignum
AMYLUM
Amylum diambil dari farinanya, yaitu bentuk pati kasar ditambah air, kemudian
disaring. Filtrate yang didapat kemudian diendapkan. Endapan tersebut diambil sebagai
Amylum setelah dikeringkan.
Contoh :
Amylum Oryzae ( Pati Beras)
Tanaman : Oryza sativa L.
Familia : Poaceae
Karakteristik : terdiri atas butir-butir tunggal atau majemuk
Berbentuk segi banyak (poligon) berukuran 5 µm
Umumnya tidak mempunyai hilus, pada pembesaran kuat tedapat hilus
Amylum Solani (Pati Kentang)
Tanaman : Solanum tuberosum L
Familia : Solanaceae
Karakteristik : Terdiri atas butir-butir tunggal
5
Butir pati berbentuk oval, bulat. Berukuran 100 µm
Lamela jelas, hilus eksentris (dipinggir)
FOLIUM
ABRI FOLIUM
MELALEUCAE FOLIUM
GUAZUMAE FOLIUM
7
HERBA
ANDROGRAPHIDIS HERBA
CORTEX
Keluarga : Apocynaceae
Nama tanam asal : Alyxia reinwardtii (BL), juga disebut Alyxia stellata
(Roomset Schult)
Keluarga : Apocynaceae
Zat berkhasiat utama / isi : Alkaloida zat pahit, kumarin, zat penyamak, minyak atsiri,
asam organik
RHIZOMA
CATHARANTHI RADIX
Nama tanaman asal : Catharanthus roseus (L), Vinca rosea (L), Lochnera rosea
Keluarga : Apocynaceae
Keluarga : Papilionaceae
Zat berkhasiat utama / isi : Glysirisin dengan kadar 5-10 %, yaitu garam K dan Ca dari
asam glisirizat (zat ini 50 x lebih manis dari gula tebu), pati, gula, asparagin
Persyaratan kadar : Kadar zat yang larut dalam air tidak kurang dari 20%,
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan di udara
Penggunaan : Antitusiva.
Keterangan lain : Yang belum dikupas berwarna coklat kekuningan atau coklat
tua, berkeriput memanjang kadang – kadang terdapat tunas kecil dan daun sisik yang
tersusun melingkar.
14
FLOS
CARYOPHYLLI FLOS
Keluarga : Myrtaceae
Minyak atsiri mengandung eugenol , zat serupa damar yang tdak berasa, zat hablur
berupa jarum yang disebut kariofilin, zat penyamak, dan gom
SAPPAN LIGNUM
Keluarga : Caesalpiniaceae
Zat berkhasiat utama : Brazilin, zat warna merah sappan, asam tanat, asam galat
Pengujian Simplisia
1. Susut pengeringan
Pada uji susut pengeringan, dilakukan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperatur105o C selama 60 menit, 90 menit, dan 120 menit atau sampai berat
konstan. Pada suhu 105o C ini, air akan menguap, dan senyawa-senyawa yang
mempunyai titik didih yang lebih rendah dari air akan ikut menguap juga. Susut
pengeringan dinyatakan sebagai nilai prosen terhadap bobot awal.
Rumus :
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
Susut pengeringan = × 100 %
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎
``
Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan, penarikan atau pengeluaran suatu komponen
cairan/campuran dari campurannya. Biasanya menggunakan pelarut yang sesuai dengan
komponen yang diinginkan. Cairan dipisahkan dan kemudian diuapkan sampai pada
kepekatan tertentu. Ekstraksi memanfaatkan pembagian suatu zat terlarut antar dua pelarut
yang tidak saling tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut
lain. Ekstraksi memegang peranan penting baik di laboratorium maupun industry. Di
laboratorium, ekstraksi seringkali dilakukan untuk menghilangkan atau memisahkan zat
terlarut dalam larutan dengan pelarut air yang diekstraksi dengan pelarut lain seperti eter,
kloroform, karbondisulfida atau benzene.
Klasifikasi Ekstraksi
Beberapa cara dapat mengklasifikasikan system ekstraksi. Cara kalsik adalah
mengklasifikasi berdasarkan sifat zat yang diekstraksi, sebagai khelat atau system ion
berasosiasi. Akan tetapi klasifikasi sekarang didasarkan pada hal yang lebih ilmiah, yaitu
proses ekstraksi. Bila ekstraksi ion logam berlangsung, maka proses ekstraksi berlangsung
dengan mekanisme tertentu. Berarti jika ekstraksi berlangsung melalui pembentukan khelat
atau struktur cincin, ekstraksi dapat diklasifikasikan sebagai ekstraksi khelat.
Suatu zat pengkelat lain yang sangat penting untuk ekstraksi pelarut dari ion logam
adalah difeniltiokarbazon atau “ditizon”. Ditizon dan kelat logamnya sangat tak-dapat larut
dalam air, tetapi dapat larut dalam pelarut semacam kloroform dan karbon letraklorida.
Larutan reagensia itu sendiri adalah hijau tua, semenlara kompleks logam adalah violet tua,
merah, jingga, kuning atau warna lain bergantung pada ion logamnya, logam yang
membentuk ditizonat antara lain Mn, Fe, Co, Ni, Cu, Zn, Pd, Ag, Cd, In, Sn, dan Pb.
Konsentrasi kelat dalam ekstrak itu normalnya ditetapkan secara spektrofotometris.
Golongan ekstraksi berikutnya dikenal sebagai ekstraksi melalui solvasi sebab spesies
ekstraksi disolvasi ke fase organik. Contoh dari golongan ini adalah ekstraksi besi (III) dari
asam hidroklorida dengan dietileter atau ekstraksi uranium dari media asam nitrat dengan
tributilfosfat.Kedua ekstraksi tersebut dimungkinkan akibat solvasi spesies logam ke fase
23
24
organic. Umumnya, garam logam yang sederhana cenderung menjadi lebih dapat larut dalam
pelarut yang sangat polar seperti air daripada dalam pelarut organik yang tetapan
dielektriknya jauh lebih rendah. Banyak ion disolvasikan oleh air, dan energi solvasi itu
disumbangkan untuk merusak kisi kristal garam. Lagi pula dibutuhkan kerja yang lebih kecil
untuk memisahkan ion-ion yang muatannya berlawanan dalam pelarut dielektrik tinggi.
Kemudian, biasanya diperlukan terbentuknya suatu spesies yang tak bermuatan jika suatu ion
harus diekstrak dari dalam air ke dalam suatu pelarut organik.
Golongan ekstraksi ketiga adalah proses yang melibatkan pembentukan pasangan ion.
Ekstraksi berlangsung melalui pembentukan spesies netral yang tidak bermuatan diekstraksi
ke fase organic.Contoh yang terbaik dari golongan ini adalah ekstraksi scandium dengan
triotilamin atau uranium dengn trioktilamin.Dalam hal ini pasangan ion terbentuk antara Sc
atau U dalam asam mineral bersama-sama dengan amina berberat molekul tinggi.
Jika senyawa-senyawa yang akan dilakukan ekstraksi pelarut berasal dari plasma maka ada
kemungkinan senyawa tersebut terikat pada protein sehingga recovery yang dihasilkan
rendah. Teknik yang dapat digunakan untuk memisahkan senyawa yang terikat pada protein
meliputi:
1. Penambahan detergen
2. Penambahan pelarut organic yang lain
3. Penambahan asam kuat
4. Pengenceran air
5. Penggantian dengan senyawa yang mampu mengikat lebih kuat
26
Metode Pembuatan Ekstraksi
Teknik ekstraksi dapat dibedakan menjadi tiga cara yaitu ekstraksi bertahap (batch-
extraction = ekstraksi sederhana), ekstraksi kontinyu (ekstraksi samapi habis), dan ekstraksi
arah berlawanan (counter current extraction). Ekstraksi bertahap merupakan cara yang paling
sederhana. Caranya cukup dengan menambahkan pelarut pengekstraksi yang tidak bercampur
dengan pelarut semula kemudian dilakukan pengocokan sehingga terjadi keseimbangan
konsentrasi zat yang akan diekstraksi pada kedua lapisan, setelah ini tercapai lapisan
didiamkan dan dipisahkan. Ekstraksi kontinyu digunakan bila perbandingan distribusi relaitf
kecil sehingga untuk pemisahan yang kuantitatif diperlukan beberapa tahap ekstraksi.
Efesiensi yang tinggi pada ekstraksi tergantung pada viskositas fase dan factor-faktor
lain yang mempengaruhi kecepatan tercapainya suatu kesetimbangan, salah satu diantaranya
adalah dengan menggunakan luas kontak yang besar. Ekstraksi kontinyu counter current, fase
cair pengekstraksi dialirkan dengan arah yang berlawanan dengan larutan yang mengandung
zt yang akan diekstraksi. Biasanya digunakan untuk pemisahan zat, isolasi atau
pemurnian.Sangat penting untuk fraksionasi senyawa organik tetapi kurang bermanfaat untuk
senyawa-senyawa an-organik.
2. Ekstraksi Cair-Cair
Merupakan metode pemisahan yang baik karena pemisahan ini dapat dilakukan dalam
tingkat makro dan mikro. Dan yang menjadi pokok pembahasan dalam ekstraksi cair-cair
ini adalah kedua fasa yang dipisahkan merupakan cairan yang tidak saling tercampur.
Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tetentu
antara dua pelarut yang tidak saling bercampur seperti benzene dan kloroform.
Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai cara untuk praperlakuan sampel atau clean-up
sampel untuk memisahkan analit-analit dari komponen-komponen matriks yang mungkin
menganggu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit. Kebanyakan prosedur ekstraksi
cair-cair melibatkan ekstraksi analit dari fasa air kedalam pelarut organic yang bersifat
non-polar atau agak polar seperti n-heksana, metil benzene atau diklorometana. Meskipun
demikian, proses sebaliknya juga mungkin terjadi. Analit-analit yang mudah tereksitasi
dalam pelarut organic adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen
dengan konstituen yang bersifat non-polar atau agak polar.
28
Jika dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair, SPE merupakan teknik yang relative
baru, akan tetapi SPE cepat berkembang sebagai alat yang utama untuk praperlakuan
sampel atau untuk clean-up sampel-sampel kotor, misalnya sampel-sampel yang
mempunyai kandungan matriks yang tinggi seperti garam-garam, protein, polimer, resin
dan lain-lain. Keunggulan SPE dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair adalah:
Sementara itu kerugian SPE adalah banyaknya jenis cartridge (berisi penyerap tertentu)
yang beredar dipasaran sehingga reprodusibilitas hasil bervariasi jika menggunakan
cartridge yang berbeda dan juga adanya adsorbs yang bolak balik pada cartridge SPE.
29
10 ml aquades
Kocok ± 30 detik
31
32
b. Reaksi warna
0,3 gram ekstrak dilrutkan dalam 15 ml etanol, lalu dibagi menjai 3 masing 5 ml ( 2A,
2B dan 2C). larutan 2A sebagai blanko.
Uji Liebermann-Burchard
Larutan 2B
Hasil
Uji Salkowski
Larutan 2C
Larutan 3A sebagai blanko. Larutan 3C ditambah 0,5 ml HCL pekat dan 4 potong
magnesium. Diamati warna yang terjadi. Diencerkan dengan aquades, kemudian
ditambah 1 ml butanol. Diamati warna yang terjadi disetiap lapisan. Perubahan warna
merah jingga menunjukkan adanya flavonol, merah tua menunjukkan adanya
flavonon.
Larutan 4C
Hasil
Warna hijau kehitaman = (+) tanin
Jika pada penambahan gelatin dan NaCl tidak timbul endapan tetapi setelah
ditambahkan larutan FeCl3, terjadi perubahan warna menjadi hijau biru hingga hitam,
menunjukkan adanya senyawa polifenol.
larutan 4B
5 ml NaCl 10 %
0,3 g sampel
0,3 g sampel
1 ml KOH 5 N
diekstraksi dengan toluena, fase toluena dibagi menjadi 2 (6A dan 6B)
larutan 6B + Ammonia
36
37
tidak sepenuhnya melarutkan kembali analit yang berada dalam lempeng kecuali dilakukan
pemurnian sebelumnya (clean up). Metode clean up paling sering dilakukan pada ekstraksi
selektif dan kromatografi kolom. Dalam beberapa kasus zat/senyawa perlu dikonversi dahulu
sebelum dianalisis dengan KLT. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan turunan senyawa yang
lebih cocok untuk proses pemisahan, deteksi, dan / atau kuantifikasi. KLT dapat mengatasi
sampel yang terkontaminasi, seluruh kromatogram dapat dievaluasi, mempersingkat proses
perlakuan sampel sehingga hemat waktu dan biaya. Kehadiran pengotor atau partikel yang
terjerap dalam sorben fase diam tidak menjadi masalah, karena lempeng hanya digunakan
sekali (habis pakai).
Deteksi senyawa menjadi mudah ketika senyawa secara alami dapat berwarna atau
berberfluoresensi atau menyerap sinar UV. Namun, perlakuan penambahan pereaksi
penampak noda dengan penyemprotan atau pencelupan terkadang diperlukan untuk
menghasilkan turunan senyawa yang berwarna atau berfluoresensi. Pada umumnya senyawa
aromatik terkonjugasi dan beberapa senyawa tak jenuh dapat menyerap sinar UV. Senyawa-
senyawa ini dapat dianalisis dengan KLT dengan fase diam yang diimpregnasi indikator
fluoresensi dan deteksi dapat dilakukan hanya dengan pemeriksaan di bawah sinar UV 254
nm.
Pada KLT, identifikasi awal suatu senyawa didasarkan pada perbandingan nilai Rf
dibandingkan Rf standar. Nilai Rf umumnya tidak sama dari laboratorium ke laboratorium
bahkan pada waktu analisis yang berbeda dalam laboratorium yang sama, sehingga perlu
dipertimbangkan penggunaan Rf relatif yaitu nilai Rf noda senyawa dibandingan noda
senyawa lain dalam lempeng yang sama. Faktor-faktor yang menyebabkan nilai Rf bervariasi
meliputi dimensi dan jenis ruang, sifat dan ukuran lempeng, arah aliran fase gerak, volume
dan komposisi fase gerak, kondisi kesetimbangan, kelembaban, dan metode persiapan sampel
KLT sebelumnya. Konfirmasi identifikasi dapat diperoleh dengan mengerok noda dalam
lempeng kemudian analit dalam lempeng dielusi dan dideteksi dengan spektrometri
inframerah (IR), spektrometri Nuclear magnetic resonance (NMR), spektrometri massa, atau
metode spektrometri lain jika senyawa hasil elusi cukup tersedia. Metode identifikasi ini juga
dapat menggunakan untuk menandai zona langsung pada lapisan (in situ).
38
Sejarah KLT
Kromatografi kolom pertama kali ditemukan oleh ahli botani Rusia, Tswett pada
tahun l903. Sekitar tahun l938 pemisahan pada lapisan tipis ditemukan oleh Izmailov dan
Shraiber, melalui teknik sederhana yang hanya membutuhkan sampel dan sorben yang sedikit
yaitu dengan memisahkan ekstrak tanaman menggunakan aluminium oksida yang disebar
pada lapisan kaca. Sorben ditaruh pada objek glass mikroskop sebagai suatu lapisan padatan
yang berair dengan tebal sekitar 2 mm. Sampel (ekstrak tumbuh-tumbuhan) diteteskan ke
dalam lapisan, kemudian pelarut (metanol) ditambahkan tetes demi tetes dari atas. Pada
lapisan sorben diperoleh serangkaian cincin melingkar berbentuk lapisan yang berbeda
warna. Dari sini lahirlah teknik baru KLT yang disebut drop kromatografi.
Pada l949 Meinhard dan Hall menggunakan binder tepung untuk memberikan
ketegasan pada masing-masing lapisan pada pemisahan ion anorganik, mereka menyebutnya
sebagai permukaan kromatografi. Pada tahun 1950, Kirkner dan koleganya menampilkan
KLT seperti yang kita kenal sekarang. Mereka menggunakan gel silika yang diletakkan pada
lempeng kaca dengan bantuan bahan pengikat, dan lempeng dikembangkan dengan prosedur
naik konvensional seperti yang digunakan pada kromatografi kertas. Kirkner adalah orang
yang pertama kali menciptakan istilah "kromatostrips" untuk lapisan yang mengandung
indikator fluoresensi. Stahl memperkenalkan istilah "kromatografi lapis tipis" pada akhir
1950-an. Kontribusi besar Stahl adalah pada standarisasi bahan, prosedur, dan tata-nama serta
deskripsi sistem pelarut selektif untuk klasifikasi senyawa. Laboratorium manual pertamanya
dipopulerkan dengan nama KLT, dan ia memperoleh dukungan dari perusahaan-perusahaan
komersial (Merck, Desaga) untuk menawarkan bahan baku dan peralatan untuk KLT. Teknik
lempeng KLT pertama kali dikomersilkan pada 1965. KLT dengan cepat menjadi sangat
populer setelah kurang lebih 400-500 publikasi per tahun muncul 6 di akhir tahun 1960
sehingga KLT mulai diakui sebagai prosedur yang relatif cepat dan murah untuk pemisahan
berbagai campuran sampel. Sorben yang paling banyak digunakan adalah silika gel dengan
ukuran pori rata-rata 60˚A.
Modifikasi silika gel dimulai dengan silanisation untuk menghasilkan fase terbalik.
Fase terbalik memperbesar kemungkinan pemisahan berdasar partisi dibandingkan dengan
adsorpsi seperti yang digunakan dalam teknik sebelumnya. Pengenalan scanner
spektrodensitometer komersial memungkinkan kuantifikasi analit secara langsung pada
lempeng KLT. Awalnya area puncak yang diukur secara manual, tetapi kemudian integrator
dapat mengukur area puncak secara otomatis. Kemajuan utama berikutnya adalah munculnya
KLTKT (kinerja tinggi lapis tipis kromatografi). Pada l973 Halpaap adalah orang yang
39
pertama mengakui keuntungan penggunaan partikel gel silika yang lebih kecil (sekitar 5-6
mm) pada persiapan lempeng KLT. Ia membandingkan efek ukuran partikel dengan waktu
pengembangan, nilai-nilai Rf dan Jarak setara lempeng teori. Pada pertengahan 1970-an,
diakui bahwa KLTKT dapat meningkatkan presisi sampai sepuluh kali lipat, waktu analisis
dapat dikurangi dengan faktor yang sama, mengurangi kuantitas fase gerak yang diperlukan
dan mengurangi jarak pengembangan sampel.
Aktivasi lempeng
Aktivasi lempeng ditujukan untuk menghilangkan kelembaban air atmosfer
yang teradsorbsi dalam lempeng. Contoh aktivasi lempeng yaitu pegeringan lempeng
silika gel 30 menit pada 120 ° C. Jika suhu yang digunakan terlalu tinggi akan
44
menyebabkan pelepasan senyawa kimia dalam lempeng yang dapat merubah sifat
silika gel secara irreversible (tak terpulihkan). Pada kromatografi adsorbsi, aktivitas
lempeng yang tinggi dapat meningkatkan ketertambatan fase diam sehingga jarak
migrasi sampel menjadi lebih pendek. Untuk mendapatkan reprodusibilitas nilai
ketertambatan (faktor retardasi) diperlukan penentuan tingkat aktivasi lempeng yang
baik.
Proses aktivasi lempeng diatas hanya cocok untuk lempeng silika gel dan
aluminium oksida. Untuk lempeng dengan sorben lain aktivasi lempeng dilakukan
sesuai petunjuk yang disarankan produsen lempeng. Misalnya untuk lempeng KLTKT
modifikasi amino (Merck) merekomendasikan agar lempeng diaktivasi selama 10
menit pada 120 ° C sebelum digunakan.
Temperatur dan lama aktivasi lempeng merupakan sumber kesalahan dalam
aktivasi. Terlalu pendek waktu aktivasi akan mengakibatkan tidak sempurnyanya
penghilangan kelembaban air dalam lempeng ataupun sisa eluen pencucian lempeng
sehingga lempeng akan memberikan latar belakang yang tidak seragam. Sebaliknya
waktu aktivasi yang terlalu lama akan menghilangkan air kimia terikat yang dapat
merubah sifat fisika kimia lempeng. Selain itu lapisan sorben lempeng dapat retak
karena adanya modifikasi kimia.
3. Penanganan Eluen
Pemilihan eluen merupakan faktor yang paling berpengaruh pada sistem KLT.
Eluen dapat terdiri dari satu pelarut atau campuran dua sampai enam pelarut.
Campuran pelarut harus saling sampur dan tidak ada tanda-tanda kekeruhan. Fungsi
eluen dalam KLT :
- Untuk melarutkan campuran zat
- Untuk mengangkat atau membawa komponen yang akan dipisahkan melewati
sorben fase diam sehingga noda memiliki Rf dalam rentang yang dipersyaratkan
- untuk memberikan selektivitas yang memadai untuk campuran senyawa yang
akan dipisahkan.
Pemilihan eluen yang cocok dapat dilakukan melalui tahapan optimasi eluen.
Optimasi eluen diawali dengan menentukan sifat fisika kimia analit yang akan
dianalisis dan jenis sorben fase diam yang digunakan. Misalnya sorben dengan prinsip
pemisahan berdasarkan muatan ion diperlukan data tentang jenis dan intensitas
muatan ion analit dalam pemilihan komposisi eluen. Pada sorben dengan prinsip
pemisahan berdasarkan polaritas dibutuhkan nilai koefisien partisi (P atau log P) dan
tetapan dissosiasi (pKa) analit dalam penentuan eluen. Nilai koefisien partisi analit
digunakan untuk menentukan afinitas analit terhadap fase diam dan fase gerak. Nilai
tetapan disosiasi (pKa) digunakan untuk menentukan bentuk analit (ion atau molekul)
pada pH lingkungan tempat analit berada. Bila analit berada pada pH dibawah pKa,
analit akan berbentuk molekul. Bila analit berada pada pH diatas pKa, analit
berbentuk ion. Saat analit berbentuk molekul afinitas analit terhadap fase diam dan
fase gerak akan sesuai dengan nilai koefisien partisinya tetapi ketika analit berbentuk
ion maka analit akan bersifat polar atau sebagian besar larut dalam pelarut polar dan
hampir tidak dapat larut dalam pelarut non polar. Oleh karena itu nilai log P dan pKa
analit menentukan apakah analit satu dengan analit yang lain dapat dipisahkan dengan
metode KLT. Bila dua analit memiliki koeffisien partisi (log P) sama dan nilai tetapan
disosiasi (pKa) juga sama, maka kedua analit tersebut akan sulit dipisahkan dengan
metode KLT. Bila dua analit memiliki nilai log P sama tetapi nilai pKa berbeda, maka
kedua analit masih dapat dipisahkan dengan cara mengatur pH dari eluen yang
digunakan. pH eluen diatur agar salah satu analit berada dalam bentuk molekul
sedangkan analit yang lain berada dalam bentuk ion. Selain nilai log P dan pKa tentu
sifat fisika kimia yang lain (misalnya ikatan kimia) juga menentukan proses
pemisahan analit. Tabel 2 menunjukkan beberapa pelarut yang paling sering
digunakan dalam KLT, disertai dengan nilai log P dan koefisien kecepatan migrasi
masing-masing pelarut, yang digunakan sebagai acuan kekuatan elusi.
4. Penanganan Chamber
5. Aplikasi Sampel
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya
jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin.
Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain, jika sampel yang digunakan
terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Aplikasi sampel pada sorben lempeng
KLT dapat dilakukan secara manual dengan peralatan sederhana dan dapat juga
dengan peralatan otomatis. Semakin tepat posisi penotolan dan kecepatan penotolan
semakin baik kromatogram yang dihasilkan. Aplikasi sampel secara otomatis dapat
memperbaiki kualitas penotolan sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara manual
48
terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 μl. Penotolan sampel yang
tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda (gambar 2.8).
Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5
μl. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 μl maka penotolan
harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan.
Aplikasi pita dengan teknik manual hampir tidak mungkin tanpa beberapa
kerusakan pada lempeng KLT. Hal ini juga sangat sulit untuk mendapatkan panjang
dan lebar pita yang seragam begitu juga dengan konsentrasi seragam. Kerusakan pada
permukaan sorben lempeng KLT yang disebabkan oleh mikro pipet merupakan
kesalahan terbesar yang berpengaruh pada noda yang dihasilkan. Untuk mendapatkan
hasil terbaik, perlu diperhatikan prosedur yang digunakan dimana kontak dengan
permukaan sorben dapat dihindari sebisa mungkin. Untuk aplikasi dosis pita dapat
menggunakan mikro pipet yang dilengkapi dengan reservoir larutan sampel.
Meskipun demikian sulit untuk menghasilkan ukuran dan bentuk pita yang seragam
secara menyeluruh.
Adhyatma. 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Wulandari, Lastyo. 2011. Kromatografi Lapis Tipis. Fakultas Farmasi universitas Jember. PT
Taman Kampus Presindo. Jember
Subchan Agus S, Bilal, Lailiiyatus S, Anggraeni I.O, dan Annisa L.S. 2019. Pedoman
Praktikum Fitofarmasi. Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang. Malang
iv