“SKRINING FITOKIMIA”
Disusun Oleh:
Ainul Ersa Salmi P24840420004
Angga Maulana P24840420010
Meisya Apia Putri P24840420040
Michelle Angelita Rumondor P24840420041
Monica Dwi Rosa Pardosi P24840420042
Mutiara Ramadhani Putri P24840420043
Nabilah Rosadi P24840420044
Nanda Putri Kamilah P24840420045
Nisa Nuraini P24840420046
Nur Munnaroh P24840420048
Nurfadhilah Azhari Ismawati P24840420049
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah dan
rahmat serta hidayat-Nya yang telah diberikan, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah
Metode Analisa Tumbuhan yang berjudul “Skrining Fitokimia“ ini.
Adapun maksud dan tujuan menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fitokimia Teori dengan dosen pengampu Ibu Ruth Elenora K. S., M.Farm, Apt.. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dengan adanya penyusunan makalah ini
pembaca dapat belajar dengan baik mengenai Metode Analisa Tumbuhan.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka
dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan
pengetahuan kami terutama dalam bidang studi Fitokimia ini, sehingga diharapkan dapat
memberikan pedoman untuk pembelajaran serta dapat memberikan petunjuk penulisan yang
teratur dan tersusun rapih tanpa ada unsur kesenjangan terhadap pihak lain.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
dan juga pembaca agar dapat menambah pengetahuan kita semua.
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................1
C. Tujuan.....................................................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................................2
ISI.........................................................................................................................................................2
A. Identifikasi Pendahuluan.......................................................................................................2
B. Histokimia...............................................................................................................................3
C. Skrining Alkaloid....................................................................................................................4
D. Skrining Glikosida..................................................................................................................6
E. Skrining Flavanoid...............................................................................................................10
F. Skrining Saponin..................................................................................................................11
G. Skrining Steroid-Triterpenoid.............................................................................................13
H. Penetapan Kadar Tanin.......................................................................................................14
BAB III...............................................................................................................................................17
PENUTUP..........................................................................................................................................17
A. Kesimpulan............................................................................................................................17
B. Saran......................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah mengenai suatu metode analisa
tumbuhan skrining fitokimia.
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah agar dapat memahami dan menjelaskan mengenai
metode analisa tumbuhan skrining fitokimia.
1
BAB II
ISI
Skrining fitokimia atau disebut juga penapisan fitokimia merupakan uji pendahuluan
dalam menentukan golongan senyawa metabolit sekunder yang mempunyai aktivitas biologi
dari suatu tumbuhan. Skrining fitokimia tumbuhan dijadikan informasi awal dalam
mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat didalam suatu tumbuhan. Dalam suatu
percobaan, skrining fitokimia dilakukan dengan menggunakan pereaksi-pereaksi tertentu
sehingga dapat diketahui golongan senyawa kimia yang terdapat pada tumbuhan tersebut.
Metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan dalam jalur metabolisme lain
yang walaupun dibutuhkan, tapi dianggap tidak penting peranannya dalam pertumbuhan
suatu tumbuhan. Beberapa fungsi penting metabolit sekunder: hormon; sebagai agen pewarna
untuk menarik atau memberi peringatan pada spesies lainnya; fitoalexan (sebagai bahan
racun) yang memberikan pertahanan melawan predator; merangsang sekresi senyawa-
senyawa lainnya seperti alkaloid, terpenoid, senyawa fenolik, glikosida, gula, dan asam
amino.
A. Identifikasi Pendahuluan
Uji Organoleptik
2
lain, karena pada umumnya pemeriksaan baru dilanjutkan jika penilaian organoleptik
memberikan hasil baik. Pada simplisia bentuk serbuk, pemeriksaan secara mikroskopik
dapat dilakukan secara serentak dengan cara organoleptik.
Uji Makroskopik
Uji Mikroskopik
B. Histokimia
3
reagen atau larutan khusus pada sayatan organ dan akan menghasilkan warna yang
spesifik.
Reaksi Warna
Uji fenol dilakukan dengan menggunakan feri triklorida 10% yang kemudian
ditambahkan beberapa butir natrium karbonat dan didiamkan selama 15 menit. Sayatan
diamati menggunakan mikroskop. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya warna
hijau gelap atau hitam.
C. Skrining Alkaloid
Pengertian Alkaloid
4
Kebanyakan alkaloid memiliki rasa pahit, bersifat basa lemah, dan sedikit larut
dalam air dan dapat larut dalam pelarut organik non-polar seperti dietil eter, kloroform
dan lain-lain. Pada umumnya alkaloid berbentuk padatan kristal seperti pada senyawa
atropine. Beberapa alkaloid seperti lobeline atau nikotin berbentuk cairan.
Alkaloid memiliki kelarutan yang khas dalam pelarut organik. Golongan senyawa
ini mudah larut dalam alkohol dan sedikit larut dalam air. Garam alkaloid biasanya
larut dalam air. Di alam, alkaloid ada di banyak tumbuhan dengan proporsi yang lebih
besar dalam biji dan akar dan seringkali dalam kombinasi dengan asam nabati.
Senyawa alkaloid memiliki rasa yang pahit.
5
Kemudian dikeringkan dengan penambahan 2,5gram Natrium sulfat anhidrat dan
disaring.
Pembuatan larutan Mayer, dilakukan dengan cara mengambil HgCl2 sebanyak
1,5gram dilarutkan dengan 60ml akuades. Di tempat lain dilarutkan KI sebanyak 5gram
dalam 10ml aquades. Kedua larutan yang telah dibuat tersebut kemudian dicampur dan
diencerkan dengan akuades sampai volume 100ml. pereaksi Mayer yang diperoleh
selanjutnya disimpan dalam botol gelap.
Pembuatan pereaksi Dragendorf, dilakukan dengan mencampur Bismuth subnitrat
sebanyak 1gram dilarutkan dalam campuran 10ml asam asetat glasial dan 40ml
akuades. Di tempat lain 8gram KI dilarutkan dalam 20ml akuades. Kedua larutan yang
telah dibuat dicampur kemudian diencerkan dengan akuades sampai volumenya 100ml.
pereaksi Dragendorf ini harus disimpan dalam botol yang berwarna gelap dan hanya
dapat digunakan selama periode beberapa minggu setelah dibuat.
Pembuatan pereaksi Wagner, dilakukan dengan cara mengambil senyawa KI
sebanyak 2gram dan iodine sebanyak 1,3gram kemudian dilarutkan dengan akuades
sampai volumenya 100ml kemudian disaring. Pereaksi Wagner ini juga harus disimpan
dalam botol yang gelap.
D. Skrining Glikosida
6
Gambar 1. Contoh Senyawa Glikosida
Aglikon memiliki rumus molekul yang sangat beragam, mulai dari turunan fenol
sederhana sampai ke kelompok triterpen. Ikatan antara molekul gula dengan molekul
nongula disebut ikatan glikosidik yang dapat berupa ikatan eter, ikatan ester, ikatan
sulfida dan ikatan C-C. Ikatan ini sangat mudah terurai oleh pengaruh asam, basa,
enzim, air, dan panas. Semakin pekat kadar asam atau basa maupun semakin panas
lingkungannya maka glikosida akan semakin mudah dan cepat terhidrolisis. Saat
glikosida terhidrolisis maka molekul akan pecah menjadi dua bagian, yaitu bagian gula
dan bagian bukan gula. Dalam bentuk glikosida, senyawa ini larut dalam pelarut polar
seperti air. Namun, bila telah terurai maka aglikonnya tidak larut dalam air karena larut
dalam pelarut organik nonpolar. Apabila senyawa glikon tidak sama dengan aglikon,
maka glikosida tersebut dinamakan heterosida. Contohnya adalah dioscon (terdiri dari
bagian gula dan aglikonnya diosgenin). Sementara bila glikonnya sama dengan aglikon
disebut holosida. Contohnya adalah laktosa (terdiri dari gula glukosa dan gula
galaktosa, sama-sama gula).
Gula yang sering menempel pada glikosida adalah β-D-glukosa. Meskipun
demikian, ada juga beberapa gula jenis lain yang dijumpai menempel pada glikosida,
misalnya ramnosa, digitoksossa dan simarosa. Bagian aglikon atau genin terdiri dari
berbagai macam senyawa organik, misalnya triterpena, steroid, antrasena, atau pun
senyawa yang mengandung gugus fenol, alkohol, aldehida, keton dan ester. Molekul
gula dapat terdiri dari hanya sebuah glukosa (monosakarida) sampai oligosakarida. Jika
gugus gulanya adalah glukosa maka glikosida tersebut disebut glukosida, namun jika
bukan glukosa maka tetap disebut glikosida.
Glikosida berasal dari senyawa asetal dengan satu gugus hidroksi dari gula yang
mengalami kondensasi dengan gugus hidroksi dari komponen bukan gula. Sementara
gugus hidroksi yang kedua mengalami kondensasi di dalam molekul gula itu sendiri
7
membentuk lingkaran oksida. Oleh karena gula terdapat dalam dua konformasi, yaitu
bentuk alfa dan bentuk beta maka bentuk glikosidanya secara teoritis juga memiliki
bentuk alfa dan bentuk beta. Namun, dalam tanaman ternyata hanya glikosida bentuk
beta saja yang terkandung di dalamnya. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa
elmulsin dan enzim alami lain hanya mampu menghidrolisis glikosida yang ada pada
bentuk beta.
Glikosida di alam sangat tersebar luas dan banyak, di antaranya telah berhasil
diisolasi dari berbagai sumber, antara lain glikosida Amigdalin yang berasal dari
Prumus amygdalus dengan famili Rosaceae. Arbutin dari Arctostaphyllos uva ursi
dengan famili Ericaceae, Digitonin yang berasal dari Digitalis purpurea dengan famili
Scrophulariaceae, dan Rutin yang berasal dari Fagopyrum esculentum dengan famili
Polygonaceae. Berikut ini adalah beberapa glikosida yang memiliki berbagai kegunaan
antara lain:
Glikosida berbentuk kristal atau amorf. Umumnya mudah larut dalam air atau
etanol encer (kecuali pada glikosida resin). Oleh karenanya, banyak sediaan-sediaan
farmasi mengandung glikosida umumnya diberikan dalam bentuk eliksir, ekstrak, atau
tingtur dengan kadar etanol yang rendah. Larutan glikosida dalam air kadang-kadang
bisa berasa pahit. Bersifat memutar bidang polarisasi ke kiri dan tidak mereduksi
larutan Fehling, kecuali bila telah mengalami proses hidrolisis. Secara umum, glikosida
mudah larut dalam pelarut polar seperti air dan alkohol. Glikosida relatif mudah
mengalami hidrolisis baik oleh enzim glikosidase yang terdapat dalam tumbuhan
maupun oleh asam ataupun basa. Hidrolisis dapat menyebabkan penurunan aktivitas
farmakologi, oleh karena itu pada umumnya tidak dikehendaki terjadinya hidrolisis
dalam simplisia yang mengandung glikosida. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
pengeringan cepat pada suhu rendah. Pada simplisia tertentu (Vanillae Fructus,
Gaultheriae Folium) justru dilakukan hidrolisis, sebab yang diperlukan adalah
aglikonnya. Dalam kehidupan tanaman, glikosida memiliki peran penting karena
8
terlibat dalam fungsi-fungsi pengaturan, perlindungan, pertahanan diri dan kesehatan.
Oleh karena terbentuknya dalam tanaman dan merupakan produk antara, maka kadar
glikosida sangat tergantung pada aktivitas tanaman melakukan kegiatan biosintesis.
Akan tetapi, kadang-kadang glikosida juga bisa merugikan manusia, misalnya dengan
mengeluarkan gas beracun HCN pada glikosida sianogenik. Secara umum, arti penting
glikosida bagi manusia adalah untuk sarana pengobatan dalam arti luas yang beberapa
di antaranya adalah sebagai obat jantung, pencahar, pengiritasi lokal, analgetikum dan
penurun tegangan permukaan.
Selain mengikuti tata nama kimia, glikosida sering diberi nama menurut/merujuk
ke nama tanaman tempat glikosida tersebut ditemukan pertama kali. Contohnya:
glycyrrhizin (dari Glycyrrhiza sp), vitexin (dari Vitex sp.), rutin (dari Ruta sp.),
panaksosida (dari Panax sp.), abrusosida (dari Abrus precatoeius) dan lain-lain. Selain
itu, terdapat pula cara penamaan mengikuti aturan berikut: “nama aglikon” disambung
“nama gula” ditambahi akhiran “osida”. Sebagai contoh, glikosida yang mengandung
glukosa disebut glukosida, yang mengandung arabinosa disebut arabinoside, dan yang
mengandung galakturonat disebut galakturunosida, dan seterusnya.
Glikosida diklasifikasikan berdasarkan jenis glikon, jenis aglikon dan jenis ikatan
glikosidanya.
9
Berdasarkan letak ikatan glikosida, di bawah atau di atas dari struktur datar
molekul gula, maka glikosida dapat diklasifikasikan sebagai alfa-glikosida (bawah)
atau beta-glikosida (atas). Beberapa enzim seperti alfa-amilase hanya dapat
menghidrolisis ikatan-alfa.
Difenilamina
Timbal tetraasetat/2,7-diklorofluororesen
Untuk deteksi glikosida dan glikolipid: larutkan 0,1gram orcinol dalam 40,7ml
HCl pekat. Tambahkan 1 ml 1% FeCl3 dan larutkan dengan aquades sampai volume
menjadi 100 ml. Semprot plat dan panaskan pada suhu 80 ℃ selama 90 menit. Adanya
glikolipid akan menghasilkan spot berwarna ungu.
Asam fosfat-bromida
Untuk mendeteksi digitalis glikosida: larutan 1, 10% asam fosfat encer; larutan 2,
campukan 2ml larutan jenuh kalium bromida, 2ml larutan jenuh kalium bromat dan 2ml
25% asam hidroklorida. Prosedur kerja pada suatu pengujian, semprot plat denga
larutan 1. Panaskan pada suhu 120℃ selama 12 menit. Digitalis glikosida seri B, D,
dan E akan menunjukkan fluorosens pada panjang gelombang UV. Lanjutkan dengan
memanaskan lagi pada suhu 120℃ dan semprotkan sedikit larutan 2. Glikosida seri A
menunjukkan warna oranye, seri C ditunjukkan dengan pendar fluorosens berwarna
abu-abu hijau sampai abu-abu biru pada cahaya UV.
10
Tetranitro difenil
E. Skrining Flavanoid
Pengertian Flavanoid
Flavonoid adalah metabolit sekunder dari polifenol, ditemukan secara luas pada
tanaman serta makanan dan memiliki berbagai efek bioaktif termasuk antivirus,
antiinflamasi, kardioprotektif, antidiabetes, antikanker, antipenuaan, antioksidan, dan
lain-lain. Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom
karbon yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, artinya kerangka karbonnya terdiri
atas dua gugus C6 (cincin benzena tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga
karbon. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga dapat ditemukan
pada setiap ekstrak tumbuhan. Flavonoid adalah kelas senyawa yang disajikan secara
luas di alam. Flavonoid ditemukan pada tanaman yang berkontribusi memproduksi
pigmen berwarna kuning, merah, oranye, biru, dan warna ungu dari buah, bunga, dan
daun. Flavonoid termasuk dalam famili polifenol yang larut dalam air.
11
selama 1 menit. Ditambahakan 10 tetes asam klorida pekat, jika dalam waktu 2-5
menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya flavonoid (glikosida-3-
flavonol).
Diuapkan hingga kering 1ml larutan percobaan, sisa dilarutkan dalam 1ml etanol
96%, ditambahkan 0,1gram serbuk magnesium dan 10ml HCl pekat, jika terjadi
warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoid. Jika terjadi
warna kuning jingga, menunjukkan adanya flavon dan kalkon.
Diuapakan hingga kering larutan percobaan, dibasahkan dengan aseton,
ditambahkan sedikit serbuk halus asam borat dan serbuk halus asam oksalat,
dipanaskan hati-hati diatas penangas air dan hindari pemanasan yang berlebihan
kemudian dicampurkan sisa yang diperoleh dengan 10ml eter. Diamati dengan sinar
ultraviolet 366 nm, larutan berflouresensi kuning insentif menunjukkan flavonoida.
F. Skrining Saponin
Nama "saponin" berasal dari kata Latin ‘sapo’, yang berarti penghasil busa
seperti kemampuan sabun, dan sifat amfifilik yang diturunkan dari struktur yang
mengandung senyawa turunan isoprenoid aglikon (sapogenin) yang terikat pada satu
atau lebih rantai gula melalui ikatan eter atau ester. Saponin sendiri merupakan
senyawa glikosida kompleks yaitu senyawa hasil kondensasi suatu gula dengan
senyawa hidroksil organik yang mana bila dihidrolisis akan menghasilkan gula (glikon)
dan non-gula (aglikon).
Klasifikasi struktural saponin terutama didasarkan pada kerangka sapogeninnya,
Saponin sendiri terdiri dari dua kelompok, yaitu: saponin triterpenoid dan saponin
steroid. Triterpenoid saponin tersebar luas di dikotil, termasuk empat kerangka utama-
Pentasiklik oleanana, ursane, lupane, dan tetracyclic dammarane. Sedangkan saponin
steroid sebagian besar berasal dari monokotil, terdiri dari empat kerangka utama-
Tetrasiklik cholestane, hexacyclic spirostane, furostane pentasiklik, dan kardenolida
yang mengandung lakton.
12
Gambar 2. Klasifikasi Struktural Saponin
Di alam, saponin ditemukan pada tumbuhan dan hewan laut, di mana mereka
terlibat dalam inang pertahanan terhadap patogen dan pemangsanya. Saponin juga
banyak diguanakan untuk obat. Hal ini karena saponin menunjukkan sejumlah besar
aktivitas biologis, termasuk antijamur, antimikroba, antivirus, anti-inflamasi,
antikanker, antioksidan, dan efek imunomodulator.
Untuk membuktikan apakah suatu simpilisa yang kita uji ada/tidaknya saponin,
maka diperlukan pengujian. Uji saponin ada 2, yaitu:
Uji Hemolisis, teteskan darah pada object glass dan campurkan dengan beberapa
tetes ekstrak air saponin. Sampel positif saponin dengan rusaknya sel darah merah.
Uji Buih, masukkan 1gram simplisia, larutkan dengan 10-20ml air. Tutup tabung,
kocok selama beberapa menit (timbul busa). Sampel dinyatakan positif saponin
ditandai dengan timbulnya buih yang bertahan selama 60-120 detik.
Pengujian saponin cenderung mudah digunakan dan cepat jika ingin lebih
memastikan dapat ditambahkan sedikit larutan HCl. Namun pengujian ini hanya
digunakan sebagai uji kualitatif saja, karena tidak diketahui sebanyak apa saponin yang
terkandung dalam suatu simplisia tersebut. Contoh tanaman yang positif mengandung
saponin adalah daun sidaguri (Sidae Folium).
G. Skrining Steroid-Triterpenoid
13
Cara pengerjaannya yaitu ekstrak dilarutkan dalam kloroform kemudian ditambah
pereaksi Liebermann-Bouchard (asam asetat anhidrat-H2SO4) menunjukkan hasil
positif dengan adanya perubahan warna menjadi merah kecokelatan untuk steroid dan
cokelat-ungu untuk triterpenoid. Reaksi triterpenoid dengan pereaksi Liebermann
menghasilkan warna merah-ungu, sedangkan steroid memberikan warna hijau-biru. Hal
ini didasari oleh kemampuan senyawa triterpenoid dan steroid membentuk warna oleh
H2SO4 dalam pelarut asam asetat anhidrid. Perbedaan warna yang dihasilkan oleh
triterpenoid dan streoid disebabkan perbedaan gugus pada atom C-4. Adapun reaksi
kimia yang terjadi seperti dalam Gambar 3.
14
Secara kimia terdapat dua jenis tanin yang tersebar merata dalam dunia
tumbuhan. Tanin-terkondensasi hampir terdapat semesta di dalam paku-pakuan dan
gymnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis tanaman
berkayu. Sebaliknya, tanin yang terhidrolisiskan penyebarannya terbatas pada tanaman
berkeping dua.
Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap terbentuk
dengan cara kondensasi katekin tunggal (atau galokatekin) yang membentuk senyawa
dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon menghubungkan satu
satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau 6-8. Kebanyakan
flavolan mempunyai 2 sampai 20 satuan flavon. Nama lain untuk tanin terkondensasi
adalah proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan
karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin.
Kebanyakan proantosianidin adalah prosianidin, ini berarti bila direaksikan dengan
asam akan menghasilkan sianidin.
Tanin terhidrolisiskan terutama terdiri dari dua kelas yang sederhana yaitu
depsida galoilglukosa. Pada senyawa ini, inti yang berupa glukosa dikelilingi oleh lima
gugus ester galoil atau lebih. Pada jenis kedua, inti molekul berupa senyawa dimer
asam galat, yaitu asam heksahidroksidifenat, disini pun berikatan dengan glukosa. Bila
dihidrolisis elagitanin ini menghasilkan asam elagat. Senyawa dalam kedua golongan
ini dapat dipilah lebih lanjut berdasarkan biogenesisnya.
Uji skrining tanin dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu uji gelatin-FeCl 3.
Untuk uji FeCl3, maka sebanyak 2 ml ekstrak air dari suatu bagian tanaman
ditambahkan ke dalam 2 ml air suling. Selanjutnya, larutan ekstrak tersebut ditetesi
dengan satu atau dua tetes larutan FeCl3 1%. Adanya kandungan tanin ditandai dengan
timbulnya warna hijau gelap atau hijau kebiruan. Sedangkan, suatu esktrak bagian
tanaman mengandung tanin jika terbentuk endapan putih, setelah diberi larutan gelatin
1% yang mengandung NaCl 10%.
Penetapan kadar tanin dapat dilakukan dengan beberapa metode. Diantaranya
dengan metode lowenthal-procter dan dengan menggunakan metode spektrofotometri
UV-VIS. Metode Lowenthal-Procter (permanganometri) melibatkan proses oksidasi-
reduksi atau redoks. Pada penelitian ini digunakan larutan KMnO4 sebagai larutan
standar karena termasuk oksidator kuat, umum digunakan, mudah diperoleh, dan tidak
mahal. Prinsip dari metode ini adalah mengukur volume KMnO4 yang dibutuhkan
dalam proses titrasi sampel sampai terjadi perubahan warna kuning keemasan.
15
Dengan menggunakan ekstrak tanin yang dilarutkan dalam aquades lalu
dipanaskan pada suhu 40-60oC selama 30 menit dengan tujuan untuk mempercepat
pelarutan, larutan sampel selanjutnya disaring untuk memisahkan antara filtrat dan
residu. Filtrat yang diperoleh kemudian diencerkan hingga mencapai volume 250ml.
Selanjutnya ke dalam 25ml larutan sampel ditambahkan tetes demi tetes larutan
indigocarmin dan dititrasi dengan larutan KMnO4 yang sebelumnya telah
distandarisasi.
Indigocarmin sendiri berfungsi sebagai indikator untuk mendeteksi terjadinya
titik akhir titrasi. Warna larutan yang terbentuk sebelum titrasi adalah berwarna biru,
selanjutnya titrasi dilakukan dengan ditambahkan sebanyak 1ml KMnO4 hingga warna
berubah dari biru menjadi hijau. Titrasi dilakukan tetes demi tetes hingga warna hijau
sebelumnya berubah menjadi warna kuning yang menandakan tercapainya titik akhir
titrasi.
Kalium permanganat berperan sebagai oksidator yang akan mengoksidasi fenolat
yang terkandung dalam sampel. Untuk 1ml KMnO4 0,1N akan mengoksidasi tanin
sebanyak 0,004157gram. Titrasi permanganometri dilakukan sebanyak 3 kali untuk
mendapatkan hasil yang lebih akurat dan penetapan blanko juga dilakukan untuk
mengetahui seberapa banyak KMnO4 yang bereaksi dengan indigocarmin.
Adapun metode dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis dapat dilakukan
pada panjang gelombang 190-380nm (pada daerah ultraviolet) atau panjang gelombang
380-780nm (pada daerah cahaya tampak). Untuk menentukan kadar tanin diukur
dengan menggunakan kurva standar tanin. Standar tanin yang digunakan yaitu asam
tanat. Pemilihan asam tanat dikarenakan asam tanat merupakan golongan tanin
terhidrolisis sehingga dapat digunakan sebagai pembanding dalam pengukuran kadar
tanin total. Tanin yang dibaca pada spektrofotmetri UV-Vis harus direaksikan dengan
reagen pembentuk warna yaitu folin denis dan natrium karbonat. Pembentukan
warnanya berdasarkan reaksi reduksi oksidasi, dimana tanin sebagai reduktor. Folin
denis sebagai oksidator, tanin yang teroksidasi akan mengubah fosmolibdat dalam folin
denis menjadi fosmolibdenim yang berwarna biru yang dapat menyerap sinar pada
daerah panjang gelombang ultraviolet visibel Na2CO3 bertujuan untuk membuat
suasana basa agar terjadi reaksi reduksi folin denis oleh gugus hidroksil dari polifenol
di dalam sampel dan akan membentuk kompleks molybdenum-tungsten berwarna biru.
Kemudian sampel diukur dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis untuk
mengetahui absorban dari sampel. Untuk mendapatkan absorban sampel sesungguhnya
16
dilakukan dengan cara mengurangi nilai absorban sampel dengan nilai absorban kontrol
ekstrak. Setelah di dapatkan absorban sampel sesungguhnya kemudian dihitung nilai
kandungan tanin.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Skrinning fitokimia adalah pengujian secara kualitatif untuk mengetahui dan
memastiksn bahwa kandungan metabolit sekunder yang diinginkan terdapat
didalamnya. Fungsi metabolit sekunder bagi manusia salah satunya adalah obat.
Skrinning fitokimia pada tumbuhan dapat disimpulkan untuk identifikasi awal pada
suatu simplisia untuk mengetahui senyawa yang terdapat dalam tumbuhan tersebut.
Skrinning fitokimia dilakukan menggunakan pereaksi-pereaksi tertentu sehingga
didapatkan hasil senyawa yang terdapat pada tumbuhan tersebut. Golongan senyawa
metabolit sekunder adalah alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, tanin, steroid dan
triterpenoid.
B. Saran
Dalam penapisan fitokimia, sebaiknya memperhatikan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi hasil identifikasi. Kemudian, perhatikan pemilihan pelarut untuk
langkah selanjutnya didalam ekstraksi dikarenakan jenis dan sifat metabolit sekunder
berbeda-beda. Selain itu, terdapat golongan-golongan metabolit sekunder yang
memberikan hasil positif palsu karena golongan tersebut bereaksi dengan pereaksi
tersebut dan menghasilkan hasil positif.
18
DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin, M. (2018). Skrining Fitokimia dan Profil Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Tumbuhan Antimalaria Asal Indonesia. Jurnal Sains Dan Informatika, 4, 174–181.
Azizah, Z., Zulharmita, & Wati, S. W. (2018). Skrining Fitokimia dan Penetapan Kadar
Flavonoid Total Ekstrak Etanol Daun Pare (Momordica charantia L .). Jurnal Farmasi
Higea, 10(2), 163–172.
http://www.jurnalfarmasihigea.org/index.php/higea/article/view/212
Endarini, L. H., (2016). Farmakognosi dan Fitokimia. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.
Habibi, A. I., Firmansyah, R. A., & Setyawati, S. M. (2018). Skrining Fitokimia Ekstrak n-
Heksan Korteks Batang Salam (Syzygium polyanthum). Indonesian Journal of
Chemical Science, 7(1), 1–4.
Julianto, T. S. (2019). Fitokimia Tinjauan Metabolit Sekunder dan Skrining Fitokimia. In
Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 53, Issue 9).
http:/library.uii.ac.id;e-mail: perpustakaan@uii.ac.id
Nugrahani, R., Andayani, Y., & Hakim, A. (2016). SKRINING FITOKIMIA DARI
EKSTRAK BUAH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L) DALAM SEDIAAN SERBUK.
Jurnal Penelitian Pendidikan IPA, 2(1). https://doi.org/10.29303/jppipa.v2i1.38
Pratama, M., Razak, R., & Rosalina, V. S. (2019). ANALISIS KADAR TANIN TOTAL
EKSTRAK ETANOL BUNGA CENGKEH (Syzygium aromaticum L.)
MENGGUNAKAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS. Jurnal Fitofarmaka
Indonesia, 6(2), 368–373. https://doi.org/10.33096/jffi.v6i2.510
Wahid, A. R., & Safwan, S. (2020). Skrining Fitokimia Senyawa Metabolit Sekunder
Terhadap Ekstrak Tanaman Ranting Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.). Lumbung
Farmasi: Jurnal Ilmu Kefarmasian, 1(1), 24. https://doi.org/10.31764/lf.v1i1.1208
Wayan Adhi Kresnanda Mahardika, Vanny M. A. Tiwow, dan S. (2019). Pendidikan
Kimia/FKIP – Universitas Tadulako, Palu – Indonesia 94118. J. Akademika Kim. 7,
7(November), 168–172.
Saponins, S. (2020). Biological and Pharmacological E ff ects of.
19