Anda di halaman 1dari 2

TEORI IKATAN VALENSI

Teori ikatan valensi mula-mula dikemukakan oleh Heitler dan Slater, dan
kemudian dikembangkan oleh Pauling dan Coulson, Teori ini bertolak dari fakta
bahwa atom sebelum berikatan terpisah satu sama lain. Setelah berikatan, terjadi
tumpang tindih orbital kulit terluarnya, sehingga elektron didalamnya menjadi
milik berdua. Yang bertindihan hanya orbital yang mengandung elektron yang
tidak berpasangan dan setelah bergabung menjadi berpasangan, contohnya H2.

Dua elektron dapat bergabung dalam satu orbital bila spinnya berlawanan.
Satu elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluar suatu atom akan tarik
menarik dengan elektron terluar atom lain. Akibatnya, kedua atom terikat karena
adanya pasangan elektron tersebut.

Dua atom yang berjauhan tidak punya daya tarik menarik atau daya tarik
menariknya kecil sekali. Jika keduanya makin mendekat, daya tarik bertambah
sehingga terjadi tumpang tindih orbital. Tumpang tindih tidak bisa terlalu besar
karena ada gaya tolak menolak muatan positif kedua inti. Jadi, terdapat hubungan
antara energi potensial (daya tarik dan daya tolak atom) dengan jarak kedua atom.
Jarak yang stabil suatu ikatan disebut jari-jari kovalen. Pada jarak ini, perbedaan
daya tarik kedua atom dengan daya kedua inti bernilai maksimum.

Kekuatan ikatan bergantung pada besarnya pertindihan orbital. Berdasarkan


itu dikenal dua macam ikatan , yaitu ikatan σ (sigma) dan ikatan π (pi). Ikatan σ
mempunyai pertindihan lebih besar maka ikatannya lebih kuat, sedangkan ikatan π
lebih lemah karena pertindihannya kecil. Yang termasuk ikatan σ adalah ikatan s-s,
s-p, dan p-p yang segaris, sedangkan ikatan p-p yang sejajar. (KIMIA DASAR 1 ,
HAL 213-214 )

Linus Pauling (1931) mengembangkan ikatan valensi modern untuk


senyawa koordinasi, yang kemudian dikenal sebagai VBT, dengan mengenalkan
konsep hibridisasi. Beberapa contoh konfigurasi elektron ion pusat dalam senyawa
kompleks pada orbital d dan orbital hibrida yang bersangkutan diuraikan seperti
berikut :
Zink (II) selain membentuk garam normal ZnCl2 dapat pula membentuk ion
kompleks [ZnCl4]2-. Menurut konsep hibridisasi , dalam kedua senyawa tersebut
masing-masing Zn(II) mengalami hibridisasi sp dan sp3. Pada ion kompleks
[ZnCl4]2- , keempat pasang electron dari 4 atom donor ligan klorido menempati
keempat orbital hibrida sp3 dalam bangun tetrahedron. Ion kompleks [ZnCl 4]2-
bersifat diamagnetik,dan sifat ini sesuai dengan konfigurasi elektronik .

Contoh diatas menunjukkan bahwa teori ikatan valensi dengan konsep


hibridisasi, cukup baik untuk menjelaskan bentuk geometri molekul maupun sifat
magnetic senyawa kompleks. Lagi pula konsep hibridisasi ini dapat menunjukkan
adanya dua kemungkinan konfigurasi electron dx dengan spin terpasang (spin
paired) sehingga menghasilkan kompleks spin rendah (low-spin, ls).

Klasifikasi Pauling tersebut jelas sembarangan dan “menyesatkan” karena


istilah ionic dan kovalen (molekular) seharusnya dikaitkan dengan sifat
elektrolit/nonelektrolit, bukan pada sifat spin rendah/spin tinggi. ( DASAR-
DASAR KIMIA ANORGANIK TRANSISI HAL 116-120 PENGARANG :
KRISTIAN H.SUGIYARTO TAHUN 2012 )

Anda mungkin juga menyukai