Abstrak
Injeksi seftriakson merupakan antibiotik spektrum luas golongan sefalosporin generasi ketiga, yang
dalam penggunaannya di rumah sakit memerlukan proses peracikan, yaitu rekonstitusi dan pengenceran.
Sesuai dengan peraturan dan pedoman yang berlaku, peracikan sediaan steril harus dilakukan dengan
fasilitas yang sesuai, proses peracikan yang aseptis, dan dilakukan oleh tenaga kefarmasian, sehingga
diperoleh sediaan dengan kualitas dan stabilitas yang baik. Penelitian ini bertujuan mengamati proses
peracikan dan sifat fisik hasil peracikan sediaan injeksi seftriakson yang dilakukan di salah satu rumah
sakit swasta di Semarang dalam periode April–Mei 2017. Penelitian dilakukan secara observasional
terhadap personel peracik, fasilitas dan proses peracikan sediaan injeksi seftriakson. Observasi dilakukan
dengan bantuan check list yang disesuaikan dengan pedoman pencampuran obat suntik dan penanganan
sitostatika. Sebanyak 60 proses peracikan injeksi seftriakson digunakan sebagai sampel. Hasil peracikan
dengan kondisi proses paling tidak sesuai dengan pedoman diuji kualitas fisiknya meliputi pH, kejernihan
dan sterilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peracikan sediaan injeksi seftriakson di rumah sakit
tersebut belum memenuhi kriteria sesuai pedoman pencampuran obat suntik, terutama dari segi fasilitas
dan personel peracik. Meskipun demikian, hasil uji kualitas yang dilakukan terhadap sediaan tersebut
masih memenuhi kriteria bebas kuman, isohidris, dan jernih.
Abstract
Ceftriaxone injection is a broad-spectrum antibiotic of third-generation cephalosporin. Its use in hospitals
requires reconstitution and dilution to obtain the desired dose. Compounding of sterile preparations is
supposed to be carried out with appropriate facilities, aseptic compounding process, and performed by
a pharmacist, in accordance with regulations and guidelines, to obtain a good quality and stability of
ceftriaxone injection. The aim of this study was to evaluate the compounding process of ceftriaxone
injection preparation in one of a private hospital in Semarang at April–May 2017.The study was done
by observing the compounding of ceftriaxone injection preparations involving the facility, process, and
personnel. Observations were conducted using the checklist from Sterile Dispensing Guidelines. Sixty
compounding of ceftriaxone injection were used as samples. Observation results were used to determine
the process of compounding with the worst possible condition, and then pH, clarity, and sterility were
tested to evaluate its physical quality. The results showed that compounding of ceftriaxone injection in
the hospital do not conform the criteria according to the preparation of injectable guidelines, especially
in terms of facilities and personnel. However, the results of quality tests performed still accord the
criteria, i.e, free from microbe, isohydris and clear.
Korespondensi: Dina C. A. Putri, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 55284, Indonesia,
email: dinachristinayuningputri@gmail.com
Naskah diterima: 6 Oktober 2017, Diterima untuk diterbitkan: 13 Juli 2018, Diterbitkan: 1 September 2018
143
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
144
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
sesuai dengan kondisi nyata di RS “X” sediaan steril menggunakan persamaan sebagai
selama periode penelitian, sesuai kebutuhan berikut:
di rumah sakit tersebut. Proses pengamatan 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒆𝒏𝒄𝒂𝒎𝒑𝒖𝒓𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒐𝒏𝒅𝒊𝒔𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒂𝒊
dilakukan dengan bantuan check list yang dibuat %𝑲𝒆𝒔𝒆𝒔𝒖𝒂𝒊𝒂𝒏 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒍𝒖𝒓𝒖𝒉 𝒑𝒓𝒐𝒔𝒆𝒔 𝒑𝒆𝒓𝒂𝒄𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒂𝒎𝒂𝒕𝒊
berdasarkan Pedoman Dasar Dispensing Sediaan
Steril dan Pedoman Pencampuran Obat Suntik Persentase tersebut lalu disajikan dalam bentuk
dan Sitostatik. diagram lingkaran untuk membandingkan
jumlah proses yang sesuai dan yang tidak sesuai
Uji kualitas fisik dengan pedoman.
Uji kualitas fisik sediaan racikan injeksi
seftriakson ini di antaranya meliputi sterilitas, Hasil
pH, dan kejernihan. Uji sterilitas dilakukan
di Balai Kesehatan Semarang dengan cara Observasi yang dilakukan dalam periode
menginokulasikan sediaan injeksi seftriakson penelitian melibatkan 60 peracikan sediaan
hasil racikan di RS “X” ke dalam medium injeksi seftriakson. Observasi meliputi fasilitas,
pertumbuhan universal yaitu nutrien agar, lalu tenaga peracik, proses peracikan, dan hasil
diinkubasi selama 3 hari, selanjutnya diamati sediaan racikan
apakah terdapat pertumbuhan bakteri. Uji pH
dilakukan dengan menggunakan pH meter. Persyaratan umum
Uji kejernihan dilakukan secara visual untuk Persyaratan umum pada peracikan sediaan
mengamati ada atau tidaknya endapan yang steril yaitu dilakukan sesuai dengan pedoman
terbentuk. Pengamatan ini dilakukan dengan dispensing sediaan steril yang dibuat oleh
pencahayaan yang cukup pada latar belakang Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
hitam dan putih. Penelitian ini membandingkan persyaratan
umum yang terdapat pada pedoman tersebut
Pengolahan data dengan hasil observasi di RS “X”. Ringkasan
Data observasi yang diperoleh selanjutnya hasil perbandingan ini dapat dilihat pada
diberi skor. Setiap aspek atau poin yang sesuai Tabel 1. Beberapa persyaratan umum masih
dengan pedoman pencampuran obat suntik belum terpenuhi.
dan penanganan sitostatik dan pedoman
dasar dispensing sediaan steril diberi skor 1, Proses peracikan
sedangkan yang tidak sesuai diberi skor 0. Hasil pengamatan proses peracikan sediaan
Hasil disajikan dalam bentuk persentase yang injeksi seftriakson yang mengalami rekonstitusi
menyatakan kesesuaian praktik pencampuran dan/atau pengenceran dapat dilihat pada Gambar
145
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
1. Pada diagram tersebut, tampak bahwa teknik memenuhi parameter bebas kuman, warna,
aseptis belum diterapkan sepenuhnya dalam dan kejernihan, namun memiliki pH yang
peracikan sediaan injeksi seftriakson. tidak sesuai.
146
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian.2 Hal Thomas et al.18 melakukan penelitian
ini sejalan pula dengan Peraturan Menteri terhadap proses peracikan yang dilakukan
Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang oleh tenaga farmasi dan tenaga nonfarmasi
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah dengan pengalaman kerja selama 5 tahun,
Sakit, yang menyatakan bahwa peracikan melalui validasi proses aseptis atau yang
sediaan steril di rumah sakit dilakukan oleh sering disebut dengan media fill. Hasil studi
apoteker.16 Peracikan injeksi seftriakson di tersebut menunjukkan bahwa peracikan
RS “X” masih belum memenuhi kriteria yang dilakukan oleh teknisi atau tenaga
tersebut. Hal ini dibuktikan dengan hasil kesehatan nonfarmasi menghasilkan sediaan
observasi terhadap 60 proses peracikan injeksi terkontaminasi dengan jumlah yang secara
seftriakson (Gambar 1) yang menggambarkan signifikan lebih banyak dibandingkan sediaan
bahwa hanya 7% injeksi seftriakson diracik yang diracik oleh tenaga kefarmasian. Hal
oleh tenaga teknis kefarmasian, sedangkan tersebut secara langsung dapat menimbulkan
93% sisanya dilakukan oleh perawat.17 risiko pada kualitas sediaan yang diracik.
147
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
Program pelatihan yang diberikan kepada yang tersedia di RS “X” untuk peracikan injeksi
personel peracik, khususnya perawat pada seftriakson hanya masker dan sarung tangan.
RS “X”, sangat penting untuk dilakukan guna Persyaratan APD untuk peracikan sediaan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan steril adalah pakaian pelindung khusus (yang
dalam proses peracikan sediaan steril.19,20 dapat disterilkan dan tidak berserat), masker,
Meskipun demikian, penelitian oleh Berdot sarung tangan, dan kaca mata pelindung.1,2,5
et al.21 menunjukkan bahwa pelatihan belum Tujuan utama penggunaan APD adalah untuk
tentu dapat menurunkan angka kesalahan, melindungi personel peracik dari paparan obat
akan tetapi setidaknya dapat meningkatkan dan melindungi produk terhadap kontaminasi
kesadaran perawat mengenai kemungkinan yang berasal dari personel peracik.
terjadinya medication error.22 Peracikan di RS “X” hendaklah mulai
Sarana dan prasarana yang terdapat di RS diarahkan menuju proses peracikan oleh tenaga
“X” belum memadai untuk peracikan injeksi kefarmasian dan dilakukan di LAF di dalam
seftriakson. Selama observasi berlangsung, ruang steril supaya dapat menjamin kualitas
peracikan injeksi seftriakson hanya dilakukan sediaan yang dihasilkan. Hal ini berhubungan
di ruang perawat yang tidak dilengkapi dengan dengan pengetahuan dan keterampilan yang
sistem tata udara khusus dan kontrol partikel dimiliki oleh tenaga kefarmasian mengenai
serta mikroba. Laminar Air Flow (LAF) untuk konsep steril, aseptis, dan upaya pencegahan
peracikan juga tidak tersedia di RS “X”. kontaminasi. Pengetahuan lain tentang dosis
Peracikan sediaan steril hendaklah dilakukan obat, stabilitas dan kompatibilitas sediaan
di dalam LAF di ruang khusus yang terdiri dari racikan steril juga dipahami dengan baik oleh
ruang persiapan, ruang ganti, ruang antara, tenaga kefarmasian, sehingga hal tersebut
dan ruang steril untuk peracikan, dengan akan mendukung kualitas injeksi seftriakson
sistem tata udara khusus yang memiliki batas yang dihasilkan.
jumlah partikel dan mikroba.2,3,5 Apabila Observasi terhadap proses peracikan
peracikan dilakukan di ruangan yang tidak injeksi seftriakson berpedoman pada Pedoman
sesuai dengan standar tersebut, maka besar Pencampuran Obat Suntik dan Sitostatik.
kemungkinan terjadi kontaminasi. Peracikan Peracikan sediaan steril hendaklah melalui
yang dilakukan di LAF dalam ruang steril atau tahap persiapan, pencampuran, pengemasan,
di ruangan khusus yang sesuai dapat mencegah dan pelabelan. Peracikan injeksi seftriakson
kontaminasi mikroba pada peracikan sediaan di RS “X” secara umum belum melalui tahap
steril secara signifikan dibandingkan sediaan preparasi dengan baik. Obat yang diberikan
yang diracik di luar kriteria tersebut.23–25 kepada pasien harus tepat pasien, tepat obat,
Peralatan yang digunakan untuk peracikan tepat dosis, tepat waktu, tepat rute, tepat
injeksi seftriakson di RS “X” menggunakan penggunaan, dan tepat dokumentasi.26
alat-alat sekali pakai (spuit, jarum suntik, Perhitungan dosis tidak dilakukan di RS
alcohol swab). Alat perlindungan diri (APD) “X” sehingga berisiko terhadap kesesuaian
148
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
dan ketepatan dosis obat. Preparasi hendaklah terutama kemasan obat (vial atau pecahan
terdokumentasi dengan baik guna menjamin ampul) dan jarum suntik, harus dibuang di
mutu dari sediaan yang dihasilkan.1 Tahap tempat terpisah karena membutuhkan proses
preparasi yang dilakukan di RS “X” belum pengolahan limbah yang berbeda dengan
melibatkan proses dokumentasi yang baik. jenis limbah lain.31,32 Sebanyak 63% personel
Hal ini dapat menjadi evaluasi bagi RS “X” peracik memiliki kesadaran untuk membuang
agar meningkatkan prosedur dokumentasi limbah tersebut di tempat khusus yang sudah
kegiatan. disediakan, sedangkan sebanyak 37% lainnya
Peracikan injeksi seftriakson hendaklah mencampur limbah tersebut dengan limbah
dibuat dengan teknik yang aseptis.7 Beberapa nonmedis.
teknik aseptis yang dapat dilakukan untuk Sediaan racikan injeksi seftriakson diamati
meminimalkan terjadinya kontaminasi dan segera setelah diracik dan hasilnya dapat
infeksi nosokomial adalah dengan mencuci diamati pada Gambar 2. Sebanyak 6% injeksi
kedua tangan sebelum melakukan peracikan,27 seftriakson yang dihasilkan tidak masuk
menggunakan sarung tangan dan masker,28 ke dalam rentang dosis lazim (underdose)
serta melakukan desinfeksi pada tutup vial yang dihitung berdasarkan usia dan berat
atau ampul sediaan steril sebelum diracik.29 badan pasien.33 Hal ini dapat menimbulkan
Peracikan dengan teknik aseptis masih risiko resistensi antibiotik akibat dosis yang
belum dijalankan dengan baik pada peracikan rendah.34
injeksi seftriakson, sebagaimana ditunjukkan Serbuk seftriakson kompatibel dengan air
pada Gambar 1. Selama observasi, sebanyak untuk injeksi, larutan glukosa 5%, dan NaCl
40% personel peracik di RS “X” melakukan 0,9%.1,13 Rekonstitusi injeksi seftriakson
tindakan mencuci tangan/desinfeksi tangan yang dilakukan di RS “X” menggunakan
sebelum meracik, 15% menggunakan masker pelarut yang sesuai dan kompatibel, yaitu
dan sarung tangan saat meracik, dengan 15% air untuk injeksi. Setiap 1 gram seftriakson
dari jumlah tersebut melakukan desinfeksi dilarutkan dengan 10 mL air untuk injeksi.1,13
pada sarung tangan dan sisanya tidak, serta Sebanyak 67% seftriakson tidak dilarutkan
58% melakukan desinfeksi tutup vial atau dengan volume pelarut yang sesuai, yakni
leher ampul sebelum dibuka. sebanyak 3% ditambahkan sebanyak 20 mL
Hasil dari observasi tersebut menunjukkan dan 64% ditambahkan sebanyak 4–5 mL. Hal
bahwa kesadaran terhadap perilaku aseptis ini tentu berpengaruh pada kelarutan obat
pada saat meracik injeksi seftriakson di RS dan tonisitas sediaan yang dihasilkan. Hasil
“X” masih kurang. Perilaku atau kebiasaan konfirmasi dengan pihak peracik di RS “X”,
yang dilakukan pada saat proses peracikan jumlah volume pelarut menjadi 20 mL karena
yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko ditujukan untuk penggunaan dengan bantuan
kesalahan.14 Peracikan injeksi seftriakson yang alat syringe pump (sebagai penambah
belum memenuhi persyaratan fasilitas dan volume). Tidak terdapat konfirmasi maupun
proses aseptis dapat menyebabkan peracikan penjelasan lebih lanjut pada saat pengamatan
sefriakson tergolong memiliki risiko tinggi terkait penggunaan pelarut sebanyak 5 mL.
terhadap terjadinya kontaminasi.23,30 Kualitas sediaan racikan injeksi seftriakson
Limbah pada proses peracikan sediaan 100% jernih, tidak mengalami perubahan
steril tergolong dalam limbah medis yang warna, dan diberikan etiket. Sediaan racikan
harus dibuang di tempat khusus agar tidak steril harus diberi etiket dengan informasi
mencemari, membahayakan, dan mencegah yang lengkap dan jelas untuk menurunkan
penyalahgunaan.31 Pembuangan limbah-limbah, risiko kesalahan dalam terapi.35 Etiket pada
149
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
sediaan racikan injeksi seftriakson di RS “X” yang dilakukan oleh Laboratorium di Balai
tersebut masih belum memenuhi ketentuan Kesehatan menunjukkan bahwa sediaan racikan
pada Pedoman Pencampuran Obat Suntik injeksi seftriakson yang diracik oleh RS “X”
dan Sitostatik. Sebanyak 97% etiket tidak dengan fasilitas terbatas dan teknik aseptis
mencantumkan kondisi penyimpanan yang yang belum optimal menghasilkan sediaan
sesuai, serta 100% tidak mencantumkan waktu yang bebas kuman. Hal ini kemungkinan
boleh dipakai (Beyond Use Date/BUD) sediaan terjadi karena injeksi seftriakson merupakan
tersebut. suatu antibiotik, oleh karena itu kuman
Kondisi penyimpanan hendaklah dituliskan yang mengontaminasi akan mati akibat efek
di dalam etiket agar stabilitas injeksi seftriakson bakteriostatik dari obat, atau hal ini dapat
tetap terjaga. BUD dari setiap sediaan berbeda- pula disebabkan oleh keterampilan personel
beda tergantung pada pelarut yang digunakan, peracik yang sudah baik.
suhu penyimpanan, dan klasifikasi risiko Implementasi hasil penelitian pada aspek
pencampuran.36 BUD penting untuk diketahui klinis di rumah sakit adalah hasil ini dapat
dan dituliskan dalam etiket, untuk menjamin menjadi acuan bagi rumah sakit guna melakukan
produk tersebut digunakan dalam waktu yang perbaikan sarana-prasarana. Prosedur standar
tepat.37 Sediaan racikan injeksi seftriakson untuk meracik sediaan seftriakson injeksi juga
hasil racikan RS “X” tergolong dalam risiko perlu dibuat serta diimplementasikan sebagai
kontaminasi tinggi sehingga memiliki BUD salah satu jaminan mutu dari produk yang
selama 24 jam setelah diracik pada suhu ruang dihasilkan.41 Kesadaran tindakan atau perilaku
atau 3 hari pada suhu 2–8 oC.4,13,38,39 aseptis saat meracik perlu ditingkatkan agar
Observasi terhadap sarana dan prasarana, kualitas sediaan racikan injeksi seftriakson
proses peracikan, dan hasil sediaan secara terjamin serta memperkecil risiko terhadap
keseluruhan belum sesuai dengan pedoman kualitas sediaan. Apabila sarana-prasarana
yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan dan proses peracikan sediaan steril telah
Republik Indonesia. Perlu dilakukan suatu dilakukan sesuai dengan pedoman yang ada
pengujian terhadap kualitas injeksi seftriakson dan dilakukan validasi, maka sediaan racikan
yang dibuat di RS “X”. Uji kualitas yang steril seftriakson injeksi yang dihasilkan
dilakukan meliputi sterilitas, kejernihan, dan dapat terjamin kualitasnya, baik dari segi
pH. Pengujian injeksi seftriakson dilakukan stabilitas fisik sediaan maupun klinis (tepat
24 jam setelah sediaan tersebut dibuat dan dosis). Kualitas dari sediaan yang baik tentu
disimpan dalam suhu ruang (sesuai dengan BUD akan berpengaruh pula pada kualitas terapi
untuk risiko tinggi). Hasil pengujian injeksi dan mengurangi kemungkinan terjadinya
seftriakson tersebut kemudian dibandingkan medication error akibat kualitas obat.
dengan kualitas injeksi seftriakson berdasarkan
Handbook of Injectable Drug. Ringkasan Simpulan
hasil uji kualitas dapat diamati pada Gambar 2.
Pengujian pH pada sediaan perlu dilakukan Peracikan sediaan sinjeksi seftriakson di
karena dapat memengaruhi kelarutan dan RS “X” Semarang masih belum memenuhi
stabilitas obat.40 Kualitas sediaan racikan berbagai kriteria yang ditetapkan pada Pedoman
injeksi seftriakson hasil racikan RS “X” Dasar Dispensing Sediaan Steril dan Pedoman
memiliki kualitas yang sama dengan yang Pencampuran Obat Suntik dan Sitostatik.
terdapat dari literatur baik dari segi warna, Meskipun demikian, sampel sediaan yang
pH, dan kejernihan. Sediaan parenteral harus dihasilkan dari proses peracikan di RS tersebut
bebas dari mikroorganime. Hasil pengujian menghasilkan kualitas yang dapat diterima
150
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
dari segi warna, pH, kejernihan, dan bebas USP36 NF31, 2013: U. S. Pharmacopeia
kuman. Perbaikan dan peningkatan sarana- national formulary. United States: United
prasarana dan validasi proses peracikan perlu States Pharmacopeial; 2012.
dilakukan untuk menjamin setiap sediaan 5. Rich DS, Fricker MP Jr, Cohen MR, Levine
injeksi seftriakson yang diracik memenuhi SR. Guidelines for the safe preparation of
parameter kualitas yang ditetapkan. sterile compounds: Results of the ISMP
sterile preparation compounding safety
Ucapan Terima Kasih summit of October 2011. Hosp Pharm.
2013;48(4):282–94. doi: 10.1310/hpj480
Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim 4-282
KKN alternatif fakultas farmasi Universitas 6. Ulfa FN, Achmad A, Triastuti E. Aseptic
Sanata Dharma Yogyakarta. dispensing compliance test based on basic
guidelines for dispensing sterile provision
Pendanaan of the Ministry of Health of the Republic
of Indonesia in ICU and NICU RSUD Dr.
Penelitian ini didanai oleh Kementerian Riset, Saiful Anwar Malang. Pharmaceutical J
Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indones. 2017;3(1):33–8
Indonesia dengan nomor kontrak 099/SP2H/ 7. Surahman E, Mandalas E, Kardinah EI.
PPM/DRPM/2017. Evaluation using of sterile preparation by
i.v. for infection disease in one of private
Konflik Kepentingan hospital in Bandung. Pharm Sci Res. 2012;
5(1). doi: 10.7454/psr.v5i1.3416
Seluruh penulis menyatakan tidak terdapat 8. Agyemang REO, While A. Medication
potensi konflik kepentingan dengan penelitian, errors: Types, causes and impact on nursing
kepenulisan (authorship), dan atau publikasi practice. Br J Nurs. 2010;19(6):380–5. doi:
artikel ini. 10.12968/bjon.2010.19.6.47237
9. Myers CE. History of sterile compounding
Daftar Pustaka in U.S. hospitals: Learning from the tragic
lessons of the past. Am J Health Syst
1. Ministry of Health of the Republic Pharm. 2013;70(16):1414–27. doi: 10.2146
of Indonesia. Mixing guidelines for /ajhp130112
injectable drug and cytostatic. Directorate 10. Sidabutar S, Satari HI. Choice of empiric
of Community Pharmacy and Clinic of therapy of typhoid fever in children:
the Ministry of Health of the Republic of Chloramphenicol or ceftriaxone?. Sari
Indonesia; 2009. Pediatri. 2016;11(6):434–9. doi: 10.1423
2. Ministry of Health of the Republic of 8/sp11.6.2010.434-9
Indonesia. Basic guidelines for sterile 11. Ekawati RN, Subarnas A, Rostinawati
dispensing. Directorate of Community T. Evaluation of bacterial sensitivity
Pharmacy and Clinic of the Ministry of causes of pneumonia against antibiotics
Health of the Republic of Indonesia; 2009. amoxicillin, sefadroksil, trimethoprim,
3. Gudeman J, Jozwiakowski M, Chollet J, sulfamethoxazole, ceftriaxone and cefecular
Randell M. Potential risks of pharmacy -based cefotaxime at Regional General
compounding. Drugs R D. 2013;13(1):1– Hospital Dr. Slamet Regency of Garut.
8. doi: 10.1007/s40268-013-0005-9 Farmaka. 2017;15(2):1–10. doi: 10.24198
4. United States Pharmacopeia Convention. /jf.v15i2.12338.g5733
151
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
152
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
153