Anda di halaman 1dari 23

BAB III

PEMBAHASAN MASALAH

A. BAGAN PERMASALAHAN

Lingkungan Agent
Geografis :lurban dekat Virus dengue
persawahan - virulensi
,Musim : penghujan– - transmisi
genangan air
Sosial ekonomi : cukup
Perumahan padat
Higiene : sumur terbuka,
tempat sampah tergenang air
Vektor
Pendidikan ortu : SMA, A.aegypti, A.albopictus
pemahaman kesehatan kurang - Sifat antropofilik
Pelayanan kesehatan : - multiple-biters
puskesmas/dokter terjangkau - kepadatan vektor

Host
Status imunitas : imunisasi
dasar lengkap
Umur : 11 th 9 bl
Nutrisi : kualitas & kuant.ckp
Mobilitas : sekolah, bermain

DBD grade II
Demam hepatomegali Penatalaksanaan
- diagnosis
Trombositopenia permeabilitas perdarahan - terapi
Vaskular↑ - monitoring

Intervensi : - asah
- Promotif - asih
- Preventif - asuh

Tumbuh kembang optimal

Bagan 1. Permasalahan

19
B.DIAGNOSIS
1. DEMAM BERDARAH DENGUE DERAJAT II
a. Etiologi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi akut, disebabkan
oleh virus dengue dari kelompok B Arthropod borne virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus dengue ini
mempunyai 4 serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4. Yang paling berat
adalah serotipe Den-3.(7,8,9,10)

Gambar 1. Nyamuk Aedes Aegypti (Diambil dari


www.emedicine.com)

Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes


aegypti, Aedes albopticus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies lainnya.(6,7,8,9,10)
Yang paling berperan dalam penularan penyakit ini adalah Aedes aegypti, yang hidup
subur di daerah tropis dan subtropis. Nyamuk ini mempunyai warna dasar hitam
dengan bintik-bintik putih pada bagian badan, kaki dan sayapnya. Nyamuk Aedes
aegypti hidup dan berkembang biak pada tempat-tempat penampungan air bersih
yang tidak langsung berhubungan dengan tanah, seperti bak mandi /WC, air
tempayan/ gentong, kaleng, ban bekas, dll. Nyamuk jantan menghisap sari bunga
untuk keperluan hidupnya, sedangkan yang betina menghisap darah. Nyamuk betina
mencari mangsa pada siang hari. Biasanya aktivitas menggigit dimulai pada pagi
sampai petang hari dengan puncak aktivitas antara pukul 09.00 – 10.00 dan 16.00 –
17.00. Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter.
Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada musim hujan, dimana banyak genangan
air bersih yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
(7,8,9,10)

Pada lingkungan penderita ini didapatkan adanya tempat penampungan air


yang dapat menjadi sarang nyamuk Aedes, yaitu bak mandi yang terbuka, ban-ban
bekas yang terbuka, sumur yang tidak tertutup rapat di depan rumah, lingkungan
persawahan di samping rumah penderita yang dapat menjadi genangan air, terutama
pada waktu hujan. Selain itu dari anamnesis diketahui bahwa 2 orang tetangga

20
penderita yang rumahnya berjarak ± 100 m dari rumah penderita ada yang menderita
demam berdarah dan dirawat di ruang intensive RS setempat. Di lingkungan tempat
tinggal penderita juga diketahui belum dilakukan penyemprotan nyamuk (fogging)
selama 3 tahun terakhir ini. Hal-hal tersebut di atas dapat menjadi faktor penyebab
tingginya jumlah vektor yang dapat menularkan virus dengue di lingkungan tempat
tinggal penderita.

b. Patogenesis
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini.
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus Dengue pada saat menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia. Virus kemudian berkembang biak dalam
tubuh nyamuk yang terutama ditemukan pada kelenjar liurnya dalam waktu 8-10 hari
( extrinsic incubation period ) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia
pada saat gigitan berikutnya. Pada manusia, virus memerlukan waktu 4-6 hari
(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan sakit. Penularan dari manusia
kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
(8,9,12)

Berdasarkan hipotesis the secondary heterologous infection, sebagai akibat


infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon
antibodi anamnestik yang terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Selain itu,
replikasi virus dengue di dalam limfosit yang bertransformasi akan meningkatkan
jumlah virus. Akibatnya terbentuk virus kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi
darah yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan
anafilatoksin C3a dan C5a akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Perembesan plasma ini terbukti dengan meningkatnya kadar

21
hematokrit, penurunan natrium, dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Keadaan yang berlanjut akan mengakibatkan syok, dan apabila
penanganan tidak adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia yang berakhir
pada kematian.7

Gambar 2. Pembentukan serum antibodi homolog yang menetralisir virus serotipe


yang sama .(Diambil dari www.cdc.gov : Dengue, Clinical Manifestations and Epidemiology)

Gambar 3. Pembentukan serum antibodi heterolog pada serotipe berbeda, tetapi


tidak mampu menetralisir serotipe lain.
(Diambil dari www.cdc.gov : Dengue, Clinical Manifestations and Epidemiology)

Gambar 4. Mekanisme Antibody- Dependent Enhancement.


Kompleks virus-Antibodi, masuk ke dalam monosit,dimana replikasi virus menjadi
bertambah. Monosit terinfeksi melepaskan mediator vasoaktif sehingga terjadi
peningkatan permeabilitas vaskular. .(Diambil dari www.cdc.gov : Dengue, Clinical
Manifestations and Epidemiology)

Pada hipotesis antibody dependent enhancement (ADE) diterangkan bahwa


individu yang terinfeksi oleh virus dengue sekunder serotipe lain akan mengalami
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. (7,13)

Gambar 5. Pembuluh darah dan komponen intravaskular13

22
Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus Amnestic antibody response

Komplek virus-
antibodi

Aktivasi
komplemen

Anafilatoksin
C3a,C5a

Permeabilitas kapiler
meningkat

Hemokonsentrasi
Hipoproteinemia
> 30 % pada kasus syok Perembesan plasma Cairan dalam rongga
24-48 jam serosa (Efusi pleura
Asites )

Hipovolemi

Syok

Anoksia Asidosis

Meninggal

23
Bagan 2. Patogenesis terjadinya syok pada infeksi DBD (Suvatte,1977)

24
Perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pelepasan ADP sehingga terjadi agregasi trombosit. Trombosit
tersebut mengalami metamorfosis dan akan dimusnahkan oleh sistem
retikuloendotelial (RES) sehingga tertjadi trombositopenia. Agreasi trombosit
mengeluarkan platelet faktor III yang mengakibatkan terjadinya DIC, ditandai
meningkatnya FDP sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.7
Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir
terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini ,
plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin
dan penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product. Disamping itu aktivasi
akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam proses meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah.7

Secondary heterelogous dengue infection

Replikasi virus respon antibodi anamnestik

Komplek virus antibodi

Agregasi trombosit aktivasi koagulasi aktivasi

Penghancuran Pengeluaran platelet Aktivasi faktor komplemen


trombosit oleh RES faktor III Hageman

Koagulopati Sistim kinin anafilatoksin


konsumtif
Trombositopenia
kinin Permeabilitas
Faktor pembekuan 
kapiler 
Gangguan fungsi
trombosit FDP 

Perdarahan masif syok


Bagan 3. Patogenesis perdarahan DBD (Suvatte,1977)

c. Diagnosis Demam Berdarah Dengue

25
Kriteria yang dipergunakan di RSDK untuk menegakkan diagnosis Demam
Berdarah Dengue adalah kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 yang terdiri
dari kriteria klinis dan laboratoris untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan
(overdiagnosis). ( 8,9,14)
Kriteria Klinis :
a. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2 – 7 hari.
b. Manifestasi perdarahan, ditandai dengan uji torniquet positif dan salah satu
bentuk lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis dan perdarahan gusi),
hematemesis dan atau melena.

c. Perbesaran hati (hepatomegali)


d. Syok yang ditandai dengan nadi cepat, lemah, tekanan nadi menurun
( 20 mmHg), tekanan darah turun, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris :
a. Trombositopeni (100.000/L atau kurang)
b. Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit 20 % atau lebih dibandingkan
nilai hematokrit pada masa konvalesen).
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi
atau peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi
pleura dan atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien
anemi dan atau terjadi perdarahan.7
Derajat DBD menurut WHO tahun 1997 diklasifikasikan dalam 4 derajat:
1.Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet
2. Derajat II : Seperti derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain
3. Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmhg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis sekitar mulut, kulit dingin dan lembab dan anak tampak
gelisah

26
4. Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak teraba dan tekanan darah
tidak terukur

Pada kasus ini, penderita perempuan berusia 11 tahun 9 bulan dengan :


1. Demam tinggi mendadak, terus-menerus, selama 6 hari.
2. Manifestasi perdarahan ditandai dengan uji torniquet +, perdarahan gusi (+)
petechiae + di tangan
3. Hepatomegali (1/4- 1/4 BH), nyeri tekan epigastrium.
Hasil laboratorium pada kasus ini :
1. Trombositopenia (Trombosit : 45.000/mm3)
2. Hemokonsentrasi (Ht : 45,9 %), meningkat > 20 %

Pada kasus ini didapatkan 3 kriteria klinis dan 2 kriteria laboratoris, disertai
dengan perdarahan spontan pada gusi sehingga penderita didiagnosis dengan Demam
Berdarah Dengue derajat II.
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
dalam kelompok arbovirus. Dari keempat serotipe virus dengue yang telah berhasil
diisolasi, serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan sangat berhubungan
dengan kasus berat. 15
Diagnosis definitif DBD hanya dapat dilakukan dengan cara isolasi virus,
deteksi antigen virus dan deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien. Dikenal 5 uji
serologis yang biasa untuk menentukan adanya infeksi virus dengue, yaitu :15
1. Uji hemoglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibiton test : HI test)
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test : CF test)
3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)
4. IgM Elisa dan
5. IgG Elisa

Akhir-akhir ini mulai dikembangkan tes PCR (polymerase chain reaction) yang
dapat menampilkan diagnosis serotipe spesifik secara cepat, namun teknologi ini
baru dapat dikerjakan pada sentra laboratorium penelitian. 13

27
Karena berbagai tes serologis tersebut membutuhkan waktu yang lama dan biaya
yang besar, maka pada prakteknya diagnosis klinis dan laboratoris lebih banyak
digunakan.
Pemeriksaaan lain yang dapat mendukung ke arah suatu DBD :
1. Dengue Blot
2. X-Foto Thorax
Gambaran X-Foto Thorax biasanya menunjukkan gambaran efusi pleura terutama
paru kanan atau lebih berat dapat dijumpai gambaran edema paru. Pada penelitian
prospektif, efusi pleura didapatkan pada 84% (22/26) penderita DBD, dan penderita
dengan indeks efusi pleura (Pleural Effusion Index = PEI) rata-rata 14,1%
menimbulkan kewaspadaan terhadap terjadinya syok. 15

Gambar 6. Pengukuran pleural effusion index (PEI) pasien.


PEI = 1,8 / 9 x 100% =21 %

Pada pasien ini tidak dilakukan uji serologis karena alasan waktu dan biaya,
tetapi dilakukan pemeriksaan X-foto thorax. Hasil foto dari pasien ini menunjukkan
adanya efusi pleura kanan dengan PEI = 21 %. Hal ini menunjukkan telah terjadi
extravasasi cairan pada rongga pleura. Tapi secara klinis pada penderita ini tidak
menunjukkan adanya sesak.
Penyebab perdarahan pada pasien DBD ialah vaskulopati, trombositopeni,
trombositopati dan koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Jenis perdarahan yang
terbanyak adalah perdarahan kulit seperti uji Rumple Leede positif, petekia, purpura,
ekimosis, dan perdarahan konjungtiva. Petekie merupakan tanda perdarahan yang
tersering ditemukan. Perdarahan yang paling ringan adalah uji torniquet positif,
berarti fragilitas kapiler meningkat. Pada penderita ini ditemukan uji Rumple Leed
positif dan perdarahan gusi.
Pembesaran hati bervariasi dari just palpable sampai 2 – 4 cm di bawah
lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati dapat meramalkan perjalanan penyakit,
(14,15)
tetapi tidak dapat menentukan beratnya penyakit DBD. Nyeri tekan di ulu hati

28
berhubungan dengan adanya perdarahan. Pada penderita ini ditemukan hepatomegali
(¼ -¼ BH) dan nyeri tekan epigastrium.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam,
mencapai nilai terendah pada masa syok dan terjadi sebelum ada peningkatan
hematokrit. Biasanya terjadi pada hari ketiga sampai ketujuh. (14,15) Pada penderita ini
trombositopenia terjadi pada hari ke-6 sakit/hari ke-1 perawatan (45.000/mm 3) dan
menurun sampai 18.000/mm3 pada hari ke-8 sakit/ hari ke-3 perawatan dan naik
kembali sampai mencapai 156.000/mm3 pada hari ke-9 sakit/hari ke-5 perawatan.
Penderita dipulangkan karena telah memenuhi kriteria memulangkan pasien yang
salah satu diantaranya adalah jumlah trombosit lebih dari 50.000/mm3.
Peningkatan nilai hematokrit merupakan manifestasi hemokonsentrasi dan
indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstravaskuler.
Sebuah studi dari Chennai oleh Balasubraman di India melaporkan bahwa nilai
hematokrit pada anak <5 tahun = 34,8 % dan anak >5 tahun = 37,5 % merupakan
indikator untuk menilai ada tidaknya hemokonsentrasi. Pada kasus ini, kadar
hematokrit penderita saat masuk RSDK adalah 45,6 %, menunjukkan telah terjadi
hemokonsentrasi. Hal ini diperkuat dengan hasil X-foto thoraks yang menunjukkan
adanya efusi pleura dekstra dengan PEI 21 %. Hematokrit mencapai nilai normal
pada hari ke- 8 sakit/ hari ke-3 perawatan ( 38,5 %), ini berarti pemberian cairan
pengganti plasma sudah adekuat.13
d. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita demam berdarah dengue dapat
berupa :
a. Ensefalopati
Ensefalopati pada umumnya timbul sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak
disertai syok Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan
dapat menyebabkan ensefalopati. Gejala yang tampak adalah penurunan kesadaran
dari apati atau somnolen, dapat kejang, dapat terjadi pada DBD atau SSD. Pada
ensefalopati dapat ditemukan peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), studi

29
koagulasi memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada analisa gas darah,
dan hiponatremi.7
b. Kelainan ginjal.
Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal akibat syok yang tidak
teratasi. Pada keadaan syok yang berat seringkali dijumpai acute tubular necrosis,
ditandai dengan penurunan jumlah urin, dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
Diuresis merupakan parameter yang penting untuk mengetahui apakah syok sudah
teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml/kgBB/jam.7
c. Udem paru
Udem paru merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat pemberian
cairan berlebih. Pemberian cairan yang terus berlangsung pada saat terjadi reabsorbsi
plasma dari ruang ekstravaskular, akan mengakibatkan distres pernapasan, disertai
sembab pada kelopak mata, dan adanya gambaran udem paru pada foto dada.7

e. Diagnosis Banding
1. Demam Chikungunya
Pada Demam Chikungunya biasanya seluruh anggota keluarga dapat
terserang dan penularannya mirip influenza. Serangan demam pada demam
Chikungunya lebih mendadak, masa demam lebih pendek, tetapi suhu diatas
400C lebih sering ditemukan. Ruam makulopapular, injeksi konjungtiva dan nyeri
pada sendi lebih sering dijumpai pada demam Chikungunya. Perbedaan yang
mendasar dari keduanya adalah pada DBD terdapat perdarahan gastrointestinal
(seperti melena) dan syok. Adanya trombositopenia yang jelas dan
hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit yang lain.
Pada penderita ini didapatkan trombositopenia dan hemokonsentrasi, dan
tidak ditemukan ruam makulo papular, injeksi konjungtiva dan rasa nyeri sendi.
Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit kecuali penderita tersebut.
Sehingga diagnosis Demam Chikungunya dapat disingkirkan. 7

2. Demam Dengue

30
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,
kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang
bola mata, nyeri otot, tulang, sendi, mual, muntah dan timbulnya ruam. Ruam
berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari)
kemudian menghilang, timbul kembali pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di
daerah kaki, tangan dan telapak kaki maupun tangan. Petekie dapat dijumpai,
leukopeni biasanya ditemukan, trombositopeni kadang-kadang ditemukan. Masa
penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada
dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya Demam Dengue yang
disertai dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan
saluran cerna, hematuri dan menoragi. Demam dengue dengan perdarahan harus
dibedakan dengan demam berdarah dengue. Pada DBD ditemukan adanya
kebocoran plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi, efusi pleura dan
asites.7
Pada penderita ini terdapat perdarahan yang disertai dengan
hemokonsentrasi dan efusi pleura sehingga diagnosis Demam Dengue dapat
disingkirkan.

2. GIZI BAIK
Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering
disebut reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah
WHO-NCHS (World Health Organization - National Center for Health Statistics,
USA ). Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes dalam pemantauan status gizi
(PSG) anak balita tahun 1999 menggunakan baku rujukan WHO-NCHS. (16)
Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB). Pada tahun 1978, WHO menganjurkan
penggunaan BB/TB, karena menghilangkan faktor umur yang menurut pengalaman
sulit didapat secara benar, khususnya di daerah terpencil di mana terdapat masalah
tentang pencatatan kelahiran anak. Indeks BB/TB juga menggambarkan keadaan

31
kurang gizi akut waktu sekarang, walaupun tidak dapat menggambarkan keadaan gizi
waktu lampau. (16)
Dari berbagai indeks tersebut di atas, untuk menginterpretasikannya
dibutuhkan ambang batas. Ambang batas dapat disajikan dalam tiga cara, yaitu
persen terhadap median, persentil, dan standar deviasi unit yang disebut juga Z-
score.16
Tabel 2. Klasifikasi status gizi menurut Standart Z- score16

WAZ HAZ WHZ

>+2 SD Berat badan lebih Jangkung Gemuk

-2 SD s/d +2 SD Berat badan normal Normal Normal

<-2 s/d -3 SD Berat badan rendah Pendek Kurus

<-3 SD Berat badan sangat Sangat Sangat kurus


rendah pendek

-
BB/U yang rendah dan PB/U yang normal menunjukkan indikator status
gizi fase akut, sedangkan BB/U yang rendah dan PB/U yang rendah
menunjukkan indikator status gizi fase kronis.
-
WAZ yang rendah dan HAZ yang normal menunjukkan indikator status gizi
fase akut, sedangkan WAZ yang rendah dan HAZ yang rendah menunjukkan
indikator status gizi fase kronis. 12

Pada kasus ini, seorang anak perempuan, usia 11 tahun 9 bulan, berat badan 26
kg, panjang badan 137 cm.
Pemeriksaan status gizi (Z score)
26,0-40,4
WAZ = 6,9 = -2,00

137-149,9
HAZ = 6,9 = - 1,86

26.0-31,5
WHZ = 3,3 = -1,66

32
Kesan : gizi baik

B. PENGELOLAAN DEMAM BERDARAH DENGUE DERAJAT II

Untuk dapat menanggulangi dan mengatasi masalah yang dihadapi


penderita ini, maka dibutuhkan penanganan secara menyeluruh dan komprehensif.
Maka dari itu perlu pengelolaan secara promotif, preventif, kuratif.
a. Kuratif
Meliputi :
1. Penggantian Volume Plasma
Patofisiologi kebocoran plasma yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas kapiler pada DBD belum diketahui secara pasti, sehingga belum jelas
mekanisme untuk memotong proses kebocoran vaskuler. Peningkatan permeabilitas
yang ditunjukkan dengan adanya kebocoran plasma dan protein ke dalam
ekstravaskular mengeakibatkan hipovolemi dan perdarahan yang berhubungan
dengan diapedesisGambar
eritrosit dari kapiler. Resusitasi cairan dibutuhkan untuk
7. Grafik pertumbuhan kurva WHO-NCHS
mengembalikan volume intravaskular agar perfusi jaringan tetap normal, sambil
menunggu berlalunya masa kritis. Selama menunggu masa kritis, diperlukan
monitoring pada pemberian cairan. Pemberian cairan kristaloid yang eksesif
kemungkinan dapat menimbulkan edema jaringan dan paru. 17
Pemilihan cairan untuk penderita DBD derajat II dengan peningkatan
hematokrit, menurut pedoman tatalaksana dari WHO diberikan infus RL/NaCl 0,9 %
atau Dekstrosa 5 % dalam RL/NaCl 0,9 % sejumlah 6-7 ml/kgBB/Jam. Cairan
kristaloid dipakai karena secara fisiologis sesuai dengan komposisi cairan plasma.
Dalam hal ini dipilih RL karena isoosmolar. Sedangkan pemberian NaCl 0,9 %
dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan hiperkloremik metabolik asidosis.
Kemudian dimonitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam.
Selanjutnya dievaluasi 12-24 jam. Apabila selama observasi keadaan umum
membaik yaitu anak nampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis

33
cukup, dan kadar Ht cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-
turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi
selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam dan
akhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam.17

34
TATALAKSANA KASUS DBD DENGAN HEMOKONSENTRASI  20 %

DBD II dengan hemokonsentrasi  20 %


Cairan awal
RL/Na CL 0,9 % atau RLD 5 %
Na Cl 0,9 % : 6 – 7 ml/kg BB/jam

Monitor TV, Hb, Ht &


trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tak ada Perbaikan


Tidak gelisah Gelisah
Nadi kuat Distress pernafasan
Tekanan darah stabil Frekuensi nadi naik
Diuresis cukup Ht tetap tinggi / naik
(1-2 ml/kgBB/jam) Tek. Nadi < 200 mmHg
Ht turun (2 pemeriksaan) Diuresis kurang/tidak ada

Tetesan Tanda vital Tetesan dinaikkan


Dikurangi Memburuk 10-15 ml/kgBB/jam
5 ml/kgBB/jam Ht  (tetesan dinaikkan bertahap)

Perbaikan Evaluasi 12-24 jam


Perbaikan
3 ml/kg BB/jam
Tanda vital tak stabil

IVDF stop pada 24 – 48


jam bila TV/Ht stabil & Ht naik Distress Ht 
diuresis cukup pernafasan

Koloid Transfusi
20-30 ml/kg darah segar
10 ml/kg

Perbaikan

35
Sumber : DHF, diagnosis, treatment, prevention and control, 2nd, Geneva, WHO,
1999
Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD dengan hemokonsentrasi  20 %

Pada waktu datang ke bangsal penderita dalam keadaan panas, nadi


(100x/menit) dan pernafasan (24x/menit). Dari hasil laboratorium darah rutin di
didapatkan trombositopenia (45.000/mmk) dan hemokonsentrasi (45,6%) sehingga
penderita diberikan infus RL 7 ml/kg BB/jam selama 6 jam, kemudian dievaluasi.
Dari hasil evaluasi 6 jam pertama menunjukkan adanya tekanan darah stabil,
frekuensi nadi stabil, hematokrit meningkat (46,7%), dan diuresis cukup. Infus RL
dipertahankan 7 ml/kgBB/jam. Dari hasil pemeriksaan laboratorium serial yang ke-3,
hematokrit turun (44,2%) dan keadaan umum pasien stabil. Infus RL dipertahankan 7
ml/kgBB/jam. Dari hasil pemeriksaan laboratorium serial yang ke-4 hematokrit turun
(40,5%) dan keadaan umum pasien stabil, sehingga infus RL diturunkan menjadi 5
ml/kgBB/jam. Infus RL 5ml/kgBB/jam dipertahankan sampai hari ketiga perawatan.
Pemeriksaan serial hematokrit pada hari ke-3 menunjukkan tidak adanya
hemokonsentrasi (38,5%), trombosit masih menunjukkan adanya trombositopeni
(18.000/mmk), tetapi keadaan klinis anak sudah mulai mengalami perbaikan.
Tekanan darah stabil, diuresis cukup, frekuensi pernafasan normal, tidak ada tanda-
tanda ke arah syok, sehingga infus RL diturunkan menjadi 3cc/kgBB/jam dan
diteruskan sampai hari ke-4 perawatan. Pada hari ke-4 perawatan, nilai hematokrit 38
% dan kadar trombosit 50.000/mmk. Hari ke-5, pemeriksaan hematokrit dan
trombosit sudah tidak munjukkan hemokonsentrasi dan trombositopeni, sehingga
infus dilepas. Selama perawatan, kebutuhan cairan tambahan diperoleh dari air
minum karena anak masih mau makan dan minum. Minum sehari 2-3 gelas
belimbing berupa sirup, susu, dan jus buah. Anak tidak muntah.

2. Terapi medikamentosa

36
Terapi medikamentosa pada DBD lebih bersifat suportif untuk mengatasi
gejala simptomatis. Agen antipiretik digunakan untuk mengurangi demam dengan
mekanisme menghambat pusat sintesis dan pelepasan prostaglandin yang menjadi
mediator efek pirogenik endogen di hipotalamus, dan juga berperan mengembalikan
set-point suhu menjadi normal lagi. Dalam kasus ini digunakan parasetamol 250 mg
diberikan apabila anak panas. Agen lain yang dapat digunakan adalah asetaminofen
(dosis pediatrik < 12 tahun : 10-15 mg/kgBB, tiap 4-6 jam, bila panas), yang tidak
memiliki aktivitas antiinflamasi perifer atau efek pada fungsi trombosit. Asam
salisilat atau ibuprofen tidak diberikan karena mengganggu fungsi trombosit dan
meningkatkan resiko perdarahan. 13
Pemberian vitamin pada DBD bukan merupakan tindakan rutin. Dari
penelitian terbaru didapatkan hasil bahwa pemberian vitamin terutama vitamin C
ternyata tidak dapat memperbaiki fragilitas pembuluh darah. Sedangkan pada kasus
ini diberikan Vitamin C 3 x 1 tablet dan Vitamin B complex 3 x 1 tablet diberikan
sebagai roboransia.

3. Pemantauan
Pemantauan keadaan umum, tanda vital, tanda-tanda perdarahan, tanda-tanda
syok dan nilai laboratorium hemoglobin, hematokrit dan trombositopeni penderita ini
telah dilakukan dengan baik selama 5 hari. Selama 5 hari perawatan, suhu tubuh
menurun dan tidak terjadi kenaikan suhu tubuh yang berarti. Tidak terjadi komplikasi
dan tidak terjadi syok, tanda vital baik, kadar hematokrit kembali normal, jumlah
trombosit mencapai normal pada hari ke-4 perawatan.
Namun pada pasien ini mengingat hari hari rawan untuk terjadinya syok
sudah terlalui maka pemantauan yang lebih penting untuk dilakukan adalah terhadap
kemungkinan terjadinya repolling, yaitu terjadinya reabsorbsi cairan ekstravaskuler
pada fase konvalesen. Hal ini dapat menyebabkan edema paru dan distress
pernapasan, terutama bila cairan intravena masih terus diberikan. Oleh sebab itu
pemantauan terutama pemeriksaan fisik thorak harus dilakukan seteliti mungkin,
terutama bila pemeriksaan penunjang lainnya yang membutuhkan biaya tinggi tidak
dilakukan.

37
b.Aspek dietetik

Pada prinsipnya dietetik peroral pada penderita DBD bukan merupakan kontra
indikasi bahkan sangat dianjurkan terutama untuk mengembalikan keseimbangan
cairan tubuh. Pada penderita ini diberikan diet 3 x lunak, 3 x 200 cc susu, dan ekstra
minum sirup, atau sari buah.

Kebutuhan Kalori dan Protein Selama 24 jam


BB = 26 kg t = 37,8°C
Cairan (cc) Kalori (kkal) Protein (gram)
Kebutuhan 24 jam
1620 1620 52
Infus RL 960 - -
3 x lunak (@ 100 cc) 300 1218 45,45
3 x 200 cc susu sapi 600 366 18,60
Ekstra minum 500 - -
jumlah 2360 1776 64,05
AKG % 145,6% 109,6% 123,1%

Pada hari pertama perawatan asupan cairan diberikan lebih banyak untuk
mencegah terjadinya syok akibat hipovolemik (mempercepat pengembalian
keseimbangan cairan). Pada hari perawatan selanjutnya kebutuhan cairan lewat infus
dikurangi dan akhirnya dihentikan. Kemudian asupan cairan sepenuhnya berasal dari
asupan makanan peroral. Demikian pula dengan kebutuhan kalori dan proteinnya.

38
c. Promotif dan Preventif

Kedua orang tua dijelaskan tentang penyakit DBD serta cara-cara yang dapat
dilakukan dalam rangka pemberantasan dan pencegahan penyakit tersebut.
a. Penjelasan tentang penyakit DBD meliputi :
Penyebab dari penyakit ini adalah virus dengue yang ditularkan dengan
perantaraan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk tersebut hitam berbintik-bintik putih
di seluruh tubuh dan kaki, berkeliaran pada waktu siang sampai sore hari yaitu
kurang lebih pukul 10.00 sampai pukul 17.00 dan lebih suka pada tempat
genangan air yang bersih. Dijelaskan pula bahwa penyakit tersebut sangat
berbahaya karena dapat mematikan.
b. Perlindungan perorangan untuk mencegah gigitan nyamuk dengan cara :
- Pemasangan kasa nyamuk, sehingga nyamuk tidak akan masuk ke rumah.
- Menggunakan mosquito repellent atau insektisida bentuk spray.
c. Pemberantasan vektor jangka panjang / pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
- Menutup tempat-tempat penyimpanan air
- Mengubur barang-barang bekas seperti kaleng, botol atau ban bekas serta
semua barang bekas yang memungkinkan nyamuk bersarang.
- Menguras bak mandi / tempat menampung air.

C. PROGNOSIS
Prognosis pada pasien ini untuk kehidupan (quo ad vitam) adalah baik (ad
bonam) oleh karena tidak terjadi dan tidak ada komplikasi yang berat serta keadaan
pasien membaik.
Prognosis untuk kesembuhan (quo ad sanam) adalah baik (ad bonam) yang
nampak dari keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan berkala dari Hb, Ht, trombosit
menunjukkan perbaikan dan stabil.
Prognosis membaiknya faal tubuh (quo ad fungsionum) adalah baik (ad
bonam) karena tidak ada ancaman adanya sekuele ataupun kecacatan tubuh.

39
Kriteria memulangkan pasien menurut Pan American Health Organization:
Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever: Guidelines for Prevention and
Control.PAHO: Washington, D.C., 1994: 69 adalah : 7
 Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik.
 Tampak perbaikan secara klinis
 Hematokrit stabil
 3 hari setelah syok teratasi
 Jumlah trombosit ≥ 50,000/mm3
 Tidak ada distress respirasi akibat efusi pleura atau asites

40
BAB IV
RINGKASAN

Pada tulisan ini telah dilaporkan kasus seorang anak dengan Demam
Berdarah Dengue Derajat II gizi baik dengan pembahasan diagnosis, pengelolaan dan
prognosisnya.
Telah dilaporkan seorang anak perempuan, 11 tahun 9 bulan, berat badan
26,00 kg, panjang badan 137 cm, pada anamnesis diperoleh bahwa anak panas tinggi,
mendadak, terus-menerus tanpa sebab yang jelas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan darah 110/60mmHg, suhu 37,80C, terdapat perdarahan spontan berupa
petechiae,perdarahan gusi, uji torniquet (+), ada hepatomegali (1/4-1/4 BH). Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositopeni dan hemokonsentrasi dan dari
pemeriksaan X-foto thorax menunjukkan adanya efusi pleura dengan PEI 21 %.
Diagnosis DBD Derajat II ditegakkan berdasarkan kriteria WHO-NCHS dan DepKes
RI. Status gizi perlu diperhatikan karena pada anak-anak merupakan kelompok
rawan gizi. Pada penderita ini berdasarkan kriteria WHO-NCHS termasuk dalam gizi
baik.
Pengelolaan penderita ini telah dilakukan sesuai dengan standar tatalaksana
pengelolaan demam berdarah dengue. Dalam perjalanan penyakitnya penderita tidak
mengalami komplikasi seperti syok, keadaan umum penderita berangsur-angsur
membaik sehingga pada hari ke-6 perawatan diperbolehkan pulang.
Edukasi yang diberikan pada orang tua penderita berupa pencegahan dan
pemberantasan penyakit untuk mencegah penularan DBD denagn III M, yakni :
Menutup tempat penampungan air, Membersihkan/ menguras bak mandi, Mengubur
barang-barang bekas, serta membersihkan diri penderita dan lingkungannya, karena
tidak menutup kemungkinan anak dapat sakit DBD lagi bahkan derajatnya bisa lebih
berat lagi daripada sekarang.
Selain itu juga sosial ekonomi, pendidikan, dan perilaku kesehatan penderita.
Walaupun setelah mendapatkan perawatan di rumah sakit kondisi penderita cukup
baik, dengan sosial ekonomi dan pendidikan yang kurang dari orang tuanya ditambah
lingkungan rumah dengan sanitasi yang buruk \sangat memungkinkan bagi penderita
untuk mengalami infeksi ulangan yang bahkan mungkian lebih berat daripada
sekarang.

41

Anda mungkin juga menyukai