Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 2
MODUL PENGINDERAAN

KELOMPOK 3
Regina Grace I1011141002
Fithriyyah I1011151001
Ignasius Agung Mulia I1011151008
Lala Utami I1011151032
Resky Hevia Lestari I1011151039
M. Okti Ichsandra I1011151042
Indry Nurafsari I1011151049
M. Nuriansyah I1011151059
Ulfa Tunisak I1011151068
Isabella I1011151069
Hendi Rizaldi I1011151074

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Seorang laki-laki berusia 53 tahun datang ke poliklinik dengan
keluhan penglihatan mata kanan kabur sejak 5 hari sebelumnya. Pasien juga
melihat bintik gelap yang bergerak-gerak.
Pasien menderita DM sejak 5 tahun sebelumnya, tidak teratur
minum obat dan kontrol. Pasien terakhir kontrol 2 tahun lalu. Pada
pemeriksaan tersebut mata kirinya didiagnosis katarak. Hipertensi (-)
Status generalis : Tekanan darah 150/90 mmHg, Nadi 85 x/m,
pernapasan: 18 x/m, suhu 37OC

1.2 Klarifikasi dan Definisi


1. Katarak : Abnormalitas pada lensa mata berupa kekeruhan lensa yang
menyebabkan tajam penglihatan penderia berkurang.

1.3 Kata Kunci


1. Seorang laki – laki berusia 53 tahun
2. Mata kanan kabur sejak 5 hari sebelumnya
3. Melihat bintik gelap yang bergerak-gerak
4. Menderita DM sejak 5 tahun dan tidak terkontrol
5. Mata kiri didiagnosis katarak

1.4 Rumusan Masalah


Apa yang dialami laki-laki 53 tahun dengan penglihatan mata kanan
kabur sejak 5 hari, melihat bintik gelap yang bergerak, DM tak terkontrol
sejak 5 tahun & mata kiri katarak ?
1.5 Analisis Masalah

Laki-laki 53 tahun

- Penglihatan mata kanan kabur sejak 5 hari


- Bintik gelap yang bergerak

TTV Riwayat Penyakit PemFis


Hipertensi grd 1 - DM tak terkontrol sejak Katarak mata
5 tahun kiri (+)
- Hipertensi (-)

DD
- Retinopati diabetik
- Katarak diabetik
- Neovaskular glaukoma

Pemeriksaan penunjang

Diagnosis

Tatalaksana & Edukasi

1.6 Hipotesis
Laki-laki 53 tahun mengalami retinopati diabetik.

1.7 Pertanyaan Diskusi


1. Vaskularisasi mata
2. Retinopati diabetik
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Etiologi
d. Patofisiologi
e. Epidemiologi
f. Faktor resiko
g. Diagnosis
h. Tatalaksana
i. Prognosis
3. Katarak diabetik
a. Definisi
b. Etiologi
c. Patofisiologi
d. Diagnosis
e. Tatalaksana
4. Neovaskular glaukoma
a. Definisi
b. Etiologi
c. Patofisiologi
d. Diagnosis
e. Tatalaksana
5. Bagaimana hubungan diagnosis pada mata kiri dengan keluhan pada
mata kanan ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Vaskularisasi mata


Pembuluh darah untuk bagian dalam bola mata, cabang arteria
ophtalmica, juga menembus sclera bersama nervus opticus. Pembuluh darah
yang berada di lapisan sebelah dalam bernama choroidea. Pada lapisan
choroidea terdapat arteria centralis retinae, dan cabang-cabang pembuluh
darah lain. Darah vena keluar dari tempat yang sama dan selanjutnya
bermuara pada sinus cavernosus. Di tempat masuk bola mata, pembuluh
darah dan saraf dapat ditemukan di bagian dalam bola mata yang dinamakan
discus nervi optic.1
2.2 Retinopati diabetik
2.2.1 Definisi
Retinopati diabetik adalah penyakit yang berpotensi merusak
pembuluh darah retinal secara kronis progresif, berhubungan dengan
hiperglikemia yang lama dan terkait dengan diabetes melitus juga
hipertensi, dapat berkembang sampai tingkatan tertentu, dan
merupakan komplikasi yang serius.2
2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi retinopati diabetes menurut bagian mata Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo.3
• Derajat I. terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa eksudat
lemak pada fundus okuli
• Derajat II. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak
dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli
• Derajat III. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan
bercak terdapat neovaskularisasi dan proliferasi pada fundus okuli.
Jika gambaran fundus mata kiri tidak sama beratnya dengan mata
kanan maka digolongkan pada derajat yang lebih berat.
2.2.3 Etiologi
Retinopati diabetes disebabkan oleh komplikasi
mikrovaskular pada diabetes mellitus (DM) tipe 1 dan 2 yang terjadi
akibat proses hiperglikemia dalam jangka waktu yang lama.
Kelainan mata pada pasien diabetes yang disebabkan kerusakan
kapiler retina dalam berbagai tingkatan sehingga menimbulkan
gangguan penglihatan mulai dari yang ringan sampai berat bahkan
sampai menjadi kebutaan permanen. Risiko mengalami retinopati
meningkat sejalan dengan lamanya menderita diabetes sehingga
hiperglikemia yang berlangsung lama diduga sebagai faktor risiko
utama.4
2.2.4 Patofisiologi
Hiperglikemia kronik merupakan faktor utama terjadinya
retinopati diabetika. Beberapa proses biokimiawi yang terjadi pada
hiperglikemia dan menimbulkan terjadinya retinopati diabetika
antara lain:5
1) Aktivasi jalur poliol
Pada hiperglikemik terjadi peningkatan enzim aldose
reduktase yang meningkatan produksi sorbitol. Sorbitol adalah
senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati membran
basalis sehingga tertimbun di sel dan menumpuk di jaringan
lensa, pembuluh darah dan optik. Penumpukan ini menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik yang menimbulkan gangguan
morfologi dan fungsional sel. Konsumsi NADPH selama
peningkatan produksi sorbitol menyebabkan penigkatan stress
oksidatif yang akan mengubah aktivitas Na/K-ATPase,
gangguan metabolisme phopathydilinositol, peningkatan
produksi prostaglandin dan perubahan aktivitas protein kinase C
isoform.
2) Glikasi Nonenzimatik
Kadar glukosa yang berlebihan dalam darah akan
berikatan dengan asam amino bebas, serum atau protein
menghasilkan Advanced gycosilation end product (AGE).
Interaksi antara AGE dan reseptornya menimbulkan inflamasi
vaskular dan reactive oxygen species (ROS) yang berhubungan
dengan kejadian retinopati diabetika proliferatif.
3) Dialsilgliserol dan aktivasi protein C
Protein kinase C diaktifkan oleh diasilglierol dan
mengaktifkan VEGF yang berfungsi dalam proliferasi pembuluh
darah baru. Pada hiperglikemik terjadi peningkatan sintesis
diasilgliserol yang merupakan regulator protein kinase C dari
glukosa.
Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetika
terletak pada kapiler retina. Dinding kapiler terdiri dari 3 lapisan dari
luar ke dalam yaitu sel perisit, membrana basalis dan sel endotel,
perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel kapiler retina adalah
1 : 1. Sel perisit berfungsi untuk mempertahankan struktur kapiler,
mengatur kontraktibilitas, mempertahankan fungsi barier,
transportasi kapiler dan proliferasi sel endotel; membrana basalis
berfungsi untuk mempertahankan permeabilitas; sel endotel
bersama dengan matriks ekstra sel dari membrana basalis
membentuk pertahanan yang bersifat elektif terhadap beberapa jenis
protein dan molekul termasuk fluoroscein yang digunakan untuk
diagnosis kapiler retina. Perubahan histopatologi pada retinopati
diabetika dimulai dari penebalan membrana basalis, dilanjutkan
dengan hilangnya sel perisit dan meningkatnya proliferasi sel
endotel, sehimgga perbandingan sel endotel dan sel perisit menjadi
10 : 1,7.
Patofisiologi retinopati diabetika melibatkan 5 proses yang
terjadi di tingkat kapiler yaitu:5
1. Pembentukan mikroaneurisma
2. Peningkatan permeabilitas
3. Penyumbatan
4. Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular) dan pembentukan
jaringan fibrosis
5. Kotraksi jaringan fibrosis kapiler dan vitreus
2.2.5 Epidemiologi
Retinopati diabetik jarang ditemukan pada anak-anak
dibawah umur 10 tahun tanpa memperhatikan lamanya diabetes.
Resiko berkembangnya retinopati meningkat setelah pubertas.
Penelitian epidemiologis di Amerika, Australia, Eropa, dan
Asia melaporkan bahwa jumlah penderita retinopati DM akan
meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta pada
tahun 2030 dengan 30% di antaranya terancam mengalami
kebutaan. The DiabCareAsia 2008 Study melibatkan 1 785
penderita DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di
Indonesia dan melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami
komplikasi retinopati, dan 6,4% di antaranya merupakan retinopati
DM proliferatif.6
2.2.6 Faktor resiko
Faktor risiko retinopati diabetik:7
1. Lamanya pasien menderita diabetes. Setelah 10 tahun, 60% pasien
mengalami retinopati, dan setelah 15 tahun, 80% pasien mengalami
retinopati.
2. Beratnya hiperglikemia. Pasien DM tipe 1 lebih banyak mendapat
keuntungan dari pasien DM tipe 2 dengan kontrol kadar gula darah
yang baik. Peningkatan HbA1c merupakan faktor risiko kejadian
penyakit proliferative.
3. Peningkatan kadar lipid serum
4. Kehamilan
5. Hipertensi
6. Nefropati
7. Lain-lain (merokok, usia, jenis diabetes, inaktivitas fisik, dan
penggunaan ACE inhibitor)
2.2.7 Diagnosis
Pada tahun 2010, The American Diabetes Association
menetapkan beberapa rekomendasi pemeriksaan untuk deteksi dini
retinopati DM.8
1. Orang dewasa dan anak berusia lebih dari 10 tahun yang
menderita DM tipe I harus menjalani pemeriksaan mata lengkap
oleh dokter spesialis mata dalam waktu lima tahun setelah diagnosis
DM ditegakkan.
2. Penderita DM tipe II harus menjalani pemeriksaan mata lengkap
oleh dokter spesialis mata segera setelah didiagnosis DM.
3. Pemeriksaan mata penderita DM tipe I dan II harus dilakukan
secara rutin setiap tahun oleh dokter spesialis mata.
4. Frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau
lebih hasil pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan dapat
ditingkatkan apabila ditemukan tanda retinopati progresif.
5. Perempuan hamil dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata
rutin sejak trimester pertama sampai dengan satu tahun setelah
persalinan karena risiko terjadinya dan/atau perburukan retinopati
DM meningkat, dan ia harus menerima penjelasan menyeluruh
tentang risiko tersebut.
Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer
dilakukan melalui pemeriksaan funduskopi direk dan indirek.
Dengan fundus photography dapat dilakukan dokumentasi kelainan
retina. Metode diagnostik terkini yang disetujui oleh American
Academy of Ophthalmology (AAO) adalah fundus photography.
Keunggulan pemeriksaan tersebut adalah mudah dilaksanakan,
interpretasi dapat dilakukan oleh dokter umum terlatih sehingga
mampu laksana di pelayanan kesehatan primer. Pemeriksaan mata
lengkap oleh dokter spesialis mata terdiri dari pemeriksaan visus,
tekanan bola mata, slit-lamp biomicroscopy, gonioskop, funduskopi
dan stereoscopic fundus photography dengan pemberian
midriatikum sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan
dengan optical coherence tomography (OCT) dan ocular
ultrasonography bila perlu. OCT memberikan gambaran penampang
aksial untuk menemukan kelainan yang sulit terdeteksi oleh
pemeriksaan lain dan menilai edema makula serta responsnya
terhadap terapi. Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi
retina bila visualisasinya terhalang oleh perdarahan vitreous atau
kekeruhan media refraksi.9
Pemeriksaan funduskopi direk bermanfaat untuk menilai
saraf optik, retina, makula dan pembuluh darah di kutub posterior
mata. Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien diminta untuk
melepaskan kaca mata atau lensa kontak, kemudian mata yang akan
diperiksa ditetesi midriatikum. Pemeriksa harus menyampaikan
kepada pasien bahwa ia akan merasa silau dan kurang nyaman
setelah ditetesi obat tersebut. Risiko glaukoma akut sudut tertutup
merupakan kontraindikasi pemberian midriatikum. Pemeriksaan
funduskopi direk dilakukan di ruangan yang cukup gelap. Pasien
duduk berhadapan sama tinggi dengan pemeriksa dan diminta untuk
memakukan (fiksasi) pandangannya pada satu titik jauh. Pemeriksa
kemudian mengatur oftalmoskop pada 0 dioptri dan ukuran apertur
yang sesuai. Mata kanan pasien diperiksa dengan mata kanan
pemeriksa dan oftalmoskop dipegang di tangan kanan. Mula-mula
pemeriksaan dilakukan pada jarak 50 cm untuk menilai refleks retina
yang berwarna merah jingga dan koroid. Selanjutnya, pemeriksaan
dilakukan pada jarak 2-3 cm dengan mengikuti pembuluh darah ke
arah medial untuk menilai tampilan tepi dan warna diskus optik, dan
melihat cup-disc ratio. Diskus optik yang normal berbatas tegas, disc
berwarna merah muda dengan cup berwarna kuning, sedangkan cup-
disc ratio <0,3. Pasien lalu diminta melihat ke delapan arah mata
angin untuk menilai retina. Mikroaneurisma, eksudat, perdarahan,
dan neovaskularisasi merupakan tanda utama retinopati DM.
Terakhir, pasien diminta melihat langsung ke cahaya oftalmoskop
agar pemeriksa dapat menilai makula. Edema makula dan eksudat
adalah tanda khas makulopati diabetikum.9
2.2.8 Tatalaksana
Prinsip utama penatalaksanaan dari retinopati diabetik
adalah pencegahan. Hal ini dapat dicapai dengan memperhatikan
hal-hal yang dapat mempengaruhi perkembangan retinopati diabetik
nonproliferatif menjadi proliferatif.
a. Pemeriksaan rutin pada ahli mata
Penderita diabetes melitus tipe I retinopati jarang timbul
hingga lima tahun setelah diagnosis. Sedangkan pada sebagian
besar penderita diabetes melitus tipe II telah menderita retinopati
saat didiagnosis diabetes pertama kali.Pasien- pasien ini harus
melakukan pemeriksaan mata saat diagnosis ditegakkan.Pasien
wanita sangat beresiko perburukan retinopati diabetik selama
kehamilan. Pemeriksaan secara umum direkomendasikan pada
pasien hamil pada semester pertama dan selanjutnya tergantung
kebijakan ahli matanya.10
b. Kontrol Glukosa Darah dan Hipertensi
Untuk mengetahui kontrol glukosa darah terhadap
retinopati diabetik, Diabetik Control and Cmplication Trial
(DCCT) melakukan penelitian terhadap 1441 pasien dengan DM
Tipe I yang belum disertai dengan retinopati dan yang sudah
menderita RDNP. Hasilnya adalah pasien yang tanpa retinopati
dan mendapat terapi intensif selama 36 bulan mengalami
penurunan resiko terjadi retinopati sebesar 76% sedangkan
pasien dengan RDNP dapat mencegah resiko perburukan
retinopati sebesar 54%. Pada penelitian yang dilakukan United
Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) pada penderita
DM Tipe II dengan terapi intensif menunjukkan bahwa setiap
penurunan HbA1c sebesar 1% akan diikuti dengan penurunan
resiko komplikasi mikrovaskular sebesar 35%. Hasil penelitian
DCCT dan UKPDS tersebut memperihatkan bahwa meskipun
kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat mencegah
terjadinya retinopati diabetik secara sempurna, namun dapat
mengurangi resiko timbulnya retinopati diabetik dan
memburuknya retinopati diabetikyang sudah ada.Secara klinik,
kontrol glukosa darah yang baik dapat melindungi visus dan
mengurangi resiko kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi
dengan sinar laser. UKPDS menunjukkan bahwa control
hipertensi juga menguntungkan mengurangi progresi dari
retinopati dan kehilangan penglihatan.4
c. Fotokoagulasi 11
Perkembangan neovaskuler memegang peranan penting
dalam progresi retinopati diabetik.Komplikasi dari retinopati
diabetik proliferatif dapat meyebabkan kehilangan penglihatan
yang berat jika tidak diterapi.Suatu uji klinik yang dilakukan
oleh National Institute of Health di Amerika Serikat jelas
menunjukkan bahwa pengobatan fotokoagulasi dengan sinar
laser apabila dilakukan tepat pada waktunya, sangat efektif
untuk pasien dengan retinopati diabetik proliferatif dan edema
makula untuk mencegah hilangnya fungsi penglihatan akibat
perdarahan vitreus dan ablasio retina. Indikasi terapi
fotokoagulasi adalah retinopati diabetik proliferatif, edema
macula dan neovaskularisasiyang terletak pada sudut bilik
anterior. Ada 3 metode terapi fotokoagulasi yaitu :
1. Scatter (panretinal) photocoagulation = PRP, dilakukan pada
kasus dengan kemunduran visus yang cepat atau retinopati
diabetik resiko tinggi dan untuk menghilangkan neovaskular dan
mencegah neovaskularisasi progresif nantinya pada saraf
optikus dan pada permukaan retina atau pada sudut bilik anterior
dengan cara menyinari 1.000-2.000 sinar laser ke daerah retina
yang jauh dari macula untuk menyusutkan neovaskular.
2. Focal photocoagulation, ditujukan pada mikroaneurisma atau
lesi mikrovaskular di tengah cincin hard exudates yang terletak
500-3000 µm dari tengah fovea. Teknik ini mengalami bertujuan
untuk mengurangi atau menghilangkan edema macula.
3. Grid photocoagulation, suatu teknik penggunaan sinar laser
dimana pembakaran dengan bentuk kisi-kisi diarahkan pada
daerah edema yang difus. Terapi edema macula sering dilakukan
dengan menggunakan kombinasi focal dan grid
photocoagulation.
d. Injeksi Anti VEGF 12
Bevacizumab (Avastin) adalah rekombinan anti-VEGF
manusia. Sebuah studi baru-baru ini diusulkan menggunakan
bevacizum intravitreus untuk degenerasi makula terkait usia.
Dalam kasus ini, 24 jam setelah perawatan kita melihat
pengurangan dramatis dari neovaskularisasi iris, dan tidak
kambuh dalam waktu tindak lanjut 10 hari. Pengobatan dengan
bevacizumab tampaknya memiliki pengaruh yang cepat dan
kuat pada neovaskularisasi patologis.Avastin merupakan anti
angiogenik yang tidak hanya menahan dan mencegah
pertumbuhan prolirerasi sel endotel vaskular tapi juga
menyebabkan regresi vaskular oleh karena peningkatan
kematian sel endotel. Untuk pengunaan okuler, avastin
diberikan via intra vitreal injeksi ke dalam vitreus melewati pars
plana dengan dosis 0,1 mL.Lucentis merupakan versi
modifikasi dari avastin yang khusus dimodifikasi untuk
penggunaan di okuler via intra vitreal dengan dosis 0,05 mL
e. Vitrektomi 13
Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang
mengalami kekeruhan (opacity) vitreus dan yang mengalami
neovaskularisasi aktif.Vitrektomi dapat juga membantu bagi
pasien dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang
mengalami proliferasi fibrovaskuler. Selain itu, vitrektomi juga
diindikasikan bagi pasien yang mengalami ablasio retina,
perdarahan vitreus setelah fotokoagulasi, RDP berat, dan
perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan.
2.2.9 Prognosis
Kontrol optimum glukosa darah (HbA1c < 7%) dapat
mempertahankan atau menunda retinopati.Hipertensi arterial
tambahan juga harus diobati (dengan tekanan darah disesuaikan
<140/85 mmHg).Tanpa pengobatan, Detachment retinal tractional
dan edema macula dapat menyebabkan kegagalan visual yang berat
atau kebutaan. Bagaimanapun juga, retinopati diabetik dapat terjadi
walaupun diberi terapi optimum.10

2.3 Katarak diabetik


2.3.1 Definisi
Katararak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang
dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, atau akibat
denaturasi protein lensa.3
2.3.2 Etiologi
Etiologi terjadinya katarak diabetik berhubungan dengan
akumulasi sorbitol di lensa dan terjadinya denaturasi protein lensa.
Pada diabetes melitus terjadi akumulasi sorbitol pada lensa yang
akan meningkatkan tekanan osmotik dan menyebabkan cairan
bertambah dalam lensa. Sedangkan denaturasi protein terjadi karena
stres oksidatif oleh ROS yang mengoksidasi protein lensa
(kristalin).3
2.3.3 Patofisiologi
Lensa mata adalah organ avaskuler yang terletak di bilik
mata belakang dan dibagian depan dikelilingi oleh cairan akuos.
Cairan akuos ini merupakan sumber nutrisi bagi lensa dan juga
berfungsi sebagai penampung hasil metabolit yang diekskresi oleh
jaringan sekitarnya. Berbeda dengan pada sel yang lain glukosa
dapat masuk ke dalam lensa mata dengan bebas, melalui proses
difusi tanpa bantuan insulin. Di dalam lensa pemecahan glukosa
sebagian besar (78%) melalui jalur glikolisis anaerobik, 14%
melalui jalur pentosa fosfat dan sekitar 5% melalui jalur poliol. Pada
kondisi hiperglikemia, jalur glikolisis anaerobik cepat jenuh, dan
glukosa akan memilih jalur poliol.14
Pada jalur poliol glukosa dirubah menjadi sorbitol yaitu
bentuk alkoholnya. Disini seharusnya kemudian sorbitol dipecah
menjadi fruktosa oleh enzym Polyol Dehydrogenase, namun pada
Diabetes Mellitus kadar enzym Polyol Dehydrogenase rendah
sehingga sorbitol menumpuk di dalam lensa mata. Hal ini
menyebabkan terjadinya kondisi hipertonik yang akan menarik
masuk cairan akuos ke dalam lensa mata, merusak arsitektur lensa
dan terjadilah kekeruhan lensa (teori osmotik katarak pada Diabetes
Mellitus).15
Mekanisme toksisitas glukosa pada Diabetes Mellitus yang
menyebabkan terjadinya katarak Diabetes pada dasarnya dapat
melalui tiga jalur, pertama : akibat peningkatan aktifitas enzim
aldose reduktase yang menyebabkan terbentuknya gula alkohol,
sorbitol dan galaktitol pada kristalin lensa; kedua : melalui proses
glikasi nonenzimatik dimana glukosa yang mempunyai senyawa
reaktif karbonil (C=O) akan berikatan dengan gugus amino protein
kristalin lensa (-NH2). Reaksi ini akan menyebabkan penurunan
tingkat kelarutan protein; ketiga : pada kadar glukosa darah yang
tinggi akan terjadi proses glukooksidasi yang menyebabkan
terjadinya kondisi stres oksidatif.16
2.3.4 Diagnosis
Retinopati diabetik dan berbagai stadiumnya didiagnosis
berdasarkan pemeriksaan stereoskopik fundus dengan dilatasi
pupil.Oftalmoskopi dan foto funduskopi merupakan gold standard
bagi penyakit ini.Angiografi Fluoresens(FA) digunakan untuk
menentukan jika pengobatan laser diindikasikan. FA diberikan
dengan cara menyuntikkan zat fluorresens secara intravena dan
kemudian zat tersebut melalui pembuluh darah akan sampai di
fundus. Neovaskularisasi retina perifer lebih terlihat jelas dengan
angiography daripada funduskopi.4

2.3.5 Tatalaksana
Tatalaksana untuk pasien katarak ialah dengan pembedahan,
antara lain: 17
1. Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE)
Tindakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa
bersama kapsul. Seluruh lensa dibekukan di dalam kapsulnya
dengan cryophake dan depindahkan dari mata melalui incisi
korneal superior yang lebar. Sekarang metode ini hanya
dilakukan hanya pada keadaan lensa subluksatio dan dislokasi.
Pada ICCE tidak akan terjadi katarak sekunder dan merupakan
tindakan pembedahan yang sangat lama populer.ICCE tidak
boleh dilakukan atau kontraindikasi pada pasien berusia kurang
dari 40 tahun yang masih mempunyai ligamen hialoidea
kapsular. Penyulit yang dapat terjadi pada pembedahan ini
astigmatisme, glukoma, uveitis, endoftalmitis, dan perdarahan.

2. Extra Capsular Cataract Extraction ( ECCE )


Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan
pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul
lensa anterior sehingga massa lensa dan kortek lensa dapat
keluar melalui robekan. Pembedahan ini dilakukan pada pasien
katarak muda, pasien dengan kelainan endotel, implantasi lensa
intra ocular posterior, perencanaan implantasi sekunder lensa
intra ocular, kemungkinan akan dilakukan bedah glukoma, mata
dengan prediposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, mata
sebelahnya telah mengalami prolap badan kaca, ada riwayat
mengalami ablasi retina, mata dengan sitoid macular edema,
pasca bedah ablasi, untuk mencegah penyulit pada saat
melakukan pembedahan katarak seperti prolaps badan kaca.
Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini yaitu dapat
terjadinya katarak sekunder.

3. Phacoemulsification
Phacoemulsification (phaco) adalah teknik untuk
membongkar dan memindahkan kristal lensa. Pada teknik ini
diperlukan irisan yang sangat kecil (sekitar 2-3mm) di kornea.
Getaran ultrasonic akan digunakan untuk menghancurkan
katarak, selanjutnya mesin PHACO akan menyedot massa
katarak yang telah hancur sampai bersih. Sebuah lensa Intra
Okular yang dapat dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut.
Karena incisi yang kecil maka tidak diperlukan jahitan, akan
pulih dengan sendirinya, yang memungkinkan pasien dapat
dengan cepat kembali melakukan aktivitas sehari-hari.Tehnik ini
bermanfaat pada katarak kongenital, traumatik, dan kebanyakan
katarak senilis.
4. Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Insisi dilakukan pada sklera dengan ukuran insisi bervariasi dari 5-
8 mm. Namun tetap dikatakan SICS sejak design arsiteknya tanpa jahitan,
Penutupan luka insisi terjadi dengan sendirinya (self-sealing). Teknik
operasi ini dapat dilakukan pada stadium katarak immature, mature, dan
hypermature. Teknik ini juga telah dilakukan pada kasus glaukoma
fakolitik dan dapat dikombinasikan dengan operasi trabekulektomi.

2.4 Neovaskular glaukoma


2.4.1 Definisi
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup
sekunder yang terjadi akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler
pada permukaan iris dan jaringan anyaman trabekula yang
menimbulkan gangguan aliran aquos dan dapat meningkatkan
tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma neovaskuler ini
adalah glaukoma hemoragik, slaukoma kongestif, glaukoma
trombotik dan glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan
dengan neovaskuler pada iris (rubeosis iridis). Neovaskuler ini
timbul biasanya disebabkan oleh iskemik retina yang luas seperti
yang terjadi pada retinopati diabetika dan oklusi vena sentralis
retina.18
2.4.2 Etiologi
Pada glaukoma sudut terbuka penyebabnya ialah karena
adanya gangguan aliran keluar aquoues humor akibat kelainan
sistem drainase sudut kamera anterior dan untuk galukkoma sudut
tertutup disebabkan oleh adanya gangguan akses aqueous humor ke
sistem drainase.18
2.4.3 Patofisiologi
Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma
adalah apoptosis sel ganglion retina yang menyebabkan penipisan
lapisan serat saraf dan lapisan inti dalam retina serta berkurangnya
akson di nervus opticus. Diskus optikus menjadi atrofik, disertai
pembesaran cawan optik. Patofisiologi peningkatan tekanan
intraokular baik yang disebabkan oleh mekanisme sudut terbuka
maupun yang tertutup akan dibahas sesuai dengan entitas
penyakitnya. Efek peningkatan tekanan intraokular dipengaruhi oleh
perjalanan waktu dan besar peningkatan tekanan intraokular. Pada
glaukoma sudut tertutup akut, tekanan intraokular mencapai 60-80
mmHg, menimbulkan kerusakan iskemik akut pada iris yang disertai
edema kornea dan kerusakan nervus optikus. Pada glaukoma sudut
terbuka primer, tekanan intraokular biasanya tidak meningkat lebih
dari 30 mmHg dan kerusakan sel ganglion terjadi setelah waktu yang
lama, sering setelah beberapa tahun. Pada glaukoma tekanan
normal, sel-sel ganglion retina mungkin rentan mengalami
kerusakan akibat tekanan intraokular dalam kisaran normal, atau
mekanisme kerusakarmya yang utama mungkin iskemia caputnervi
optici.18
Gambaran patologik utama pada glaukoma sudut terbuka
primer adalah adanya proses degeneratif anyaman trabekular,
termasuk pengendapan materi ekstrasel didalam anyaman dan di
bawah lapisan endotel kanal Schlemm. Hal ini berbeda dari proses
penuaan normal. Akibatnya adalah penurunan elrainase aqueous
humor yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular.
Patogenesis yang mungkin pada glaukoma tekanan normal adalah
kepekaan yang abnormal terhadap tekanan intuaokular karena
kelainan vaskular atau mekanis di caput nervi optici, atau bisa juga
mumi karena penyakit vaskular. Mungkin terdapatsuatu faktor
predisposisi yang diwariskan; glaukoma tekanan-normal khususnya
sering di jepang. Sejumlah kecil keluarga dengan glaukoma tekanan
rendah memiliki kelainan pada gen optineurin di kromosom 10.
Hipertensi okular adalah peningkatan tekanan intraokular tanpa
kelainan diskus optikus atau lapangan pandang dan lebih sering
dijumpai dibandingkan glaukoma sudut terbuka primer. Angka
terbentuknya glaukoma pada para pengidap hipertensi okular adalah
sekitar 1-2% pertahun. Risiko meningkat seiring dengan
peningkatan tekanan intraokular bertambahnya usia, semakin
beratnya "cupping" diskus optikus, riwayat glaukoma dalam
keluarga,dan mungkin riwayat miopia, diabetes melitus, serta
penyakit kardiovaskular dalam keluarga. Timbulnya perdarahan
diskus pada pasien dengan hipertensi okular juga mengindikasikan
peningkatan risiko terjadinya glaukoma. Glaukoma sudut tertutup
primer terjadi pada mata dengan predisposisi anatomis tanpa disertai
kelainan lain. Peningkatan tekanan intraokular terjadi karena
sumbatanaliran keluar aquous humor akibat adanya oklusi anyaman
trabekular oleh iris perifer. Keadaan ini dapat bermanifestasi sebagai
suatu kedaruratan oftalmologik atau dapat tetap asimptomatik
sampai timbul penurunan penglihatan.18
2.4.4 Diagnosis
Diagnosis glaukoma akut ialah 19
1. Anamnesis
a. penglihatan kabur mendadak
b. nyeri hebat di sekitar mata atau belakang kepala
c. mual,
d. muntah
e. melihat halo (pelangi disekitar objek atau lamu tang dilihat)
f. keluhan sering berkurang bila penderita melihat sinar kuat yang
mengakibatkan pupil mengecil
2. Pemeriksaan Fisik
a. Visus sangat menurun
b. TIO meninggi
c. Mata merah
d. Kornea suram/keruh
e. Injeksi siliar
f. Bilik mata depan dangkal
g. Rincian iris tidak tampak
h. Pupil sedikit melebar, kurang/tidak bereaksi terhadap sinar
i. Diskus optikus terlihat merah dan bengkak
j. Pada perabaan mata teras keras seperti kelereng
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Tonometri. Alat ini berguna untuk menilai tekanan intraokular.
Tekanan bola mata normal berkisar antara 15-21 mmHg.
b. Gonioskopi. Sudut bilik mata depan merupakan tempat
penyaluran keluar humor akueus. Dengan gonioskopi kita berusaha
menilai keadaan sudut tersebut, apakah terbuka, sempit atau tertutup
ataukah terdapat abnormalitas pada sudut tersebut.
c. Penilaian diskus optikus. Dengan menggunakan opthalmoskop
kita bisa mengukur CDR. CDR yang melebihi 0,5 menunjukkan
peningkatan tekanan intraokular yang signifikan.
d. Pemeriksaan lapang pandang. Hal ini penting dilakukan untuk
mendiagnosis dan menindaklanjuti pasien glaukoma. Lapang
pandang glaukoma memang akan berkurang karena peningkatan
TIO akan merusakan papil saraf optikus.
2.4.5 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan dari glaukoma neovaskular yaitu
untuk mengontrol faktor resiko,mencegah terjadinya perburukan
dan komplikasi lebih lanjut serta mengurangi rasa tidak nyaman jika
terjadi serangan yang akut dan bila telah terjadi penurunan daya
penglihatan.Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan terapi
farmakologik dan bedah.20
Terapi farmakologi yang diberikan seperti kortikosteroid
topikal dan midriatikum/sikloplegik dipakai untuk mengurangi rasa
tidak nyaman pada mata terutama padaserangan yang akut,
mencegah terjadinya sinekia dan melepaskan perlengketan jika telah
tejadisinekia. Penggunaan ß-blocker, α-agonis dan inhibitor untuk
mengurangi produksi dari cairanaquos. Terapi farmakologik lain
diberikan untuk mengontrol faktor resiko seperti pemberian
obathipoglikemia dan hipolipodemik.
Terapi pembedahan yang dipakai antara lain PRP (Panretinal
Photocoagulation) untuk mengurangi pembentukan
neovaskularisasi di iris dan mencegah terjadinya sinekia anterior dan
posterior serta untuk menurunkan TIO yang meningkat, Panretinal
criotheraphy dipakai jika teknik PRP tidak memberikan hasil yang
memuaskan dan jika media penglihatan keruh,goniophotocoaglation
jika terjadi neovaskularisasi iris dan sebelum terbentuknya sinekia
anterior. 20
Teori terbaru menyebutkan digunakannya agen
farmakologik anti-angiogenik yang bertujuan mengurangi atau
mencegah terjadinya neovaskularisasi, seperti
bevacizumab(avastin,genentech). Pemberian obat diaplikasikan
secara topikal. Pemberian obat dilaporkan memilikionset kerja cepat
(48 jam), namun obat ini memiliki waktu paruh yang singkat
sehingga gejalakekambuhan besar terjadi. 20

2.5 Hubungan diagnosis pada mata kiri dengan keluhan pada mata kanan
Beberapa studi klinik telah menunjukkan bahwa perkembangan
katarak terjadi lebih sering dan lebih awal pada penderita diabetes melitus
dibanding penderita yang non-diabetes. Meningkatnya jumlah penderita
diabetes melitus di dunia baik tipe 1 maupun tipe 2 menyebabkan tingginya
insiden katarak diabetik. Data dari beberapa studi mengenai mata
menunjukkan peningkatan prevalensi katarak sebesar tiga sampai empat
kali lipat pada penderita diabetes melitus yang berusia di bawah 65 tahun
dan peningkatan sebesar dua kali lipat lebih pada penderita diabetes melitus
yang berusia di atas 65 tahun. Risiko untuk mengalami katarak semakin
meningkat pada pasien yang telah lama mengalami diabetes melitus dan
dengan kontrol gula darah yang kurang baik. 21
Penelitian ini juga menyatakan bahwa prevalensi katarak pada
penderita diabetes melitus lebih dari dua kali lipat lebih tinggi dibanding
orang yang tidak menderita diabetes melitus. Hal ini menunjukkan bahwa
diabetes melitus merupakan faktor resiko yang penting dalam pembentukan
katarak. Penelitian ini juga menemukan adanya asosiasi positif antara kadar
gula darah puasa dan lamanya menderita diabetes melitus dengan resiko
terjadinya katarak. Dengan pengontrolan kadar gula darah yang intensif
dimungkinkan dapat menurunkan risiko berkembangnya katarak.22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Laki-laki 53 tahun mengalami retinopati diabetik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Paulsen F. & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi


Umum dan Muskuloskeletal. Penerjemah : Brahm U. Penerbit. Jakarta :
EGC
2. Bailey C, Chakravarthy U, Cohen S, Dodson P, Gibson J, Menon G, dkk.
Diabetic Retinopathy Guidelines. The Royal College of
Opthalmologists.2012;6-9,56-64.
3. Ilyas Sidarta, Sri Rahayu Yulianti. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta: FK
UI. 2017
4. Suyono S, Pandelaki K. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Setiati S, Alwi I,
Sudoyo A, Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AR, editor. Jakarta:
InternaPublishing; 2014.
5. Citirik M, Berker N, Haksever H, Elgin U, Ustun H. Conjunctival
impression cytology in non-proliferative and proliferative diabetic
retinopathy. Int J Ophthamol. 2014;7(2).
6. Soewondo P, Soegondo S, Suastika K, Pranoto A, Soeatmadji DW,
Tjokroprawiro A. The DiabCare Asia 2008 study – Outcomes on control
and complications of type 2 diabetic patients in Indonesia. Med J Indones.
2010;19(4):235-43.
7. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E.A. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
8. Garg S, Davis RM. Diabetic retinopathy screening update. Clinical
Diabetes; 2009.
9. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes -
2010. Diabetes Care. 2010;33(Suppl1):S11-61.
10. Weiss J. Retina and Vitreous : Retinal Vascular Disease. Section 12 Chapter
5.Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2008. p 107-128
11. Zing-Ma J, Sarah X-hang. Endogenous Angiogenic Inhibitors in Diabetic
Retinopathy. In: Ocular Angiogenesis Disease. Mew Jersey : Humana Press
; 2006. p 23-35.
12. Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.
London:Butterworth-Heinemann;2003. p.439-54,468-70.
13. Mitchell P.Guidelines for the Management of Diabetic Retinopathy :
Diabetic Retinopathy. Australia : National Health and Medical Research
Council ; 2008. p 26-31,44-47,96-104.
14. Jaffe NS, Horwitz J. Lens and Cataract. In : (Podos SM, Yanoff M, eds)
Textbook of Ophthalmology. Gower Medical Publishing, New York.1992.
1:1 – 8
15. Lee AYW, Chung SSM. Contribution of polyol pathway to oxidative stress
in diabetic cataract. The FASEB Journal 1999. 13 : 23 – 30
16. Gondhowiardjo TD. Aktivitas Enzim Aldehid Dehidrogenase pada Lensa
Katarak Diabetes dan Non Diabetes. Ophthalmologica Indonesiana. 1996.
16 (2) : 118 – 124
17. Pascolini D, Mariotti SP. Global estimates of visual impairment: 2010. BR
J Ophthalmol; 2011.
18. Vaughan & Asbury. Neovascular Glaucoma In General Opthalmology,
17Ed, 2016: 212 -227.
19. Ilyas, sidarta.. Dasar-dasar pemeriksaan dalam ilmu penyakit mata. Edisi 3.
Jakarta:Balai Pustaka; 2009
20. Ghanem AA, El-Kannishy AM, El-Wehidy AS, El-Agamy AF. Intravitreal
Bevacizumab(Avastin)as an Adjuvant Treatment in Cases of Neovascular
2009.
21. Pollreisz A, Erfurth US. Diabetic cataract: pathogenesis, epidemiology, and
treatment. J of Ophthalmology. 2010.
22. Rotimi C, Daniel H, Zhou J, Obisesan A, Chen G, Chen Y, et al. Prevalence
and determinant of diabetic retinopaty and cataracts in West African type 2
diabetes patients. Washington DC: College of Medicine of Howard
University; 2005.

Anda mungkin juga menyukai