Penanggulangan
HIV dan AIDS
Ke DALAM Sistem Kesehatan
Integrasi Upaya
Penanggulangan
HIV dan AIDS
Ke DALAM Sistem Kesehatan
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS Ke Dalam
Sistem Kesehatan © PKMK FK UGM
Penyusun
Tim PKMK FK UGM:
M. Suharni, MA; Hersumpana, MA; Chrysant Lily K, MA; dr. Ita Perwira, MPH;
Iko Safika, PhD; Ignatius Praptoraharjo, PhD; dr. Satiti R.P, Sp.KK(K); Swasti
Sempulur, S.Sos; Eviana Hapsari Dewi, MPH
Tim Universitas:
Universitas Sumatera Utara: Lita Sri Andayani, SKM, M.Kes; dr. Julianda Harahap MA
Universitas Udayana: dr. Luh Lila Putu Wulandari, MPH; dr. Nyoman Sutarsa, MPH
Universitas Hasanuddin: Shanti Riskiyani, SKM, Mkes; Sudirman Natsir, PhD
Universitas Airlangga: drg. Arief Hargono, M.Kes; DR.dr.Windu Purnomo, MS
Universitas Cenderawasih: Melkior Tappy, SKM, MPH; Yane Tambing, SKM, MPH
Universitas Negeri Papua: Afia Tahoba, SP, MSi
Laporan ini bisa dikutip, disalin, dan digandakan dengan menyebutkan sumbernya dan
dipergunakan untuk kepentingan pendidikan masyarakat, bukan untuk kepentingan komersial.
James Gilling
Minister, Development Cooperation
Australian Ambassador for HIV/AIDS, Malaria and Tuberculosis
Australian Embassy Jakarta
vi • PKMK FK UGM
Pengantar kemkes ri
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan • vii
viii • PKMK FK UGM
Daftar Isi
pengantar DFAT
................................................................................................................................................
v
Pengantar kemkes ri
..............................................................................................................................................
vii
dAFTAR ISI
...............................................................................................................................................
ix
Daftar Akronim dan Singkatan
............................................................................................................................................
xiii
Ringkasan Eksekutif
............................................................................................................................................
xvii
I. PENDAHULUAN
1
A. Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS.................................................1
B. Sistem Kesehatan dan Penanggulangan HIV dan AIDS .............3
C. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian..........................................................6
a. Pertanyaan Penelitian............................................................................6
b. Tujuan Penelitian.......................................................................................7
D. Kerangka Konseptual.....................................................................................8
E. Metode Penelitian............................................................................................9
a. Desain dan Prosedur Penelitian.
10
b. Lokasi Penelitian.
11
c. Informan
11
d. Instrumen
12
e. Manajemen Data
13
f. Analisis Data
13
g. Struktur Laporan
16
II. KONTEKS
..............................................................................................................................................
19
A. Konteks Kebijakan dan Program Penanggulangan HIV dan
AIDS
pada Tingkat Pusat dan Daerah
.................................................................................................................................
19
a. Komitmen Politik
19
b. Hukum dan Peraturan
21
c. Ekonomi.
22
d. Permasalahan Kesehatan
23
Daftar Pustaka
............................................................................................................................................
105
Lampiran 1
............................................................................................................................................
110
Lampiran 2
............................................................................................................................................
116
x • PKMK FK UGM
Daftar TABEL
Gambar 1
Kerangka Konseptual..................................................................................9
Gambar 2.
Posisi Pemangku Kepentingan di Daerah
31
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan • xv
xvi • PKMK FK UGM
Daftar Akronim & Singkatan
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan • xvii
IMS Infeksi Menular Seksual
IO Infeksi Oportunistik
IOMS Inventory Order Management System
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
Jamkesm Jaminan Kesehatan Masyarakat
as Jaminan Kesehatan Daerah
Jamkesda Kelompok Dukungan Sebaya
KDS Kementerian Kesehatan
Kemenke Kesehatan Ibu dan Anak
s
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
KIA
Komunikasi dan Informatika
KIE
Komisi Penanggulangan AIDS
Kominfo Nasional/Provinsi/Kota/Kabupaten
KPAN/P/K Konseling dan Tes Sukarela/Voluntary Counselling
KTS/VCT and Testing
LASS Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril
LKB Layanan Komprehensif Berkesinambungan
LP2EM Lembaga Pengkajian Dan Pemberdayaan Ekonomi
LSL Masyarakat
LSM Lelaki Berhubungan Seks dengan Lelaki
MOU Lembaga Swadaya Masyarakat
MPI Memorandum of Understanding
Musrenba Mitra Pembangunan Internasional
ng Musyawaran Perencanaan Pembangunan
Napza Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif
ODHA Orang Dengan HIV dan AIDS
OMS Organisasi Masyarakat Sipil
OBM Organisasi Berbasis Masyarakat
Ormas Organisasi Kemasyarakatan
Otsus Otonomi Khusus
PAD Pendapatan Asli Daerah
PDP/CST Perawatan, Dukungan dan Pengobatan/Care,
Pemda Support and Treatment
Penasun Pemerintah Daerah
Pergub Pengguna Napza Suntik
Perda Peraturan Gubernur
Permenda Peraturan Daerah
gri Peraturan Kementrian Dalam Negeri
Perwal Peraturan Walikota
PITC Provider-Initiated Testing and Counselling
PKM Pusat Kesehatan Masyarakat
xviii •
PKMK FK
UGM
PKMK Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
PKR Pusat Kesehatan Reproduksi
PMTS Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual
Pokdisus Kelompok Studi Khusus
Pokja Kelompok Kerja
Polrestabe Kepolisian Resor Kota Besar
s Pos Pelayanan Khusus
Posyansus Pusat Penelitian HIV dan AIDS/HIV and AIDS
PPH/ARC Research Center
PPIA Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak
PTRM Program Terapi Rumatan Metadon
Puskesma Pusat Kesehatan Masyarakat
s Rencana Strategis
Renstra Recording & Reporting
R&R Republik Indonesia
RI Risiko Tinggi
Risti Rumah Tahanan
Rutan Rumah Sakit
RS Rumah Sakit Umum Daerah
RSUD Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMD Survei Cepat Perilaku
SCP Sumber Daya Manusia
SDM Surat Keputusan
SK Sistem Kesehatan Nasional
SKN Satuan Kerja Pemda
SKPD Sistem Informasi HIV/AIDS
SIHA Sistem Informasi Nahdlatul Ulama
SINU Sistem Informasi Perkumpulan Keluarga Berencana
SIPKBI Indonesia
SIKNAS/DA Sistem Informasi Kesehatan Nasional/Daerah
SOP Standard Operation & Procedure
SRAN Strategi dan Rencana Aksi Nasional
STBP/IBBS Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku/Integrated
Biological and
SUFA Behavior Survey
SUM Strategic Use of ARV
SSR Scaling Up For Most-At-Risk Populations
TB Sub Sub Recipient
Tuberkulosis
xx • PKMK FK UGM
Ringkasan Eksekutif
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan • xxi
karena itu, hambatan-hambatan dalam penerapan kebijakan
membutuhkan strategi untuk meminimalkan faktor-faktor
penghambat dan mendorong daya ungkit daerah dalam
mengembangkan program penanggulangan HIV dan AIDS.
Fungsi penyediaan layanan (service delivery) paling potensial
untuk diintegrasikan dan cenderung sudah mencerminkan
penyediaan layanan terpadu (continuum of care) mulai dari
intervensi pencegahan; perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP);
dan mitigasi dampak (MD). Ini terjadi karena kesiapan mekanisme
penyedia layananan di layanan umum. Ia bisa mengadopsi layanan
HIV dan AIDS mulai dari infrastruktur, sumber daya, dan standar
layanan yang sudah berjalan. Sedangkan fungsi-fungsi lain seperti
pembiayaan, sumber daya kesehatan, informasi strategis, dan
partisipasi masyarakat yang sangat bervariasi belum teringrasi.
Tingginya variasi pada fungsi-fungsi sistem kesehatan yang
belum terintegrasi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor dari
berbagai aspek. Dari aspek politik, misalnya, tingkat komitmen
politik daerah terhadap penanggulangan HIV dan AIDS masih
rendah sehingga tidak menjadikannya prioritas pembangungan
kesehatan di daerah. Indikatornya, pemda cenderung enggan
untuk mengalokasikan pembiayaan yang memadai bagi program
penanggulangan HIV dan AIDS. Pembiayaan yang minimal ini juga
dipengaruhi oleh konteks ekonomi di mana pemda masih
bergantung pada dukungan donor (mitra pembangunan
internasional/MPI) dan belum mampu mengoptimalkan potensi
sektor swasta untuk berpartisipasi dalam penanggulangan HIV
dan AIDS. Sementara dari aspek hukum, masih berlaku regulasi-
regulasi yang menghambat akses atas layanan. Kapasitas daerah
juga masih lemah dalam menentukan status epidemi daerah,
sehingga upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih
mengandalkan program dan pembiayaan dari pusat.
Integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
sistem kesehatan ditentukan juga oleh produktivitas interaksi antar-
pemangku kepentingan kunci yang memiliki kekuasaan dan
kepentingan. Penelitian ini menemukan bahwa pemangku
kepentingan dengan kekuasaan tinggi memiliki kepentingan rendah
dalam upaya penenggulangan HIV dan AIDS. Dengan situasi seperti
ini, tantangannya ialah meningkatkan sensitivitas pemangku
kepentingan kunci yang memiliki posi si strategis dan kekuasaan
besar seperti kepala daerah, DPRD, dan Bappeda agar memiliki
pemahaman dan kapasitas yang memadai dalam menyusun dan
menerap kan berbagai kebijakan strategis mengenai HIV dan AIDS.
Dengan begitu, maka rasa tanggung jawab (akuntabilitas) dan
kepemilikan mereka terhadap program terkait HIV dan AIDS juga
terpenuhi. Interaksi aktif dan produktif di antara para pemangku
kepentingan kunci dapat menciptakan lingkungan yang kondusif
(enabling environment) untuk mengoptimalkan intervensi program
pencegahan, PDP, dan MD
2 • PKMK FK UGM
mengakses layanan HIV dan AIDS yang tersedia. Berbagai
intervensi tersebut juga didukung oleh berbagai kebijakan dalam
penguatan koordinasi dalam perencanaan, penerapan, serta
pengawasan dan evaluasi (monitoring and evaluation); pelibatan
masyarakat sipil; memastikan komitmen dan dukungan
pendanaan dari pemerintah pusat, pemda, dan lembaga mitra
internasional; serta penguatan kelembagaan KPA di daerah.
Kajian eksternal WHO pada tahun 2012 menilai bahwa
pengembangan kebijakan dan program selama ini telah
memberikan kemajuan dan perluasan inter vensi yang signifikan
tetapi belum merata secara kewilayahan dan jenis intervensinya
(WHO, 2012). Kebijakan dan program penanggulangan HIV dan
AIDS saat ini dan di masa depan tetap menghadapai tantangan
yang besar untuk menurunkan tingkat penularan sekaligus
meningkatkan kualitas hidup ODHA. Selain menuntut upaya lebih
efektif untuk mencegah penularan HIV dan AIDS baik pada
populasi kunci maupun pada populasi yang berisiko rendah,
penanggulangan HIV dan AIDS ke depan juga menghadapi
tantangan untuk menyediakan perawatan bagi ODHA dalam
jangka panjang mengingat efektivitas pengobatan Antiretroviral
(ARV) dalam menekan angka kematian ODHA. Dua tantangan
yang berkelanjutan ini membu tuhkan upaya yang
berkesinambungan dan terpadu pada tingkat hulu dan hilir dalam
penanggulangan HIV dan AIDS. Pada tingkat hulu, diperlukan
integrasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS ke
dalam sistem kesehatan. Sementara di tingkat hilir, perlu
pengembangan model penyediaan layanan kesehatan dan sistem
operasional yang melibatkan multisektor dan multiprogram untuk
memastikan layanan berkualitas tinggi sejalan dengan rentang
perawatan (continuum of care) penanggulangan HIV dan AIDS.
4 • PKMK FK UGM
oleh pemerintah pusat dengan dukungan penuh dari lembaga
kesehatan global; (2) Dalam era desentralisasi ini, pemda belum
memiliki komitmen politik dan peran yang signifikan dalam
pengembangan kebijakan dan program penanggulangann HIV dan
AIDS baik pencegahan, PDP, maupun MD; (3) Pemerintah pusat
dan lembaga MPI cenderung menempatkan pemda sebagai
pelaksana program sehingga daerah tidak memiliki kapasitas
yang memadai untuk perencanaan, penganggaran, dan tata
kelola program; dan (4) Program penanggulangan HIV dan AIDS
mengembangkan struktur dan sistem pengelolaan yang berbeda
dari pengendalian penyakit menular pada umumnya.
Integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem
kesehatan dengan memaksimalkan sumber daya dan
infrastruktur yang tersedia tidak mudah dilaksana kan karena
melibatkan banyak pemain dengan masing-masing kepentingan
pragma tisnya, kelembagaan, dan kebijakan (Dudley dan Garner,
2011; Atun et al., 2010). Upaya untuk mengintegrasikan
pendekatan integratif dan vertikal menjadi berisiko karena hasil-
hasil yang telah dicapai melalui pendekatan vertikal mungkin bisa
kurang tampak atau bahkan hilang karena berbagai inovasi yang
telah dihasilkan tidak bisa diakomodasi dalam sistem kesehatan.
Sistem kesehatan yang belum kuat juga berisiko pada adanya
keengganan mengadopsi inovasi (Godwin dan Dickinson, 2012).
Meskipun demikian, sejauh ini belum ada kesimpulan yang
jelas tentang penga ruh integrasi intervensi khusus ke dalam
sistem kesehatan terhadap status kesehatan masyarakat karena
masih terbatasnya studi tentang isu ini sekaligus belum
tersedianya metodologi yang dinilai memadai (Kawonga, 2012;
Coker et al., 2010). Oleh karena itu, isu yang lebih mendasar
bukan pada memilih bahwa integrasi lebih baik daripada
pendekatan vertikal, tetapi seberapa jauh kombinasi atau
komposisi antara kedua komponen pendekatan tersebut bisa
memberikan dampak yang lebih baik bagi upaya untuk
meningkatkan status kesehatan dengan mempertimbangkan
kompleksitas penyediaan layanan kesehatan dan berdasarkan
perencanaan, koordinasi, dan ma najemen yang efektif (Dudley
dan Garner, 2011; Atun et al., 2010). Mengetahui komposisi dan
kombinasi komponen dari dua pendekatan ini merupakan
tantangan terbesar dan memerlukan penilaian yang sangat hati-
hati.
Dengan demikian, permasalahan kebijakan yang perlu
diperhatikan dalam melihat keterkaitan antara upaya
penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kese hatan di Indonesia
antara lain: (1) Sejauh mana kebijakan dan program penang
gulangan HIV dan AIDS di Indonesia terintegrasi dengan sistem
kesehatan yang berlaku? (2) Dalam komposisi dan bentuk
bagaimana pendekatan vertikal dan pendekatan terintegrasi bisa
dikombinasikan agar mampu meningkatkan efektivitas
a. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini ingin menjawab
pertanyaan: Seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV
dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di Indonesia?
Pertanyaan penelitian tersebut diturunkan ke dalam beberapa
pertanyaan khu sus sebagai berikut:
1. Bagaimana konteks, proses, dan substansi kebijakan dan program
penanggulangan HIV dan AIDS pada tingkat pusat dalam sistem
kesehatan yang berlaku?
2. Seberapa jauh sinergi fungsi dan peran KPA, Dinas Kesehatan
(Dinkes), lintas-sektoral, dan LSM dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat pusat dan daerah?
3. Seberapa jauh konsistensi antara regulasi tentang HIV dan
AIDS di tingkat pusat dan daerah?
4. Seberapa besar proporsi, kesesuaian, distribusi, dan
keberlanjutan pendanaan (donor asing, Anggaran Pendapatan
dan Belanja Nasional/Daerah [APBN/D] dan dana masyarakat)
terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat pusat dan
daerah?
5. Bagaimana hubungan kerja, ketenagaan, dan pengembangan
kapasitas sumber daya manusia (SDM) khusus sektor HIV dan
AIDS non-pemerintah dengan SDM kesehatan di tingkat pusat
dan daerah?
6 • PKMK FK UGM
6. Seberapa jauh integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam
sistem informasi strategis di tingkat daerah dan pusat serta
pemanfatan bukti-bukti (evidences) untuk pengembangan dan
pelaksanaan kebijakan dan program?
7. Bagaimana pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas
material pencegahan, diagnostik, dan terapi di tingkat daerah
dan pusat dalam konteks kebijakan jaminan kesehatan
nasional (JKN)?
8. Seberapa jauh partisipasi aktif masyarakat terdampak dalam
penanggulangan HIV dan AIDS?
9. Bagaimana keterkaitan antara keberadaan universitas dengan
kebutuhan pe nanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah
dan pusat dalam penyediaan sumber pengetahuan dan SDM?
b. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi kebijakan
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di
Indonesia sehingga dapat dikembangkan rekomendasi perbaikan
kinerja penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka mene ngah.
Secara khusus tujuan tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Menganalisis konteks, proses, serta substansi kebijakan dan
program penang gulangan HIV dan AIDS pada tingkat pusat
dan daerah dalam kerangka sistem kesehatan yang berlaku;
2. Mengidentifikasi dan mengukur sinergi fungsi dan peran KPA,
Dinkes, lintas-sektoral, dan LSM dalam penanggulangan HIV
dan AIDS di tingkat pusat dan daerah;
3. Mengukur konsistensi antara regulasi HIV dan AIDS di tingkat
pusat dan daerah;
4. Mengukur proporsi, kesesuaian, distribusi, dan keberlanjutan
pendanaan yang ada (Donor asing, APBN/D dan dana
masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat
pusat dan daerah;
5. Mengidentifikasi hubungan kerja, ketenagaan, dan
pengembangan kapasitas SDM khusus sektor HIV dan AIDS
non-pemerintah dengan SDM kesehatan di tingkat pusat dan
daerah;
6. Mengukur integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam
sistem informasi strategis di tingkat daerah dan pusat serta
pemanfatan fakta-fakta/bukti-bukti (evidences) untuk
pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan program;
7. Mengukur pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas
material pencegahan, diagnostik dan terapi di tingkat daerah
dan pusat dalam konteks kebijakan JKN;
8. Mengukur partisipasi aktif masyarakat terdampak dalam
penanggulangan HIV dan AIDS;
D. Kerangka Konseptual
Penelitian ini berupaya untuk mengukur seberapa jauh
integrasi upaya penang gulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem
kesehatan. Untuk itu penelitian ini memodifikasi kerangka analisis
yang dikembangkan oleh Atun et al., (2010a) dan Coker (2010)
untuk mengukur integrasi sebuah intervensi yang dikembangkan
untuk merespons permasalahan kesehatan tertentu ke dalam
sistem kesehatan seba gai model konseptual yang akan
digunakan untuk mengarahkan pengumpulan dan analisis data
(lihat Gambar 1).
Sejalan dengan Atun et al. (2010), integrasi dalam model
konseptual ini didefinisikan sebagai tingkat adopsi dan asimilasi
intervensi kesehatan khusus ke dalam berbagai fungsi pokok
sistem kesehatan. Konsep adopsi atau asimilisasi digunakan
sebagai indikator tingkat integrasi yang didasarkan pada asumsi
bahwa sebuah intervensi kesehatan spesifik (termasuk
penanggulangan HIV dan AIDS) merupakan sebuah inovasi dalam
upaya kesehatan yang berupa perspektif, praktik, atau
pengaturan kelembagaan yang dinilai berbeda dengan upaya
kesehatan yang lain. Dilihat dari sisi sistem kesehatan, integrasi
menunjukkan seberapa jauh berba gai fungsi pokok sistem
kesehatan didayagunakan secara bersama-sama untuk
mendukung inovasi dalam penyelesaian permasalahan kesehatan
tertentu dengan cara membangun komitmen antaraktor dalam
sektor kesehatan serta memanfaatkan teknologi dan sumber daya
yang tersedia (WHO, 2007). Dalam konteks Indonesia, berbagai
fungsi pokok sistem kesehatan tersebut mencakup manajemen
dan regulasi kesehatan; pembiayaan; SDM; informasi strategis;
penyediaan layanan; dan pember dayaan masyarakat
sebagaimana ditentukan Perpres Nomor 72/2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional.
Sebagaimana digambarkan dalam kerangka konseptual,
seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke
dalam sistem kesehatan dipengaruhi oleh:
(1) Karakteristik permasalahan HIV/AIDS serta kebijakan dan
program penang gulangannya dalam upaya pencegahan, PDP,
dan MD; (2) Interaksi berbagai aktor yang berkepentingan di
dalam sistem kesehatan di dalam upaya penanggulangan HIV dan
AIDS; (3) Pelaksanaan fungsi-fungsi pokok dalam sistem
kesehatan; dan
(4) Konteks politik, ekonomi, hukum, dan regulasi tentang
permasalahan kesehatan di mana penanggulangan HIV dan AIDS
dilaksanakan. Dengan demikian, penelitian ini berfokus pada
eksplorasi pelaksanaan fungsi-fungsi pokok sistem kesehatan di
8 • PKMK FK UGM
dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang berupa manajemen
dan regulasi, pembiayaan, pengelolaan SDM, penyediaan
kebutuhan farmasi dan alat kesehatan, pengelolaan informasi
strategis, mobilisasi partisipasi masyarakat, dan interaksi
antarfungsi tersebut.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat multi-center di mana penelitian
dilakukan di beberapa tempat oleh tim yang berbeda tetapi
menggunakan metodologi dan waktu penelitian yang sama.
Penelitian dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Timur,
Bali,
b. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mencakup enam provinsi di Indonesia, yaitu
Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Papua, dan
Papua Barat. Berdasarkan rencana awal, Provinsi DKI Jakarta dan
Nusa Tenggara Timur juga ditetapkan sebagai lokasi penelitian,
tetapi karena data yang dikumpulkan tidak dapat dibandingkan
dengan enam provinsi lainnya maka hasil penelitian di dua
provinsi tersebut tidak diikutsertakan dalam analisis untuk
laporan ini. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan beberapa kriteria,
antara lain: 1) Memiliki variasi tingkat epidemiologi HIV dan AIDS
(terkonsentrasi dan generalisata); 2) Terdapat program
penanggulangan HIV dan AIDS yang telah berjalan; dan 3)
Terdapat lembaga penelitian universitas dengan kualitas peneliti
yang memadai.
Penelitian dilakukan oleh peneliti dari universitas di masing-
masing lokasi penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.
Universitas yang dimaksud berdasarkan daerahnya yakni Universitas
Sumatera Utara (USU), Universitas Airlangga (Unair), Universitas
Udayana (Unud), Universitas Hasanudin (Unhas), Universitas
Cenderawasih (Uncen), dan Universitas Papua. Di masing-masing
provinsi, dua kabupaten/kota dipilih berdasarkan daftar 137
Kabupaten/Kota prioritas menurut KPAN (KPAN, 2010). Untuk Papua
Barat hanya dipilih satu kabupaten. Secara total, penelitian ini
dilakukan di enam provinsi dan sebelas kabupaten/kota di Indonesia.
c. Informan
Jenis informan penelitian di sebelas kabupaten/kota terpilih
ialah semua pihak yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan
AIDS. Jumlah informan untuk masing-masing daerah bervariasi
sesuai dengan jenis program yang ada di daerah dan jumlah
lembaga/institusi yang terlibat dalam pelaksanaan program.
Informan tersebut antara lain:
1Tim Peneliti Inti di sini terdiri atas peneliti PKMK FK UGM dan PPH Universitas Atma Jaya.
d. Instrumen
Sesuai dengan kerangka konseptual yang digunakan,
pengumpulan data difo kuskan pada aspek-aspek berikut ini:
a) Konteks penanggulangan HIV dan AIDS yang mencakup topik
tentang kepen tingan dan komitmen politik daerah, hukum dan
regulasi terkait dengan pelaksa naan program HIV dan AIDS,
situasi ekonomi dan permasalahan kesehatan umum di daerah.
b) Peran para aktor dalam penanggulangan HIV dan AIDS dan
sistem kesehatan di daerah yang mencakup pemda, KPA di
daerah, MPI, OMS, serta pemangku kepentingan strategis lain
dalam pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah.
c) Pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan dalam
penanggulangan HIV dan AIDS yang mencakup pelaksanaan
fungsi manajemen dan regulasi, pembiayaan, penge lolaan
SDM, penyediaan kefarmasian dan alat kesehatan,
pengelolaan infor masi strategis, mobilisasi partisipasi
masyarakat, dan penyediaan layanan kese hatan. Setiap fungsi
sistem kesehatan ini kemudian dikelompokkan berdasarkan
dimensi-dimensi dari pelaksanaan fungsi sistem kesehatan.
Secara keseluruhan ketujuh fungsi sistem kesehatan tersebut
mencakup 18 dimensi/subtema.
d) Kinerja pelayanan kesehatan dalam penanggulangan HIV dan
AIDS yang meliputi cakupan, aksesibilitas, kualitas, dan
keberlanjutan layanan.
Instrumen tersebut dikembangkan dan diadaptasi dari instrumen
penilaian kinerja sistem kesehatan yang telah dilakukan oleh USAID
tahun 2012 dalam Health System Assessment Approach: How-To
Manual2 dan SYSRA Toolkit (Mounier-Jack et al, 2008) yang ditujukan
untuk menilai tingkat integrasi intervensi spesifik ke dalam sistem
kesehatan. Instrumen ini pernah diujicobakan di beberapa negara
termasuk di Indonesia untuk melihat intervensi spesifik terkait
dengan Millenium Development Goals (MDGs) seperti Kesehatan Ibu
dan Aanak (KIA), AIDS, TB dan Malaria pada
12 • PKMK FK UGM
tahun-tahun sebelumnya. Instrumen tersebut sudah mencakup
instrumen pengum pulan data primer dan sekunder yang
dibutuhkan dalam penelitian. Instrumen pengumpulan data bisa
dilihat pada Lampiran 1.
e. Manajemen Data
Manajemen data dalam penelitian ini dilakukan pada dua
level, yaitu di level peneliti daerah dan di level tim peneliti inti. Di
level tim peneliti daerah, setiap wawancara dan diskusi kelompok
terarah direkam dan hasilnya diserahkan kepada manajer data
yang bertugas untuk mengoordinasikan penyimpanan dan
distribusi hasil rekaman kepada penulis transkripsi. Setiap
rekaman disalin secara verbatim, kemudian setiap salinan
dikodekan (coding) berdasarkan kategori-kategori tema yang
relevan dengan penelitian ini. Hasil penyusunan kategori ini
dimasukkan ke dalam matriks guna memudahkan para peneliti
untuk melihat variasi atas berbagai topik yang diajukan dalam
diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam. Data primer
ini divalidasikan melalui pertemuan validasi dengan para
informan yang terlibat dalam pengumpulan data. Peneliti daerah
juga mengelola data sekunder dengan mengelompokkannya
sesuai dengan kategori. Data sekunder digunakan untuk
mengumpulkan data tambahan serta untuk melakukan validasi
atas informasi yang diperoleh dalam wawancara dan diskusi
terarah.
Di level peneliti inti, data yang dikelola adalah data dari
peneliti daerah yang hasilnya berupa laporan penelitian tingkat
daerah. ini. Laporan dari masing-masing daerah digabungkan
berdasarkan kategorinya, yaitu hasil analisis stakeholder serta
deskripsi di masing-masing subsistem kesehatan. Hasil gabungan
deskripsi per kate gori ini kemudian diringkas ke dalam matriks-
hasil yang dibagi berdasarkan dimensi dari subsistem kesehatan
untuk dianalisis lebih lanjut.
Pengelolaan data sekunder dilakukan oleh peneliti inti dengan
tujuan untuk memvalidasi laporan peneliti daerah. Selain itu, data
sekunder juga dikumpulkan untuk menilai kinerja program
penanggulangan HIV dan AIDS, baik dari segi cakupan, perubahan
perilaku, dan kepatuhan dilihat dari jumlah ODHA on treatment.
f. Analisis Data
Sebagaimana telah dijelaskan dalam tahapan penelitian,
analisis data dimulai dengan kategorisasi berdasarkan tema-tema
utama dan subtema di masing-masing dimensi. Proses kategori
dan klasifikasi data terus-menerus dilakukan selama proses
analisis berlangsung hingga diperoleh gambaran yang rinci dari
tema-tema utama yang telah ditentukan. Kredibilitas data
dikendalikan melalui triangulasi informasi dan triangulasi subjek.
Secara khusus di bawah ini digambarkan tahapan analisis
stakeholder dan analisis tingkat integrasi.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan • 13
1. Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholder) dilakukan
melalui tahapan berikut ini:
a) Peneliti daerah mengidentifikasi peran dan fungsi
pemangku kepentingan dalam penanggulangan HIV dan
AIDS di daerah (unsur pemda, KPAD, OMS, organisasi
berbasis komunitas, MPI, dan tokoh masyarakat).
b) Peneliti daerah mendeskripsikan peran dan fungsi masing-
masing pemangku kepentingan berdasarkan kepentingan
dan kekuasaan yang dimiliki dalam pengembangan
kebijakan dan program HIV dan AIDS di daerah tersebut.
Kepentingan dilihat dari peran yang dilakukan atau
diharapkan dalam pengembangan dan pelaksanaan
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, sementara
kekuasaan dilihat dari sumber daya yang dimiliki oleh
pemangku kepentingan tersebut dalam menentukan atau
memengaruhi pengembangan kebijakan dan program HIV
dan AIDS di daerah tersebut. Deskripsi ini juga mencakup
gambaran interaksi satu pemangku kepentingan dengan
pemangku kepentingan lainnya.
c) Berdasarkan deskripsi tersebut, peneliti daerah melakukan
kategorisasi pemangku kepentingan berdasarkan
kepentingan dan kekuasaan dengan menggunakan matriks
sehingga bisa diketahui pemangku kepentingan mana saja
yang memiliki kekuasaan yang tinggi dan kepentingan yang
tinggi, kekuasaan yang tinggi dan kepentingan yang
rendah, kekuasaan yang rendah dan kepentingan yang
tinggi, dan kekuasaan yang rendah dan kepentingan yang
rendah. Berdasarkan matriks tersebut, peneliti daerah
mengidentifikasi implikasinya terhadap penanggulangan
HIV dan AIDS di daerah tersebut.
d) Berdasarkan hasil analisis pemangku kepentingan dan
pemetaan posisi di tingkat daerah, peneliti inti melakukan
analisis lanjutan untuk memetakan pemangku kepentingan
yang memiliki posisi yang paling strategis di dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Penentuan
pemangku kepen tingan yang paling strategis ini dilakukan
dengan mengidentifikasi pemangku kepentingan yang
paling banyak disebut di sebelas kabupaten/kota. Demikian
posisi masing-masing pemangku kepentingan dapat
diidentifikasi dalam bentuk matriks. Hasil penilaian tentang
fungsi dan peran pemangku kepen tingan di sebelas daerah
ini disajikan dalam laporan gabungan ini.
2. Analisis Tingkat Integrasi dilakukan melalui metode yang
disarankan dalam SYSRA (Mounier-Jack et al, 2008) dan
penelitian integrasi sebelumnya (Conseil et al., 2010; Desai et
al., 2010). Tahapan untuk menentukan tingkat integrasi ialah
sebagai berikut:
a) Mendiskripsikan pelaksanaan ketujuh fungsi sistem
kesehatan berdasarkan
14 • PKMK FK UGM
dimensi-dimensi untuk masing-masing fungsinya. Deskripsi
diharapkan bisa memberikan gambaran bagaimana
pelaksanaan masing-masing fungsi sistem kesehatan di
masing-masing kabupaten/kota secara rinci sesuai dengan
tiga jenis intervensi penanggulangan HIV dan AIDS yang
mencakup PP, PDP, dan mitigasi dampak (MD) seperti
tampak dalam tabel di bawah ini:
g. Struktur Laporan
Laporan gabungan ini terdiri dari lima bab. Bab 1 berisi tentang
latar belakang dan metodologi penelitian yang digunakan. Bab 2
membahas berbagai konteks yang memungkinkan atau menghambat
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, seperti komitmen politik
pemda, situasi ekonomi, permasalahan kesehatan secara umum,
serta situasi epidemi HIV dan AIDS di daerah tersebut. Bab 3
menyajikan analisis tentang peran dan fungsi para pemangku
kepentingan lokal dalam penanggulangan
16 • PKMK FK UGM
HIV dan AIDS di daerah serta bagaimana mereka saling
berinteraksi dalam menyu sun atau memengaruhi kebijakan dan
program HIV dan AIDS di daerah tersebut. Bab 4 menguraikan
gambaran pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan dalam
penanggulangan HIV dan AIDS. Deskripsi di Bab 4 inilah yang
kemudian menjadi dasar untuk penilaian tingkat integrasi baik
dari segi fungsi sistem kesehatan itu sendiri, jenis intervensinya,
maupun berdasarkan daerah penelitian. Penilaian ting kat
integrasi, faktor-faktor yang memengaruhi tingkat integrasi
tersebut, serta impli kasi tingkat integrasi terhadap efektivitas
program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah disajikan di
bagian akhir Bab 4. Laporan ini ditutup dengan Bab 5 yang
mengintisarikan temuan-temuan pokok dalam penelitian ini dan
implikasinya dalam pengembangan kebijakan dan program
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia khususnya di tingkat
daerah dalam bentuk kesimpulan dan rekomendasi.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan • 17
18 • PKMK FK UGM
KONTEKS II
a. Komitmen Politik
Permasalahan HIV dan AIDS merupakan isu kompleks yang
penanganannya membutuhkan keterlibatan berbagai pihak yang
bersifat multisektoral. Untuk meng gerakkan respons multisektor
tersebut, diperlukan komitmen politik yang tinggi dari para pemimpin
daerah. Penelitian ini menemukan bahwa di sebagian besar daerah
penelitian, komitmen politik pemda masih lemah. Meskipun secara
normatif pemda sudah menunjukkan komitmen awalnya dengan
menghasilkan kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS di daerah melalui Peraturan Daerah (Perda),
20 • PKMK FK UGM
pemda untuk berkomitmen dan menyediakan anggaran
penanggulangan HIV dan AIDS secara memadai. Dalam beberapa
kasus, faktor yang lebih menentukan sejauh mana daerah
memprioritaskan masalah HIV dan AIDS ialah perhatian pribadi
dari pejabat KPAD, seperti ditemukan di Makassar.
“Regulasi-regulasi itu penting, namun yang paling
penting sebenarnya adalah membuat program HIV ini
menjadi prioritas walikota atau bupati... Jadi
kemampuan kita meyakinkan mereka sangat penting.
Jadi bagaimana cara meyakinkan mereka bahwa ini
sesuatu yang berbahaya atau tidak... Di tingkat praktis,
komitmen walikota itu seringkali sebenarnya lebih
penting dibanding regulasi-regulasi.” (WM, Badan
Pengelola Keuangan dan Aset Kota Makassar, dalam
laporan Tim Peneliti Unhas, 2014).
c. Ekonomi
Kasus penularan HIV dan AIDS pada dasarnya bisa ditemukan
lebih banyak pada kota-kota yang menjadi pusat ekonomi bagi
wilayah-wilayah di sekitarnya, seperti Medan, Surabaya, Makassar
dan Jayapura yang merupakan kota-kota pusat perdagangan dan
industri dengan jumlah kasus HIV dan AIDS yang tergolong tinggi.
Pada kenyataannya, besarnya kasus HIV dan AIDS di daerah-daerah
tersebut tidak direspons secara memadai oleh pemda sehingga
mendorong MPI untuk menginisiasi upaya penanggulangan HIV dan
AIDS di daerah tersebut. Keberadaan MPI di daerah telah mampu
mendorong pengembangan program dan layanan HIV dan AIDS
secara lebih lengkap dan meningkatkan cakupan pemanfaatan
layanan yang tersedia. Tetapi, di sisi yang lain, situasi ini telah
mengakibatkan keengganan pemda untuk mengalokasikan anggaran
daerah bagi penanggulangan HIV dan AIDS. Keter gantungan daerah
terhadap MPI telah berakibat pada menurunnya secara signifikan
upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah begitu MPI
memutuskan untuk tidak bekerja di wilayah tersebut, seperti terjadi
di Sulawesi Selatan dan Papua.
“Kita masih sangat tergantung pada donor. Kira-kira
proporsinya 80-an persen masih dari donor. Seperti
tahun 2014 ini, dari APBD kami hanya dapat 46 juta
(rupiah). Kita mau apa dengan dana yang hanya 46 juta
itu?...
Jadi memang masih sangat tergantung pada Global
Fund. Tapi itupun saya harus mengakali dana-dana GF
itu yang juga masih kurang mencukupi. Misalnya untuk
supervisi-supervisi yang harusnya saya ke kabupaten
A...
kadang saya akali dengan memindahkan ke kabupaten
lain yang lebih prioritas demi pengembangan.” (DKT,
Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim
Peneliti Unhas, 2014)
Selain itu, di daerah-daerah yang menjadi pusat ekonomi,
sektor swasta belum terlibat secara aktif dalam penanggulangan
HIV dan AIDS. Sebagaimana dilaporkan
22 • PKMK FK UGM
Tim Peneliti Unair, Sidoarjo sebagai kota industri memiliki potensi
untuk memobilisasi peran sektor swasta agar berpartisipasi dalam
penanggulangan HIV dan AIDS melalui skema pembiayaan. Di
daerah yang sudah ada pendanaan dari sektor swasta melalui
Corporate Social Responsibility (CSR) pun, pengelolaannya masih
dilakukan oleh sektor swasta secara sendiri-sendiri dan hanya
difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada
pencegahan dalam bentuk sosialisasi dengan mengundang
narasumber dari Dinkes atau KPA. Di Kota Makassar, beberapa
perusahaan seperti PT Angkasa Pura, Pabrik Semen Bosowa, BNI,
BRI dan PT Vale di Kabupaten Luwu Timur sudah mengalokasikan
dana CSR untuk kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS.
Tetapi, pengelolaan pendanaan terbatas pada kegiatan yang
sifatnya insidental dan belum dijadikan bagian dari upaya
penanggulangan HIV dan AIDS yang strategis dan berkelanjutan.
d. Permasalahan Kesehatan
Dalam konteks pembangunan sektor kesehatan, ditemukan
bahwa pemda belum memprioritaskan HIV dan AIDS sebagai isu
strategis pembangunan kesehatan daerah. Ini bisa dilihat dari
masih terbatasnya kapasitas daerah dalam menyusun
perencanaan dan mengembangkan kebijakan berdasarkan bukti-
bukti situasi kese hatan masyarakat di wilayahnya. Di satu sisi
daerah belum mampu memproduksi data kesehatan daerah yang
akurat, sementara di sisi lain data yang tersedia dan bermanfaat
bagi perencanaan pembangunan kesehatan seperti survei
demografi dan survei kesehatan tingkat populasi tidak dimiliki
oleh pemda. Untuk data strategis seperti Surveilans Terpadu
Biologis dan Perilaku (STBP), misalnya, walaupun pemda melalui
Dinkes terlibat dalam pengumpulan data surveinya, tetapi
kepemilikan data ini tetap ada pada pemerintah pusat. Akibatnya,
pemda tidak bisa sepenuhnya menggunakannya untuk
mengembangkan perencanaan di wilayahnya.
Ada beberapa akibat lebih jauh dari situasi tersebut. Pertama,
karena tidak mengetahui besaran dan sebaran masalah yang ada
di wilayahnya, inisiatif daerah untuk mengembangkan respons
dalam bentuk program maupun kebijakan menjadi kurang.
Daerah cenderung menjadi pelaksana dari program-program yang
direnca nakan oleh pemerintah pusat (Kemenkes) maupun oleh
lembaga donor. Program penanggulangan HIV dan AIDS lantas
dipahami sebagai program pemerintah pusat yang bersifat
vertikal. Target-target pun ditentukan di tingkat pusat, padahal
dalam desentralisasi sesungguhnya kekuasaan untuk menentukan
target sesuai dengan kondisi daerah dimiliki oleh daerah itu
sendiri.
Kedua, perencanaan yang lemah secara langsung juga
berdampak pada lemah nya penganggaran penanggulangan HIV
dan AIDS di daerah yang bersumber dari
26 • PKMK FK UGM
Kemenkes. Aspek psikososial dari ODHA belum memperoleh
perhatian karena keterbatasan kapasitas fasilitas pelayanan
kesehatan untuk menyediakan layanan sesuai standar. Padahal
ketersediaan dukungan psikososial dalam perawatan ARV
merupakan unsur penting kaitannya dengan tingkat drop out dan
kepatuhan berobat. Berdasarkan data Kemenkes (2014), kasus
drop out3 secara berurutan tertinggi di Provinsi Papua (33,1%),
Sumatera Utara (27,06%), Bali (25,07%), Papua Barat (23,40%),
Jawa Timur (27,77%), dan Sulawesi Selatan (15,66%). Sementara
di enam provinsi lokasi penelitian ini, jumlah cakupan ODHA yang
konsisten on treatment tertinggi berada di Jawa Timur (4885), Bali
(3784), Papua (3528), Sumatera Utara (2336), Sulawesi (1329),
dan Papua Barat (765).4
Sebagian daerah penelitian sudah menjalankan pendekatan
Layanan Kompre hensif Berkesinambungan (LKB). Mereka
mengembangkan integrasi layanan mulai dari koordinasi
pemangku kepentingan kunci HIV dan AIDS lintas-sektor dengan
melibatkan peran aktif masyarakat. Pendekatan LKB cukup
berkembang di beberapa lokasi seperti Surabaya, Sidoarjo,
Denpasar, Badung, Makassar, dan Parepare. Ini merupakan upaya
mengintegrasikan layanan HIV dan AIDS yang didelegasikan
sampai ke tingkat layanan primer mulai dari diagnosis, tes HIV
(Voluntary Counselling Test/VCT dan Provider-initiated Counselling
and Testing/PICT), link to care, dan pendampingan kepatuhan bagi
ODHA yang terapi ARV. Meskipun demikian, dalam praktiknya,
jumlah layanan kesehatan primer yang dapat memberikan dan
melan jutan terapi ARV masih sangat terbatas karena
ketidaksiapan dari sumber daya kesehatan daerah.
Di samping itu, beberapa daerah juga sudah menerapkan
pendekatan Strategic Use of ARV (SUFA). Ini merupakan upaya untuk
memastikan semakin banyaknya jumlah ODHA yang masuk ke
perawatan HIV. Namun, seperti yang ditunjukkan Diagram 3,
kesenjangan estimasi antara jumlah ODHA dan jumlah yang masuk
ke perawatan HIV masih lebar. Ini disebabkan antara lain oleh tahap
pra-pengobatan ARV yang membutuhkan proses dan prosedur
panjang dengan biaya yang takmurah.
Laporan dari penelitian daerah mengungkapkan bahwa
mitigasi dampak merupakan respons paling minimal dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di berba gai daerah. Respons
mitigasi dampak di seluruh daerah penelitian terindikasi belum
berjalan dan tidak terkoordinasi. Ini mengindikasikan bahwa
pemahaman SKPD anggota KPAD terkait continuum of care PDP
ODHA masih terbatas—selain ketak jelasan peran SKPD sebagai
anggota KPAD yang memiliki peran dan tanggung
A. Pengantar
Analisis pemangku kepentingan kunci (stakeholder analysis)
adalah metode untuk memahami perilaku, kepentingan, interelasi
antar-pemangku kepentingan, serta mengetahui bagaimana
pengaruh pemangku kepentingan terhadap penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan (Varvasovszky dan Brugha, 2000). Dalam
penelitian ini, stakeholder analysis digunakan untuk memetakan
posisi pemangku kepentingan yang berpengaruh terhadap
pengembangan dan implementasi program penanggulangan HIV
dan AIDS. Pemangku kepentingan merupakan para aktor yang
secara langsung berpengaruh atau dapat memengaruhi otoritas
penentu kebijakan kunci serta memengaruhi implementasinya
(Brinkerhoff dan Crosby, 2002; Varvasovszky dan Brugha, 2000).
Secara umum, analisis pemangku kepentingan didasarkan pada
dua elemen pokok, yakni kepentingan (interest) dan kekuasaan
(power) yang dimiliki oleh masing-masing pemangku
kepentingan.
Penelitian ini memaknai kekuasaan sebagai seberapa jauh
pemangku kepen tingan memiliki sumber daya baik dari segi politik,
ekonomi, sosial budaya, serta kemampuan memobilisasi sumber
daya tersebut untuk memengaruhi kebijakan pihak lain. Untuk
mengukur tinggi-rendahnya kekuasaan, penelitian ini melihat sumber
daya dan otoritas yang dimiliki oleh pemangku kepentingan
berdasarkan posisi formalnya dalam pengambilan kebijakan.
Pemangku kepentingan dianggap memiliki kekuasaan tinggi apabila
mereka memiliki sumber daya yang tinggi sekaligus mampu
Bupati/Walikota
Sesuai dengan prinsip desentralisasi, Bupati/Walikota secara
normatif memiliki kepentingan dan kekuasaan yang tinggi dalam
pengembangan kebijakan dan pro gram penanggulangan HIV dan
AIDS di daerah. Sebagai pemimpin daerah, Bupati/ Walikota
adalah ketua KPAD sehingga posisi mereka sangat strategis dalam
pengam bilan kebijakan dan pelaksanaan program
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Peran normatif
Bupati/Walikota telah diwujudkan dengan pembentukan perda
tentang penanggulangan HIV dan AIDS sebagai bentuk komitmen
formal pemda, misalnya Perwali AIDS di Surabaya, Perwali
Jayapura Nomor 11/2012, dan Walikota Denpasar memasukkan
upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJPMD) sehingga SKPD
dapat membuat kegiatan yang berkaitan dengan HIV dan AIDS
sesuai dengan tupoksi masing-masing.
Meskipun demikian, secara politis kebijakan-kebijakan tersebut
tidak sepenuhnya menjadi prioritas daerah sehingga sumber daya
untuk untuk melaksanakan kebijakan tersebut tidak dialokasikan
secara memadai. Misalnya, upaya untuk memberikan dukungan
pembiayaan bagi anggota SKPD sebagai anggota KPAD agar dapat
meng anggarkan pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS belum
terlaksana. Dari sisi pengalokasian SDM, belum ada kebijakan
operasional yang dikeluarkan pemda untuk memenuhi kebutuhan
tenaga terkait upaya penanggulangan HIV dan AIDS, seperti tenaga
penjangkauan. Bisa dibilang, dukungan pemda baru sebatas legal-
formal dan belum diwujudkan dalam bentuk operasional.
Konsekuensinya, implementasi kebijakan daerah tersebut relatif tidak
berjalan.
32 • PKMK FK UGM
tetapi juga memberikan berbagai kegiatan pengembangan
kapasitas sehingga sangat berpengaruh dalam menginisiasi
kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS. Di wilayah
penelitian, MPI yang memiliki kepentingan tinggi dan kekuasaan
tinggi antara lain Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis, and
Malaria (GFATM/ Global Fund), HIV Cooperation Program for
Indonesia (HCPI), Scaling Up for Most-at-Risk Population (SUM),
UNICEF, UNFPA dan Clinton Health Access Initiative (CHAI). MPI
memberikan dukungan dana dan teknis di semua lokasi
penelitian, yang secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 2.
Dinkes Kota/Kabupaten
Secara normatif, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Dinkes
merupakan pemegang otoritas tertinggi dalam bidang kesehatan
di kabupaten, sebagaimana diatur juga dalam UU Nomor 23/2014
Lampiran B. Sebagai penanggung jawab utama bidang kesehatan,
tugas pokok Dinkes ialah melaksanakan kewenangan daerah di
bidang kesehatan serta melaksanakan tugas pembantuan yang
diberikan oleh pemerintah dan/atau pemerintah provinsi. Dinkes
berfungsi merumuskan kebijakan teknis, menetapkan dan
melaksanakan program, serta melakukan pembinaan di bidang
kesehatan terma suk kebijakan dan program penanggulangan HIV
dan AIDS.
Perwujudan berbagai peran dan fungsi Dinkes dalam
kebijakan penang gulangan HIV dan AIDS di lokasi
penelitian seperti peran Dinkes Kota Denpasar dalam
membuat rencana strategis Dinkes Kota Denpasar
2010– 2015 yang memasukkan isu HIV dan AIDS
sebagai isu strategis dalam hal new emerging disease.
Selain itu, Dinkes Kota Denpasar membuat dan
melaksanakan program serta menganggarkan dana
penanggulangan HIV dan AIDS. (Tim Peneliti Unud,
2014)
34 • PKMK FK UGM
dan MD bagi ODHA. Dinkes Kota Medan dan Deli Serdang
mengoordinasikan semua hal terkait penanggulangan HIV dan
AIDS berupa program kegiatan dan pendanaan dan layanan
kesehatan.
Peran-peran di atas menunjukkan bahwa Dinkes memiliki
kepentingan yang tinggi dan didukung dengan kekuasaan yang
tinggi secara normatif. Meskipun demi kian, ditemukan bahwa
upaya penanggulangan HIV dan AIDS oleh Dinkes dila kukan atas
dukungan sumber dana dan sumber daya dari MPI, terutama
Global Fund. Bahkan dalam penelitian ini ditemukan bahwa
program Global Fund lebih populer daripada program Dinkes
sendiri. Dengan dukungan yang sedemikian besar dari MPI, secara
operasional Dinkes tampak lebih berperan sebagai pelaksana
program MPI bersama dengan LSM atau komunitas. Dinkes masih
memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap dukungan
MPI, sehingga berimplikasi pada kemampuan Dinkes untuk
menjalankan perannya dalam penanggulangan HIV dan AIDS di
daerah.
KPAD Kabupaten/Kota
KPAD5 memiliki kepentingan yang tinggi karena fungsinya
sebagai lembaga yang mengoordinasikan semua upaya
penanggulangan HIV dan AIDS yang dilakukan oleh SKPD
anggotanya. Selain itu, KPAD menjadi jembatan antara komunitas
populasi kunci dengan para pemangku kepentingan lain yang
memperjelas tanggung jawab masing-masing pihak dalam
pelaksanaan program. Mekanisme koordinasi yang dija lankan oleh
KPAD ialah pertemuan-pertemuan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan program dengan melibatkan Dinkes, SKPD anggota,
LSM, ODHA, dan Populasi Kunci. Contoh fasilitasi koordinasi KPAD
yang berjalan dengan baik dalam penelitian ini ditemukan di Bali dan
Kota Medan.
“Selama ini mitra terdekat KPA adalah LSM untuk
menjalankan berbagai program dan mereka selama ini
sangat kooperatif dalam pelaksanaan pro gram.” (WM,
KPA Provinsi Bali, dalam laporan Tim Peneliti Unud,
2014)
5 Pembentukan KPA Kota/Kabupaten adalah pelaksanaan Permendagri Nomor 20/2007 Pasal 2 dan Perpres
Nomor 75/2006 Pasal 8. Permendagri Nomor 20/2007 menegaskan bahwa KPA Kabupaten/Kota memiliki sembilan
tugas dan dua kewenangan. Dalam implementasinya, berbagi variasi ditemukan di lokasi penelitian.
36 • PKMK FK UGM
sebatas koordinasi program yang dijalankan, belum sampai pada
koordinasi strategis untuk mendorong peran multisektor dalam
upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Peran KPAD untuk
mendorong semua SKPD anggota KPAD selain Dinkes agar dapat
mengakses pendanaan daerah serta membuat program yang relevan
dengan tupoksi SKDP tersebut belum berjalan. Kedua, terjadi konflik
kepentingan antara KPAD yang seharusnya menjadi koordinator
upaya pengendalian HIV dan AIDS di daerah dengan anggotanya
yang melaksanakan program. Ketiga, konsekuensi KPAD sebagai
lembaga ad hoc ialah ketergantungannya terhadap aktor lain
menjadi sangat tinggi, terutama dalam hal akses dana. Dengan
situasi demikian, tuntutan terhadap sekretaris KPAD yang secara
operasional bekerja untuk penanggulangan HIV dan AIDS menjadi
sangat berat karena secara personal ia harus melakukan lobi-lobi
atau advokasi terhadap SKPD anggota KPAD untuk memastikan
pendanaan bagi sekretariat KPAD maupun program HIV dan AIDS di
daerah.
Populasi Kunci
Populasi kunci seharusnya menjadi pusat dari semua
kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Mereka
mempunyai peran yang strategis, bukan hanya sebagai target
group dan penerima manfaat saja, tetapi juga sebagai penentu
kebutuhan dan tujuan program. Aspek-aspek ini membuat mereka
memiliki kepentingan yang tinggi.
Namun, di sisi lain, populasi kunci memiliki kekuasan yang
rendah karena sumber daya yang mereka miliki terbatas. Lebih
jauh lagi, tidak ada mekanisme yang mendukung mereka agar
dapat mengakses sumber dana dan peningkatan kapasitas yang
berkelanjutan. Laporan Tim Peneliti Universitas menunjukkan
bahwa layanan untuk populasi kunci direncanakan dan ditentukan
oleh pemangku kepentingan lain. Contohnya, Dinkes Kota
Jayapura membentuk unit pelaksana teknis berupa klinik PKR, dan
klinik inilah yang menentukan apa yang dibutuhkan oleh populasi
kunci di Jayapura. Selain itu, kegiatan-kegiatan yang melibatkan
populasi kunci bentuknya masih insidental di mana mereka
menjadi penerima manfaat pasif. Ini bisa dilihat di Merauke di
mana Dinas Sosial memberikan pelatihan bagi WPS untuk
meningkatkan keterampilan sebagai bekal jika hendak keluar dari
pekerjaannya, sementara pelatihan yang diberikan belum tentu
sesuai dengan kebutuhan WPS (Tim peneliti Uncen, 2014).
Sebagai penerima manfaat dan target program, posisi tawar
populasi kunci rendah sehingga tidak dapat memengaruhi pemangku
kepentingan lainnya. Misalnya,
38 • PKMK FK UGM
populasi kunci yang tinggal di daerah yang belum ada layanan
PDP-nya harus pergi ke pusat kota untuk mengakses layanan
pengobatan.
Populasi Kunci di Deli Serdang tidak bisa menuntut
penyediaan layanan di Deli Serdang. Mereka selalu ke
Medan untuk perawatan. Di Medan keterlibatan
populasi kunci dalam forum-forum perencanaan
kebanyakan karena ada dorongan dari donor kepada
Pemda untuk melibatkan mereka. Posisi tawar lemah
karena mereka sebagai penerima manfaat. (Tim
Peneliti USU, 2014)
6 Tugas RSUD sebagai rujukan ARV termasuk menyusun Standard Operasiting Procedure (SOP); menjamin
kertersedian obat ARV dan obat Infeksi Oportunistik (IO) yang secara langsung didistribusikan oleh Kemenkes sesuai
dengan prosedur khusus yang berlaku; menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas yang sesuai dengan pedoman;
menyiapkan tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter spesialis, dokter/dokter gigi, perawat, apoteker, analis
kesehatan, konselor dan manajer kasus; membentuk tim kelompok kerja khusus HIV dan AIDS yang terdiri dari tenaga
medis dan tenaga kesehatan lainnya yang telah dilatih melalui pelatihan khusus HIV dan AIDS; dan melaporkan
pelaksanaan pelayanan ODHA kepada Menteri melalui Dirjen Bina Upaya Kesehatan.
40 • PKMK FK UGM
Puskesmas
Puskesmas mempunyai kepentingan tinggi karena merupakan
salah satu fasilitas kesehatan primer yang dimiliki masyarakat
sekaligus penyedia layanan kesehatan terdepan terkait HIV dan
AIDS. Selain itu, puskesmas berkewajiban memastikan kesehatan
masyarakat di wilayah kerjanya, termasuk dalam penanggulangan
HIV dan AIDS (Tim Peneliti Unair, 2014). Terkait penanggulangan HIV
dan AIDS ini, terdapat variasi dari kegiatan yang dilakukan
puskesmas di masing-masing daerah. Di Parepare, Puskesmas Mario
Madising memberikan layanan pencegahan dan PDP, sementara
Puskesmas di Medan melakukan kegiatan pencegahan dalam bentuk
VCT dan LASS (Tim Peneliti Unhas, USU, 2014). Program yang
dilakukan Puskesmas Kota Raja ialah preventif dan promotif di luar
gedung melalui VCT dan PPIA yang diintegrasikan ke dalam kegiatan
penyuluhan rutin (3 kali dalam setahun) ke masya rakat umum,
tempat-tempat berisiko, sekolah-sekolah, dan tempat ibadah di
setiap kelurahan (Tim Peneliti Uncen, 2014).
Kekuasaan puskesmas dalam penanggulangan HIV dan AIDS
rendah, karena sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinkes puskesmas
tidak memiliki otoritas untuk menentukan jumlah SDM,
pembiayaan, dan pengadaan logistik. Posisi ini menegas kan
bahwa puskesmas sebagai sektor terdepan (frontline) tidak
memiliki akses untuk berkontribusi secara lebih signifikan dalam
menyusun kebijakan yang relevan dengan kebutuhan daerah.
Beberapa alasan yang diidentifiksi Tim Peneliti Universitas ter kait
dengan rendahnya kekuasaan puskesmas yaitu kekurangan SDM
terlatih dan pendanaan.
Sumber dana Puskesmas Kotaraja awalnya berasal dari
Global Fund, namun saat sekarang ini sudah tidak ada
dana yang dialokasikan dari Dinas Kesehatan Provinsi,
sedangkan Dinas Kesehatan Kota hanya memberikan
dana Rp2.550.000 untuk 3 orang dalam setahun yang
dibagi untuk 9 orang petugas program HIV dan AIDS.
Petugas yang menangani program HIV dan AIDS
berjumlah 7 orang, yang terdiri dari dokter terlatih 1
orang, perawat terlatih 2 orang, laboratorium terlatih 2
orang, bidan terlatih 1 orang dan farmasi yang belum
terlatih 1 orang. (Tim Peneliti Uncen, 2014)
42 • PKMK FK UGM
Badan Perencana Pembangunan Daerah
(Bappeda/Bappeko)
Fungsi dan peran Bappeda sebagai lembaga teknis daerah yang
bertanggung jawab terhadap perencanaan pembangunan
seharusnya mempunyai kepentingan tinggi dalam penanggulangan
HIV dan AIDS di daerah. Namun, semua daerah penelitian kecuali
Parepare dilaporkan bahwa kepentingan Bappeda/Bappeko rendah
terhadap penanggulangan HIV dan AIDS. Rendahnya kepentingan
Bappeda ini karena penanggulangan HIV dan AIDS bukan merupakan
tupoksi langsung Bappeda.
Tupoksi mereka yang tidak terkait langsung dengan
kesehatan dan HIV dan AIDS membuat kepentingan
mereka tidak sebesar lembaga-lembaga atau SKPD
kesehatan. Sementara itu, akses mereka yang lebih
sedikit pada pelatihan (teknis maupun manajemen)
terkait HIV dan AIDS membuat sumber daya mereka
rata-rata lebih rendah dibandingkan lembaga-lembaga
atau SKPD kesehatan. (Tim Peneliti Unhas, 2014)
44 • PKMK FK UGM
mendorong para ilmuwan untuk menulis buku-buku
yang berkaitan dengan program pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS antara lain [salah satu tokoh
agama] menulis buku dengan judul Sirkumsisi, Alkitab
dan HIV/ AIDS, [salah satu tokoh agama lainnya menulis
buku] dengan judul HIV-AIDS dan Sirkumsisi (Sunat)
dalam pandangan Alkitab, kemudian Memikirkan Ulang
Sunat (Sirkumsisi) Bagi Kesehatan Umat [yang ditulis]
oleh [salah satu tokoh agama lainnya]. (Tim Peneliti
Uncen, 2014).
46 • PKMK FK UGM
SKPD/Badan Peran Kota/Kabup
aten
Dinas Kesatuan Pencegahan dengan Merauke
Bangsa
dan Politik program
peningkatan
wawasan
kebangsaan dan
ketahanan
masyarakat
yang sasarannya
adalah
pemuda dan
masyarakat
Sumber: Laporan Daerah oleh Tim Universitas di Lokasi Penelitian (2014)
48 • PKMK FK UGM
pusat yang melibatkan para pemangku kepentingan yang
berkepentingan tinggi. Mekanisme koordinasi di KPAD ini
belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan
kepentingan SKPD anggotanya dalam upaya penanggulangan
HIV dan AIDS di daerah.
3. Mekanisme koordinasi yang diinisiasi oleh MPI melalui pertemuan
koordinatif dan teknis, seperti saat memulai program yang
didanai MPI, pertemuan pertengah an pelaksananan program
(mid-term meeting), dan pertemuan akhir program. Pemangku
kepentingan yang terlibat dalam pertemuan-pertemuan ini akan
sesuai dengan kebutuhan program yang didanai MPI, seperti
KPAD, Dinkes, LSM, dan populasi kunci. Umumnya para aktor yang
berkepentingan tinggi ini dilibatkan sebagai pelaksana program
MPI. MPI juga berinteraksi dengan pemangku kepen tingan yang
memiliki kekuasaan tinggi seperti Walikota/Bupati, DPRD, dan
Bappeda/Bappeko melalui lobi-lobi dan audiensi khusus. Dengan
sumber daya yang dimiliki, peran MPI menjadi relatif dominan
dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS mulai dari inisiatif
program sampai dukungan pembiayaan untuk implementasinya.
Karena para pemangku kepentingan yang berkekuasaan tinggi
tidak memiliki kepentingan yang tinggi, inisiatif MPI dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah tidak diadopsi oleh
pemda. Sebaliknya, keterlibatan MPI malah membuat pemda
seolah tak merasa perlu lagi untuk menunjukkan komitmen yang
lebih tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah.
50 • PKMK FK UGM
POLA INTEGRASI IV
A. Pengantar
Integrasi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tingkat
adopsi dan asimilasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke
dalam berbagai fungsi pokok dari sistem kesehatan dalam
pengendalian penyakit menular (Atun et al., 2010). Fungsi-fungsi
upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang dilihat integrasinya ke
dalam sistem kesehatan meliputi Manajemen Regulasi,
Pembiayaan, Sumber Daya Manusia, Pengelolaan Informasi
Strategis, Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan,
Partisipasi Masyarakat, dan Penyediaan Layanan Kesehatan.
Penelitian ini juga menjelaskan berbagai faktor yang
memungkinkan terjadi atau tidaknya integrasi dalam sistem
kesehatan. Faktor-faktor tersebut berupa komponen-komponen
yang ada dalam sistem kesehatan atau di luar sistem kesehatan
sendiri, yakni konteks, aktor, institusi, dan sumber daya.
Bagian ini akan menguraikan tiga hal, yaitu 1) Gambaran
tingkat integrasi program HIV dan AIDS ke dalam sistem
kesehatan dan penilaian tingkat integrasi berdasarkan dimensi
fungsi sistem kesehatan, jenis intervensi, dan wilayah; 2) Faktor-
faktor yang memengaruhi integrasi program penanggulangan HIV
dan AIDS ke dalam sistem kesehatan; dan 3) Keterkaitan antara
integrasi dengan efektivitas program HIV dan AIDS. Tingkat
integrasi upaya penangulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem
kesehatan dinilai dalam bentuk integrasi penuh, integrasi
sebagian, dan tidak terintegrasi. Analisis tingkat integrasi
dijelaskan pada bagian analisis data dalam laporan ini.
a. Regulasi
Regulasi tentang penanggulangan HIV dan AIDS mengatur
pemangku kepen tingan yang bertanggung jawab dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS, sumber daya yang digunakannya,
serta sanksi jika tidak dilaksanakannya ketetapan sebagai
mekanisme kontrol terhadap berjalannya aturan. Ditemukan bahwa
semua daerah memiliki regulasi penanggulangan HIV dan AIDS
dalam bentuk Perda, Surat Keputusan (SK) Bupati, Renstra dan
kebijakan teknis dari dinas. Kebijakan ini mengatur upaya
penanggulangan HIV dan AIDS yang mencakup PP, PDP, dan MD;
mengatur pemangku kepentingan yang bertanggungjawab untuk
melaksanakannya serta sumber daya yang diperlukan. Perda tentang
penanggulangan HIV dan AIDS terdapat di Kota Medan, Kabupaten
Deli Serdang, Kota Surabaya, Kota Denpasar, Kabupaten Badung,
Kota Jayapura, Kabupaten Merauke, dan Kabupaten Manokwari.
Sementara ada pula kota dan kabupaten yang mengacu pada perda
provinsi, seperti di Kota Makassar dan Kabupaten Parepare. Selain
perda, regulasi yang dijadikan acuan penanggulangan HIV dan AIDS
di daerah ialah Renstra Penanggulangan HIV
52 • PKMK FK UGM
dan AIDS di Kabupaten Deli Serdang, Kota Medan, Denpasar,
Badung, Manokwari, dan Jayapura.
Penerapan regulasi yang ada belum dilaksanakan dengan
baik, sebagaimana terungkap dalam salah satu kutipan dari
Makasar berikut.
“Kalau berbicara soal regulasi terkait HIV, ada cukup
banyak sebenarnya. Mulai dari SRAN, Permen
(Peraturan Menteri) dari berbagai kementerian sampai
perda. Masalahnya, apakah regulasi itu dibaca dan
diketahui oleh mereka (SKPD-SKPD)? Pengalaman saya
selaku sekretaris KPA Provinsi, regulasi-regulasi ini
sering kali tidak banyak diketahui. Akibatnya, tidak
mudah mendapatkan pendanaan dari pemda. Adalah
tidak mudah bekerja secara terpadu dengan semua
lintas-sektor. Kan lembaga-lembaga yang terlibat dalam
kegiatan HIV ini banyak. HIV kan seharusnya bukan
hanya urusan SKPD kesehatan seperti Dinkes.” (DKT,
KPAP Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti
Unhas, 2014)
b. Formulasi Kebijakan
Proses pengembangan kebijakan penanggulangan HIV dan
AIDS menggunakan mekanisme penyusunan kebijakan yang
berlaku di pemda dengan melibatkan pemangku kepentingan
atau tokoh kunci, termasuk Dinkes, KPAD, SKPD anggota KPA,
LSM, perwakilan populasi kunci, penerima manfaat, serta MPI. Di
Badung dan Denpasar proses pengembangan kebijakan mulai dari
perencanaan hingga pertang gungjawaban untuk skema APBD
mengikuti mekanisme penyusunan kebijakan yang berlaku di
daerah, sedangkan pendanaan program yang bersumber dari
donor asing tetap mengikuti mekanisme yang dikeluarkan oleh
donor (Tim Peneliti Unud, 2015). Di Sulawesi Selatan, proses
pengembangan kebijakan melibatkan banyak pihak, tetapi
penyelesaian akhir perda lebih banyak melibatkan lembaga-
lembaga yang terkait langsung dengan permasalahan HIV dan
AIDS seperti Dinkes, KPAD, serta individu-individu yang sudah
terlibat lama dalam program penanggulangan HIV dan AIDS.
“Pada tahap-tahap awal penyusunan perda itu kita
tentu mengundang banyak pihak untuk berdiskusi.
Pertemuan-pertemuan besar membahas mengapa
perda itu penting, apa-apa saja yang harus dimasukkan
dalam Perda dan seterusnya, namun kan ada tenggat
waktu kapan perda itu harus jadi sehingga kita harus
membuat tim-tim inti. Anggota tim-tim inti ya orang-
orang yang banyak tahu tentang teknis pencegahan
dan penanggulangan HIV. Tentu teman-teman dari
Dinkes, KPAD, Unhas dan juga kawan-kawan LSM.
Mereka-mereka yang memang sudah lama di dunia
HIV... Prosesnya seperti itu. Namun seperti sudah
dikatakan tadi, kelemahan utamanya regulasi ini adalah
di sosialisasinya. Yang cukup paham mengenai perda
ini saya kira hanya diketahui kalangan-kalangan yang
saya sebut tadi.” (DKT, Dinkes Provinsi Sulawesi
Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014).
54 • PKMK FK UGM
dari laporan rutin layanan rumah sakit, puskesmas, dan LSM
pendamping. Sampai saat ini kebijakan yang disusun masih
berdasarkan pada bukti-bukti kecenderungan epidemiologis atau
evaluasi atas kegiatan pada masa sebelumnya (Tim Peneliti USU,
2014).
Penyusunan kebijakan HIV dan AIDS menggunakan data epidemi
daerah dari berbagai sumber data yang dikumpulkan melalui
assessment, survei, STBP, dan Survei Cepat. Contohnya di Sidoarjo,
hasil assessment menjadi dasar dalam penentuan lokasi untuk
penambahan klinik VCT dan LASS (Tim Peneliti Unair, 2015). Di
Denpasar dan Badung proses perencanaan dan pengembangan
layanan termasuk untuk advokasi alokasi anggaran telah
menggunakan data epidemi dari STBP, estimasi dari Kemenkes, data
passive surveillance dan zero survey (Tim Peneliti Unud, 2015).
Sementara di Medan dan Deli Serdang telah ada pemetaan populasi
kunci dengan pendanaan APBD, yang hasilnya kemudian digunakan
dalam penyusunan kebijakan.
Dalam menyusun formulasi dibutuhkan banyak data
sebagai dasar. Data tersebut dapat diperoleh dengan
segala metode terutama penelitian dan assessment.
Sampai saat ini, penelitian yang sudah pernah
dilakukan adalah pemetaan populasi kunci yang didanai
hibah APBD 2014. Selain itu penelitian lainnya adalah
STBP yang didanai Kemenkes RI (Tim Peneliti USU,
2014).
2) Pembiayaan
Pembiayaan dalam penelitian ini dimaknai sebagai
pengelolaan berbagai upaya penggalian, alokasi, dan belanja
dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan
pembangunan kesehatan guna mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Komponen pembiayaan
terdiri atas 1) Pengelolaan sumber-sumber pembiayaan dalam
artian sejauh mana pemda mengoordinasikan, mengumpulkan,
dan mengelola berbagai sumber pembiayaan penanggulangan
HIV dan AIDS seperti APBN, APBD dan donor; 2) Penganggaran,
proporsi, dan distribusi pengeluaran pembiayaan penanggulangan
HIV dan AIDS, yaitu bagaimana pemda menganggarkan
penanggulangan HIV dan AIDS dengan proporsi dan distribusi
yang sesuai; 3) Mekanisme pembayaran layanan, yaitu
bagaimana membiayai pelayanan kesehatan dalam kaitannya
dengan pembiayaan kesehatan melalui sistem JKN. Pendanaan
program penanggulangan HIV dan AIDS dalam penelitian ini
difokuskan pada area program PP, PDP, dan MD.
56 • PKMK FK UGM
a. Pengelolaan Sumber Pembiayaan
Program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah memiliki
beragam sumber pendanaan, yakni dari MPI, pemerintah pusat,
pemda, dan pihak lain yang tidak mengikat sebagaimana
diamanatkan dalam regulasi penanggulangan HIV dan AIDS. Di
semua daerah penelitian, sumber utama pendanaan
penanggulangan HIV dan AIDS adalah MPI. Sementara untuk
APBD, di beberapa daerah telah ada kecenderungan peningkatan
seperti di Denpasar dan Badung (Tim Peneliti Unud, 2014). Tetapi,
di daerah lain seperti di Sidoarjo, terjadi fluktuasi persentase
pendanaan yang bersumber dari APBD, demikian pula yang
bersumber dari donor (Tim Peneliti Unair, 2014). Gambaran
persentase pendanaan donor dan APBD di Kabupaten Sidoarjo
dapat dilihat pada Diagram 5.
Sumber: KPA Kabupaten Sidoarjo dalam Laporan Tim Peneliti Unair, 2014
b. Pengalokasian Pendanaan
Pendanaan penanggulangan HIV dan IDS sebagai penyakit
yang kompleks dan ditangani oleh multisektor belum
terakomodasi dalam skema penganggaran APBD. Anggaran untuk
penanggulangan HIV dan AIDS terbatas pada dinkes saja, dan
usulan anggaran oleh SKPD anggota KPAD sering kali tidak
disetujui oleh Bappeda karena dianggap tidak sesuai tupoksinya.
Salah satu informan di Parepare mengung kapkan:
“Orang-orang di Bappeda dan DPRD itu memakai
kacamata kuda tupoksi. Kalau menyebut spesifik HIV,
SKPD-SKPD seperti Dinsos atau Dikbud sering ditolak.
Makanya kita di KPA selalu meminta mereka untuk
menyiasatinya dengan mengintegrasikannya dalam
tupoksi mereka. Sayangnya, masih banyak SKPD
seperti itu mogok, kita di KPA imbau mereka berkali-kali
tapi banyak yang belum jalan-jalan juga. Kelihatannya
masih banyak SKPD yang tidak mau repot dan tidak
percaya diri menghadapi Bappeda dan DPRD.” (DKT,
staf KPA Kota Parepare, dalam laporan Tim Peneliti
Unhas, 2014)
Sementara di daerah lain seperti di Surabaya, Sidoarjo, dan
Jayapura, usulan alokasi dana penanggulangan HIV dan AIDS
sering tidak mendapat persetujuan DPRD jika tidak berkaitan
langsung dengan kepentingan politik ekonomi DPRD.
….rencana awal anggaran penanggulangan HIV dan AIDS di
Kota Surabaya
mencapai angka Rp10 miliar, namun dalam realisasinya
dana yang disetujui oleh APBD tahun 2014 sebesar
Rp3,9 miliar (Tim peneliti Unair, 2014).
58 • PKMK FK UGM
Dalam Renstra Kota Jayapura tahun 2011–2015,
kebutuhan biaya dari tahun ke tahun berkisar antara
Rp7–9 miliar. Jika kita bandingkan dengan realisasi
alokasi dana APBD tahun 2011 yang hanya Rp1,7 miliar,
maka dapat dikatakan bahwa alokasi dana tersebut
sangat sedikit dibanding dengan dana yang
direncanakan (Tim Peneliti Uncen, 2014).
b. Pembiayaan SDM
Sumber pembiayaan SDM HIV dan AIDS untuk tenaga
kesehatan dan non-kesehatan berasal dari pemerintah dan dana
hibah MPI yang tidak mengikat. Ditemukan bahwa tenaga
kesehatan di layanan kesehatan pemerintah dibiayai melalui
anggaran daerah untuk sektor kesehatan, tetapi ketika mereka
melakukan tugas untuk HIV dan AIDS maka mereka mendapatkan
insentif tambahan dari pro gram yang didanai oleh MPI khususnya
Global Fund. Ini berlaku di semua daerah penelitian kecuali
Merauke dan Jayapura karena Global Fund sudah menarik diri dari
Papua. Sedangkan sumber pembiayaan SDM HIV dan AIDS
(tenaga non-
kesehatan) sebagian besar berasal dari pendanaan MPI,
khususnya di daerah yang menjadi bagian dari lingkup kerja
Global Fund seperti Denpasar, Badung, Medan, Deli Serdang,
Makassar, Parepare, Surabaya, Sidoarjo, dan Manokwari.
Dilihat dari kategori program, pembiayaan untuk kegiatan-
kegiatan PP seba gian besar berasal dari MPI, bukan dari
anggaran pemda. Kegiatan-kegiatan PP ini umumnya dilakukan
oleh tenaga non-kesehatan seperti LSM, sehingga tidak dibiayai
oleh pemerintah. Di Jayapura dan Merauke yang tidak lagi
menjadi wilayah kerja Global Fund, program PP banyak
diselenggarakan oleh tenaga-tenaga non-kesehatan dan
masyarakat dengan sumber pembiayaan yang bersifat terbatas
dari berbagai donor luar negeri.
64 • PKMK FK UGM
Peran LSM untuk menjangkau ODHA dan populasi kunci
sangat besar, namun sejauh ini belum ada regulasi atau
kebijakan yang mengatur pembiayaan SDM tenaga
non-kesehatan penanggulangan AIDS (Tim Peneliti
Unipa, 2014).
c. Kompetensi SDM
Semua tenaga kesehatan termasuk yang bekerja untuk
layanan HIV dan AIDS perlu memiliki standar kompetensi tertentu.
Misalnya, tenaga dokter, perawat, bidan, dan laborat secara
khusus telah melalui sistem pendidikan kesehatan sehingga
memi liki standar kompentensi tertentu sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Standar kompetensi diperoleh baik melalui jalur
lembaga pendidikan kesehatan formal maupun pelatihan-
pelatihan dari kemenkes dan lembaga kesehatan lainnya yang
tersertifikasi.
Secara umum untuk layanan pengobatan dan perawatan,
sudah ada prasyarat standar kompetensi sumber daya kesehatan
yang dapat menangani jenis-jenis penya kit menular seperti HIV
dan AIDS. Selain itu, dalam penyediaan layanan sehari-hari sudah
ada panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas kesehatan
primer untuk menangani penyakit khusus, termasuk HIV dan AIDS
(Permenkes Nomor 5/2014).
Namun, untuk layanan PP dan MD yang dilakukan oleh ragam
tenaga di luar tenaga kesehatan formal, belum ada standar
kompetensi yang ditetapkan. Di semua daerah penelitian, SDM
yang terlibat dalam PP dan MD terdiri atas tenaga-tenaga
sukarela, LSM, dan komunitas, sebagaimana ditemukan oleh tim
peneliti universitas di Badung, Denpasar, Merauke, Makassar,
Parepare, Medan, dan Deli Serdang. Tenaga-tenaga non-
kesehatan ini di semua daerah tersebut tidak memiliki kompe
tensi standar yang diatur seperti pada tenaga kesehatan umum.
Tidak adanya rujukan kompetensi yang diatur dalam sistem
kesehatan ini terjadi karena kompetensi petugas penjangkau,
pendamping, konselor, atau manajer kasus tidak dikenal dalam
istilah SDM kesehatan yang berlaku.
Karena ketiadaan standar kompetensi yang bisa dijadikan acuan,
pelatihan untuk SDM non-kesehatan pada layanan PP dan MD
dilakukan tidak dalam kerangka
66 • PKMK FK UGM
untuk memenuhi standar kompetensi, melainkan sebatas untuk
meningkatkan kapa sitas dalam menjalankan kegiatan-kegiatan
penyediaan layanan. Ketiadaan standar kompetensi juga
membuat pelatihan terkait layanan PP dan MD bisa dilakukan oleh
siapa saja. Tenaga yang memberikan pengembangan kapasitas
juga belum tentu memiliki standar kompetensi yang berlaku.
Umumnya pelatihan terkait program-program pencegahan
maupun perawatan ODHA diberikan oleh MPI dengan melibatkan LSM
dan Dinkes atau SKPD lainnya.
“Kita-kita yang dari [SKPD] kesehatan sudah banyak
mengikuti pelatihan. Itu sejak pertengahan tahun ‘90-
an pada saat AusAID masih ada. Tahun ’90-an masih
lebih banyak fokus pada pencegahan. Bersama teman-
teman LSM waktu itu dalam setahun sangat sering kita
mengikuti pelatihan di Makassar ini. Juga sebenarnya
beberapa teman dari dinas-dinas lain seperti Dinas
Sosial, tapi karena kita di kesehatan dan teman-teman
LSM bisa dikatakan juga setiap hari mengurus HIV jadi
dari segi kompetensi mungkin lebih baik. Seingat saya
kira-kira akhir ’90-an itu mulai banyak pelatihan untuk
CST [PDP] karena ODHA makin banyak. Jadi kita tidak
bisa lagi hanya fokus pada pencegahan.” (DKT, Dinkes
Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti
Unhas, 2014).
68 • PKMK FK UGM
Fund seperti NU dengan SINU (Sistem Informasi Nahdlatul Ulama)
dan PKBI yang mengembangkan Sistem Informasi PKBI (SI-PKBI).
“Di PKBI kita mengumpulkan informasi dan membuat
laporan berdasarkan format Global Fund yang
mendanai program kita. Jadi kita mengumpulkan data
seperti berapa jumlah kondom, jumlah jarum suntik,
jumlah KIE yang terdistribusi. Juga misalnya jumlah
pecandu baru di wilayah kerja kita. Jadi bentuknya
spesifik pada program yang kita lakukan. (DKT,
Program Manager PKBI Sulawesi Selatan, 2 Juni 2014,
Laporan Tim Unhas)
70 • PKMK FK UGM
yang memiliki regulasi di tingkat daerah terkait logistik, seperti di
Sidoarjo ada Surat Keputusan Camat tentang pokja/tim distribusi
kondom di Kecamatan Benowo dan Surat Keputusan Kepala
Puskesmas Sememi tentang tim distribusi kondom. Sementara RSJ
Menur di Surabaya memiliki SOP tentang pelayanan ARV untuk
ODHA serta mekanisme pinjam-meminjam obat.
Secara umum, regulasi untuk penyediaan, distribusi, dan
penyimpanan alat kesehatan dan farmasi telah menyesuaikan
dengan kebijakan yang berlaku secara umum di sektor kesehatan,
khususnya untuk ARV dan obat IO yang pembiayaannya didanai
oleh APBN atau APBD dengan dikoordinasikan oleh Dinkes.
…[u]ntuk regulasi mengikuti yang ada dari pusat.
Pengelolaan obat HIV dan AIDS sama dengan proses
pengadaan obat lainnya. (Tim Peneliti Uncen, 2014)
b. Sumber Daya
Sumber daya untuk pengadaan, penyimpanan, dan distribusi
logistik obat dan alat kesehatan meliputi pembiayaan yang
berasal dari pemerintah pusat, pemda, dukungan MPI, dan
masyarakat. Pembiayaan dari pemerintah pusat berupa dana
program, dana alokasi khusus (DAK) yang bersumber dari APBN,
dan dana hibah dari MPI., sedangkan dana daerah bersumber dari
APBD. Pendanaan masyarakat berbentuk CSR dari swasta dan
dukungan solidaritas masyarakat.
Mekanisme keterlibatan pemda dalam mengalokasikan dana
untuk obat telah didorong oleh pemerintah pusat dengan Surat
Edaran Dirjen PP dan PL Kemenkes Ri Nomor
HK.02.03/D/III.2/823/2013 tentang pembiayaan logistik obat dan alat
medis untuk penanggulangan HIV/AIDS dan IMS dengan strategi
sharing pembiayaan antara pemerintah pusat dan daerah. Komposisi
sharing biaya untuk beberapa obat
72 • PKMK FK UGM
jenis obat seperti reagensia HIV dan CD4 ditanggung pemerintah
pusat 45% dan 55% daerah, obat IO dan IMS ditanggung
pemerintah pusat 40% dan 60% daerah, sementara regaen Sipilis
(RPR) ditanggung 50% pusat dan 50% daerah, dan jenis obat GO
dan habis pakai sepenuhnya ditanggung oleh daerah.
Pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS yang bersumber
dari pemerintah pusat dialokasikan untuk pengadaan obat ARV
dan tercakup dalam program yang dibiayai APBN dengan
melibatkan koordinasi langsung antara Dinkes dan pemerintah
pusat. Selain ARV, pembiayaan untuk logistik obat metadon juga
sepenuhnya ditang gung oleh pusat dengan dana nasional yang
dianggarkan melalui Kemenkes. Sumber pembiayaan dari pusat
ini berlaku di semua daerah dan diakses melalui rumah sakit
rujukan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk
memberikan layanan pengobatan ARV.
Sementara itu, sumber pembiayaan yang berasal dari MPI
untuk logistik obat terkait HIV dan AIDS meliputi pengadaan
materi pencegahan dan alat medis seperti LASS, berbagai jenis
obat ARV lini 2, kondom, pelicin, dan tes CD4 (secara terbatas).
Pembiayaan yang mengandalkan pada dukungan MPI ini bersifat
sementara dan tidak berkelanjutan. Untuk daerah yang tidak lagi
mendapatkan dukungan Global Fund untuk penyediaan kondom
gratis seperti di Papua, ada yang telah berhasil mengembangkan
keterlibatan masyarakat dalam pengadaan kondom mandiri
dengan mekanisme iuran seperti dikembangkan oleh komunitas
pekerja seks dan mucikari di Merauke (Tim Peneliti Uncen, 2014).
Sumber daya pembiayaan untuk jarum suntik belum diadopsi
pemda kecuali di Denpasar dan Badung yang sudah
menggunakan dana APBD. Pengadaan jarum suntik di Medan,
Parepare, Surabaya, dan Sidoarjo masih bergantung pada
pendanaan dari donor, sedangkan pemda belum mengambil-alih
tanggung jawab pembiayaan pengadaannya. Pengadaan kondom
di Kabupaten Deli Serdang juga tidak terintegrasi karena kondom
bisa langsung diperoleh dari pusat melalui KPAN, kemudian
didistribusikan melalui tiga jalur, yakni ke KPAK untuk disalurkan
ke LSM-LSM non-Global Fund, PKBI, dan NU untuk selanjutnya
disalurkan ke SSR-nya masing-masing, serta melalui Dinkes untuk
disalurkan ke puskesmas dengan pembiayaan langsung dari
donor.
6) Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat didefinisikan sebagai pengelolaan
penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan baik perorangan,
kelompok maupun masyarakat dengan melibatkan masyarakat
secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan. Tujuannya agar
masyarakat mampu memanfaatkan berbagai layanan kesehatan
yang dibutuhkan
74 • PKMK FK UGM
beberapa kali bantuan untuk pemberdayaan ekonomi.
Baru-baru ini kita diberi bantuan mesin cuci untuk
usaha laundry. Ini kami syukuri. Tetapi kendalanya
ketika pada saat implementasi sering kali kita diminta
cepat-cepat menyelesaikan program, akhirnya hasil
yang kita harapkan itu tidak maksimal.” (DKT, LSM
PKNM Kota Makassar, 16 Juli 2014, dalam laporan Tim
Peneliti Unhas, 2014)
7) Penyediaan Layanan
Penyediaan layanan adalah semua layanan atau intervensi
kesehatan personal maupun masyarakat yang efektif, aman, dan
berkualitas yang disediakan bagi mereka yang membutuhkan di
tempat dan waktu tertentu. Komponen penyediaan layanan terdiri
dari tiga unsur: 1) Layanan untuk HIV dan AIDS tersedia di fasilitas
pelayanan primer dan sekunder di lokasi penelitian; 2) Koordinasi
dan rujukan berupa layanan HIV dan AIDS yang dikoordinasikan
Dinkes melalui KPA Kota/Kabupaten di lokasi penelitian; 3) Jaminan
kualitas layanan dalam bentuk adanya mekanisme supervisi dan
evaluasi untuk menjamin kualitas layanan penanggulangan HIV dan
AIDS yang sama dengan jaminan kualitas layanan kesehatan lainnya.
a. Ketersediaan Layanan
Berbagai layanan HIV dan AIDS terdapat di daerah penelitian,
yang bisa dikelompokkan menjadi layanan pencegahan, PDP, dan
MD. Layanan-layanan ini disediakan oleh fasilitas layanan
pemerintah maupun swasta, LSM, dan masyarakat.
76 • PKMK FK UGM
Tabel 6. Layanan HIV dan AIDS di Daerah Penelitian Denpas PS, 1 RS PKM
ar
Jenis Layanan KSPAN 1 RS
Lokasi Pencegahan PDP Mitigasi Dampak
KIE VCT PPIA PTRM LASS ARV IMS
8 3
PKM, Bantuan Modal untuk
5 PKM
Medan OR 5 RS, 2 RS 3 PKM 10 PKM ODHA dari Kemensos,
PKM
PS 1 3 LSM Pelatihan Manajemen
3 RS 5 RS
Klinik ODHA dari KPA
1 KKP
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan •
Jenis Layanan
Loka Pencegahan PDP Keterangan
si KIE VCT PPIA PTRM LASS ARV Mitigasi
Dampak
IMS
M 11
e PKM
OR 1
r OR, dan
Badun , 2 1 RSUD
a PS, RS
g PS 1 4 2 9
u KSP
k AN
e
13 6
O
Makass R, 1 1 1
ar P
S
7 X
OR RSUD
Parepa PS X X 1
re PIK
R 9
BKR 2 RSUD
X X 2
Manokw 6 rs
RSUD
ari OR,
X X 1
PS 18
Jayapu PKM
RSUD
ra OR,
PS
Di p
i korban tro Dinsos
napzae nik 1 satelit ARV di
ns
8 m dan Bali Medica untuk LSL KSPAN Dinas
os
PKM b b Pendidikan
da 1
n dan er a Layan PKR di
ia 9 PKM
BN RS nt
K dan n u
makanan
pr OD tambahan. a
og HA; n
ra pen Me m 13
gad o 32 PIK KRR di SMP dan SMA
m nja
aan d Bina Keluarga Remaja (BKR) di 22
re hit,
bibi Dinas Sosial Kartu
kelurahan
ha ben al
bili t gkel d
sapi elek ar PKR Mobile
pekerja bar VCT
dan panti
tas
dan i
Sumber: Laporan Tim Peneliti Universitas, 2014
Secara ringkas gambaran program pencegahan di lokasi
penelitian menunjukkan tersedianya jenis-jenis program yang
sama kecuali beberapa program untuk penasun yang tidak ada di
Merauke, Jayapura, dan Manokwari.
Dari tabel di atas terlihat bahwa di darah penelitian layanan
terkait HIV dan AIDS sudah tersedia di semua fasilitas layanan
kesehatan primer dan sekunder yang dapat diakses populasi
kunci, ODHA, dan masyarakat umum. Layanan yang dibe rikan
oleh berbagai pihak ini telah memungkinkan terciptanya
continuum of care, mulai dari layanan pencegahan, perawatan
sampai mitigasi dampak. Berikut ini penjelasan masing-masing
layanan berdasarkan tiga kategori ini.
Pencegahan merupakan upaya terpadu untuk memutus mata
rantai penularan HIV dan AIDS yang merupakan tanggung jawab
pemerintah, pemda, masyarakat, dan swasta. Program pencegahan
di daerah penelitian dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi
kesehatan umum melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
yang dilakukan oleh Dinkes, KPAD, SKPD anggota KPAD seperti Dinas
Pendidikan dan Pariwisata di Denpasar dan Badung. Penyediaan
layanan pencegahan berupa alat dan materi tes (VCT dan PITC);
tersedianya material pencegahan seperti kondom, pelicin, dan alat
suntik steril; dan terapi metadon di layanan kesehatan yang ada
seperti rumahsakit, puskesmas, dan LSM. Peran petugas penjangkau
dalam distribusi material pencegahan sangat penting karena mereka
dapat secara langsung menjang kau dan mendampingi kelompok
populasi kunci, seperti ditemukan di Makassar.
Di bidang pencegahan HIV dan AIDS di Kota Makassar,
kegiatan-kegiatan pencegahan rutin lebih banyak
dilakukan oleh tenaga-tenaga penjangkau (outreach
workers) dari LSM-LSM. Selain tenaga-tenaga
penjangkau dari LSM, khususnya di wilayah-wilayah
Puskesmas LKB (Layanan Komprehensif Berkelanjutan)
terdapat community organizers yang berfungsi
membentuk Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat
(PIKM). PIKM memiliki kader-kader dari masyarakat dan
dari populasi kunci yang sudah dilatih. PIKM ini
menyediakan media-media komunikasi, informasi dan
edukasi HIV dan AIDS yang disebarkan oleh kader-kader
ke masyarakat dan populasi kunci (Tim Peneliti Unhas,
2014).
82 • PKMK FK UGM
Sementara itu, pengawasan dan evaluasi serta bimbingan
teknis dilakukan oleh Dinkes. Di Surabaya, pengawasan ditujukan
per program, misalnya untuk program HR, program Aku Bangga
Aku Tahu (ABAT), program CST, dan program PMTS. Kegiatan
pengawasan dan evaluasi dilakukan setiap tiga bulan sekali atau
kondisional jika dibutuhkan. Di Manokwari, Jayapura, dan
Merauke, Dinkes juga melakukan pengawasan dan evaluasi
terhadap fasilitas layanan IMS dan VCT secara reguler selama dua
tahun terakhir. Sementara di Medan dan Deli Serdang,
pengawasan kualitas layanan unit pelayanan sektor swasta,
pemerintah, dan LSM dilakukan di dinkes kota bekerjasama
dengan KPA kota. Mekanisme serupa juga ditemukan di Badung
dan Denpasar, rapat koordinasi yang difasilitasi oleh Dinkes
Provinsi dan Kota untuk perbaikan layanan. Namun, Tim Peneliti
Unud (2014) melaporkan bahwa proses pengawasan dan evaluasi
masih dilakukan secara paralel sesuai dengan kebutuhan
penyandang dana, tidak dilakukan sebagai satu kesatuan proses
yang dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang
kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS di lokasi penelitian.
Dari uraian di atas terlihat bahwa mekanisme penjaminan
kualitas lebih mudah dilakukan untuk program-program yang
terkait dengan perawatan dan pengobatan serta sebagian
layanan pencegahan yang dilakukan oleh layanan kesehatan.
Namun, untuk penyediaan layanan pencegahan dan mitigasi
dampak yang dilakukan oleh pihak-pihak di luar layanan
kesehatan seperti LSM maupun SKPD anggota KPAD selain Dinkes,
mekanisme penjaminan kualitas layanan berlangsung di luar
tanggung jawab Dinkes. Untuk program-program pencegahan
yang dilakukan oleh LSM, mekanisme pengawasan dan
evaluasinya dilakukan oleh masing-masing lembaga donor,
terpisah dari sistem kesehatan.
84 • PKMK FK UGM
Semua dimensi dalam subsistem pembiayaan tidak
terintegrasi. Di dimensi pengelolaan sumber pembiayaan, tidak
ditemukan adanya mekanisme koordinasi atas berbagai sumber
pembiayaan yang ada. Tidak ada koordinasi sumber pendanaan
dari pusat dan MPI, di mana dana dari pusat bisa secara langsung
dialokasikan kepada pihak LSM, KPAD ataupun Dinkes.
Bappeda/Bappeko juga tidak melakukan prakiraan kebutuhan
pendanaan program HIV dan AIDS lalu kemudian mengumpulkan
berbagai sumber pendanaan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, sehingga besaran penganggaran sangat fluktuatif
tergantung ketersediaannya. Sementara sinkronisasi
pengalokasian dana berdasarkan kebutuhan juga tidak berjalan.
Pada dimensi pembayaran layanan kesehatan, mekanisme
pembayaran layanan HIV dan AIDS masih berbeda dengan
mekanisme pembayaran layanan kesehatan umum. JKN tidak
menanggung pengobatan ARV karena masih ditanggung oleh
program. JKN juga tidak menanggung serangkaian tes yang perlu
dilalui sebelum inisiasi ARV (pra-ARV) dan perawatan bagi
pecandu narkoba.
Pengelolaan SDM tidak terintegrasi karena ada sistem
pengelolaan SDM HIV dan AIDS yang berjalan paralel dengan
pengelolaan SDM kesehatan. Di semua lokasi penelitian, belum ada
kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan SDM HIV dan AIDS di
luar SDM kesehatan, seperti tenaga penjangkau, tenaga lapangan,
manajer kasus, pendamping ODHA (buddies) yang kebanyakan dari
LSM. Terkait pembiayaan SDM, tenaga kesehatan di layanan
kesehatan pemerintah yang melakukan tugas-tugas pengobatan
dibiayai melalui anggaran daerah untuk sektor kesehatan. Namun, di
daerah yang masih didanai oleh MPI, tenaga kesehatan ini mendapat
insentif tambahan apabila melakukan tugas terkait HIV dan AIDS. Ini
mengakibatkan HIV dan AIDS dipandang sebagai tugas tambahan
oleh tenaga kesehatan, sehingga tidak bisa dikatakan terintegrasi
penuh. Pengaturan standar kompetensi teknis hanya terintegrasi
untuk tenaga kesehatan yang melakukan layanan pengobatan.
Tetapi, untuk layanan PP dan MD yang dilakukan oleh lebih banyak
tenaga di luar tenaga kesehatan formal, tidak ada standar
kompetensi yang ditetapkan.
Fungsi penyediaan farmasi dan alat kesehatan dalam
intervensi PDP telah terintegrasi dengan fungsi yang sama dalam
sistem kesehatan. Kebijakan penyediaan, distribusi, dan
penyimpanan alat kesehatan dan farmasi sudah sesuai dengan
yang berlaku secara umum di sektor kesehatan. Namun, untuk
alat pencegahan seperti kondom dan alat suntik steril tidak
terintegrasi karena dari pengadaan sampai distribusi dan
penyimpanannya tidak dilakukan oleh sektor kesehatan.
Pembiayaan pun menunjukkan hal serupa di mana pembiayaan
alat pencegahan ditanggung oleh MPI sementara obat ARV dan
obat IO disediakan oleh APBN atau APBD.
86 • PKMK FK UGM
D. Tingkat Intregasi Berdasarkan Jenis Intervensi
Apabila dilihat berdasarkan jenis intervensinya, gambaran
tingkat integrasi fungsi-fungsi sistem kesehatan bisa dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8. Tingkat Integrasi Program HIV dan AIDS berdasarkan Jenis
Intervensi
88 • PKMK FK UGM
Pembiayaan untuk pencegahan yang dianggarkan melalui
banyak sektor di luar kesehatan menyebabkan pembiayaan tidak
terintegrasi ke dalam sistem kesehatan. Sumber pendanaan yang
berasal dari MPI sulit untuk dikoordinasikan. Alokasi
pembiayaannya untuk program-program pencegahan yang dibuat
berdasarkan peren canaan serta prioritas dari MPI, bukan
perencanaaan dan prioritas sektor kesehatan. Program-program
pencegahan yang dibiayai oleh MPI juga tidak ditanggung oleh
JKN. Pengelolaan SDM-nya juga tidak terintegrasi karena untuk
program-program pencegahan ada banyak penyedia layanan di
luar tenaga kesehatan pemerintah yang terlibat, seperti LSM,
KDS, dan kader masyarakat. Sektor kesehatan tidak melakukan
koordinasi bagi SDM non-kesehatan ini, baik dari aspek regulasi,
pembiayaan maupun standar kompetensi.
Hal yang sama untuk fungsi penyediaan, penyimpanan,
diagnostik dan terapi baik dari dimensi regulasi dan sumber daya.
Belum adanya regulasi untuk penga turan logistik pencegahan
dan skema pembiayaannya menjadikan dimensi logistik
pencegahan tidak menjadi bagian dari sistem kesehatan.
Pembiayaan untuk penga daan logistik terkait pencegahan seperti
metadon, kondom, pelicin dan alat suntik masih mengandalkan
MPI.
90 • PKMK FK UGM
layanan yang dilakukan oleh sistem kesehatan terhadap program-
program mitigasi dampak. Sama halnya dengan sistem informasi,
di mana program-program tersebut tidak dilaporkan di dalam
mekanisme pelaporan yang digunakan di dalam sistem
kesehatan.
Deli Serdang + ++ +
Medan + + +
Surabaya + ++ +
Sidoarjo + ++ +
Denpasar + ++ +
Badung + ++ +
Makassar + ++ +
Pare-pare + ++ +
Manokwari ++ ++ +
Jayapura ++ ++ +
Merauke ++ ++ +
94 • PKMK FK UGM
6. Dalam analisis tingkat integrasi telah ditunjukkan bahwa
intervensi PDP cenderung lebih terintegrasi di berbagai wilayah
penelitian dibandingkan dengan intervensi pencegahan dan
mitigasi dampak. Situasi ini menyiratkan bahwa integrasi akan
lebih dimungkinkan bagi intervensi yang bersifat kuratif karena
lebih sesuai dengan karakteristik peran sektor kesehatan selama
ini. Kegiatan dalam PDP cenderung didominasi oleh hubungan
tenaga kesehatan dan pasien untuk hal-hal yang bersifat medis di
mana berbagai pedoman atau SOP perawatan dan pengobatan
telah tersedia. Kompleksitas intervensi ini menjadi jauh lebih
sederhana daripada intervensi pencegahan yang harus
memperhatikan aspek sosial dan perilaku yang relatif sulit untuk
diantisipasi serta melibatkan lintas-sektor. Oleh karena itu,
penerimaan aktor di sektor kesehatan terhadap kompleksitas
intervensi dalam penanggulangan HIV dan AIDS juga berpengaruh
terhadap tingkat integrasi (bandingkan dengan kesimpulan Atun
et al., 2010).
7 Indikator ini meliputi data presensi pertemuan/diskusi, mengunjungi klinik untuk check up IMS selama sebulan terakhir,
frekuensi dikontak PL, dll. Dari indikator yang berbeda-beda ini akan dipilih satu dengan capaian tertinggi yang akan digunakan
sebagai indikator keterpaparan program yang dibandingkan dengan penjangkauan pada setiap populasi kunci.
96 • PKMK FK UGM
kecenderungan peningkatan efektivitas sesuai jumlah tingkat
integrasi, hubungan tersebut masih belum kuat.
Sedangkan untuk perubahan perilaku, hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada pola yang linear
antara peningkatan efektivitas dengan peningkatan jumlah
dimensi yang terintegrasi. Di Medan, pada tingkat integrasi 5,
perubahan perilakunya 51,5%, lebih tinggi daripada Jayapura
yang perubahan perilakunya 48,8% padahal ada 7 dimensi yang
terintegrasi. Diagram 6 mengga bungkan perbandingan antara
tingkat integrasi dengan cakupan program pencegahan
(keterpaparan program pada WPS) dan tingkat perubahan
perillaku.
98 • PKMK FK UGM
dan Rekomendasi
Kesimpulan
V
A. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan permasalahan
kebijakan tentang keterkaitan antara upaya penanggulangan HIV
dan AIDS dan sistem kesehatan di Indonesia dengan melihat: (1)
Sejauh mana kebijakan dan program penanggulangan HIV dan
AIDS di Indonesia terintegrasi ke dalam sistem kesehatan yang
berlaku; (2) Dalam komposisi dan bentuk seperti apa pendekatan
vertikal bisa diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan agar
mampu meningkatkan efektivitas dan keberlanjutannya dengan
memperhatikan fungsi-fungsi sistem kesehatan, karakteristik para
aktor yang terlibat dalam sistem kesehatan dan penanggulangan
HIV dan AIDS, serta konteks eksternal di mana interaksi tersebut
terjadi baik dari aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya. Melalui
serangkaian penelitian yang sudah dilakukan oleh Tim Peneliti
Universitas, kesimpulan yang bisa ditarik mengacu pada
permasalahan dan pertanyan-pertanyaan yang dikembangkan
ialah sebagai berikut:
1. Pengembangan kebijakan dan program HIV dan AIDS di daerah
dipengaruhi oleh konteks politik daerah, dukungan eksternal,
dan situasi epidemi. Konteks politik daerah memengaruhi
apakah isu HIV dan AIDS akan diprioritaskan atau tidak karena
ia bukanlah isu populis. Semua daerah telah mengembangkan
kebijakan dan melakukan upaya penanggulangan HIV dan
AIDS, tetapi implementasinya belum optimal. Regulasi masih
belum memiliki akuntabilitas dan daya tanggap, terbukti
dengan belum adanya kebijakan operasional untuk
pelaksanaan regulasi yang ada sehingga pembiayaan dan
penyediaan SDM HIV dan AIDS oleh pemda masih minim.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan • 99
Penyusunan kebijakan dan inisiasi program HIV dan AIDS
dilakukan oleh pemerintah pusat dengan dukungan MPI
sehingga programnya bersifat vertikal. Situasi epidemi di
daerah yang menjadi pusat perekonomian dengan
ketersediaan infrastruktur layanan kesehatan yang baik
menarik perhatian MPI untuk menyelenggarakan program HIV
dan AIDS di sana. Namun, pemda belum memanfatkan
peluang inisiasi MPI ini untuk mengintegrasikan upaya
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan.
2. Pemangku kepentingan dengan kekuasaan dan kepentingan
tinggi (Dinkes, MPI, dan Kepala Daerah) memengaruhi
kepedulian terhadap permasalahan HIV dan AIDS di tingkat
daerah. Kepala Daerah yang juga menjabat sebagai ketua
KPAD menjadi penentu apakah upaya penanggulangan HIV dan
AIDS menjadi prioritas daerah atau tidak. Peran Kepala Daerah
di daerah penelitian antara lain membuat regulasi tentang HIV
dan AIDS sebagai landasan hukum program penanggulangan.
Namun, pelaksanaan kebijakan HIV dan AIDS di daerah belum
menjadi perhatian kepala daerah karena dukungan
pelaksanaannya belum optimal, seperti penyediaan
pendanaan dan SDM HIV dan AIDS. Dinkes sebagai
penanggung jawab sektor kesehatan mempunyai otoritas
penuh untuk melakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
Otoritas ini akan optimal jika mendapat dukungan dari Kepala
Daerah yang konsisten mengimplementasikan regulasi terkait
HIV dan AIDS. Tetapi, saat ini sumber daya dan sumber dana
HIV dan AIDS di Dinkes masih bergantung pada MPI. Akibatnya,
peran MPI dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih
dominan. Dominasi MPI dan pemerintah pusat mulai dari
perencanaan sampai pelaksanaan menyebabkan program
penanggulangan HIV dan AIDS tidak terintegrasi ke dalam
sistem kesehatan daerah.
3. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS cenderung belum
terintegrasi karena bersifat sentralistik sehingga menyebabkan
peran daerah menjadi minimal.
a. Meski ada berbagai jenis regulasi di tingkat daerah tetapi
implementasinya belum berjalan dengan optimal. Regulasi
sebagai salah satu dimensi dalam subsistem kesehatan
akan menjadi landasan formal untuk mendorong integrasi
jika dilaksanakan dengan konsisten. Namun, implementasi
regulasi HIV dan AIDS di daerah belum konsisten, seperti
tampak dari kecilnya sumber dana dan sumber daya yang
disediakan pemerintah untuk program HIV dan AIDS. Selain
itu, pelaksanaan regulasi tergantung pada kemauan kepala
daerah terhadap upaya penanggulangan AIDS.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan • 101
f. Partisipasi masyarakat sebagai manifestasi akuntabilitas
program masih tera baikan. Pelibatan masyarakat hanya pada
level implementasi, belum pada perencanaan, sehingga daya
tanggap program belum cukup kuat. Keterlibatan ODHA dan
populasi kunci dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS
sebatas sebagai pelaksana program yang dirancang dan
didanai pemerintah pusat atau MPI. Partisipasi lain ialah dalam
bentuk perwakilan ODHA dan populasi kunci di KPAD. Namun,
belum ada mekanisme yang jelas bagaimana mereka dapat
mengakses sumber pembiayaan dari APBD untuk menjalankan
program yang mereka rencanakan sesuai kebutuhan mereka
sendiri.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan • 103
6. Adanya replikasi dari keberhasilan-keberhasilan kebijakan
penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat lokal (kabupaten/kota
atau desa) di tingkat provinsi dan nasional. Perlu adanya
identifikasi keberhasilan dalam integrasi penanggulangan HIV
dan AIDS ke dalam sistem yang berlaku di berbagai daerah
untuk kemudian bisa dikembangkan di daerah lain. Contoh
keberhasilan yang bisa dilihat dari hasil penelitian ini ialah
berkembangnya mekanisme pembiayaan SDM HIV dan AIDS
dari alokasi dana daerah seperti di Jayapura dan Merauke.
Demikian pula keberhasilan inovasi dan inisiasi pemda dalam
menyelenggarakan program penanggulangan HIV dan AIDS di
Bali sampai pada level desa, dengan menggunakan alokasi
dana desa.
7. Pelibatan yang lebih besar dari perguruan tinggi di daerah
untuk menyediakan fakta-fakta atau bukti (evidences) sebagai
informasi untuk pengembangan kebi jakan daerah. Sejalan
dengan Tridarma Perguruan Tinggi—pendidikan, pene litian,
dan pengabdian—penyediaan evidences oleh perguruan tinggi
sebagai informasi untuk pengembangan kebijakan sudah harus
dimulai di daerah. Dalam hal ini peran KPAD sebagai
koordinator multisektor perlu berkoordinasi dengan perguruan
tinggi setempat mulai dari perencanaan program hingga
pengawasan dan evaluasi. Dari pihak perguruan tinggi perlu
ada langkah nyata untuk menyampaikan berbagai hasil
penelitiannya kepada pemangku kepentingan penanggulangan
HIV dan AIDS di daerah, yang secara teknis bisa dijadikan
agenda bersama.
104 • PKMK FK UGM
Daftar Pustaka
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan • 107
Rasschaert, F., M.P. Pirard, R. Atun, E. Wouters, Y. Assefa, B. Criel,
J.E. Schouten, dan W. Van Damme. 2011. “Positive spill-
over effects of ART scale up on wider health systems
development: evidence from Ethiopia and Malawi.”
Journal of the International AIDS Society 14 (Suppl 1):
S3
PKMK. 2015. Tinjauan Respons Sektor Komunitas dalam
Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Akan terbit.
Pritchett, L. dan M. Woolcock. 2004. “Solutions when the Solution
is the Problem: Arraying the Dissarray in Development.”
World Development 32: 191– 212.
Pfeiffer, J.M., A.P. Baptista, J. Karagianis, M. Pugas, M. Micek, M.
Johnson, W. Sherr, K. Gimbel, S. Baird, S. Lambdin, B.
and Gloyd, S. 2010. Integration of HIV/AIDS services
into African primary health care: Lessons learned for
health system strengthening in Mozambique - A case
study. Journal of the International AIDS Society. Vol. (13)
(1).
Shakarishvili G, Atun R, Berman P et al.. 2010. Converging health
systems frameworks: towards a concepts-to-actions
roadmap for health systems strengthening in low and
middle income countries. Global Health Governance,
Spring III: 2.
Strauss, A. dan J. Corbin. 1998. Basics of qualitative research:
Grounded theory procedures
and techniques (2nd ed). Thousand Oaks, CA: Sage
Publications.
Shigayeva A, Atun R, Mc Kee M, and Coker, R. 2010. Health Systems,
Communicable Diseases and Integration. Health Policy
and Planning, 25: i4-i20.
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan • 115
Lampiran 2.
116 • PKMK FK UGM
dan
dana asing
• Rujukan:
Pembiayaan HIV dan AIDS
sudah
dimasukan kedalam APBD - Lihat pertanyaan FGD No. 1 & 3 dari sub sistem
ini.
5. • Jumlah dan komposisi Apakah ada mata anggaran program HIV dan AIDS
Penganggaran, anggaran di dalam
Proporsi, • dalam APBD per program APBD? (dalam bentuk Anggaran di SKPD atau
Bantuan Sosial)
distribusi dan Laporan Penggunaan
Anggaran
pengeluaran APBD per program
• Jumlah dana per program
berdasarkan wilayah
• Kesesuaian dana yang
dikeluarkan
untuk program, personil, Rujukan:
dan
lainnya - Lihat pertanyaan FGD No. 1 & 2 dari subsistem ini.
118 • PKMK FK UGM
8. Koordinasi • Pertemuan koordinasi antar Apakah layanan HIV dan AIDS yang ada di daerah ini
dan dikoordinasi
rujukan • pemangku kepentingan oleh Dinas Kesehatan melalui KPAD sebagai
penanggung jawab
Target program HIV dan pembangunan kesehatan termasuk
penanggulangan HIV dan
AIDS dari semua pemangku AIDS di daerah ini?
kepentingan di masukan ke
dalam
satu perencanaan
Rujukan:
- Lihat pertanyaan FGD No. 1 dari subsistem ini.
- Lihat pertanyaan FGD No. 1, 2, 3 dari subsistem
Pemberdayaan
Masyarakat.
9. Jaminan • Mekanisme pengawasan Apakah ada mekanisme supervisi dan evaluasi
kualitas dan untuk menjamin
Subsistem Dimensi Kata Kunci Leading Questions
4. SDM 10. Kebijakan • Ketersediaan kebijakan Apakah ada regulasi yang mengatur tentang SDM
yang yang digunakan
dan sistem mengatur tenaga dari luar dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ini?
dinas (kompetensi,
manajemen kesehatan yang di kontrak pengembangan kapasitas, penempatan/mutasi,
oleh hubungan kerja dengan
dinas utk melakukan non pemerintah)
program
• penanggulangan HIV dan
AIDS
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS KE dalam Sistem Kesehatan • 119
Rujukan:
- Lihat data sekunder untuk subsistem SDM:
Pengeluaran untuk
sumber daya manusia sebagai proporsi
pengeluaran pemerintah
12. Kompetensi • Tenaga kesehatan yang Apakah standar kompetensi untuk SDM yang
telah bekerja dalam
• dilatih dan disertifikasi program HIV dan AIDS mengacu dalam peraturan
tentang SDM
Ketersediaan kebijakan kesehatan yang berlaku?
yang
5. Penyediaan
Obat dan
Perlengkapan
Medik
120 • PKMK FK UGM
Rujukan:
Lihat pertanyaan FGD No. 2, 4, dan 6 dari subsistem
ini.
6. Sistem 3. Sinkronisasi • Infrastruktur Apakah program HIV dan AIDS menggunakan sistem
Informasi informasi
sistem • Jenis sumber data yang digunakan oleh dinas (surveilans,
informasi kesehatan? survei,
• Pengumpulan data pengawasan dan evaluasi program berdasarkan
input, proses, output)
• Mekanisme Pengolahan
Data Rujukan: