Anda di halaman 1dari 12

Fibrous Displasia Pada Maksila Kanan: Sebuah Laporan Kasus

Deni Herdiyanto*, Borman Sumaji**, Maman Abdurahman***

* Residen Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Padjadjaran, RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung.
** Staf Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Padjadjaran, RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung.
*** Staf Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, RS Dr.
Hasan Sadikin, Bandung.

Abstrak

Latar Belakang: fibrous displasiamerupakan suatu kelainan tulang yang jinak dengan
pertumbuhan lambat, yang disebabkan karena proliferasi jaringan ikat pada tulang.
Keterlibatan tulang-tulang kraniofasial tidak jarang dijumpai yang biasanya
menyebabkan asimetri pada wajah. Kelainan ini secara karakteristik dijumpai dalam
tiga bentuk; monostotik, poliostotik, dan kelainan poliostotik yang disertai dengan
pigmentasi café –au-lait pada kulit dan gangguan endokrin.

Obyektif: pada artikel ini dilaporkan sebuah kasus pada pasien dengan fibrous displasia
pada maksila kanan, dengan perluasan ke orbita, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis
kanan, disertai deviasi hidung, yang didukung dengan hasil pemeriksaan CT Scan.

Laporan kasus: seorang perempuan 15 tahun yang dirujuk ke bagian bedah mulut dan
maksilofasial, dengan keluhan pembengkakan pada pipi kanan dan rongga mulut tanpa
disertai rasa sakit. Tidak disertai adanya gangguan penglihatan. Riwayat penyakit
terdahulu, pasien menderita VSD dengan aortik regurgitasi.

Penatalaksanaan: pada kasus ini dilakukan tindakan bedah berupa hemimaksilektomi


melalui pendekatan ekstra oral dengan pola insisi webber ferguson pada pipi kanan.
Pada pemeriksaan histopatologi terbukti sebagai suatu fibrous displasia, dengan
ditemukannya figur “Chinese pattern”. Defek yang terjadi setelah operasi ditutup
dengan menggunakan obturator.

Kesimpulan:telah dilakukan hemimaksilektomi untuk penanganan pada kasus ini.


Tindakan bedah masih merupakan terapi utama pada kasus fibrous displasia. Obturator
digunakan untuk menutup defek luka. Kontrol teratur pasca operasi penting untuk
mengevaluasi kemungkinan kekambuhan dari kelainan ini

Kata kunci: fibrous displasia, hemimaksilektomi, obturator

1
Abstract

Background: The Fibrous Dysplasia is a slow growth benign bone disease and caused
by an abnormal proliferation of fibrous tissue in bone. The involvement of the
craniofacial skeleton is not uncommon and generally produces facial asymmetries. The
lesion appear inthree distinctive but sometimes overlapping clinical pattern;
monostotic, polyostotic, and polystotyic disease, associated with café-au-lait skin
pigmentation andendocrine abnormalities.

Objectives: In this article we report the case of a patient with fibrous dysplasia
occupying the right maxillary sinus with orbitary, right ethmoidalis and sphenoidalis
sinus extension, nose deviation, that confirmed by CT Scan examination.

Case report: A 15-year-old female patient who referred to oral and maxillofacial
surgery department, presented with a history of a painless swelling of the right cheek
and intraoraly. There was no visual impairment. Previous history revealed that the
patient had ventricular septal defect with aortic regurgitation .

Management: The case was managed surgically (hemimaxillectomy) via an extra oral
approach by webber ferguson incision at the right cheek. The histopathology of the
excised tissue confirmed the diagnosis of fibrous dysplasia, proved with chinese figure
like trabeculae structure. The patient wearing obturator for closed the defect.

Conclusion:The patienthad been performed hemimaxilectomyfor treatment the lesion.


The surgical treatment remains as the main therapeutic approach. Obturator was
weared to correction the defect. Regularly follow up is necessary to monitoring due to
recurrent this condition.

Keywords: fibrous dysplasia, hemimaxillectomy, obturator

2
Pendahuluan

Istilah fibrous displasia pertama kali diperkenalkan oleh Lichtenstein pada tahun
1938, untuk mendiskripsikan suatu kelainan berupa deformitas pada tulang yang
disebabkan karena proliferasi abnormal jaringan ikat diantara tulang atau tulang
immature oleh karena proses diferensiasi yang buruk, terjadi mutasi pada osteoblast.1-3
Untuk pertama kalinya kelainan ini didiskripsikan oleh Von Recklinghausen pada
permulaan tahun 1891, kemudian pada tahun 1937 Mc Cune dan Bruch menyarankan
bahwa kondisi ini sebagai suatu entitas tersendiri yang berbeda dengan kondisi
abnormalitas tulang lainnya.3,4

Pada fibrous displasia, matriks tulang normal digantikan dengan proliferasi dari
jaringan fibrous seluler serta material abnormal menyerupai tulang.4,5,6,8Etiologi
kelainan ini ditengarai karena terjadi mutasi pada kompleks protein-reseptor Gsα (gen
GNAS1 pada kromosom 20q 13.2-13.3), yang menyebabkan proliferasi dan diferensiasi
abnormal osteoblas.5,7,8 Akibat mutasi ini, terjadi penggantian asam amino DNA pada
sel osteoblas berupa sistin atau histidin yang digantikan dengan arginin, sehingga sel-sel
osteoblas berkembang menjadi jaringan ikat.9

Insidensi kelainan ini tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan berkisar
antara 2,5-10% dari semua kasus tumorpada tulang.7,9 Keterlibatan tulang-tulang kranio-
fasial berkisar 30%.9 Prevalensi fibrous displasia pada laki-laki sama dengan
perempuan.5,8 Fibrous displasia bisa terjadi monostotik, yang menyerang hanya pada
satu tulang dan poliostotik, yang mengenai beberapa tulang, biasanya disertai dengan
manifestasi klinis pada kulit berupa café au lait dan gangguan endokrin yang dikenal
sebagai sindroma Mc.Cune-Albright.2,3,6,10 Tipe monostotik lebih sering terjadi pada
kelompok umur 20-30 tahun. Tipe poliostotik sering terjadi pada anak-anak sampai
kisaran umur 10 tahun.5 Perbandingan kejadian fibrous displasia tipe monostotik dengan
poliostotik adalah 3:7.5

Tipe monostotik paling sering terjadi, 70% dari kasus, sering ditemukan pada
masa pubertas.3,9 Tipe monostotik secara klinis ditemukan unilateral, bisa melibatkan
tulang femur, tibia, kalvaria, humerus, rusuk, mandibula serta maksila, 25 % terjadi
pada tulang tengkorak.2,9 Sekitar 25-30% fibrous dysplasia melibatkan dua atau lebih

3
tulang.9 Pada tipe poliostotik keterlibatan tulang kranio-fasial berkisar 50-100%.2,7
Terdapat predileksi pada perempuan untuk tipe fibrous displasia poliostotik. Deformitas
terjadi karena progresifitas dan desakan massa ke struktur sekitar, sehingga dapat
menyebabkan gangguan fungsi dari organ vital sekitarnya. 9

Laporan Kasus
Perempuan 15 tahun di konsulkan ke Klinik Bedah Mulut RSHS dengan keluhan
adanya pembengkakan yang timbul kembali dipipi kanan setelah dilakukan operasi
pengurangan massa tumor sekitar 2 tahun yang lalu. Pembengkakan yang timbul juga
mengenai palatum kanan. Pembengkakan tidak disertai rasa sakit.Seiring waktu pasien
merasakan hidung sebelah kanan tersumbat. Pasien tidak mengeluhkan adanya
gangguan penglihatan. Pasien masih dapat makan dan minum seperti biasa.

A B C

A B C
Gambar 1.Gambar klinis pasien. (a). Tampak samping kanan. (b). Tampak depan. (c). Tampak
samping kiri.

Pada pemeriksaan ekstra oral didapatkan asimetri wajah, pembengkakan pada


pipi kanan, berukuran 10x6x5 cm, konsistensi padat keras, permukaan licin, warna
sama dengan jaringan sekitar, tanpa adanya eritema atau lesi ulserasi, deviasi hidung ke
kiri (gambar 1). Pada pemeriksaan klinis intra oral terdapat pembengkakan di regio
alveolar kanan mulai caninus sampai molar ke-2, palatum durum kanan. Massa
berkonsistensi padat dan mukosa yang menutupinya berwarna seperti jaringan sekitar
tanpa adanya eritema atau lesi ulserasi. Massa berukuran 5x4x2 cm, licin, warna sama
dengan jaringan sekitar, padat dan tidak dapat digerakkan dari dasar (gambar 2). Pada

4
cavum nasi kanan, tampak pendesakan massa dari arah sinus maksilaris kanan yang
mendesak cavum nasi kanan.

Gambar 2. Gambar klinis intra oral

Hasil pemeriksaan patologi anatomi pada operasi terdahulu disimpulkan sebagai


fibrous displasia pada maksila kanan (PC.100627). Pada pemeriksaan,kondisi umum
pasien baik.Pasien memiliki riwayat kelainan jantung bawaan berupa kondisi septum
antara ventrikel kanan dan kiri jantung terdapat celah (VSD) dengan disertai adanya
aliran darah diastolik dari aorta ke ventrikel kiri (aortik regurgitasi). Untuk kondisi
kelainan jantung bawaanya tidak didapatkan kontra indikasi untuk dilakukan operasi
dengan anestesi umum, namun disarankan untuk diberikan antibiotik profilaksis dengan
amoksisilin 2 gr satu jam sebelum dilakukan operasi.

Pada foto schedel AP didapatkan bayangan densitas jaringan lunak di maksila


kanan yang dicurigai menyebabkan destruksi dari dinding hidung, septum nasi, palatum,
dan dinding sinus maksilaris kanan (gambar 3a). Pada CT Scan ditemukan massa solid
inhomogen berbatas tegas dengan kalsifikasi di dalamnya pada maksila kanan yang
mengobliterasi sinus maksilaris kanan, cavum nasi kanan, deviasi septum ke kiri, sinus
ethmoidalis kanan, sinus sphenoidalis kanan (gambar 3b).

Tindakan definitif pada kasus ini dilakukan eksisi total massa dan reseksi
maksila dalam bentuk hemimaksilektomi kanan. Dilakukan insisi Webber-Ferguson
dan diseksi hingga tampak tulang maksila dan zygoma. Dilakukan pengambilan
keseluruhan massa dengan membuang tulang maksila dan palatum kanan. Dilakukan

5
kontrol perdarahan, dan dilakukan pemasangan kassa chloramphenicol untuk mengisi
defek, serta dilakukan penutupan luka (gambar 4).

A B

Gambar 3. (a). Foto schedel AP. (b). CT scan potongan koronal

Massa tumor dikirim ke bagian patologi anatomi untuk dilakukan pemeriksaan.


Dari hasil pemeriksaan didapatkan massa tumor terdiri atas jaringan ikat fibrokolagen
yang tumbuh berproliferasi memadat. Inti sel masih dalam batas normal. Diantara
jaringan ikat fibrokolagen tampak trabekula-trabekula tulang yang immature yang
berbentuk C shape (Chinese figure like trabeculae), serta tidak ditemukan tanda-tanda
keganasan (PB. 116109), (gambar 5).

A B C

D E F
Gambar 4. (a). Membuat pola insisi Webber-Ferguson. (b). Diseksi hingga tampak
tulang maksila dan zygoma. (c,). Pengambilan massa tumor. (d). Massa tumor. (e).
Pemasangan kassa chloramphenicol. (f). Penutupan luka.

6
Pasien kontrol secara teratur untuk penyembuhan lukanya. Pasca operasi pasien
merasakan hidung kanannya sudah tidak tersumbat lagi, deviasi hidung sudah tidak ada,
pembengkakan pada pipi berkurang (gambar 6a), untuk defek pada palatum, pasien
dibuatkan obturator (gambar 6b). Pihak pasien merasa puas dengan kondisinya
sekarang. Pasien disarankan untuk kontrol secara teratur untuk mengetahui
perkembangan kondisi lesinya.

Gambar 5.Proliferasi jaringan ikat fibrokolagen yang diantaranya trabekula tulang immature
(Chinese figure like trabeculae).

A B

Gambar 6. (a). Profil wajah pasien 6 bulan pasca operasi. (b). Defek pada palatum ditutup
dengan menggunakan obturator (intermediate obturator).

Pembahasan

Kasus fibrous displasia pada regio kraniofasial 25% dalam bentuk monostotik,
dan 50% poliostotik. Pada wajah, maksila lebih sering terkena dibandingkan dengan

7
mandibula.11 Fibrous displasia pada rahang lebih sering terjadi pada regio posterior.12
Fibrous displasia pada maksila selalu melibatkan sinus maksilaris, bukan hanya
menyebabkan obliterasi struktur sekitar tetapi juga mendorong dasar orbita ke
superior.13 Pada tipe monostotik biasanya asimptomatik atau tanpa disertai rasa nyeri,
membesar perlahan dan tendensi menjadi stabil setelah mencapai masa pubertas.
Fibrous displasia tipe monostotik sering dijumpai pada dekade kedua dari hidup
seseorang dan menjadi dormant pada dekade ketiga kehidupan. Perubahan hormonal
seperti saat kehamilan dapat menyebabkan lesi menjadi aktif kembali.2,14 Pada kasus
lanjut ketika rongga anatomik dan foramen terdesak karena ekspansi massa tumor
dijumpai adanya obstruksi hidung exopthalmus, sakit kepala, hilangnya penglihatan,
proptosis, diplopia, gangguan pendengaran, epistaxis, epiphora.11,14 Pada pasien ini
disertai deviasi hidung dengan obstruksi hidung kanan.
Untuk pemeriksaan radiologi, CT Scan sangat direkomendasikan dengan
pertimbangan anatomi dan perluasan lesi dapat diketahui secara pasti. Cone beam CT
maupun panorex juga tepat digunakan untuk memastikan lesi disekitar gigi geligi (teeth
bearing area). Karakteristik khas dari fibrous displasia adalah ditemukannya gambaran
“ground glass”pada lesi. Gambaran fibrous displasia akan bervariasi sesuai dengan
perkembangan usia, mulai dari gambaran “ground glass” atau homogen sampai
campuran radiodense/radiolusent sesuai dengan umur pasien.15 Tampak gambaran
mixed radiodense/radiolucent pada CT Scan pada sinus maksilaris kanan pada pasien
ini (gambar 7). Didapatkan pula bahwa fibrous displasia telah mengobliterasi sinus
maksilaris kanan.

Manajemen bedah pada pasien dengan fibrous displasia berupa tindakan


konservatif, mengurangi ukuran lesi (shaving/contouring) atau eksisi komplit lesi
disertai dengan rekonstruksi.9 Adapun faktor yang menjadi pertimbangan dilakukan
tindakan bedah diantaranya; lokasi lesi ,kecepatan pertumbuhan lesi, adanya gangguan
fungsi dan faktor lainnya.7 Fibrous displasia pada kraniofasial dikelompokkan dalam 4
zona utama. Zona 1 termasuk regio fronto-orbital, zygoma, dan maksila bagian
atas.Zona 2 meliputi kranium (hair bearing area). Zona 3 meliputi basis kranium
sentral.Zona 4 meliputi alveolar maksila-mandibula (teeth bearing area). Manajemen
bedah pada zona 1 direkomendasikan dilakukan eksisi total. Pada zona 2,3 dan 4
dilakukan tindakan konservatif berupa eksisi lesi (shaving).7

8
Gambar 7. Gambaran mixed radiodense/radiolucent pada sinus maksilaris kanan, CT Scan
pada pasien yang sama.

Penatalaksanaan yang tepat memerlukan pemahaman yang baik akan kondisi ini.
Terapi definitif yang pertama harus yang terbaik, yang tepat. Jika tindakan pertama
tersebut tidak tepat maka tindakan perbaikan hampir tidak mungkin berhasil 100%,
bahkan bisa fatal. Kemungkinan hasil terapi termasuk kemungkinan adanya defek
sebagai akibat tindakan definitif hendaknya diprediksi untuk manajemen pasca bedah.16

Pada pasien ini fibrous displasia terjadi pada zona 1 dan 4. Lesi membesar dan
memenuhi rongga sinus maksilaris kanan serta mendesak dinding medial sinus yang
menyebabkan obstruksi hidung kanan. Tampak pada CT Scan, lesi juga mendesak
rongga orbita kanan namun penderita tidak mengeluhkan adanya gangguan penglihatan
sebelah kanan. Adapun terapi definitif pada pasien ini diputuskan untuk dilakukan
hemimaksilektomi regio kanan dengan tujuan pengambilan massa tumor serta
dekompresi daerah sekitar lesi sehingga desakan ke struktur vital sekitar lesi berkurang.
Pada kasus ini,hemimaksilektomi dilakukan dengan pengambilan tulang premaksila,
maksila dan palatum sebelah kanan, dilakukan preservasi dasar orbita, sedangkan
dinding medial dari sinus maksilaris dipertahankan. Luka pasca operasi didapatkan
defek berupa adanya komunikasi rongga mulut dengan rongga sinus maksilaris,
menurut klasifikasi Brown termasuk defek klas 2 berdasarkan komponen vertikal serta
defek a berdasarkan komponen horizontal.17, 18 Setelah 2 minggu pasca operasi, pasien
dibuatkan obturator interim. Setelah 6 bulan pasca operasi, pasien direncanakan

9
akandibuatkan prothesis yang sekaligus berfungsi sebagai obturator untuk menutup
defek pasca operasi setelah dilakukan hemimaksilektomi.19

Dari penelitian systematic review yang dilakukan oleh Jankowski, tingkat


kekambuhan fibrous displasia berkisar 18%, sedangkan menurut Orten SS et al berkisar
25%-86%.2,20 Transformasi keganasan dari fibrous displasia sangat jarang terjadi,
dilaporkan berkisar 0,4-4% dari keseluruhan kasus.2,15,21 Interval transformasi
keganasan dari fibrous displasia sejak didiagnosa hingga berkembang menjadi suatu
keganasan berkisar 13,3 tahun.9 Transformasi keganasan dari fibrous displasia bisa
berupa osteosarcoma, pernah juga dilaporkan fibrosarcoma, chondrosarcoma dan
malignant fibrohystiocitoma.15,21 Salah satu penyebab terjadinya transformasi keganasan
pada fibrous displasia adalah dilakukanya radioterapi.4 Fibrous displasia dapat
dibedakan dengan suatu keganasan dengan dilakukan pemeriksaan immunohistokimia.
Suatu keganasan akan mengekspresikan MDM2 atau CDK4 pada pemeriksaan
immunohistokimia, sedangkan pada fibrous displasia tidak.15,21 Kontrol secara teratur
dan pemeriksaan CT Scan secara periodik dapat dilakukan untuk mengetahui
perkembangan kelainan ini serta penilaian apakah perlu untuk dilakukan tindakan
pembedahan berikutnya.

Kesimpulan

Terapi fibrous displasia pada kasus ini dilakukan pembedahan


(hemimaksilektomi). Tindakan bedah masih merupakan terapi utama pada kasus fibrous
displasia. Obturator digunakan untuk menutup defek luka pasca operasi. Kontrol berkala
pasca operasi penting untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya kekambuhan.
Pemahaman, penegakkan diagnosis serta manajemen lesi yang tepat, merupakan suatu
keharusan dalam penatalaksanaan kelainan ini.

10
Daftar Pustaka

1. Kruse A, Pieles U, Riener MO, Zunker Ch, Bredell MG, Gratz KW.
Craniomaxillofacial fibrous dysplasia: A 10-year database 1996–2006. BJOMS
2009;47:302–305
2. Orten SS, Hanna E. Fibrous Dysplasia: Biology And Indications For Surgery.
OPERATIVE TECHNIQUES IN OTOLARYNGOLOGY--HEAD AND NECK
SURGERY 1999;10:109-112.
3. Stefanovic P, Djeric D. Maxillary Sinus Fibrous Dysplasia. J Rhinol
1998;5:152-154.
4. Tinoco P, Pereira JCO, Filho RCL, Silva FBC, Ruela KP. Fibrous Dysplasia of
maxillary Sinus. Intl. Arch. Otorhinolaryngol 2009;13:214-217.
5. Feller L, Wood NH, AG Khammissa R, Lemer J, Raubenheimer EJ. Review The
nature of fibrous dysplasia. Head & Face Medicine 2009, 5:22
6. Duncavage JA, Becker SS. The Maxillary Sinus: Medical And Surgical
Management. Thieme Medical Publisher, New York, 2011.
7. Chen YR, Chang CN, Tan YC. Craniofacial Fibrous Dysplasia: An Update.
Chang Gung Med J 2006; 29; 543-48.
8. Hsu CL, Chuang LC, Tsai A, Chang YL. Management of Mandibular
Monostotik Fibrous Dysplasia of a seven Year Old Female A Case Report.
Taiwan J Oral Maxillofac Surg 2011;22:156-164.
9. Cholakova R, Kanasirska P, Kanasirski N, Chenchev I, Dinkova A. Fibrous
Dysplasia In The Maxillo-Mandibular Region-Case Report. Jimab 2010;16:10-
13.
10. Godse AS, Shritriya SP, Vaid NS. Fibrous dysplasia of the maxilla.
JPedSurg.2009;44:849-851.
11. Soares VYR, Silva TO, Cunha RLLS, Mendonca Costa KJS, Holanda TA,
Sousa KMM. Recurring Fibrous Dysplasia of Anthro Maxillary with Cranial
Base Invasion. Intl Arch Otorhinolaryngol 2009;13:331-335.

11
12. Pontual MLA, Tuji FM, Yoo HJ, Boscolo FN, Almeida SM. Epidemiological
Study of Dysplasia of The Jaws in a Sample of Brazilian Population.
Odontologia. Clin.-Cientif 2004;3:25-30.
13. Jankowski DM, Li TK. Fibrous dysplasia in a Hong Kong community: the
clinical and radiological features and outcomes of treatment. DMFR 2009;38:
63–72.
14. Kaur B, Sheikh S, Shambulingappa P. Fibro-osseous lesion of maxilla: Report
of two cases in a family with review of literature. J Clin Exp Dent.
2011;3(4):336-339.
15. Lee JS, FitzGibbon EJ, Chen YR, Kim HJ, Lustig LR, akintoye SO, Collins MT,
Kaban LB. Clinical Guidelines ForThe Management of Craniofacial Fibrous
Dysplasia. OJRD 2012;7:1-19.
16. Lukito P, Soemitro MP, Lokarjana L. Penuntun Diagnostik Dan Terapi Tumor
Ganas. Sagung Seto, Jakarta, 2010.
17. Brown JS. Maxillary Reconstruction. Indian J Plast Surg 2007;40:35-43.
18. Peng X, Mao C, Yu G, Guo C, Huang M, Zhang Z. Maxillary Reconstruction
with the Free Fibula Flap. PLASTIC AND RECONSTRUCTIVE SURGERY,
2005; 115: 1562-64.
19. Jadhav P, Jadhav P, Shah S. Prosthetic Rehabilitation of Hemimaxillectomy
Patient- A Case Report. JIDA 2011;5:1090-1091.
20. Jankowski DM. Fibrous dysplasia: a systematic review. DMFR 2009;38:196–
215.
21. Muben, Kiran KR. Craniofacial polyostotic fibrous dysplasia:report of a case
with review literature. JPFA 2009;23:92-96.

12

Anda mungkin juga menyukai