Anda di halaman 1dari 2

The Breakfast Club menceritakan kisah lima siswa Sekolah Menengah Atas yang

terjebak di detention dengan satu tugas sederhana, menulis esai tentang siapa mereka yang
sebenarnya. Detention sendiri adalah bentuk hukuman dimana siswa-siswi yang melanggar
aturan akan “dipenjarakan” selama berjam-jam. Hukuman ini diterapkan di sekolah-sekolah
di Amerika Serikat.

Pengamatan adalah sebuah proses dimana setiap keinderaan harus diorganisasikan


dan diinterpretasikan agar mampu menghadirkan makna yang lebih dalam kehidupan
manusia. Penerima akan memilih rangsangan yang bermakna bagi dirinya dengan cara
memberikan tumpuan kepada rangsangan tersebut. Dalam The Breakfast Club, stereotip
adalah salah satu konsep psikologis terbesar dan paling penting dalam film ini. Stereotip
merupakan sebuah penilaian yang dilakukan dari pengamatan secara intuitif terhadap
seseorang dan hanya berdasarkan presepsi terhadap kelompok dimana orang tersebut
distereotipkan. Ketika lima karakter utama diperkenalkan untuk pertama kali, hal pertama
yang mereka kenalkan bukanlah nama mereka, melainkan stereotip dari masing-masing
karakter. Hal tersebut semakin diperkuat dengan perilaku, pakaian, dan interaksi antar
karakter.

Brian Johnson merupakan karakter yang digambarkan secara akurat sebagai seorang
kutu buku. Kutu buku digambarkan sebagai seseorang yang cerdas, tetapi kesulitan dalam
bersosialisasi, pemalu, aneh, dan tidak menarik. Layaknya stereotip kutu buku pada
umumnya, Brian diperlihatkan sebagai karakter yang selalu mengikuti aturan, dan selalu
berafilasi dengan klub-klub yang bersifat akademis. Selain itu, salah satu faktor yang
berperan penting dalam pembentukan karakter kutu buku yang dimiliki Brian adalah kedua
orangtuanya. Plat mobil milik orangtuanya bersifat simbolis. EMC 2 merupakan sebuah
formula ilmiah. Hal tersebut menjadi sebuah penanda bahwa orangtua Brian sangat
menjunjung tinggi pendidikan dari anaknya, sehingga mereka mendorong Brian untuk
sempurna dalam segi akademik.

Andy Clark merupakan seorang atlit di klub olahraga sekolah. Di sepanjang film,
Andy sering menggunakan jaket varsity sebagai simbol afilasinya dengan olahraga. Atlit-atlit
ini sering distereotipkan sebagai orang yang tidak cerdas, arogan, tidak ramah, namun
populer di sekolah. Begitu pula dengan Claire Standish, seorang siswi kaya raya dan cantik
yang distereotipkan sebagai seorang puteri di sekolah. Kelompok siswa-siswi ini memiliki
status sosial yang tinggi dalam hierarki sosial di sekolah. Sekilas mereka tampak memiliki
kehidupan yang sempurna, namun sebenarnya mereka mendapatkan banyak tekanan dari
teman-teman sebaya.

Allison Reynolds merupakan karakter yang kesepian dengan mental yang terganggu.
Sebenarnya ia tidak memiliki alasan untuk datang ke detention. Namun, Allison tetap datang
karena ia merasa bahwa detention dapat menghilangkan rasa kesepiannya. Allison tidak
memiliki teman. Ia selalu diabaikan, baik di sekolah maupun di rumahnya sendiri. Apa yang
dianggap sebagai hukuman bagi siswa lain, dianggap sebagai sebuah peluang untuk
mengakhiri rasa kesendirian bagi Allison.
John Bender merupakan karakter yang digambarkan sebagai stereotip anak nakal.
John dinilai oleh Pak Vernon dan teman-teman di sekolahnya sebagai pemberontak dan urak-
urakan. Namun, mereka mengabaikan faktor yang menyebabkan John bersikap seperti itu.
Seiring dengan berjalannya film, John mulai mengungkapkan kehidupannya di rumah,
dimana ia sering disiksa secara fisik dan verbal oleh orangtuanya. Bahkan kekerasan ini
menimbulkan luka fisik di kulitnya. John merasa bahwa teman-teman, bahkan praktisi
pendidikan di sekolahnya, melabelinya dengan stereotip tanpa mau mengetahui keadaan yang
sebenarnya.

Di akhir film, kelima karakter utama ini, disamping perbedaan status dalam hierarki
sosial di sekolah, mulai menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan. Mereka bersikap
layaknya stereotip yang diarahkan oleh orang-orang kepada mereka. Padahal stereotip ini
adalah bagian palsu dari diri mereka. Hal tersebut menimbulkan konklusi bahwa mereka
sedang mengalami krisis identitas yang berpotensi menghancurkan individualitas mereka.
Permasalahan yang mendasari hal tersebut berasal dari orangtua dan praktisi pendidikan di
sekolah. Orangtua dan praktisi pendidikan menanamkan keyakinan dan perilaku mereka
sendiri kepada anak-anak ini. Metode pengasuhan dan pengajaran yang tidak memadai, dan
kesenjangan konstan antar generasi menjadi faktor pemicunya.

Anda mungkin juga menyukai