Dosen Pengampu:
Luthfi Fathan Dahriyanto, S.Psi., M.A.
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Profesor dan mahasiswa perguruan tinggi telah lama mengetahui bahwa sebagian
mahasiswa dengan kepandaian “rata-rata” dapat memperoleh nilai tinggi, sementara sebagian
mahasiswa dengan kepandaian cukup tinggi hanya mendapat nilai rata-rata, dan sebagian
mahasiswa sangat pandai ternyata mengalami DO (Drop Out). Faktor-faktor apakah yang
berperan pada situasi ini? Motivasi adalah salah satu faktornya. Kesehatan pribadi, kematian
salah satu anggota keluarga inti, dan terlalu banyak aktivitas yang harus dilakukan adalah
kemungkinan faktor lainnya.
Beberapa tahun yang lalu, seorang mahasiswa yang sangat pintar sedang berjuang
melalui tahun ketiganya. Walaupun ia menunjukkan nilai yang cukup baik di mata-mata
kuliah yang membuatnya tertarik, tetapi nilai-nilainya di mata kuliah lain sangat buruk
sehingga terancam DO. Belakangan, ia mengikuti tes IQ (intelegensia) di mana ia mendapat
nilai 195, sebuah nilai yang sangat tinggi yang hanya bisa dicapai oleh sekitar satu orang dari
beberapa juta orang. Oleh karena itu, kurangnya kemampuan intelektual bukanlah alasan
mengapa pria muda ini mendapat indeks prestasi yang kurang memuaskan.
Seperti pria muda lainnya, mahasiswa ini sedang jatuh cinta, sebuah keadaan yang
membuatnya sulit berkonsentrasi pada kuliahnya. Oleh karena sangat pemalu, pria muda ini
tidak dapat mengumpulkan keberanian untuk mendekati orang yang dicintainya dan yang
menarik, wanita muda yang dicintainya adalah sepupunya. Situasi ini memungkinkan dirinya
mengunjungi sepupunya dengan alasan mengunjungi tantenya. Ia mencintai sepupunya dari
kejauhan, malu-malu, tidak pernah menyentuh sang sepupu ataupun menyatakan
perasaannya. Kemudian, tiba-tiba sebuah kebetulan mengubah hidupnya. Ketika
mengunjungi tantenya, kakak sepupunya mendorong sang pria muda pada sepupunya, seolah
menyuruh sang pria muda untuk mencium sepupunya. Ia melakukannya, dan yang
mengejutkannya adalah bahwa sang sepupu tidak menolak untuk dicium. Sang sepupu
mencium si pria muda balik dan sejak saat itu hidup sang pria muda menjadi lebih berarti.
Pria muda pemalu di cerita ini adalah Abraham Maslow dan sepupunya adalah Bertha
Goodman. Setelah ciuman pertama keberuntungan, Abe dan Bertha tak lama kemudian
menikah dan pernikahan ini mengubahnya dari mahasiswa rata-rata menjadi mahasiswa
pintar yang kemudian membentuk Psikologi Humanistis di Amerika Serikat. Cerita ini
sebaiknya tidak dilihat sebagai rekomendasi untuk menikahi sepupu, tetapi cerita ini
menggambarkan bagaimana orang-orang yang pintar terkadang membutuhkan sedikit
dorongan untuk meraih potensi mereka.
BAB II
ISI
A. Biografi
Abraham Harold (Abe) Maslow dilahrikan di Manhattan, New York pada 1
April 1908, Maslow menghabiskan masa kecilnya yang tidak bahagia di Brooklyn.
Maslow adalah anak tertua dari tujuh bersaudara pasangan Samuel Maslow dan Rose
Schilosky Maslow. Pada masa kecilnya, kehidupan Maslow dipenuhi dengan perasaan
malu, rendah diri, dan depresi yang kuat.
Maslow tidak terlalu dekat dengan salah satu dari orang tuanya, tetapi ia tidak
keberatan dengan ayahnya yang sering kali tidak ada di sampingnya. Ayahnya adalah
seolah imigran keturunan Rusia-Yahudi yang bekerja mempersiapkan barel/tong.
Akan tetapi, kepada ibunya, Maslow merasakan kebencian dan kemarahan yang
besar, tidak hanya pada masa kecilnya, tetapi juga hingga hari kematian ibunya yang
hanya berjarak beberapa tahun dari kematian Maslow sendiri. Meskipun telah
beberapa tahun menjalani psikoanalisis, kebenciannya yang kuat terhadap ibunya
tidak pernah hilang dan ia menolak untuk menghadiri pemakaman ibunya walaupun
saudara kandungnya yang tidak membenci ibunya meminta untuk hadir.
Ibunda Maslow merupakan seorang wanita yang saat taat beragama yang
sering kali mengancam Maslow muda tentang adanya hukuman dari Tuhan. Ketika
masih anak-anak, Maslow memutuskan untuk mengetes ancaman ibunya dengan
sengaja melakukan hal-hal yang dilarang. Ketika tidak ada hukuman dari Tuhan yang
menimpanya, ia menganggap peringatan ibunya secara ilmiah tidak dapat dipercaya.
Dari pengalaman-pengalaman tersebut, Maslow belajar membenci dan tidak
mempercayai agama, sehingga menjadi ateis.
Walaupun mempunyai pandangan ateis, ia merasakan gerakan anti-Yahudi
tidak hanya di masa kecilnya, tetapi juga semasa ia dewasa. Mungkin sebagai bentuk
pertahanan diri terhadap sikap anti-Yahudi dari teman-teman sekelasnya, ia menjadi
suka membaca buku dan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan akademis. Ia
senang membaca, tetapi untuk bisa selamat sampai ke perpustakaan umum, ia harus
menghindari geng-geng anti-Yahudi yang terbesar di lingkungan tempat tinggalnya di
Brooklyn dan yang tidak segan-segan untuk mengancam Maslow muda dan anak laki-
laki Yahudinya.
Menjadi berbakat secara intelektual membuat Abe menemukan kenyamanan
ketika berada di Boys High School di Brooklyn, dengan nilai-nilai akademisnya yang
menjadi sedikit di atas rata-rata. Pada saat yang sama, ia menjalin pertemanan yang
akrab dengan sepupunya, Will Maslow, seorang yang ramah dan aktif bergaul.
Melalui jalinan pertemuan ini, Abe mengembangkan beberapa kemampuan sosial dan
menjadi tergabung di beberapa aktivitas sekolah.
Setelah Maslow lulus dari Boys High School, sepupunya Will Maslow,
mendukungnya untuk mendaftar ke Cornell University, tetapi sayangnya ia tidak
percaya diri. Oleh karena itu, Maslow memilih City College of New York yang
kurang prestisius. Kira-kira pada saat yang bersamaan orang tuanya bercerai dan
hubungannya dengan sang ayah menjadi lebih dekat secara emosional. Ayah Maslow
menginginkan anak laki-laki tertuanya menjadi seorang pengacara dan ketika
berkualiah di City College, Maslow mendaftar di sekolah hukum. Akan tetapi, ia
meninggalkan kelas hukumnya di suatu malam dan meninggalkan kelas hukumnya di
suatu malam dan meninggalkan semua bukunya di kelas tersebut. Ia merasa hukum
terlalu sering berhadapan dengan orang-orang jahat dan tidak cukup peduli dengan
kebaikan. Meskipun awalnya kecewa, sang ayah akhirnya bisa menerima keputusan
Maslow untuk berhenti sekolah hukum.
Ketika menjadi mahasiswa di City College, Maslow mendapat nilai baik pada
mata kuliah filosofi dan mata kuliah lain yang menarik minatnya. Akan tetapi, pada
mata kuliah yang tidak disukai, ia mendapatkan nilai yang buruk, sehingga ia harus
menjalani masa percobaan akademis. Setelah tiga semester, ia pindah ke Cornell
University di bagian utara New York. Alasannya adalah untuk bisa lebih deket
dengan sepupunya, Will, yang berkuliah di tempat itu, tetapi juga untuk menjauhkan
dirinya dari sepupu dekatnya, Bertha Goodman, yang ia cintai. Di Cornell University,
nilai akademis Maslow juga hanya rata-rata. Profesor yang memberikan kuliah
pengantar psikologi adalah Edward Titchener, seorang pelopor ilmu psikologi yang
dihormati dan mengajar semua kelasnya dalam jubah akademis yang lengkap.
Maslow tidak terkesan. Ia menganggap pendekatan psikologi yang diambil Titchener
sebagai pendekatan yang dingin, “tidak bernyawa,” dan tidak berkaitan dengan
manusia.
Setelah menjalani satu semester di Cornell, Maslow kembali ke City College
of New York, kali ini alasannya adalah untuk bisa dekat dengan Bertha. Setelah
berhasil mengatasi penolakan orang tuanya, Abe dan Bertha akhirnya menikah. Orang
tua Maslow awalnya keberatan dengan pernikahan tersebut sebagaian besar karena
Maslow baru berusia 20 tahun dan Bertha berusia 19 tahun. Akan tetapi, ketakutan
terbesar mereka adalah karena pernikahan antar sepupu mungkin akan menghasilkan
kelainan genetis pada anak-anak mereka. Ketakutan ini merupakan sesuatu yang
ironis, terutama karena pada kenyataanya, orang tua Maslow juga merupakan sepupu
dan mereka mempunyai enam anak yang sehat. (Satu anak perempuan meninggal
dunia ketika masih bayi, tetapi bukan akibat adanya kelainan genetis).
Satu semester menjelang pernikahannya, Maslow mendaftar di University of
Wisconsin tempat ia memperoleh gelar sarjana filsafat. Selain itu, ia cukup tertarik
dengan pandangan behaviorisme dari John B. Watson dan ketertarikan ini
membuatnya mengambil mata kuliah psikologi yang cukup untuk memenuhi
persyaratan guna mengejar gelar doktor (Ph.D) di bidang psikologi. Ketika berstatus
mahasiswa S-2, ia bekerja bersama Harry Harlow, yang baru memulai penelitiannya
mengenai monyet. Penelitian untuk disertasi Maslow mengenai tingkah laku dominan
dan seksual dari monyet menunjukkan bahwa dominasi sosial merupakan motivasi
yang lebih kuat daripada kebutuhan seksual, setidaknya pada primata.
Pada Desember 1967, Maslow mengalami masalah pekerjaan. Beberapa
mahasiswanya tidak menyukai metode mengajarnya dan meminta lebih banyak
penerapan ilmu daripada sekedar pendekatan intelektual dan ilmiah. Selain masalah
pekerjaan, Maslow juga mengalami masalah kesehatan. Ia mengalami serangan
jantung yang parah, namun tidak sampai merenggut nyawanya. Ia kemudian
mengetahui bahwa penyakit aneh yang dialaminya lebih dari 20 tahun sebelumnya
merupakan serangan jantung yang tidak terdiagnosis. Sekarang, dengan kesehatan
yang kurang baik dan rasa kecewa terhadap situasi akademis di Brandeis, Maslow
meminta tawaran untuk bergabung dengan Saga Administrative Corporation di Menlo
Park, California. Ia tidak mempunyai pekerjaan khusus disana dan dapat bebas
berpikir serta menulis apapun yang ia inginkan. Ia menikmati kebebasan tersebut,
tetapi pada 8 Juni 1970, ia tiba-tiba terjatuh dan meninggal dunia akibat serangan
jantung yang hebat, di usia 62 tahun.
Maslow menerima banyak penghargaan semasa hidupnya, termasuk
keikutsertaannya pada pemilihan presiden American Psychological Association untuk
masa jabatan 1967-1968. Pada saat ia meninggal dunia, ia adalah seseorang yang
terkenal, bukan hanya dalam profesi psikologi, tetapi juga diantara orang-orang
terpelajar pada umumnya, terutama dibidang bisnis manajemen, pemasaran, teologi,
konseling, pendidikan, ilmu keperawatan, dan bidang yang berhubungan dengan
kesehatan lainnya.
Kehidupan pribadi Maslow diwarnai dengan rasa sakit, baik fisik maupun
psikologis. Pada masa remaja, ia adalah orang yang sangat pemalu, tidak bahagia,
terisolasi, dan tidak menyukai dirinya sendiri. Pada tahun-tahun belakangan, ia sering
berada dalam keadaan kesehatan fisik yang kurang baik, mengalami beberapa
penyakit, termasuk masalah jantung yang kronis. Jurnalnya (Maslow, 1979 dalam
Feist, 2017) dipenuhi dengan tulisan yang berkaitan dengan kesehatan yang tidak
baik. Pada jurnal terakhirnya (7 Mei 1970) sebulan sebelum kematiannya, ia
mengeluh tentang orang-orang yang mengharapkannya untuk menjadi pemimpin dan
pembicara yang pemberani. Ia menulis: “Saya tidak mempunyai mental ‘pemberani’.
Keberanian saya adalah cara untuk mengatasi segala bentuk kegugupan, kesopanan,
kelembutan, sifat pemalu dan hal ini membuat saya cepat lelah, tertekan, khawatir,
dan sulit tidur”.
C. Konsep Teori
Teori holistik-dinamis menganggap bahwa keseluruhan dari seseorang terus
menerus termotivasi oleh satu atau lebih kebutuhan dan bahwa orang mempunyai
potensi untuk tumbuh menuju kesehatan psikologi, yaitu aktualisasi diri. Untuk
meraih aktualisasi diri, orang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan di level yang
lebih rendah, seperti kebutuhan akan lapar, keamanan, cinta, dan penghargaan diri.
Hanya setelah orang merasa cukup puas pada masing-masing dari berbagai kebutuhan
ini, maka mereka bisa mencapai aktualisasi diri.
Hierarki Kebutuhan
1. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan paling mendasar dari setiap manusia adalah kebutuhan fisiologis,
termasuk di dalamnya adalah makanan, air, oksigen, mempertahankan suhu tubuh,
dan lain sebagainya. Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang mempunyai
kekuatan/pengaruh paling besar dari semua kebutuhan.
Ketika orang-orang tidak bisa memenuhi kebutuhan fisiologisnya, mereka
akan hidup terutama untuk kebutuhan tersebut dan berulangkali berusaha untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Orang-orang yang kelaparan akan berpikir tentang
makanan dan bersedia untuk melakukan apapun demi mendapatkan makanan
(Keys, Brozek, Henscehel, Mickelsen, & Taylor, 1950, dalam Feist, 2017).
Kebutuhan-kebutuhan fisiologis berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya
setidaknya dalam dua hal penting. Pertama, kebutuhan fisiologis adalah satu-
satunya kebutuhan yang dapat terpenuhi atau bahkan selalu terpenuhi. Orang-
orang bisa cukup makan sehingga makanan akan kehilangan kekuatannya untuk
memotivasi. Bagi orang yang baru saja selesai makan dalam porsi besar, pikiran
tentang makanan bahkan dapat menyebabkan perasaan mual. Kedua, kebutuhan
fisiologis adalah kemampuannya untuk muncul kembali. Setelah orang-orang
selesai makan, mereka lama-kelamaan menjadi lapar lagi; mereka terus-menerus
mengisi ulang pasokan makanan dan air; dan satu tarikan nafas harus dilanjutkan
oleh tarikan nafas berikutnya.
2. Kebutuhan akan Keamanan
Ketika orang telah memenuhi kebutuhan fisiologis mereka, mereka menjadi
termotivasi dengan kebutuhan akan keamanan, yang termasuk di dalamnya adalah
keamanan fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan, dan kebebasan dari
kekuatan-kekuatan yang mengancam, seperti perang, terorisme, penyakit, rasa
takut, kecemasan, bahaya, kerusuhan, dan bencana alam. Kebutuhan akan hukum,
ketenteraman, dan keteraturan juga merupakan bagian dari kebutuhan akan
keamanan (Maslow, 1970, dalam Feist, 2017).
Pada masyarakat yang tidak sedang mengalami perang, sebagian besar orang-
orang dewasa yang sehat dapat memenuhi kebutuhan akan keamanan mereka
setiap waktu sehingga menjadikan kebutuhan ini cenderung tidak penting. Akan
tetapi, anak-anak lebih sering termotivasi oleh kebutuhan akan rasa aman karena
mereka hidup dengan ketakutan akan gelap, binatang, orang asing, dan hukuman
dari orang tua. Selain itu, sebagian orang dewasa merasa cenderung tidak aman
karena ketakutan tidak masuk akal dari masa kecil terbawa hingga masa dewasa
dan menyebabkan mereka bertindak seolah mereka takut akan hukuman dari
orang tua.mereka menghabiskan lebih banyak energi daripada energi yang
dibutuhkan orang yang sehat untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan
ketika mereka tidak berhasil memenuhi kebutuhan rasa aman tersebut, mereka
akan mengalami apa yang Maslow (1970, dalam Feist, 2017) sebut sebagai
kecemasan dasar.
3. Kebutuhan akan Cinta dan Keberadaan
Setelah orang memenuhi kebutuhan fisiologis dan keamanan, mereka jadi
termotivasi oleh kebutuhan akan cinta dan keberadaan, seperti keinginan untuk
berteman; keinginan untuk mempunyai pasangan dan anak; kebutuhan untuk
menjadi bagian dari sebuah keluarga; sebuah perkumpulan, lingkungan
masyarakat, atau negara. Cinta dan keberadaan juga mencakup beberapa aspek
dari seksualitas dan hubungan dengan manusia lain dan juga kebutuhan untuk
memberi dan mendapatkan cinta (Maslow, 1970, dalam Feist, 2017).
Terdapat tiga kelompok dalam kebutuhan akan cinta dan keberadaan.
Kelompok pertama adalah orang yang kebutuhan akan cinta dan keberadaannya
terpenuhi sejak dari masa kecil tidak menjadi panik ketika cintanya ditolak. Orang
semacam ini mempunyai kepercayaan diri bahwa mereka akan diterima oleh
orang-orang yang penting bagi mereka, jadi ketika orang lain menolak mereka,
mereka tidak merasa hancur.
Kelompok kedua adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang yang tidak
pernah merasakan cinta dan keberadaan, dan oleh karena itu, mereka menjadi
tidak mampu memberikan cinta. Mereka jarang atau bahkan tidak pernah dipeluk
ataupun disentuh ataupun mendapatkan pernyataan cinta dalam bentuk apapun.
Maslow percaya bahwa orang semacam ini lama-kelamaan akan belajar untuk
tidak mengutamakan cinta dan terbiasa dengan ketidakhadiran cinta.
Kelompok ketiga adalah orang-orang yang menerima cinta dan keberadaannya
hanya dalam jumlah sedikit. Oleh karena hanya menerima sedikit cinta dan
keberadaan, maka mereka akan sangat termotivasi untuk mencarinya. Dengan kata
lain, orang yang menerima sedikit cinta mempunyai kebutuhan akan kasih sayang
dan penerimaan yang lebih besar daripada orang yang menerima cinta dalam
jumlah cukup atau yang tidak menerima cinta sama sekali (Maslow, 1970, dalam
Feist, 2017).
Anak-anak membutuhkan cinta supaya mereka dapat tumbuh secara psikologis
dan usaha mereka untuk mendapatkan kebutuhan ini biasanya dilakukan secara
jujur dan langsung. Orang dewasa juga membutuhkan cita, tetapi usaha mereka
untuk mendapatkannya kadang kala disembunyikan dengan baik.
4. Kebutuhan akan Penghargaan
Setelah orang-rang memenuhi kebutuhan akan cinta dan keberadaan, mereka
bebas untuk mengejar kebutuhan akan penghargaan, yang mencakup
penghormatan diri, kepercayaan diri, kemampuan, dan pengetahauan yang orang
lain hargai tinggi. Maslow (1970, dalam Feist, 2017) mengidentifikasi dua
tingkatan kebutuhan akan reputasi dan harga diri. Reputasi adalah persepsi akan
gengsi, pengakuan, atau ketenaran yang dimiliki seseorang, dilihat dari sudut
pandang orang lain. Sementara harga diri adalah perasaan pribadi seseorang
bahwa dirinya bernilai atau bermanfaat dan percaya diri. Harga diri
menggambarkan sebuah ‘keinginan, untuk memperoleh kekuatan, pencapaian atau
keberhasilan, kecukupan, penguasaan dan kemampuan, kepercayaan diri di
hadapan dunia, serta kemandirian dan kebebasan’. Harga diri didasari oleh
kemampuan nyata dan bukan hanya didasari oleh opini dari orang lain. Setelah
orang memenuhi kebutuhan mereka akan penghargaan, mereka siap untuk
mengejar aktualisasi diri yang merupakan kebutuhan tertinggi yang diungkapkan
oleh Maslow.
5. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Ketika kebutuhan di level rendah terpenuhi, orang secara otomatis beranjak ke
level berikutnya. Akan tetapi, setelah kebutuhan akan penghargaan terpenuhi,
orang tidak selalu bergerak menuju level aktualisasi diri. Awalnya, Maslow (1950,
dalam Feist, 2017) berasumsi bahwa kebutuhan akan aktualisasi diri muncul jika
kebutuhan akan penghargaan telah terpenuhi. Akan tetapi, pada tahun 1960-an, ia
menyadari bahwa banyak dari mahasiswa-mahasiswa di Brandeis dan kampus
lainnya di seluruh negeri telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan level rendah
mereka, termasuk reputasi dan harga diri, tetapi mereka tidak lalu berusaha untuk
mengaktualisasikan diri (Frick, 1982; Hoffman, 1988; Maslow, 1971, dalam Feist,
2017).
Kebutuhan akan aktualisasi diri mencakup pemenuhan diri, sadar akan semua
potensi diri, dan keinginan untuk menjadi sekreatif mungkin (Maslow, 1970,
dalam Feist, 2017). Orang-orang yang telah mencapai level aktualisasi diri
menjadi orang yang seutuhnya, memnuhi kebutuhan-kebutuhan yang orang lain
hanya lihat sekilas atau bahkan tidak pernah lihat sama sekali. Mereka sangat
alami, sama seperti alaminya binatang dan bayi, yaitu mereka mengekspresikan
kebutuhan-kebutuhan mendasar mereka dan tidak membiarkan diri mereka
mendapat tekanan dari kultur.
Orang-orang yang mengaktualisasikan diri dapat mempertahankan harga diri
mereka bahkan ketika mereka dimaki, ditolak, dan diremehkan oleh orang lain.
Orang-orang yang mengaktualisasikan diri tidak bergantung pada pemenuhan
kebutuhan cinta maupun kebutuhan akan penghargaan. Mereka menjadi mandiri
sejak kebutuhan level rendah yang memberi mereka kehidupan.
E. Psikoterapi
Bagi Maslow (1970, dalam Feist, 2017), tujuan terapi adalah agar klien-
kliennya dapat memiliki nilai-nilai kehidupan (nilai-nilai B: kejujuran, kebaikan,
keindahan, keutuhan atau melebihi dikotomi atau dua hal yang bertolak belakang,
perasaan hidup atau spontanitas, keunikan, kesempurnaan, kelengkapan, keadilan dan
keteraturan, kesederhanaan, kekayaan atau totalitas, membutuhkan sedikit usaha,
penuh kesenangan atau kejenakaan, dan kemandirian atau kebebasan), yaitu untuk
menghargai kejujuran, keadilan kebaikan, kesederhanaan, dan seterusnya. Untuk
mencapai tujuan ini, klien-klien harus terbebas dari ketergantungan mereka terhadap
orang lain sehingga keinginan alami mereka mencapai pertumbuhan dan aktualisasi
diri dapat aktif. Psikoterapi tidak bisa bebas dari nilai terapi harus dipertimbangkan
kenyataan bahwa semua orang mempunyai kecenderungan bawaan untuk berkembang
menuju kondisi yang lebih baik, yaitu aktualisasi diri.
Tujuan psikologi mengikuti dari posisi klien pada hierarki kebutuhan karena
kebutuhan fisiologis dan rasa aman merupakan kebutuhan yang kuat. Orang-orang
yang berada pada level ini tidak akan langsung termotivasi untuk mendapat
psikoterapi. Melainkan, mereka akan berusaha untuk memperoleh makanan dan
perlindungan.
Sebagian besar orang yang mencari terapi mempunyai dua kebutuhan karena
kebutuhan di level lebih rendah ini yang relatif terpenuhi dengan baik, tetapi
mempunyai kesulitan memenuhi kebutuhan akan cinta dan keberadaan. Oleh karena
itu, psikoterapi sebagian besar merupakan proses interpersonal. Melalui hubungan
interpersonal yang hangat dan penuh kasih dengan terapis, klien memperoleh
pemenuhan kebutuhan akan cinta dan keberadaan dan kemudian mendapatkan
perasaan percaya diri dan penghargaan diri. Maka dari itu, hubungan interpersonal
yang sehat antara klien dan terapis merupakan obat psikologis yang terbaik.
Hubungan yang saling menerima ini memberikan klien perasaan berharga untuk
mendapatkan cinta dan membantu klien membangun hubungan sehat lainnya diluar
terapi. Pandangan psikoterapi ini hampir mirip dengan psikoterapi dari Carl Rogers.
A. Simpulan
Teori kepribadian Maslow dibuat berdasarkan beberapa asusmsi dasar
mengenai motivasi. Pertama, Maslow mengadopsi sebuah pendekatan menyeluruh
pada manusia. Artinya, keseluruhan dari seseorang, bukan hanya satu bagian atau
fungsi, termotivasi. Kedua, motivasi biasanya kompleks yang berarti bahwa tingkah
laku seseorang dapat muncul dari beberapa motivasi yang terpisah.
Kepribadian yang sehat mental menurut Maslow ialah ketika seseorang
berhasil mencapai puncak hierarki, yaitu dengan aktualisasi diri. Tujuan psikologi
mengikuti dari posisi klien pada hierarki kebutuhan karena kebutuhan fisiologis dan
rasa aman merupakan kebutuhan yang kuat. Orang-orang yang berada pada level ini
tidak akan langsung termotivasi untuk mendapat psikoterapi. Melainkan, mereka akan
berusaha untuk memperoleh makanan dan perlindungan.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T.-A. (2017). Teori Kepribadian. (H. D. Pertiwi, Penerj.)
Jakarta: Salemba Humanika.