Anda di halaman 1dari 24

KONSELING DAN PSIKOTERAPI DENGAN PENDEKATAN

HUMANISTIK

Mata Kuliah Dasar-Dasar Konseling dan Psikoterapi

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3 KELAS B
1. Triana Wulandari 20170810083
2. Kevin Bayu Ardhany 20170810069
3. Zhulfikar Alief Ardiansyah 20170810094
4. Divy Regantara Samodra 20170810061
5. Rifkyanti Nabila 20170810105
6. Sisca Zadha Permatasari 20170810073
7. Patricia 20140800085

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2019
ABRAHAM MASLOW

1. Biorafi

Abraham Harold (Abe) Maslow dilahirkan dan dibesarkan di Brooklyn, New


York, 1 April1908. Anak sulung dari tujuh bersaudara. Orang tuanya imigran Yahudi
dari Rusia yang tidak berpendidikan tinggi. Dengan latar belakang pendidikan orang
tua Maslow yang tidak berpendidikan tinggi membuat orang tua Maslow memaksa
agar anak-anaknya dapat mencapai jenjang pendidikan tinggi (Hidayat, 2011, hlm.
164).

Maslow tidak terlalu dekat dengan salah satu dari orang tuanya, tetapi ia tidak
keberatan dengan ayahnya yang seringkali tidak ada di sampingnya. Ayahnya adalah
seorang imigran keturunan Rusia-Yahudi yang bekera mempersiapkan barel/tong.
Akan tetapi, kepada ibunya Maslow merasakan kebencian dan kemarahan yang besar,
tidak hanya pada masa kecilnya, tetapi juga hingga hari kematian Ibunya yang hanya
berjarak beberapa tahun dari kematian Maslow sendiri.walapun telah beberapa tahun
menjalani psikoanalisis, kebenciannya yang kuat terhadap Ibunya tak pernah hilang
dan ia menolak untuk menghadiri pemakaman Ibunya walaupun saudara kandungnya
yang tidak membenci Ibunya memintanya untuk hadir. Setahun sebelum kematiannya
Maslow menuliskan (dalamFeist & Feist, 2010, pp. 326:327) menuliskan
pemikirannaya dibuku hariannya:

Apa yang saya benar-benar benci dan tidak sukai bukan hanya penampilan
fisiknya, tetapi juga nilai-nilai dan pandangan mengenai dunia yang dianutnya,
kepelitannya, keegoisannya, tidak adanya cinta bagi orang lain di dunia, bahkan
bagi suaminya dan anak-anaknya sendiri… asumsinya bahwa orang lain yang
tidak sependapat dengannya telah melakukan kesalahan, ketidakpedulian
terhadap cucu-cucunya, keadaan yang tidak mempunyai teman,
kecerobohannya dan kejorokannya, kenyataan bahwa ia tidak mementingkan
keluarganya, bahkan orang tua saudara-saudara kandungnya sendiri… saya
selalu berpikir dari manakah asalnya ide-ide pemikiran saya, penekanan hal-hal
yang etis yang saya miliki, rasa humansime saya, penekanan pada hal-hal yang
baik yang saya miliki, kasih sayang, rasa pertemanan saya, dan hal-hal lainnya
yang ada di diri saya. Saya mengetahuia dengan pasti tentang akibat langsung
dari tidak adanya cint Ibu. Akan tetapi, keseluruhan filosofi hidup saya dan
semua penelitian serta teori saya juga berakar dari kebencian dan ketidaksukaan
terhadap segal sesuatu yang ia (Ibu) yakini (hlm. 958)

Edward Hoffman (dalam Feist & Feist, 2010, hlm. 327) melaporkan sebuah
cerita yang menggambarkan dengan jelas tentang kekejaman Rose Maslow. Suatu hari
Maslow muda menemukan dua anak kucing yang terlantar di depan rumahnya.
Tergerak oleh rasa kasihan, ia membawa anak-anak kucing tersebut pulang ke
rumahnya, menempatkan mereka di ruang bawah tanah, dan memberi mereka susu.
Ketika Ibunya mekihat anak-anak kucing ini, ia menjadi sangat marah dan walaupun
anak laki-lakinya melihat, ia menendang anak-anak kucing tersebut ke tembok ruang
bawah tanah hingga mereka mati (Feist & Feist, 2010).

Di sekolah, Maslow diperlakukan sebagai orang Negro, Maslow pernah


berkata, “Aku adalah anak laki-laki Yahudi kecil di lingkungan non-Yahudi dan
sedikit mirip negro yang mendaftarkan diri di sekolah orang kulit putih” (Hidayat,
2011).

Sejak kecil, maslow merasa berbeda dengan orang lain, dia merasa malu
dengan kondisi fisiknya karena memiliki tubuh yang kurus dan hidung yang besar
(Hidayat, 2011). Pada usia remaja, dia merasakan rendah diri yang sangat dalam
(inferiority complex) (Yusuf & Nurihsan, 2011). Dia mencoba untuk
mengkompensasinya dengan berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh
pengakuan, penerimaan, dan penghargaan dalam bidang atletik, namun tidak berhasil.
Dia kembali bersahabat dengan buku (Yusuf & Nurihsan, 2011).

Menurut Koeswara (1991, hlm. 110) diduga hasrat Maslow untuk menolong
orang lain agar bisa hidup dalam kehidupan yang lebih kaya (lebih bermakna) timbul
dari keinginan Maslow untuk memperoleh kehidupan yang kaya (lebih bermakna)
yang tak pernah ia peroleh di masa mudanya.

Sejak kecil dan remaja, Maslow sudah senang membaca. Pagi-pagi dia pergi ke
perpustakaan yang dekat dari rumahnya untuk meminjam buku. Apabila berangkat ke
sekolah, dia pergi satu jam sebelum masuk kelas. Selama satu jam tersebut ia
pergunakan untuk membaca buku yang dia pinjam dari perpustakaan (Yusuf &
Nurihsan, 2011).
Oleh karena berbakat secara intelektual, Abe atau Maslow menemukan
kenyamanan ketika berada di Boys High School di Brooklyn, dimana nilai-nilai
akademisnya menjadi sedikit tinggi dari nilai rata-rata(Feist & Feist, 2010). Pada saat
yang sama Abe menjalin pertemanan dengan Will Maslow sepupunya yang juga
bersekolah ditempat yang sama dengan Abe, Will merupakan seorang yang ramah dan
aktif bergaul sehingga melalui jalinan pertemanannya dengan Will, Abe
mengembangkan kemampuan sosialnya dan menjadi tergabung di beberapa aktivitas
di sekolah (Hoffman dalam Feist & Feist, 2010, hlm. 327).

Setelah Abe atau Maslow lulus dari Boys High School, sepupunya Will
mendukungnya untuk mendaftar ke Cornell University, akantetapi Maslow tidak
percayadiri untuk mendaftar (Feist & Feist, 2010, hlm. 327). Oleh karena itu Maslow
memilih City College of New York yang kurang terkemuka. Karena Ayahnya
menginginkan anak lelaki tertuanya menjadi seorang pengacara Maslow memilih
Hukum sebagai bidang stdinya ketika berkuliah di City College of New York (Feist &
Feist, 2010, hlm. 327). Tetapi ia meninggalkan kelas hukumnya disuatu malam dan
meninggalkan semua buku-bukunya dikelasnya. Walaupun pada awalnya Ayahnya
kecewa, tetapi pada akhirnya Ayahnya bisa menerima keputusan yang diambil
Maslow(Feist & Feist, 2010, hlm. 327).

Setelah tiga semester, ia pindah ke Cornell University di bagian utara New


York. Sebagian alasannya ialah untuk lebih dekat dengan sepupunya Will yang juga
berkuliah di tempat yang sama, dan untuk menjauhkan dirinya dari Bertha Goodman,
sepupunya yang ia cintai(Hoffman dalam Feist & Feist, 2010, hlm. 328).

Setelah menjalani satu semester di Cornell, Maslow kembali ke City College if


New York, kali ini alasannya untuk lebih dekat dengan Bertha. Ketika Maslow berusia
20 tahun dan Bertha berusia 19 tahun, mereka menikah setelah mengatasi penolakan
dari orang tua Maslow karena selain mereka masih terlalu dini untuk menikah,
pernikahan antar sepupu mungkin akan menghasilkan kelainan genetis pada anak-anak
mereka. Ketakutan ini merupakan hal yang ironis karena ke-dua orangtua Maslow pun
merupakan sepupu dan mempunyai enam anak yang sehat (Feist & Feist, 2010, hlm.
328).

Satu semester menjelang pernikahannya, Maslow mendaftar di University of


Wiconsin, dimana ia memperoleh gelar filosofi. Selain itu, karena ia cukup tertarik
dengan pandangan Behaviorisme Jhon B. Watson dan ketertarikannya ini membuat
Maslow mengambil mata-mata kuliah psikologi yang cukup untuk memnuhi
persyaratan untuk memenuhi gelar doktor (Ph.D) dibidang psikologi(Feist & Feist,
2010). Maslow sedemikian tertarik dengan Watson dan meyakini Behaviorisme dapat
menyelesaikan berbagai persoalan. Dengan mengikuti program-program yang
diadakan Watson, Maslow berharap dirinya bisa mengubah dunia. Selain Watson,
tokoh-tokoh yang dikagumi dan ingin diikuti oleh Maslow adalah Koffka, Dreisch,
dan Miklejohn. Namun ketiganya tidak ia jumpai karena mereka hanya guru besar
tamu. Kejadian ini menimbulkan kekecewaan yang besar bagi Maslow. Dan untuk
mengobati kekcewaan dirinya, Maslow kemudian menyusun disertasi doktor di bawah
bimbingan Harry F. Harlow mengenai pelaku primata dan seksualitas. Dia melakukan
penelitian lanjutan di Universitas Columbia. Disana ia bekerja sebagai asisten Edward
L. Thorndike, salah seorang tokoh behaviorisme terkenal (Hidayat, 2011). Setelah itu,
menjadi asociate profesor di Brooklyn College of New York sampai tahun 1951.
Ketika mengajar disana ia bertemu dengan Erich Fromm, Alfred Adler, Karen Horney,
antropolog Ruth Benedict, dan tokoh psikologi Gestalt Max Watheimer. Kedua orang
terakhir ialah tokoh yang dikagumi oleh Maslow, baik secara profesional maupun
pribadi. Maslow mulai membuat catatan tentang kehidupan mereka. Catatan ini
kemudian menjadi dasar dari penelitian seumur hidup dan pemikiran tentang
kesehatan mental dan potensi manusia. Maslow menulis secara ekstensif tentang
masalah konsep hierarki kebutuhan, metaneds, aktualisasi diri, dan pengalaman
puncak yang sebenarnya bersumber dari ide dari psikologi lain, tetapi dengan
pertambahan yang signifikan. Maslow menjadi pemimpin aliran psikologi humanistik
yang muncul pada 1950-an, yang ia sebut sebagai “kekuatan ketiga”- di luarteori
psikoanalisis dan behaviorisme.

Maslow menjadi profesor di Universitas Brandeis tahun 1951-1969, kemudian


menjadi anggota Laughin Institute di California. Dia meninggal karena serangan
jantung pada 8 Juni 1970. Pada tahun 1967, Asosiasi Humanis Amerika memberinya
gelar Humanist of the Year.
2. Konsep Kepribadian

Meskipun memiliki pengalaman yang buruk namun dalam teorinya Maslow


memandang manusia dengan optimis, memiliki kecenderungan alamiah untuk bergerak
menuju kearah aktualisasi diri. Hidayat (2011, hlm. 165) mengungkapkan “meskipun
memiliki kemampuan jahat dan merusak, tetapi bukan merupakan esensi dasar dari manusia.
Sifat-sifat jahat muncul dari rasas frustasi terhadap pemenuhan kebutuhan dasar.” Contohnya
ketika kebutuhan akan makanan dan tempat tinggal tidak terpenuhi, maka untuk memenuhi
kebutuhannya dilakukan dengan cara mencuri agar dapat terpenuhinya kebutuhan tersebut.

“Maslow berpendapat bahwa seseorang akan memiliki kepribadian yang sehat,


apabila ia telah mampu untuk mengaktualisaikan dirinya secara penuh” (Yusuf & Nurihsan,
2011, hlm. 161). Yusuf dan Nurihsan (2011, hlm. 161) mengemukakan bahwa “Dia
mengemukakan teori motivasi bagi self-actualizing person dengan nama metamotivation,
meta-needs, B-motivation, atau being values (kebutuhan untuk berkembang).”

3. Struktur Kepribadian

Maslow (dalam Jaenudin, 2015,hlm. 128) mengungkapkan bahwa “Manusia di motivasikan


oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk setiap spesies, tidak berubah dan
tidak berasal dari sumber genetis atau naluriah”. Dapat diartikan bahwa kepribadian manusia
bersumber dari motivasi untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Jaenudin (2015, hlm.139)
“Dalam hierarkinya Maslow membedakan antara kebutuhan dasar (basic-needs) dan
kebutuhan tinggi (meta-kebutuhan atau meta-needs)”.

Kebutuhan dasar atau kebutuhan konatif adalah kebutuhan yang memiliki karakter
mendorong atau karakter memotivasi(Feist & Feist, 2010).Kebutuhan dasar sering juga
disebut dengan dengan deficiency needs atau menurut koeswara (1991, hlm. 128) diartikan
dengan motif kekurangan yaitu yang menyangkut dengan kebutuhan fisiologis dan rasa aman.
Jika individu kekurangan sesuatu atau ia mengalami defisit maka ia akan merasakan sangat
membutuhkan hal tersebut, dan apabila sudah terpenuhi maka ia tidak akan merasakan apa-
apa lagi (Boeree, 2010, hlm. 254). Sedangkan kebutuhan tinggi atau dalam buku yang ditulis
oleh koeswara (1991, hlm. 128) disebut dengan metaneeds atau being needs (B-needs)adalah
motif-motif yang mendorong individu untuk mengungkapkan potensi-potensinya. Untuk
lebih jelas lagi akan dibahas pada bahasan berikut:
a. Kebutuhan Dasar
Maslow (dalam Koeswara, 1991, hlm. 118) mengajukan gagasan bahwa kebutuhan
yang pada manusia merupakan bawaan, dan tersusun berdasarkan tingkatan yang
disebut dengan hierarki kebutuhan. Dan susunan kebutuhan-kebutuhan dasar yang
bertingkat atau yang disebut dengan hierarki kebutuhan merupakan organisasi yang
mendasari motivasi manusia (Koeswara, 1991, hlm. 119).
1. Kebutuhan Dasar Fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang paling mendasar dari setiap
manusia, termasuk dialamnya adalah makanan, air, oksigen, mempertahankan
suhu tubuh, dan lain sebagainya (Feist & Feist, 2010, hlm. 332). Menurut
Jaenudin (2015, hlm. 129) kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang
paling dasar untuk mempertahankan hidup secara fisik. Apabila seseorang
mengalami kekurangan makanan atau kelaparan, harga diri, dan cinta, ia akan
memburu makanan terlebih dahulu dan mengabaikan kebutuhan lain, sampai
kebutuhan fisiologisnya benar-benar terpenuhi. Perbedaan kebutuhan fisiologis
dengan kebutuhan lainnya menurut Feist dan Feist (Feist & Feist, 2010, hlm.
333) ialah, kebutuhan fisiologis memiliki karakteristik :
 Kebutuhan fisiologis merupakan satu-satunya kebutuhan yang selalu
terpenuhi. Orang-orang bisa cukup makan sehingga makanan akan
kehilangan kekuatannya untuk memotivasi. Bagi orang yang baru selesai
makan dalam porsi besar, pikiran tentang makanan bahkan dapat
menyebabkan perasaan mual.
 Kebutuhan fisiologis memiliki kekuatan untuk muncul kembali
(recurring nature). Setelah seseorang selesai makan, mereka lama-
kelamaan akan merasa lapar lagi; mereka akan terus menerus mengisi
ulang pasokan makanan dan air; satu tarikan napas akan dilanjutkan oleh
tarikan napas berikutnya. Berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan di level
lainnya, tidak muncul secara terus-menerus.
2. Kebutuhan rasa aman
Setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, muncul kebutuhan akan rasa aman yang
menuntut untuk dipenuhi. Menurut Maslow (dalam Koeswara, 1991, hlm. 121)
yang dimaksud dengan kebutuhan akan rasa aman, ialah kebutuhan yang
mendorong individu untuk memperoleh ketenteraman, kepastian, dan
keteraturan dati lingkungannya. Maslow mengemukakan (dalam Koeswara,
1991, hlm. 121) kebutuhanakan rasa aman sangat nyata dan bisa daiamati pada
bayi dan anak-anak karena ketidak berdayaan mereka. Sebagai contoh seorang
bayi akan memeberi respon ketakutan salah satunya dengan menangis apabila ia
tiba-tiba mendengar suara keras yang mengejutkan. Menurut Koeswara (1991,
hlm. 121) kebutuhan rasa aman dapat berebentuk usaha-usaha untuk
memperoleh perlindungan dan keselamatan kerja, penghasilan tetap atau
membayar asuransi.
3. Kebutuhan cinta dan kasih sayang
Setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman terpenuhi,
seseorang akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang.
Kebutuha kasih sayang atau menurut Koeswara (1991, hlm. 122) disebut dengan
kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki adalah kebutuhan yang mendorong
individu untuk mengadakan hubungan efektif atau ikata emosional dengan
individu lain, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis, baik di
lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat.
Maslow (dalam Koeswara, 1991, hlm. 123) secara tegas menolak pendangan
Freud yang megatakan bahwa cinta dan afeksi itu berasal dari naluri seksual
yang di sublimasikan. Menurut Maslow (dalam Koeswara, 1991, hlm. 123) cinta
dan seks adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Maslow (dalam Koeswara,
1991, hlm. 123) juga menekankan bahwa kebutuhan akan cinta mencakup
keinginan untuk mencintai dan dicintai. Maslow (dalam Koeswara, 1991, hlm.
123) akhirnya menyimpulkan bahwa antara kepuasan cinta dan afeksi di masa
kanak-kanak serta kesehatan mental di masa depan terdapat korelasi yang
signifikan.
4. Kebutuhan penghargaan
Maslow (dalam Koeswara, 1991, hlm. 124) membagi Kebutuhan penghargaan
kedalam dua bagian, yaitu:
 Penghargaan dari diri sendiri, mencakup hasrat untuk memeperoleh
kompetensi, rasa percaya diri, kekuatan pribadi, adekuasi, kemandirian,
dan kebebasan.
 Bagian yang kedua adalah penghargaan dari orang lain, meliputi antara
lain prestasi. Individu membutuhkan penghargaan atas apa yang telah
dilakukannya.
Keempat kebutuhan (kebutuhan konatif) yang telah dipaparkan diatas di sebut oleh
Maslow (dalam Boeree, 2010, hlm. 254) dengan sebutan defisit needs (D-needs). Jika
individu kekurangan sesuatu, maka individu tersebut merasa membutuhkan sesuatu
tersebut. Tapi apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut telah terpenuhi, kebutuhan-
kebutuhan tersebut tidak lagi mendorong untuk dipenuhi.

5. Kebutuhan Ilmu Penetahuan


Kebutuhan ilmu pengetahuan atau menurut Feist dan Feist (2010, hlm. 337)
Maslow menyebutnya dengan sebutan cognitif needs (kebutuhan kognitf) adalah
keinginan untuk mengetahui, keinginan untuk memecahkan misteri, untuk
memahami dan untuk menjadi penasaran. Menurut Jaenudin (2015, hlm. 134-
135) kebutuhan kognitif dapat diekspresikan melalui keinginan untuk
memahami, menganalisis, mengevaluasi, menjelaskan, mencari sesuatu baru
atau suasana baru dan meneliti. Apabila kebutuhan kognitif tidak terpenuhi
menurut Feist dan Feist (2010, hlm. 337) maka semua kebutuhan pada hierarki
kebutuhan Abraham Maslow terancam tidak terpenuhi, karena pengetahuan
merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk mengetahui masing-masing
kebutuhan konatif tersebut.
6. Kebutuhan estetika
Kebutuhan estetika berbeda dengan kebutuhan konatif yang bersifat universal,
kebutuha estetika tidaklah bersifat universal (Feist & Feist, 2010, hlm. 338).
Akan tetapi Maslow (dalam Jaenudin, 2015, hlm.135) menemukan ada
beberapa orang termotivasi oleh kebutuhan akan keindahan begitu mendalam
dan pengalaman yang menyenangkan secara estetis. Menurut Maslow (dalam
Jaenudin, 2015, hlm.136) seseorang yang sehat mentalnya ditandai dengan
kebutuhan keteraturan keserasian, atau keharmonisan dalam setiap aspek
kehidupannya, seperti cara berpakaian yang rapih, menjaga ketertiban lalu lintas
dan sebagainya. Sebaliknya seseorang yang kurang sehat mentalnya, atau
sedang mengalami gangguan emosional dan stres, kurang memerhatikan
kebersihan, dan kurang apresiatif terhadap keteraturan dan keindahan.
7. Kebutuhan aktualisasi
Aktualisasi diri merupakan perkembangan yang paling tinggi dan
pengoptimalan semua bakat individu dan pemenuhan semua kualitas dan
kapasitas individu (Schultz dalam Jaenudin, 2015, hlm. 137). Kebutuhan akan
aktualisasi diri mencakup pemenuhan diri, sadar aka potensi, diri, dan keinginan
untuk menjadi sekreatif mungkin(Maslow dalam Feist & Feist, 2010, hlm. 336).
Untuk dapat memenuhi kebuthan aktualisasi, kebutuhan di tingkat rendah harus
sudah terpenuhi. Ketika kebutuhan di tingkat rendah sudah terpenuhi, seseorang
secara otomatis beranjak ke pemenuhun kebutuhan di tingkat selanjutnya(Feist
& Feist, 2010, hlm. 335). Akan tetapi setelah kebutuhan kebutuhn akan
penghargaan terpenuhi, orang tidak selalu bergerak ke arah aktualisasi diri
(Feist & Feist, 2010, hlm. 335).
b. Kebutuhan Tinggi
Dalam hierarki Abraham Maslow dibedakan antara kebutuhan dasar (deficit needs)
dan kebutuhan tinggi (being needs). B-needsadalah kebutuhan untuk aktualisasi diri
(Boeree, 2010, hlm. 257). Maslow meenyatakan (dalam Feist & Feist, 2010, hlm.
343) bahwa orang-orang yang mengaktualisasi diri termorivasi oleh “Prinsip hidup
yang abadi” yang ia sebut sebagai Nilai-nilai B (being values). Menurut Feist dan
Feist (2010, hlm. 344) nilai-nilai B ini merupakan indikator dari kesehatan psikologis
dan merupakan kebalikan dari D-needs yangmemotivasi orang-orang non-aktualisasi
diri. Maslow (dalam Feist & Feist, 2010, hlm. 344) menamakan nilai-nilai B sebagai
“metakebutuhan” (meta needs) untuk menunjukan bahwa nilai-nilai ini merupakan
level tertinggi dari kebutuhan.
Maslow (Jaenudin, 2015, hlm. 140) mengemukakan terdapat tujuh belas
metakebutuhan, yang apabila tidak terpenuhi akan menjadi meta-patologi (penyakit
kejiwaan). Tujuh belas metakebutuhan yang juga disebut nilai-nilani B antara lain :
1. Kebenaran, dengan meta-patologinya ketidakpercayaan, sinisme, dan
skeptisisme.
2. Kebaikan, dengan meta-patologinya kebencian, penolakan, kejijikan,
kepercayaan hanya pada untuk diri.
3. Keindahan dengan meta-patologinya kekasaran, kegelisahan, kehilangan
selera, rasa suram.
4. Kesatuan, keparipurnaan, dengan meta-patologinya disintegrasi.
5. Transendensi-dikotomi, dengan meta-patologinya pikiran hitam/putih,
pandangan salah satu dari dua, pandangan sederhana tentang kehidupan.
6. Penuh energi; proses, dengan meta-patologinya mati, menjadi robot,
terdeterminasi, kehilangan emosi dan semangat, kekosongan pengalaman.
7. Keunikan, dengan meta-patologinya kehilangan perasaan diri dan
individualitas, anonim.
8. Kesempurnaan, dengan meta-patologinya keputusasaan, tidak dapat bekerja.
9. Kepastian, dengan meta-patologinya kacau-balau, tidak dapat diramalkan.
10. Penyelesaian; penghabisan, dengan meta-patologinya ketidaklengkapan,
keptusaasaan, berhenti berjuang dan menanggulangi.
11. Keadilan, dengan meta-patologinya kemarahan, sinisme, ketidakpercayaan,
pelenggaran hukum, mementingkan diri sendiri.
12. Tata tertib, dengan meta-patologinya ketidakamanan, ketidakwaspadaan,
kehati-hatian.
13. Kesederhanaan, dengan meta-patologinya terlalu kompleks, kekacauan,
kebingungan, dan kehilangan orientasi.
14. Kekayaan; keseluruhan; kelengkapan, dengan meta-patologinya depresi,
kegelisahan, kehilangan perhatian pada dunia.
15. Tanpa susah payah; santai; tidak tegang, dengan meta-patologinya kelelahan,
ketegangan, kecanggungan, kejanggalan, kekakuan.
16. Bermain; kejenakaan, dengan meta-patologinya keseraman, depresi,
kesedihan.
17. Mencukupi diri sendiri; mandiri, dengan meta-patologinya tidak berarti, putus
asa, hidup sia-sia.

4. Dinamika kepribadian

Kepribadian menurut Maslow seperti yang telah disebutkan dalam struktur dan
konsep kepribadian dalam bahasan sebelumnya bahwa Maslow (dalam Koeswara, 1991, hlm.
118) yakin banyak tingkah laku atau kepribadian manusia yang bisa diterangkan dengan
memperhatikan motivasi individu untuk mencapai tujuan-tujuannya yang membuat
kehidupan individu menjadi bermakna dan tercapainya kepuasan. Menurut Koeswara (1991,
hlm. 118) berdasarkan fakta yang ada menyebutkan bahwa jantung dari teori Maslow ialah
proses motivasional manusia terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Menurut Maslow (dalam Koeswara, 1991, hlm. 118) manusia merupakan makhluk yang tidak
pernah berada dalam kepuasan, ketika satu kebutuhan sudah terppenuhi maka ia akan
termotivasi untuk mencapai kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi, begitu seterusnya,
sehingga kepuasan manusai bersifat sementara. Berdasarkan hal tersebut Maslow
mengajukan gagasan bahwa kebutuhan yang pada manusia adalah bawaan tersusun menurut
tingkatan yang disebut dengan hierarki kebutuhan. Dalam pandangan Maslow (dalam
Koeswara, 1991, hlm. 119) susunan kebutuhan-kebutuhan dasar yang bertingkat itu
merupakan organisasi yang mendasari motivasi manusia, yang menghasilkan dinamika
kepribadian. Dan menurut Maslow (dalam Koeswara, 1991, hlm. 119) kualitas perkembangan
individu dapat dilihat dari tingkatan kebutuhan atau corak pemuasan pada diri individu
tersebut. Semakin individu apat memenuhi mampu memuaskan kebutuhan-kebuthannya yang
tinggi, maka individu tersebut semakin mampu mencapai individualitas, matang dan berjiwa
sehat, begitu pula sebaliknya. Feist dan Feist (2010, hlm. 337) mengatakan “Pemenuhan
kebutuhan konatif, estetika, dan kognitif merupakan dasar bagi tercapainya kesehatan fisik
dan psikologis seseorang. Jika kebuthan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan
mengarah pada penyakit”.

5. Implementasi dalam Konseling

Maslow dalam melakukan konseling penerapkan teori kebutuhan yang di bagi menjadi 5,
menurutnya manusia adalah bawaan tersusun menurut tingkatan yang disebut dengan hierarki
kebutuhan. Dalam pandangan Maslow (dalam Koeswara, 1991, hlm. 119) susunan
kebutuhan-kebutuhan dasar yang bertingkat itu merupakan organisasi yang mendasari
motivasi manusia, yang menghasilkan dinamika kepribadian. Dan menurut Maslow (dalam
Koeswara, 1991, hlm. 119) kualitas perkembangan individu dapat dilihat dari tingkatan
kebutuhan atau corak pemuasan pada diri individu tersebut.
Carl Rogers

1. Biografi

Kepribadian merupakan keseluruhan dari seseorang dalam bereaksi dan berinteraksi


dengan individu yang lainnya. Kepribadian juga dapat dideskripsikan sebagai sifat yang
diperlihatkan seseorang yang dapat diukur. Di dalam ilmu psikologi, terdapat beberapa teori-
teori yang membahas mengenai kepribadian dari berbagai ahli psikolog yang ada. Setiap teori
kepribadian yang ada, tentunya memiliki pendapat serta bahasannya masing-masing. Teori
adalah salah satu hal yang cukup penting di dalam sebuah ilmu pengetahuan, termasuk
pengetahuan mengenai kepribadian. Tanpa adanya teori kepribadian maka usaha untuk
memahami perilaku seseorang akan sulit. Teori kepribadian merupakan sekumpulan
anggapan ataupun konsep yang mana berkaitan satu sama lainnya tentang tingkah laku dari
manusia.

Salah satunya yang cukup populer yaitu Carl Rogers, yang merupakan psikoterapis
yang dalam sesi terapi nya melibatkan peneliti menggunakan tape recorder di tahun 1940an.
Dengan metode tersebut, orang-orang mulai belajar mengenai hakikat dari psikoterapi serta
proses beroperasinya. Model terapi ini lah yang kemudian dikembangkan oleh Rogers dan
dikenal dengan client centered.

Carl Rogers sendiri merupakan salah satu tokoh dalam bidang psikologi humanistik,
yang mana memiliki pandangan jika setiap orang memiliki tanggung jawab atas hidup dan
kedewasaannya sendiri. Carl Rogers berpendapat bahwa semua orang bebas dalam melatih
serta mengatur diri nya sendiri. Namun tentunya setiap orang harus bertanggung jawab atas
pengontrolan diri dari atas segala sesuatu yang mereka lakukan. Teori yang dikemukakan
Carl Rogers ini memang banyak digunakan dalam bidang konseling & terapis

2. Struktur Kepribadian

Dalam teorinya, Rogers lebih mementingkan dinamika dibandingkan dengan struktur


kepribadian. Dari awal, Rogers lebih memfokuskan diri pada cara bagaimana kepribadian
dapat berubah dan berkembang. Beliau tidak menekankan pada aspek struktur kepribadian.
Namun meskipun begitu, terdapat 19 rumusannya menjelaskan mengenai hakikat kepribadian
yang diperoleh 3 konstruk yang mana menjadi dasar penting dalam teori Self.

Carl Rogers mendeskripsikan teori the self sebagai konstruk yang menjelaskan
bagaimana individu melihat dirinya sendiri. Konsep pokok teori kepribadian yang
dikemukakan oleh Rogers ini adalah self, yang mana menjadi struktur kepribadian itu sendiri.
Self terbagi menjadi dua, yaitu Real Self serta Ideal Self. Real self adalah kondisi individu
saat ini, sedangkan ideal self adalah kondisi individu yang mana ingin dilihat dan dicapai
oleh individu itu sendiri. Perhatian dna fokus Rogers lebih mengutamakan pada cara
organisme serta self itu sendiri dapat dibuat menjadi lebih kongruen.

Konsep self merupakan konsep menyeluruh yang mana tergorganisir dan tersusun atas
persepsi ciri-ciri mengenai “I” (aku sebagai subjek atau objek) serta persepsi hubungan “I”
dengan lainnya dalam berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang berkaitan di dalam
persepsi tersebut. Konsep self lebih menggambarkan mengenai konsep orang terhadap
dirinya sendiri serta ciri-ciri yang dianggap dalam bagian dirinya. Selain itu, konsep self juga
menggambarkan mengenai pandangan dirinya yang berkaitan dengan perannya yang ada di
dalam kehidupan serta kaitannya dengan interpersonal.

3. Dinamika Kepribadian

Menurut Rogers, organisme memiliki sebuah kekuatan yang menjadi pendorong tunggal yang
mendorong aktualisi diri serta menjadi satu tujuan tunggal dalam hidup untuk menjadi
individu yang teraktualisasikan. Pengalaman menjadi sebuah penilaian apakah dapat
memberikan kepuasan atau tidak, pada awalnya secara fisik namun berkembang menjadi
sebuah kepuasan emosional dan sosial. Sehingga konsep self tersebut akan mencakup
gambaran mengenai siapa dirinya sebenarnya, siapa seharusnya dirinya tersebut, serta siapa
dirinya kemungkinan. Kesadaran dalam memiliki konsep diri ini kemudian akan
mengembangkan penerimaan positif.

Sebagaimana ahli humanistik pada umumnya, Rogers merumuskan dasar teori dinamika
kepribadian ini pada konsep aktualisasi diri. Aktualisasi diri merupakan daya yang
mendorong potensi individu serta pengembangan diri, yang mana sifatnya adalah bawaan dan
menjadi ciri dari seluruh manusia. Aktualisasi diri disini lah yang mendorong manusia hingga
ke tahap pengembangan yang optimal serta menghasilkan ciri unik manusia misalnya saja
seperti inovasi, kreatifitas, dan lainnya.

Untuk dapat bergerak ke arah yang mana akan mendapatkan tujuannya, manusia harus
mampu membedakan antara perilaku progresif dan perilaku regresif. Perilaku progresif
merupakan perilaku yang mana mengarah pada aktualisasi diri sedangkan perilaku regresif
merupakan perilaku yang menghalangi tercapainya sebuah aktualisasi diri.

4. Teori dan teknik koseling roger

Teori person centered atau sering juga di sebut teori client centered merupakan salah
satu cabang teori humanistik yang dikembangkan oleh Carl R. Roger. Rogers dalam teori ini
menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Rogers percaya manusia mampu
bersosialisasi dan bergerak maju, berjuang untuk berfungsi penuh. Rogers menentang apa
yang disebut sebagai keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam pandangan psikoanalitik
tentang manusia dan di lain pihak menentang konsepsi menerima apa adanya seperti yang
digambarkan dalam behaviorisme. Psikologi humanistik lebih penuh harapan dan optinistik
terhadap manusia. Teori ini berpusat pada diri person dan tidak mengarahkan seperti dalam
kutipan dibawah ini :

Berarti bahwa ahli terapi telah mampu masuk kedalam hubungan yang sangat pribadi
dan subjektif dengan klien ini yang berhubungan tidak sebagai ilmuan terhadap objek
penelitian,tidak sebagai dokter yang memberikan diagnosis dan pengobatan,- tetapi sebagai
pribadi dengan pribadi.’ (Rogers,1961 dalam teori-teori holistic).

B. Ciri-Ciri Person Centered

Dalam ciri-ciri ini Rogers tidak memaparkan teori Person-Centered sebagai suatu
pendekatan terapi yang tetap dan tuntas. Orang lain diharapkan dalam teori tersebut tidak
untuk di doktrin atau sebagai tempat percobaan yang berkaitan dengan proses
terapi.Pendekatan person-centered di tujukan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien
untuk menemukan berbagai cara menghadapi kehidupan secara nyata. Klien , adalah sebagai
orang yang paling mengetahui jati dirinya sendiri dan menemukan tingkah laku yang lebih
pantas untuk dirinya.

Dalam dunia nyata seorang klien ini termasuk dalam pendekatan person-centered. Untuk
memahami seorang klien kita harus berusaha dengan mempunyai empati yang cermat.
Dengan cara empati dan usaha untuk memahami kepribadian seorang klien, terapis
memberikan perhatian dalam persepsi klien dan persepsi terhadap dunia luar. Prinsip-prinsip
dalam terapi person-centered di terapkan pada klien yang fungsi psikologisnya berada pada
taraf yang relatif normal maupun pada klien yang penyimpangan psikologisnya lebih besar.

Menurut pendekatan person-centered, psikoterapi hanyalah salah satu contoh dari


hubungan pribadi yang saling menguntungkan kepada orang lain (konstruktif). Klien
mengalami pertumbuhan psikoterapeutik di dalam dan melalui hubungan dengan seseorang
yang membantunya melakukan apa yang tidak bisa dia lakukan sendiri. Ini adalah
hubungannya antara konselor yang baik dan sejalan untuk menyeimbangkan tingkah laku dan
ekspresi dalam perasaan-perasan yang tidak di pengaruhi orang lain, konselor harus bersikap
menerima dan berempatik yang bertindak sebagai agen perubahan terapi untuk klien.

Rogers mengemukakan bahwa ada sikap-sikap tertentu pada pihak klien


(ketulusan,kehangatan,penerimaan yang nonposesif, dan ber-empati) yang membentuk
kondisi-kondisi yang memadai bagi keefektifan bagi terapi kesembuhan pada klien. Terapi
person-centered masuk dalam konsep bahwa fungsi terapis ini adalah tampil langsung dan
bisa dijangkau oleh klien serta memusatkan pengalaman di sini dan sekarang yang tercipta
melalui hubungan antara klien dan terapis.

Teori person-centered dikembangkan melalui penelitian tentang proses dan hasil terapi.
Teori ini bukan suatu teori yang tertutup, melainkan suatu teori yang tumbuh melalui
observasi-observasi konseling dan yang secara sinambung berubah sejalan dengan
peningkatan pemahaman terhadap manusia dan proses terapi yang sudah di hasilkan oleh
penelitian yang baru.Jadi disini dijelaskan terapi person-centered bukanlah sekumpulan
teknik, juga bukan suatu doktrin. Pendekatan ini berakar pada sekumpulan sikap dan
kepercayaan yang di tunjukkan oleh terapis. Dan disini terapis dan klien harus saling
manusiawi dan berpartisipasi dalam pengalaman hidupnya.
CARL GUSTAV JUNG

1. Biografi

Dikenal mengembangkan Analytical Psychology. Sebagai murid Freud, Jung juga


mengajukan keberatan terhadap beberapa konsep utama Freud yang menyebabkan hubungan
keduanya renggang dan retak. Perbedaan utama Jung dan Freud terletak pada pandangan
mereka tentang ketidaksadaran. Meskipun keduanya sama-sama menekankan ketidaksadaran
sebagai penentu perilaku manusia (bahkan Jung lebih kuat dalam hal ini), tapi mereka
berbeda posisi tentang asal ketidaksadaran ini. Freud mengatakan bahwa unsur seksual adalah
faktor utama dan dominan dalam ketidaksadaran sementara Jung sangat tidak setuju dengan
pandangan ini dan menyatakan bahwa sumber ketidaksadaran adalah warisan dari nenek
moyang sehingga sifatnya sosial dan tergantung kelompok ras.

Jung menekankan pada aspek ketidaksadaran dengan konsep utamanya, collective


unconscious. Konsep ini sifatnya transpersonal, ada pada seluruh manusia. Hal ini dapat
dibuktikan melalui struktur otak manusia yang tidak berubah. Collective unconscious terdiri
dari jejak ingatan yang diturunkan dari generasi terdahulu, cakupannya sampai pada masa
pra-manusia. Misalnya, cinta pada orangtua, takut pada binatang buas,dan lain-lain.
Collective unconscious ini menjadi dasar kepribadian manusia karena didalamnya terkandung
nilai dan kebijaksanaan yang dianut manusia.

Ide-ide yang diturunkan atau primordial images disebut sebagai archetype. Terbentuk
dari pengalaman yang berulang dalam kurun waktu yang lama. Ada beberapa archetype
mendasar pada manusia, yaitu persona, anima, shadow, self. Archetype inilah yang menjadi
isi collective unconsciousness.

Yang dimaksud dengan psyche ialah totalitas segala peristiwa psikis baik yang disadari
maupun yang tidak disadari. Namun, tidak seperti Freud, Jung menegaskan bahwa
kebanyakan porsi terpenting alam bawah sadar bermuara bukan dari pengalaman-pengalaman
pribadi individual namun dari eksistensi manusia yang jauh di masa lalu, sebuah konsep yang
disebut Jung sebagai alam bawah sadar kolektif. Jadi bagi Jung, alam bawah sadar dan alam
bawah sadar personal tidak begitu diprioritaskan. Menurut Jung, jiwa manusia terdiri dari dua
alam, yaitu:

1. Alam sadar (kesadaran)


2. Alam tidak sadar (ketidaksadaran)
Fungsi keduanya adalah penyesuaian. Alam sadar sebagai penyesuaian terhadap dunia luar,
sedangkan alam tak sadar sebagai penyesuaian terhadap dunia dalam. Batas antara kedua
alam itu tidak tetap, dapat berubah. Maksudnya, luas daerah kesadaran atau ketidaksadarn itu
dapat bertambah atau berkurang. Dalam kenyataannya, daerah kesadaran itu hanya
merupakan sebagian kecil saja dari alam kejiwaan.

1. Struktur Alam Sadar (kesadaran)


Kesadaran adalah pusat dari ego yang terdiri dari ingatan, pikiran dan perasaan.[1] Ego inilah
yang memberi petunjuk bagaimana individu berperilaku. Ego berisi persepsi-persepsi dan
perasaan-perasaan sadar.Ada dua komponen pokok kesadaran, yaitu sebagai berikut.

a. Sikap Jiwa
Jung mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan untuk berinteraksi atau bereaksi ke arah
yang khas.[2] Jung melihat bahwa orang memiliki sikap yang terintrovesi sekaligus
terekstraversi.

 Introversi
Menurut Jung, introversi adalah membalikkan energi psikis ke dalam sebuah orientasi
terhadap subjektivitas. Orang yang introver selalu mendengarkan dunia batin mereka dengan
semua bias, fantasi, mimpi, dan persepsi yang terinduvidualisasikan. Segala yang
dilakukannya didasarkan pada pandangan subjektif mereka.

 Ekstraversi
Berlawanan dengan introversi, ekstraversi adalah sikap yang mengarahkan energi psikis
keluar sehingga seseorang diorientasikan menuju sesuatu yang objektif dan menjauh dari
sikap yang subjektif. Orang yang ekstrover lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar
mereka daripada dunia batin mereka sendiri. Tidak semua manusia intorver total atau
ekstrover total. Seorang introver mirip jungkat-jungkit yang tidak seimbang karena lebih
berat pada sisi introver dan lebih ringan sisi ekstrover, begitu pun sebaliknya. Sementara
orang yang sehat secara psikologis mencapai keseimbangan pada dua sikap ini.

Freud secara pribadi merupakan seorang yang introver selalu menyesuaikan diri dengan
mimpi-mimpi dan kehidupan fantasinya dalam kesendirian. Namun Jung melihat bahwa teori
Freud bersifat ektrover karena dia mereduksi pengalaman-pengalaman manusia hanya kepada
dunia eksternal seks dan agresi. Jung, tentunya, melihat terorinya sendiri sebagai teori yang
seimbang, sanggup menerima baik sisi objektif maupun subjektif.
b. Fungsi Jiwa
Jung memaksudkan fungsi jiwa sebagai suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori
tiada berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jung membedakan empat fungsi pokok
menjadi dua, yakni rasional dan irasional. Rasional bekerja dengan penilaian: pikiran
menilai benar-salah, dan perasaan menilai atas dasar menyenangkan-tidak menyenangkan.
Sedangkan irrasional semata hanya mendapat pengamatan: pendirian mendapatkan
pengamatan dengan sadar-indriah, dan intuisi mendapatkan pengamatan secara tak sadar-
naluriah.

Keempat fungsi itu dimiliki oleh manusia, namun biasanya hanya salah satu saja yang paling
berkembang. Fungsi yang berkembang itu merupakan fungsi superior dan menentukan tipe
orangnya, jadi ada tipe pemikir, perasa, pendria, dan intuitif.

 Berpikir (Thinking)
Berpikir ialah intelektual logis yang menghasilkan rantai ide-ide. Tipe berpikir bisa bersifat
ekstrover atau introver, tergantung sikap dasar seseorang. Orang yang berpikir secara
ekstrover sangat mengandalkan pikiran-pikiran konkret, namun mereka bisa juga
menggunakan ide-ide abstrak jika ide-ide ini dipancarkan kepada mereka dari luar. Orang
yang berpikir secara introver bereaksi terhadap stimuli eksternal, namun interpretasi mereka
mengenai suatu peristiwa lebih diwarnai oleh makna internal yang mereka berikan kepada
stimuli tersebut daripada oleh fakta-fakta objektif itu sendiri.

 Perasaan (Feeling)
Jung menggunakan istilah perasaan untuk menggambarkan proses mengevaluasi suatu ide
atau peristiwa. Fungsi perasaan harus dibedakan dari emosi. Perasaan adalah pengevaluasian
setiap aktivitas sadar, bahkan terhadap hal-hal yang dinilai sebagai sesuatu yang tidak begitu
disukai. Kebanyakan evaluasi ini tidak memiliki kandungan emosi, namun mereka sanggup
menjadi emosi jika intensitasnya meningkat sampai ke titik penstimulasian perubahan-
perubahan fisiologis dalam diri seseorang.

 Pengindraan (Sensing)
Fungsi yang menerima stimuli fisik dan mentransmisikannya ke alam sadar perseptual
disebut sensasi atau pengindaraan. Orang yang mengindera secara ekstrover memahami
stimuli eksternal secara objektif, kebanyakan sama dengan stimuli yang eksis dalam realitas.
Orang yang mengindera secara introver sebagian besar terpengaruh oleh sensai-sensasi
subjektif.
 Pengintuisian (Intuiting)
Intuisi melibatkan persepsi yang melampaui kerja kesadaran. Pengintuisian didasarkan pada
serangkaian fakta yang menyediakan materi bagi pikiran dan perasaan.

c. Pesona
Persona ialah sisi kepribadian yang ingin ditunjukkan manusia kepada dunia. Persona
merupakan kompromi antara individu dan masyarakat, antara struktur batin sendiri dengan
tuntutan-tuntutan sekitar mengenai bagaimana seharusnya orang berbuat. Bila orang dapat
menyesuaikan diri ke dunia luar dan dunia dalam dengan baik, maka persona itu akan
merupakan selubung yang elastis, yang dapat dengan lancar digunakan. Sebaliknya, jika
penyesuaian itu tidak baik, maka persona dapat merupakan topeng yang kaku untuk
menyembunyikan kelemahannya.

2. Tahap-Tahap Perkembangan

Jung mengelompokkan tahap-tahap hidup menjadi empat periode. Dia membandingkan


perjalanan hidup dengan perjalanan matahari melintasi langit, dan menganggap terang
matahari sebagai representasi dari kesadaran. Empat tahap itu antara lain:

1. Masa Kanak – Kanak

Jung membagi masa kanak-kanak menjadi tiga sub tahapan:

a. Fase anarkis, dicirikan oleh kesadaran yang khaos dan sporadius. “pulau-pulau
kesadaran” mungkin sudah hadir dalam diri, namun hanya sedikit saja hubungan atau
mungkin tidak ada diantara pulau-pulau itu. Pengalaman-pengalaman fase anarkis kadang-
kadang memasuki kesadaran sebagai imaji-imaji primitive, tidak sanggup diverbalkan secara
akurat.

b. Fase monarkis, dicirikan oleh perkembangan ego dan oleh permulaan pemikiran logis
dan verbal. Selama waktu ini, anak – anak mulai melihat dirinya dengan kata ganti orang
ketiga. Pulau-pulau kesadaran mulai bertambah besar, semakin banyak, dan belum menyadari
dirinya sebagai actor yang memahami (perceiver).

c. Fase dualistik, dicirikan saat ego anak terbagi menjadi subjektif dan objektif. Anak-
anak sekarang mulai menyebut diri mereka dengan kata ganti orang pertama dan menyadari
eksistensi mereka sebagai individu yang berbeda. Selama periode dualistik, pulau-pulau
kesadaran menjadi pulau yang bersambungan, dihuni oleh sebuah kompleks-ego yang
menyadari dirinya sebagai objek sekaligus subjek (Jung, 1931/1960a).

2. Masa Muda

Periode dari pubertas sampai paruh baya disebut masa muda. Anak muda berjuang
meraih kemandirian psikis dan fisik dari orang tua mereka, menemukan belahan jiwanya,
membentuk keluarga, dan merebut sebuah tempat di panggung dunia ini. Menurut Jung
(1931/1960a), masa muda merupakan, atau mestinya, sebuah periode peningkatan aktivitas,
kematangan seksualitas, tumbuhnya kesadaran dan pemahaman bahwa era kanak-kanak yang
bebas dari masalah tidak akan pernah kembali lagi. Kesulitan utama yang dihadapi orang
muda adalah menaklukan kecenderungan alamiah (yang ditemukan juga pada usia
pertengahan dan tahun-tahun berikutnya) untuk mengandalkan kesadaran sempit kanak-kanak
agar terhindar dari masalah-masalah yang terus mengganggu seumur hidup.

Pribadi paruh baya atau lebih tua yang terus berusaha memperjuangkan nilai-nilai
masa mudanya akan menghadapi remuknya paruh hidup kedua, cacat dalam kapasitasnya
untuk mencapai realisasi diri, dan ketidaksempurnaan kemampuannya untuk mencapai
tujuan-tujuan baru atau mencari makna baru untuk hidup (Jung, 1931/1960a).

3. Paruh Baya

Jung percaya bahwa hidup paruh baya dimulai kira-kira pada usia 35-40 tahun, seperti
ilustrasi matahari yang melewati titik zenith dan mulai bergerak turun kecakrawala.
Meskipun penurunan ini dapat menghadapkan orang-orang paruh baya kepada peningkatan
kecemasan, namun hidup paruh baya juga menjadi periode potensial yang menakjubkan.

Jika orang-orang paruh baya mempertahankan nilai-nilai sosial dan moral dari hidup
mereka sebelumnya, maka mereka menjadi sangat kolot dan fanatik dalam upayanya
mempertahankan daya tarik fisik dan ketangkasan mereka. Ketika menemukan bahwa
idealisme mereka mulai bergeser, mereka bisa berjuang dengan penuh rasa putus asa untuk
mempertahankan penampilan dan gaya hidup masa muda. Kebanyakan dari kita (Jung,
1931/1960a, hlm. 399), tidak siap “mengambil langkah maju dalam kehidupaan senja, namun
yang lebih buruk lagi, kita mengambil langkah ini dengan asumsi keliru bahwa kebenaran
dan ideal kita akan mendukung kita meskipun kita tidak dapat hidup dalam kehidupan senja
berdasarkan program kehidupan fajar, karena apa yang besar dalam kehidupan fajar akan
menjadi kecil dalam kehidupan senja, dan apa yang benar dalam kehidupan fajar akan
menjadi dusta dalam kehidupan senja”.

Bagaimana kehidupan paruh baya ini dapat sampai pada kepenuhannya? Orang-orang
yang menjalani masa muda mereka tanpa nilai-nilai kanak-kanak ataupun nilai masa muda
akan siap untuk mengembangkan kehidupan paruh baya dan dapat hidup maksimal di tahapan
ini. Mereka sanggup menyerahkan tujuan-tujuan ekstraversi masa muda mereka dan bergerak
ke arah perluasan kesadaran secara introversi. Kesehatan psikologis mereka tidak
dikembangkan oleh keberhasilan dalam bsinis, prestise di masyarakat ataupun kepuasan
dengan kehidupan keluarga. Mereka harus menatap masa depan dengan antisipasi dan
harapan, menghentikan kehidupan masa muda dan menemukan pemaknaan baru di periode
paruh baya. Langkah ini sering kali, namun tidak selalu mensyaratkan orientasi religius yang
matang, khususnya keyakinan kepada hidup sesudah meninggal (Jung, 1931/1960a).

4. Usia Senja

Seiring dengan senja kehidupan yang semakin mendekat, manusia mengalami


penyusutan kesadaran sama seperti terang dan kehangatan matahari senja terus merosot. Jika
di kehidupan sebelumnya manusia takut pada kehidupan, maka sekarang dan selanjutnya
mereka takut pada kematian. Rasa takut pada kematian adalah tujuan hidup dimana hidup
hanya dapat dipenuhi saat kematian dilihat dalam terang ini. Jung menulis (1934),

Umumnya kita menggantungkan masa lalu kita dan tetap terperangkap dalam ilusi
masa muda. Menjadi tua berarti menjadi tidak popular. Tampaknya banyak orang tidak sadar
bahwa keinginan untuk tidak menjadi tua sama absurdnya dengan keinginan untuk
mengembangbiakkan sepatu anak-anak. Manusia tiga puluh tahun yang masih terperangkap
dalam sifat kanak-kanak akan menjadi anak muda yang kerdil—apakah itu menyenangkan?
Belum lagi jika dia kehilangan gaya hidup dan mengalami gangguan psikologis. Seorang
muda yang tidak berjuang dan menaklukkan hal-hal ini telah kehilangan bagian terbaik masa
mudanya. Begitu pula seorang yang tua namun tidak tahu bagaimana cara mendengarkan
rahasia sungai kehidupan ini, sama seperti orang yang menjatuhkan diri dari puncak gunung
ke lembah, menjadi tidak masuk akal. Mungkin dia menjadi mumi spiritual namun,
sebenarnya tidak memiliki apa-apa kecuali relik-relik masa lalu yang kolot (Jung, 1934/1960,
hlm 407).

Kebanyakan pasien Jung adalah orang-orang paruh baya dan berusia senja, dan
banyak dari mereka menderita kenangan masa lalu, bergantung dengan putus asa kepada
tujuan dan gaya hidup masa sebelumnya, dan berjalan mengikuti gerak hidup tanpa tujuan.
Jung memperlakukan orang-orang ini dengan membantu mereka menetapkan tujuan-tujuan
baru dan menemukan makna dalam hidup dengan pertama-tama menemukan makna
kematian. Dai sampai kepada perawatan ini melalui interpretasi mimpi, karena mimpi orang-
orang tua sering kali dipenuhi oleh simbol-simbol kelahiran-kembali seperti perjalanan-
perjalanan panjang atau perubahan-peruhan dalam lokasi. Jung menggunakan simbol-simbol
ini dan simbol-simbol lain untuk menentukan sikap bawah sadar pasien terhadap kematian
dan membantu mereka menemukan filksafat hidup yang bermakna bagi mereka (Jung,
1934/1960).

5. Realisasai-Diri

Kelahiran-kembali secara psikologis, disebut juga realisasi-diri atau individualisasi,


merupakan proses untuk menjadi seorang individu atau pribadi seutuhnya (Jung, 1939/1959,
1945/1953). Psikologi analitik pada esensinya merupakan psikologi mengenai hal-hal yang
berlawanan, dan realisasi diri adalah proses untuk mengintregasikan kutub-kutub yang
berlawanan dalam satu individu tunggal yang homogen. Proses “menjadi diri sendiri” berarti
seseorang memiliki semua komponen psikologis yang berfungsi dalam kesatuan, dengan
melewati suatu proses psikis yang memanusiakannya.

Realisasi diri sangat jarang dan bisa dicapai hanya oleh orang-orang yang sanggup
mengasimilasikan alam bawah sadar mereka ke dalam kepribadian total mereka. Menguasai
alam bawah sadar adalah proses sulit yang menuntut keberanian untuk menghadapi sifat jahat
shadow dan daya tahan yang lebih besarr untuk menerima sisi feminim atau maskulin
pribadinya. Proses ini hampir tidak pernah bisa dicapai sebelum paruh baya sampai laki-laki
dan perempuan sanggup menghilangkan ego sebagai fokus dominan kepribadiannya dan
menggantinya dengan self. Pribadi yang merealisasikan diri harus mengizinkan self bawah
sadarnya menjadi inti kepribadiannya. Meluaskan kesadaran hanya akan meluaskan ego, dan
perluasan seperti ini hanya menghasilkan pribadi satu sisi yang kehilangan percikan jiwa
kepribadiannya. Pribadi yang merealisasikan diri didominasi bukan oleh proses bawah sadar
maupun ego alam sadar namun berhasil mencapai keseimbangan di antara semua aspek
kepribadiannya.

Manusia yang merealisasikan dirinya sanggup mengembangkan dunia eksternal


maupun internal mereka. Tidak seperti individu yang terganggu secara psikologis, mereka
hidup di dunia nyata dan melakukan konsesi yang dibutuhkan dalam hal itu. Namun begitu,
tidak seperti manusia rata-rata, mereka sangat menyadari proses regresif yang memimpinnya
kepada penemuan-diri. Dengan melihat imaji-imaji bawah sadar sebagai materi potensial bagi
kehidupan psikis yang baru, orang-orang yang merealisasikan diri menyambut imaji-imaji
tersebut ketika muncul dalam mimpi-mimpi dan refleksi-refleksi instropektif mereka (Jung,
1939/1959, 1945/1953).

3. Metode Investigasi Carl Jung

Jung menatap jauh melampaui psikologi dalam pencarian datanya ketika membangun
konsepsi tentang kemanusiaannya. Dia tidak menolak ketika dituduh sudah berpetualang ke
disiplin ilmu lain, seperti sosiologi, sejarah, antropologi, biologi, fisika, fiologi, agama,
mitologi, dan filsafat. Akan tetapi hipotesis-hipotesis psikologi analitik Carl Jung yang ia
kembangkan dari berbagai disiplin ilmu itu antara lain:

1. Tes Asosiasi Kata

Jung bukan orang pertama yang menggunakan tes asosiasi kata, namun dia dapat
dianggap memberikan kontribusi besar bagi pengembangan dan penyempurnaannya.
Awalnya dia menggunakan teknik ini pada 1903 ketika masih menjadi psikiater muda di
Burgholtzli, dan dia mengajarkan tes asosiasi kata ini selama perjalanannya besama Sigmund
Freud ke Amerika Serikat pada 1909. Namun dia jarang menggunakannya dalam karier
selanjutnya. Dan meskipun dia sudah tidak begitu peduli namun, tes ini terus dikaitkan
dengan nama Jung.

Tujuan awal menggunakan tes asosiasi kata adalah untuk membuktikan validitas
hipotesis Freud bahwa alam bawah sadar beroperasi sebagai sebuah proses yang otonom.
Namun tujuan dasar tes asosiasi kata dalam Jungian dewasa ini adalah untuk menyingkapkan
kompleks-kompleks yang bernada perasaan. Dalam pelaksanaan tes, Jung biasanya
menggunakan sebuah daftar pertanyaan tentang sekitar 100 stimulus yang dipilih dan disusun
dengan saksama untuk menghilangkan reaksi emosi yang tidak diinginkan. Dia meminta
pengisi tes merespons setiap kata stimulus dengan kata pertama yang muncul di benaknya.
Jung mencatat setiap respons verbal, waktu yang diperlukan untuk membuat respons,
kecepatan bernafas, dan respon kulit arinya. Biasanya dia akan mengulangi eksperimen untuk
menentukan konsistensi antara tes pertama dan tes ulangannya.

Tipe-tipe reaksi tertentu dapat menunjukkan bahwa kata stimulus sudah menyentuh
suatu kompleks. Respon-respon kritis ini meliputi: napas yang tertahan, perubahan dalam
konduktivitas elektris kulit, reaksi-reaksi yang tertunda, respons–respons yang beragam,
pengabaian intruksi, ketidaksanggupan mengucapkan kata yang umum, kegagalan
merespons, dan inkonsistensi hasil tes pertama dan tes ulangnya. Respons-respons signifikan
lain mencakup pipi yang memerah, tergagap-gagap, tertawa, batuk-batuk, suara geraman,
gerakan tubuh berlebih-lebihan, dan pengulangan kata-kata stimulus. Salah satu atau
kombinasi dari respons-respons ini bisa mengindikasikan bahwa sebuah kompleks sudah
terjadi (Jung, 1935/1968; Jung & Riklin, 1904/1973).

2. Analisis Mimpi

Tujuan interprestasi mimpi Jungian adalah menyingkapkan elemen-elemen bawah


sadar personal dan kolektifnya, dan mengintegrasikan keduanya dalam kesadaran dalam
rangka memfasilitasi proses realisasi diri. Terapis Jungian harus mengerti bahwa mimpi
sering kali berupa kompensasi. Artinya, perasaan dan sikap yang tidak terekspresikan selama
kehidupan di alam sadar akan menemukan pemaknaannya lewat proses mimpi.
Jung merasa bahwa mimpi-mimpi tertentu menawarkan bukti bagi keberadaan alam
bawah sadar kolektif. Mimpi-mimpi ini mencakup mimpi-mimpi besar, yang memiliki makna
istimewa bagi semua orang; mimpi-mimpi tipikal, yang umum bagi kebanyakan orang; dan
mimpi-mimpi paling awal yang bisa diingat.Dalam memories, Dreams, Reflections, Jung
(1961) menulis tentang sebuah mimpi besar yang dialaminya selama berlayar ke Amerika
Serikat bersama Freud pada 1909.

Jenis kedua mimpi kolektif adalah mimpi-mimpi tipikal, yaitu mimpi yang umum
bagi kebanyakan orang. Mimpi-mimpi ini mencakup figur-figur arketipal, seperti ibu, ayah,
Tuhan, iblis, atau laki-laki tua bijak.Kategori ketiga mencakup mimpi-mimpi paling awal
yang bisa diingat. Mimipi-mimpi ini dapat dilacak kembali sampai usia tiga atau empat
tahun, dan mengandung imaji-imaji dan motif-motif mitologis dan simbolis yang tidak
mungkin berasal dari pengalaman individual anak.

3. Imajinasi aktif

Tujuan dari imajinasi aktif adalah menyingkapkan imaji-imaji arketipal yang muncul
dari alam bawah sadar. Jung percaya bahwa imajinasi aktif lebih banyak memiliki
keuntungan daripada analisis mimpi karena imaji-imajinya dihasilkan selama kondisi jiwa
yang sadar sehingga menjadikan imaji lebih jelas dan dapat direproduksi.

4. Psikoterapi

Jung (1931/19554b) mengidentifikasikan empat pendekatan dasar terapi,


merepresentasikan empat tahap perkembangan dalam sejarah psikoterapi. Tingkat pertama
adalah pengakuan tentang rahasia patogenik. Ini adalah metode katarsis yang hanya perlu
membagi rahasia-rahasia dan unek-unek. Tingkat kedua melilabatkan interprestasi,
penjelasan, dan pencerahan. Pendekatan ini digunakan Freud, memberikan pasien beberapa
pemahaman tentang sebab-sebab neurosis mereka namun tidak memampukan mereka
menyelesaikan masalah-masalah sosial. Tingkat ketiga , adalah pendekatan yang digunakan
Adler, mendidik pasien sebagai makhluk sosial. Tingkat keempat, transformasi. Dengan
istilah tranformasi dia bermaksud bahwa perapis pertama-tama harus bisa bertransformasi
menjadi manusia sehat, menjalani terlebih dahulu proses psikoterapi itu sendiri. Tingkat
keempat ini khusus digunakan terhadap pasien yang berada di paruh kedua hidup, yang mulai
resah dengan perealisasian dorongan batinnya, dengan masalah-masalah moral dan
religiusnya, dan dengan cara menemukan sebuah filsafat hidup yang dapat menyatukan
kepribadiannya.

4. Implementasi dalam Konseling

Selama tahap awal perawatan ada kebutuhan untuk pengakuan. Pengakuan seperti itu
biasanya disertai oleh pelepasan emosional, yang oleh Jung dipandang sebagai tujuan dari
metode katarsis (istilah yang dikembangkan Breuer dan Freud). Namun Jung menunjukkan
bahwa pelepasan emosional dalam dirinya sendiri, bukan terapi melainkan ledakan emosional
dan menjadi proses penyembuhan bagi diri sendiri. Bagi Freud, kesadaran akan pemahaman
dan wawasan intelektual merupakan katarsis yang efektif. Sementara Jung menekankan
kehadiran terapis dalam mendukung klien, secara moral dan spiritual, serta intelektual dalam
proses terapi.

Proyeksi dan transferensi memainkan peran penting dalam analisis Jungian, tetapi
Jung menambahkan konsep transferensi dari Freud. Transferensi bukan hanya terdahap
orang-orang penting di masa lampau, melainkan tipikal citra yang diproyeksikan analisis.
Jung juga melihat komponen transferensi seksual sebagai upaya simbolis pada sebagian klien
sebagai upaya untuk mencapai integrasi yang lebih tinggi dalam kepribadian.

Anda mungkin juga menyukai