Mengimani Allah Tritungga1
Mengimani Allah Tritungga1
Pendahuluan
- Mengenai percakapan Goethe dengan Eckermann; “aku percaya akan Allah dan
alam kemenagan kebaikan atas kejahatan; namun hal itu tidak cukup untuk jiwa
yang saleh aku seharusnya juga percaya bahwa tiga adalah satu dan satu adalah tiga;
namun hal itu bertentangan dengan perasaan akan kebenaran dalam jiwaku; aku
tidak melihat bahwa hal itu akan membantu saya sedikit pun.” Mengenai
percakapan ini tersembunyi dua pokok kritik yang dialamatkan kepada iman
Kristen akan Trinitas; pertama: iman itu tidak konsisten dan tak terpahami,
khayalan dan angan-angan yan tak logis. Kedua: iman ini tidak relevan, tidak aktual
dan tanpa dampak bagi kehidupan.
Penting; iman akan Allah Tritunggal bukan gambaran fantasi, bukan spekulasi, bukan
suatu rekaan manusia. Iman trinitas berlandas pada kenyataan bahwa Allah kekal yang
agung dan mengungguli semua pemikiran dan bayangan manusia telah membuka dan
mengkomunikasikan diri kepada kita dalam kebebasan.
Nikolaus dari Kues mengatakan bahwa dalam penciptaan “suara agung Allah”
mengema. Itulah sebuah suara yang berabad-abad telah bergaung, dan justru dalam diri
pendiri agama, kaum bijak dan para nabi dalam sejarah manusia, terutama dalam
tokoh-tokoh perjanjian lama Allah berbicara kepada nenek moyang melalui
perantaraan para nabi. Hans Urs v. Baltasar menegaskan; ‘wahyu di dalam Yesus
Kristus dan Roh Kudus merupakan satu-satunya akses menuju misteri trinitas’.
Apabila firman dari Allah transenden itu didengar dan diterima manusia, maka
haruslah firman itu dapat diterima dan didengar oleh perkataan, tanda dan petunjuk-
petunjuk dunia. Karena kita, manusia, hanya dapat mengerti dan mengalami sesuatu
1
termasuk Allah dan firman-Nya atas cara manusiawi. Jadi, Allah harus menyampaikan
firman-Nya kepada kita dalam cara yang manusiawi.
Aktualitas pengalaman dasar Perjanjian Baru yakni; bahwa dalam Yesus Kristus Allah
sendiri sungguh tampil dalam sejarah, dan secara lengkap sempurna; Allah
menyatakan diri ke dalam pengalaman dalam rupa satu sosok manusiawi yang sungguh
merupakan sosok-Nya sendiri dan sekaligus seratus persen selaras dengan daya kita,
Dia memperlihatkan hakikat-Nya yang terdalam, ya Ia menyatakan diri sekian
sehingga kita sungguh benar melihat dan mendengar Dia sendiri. (barang siapa telah
melihat Aku, ia telah melihat Bapa, Yoh 14:9)
Tiga hal termasuk dalam pemahaman kristiani tentang peristiwa wahyu. Pertama;
Allah yang tak terbatas, Bapa abadi, tanpa syarat dan bebas pamrih memberi diri-Nya
kepada manusia, agar dapat menciptakan persekutuan yang erat akrab dengannya.
Kedua; pemberian diri ini terjadi di dalam Sabda (dalam pengertian yang luas), dengan
cara yang sepenuhnya manusiawi, sehingga kita dapat mendengarnya. Sebagai puncak
pemberian diri Allah muncul Sabda dalam sosok Putra Allah yang telah menjadi
manusia, Yesus Kristus, melalui-Nya Allah menyatakan dan menyerahkan diri
sepenuhnya dan tanpa syarat. Ketiga; penerimaan, pemahaman Sabda Allah, terjadi
dalam diri manusia dengan cara ilahi, itu berarti, penerimaan subjektf Sabda Allah
terjadi dalam daya ilahi, dalam Roh Kudus.
- Allah Agung yang jauh terpisah, tak terjangkau ‘di atas kita’: Bapa yang agung
mulia inilah, ingin memberi diri-Nya kepada kita.
- Allah “di depan kita” dan “di samping kita”: Yesus Kristus, Sabda Allah yang
menyapa kita, Tuhan yang menunjuk jalan saudara kita yang menemani kita.
- Allah “di dalam kita”, Roh Kudus, yang dari dalam mengajar kita untuk dapat
memahami Sabda Allah, yang membuka kita kepada kehidupan ilahi dan
memampukan kita untuk memberikan jawaban.
2
komunikasi. Dengan itu menjadi nyata: keberadaan tertinggi dan ilahi adalah satu
persekutuan antara tiga pribadi
Untuk kita suatu persekutuan terbentuk, apabila pribadi-pribadi mandiri berelasi satu
sama lain dan dalam melaksanakan persekutuan tetaplah pribadi mandiri. Bukan
demikian di dalam Allah. di dalam Allah tidak ada tiga kenyataan, yang kemudian,
berdasarkan eksistensi individualnya, menjalin hubungan. Kesatuan hubungan, cinta
dan bukan kesatuan substansi atau kesatuan kolektif itulah gagasan kesatuan kristiani
yang baru yang bersinar dalam wahyu Allah Tritunggal.
Perichoresis adalah sebuah kata yang berasal dari dunia tari (menari melingkar): yang
satu menari bergerak mengelilingi yang lain, dan sebaliknya.
Ketiga pribadi seperti dirumuskan secara tepat oleh Hans Urs von Baltasar; “adalah
kasih yang satu dan sama dalam tiga cara berada, yang mutlak perlu agar dapat ada
kasih dalam Allah, dan kasih bebas pamrih diri.”
Pertama-tama menjadi eviden bahwa Roh Kudus, sebagai pribadi ‘ketiga’ memiliki
kekhususan menjadi ‘ikatan kesatuan’ yang menghubungkan Bapa dan Putra
membentuk kita bersama, dan sekaligus juga faktor yang memungkinkan bahwa kasih
yang ada alam diri Allah, mengalir keluar melampaui aku dan engkau; pertama-tama di
dalam Allah itu sendiri, namun juga ke luar, ke dalam ciptaan dan ke dalam hati kita
b. Konsekuensi-konsekuensi
1. Menjadi manusia seturut gambaran Allah Tritunggal
3
Allah Tritunggal dalam arti tertentu merupakan model yang memperlihatkan
bagaimana kesatuan dan keberagaman saling berhubungan, bagaimana seharusnya
berhubungan: kesatuan trinitaris bukan kesatuan bendawi dan bukan keseragaman
kolektif, bukan pathosnarsistis dari aku adalah akau dan Cuma aku sendiri, bukan
penindasan tiranitas terhadap yang banyak bagi ego monadis sendiri.
Allah semakin dipahami sebagai Allah unitaris (dalam arti sebagai satu Allah yang
seragam tanpa perbedaan dalam diri-Nya), sebagai subjek ‘menyendiri’ tidak lagi
sebagai Allah komunial, Allah persekutuan. Dan berjalan dengan itu manusia juga
memahami dirinya sebagai subjek yang terpusat pada aku. Duns Scots menulis;
‘Untuk menjadi pribadi dibutuhkan kesepian mendalam’
Pemikiran unitaris, itu berarti cara memandang kenyataan dengan bertolak dari
subjek yang terfokus pada diri, entah itu subjek individual atau kolektif, selalu
membawa konsekuensi absolutistis; ia mengahasilkan hasrat untuk melawan yang lain
dengan kekerasan, berkuasa atas mereka dan memusnahkan mereka
Orientasi pada Allah trinitaris memperlihatkan kenyataan yang sama sekali lain:
pribadi tidak berarti ego yang kesepian. Bagian hakiki dari pribadi tersebut adalah
hubungan dengan yang lain dan itu berarti, diri yang lain itu sendiri dan kebersamaan
dengannya termasuk di dalam identitas pribadi itu sendiri. menjadi pribadi bukanlah
penentuan diri yang bertentagan dengan yang lain, menjadi pribadi buka pula berarti
berjuang untuk bebas dari penentuan asing, melainkan menjadi diri dalam dan melalui
ada bersama dan ada untuk satu sama lain.
Iman akan Allah Tritunggal, iman akan Allah, yang dalam diri-Nya adalah kasih,
yang adalah pertukaran cinta antarpribadi itu membuatnya eviden dan dapat dipahami
bahwa seluruh ciptaan dan di dalamnnya saya sendiri diciptakan karnea cinta dan
demi cinta.
Apabila Allah adalah komunio dan manusia diciptakan seturut gambaran Allah
macam ini, untuk semakin membentuk gambaran ini dalam dirinya dan dengan cara
itu semakin menyurapai Allah, maka dengan cara demikian nyata pula nasib terakhir
manusia, ia dipanggil untuk menjadi apa yang Allah sudah rupakan: komunio,
persekutuan,perkaran kehidupan, agar satu saat ia mengambil bagian dalam komunio
paripurna Allah tirnitas sepanjang segala masa.
Membentuk komunio adalah tugas utama kehidupan manusia. Untuk itulah kita hidup.
Intipati Allah: persekutuan sempurna cinta, itulah seharusnya semakin kita serupai
dalam kebebasan sejauh kita mampu.
Tetapi komunio mempunyai arah ganda bagi manusia; komunio adalah persekutuan
dengan Allah sekaligus dengan sesama manusia ya dengan segenap ciptaan.- Memang
potensi dan panggilan untuk komunio sudah diberkan secara kodrati berdasarkan
4
penciptaan itulah citra Allah pada manusia namun keterberian asali ini, karena
menantang kebebasan, maka ia harus diwujudkan dalam kebebasan.
Allah Trinitaris tidak saja berkarya di dalam dunia, tetapi Ia menjadi manusia di
dalam Yesus Kristus. Itu berarti: Putra kekal masuk dengan cara yang saa sekali bari
di dalam ciptaan, di mana Ia menjadi bagian ciptaan, benar-benar secara harafiah
menjadi sebagai dari ciptaan, Allah sendiri menjadi sesama manusia di anatara sesama
manusia Ia mengenakan sejarah kita sebagai sejarah-Nya dan berbagi nasib manusia.
Komunikasi antara Allah dan manusia, yang tetap dan tidak bisa lebih diintesifkan
lagi. Pencipta ingin menghadiakan diri-Nya dan Roh-Nya kepada kita supaya, dengan
menerima tawaran persahabatan Allah, kita menjadi putra dan purtri dalam Putra dan
dengan demikian mencapai tujuan seluruh ciptaan, yakni turut serta terlibat hingga
kekal, dalam kehidupan bahagia dan tidak terbanding dari Allah Tritunggal.
Allah sungguh dan benar-benar mengenakan kemakhlukan kita dalam diri putra dan
berbagi nasib dengan kita sebagai manusia hina dina. Juga Roh Kudus mengambil
bagian dalam inkarnasi. “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang
Mahatinggi akan menaungi enkau” (Luk 1:35)
Proses menjadi komunio diganggu dan diputuskan oleh dosa manusia. Menurut
hakikatnya dosa tidak lain dari individualisasi dan isolasi, pemusatan habis-habisan
pada dri sendiri, putusnya dialog dengan Allah dan terganggunya hubungan positif
konstruktif antara sesama. Secara singkat dosa adalah penolakan komunio horizontal
dan vertikal.
Manusia bukan saja “pelaku” dosa sendiri, melainkan juga “korban” dosa orang lain.
pada bidang kehidupan manusia, baik individual dan sosial, dosa membawa dampak
desintegratif; dosa merusakkan wajah dunia yang sedianya menurut rencana
penciptaan merupakan komunio dan sebagai gantinya menghasilkan individualisasi,
perpecahan, kebencian dan musnah binasanya perdamaian.
Karya penebusan Allah bertujuan untuk mendorong manusia secara baru untuk
mengikat perjanjian dengan diri-Nya dan sesama meski ada penolakan akibat dosa
manusia.
Ikon Trinitas: Gereja sebagai umat dari Bapa, yang melalui Kristus dan Roh Kudus
menyatukan manusia menjadi satu umat adalah gambaran, namun sekaligus tubuh,
ruang dan buah karya trinitas.
Bapa yang mengangkat manusia menjadi putra-putri-Nya dan karena itu membawa
mereka kepada kesatuan dengan diri-Nya dan antar mereka satu sama lain. Dalam
karya ini Kristus dan Roh Kudus memiliki dua fungsi yang berbeda.
Yesus Kristus; Ia diutus kepada manusia, untuk membawa kepada mereka kedekatan
dan kasih, petunjuk dan janji Allah. dari-Nya Gereja menerima dasar dan bentuk,
kiblat dan norma. Jadi Gereja dipersatukan dalam forma Christi
Roh Kudus; penyatu, Sabda dan karya Kristus diinternalisasi melalui Roh sedemikian,
sehinga Sabda Kristus dan jawaban iman manusia, petunjuk yang diberikan Kristus
dan kepatuhan rela sedia manusia berpadu secara sempurna.
6
Dengan itu Gereja bersifat kristologis, itu berarti dilihat dari sudut Kristus dan
perutusan-Nya – dalam gambaran biblis adalah pengantin Kristus, pasangan yang
dikasihi-Nya, namun secara pneumatologis, berarti dalam konteks karya Roh yang
menyatukan, Gereja adalah tubuh Kristus yang memancarkan kemuliaan-Nya dari
dalam dan menampilkan Kristus dalam sosok paripurna-Nya.
Secara trinitaris Gereja harus memiliki gambaran Allah komunal dan karena itu harus
menyandang ciri komunal, konkretnya; di dalam gereja kita harus merajut pemikiran
kesatuan dengan keanekaaan, kristologi dengan pneumatologi.
Bahwa dalam konsep ini orang melupakan sama sekali Roh Kudus, akan tetapi orang
mensejajarkan, bahkan mengidentikkan karya Roh dengan perutusan kristologis
hierarkis dan meleburkannya di dalam ciri hierarkis itu. Orang lupa bahwa \roh adalah
tanan Allah yang kedua yang juga khas: Ia berkarya di dalam batin setiap rang
beriman dan dengan itu membantinkan sosok Kristus yang diberikan secara
sakramental melalui otoritas jabatan.
Dalam konteks itu tugas masa depan adalah menemukan kembali secara lebih
intensisf Roh Kudus dan peran unik-Nya dalam kehidupan Gereja di tengan perspektif
Kristologis dan membiarkannya menjadi kuat.
Tesis untuk dialog agama-agama: untuk relasi timbal balik dan dialog antaragama
justeru iman Trinitaris dan teologi Trinitaris menawarkan teori dasar demi
tumbuhnya saling pemahaman dan pendekatan.
Tipe dasar pertama: Ajaran Trinitaris kristiani mentematisasi misteri Bapa dalam
tipus gambaran Allah yang demikian. Bapa bukan saja dasar terdalam tidak terpahami
dari semua yang diciptakan, melainkan juga dasar terdalam keberadaan trinitaris ilahi.
Ia adalah ‘misteri penghadiahan diri yang tak terpahami tak berlubuk
Tipe dasar kedua: Allah adalah pribadi transenden, keluar dari ketersembunyian ilahi-
Nya dan menyapa manusia. Ia adalah seseorang dengan-Nya orang berbicara,
memulai suatu dialog, berkomunikasi. Karena Ia mendekati kita dan menyingkapkan
diri kepada kita, kita dapat mendengarkan Sabda-Nya dan petunjuk-Nya, memberi-
Nya nama, mempercayakan diri pada karya-Nya yang kreatif dan redemtuf dan
percaya kepada janji-Nya menurutnya kita dan seluruh dunia pada suatu saat kelak
boleh memiliki persekutuan bersama-Nya.
Tipe dasar ketiga: Allah adalah kebatinan radikal semua keberadaan. Kehidupan batin
bukan sekadar berarti imanensi, karena imanensi berlawanan dengan transendensi,
dan dengan itu merupakan polaritas, perlawanan dalam keberadaan. Kebatinan lebih
7
berarti keseluruhan paling dalam , di dalamnya Allah dan kosmos, jadi segala sesuatu
adalah satu (apa yang disebut advaita dalam pengalaman Hinduisme). Allah adalah
inti terdalam semua keberadaan, suatu titik, di mana semua keunikan, perbedaan,
kedirian diatasi dan ditinggalkan.
Salah satu contoh kritik agama psikoanalitis dan diagnosis yang dibuatnya tentang
zaman kita;
Apabila Bapa Kudus, nenek nan tua dengan tangan yang tenang melontarkan kilat
penuh berkat dari dalam gulungan awan aku mencium pinggir jubah-Nya penuh rasa
hormat dan khidmat (J.W. v. Goethe).
Allah adibapa: Paus (Papa) – Bapa bangsa – Bapa keluarga dan sejenisnya
Tidak heran bahwa manusia zaman modern – agar dapat menjadi dirinya sendiri –
telah membebaskan diri dari sosok-sosok adibapaa yang menindas atau paling kurang
telah berusaha membebaskan diri dan sekaligus juga bersamaan dengan pembebasan
dari sosok-sosok tersebut juga membebaskan diri dari kondisi religius, iman akan
Allah dan wahyu-Nya. Semua ini tampaknya bertentangan dengan proses emansipasi
menjadi diri dan perwujudkan kebebasan pribadi
Mirip dengan itu bisa kita amati bahwa sikap zaman modern terhadap agama
mengikuti pola reaksi yang sama: lepas dari ketakberdayaan narsistis terhadap Allah
menuju dari kedigdayaan narsisi; lepas dari ketakdewasaan kekanak-kanakan menuju
mania kebebasan egosentris, salah satu dari ciri azman kita