Anda di halaman 1dari 8

Peraturan perusahaan mengenai pemberian ijin absen dan cuti

Referensi 1 : Perusahaan Swasta


Peraturan mengenai standar jam kerja, ijin kerja dan cuti dipaparkan dalam peraturan
perusahaan, yang disosialisasikan kepada seluruh karyawan dan diperbaharui setiap 2 tahun.
Paparan berikut ini menjelaskan peraturan perusahaan yang ditetapkan pada akhir tahun 2008,
yang berlaku sejak tahun 2009 – 2011. Peraturan dipaparkan dalam pasal 8 (Hari dan Jam Kerja),
pasal 9 (cuti tahunan), pasal 10 (cuti melahirkan/keguguran kandungan), pasal 11 (tunjangan hari
raya), pasal 12 ( Jamsostek dan Asuransi Kesehatan) dan pasal 13 (Ijin meninggalkan pekerjaan
dengan mendapat upah penuh). Detail lengkap mengenai peraturan ini dipaparkan pada bagian
lampiran.

Referensi 2: Kementrian Kesehatan (Direktorat Jenderal


Bina Gizi dan KIA)
Peraturan ini dipaparkan melalui surat edaran yang disebarkan ke seluruh direktur dan kepala
bagian di bawah Kementrian Kesehatan dan merujuk ke Surat Edaran Sekertaris Jenderal
Kemenkes RI Nomor HK.01.02.4.1. A.906 tertanggal 7 Oktober 2012. Surat edaran ini berisikan
mengenai tata tertib absensi yang dilakukan melalui mesin fingerprint setiap hari Senin – Jumat
pada jam masuk (07.00) dan jam pulang (16.00), Pada surat edaran ini juga menjelaskan bahwa
untuk kegiatan ijin kerja perlu diperjelas sebagai berikut :

1. Tidak dapat hadir karena dinas luar, perlu melampirkan surat tugas dan formulir
permohonan izin karena dinas luar
2. Tidak dapat hadir karena sakit, perlu melampirkan surat keterangan dokter dan formulir
permohonan izin karena sakit
3. Tidak dapat hadir karena alasan penting, perlu melampirkan formulir permohonan izin
karena alasan penting
4. Pengajuan cuti karena hamil, tanggungan negara, tugas belajar, maupun ijin belajar perlu
melampirkan form cuti bertanda tangan pemohon
5. Seluruh formulir wajib ditandatangani oleh atasan langsung.

KONVERSI HARI HILANG DAN BIAYA TERKAIT DENGAN


KECELAKAAN KERJA

Setiap kegiatan kerja dalam industri berisiko terhadap kecelakaan kerja. Kejadian ini perlu
diketahui untuk mempelajari masalah – masalah yang berhubungan dengan kecelakaan kerja dan
tindakan – tindakan apa yang perlu diupayakan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan kerja.
Standar indikator internasional (ILO) menetapkan beberapa indikator kecelakaan sebagai
berikut:

– Angka Kekerapan : AK atau Frequency Rate : FR

– Angka Kejadian : AN atau Incidence Rate : IR

– Angka Keparahan : AP atau Severity Rate : IR


Perhitungan Hari Kerja Hilang Akibat Kecelakaan Kerja
Pada dasarnya untuk setiap klasifikasi kecelakaan kerja pada tubuh manusia oleh ILO telah
ditetapkan jumlah hari yang hilang dengan angka – angka sebagai berikut:

– Setiap 1 orang meninggal 6.000 hari


– Lumpuh sama sekali 6.000 hari
– Jari – jari tangan
* Dari permukaan sambungan s.d. sambungan tengah 3.000 hari
* Bagian sebelum sambungan tengah 150 hari
* Ibu jari tangan 600 hari
* Telunjuk 400 hari
* Jari tengah 300 hari
* Jari manis 240 hari
* Kelingking 200 hari, dan selanjutnya.

Kompensasi Biaya Terhadap Kecekakaan Kerja


Depnaker telah mengeluarkan peraturan menteri tenaga kerja no. 5 th. 1986 tentang “Sistem
Manajemen Keselamatan, Kesehatan”. SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen secara
keseluruhan yang meliputi struktur organisasi perencanaan, tanggung jawab pelaksanaan,
prosedur, proses dari pengembangan, penyerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan
kebijakan K3 dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna
tercapainya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.

Program Jaminan Kecelakaan Kerja olek Jamsostek

Kecelakaan kerja termasuk penyakit akibat kerja merupakan risiko yang harus dihadapi oleh
tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau
seluruh penghasilan yang diakibatkan oleh adanya risiko-risiko sosial seperti kematian atau cacat
karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka diperlukan adanya jaminan kecelakaan
kerja. Kesehatan dan keselamatan tenaga kerja merupakan tanggung jawab pengusaha sehingga
pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja yang berkisar
antara 0,24% – 1,74% sesuai kelompok jenis usaha.

Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi tenaga kerja
yang mengalami kecelakaan pada saat dimulai berangkat bekerja sampai tiba kembali dirumah
atau menderita penyakit akibat hubungan kerja. Iuran untuk program JKK ini sepenuhnya
dibayarkan oleh perusahaan. Perincian besarnya iuran berdasarkan kelompok jenis usaha
sebagaimana tercantum pada iuran.

Kompensasi yang diberikan oleh Jaminan Kecelakaan Kerja ini dipaparkan sebagai berikut :

 Biaya Transport (Maksimum)


1. Darat/sungai/danau Rp 750.000,-
2. Laut Rp 1.000.000,-
3. Udara Rp 2.000.000,-
 Sementara tidak mampu bekerja

1. Empat (4) bulan pertama, 100% x upah sebulan


2. Empat (4) bulan kedua, 75% x upah sebulan
3. Seterusnya 50% x upah sebulan

 Biaya Pengobatan/Perawatan

1. Rp 20.000.000,- (maksimum) dan Pergantian Gigi tiruan Rp. 2.000.000,- (Maksimum)

 Santunan Cacat

1. Sebagian-tetap: % cacar x 80 bulan upah

 Total-tetap:

1. Sekaligus: 70% x 80 bulan upah


2. Berkala (24 bulan) Rp 200.000,- per bulan*
3. Kurang fungsi: % kurang fungsi x % tabel x 80 bulan upah

 Santunan Kematian

1. Sekaligus 60% x 80 bulan upah


2. Berkala (24 bulan) Rp. 200.000,- per bulan*
3. Biaya pemakaman Rp 2.000.000,-*

 Biaya Rehabilitasi diberikan satu kali untuk setiap kasus dengan patokan harga yang
ditetapkan oleh Pusat Rehabilitasi RS Umum Pemerintah dan ditambah 40% dari harga
tersebut, serta biaya rehabilitasi medik maksimum sebesar Rp 2.000.000,-

1. Prothese/alat penganti anggota badan


2. Alat bantu/orthose (kursi roda)

 Penyakit akibat kerja, besarnya santunan dan biaya pengobatan/biaya perawatan sama
dengan poin ke-2 dan ke-3.

LAMPIRAN
Pasal 8

HARI KERJA DAN JAM KERJA

1. Dengan memperhatikan ketentuan perundangan yang berlaku, hari kerja di Perusahaan


adalah 5 (lima) hari kerja seminggu. Pengusaha mempunyai hak sepenuhnya untuk
merubah hari kerja menjadi 6 (enam) hari kerja seminggu, dengan mempertimbangkan
kondisi dan efisiensi Perusahaan.
2. Jam kerja yang diberlakukan di dalam Perusahaan adalah 8 (delapan) jam sehari yaitu
mulai dari Jam 08.30 – 17.30.
3. Waktu Istirahat untuk hari Senin s/d Jum’at adalah 1 (satu) Jam. Untuk pekerja yang sifat
pekerjaannya tidak dapat ditinggalkan, maka waktu istirahat makannya diatur secara
bergiliran/bergantian. Waktu istirahat dapat diatur untuk disesuaikan dengan kebutuhan
menurut situasi dan kondisi perusahaan pada waktu tersebut.
4. Tidak masuk karena sakit selama 2 (dua) hari berturut-turut, harus memberitahukan pada
hari karyawan/ti berhalangan dan setelah masuk kembali harus di lengkapi dengan surat
keterangan dokter. Tanpa keterangan resmi tersebut yang bersangkutan dianggap mangkir
dan akan di perhitungkan dengan cuti tahunan.
5. Absen selama 5 (lima) hari berturut-turut tanpa pemberitahuan resmi dianggap
Karyawan/ti tersebut telah mengundurkan diri atas kemauan sendiri dengan tidak hormat.

Pasal 9

CUTI TAHUNAN

1 Karyawan yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung
sejak saat masa percobaan maka yang bersangkutan berhak atas hak cuti tahunan selama 12 (dua
belas) hari kerja dengan mendapat gaji penuh.

2 Hak atas cuti tahunan dinyatakan gugur termasuk cuti massal yang ditentukan oleh
Pemerintah, bilamana dalam batas waktu yang ditetapkan setelah lahirnya hak atas cuti , pekerja
tersebut tidak menggunakannya, kecuali atas permintaan dari Pengusaha untuk menundanya.

3 Untuk memudahkan perhitungan cuti tahunan setiap tahun berjalan selalu ditutup pada
tanggal 31 Desember tahun berjalan, dan batas pengambilan hak cuti tahunan dinyatakan
berakhir setiap tanggal 31 Januari tahun berikutnya.

4 Setiap karyawan yang akan mengambil hak cutinya, terlebih dahulu mengajukan
permohonan secara tertulis sesuai dengan prosedur yang berlaku selambat-lambatnya 1 (satu)
minggu sebelum istirahat cuti di mulai dengan persetujuan PM/CoPM dengan sepengetahuan
kantor pusat.

5 Pengusaha dapat memanggil untuk bekerja kembali kepada karyawan yang sementara dalam
istirahat cuti, bilamana ada suatu pekerjaan yang sifatnya penting dan hak cutinya tersebut
digantikan dengan hari kerja lainnya.

6 Karyawan yang tanpa ijin sebelumnya dari Pengusaha memperpanjang waktu istirahat cuti,
maka tidak masuk kerjanya tersebut dianggap “Mangkir/Alpa”, kecuali karyawan tersebut
dapat memberikan alasan-alasan yang dapat dipertanggung jawabkan dengan memperlihatkan
bukti-bukti yang sah.

7 Untuk karyawan yang cutinya melebihi dari hak cutinya, maka pada saat batas akhir cuti
kelebihan (hutang) cutinya akan diperhitungkan sesuai dengan prosedur yang berlaku di
Perusahaan. Demikian pula sebaliknya bilamana batas akhir cuti terdapat sisa cuti karena
kepentingan perusahaan., bisa ditambahkan ke tahun berikutnya.

Pasal 10

CUTI MELAHIRKAN / KEGUGURAN KANDUNGAN


1 Bagi karyawan wanita yang akan melahirkan berhak diberi istirahat selama 3 (tiga) bulan
dengan gaji penuh. Dapat diambil 1(satu) bulan sebelum anaknya itu menurut perhitungan akan
dilahirkan dan 2(dua) bulan sesudah melahirkan.

2 Karyawan wanita yang hendak menggunakan hak cuti melahirkan tersebut diatas wajib
mengajukan surat permohonan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum istirahat cuti
dimulai, disertai dengan surat keterangan dokter/bidan yang merawat.

3 Bagi karyawan/ti yang mengalami keguguran kandungan, dianggap sebagai cuti sakit dan
harus dilengkapi dengan surat keterangan dokter dengan Hak Cuti 2 (dua) minggu setelah
keguguran.

Pasal 11

TUNJANGAN HARI RAYA

Pengusaha akan memberikan tunjangan hari raya kepada karyawan tetap sesuai dengan
agamanya masing-masing, yaitu selambat-lambatnya 1 (satu) minggu sebelum hari raya Idul Fitri
bagi pekerja yang beragama Islam dan hari raya Natal bagi yang beragama Kristen/Katolik dan
agama lainnya sesuai dengan pedoman UU Ketenagaan Kerja RI No.13 Tahun 2003,
Besarnya Tunjangan Hari Raya , yaitu :

1. Karyawan yang mempunyai masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih diberikan minimal 1 (satu)
bulan gaji.

2. Karyawan yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun akan diperhitungkan
sesuai dengan masa kerjanya, yaitu :

– Kurang dari 3 (tiga) bulan masa percobaan tidak diberikan.

– Lebih dari 3 (tiga) bulan kurang dari 1 (satu) tahun adalah dihitung secara

proporsional yaitu :

Masa Kerja X 1/12 X Gaji (Upah Sebulan)

(Masa Kerja dikalikan dengan satu dibagi dua belas kemudian dikalikan Gaji.)

Pasal 12

JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA (JAMSOSTEK) DAN ASURANSI KESEHATAN

1. Sesuai dengan UU Ketenagaan Kerja RI No.13 Tahun 2003 maka Pengusaha mengikut
sertakan karyawannya pada program Jamsostek pada PT.Jamsostek (Persero)
2. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu bentuk perlindungan bagi tenaga kerja dalam
bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau
berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja
berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.

3. Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebagaimana dimaksud dalam


pemerintah ini, terdiri dari :

Paket Jamsostek yang diikuti oleh Pengusaha meliputi :

q Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) ditanggung oleh Perusahaan.

q Jaminan Kematian (JKM) ditanggung oleh Perusahaan.

q Jaminan Hari Tua (JHT) dengan perincian sebesar 2(dua) % ditanggung oleh karyawan dan
3,7 % ditanggung oleh Perusahaan

Setiap Karyawan diwajibkan mengikuti petunjuk dan prosedur yang telah ditetapkan
oleh PT.Jamsostek dan apabila diluar ketentuan yang telah ditetapkan tersebut, maka
sepenuhnya menjadi tanggung jawab yang bersangkutan.

Penjelasan mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang lebih terperinci diatur
dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh PT.Jamsostek.

4. Setiap karyawan akan mendapatkan fasilitas Asuransi Kesehatan ( Rawat Inap) sesuai dengan
perusahaan Asuransi yang ditunjuk oleh Perusahaan.

PASAL 13

IJIN MENINGGALKAN PEKERJAAN DENGAN MENDAPAT

UPAH PENUH

1. Pekerja dapat diberi ijin meninggalkan tempat pekerjaan dengan mendapat upah penuh untuk
kepentingan sendiri, dalam hal sebagai berikut :

Pernikahan karyawan/ti ……………………………………… 3 (tiga) Hari

Pernikahan perta anak karyawan/ti………………………….. 2 (dua) Hari

Isteri Pekerja melahirkan …………………………………. 2 (dua) Hari

Suami/Isteri/Anak/Orang Tua yang sah meninggal dunia 2 (dua) Hari

Mertua pekerja yang sah meninggal dunia …………….. 2 (dua) Hari

Saudara sekandung meninggal dunia …………………… 2 (dua) Hari


Khitanan/Pembaptisan Anak …………………………… 1 (satu) Hari

Menjaga Isteri/Suami/Anak sakit keras di RS…………… 2 (dua) Hari

Korban penggusuran/kebakaran/kebanjiran/bencana alam 2 (dua) Hari

Advertisem
jika Pekerja Sakit Tapi Tak Berikan Surat Dokter
Selamat sore pak, saya minta penjelasan mengenai karyawan yang tidak masuk kerja oleh karena
sakit namun berada di luar jobsite, apakah di-PHK sesuai pasal 161 UU Ketenagakerjaan atau
tidak? Mohon petunjuk dan penjelasannya. Terima kasih, dan salam.
Jawaban :

Berkenaan dengan pertanyaan Saudara, bersama ini saya sampaikan, bahwa berdasarkan Pasal 153 ayat (1) huruf a
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut, UU Ketenagakerjaan), bahwa pengusaha
dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) dengan alasan (antara lain): pekerja/buruh (karyawan)
berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas)
bulan secara terus-menerus.

Berdasarkan ketentuan tersebut, artinya larangan untuk mem-PHK karyawan yang sakit (berkepanjangan atau terus-
menerus), hanya selama dalam -jangka waktu- 12 (dua belas) bulan berturut-turut. Setelah bulan ke-13, barulah
pengusaha dapat mem-PHK-nya.

Berapa hak “pesangon”-nya? Undang-Undang tidak mengatur, jadi “pesangon” hanya dapat dirundingkan dan
disepakati -atas dasar sukarela dan asas kemanusiaan.

Dalam kaitan dengan pekerja yang sakit dan tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan, berdasarkan
Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, bahwa pada prinsipnya, upah tidak dibayar apabila
pekerja/buruh (karyawan) tidak melakukan pekerjaan (prinsip “no work no pay”). Namun, menurut Pasal 93 ayat
(2) huruf a UU Ketenagakerjaan, bahwa dikecualikan dari prinsip (no work no pay) tersebut apabila pekerja/buruh
sakit (berkepanjangan) sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. Artinya jika pekerja/buruh sakit, ia harus tetap
dibayar upahnya (ber-upah) sepanjang sakitnya secara wajar dan disertai dengan surat keterangan dokter. Artinya,
kalau sakitnya ada unsur kesengajaan dan -terlebih- tidak disertai surat keterangan dokter, maka tetap diperlakukan
no work no pay, dan bahkan dapat dilakukan tindakan indisipliner.

Yang dimaksud sakit berkepanjangan atau terus-menerus, adalah penyakit menahun atau berkepanjangan, demikian
pula apabila karyawan yang setelah sakit lama mampu bekerja kembali tetapi dalam waktu 4 (empat) minggu sakit
kembali (vide Petunjuk Pelaksanaan PP No. 8 Tahun 1981, butir 5).

Berkenaan dengan persentase upah bagi pekerja/buruh yang sakit (berkepanjangan), berdasarkan Pasal 93 ayat (3)
UU Ketenagakerjaan, bahwa upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit, tidak selama sakitnya
dibayar penuh, akan tetapi dibayar dengan jumlah berjenjang, sebagai berikut :

- sakit pada 4 (empat) bulan pertama, 100% (penuh);

- 4 (empat) bulan kedua, 75% (tiga per-empat);

- 4 (empat) bulan ketiga, 50% (separuh);

- 4 (empat) bulan selanjutnya, 25% (seperempat);


Terkait dengan pertanyaan Saudara, apakah (karyawan yang sakit) dapat di-PHK sesuai ketentuan Pasal 161 UU
Ketenagakerjaan? Menurut hemat saya, Pasal 161 UU Ketenagakerjaan konteksnya berbeda dengan PHK karena
sakit atau mangkir (membolos, tidak masuk kerja tanpa keterangan).

Bilamana yang bersangkutan melanggar atau ingkar-janji (wanprestasi) atas perjanjian kerja dan/atau peraturan
perusahaan/perjanjian kerja bersama, maka barulah dapat diterapkan ketentuan Pasal 161 UU Ketenagakerjaan,
baik dengan surat peringatan secara bertahap, atau surat peringatan keras.

Akan tetapi, kalau (karyawan) yang bersangkutan sakit dan ada surat/keterangan dokter yang berwenang, maka
berdasarkan ketentuan (Pasal 153 ayat [1] a UU Ketenagakerjaan) tersebut di atas, tentunya tidak dapat di-PHK
sebelum sakitnya melampaui waktu selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut. Kecuali disepakati lain oleh para
pihak. Dalam arti, karyawan setuju di-PHK dan perusahaan (manajemen) bersedia memberikan “uang pesangon”
sebagai dana berobat.

Apabila seseorang karyawan sakit dan yang bersangkutan tidak dapat memberikan (membuktikan) surat/keterangan
dokter, maka yang bersangkutan dapat dikategorikan mangkir sesuai ketentuan Pasal 168 jo Pasal 162 UU
Ketenagakerjaan.

Dalam hal seseorang dinyatakan mangkir (istilah Saudara “berada di luar jobsite”), maka yang bersangkutan harus -
telah- dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) hari mangkir, barulah
kemudian pengusaha dapat mem-PHK yang bersangkutan dengan dikualifikasikan sebagai mengundurkan diri
(sebagaimana dimaksud Pasal 162 UU Ketenagakerjaan).

Terkait dengan permasalahan Saudara, apakah karyawan yang bersangkutan sakit (secara normal) atau mangkir dari
pekerjaan? Kalau karyawan memang sakit secara normal, maka sampaikanlah kepada manajemen perusahaan
surat/keterangan dokter sehingga dapat memperoleh upahnya sesuai ketentuan Pasal 93 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan secara berjenjang sebagaimana tersebut di atas. Akan tetapi, kalau (karyawan) yang bersangkutan
mangkir, maka pengusaha dapat bisa mem-PHK-nya setelah melalui surat panggilan secara patut 2 (dua) kali
berturut-turut dalam jangka waktu 5 hari kerja.

Demikian petunjuk dan penjelasan dari saya, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

2. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE-01/MEN/1982 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981

Anda mungkin juga menyukai