Anda di halaman 1dari 16

Zikir dan Wirid

Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang
menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk
mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat
Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir
diam (khafi, "tersembunyi", atau qalbi, " dalam hati"), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang
lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak
pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.

Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut
Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat
seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan
dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam
Jum'at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang
waktu yang lebih lama lagi.

Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah
dzikir ism al-dzat, "mengingat yang Haqiqi" dan dzikir tauhid, " mengingat keesaan". Yang duluan
terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih),
sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty
wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah,
yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari
daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung
bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke
jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang
membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.

Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah
dzikir latha'if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu
bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini,
lathifah (jamak latha'if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh
(jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu
kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling
tersembunyi), di tengah dada; dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh,
kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah
mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam
nama Tuhan. Konsep latha'if -- dibedakan dari teknik dzikir yang didasarkan padanya -- bukanlah khas
Naqsyabandiyah saja tetapi terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha'if dan nama-
namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan kehalusannya dan kaitannya
dengan pengembangan spiritual.

Ternyata latha'if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya
berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.

Asal-usul ketiga macam dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan
asas-asas yang diletakkan oleh 'Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik sudah diamalkan sejak pada
zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan dzikir latha'if umumnya dalam kepustakaan
Naqsyabandiyah dihubungkan dengan nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam
Tarekat Kubrawiyah sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah
sebetulnya sudah mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.

Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib,
sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan
dan atau memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang
sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan
mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh
syekhnya, untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang
lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak
mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja
dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad
yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-
Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali
dengan kaum Naqsyabandiyah.

Tarekat Awam Dan Tarekat Khos

Dalam wacana Syadziliyah ada tahap dimana, para penempuh jalan Sufi
melakukan melalui dua metode:
Metode pertama melalui cara yang ditempuh khalayak awam (umum) dan ada pula yang

ditempuh oleh khalayak khusus (Khos). Pandangan awam maupun Khos di sini, tidak bersifat
sosiologis maupun intelektual. Tetapi bersifat spiritual. Penentuan seseorang melalui sistem Awam atau
pun Khos, hanyalah bentuk penempuhan itu sendiri. Sebagaimana dalam Al-Qur’an ada istilah al-
Muhibbin dan Al-Mahbubin, ada ash-Shiddiqin dan ada pula ash-Shadiqin. Konteks lain dari istilah
Sufi, ada proses yang bersifat Al-Murid ada juga dengan proses Al-Murad. Jadi kategori di atas
hanyalah kategori proses penempuhannya. Karena itu dibutuhkan Mursyid Kamil Mukammil untuk
membimbing, masing-masing terhadap kedua proses di atas.

Dalam Al-Mafakhir, dikutip ucapan asy-Syadzily tentang kategori penempuhan di atas, beliau
mengatakan secara panjang lebar:
“Perlu diketahui bahwa pengetahuan yang menurut pemiliknya dianggap terpuji, hal itu bisa dianggap
gelap bagi ahli hakikat. Ahli hakikat ini adalah mereka yang yang menyelami Lautan Dzat dan
kedalaman Sifat-sifat. Di sana, mereka tanpa memiliki hasrat. Dan mereka itulah kalangan elit atau
Khos yang Luhur. Yaitu mereka yang menyertai martabat para Nabi dan Rasul, walau pun martabat
para Nabi dan Rasul itu lebih mulia. Sebab mereka ini mempunyai bagian dari martabat itu, karena baik
Nabi maupun para Rasul dari ummat ini, pasti mempunyai pewaris, dan setiap pewaris mempunyai
bagian dari peninggalan warisannya. Nabi saw, bersabda, “ Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi.”
Dan tentunya para pewaris itu memiliki kedudukan yang diketahui dari yang mewariskannya, dari segi
pewarisan ilmu pengetahuan dan hikmah. Namun bukan dari segi perwujudan posisi dan kondisi
anugerah ruhani (al-maqam wal-haal). Sebab maqam para Nabi itu terlalu luhur untuk diraih oleh selain
para Nabi sendiri, semedntara setiap pewaris mendapatkan sebagian maqam itu menurut warisan yang
diterimanya. Karena Allah swt, sudah berfirman, “Niscaya benar-benar Kami utamakan sebagian Nabi
atas sebagian yang lainnya”. Begitu juga Allah memberikan posisi keutamaan para wali satu sama
lainnya berbeda.

Para Nabi senantiasa menyertai Pandangan Allah, dan setiap pandangan yang melimpah dari
pandangan para Nabi akan tertuang menurut kadarnya.

Sementara setiap Wali memiliki muatan yang spesifik, sehingga dunia Wali terbagi menjadi dua:

Satu bagian disebut sebagai para Abdal (pengganti) bagi para Nabi Bagian kedua, adalah pengganti
para Rasul.

Abdal para Nabi disebut sebagai kalangan Shalihun, sedangkan Abdal para Rasul disebut ash-
Shiddiqun. Antara Shalihun dengan Shiddiqun, posisi keutamaannya sama dengan antara para Nabi dan
Rasul. Maka dari mereka, dan dari mereka pula. Hanya saja diantara mereka itu adala kelompok khusus
yang mendapatkan substansi materi langsung dari Rasulullah saw, yang mereka saksikan dengan
pandangan keyakinan.

Tetapi jumlah kelompok sedikit, namun dalam jumlah perwujudan hakkatnya cukup banyak. Setiap
Nabi dan Wali selalu bermula dari substansi Rasulullah saw,. Karena diantara para Wali itu ada yang
menyaksikan dengan pandangannya, dan sebagian mereka yang ada yang tersembunyikan pandangan
dan substansi materinya. Mereka malah fana’ dalam anugerah yang turun padanya dan tidak
tersibukkan dengan mencari substansi materinya itu, bahkan , mereka itu tenggelam dalam anugerah
ruhani (haal) sampai tidak lagi melihat kecuali hanya pada “waktunya”.

Diantara mereka ada yang terlimpahi melalui Nur Ilahi, sehingga mereka dapat memandang memalui
cahaya itu, dan mengenal urusannya secara hakikat. Dan yang demikian itu merupakan karomah bagi
mereka, yang tidak bisa diingkari kecuali oleh mereka yang memang mengingkari karomah para Wali.
Kita semua mohon perlindungan dari keingkaran terhadap sesuatu setelah kita mengenal sesuatu itu.
Mereka itu menempuh Thariqat yang tidak ditempuh oleh yang lainnya.
Sebab jalan penempuhan (Thariqat) itu ada dua. Thariqat bagi kalangan Khos, dan Thariqat bagi
kalangan publik (umum). Dimaksud dengan Thariqat Khos itu, adalah jalan yang ditempuh oleh
kalangan yang Dicintai Allah (al-Mahbubin), yang merupakan Abdal para Rasul. Sedangkan Thariqat
Umum adalah Thariqat yang ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), yaitu Abdal para Nabi.
Semoga Salam Sejahtera bagi mereka semua.

Thariqat Khos adalah Thariqat yang sangat elit yang sulit dicerna akal biasa, dan langka sekali yang
mampu menguraikan substansinya. Bagi Anda cukup dengan Thariqat Umum, yaitu jalan penempuhan
melalui satu tahap ke tahap lainnya yang lebih luhur hingga sampai pada suatu tahap tertentu, yaitu ,
“tempat duduk yang benar di sisi Raja Yang Maha Berkuasa”.

Jejak pertama yang harus dtempuh oleh seorang pecinta (al-Muhibb) adalah menaiki suatu tahap ke
tahap yang lebih tinggi, yaitu Nafsu. Ia tersibukkan oleh sebab akibat di sana dan bagaimana seseorang
mengolah nafsunya (mengendalikannya) sampai tangga kema’rifatan, Manakala ia telah mencapai
tahap ma’rifat dan meraih hakikat di sana, ia akan mendapatkan pencerahan cahaya di tahap kedua,
yaitu Kalbu. Dalam tahap ini ia berada dalam kesibukan “bersiasat” dalam dunia ma’rifatnya.
Manakala tidak ada lagi yang tersisa tahapannya, ia menaiki tangga ketiga, yaitu Ruh. Lalu ia bersibuk
diri dengan Siasat Ruh dan kema’rifatannya. Apabila ma’rifatnya sudah sempurna maka sedikit demi
sedikit mengalirlah cahaya-caha keyakinan, sampai pandangannya lupa dengan luapan-luapan cahaya
itu, sampai keyakinannya benar-benar jelas, sehingga ia tidak lagi mampu berfikir terhadap
pencahayaan tiga tahap yang berlalu itu. Maka disanalah ia bebas berhasrat sesuai dengan kehendak
Allah . Lalu Allah melimpahkan melalui Nur Akaly yang asli dalam Nur keyakinan. Maka ia
menyaksikan adanya yang dimaujudkan tanpa batas dan pangkal, jika disandarkan pada si hamba
tersebut. Sehingga lenyaplah seluruh jagad ini didalamnya.

Kadang-kadang seperti tabung yang terlihat di udara melalui cahaya matahari, maka, ketika cahaya
matahari itu membakar, tabung itu tidak lagi tampak bekasnya.

Matahari itu adalah akal yang lazim, yang bisa memperlihatkan obyek, setelah terpenuhi oleh materi
cahaya keyakinan. Apabila seluruh cahaya itu lenyap, maka seluruh jagad itu sirna pula, dan yang ada
hanyalah yang maujud ini. Kadang tampak ada, kadang sirna, sampai ketika ia menghendaki
kesempurnaan, ia dipanggil oleh panggilan yang lembut, tanpa suara, yang hanya bisa difahami saja.
Hanya saja yang bisa menyaksikan selain Allah, tiada sesuatu yang lain selain Allah. Maka, disitulah ia
bangun dan sadar dari “mabuk”nya. Lalu bermunajat, “Oh Tuhan, tolonglah daku…., Duh Gusti,
tolonglah aku…sungguh aku telah musnah…”

Dari sana ia tahu dengan seyakin-yakinnya, bahwa siapapun tidak bisa selamat dari lautan itu
melainkan karena pertolongan Allah. Disaat seperti itu dikatakan padanya, “Maujud ini adalah Akal,
seperti yang disabdakan Rasulullah saw, bahwa yang pertamakali diciptakan oleh Allah adalah akal.”
Pada hadits lain dijelaskan, “Allah berfirman pada akal itu, ‘Menghadaplah!’ dan akal itu pun
menghadap.”

Hamba ini lantas dianugerahi rasa hina dan keselamatan melalui Cahaya Maujud itu, sebab batas dan
ukurannya tiada terkira, sehingga ia tak mampu mengenalnya. Dikatakan padanya, “Betapa jauhnya,
batas itu tidak bisa dikenal kecuali bersama Allah.” Lantas Allah Yang Maha Agung nan Luhur
memberikan petunjuk melalui Cahaya Asma’-Nya, muncullah bagai sekelebat kedipan mata, atau
seperti yang dikehendaki-Nya (Kami mengangkat derajat orang yang Kami kehendaki), kemudian
Allah melimpahkannya melalui Cahaya Ruh Rabbany, lalu ia pun mengenal Maujud ini. Hamba tadi
naik ke medan Ruh Rabbany, tiba-tiba sirna seluruh riasan keindahan yang menyertainya, lalu secara
otomatis ia tersunyikan, tinggalah segala yang ada ini menjadi Maujud. Kemudian Allah
menghidupkannya melalui Cahaya Sifat-sifatNya, lalu dengan kehidupan itu Allah menaikkan ke dalam
pengenalan Maujud Rabbany itu.

Ketika hamba terurai dari dasar-dasar SifatNya, hampir-hampir ia sebutkan, “Dialah Allah”. Tiba-tiba
ia ditemui oleh Pertolongan Azaly, lalu muncul panggilan, “Ingatlah! Bahwa maujud itu adalah yang
tiada bolh disifati oleh siapa pun, tidak boleh pula dimengerti melalui ibarat apa pun melalui Sifat-
sifatNya melainkan oleh ahlinya, namun melalui cahaya lain yang mengenalnya.” Kemudian Allah
melimpahkannya melalui Cahaya Sirr Ruh (rahasia batin Ruh), tiba-tiba ia sudah duduk di pintu medan
Sirr.

Hasratnya mengembang untuk mengenal Maujud itu yang tidak lain adalah Sirr itu sendiri. Namun, ia
telah buta untuk mengenalnya, lalu seluruh sifat-sifatnya sirna, seakan-akan tak ada sesuatu pun
padanya. Kemudian Allah melimpahkan Cahaya DzatNya, dengan limpahan Kehidupan Keabadian
yang tiada hingga. Semua yang diketahui memandang dengan Cahaya Kehidupan ini, lantas seluruh
penghuni Maujud ini menjadi Cahaya yang memancar pada segala yang ada, tidak lagi ada yang bisa
disaksikan selain Dia. Muncullah panggilan dari jarak yang sangat dekat saat itu: “Janganlah terpedaya
dengan Allah, karena yang Dicintai justru dari tirai (hijab), dari Allah, beserta Allah. Sebab mustahil
Allah dihijabi oleh selain Allah.” Lalu ia hidup dengan kehidupan yang dititipkan oleh Allah di
dalamnya. Hamba itu lalu berkata, “Duh, Gusti….BesertaMu, DariMu, KepadaMu, betapa tak
berdayanya daku. Sesungguhnya aku memohon perlindungan padaMu dariMu, sampai aku tidak
melihat lagi selain DiriMu.”

Itulah jalan yang tanjakannya menuju Hadirat Allah Yang Luhur, yaitu jalan ditempuh oleh para pecinta
Allah (al-Muhibbin) , sebagai para Badal Nabi.

Sedangkan yang dianugerahkan pada salah seorang dari mereka setelah itu, tak satu pun orang yang
bisa mengukur atau mendeskripsikannya.
Segala Puji hanya bagi Allah, atas segala nikmat-nikmatNya, dan shalawat serta salam semoga
terlimpah padaMuhammad pengunci para NabiNya.

Sedangkan Thariqat kalangan Mahbubin (mereka yang dicintai-Nya) adalah langsung dari Allah,
kepada Allah. Sebab mencapai jalan ini mustahil selain dari Allah Sendiri. Pijakan pertamanya, adalah
tanpa pijakan itu sendiri, untuk mendapatkan Cahaya DzatNya. Mereka ini disembunyikan dari hamba-
hamba-Nya, karena ia dianugerahi rasa cinta terhadap ketersembunyian. Segala amal-amal yang shaleh
sangat kecil di matanya, sementara yang terlihat besar adalah Tuhannya bumi dan langit.

Ketika dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba mereka mendapati dirinya berpakaian baju ilmu. Lalu
mereka memandang, tetapi yang tampak, mereka itu bukan mereka. Lantas ia tertimpa suatu kegelapan
yang menyembunyikan pandangan mereka, bahkan wahananya menjadi wahana tiada, tanpa sebab-
akibat. Seluruh aturan sebab akibat terhempas, dan seluruh yang disebut sebagai yang baru sirna tanpa
sesuatu yang baru, bahkan tak ada wujud lagi. Yang jelas justru tiada lagi, kecuali hanya Ketiadaan
Murni itu sendiri, tanpa sebab dan akibat. Dan segala yang tanpa sebab langsung, berarti tidak ada
obyek yang bisa dikenalnya. Segala yang yang bisa diketahui telah sirna, dan segala rumus telah
musnah, sirna yang tidak diketahui kenapa dan bagaimana. Yang ada hanyalah “Substansi” yang
ditunjukkan, bahwa Dia tiada bisa disifati dan tiada Sifat itu sendiri, bahkan tiada lagi Dzat. Segala
Predikat, Asma’ dan Sifat telah sirna, maka tiada Nama, tiada Sifat dan tiada Dzat. Maka, muncullah
“Yang” senantiasa Muncul, tiada sebab-akibat. Tetapi Dia menampakkan Rasia BatinNya, bagi
DzatNya di dalam DzatNya, melalui pemunculan yang tiada awalnya. Namun Dia memandang dari
DzatNya, bagi DzatNya, dengan DzatNya di dalam DzatNya. Para hamba itu hidup melalui
PemumunculanNya dengan kehidupan yang tiada sebab-akibat di dalamnya. Lalu tampillah dengan
seluruh Sifat-sifat yang Indah, yang tiada tahu mengapa dan bagaimana.

Jadilah ia yang pertama muncul, tiada kemunculan sebelumnya. Lantas menemukan segala sesuatu
bersama Sifat-sifat-Nya, kemudian muncullah cahayaNya di dalam cahayaNya.

Pertama-tama yang muncul adalah SirrNya (rahasia batin), lalu muncullah (melalaui Sirr itu) kalbuNya,
lantas muncul AmarNya melalui SirrNya di dalam SirrNya. Lalu muncullah segala dzat melalaui
AmarNya di dalam Cahaya al-Qalam melalui Cahaya al-Qalam. Kemudian muncullah AkalNya dengan
AmarNya dalam AmarNya, dan muncullah (dengan itu ) ArasyNya di dalam Cahaya LauhNya dengan
Cahaya Lauh itu sendiri. Lantas muncullah RuhNya melalui AkalNya, dan melalui RuhNya muncullah
KursiNya di dalam Cahaya ArasyNya melalui Cahaya Arasy itu sendiri. Lalu muncul jiwanya melalui
kalbuNya, lalu muncullah melalui jiwaNya, orbit bagi kebajikan dan keburukan di dalam Cahaya
HijabNya melalui Caha Hijab itu sendiri. Lalu muncul Jisim melalui JiwaNya di dalam JiwaNya, maka
muncullulah melalui Jisim itu seluruh Jisim Alam Kasar baik di bumi maupun di langit.

Kesimpulannya, setiap alam kasar berada dalam Cahaya orbit melalui Cahaya orbit. Sehingga pijakan
pertamanya bagi hamba tercinta yang sunyi ini adalah membuang jiwanya pada ketiadaan, yaitu
pembuangan dalam wahana tiada sebab akibat. Yaitu menghadap pada ketiadaan melalui pengguguran
sifat awwaliyah, akhiriyah, dzahiriyah dan bathiniyah.

Sehingga yang terjadi adalah menghadapkan sifat ketiadaan pada ketiadaan itu sendiri. Arti sifat
ketiadaan bagi ketiadaan itu adalah segala hal yang berakhir pada pangkal tiada aksioma sebab akibat.
Yaitu menyaksikan Allah Ta’ala seperti tiada penyaksian yang berhubungan, tetapi tidak terpisah.
Penyaksiaan yang tiada sedikitpun adanya peluang kealpaan, dimana dalil pembuktiannya tidak ada
aksioma sebab akibat di dalamnya maupun baginya, yaitu penyaksian Ketiadaan Murni.

Arti dari tidak adanya pembuktian sebab akibat yaitu kelaziman tiadanya penyaksiaan terhadap
makhluk-makhluk yang bisa disaksikan, kemudian secara berurutan, dari ketiadaan murni itu, yaitu
Mabuk dalam Lupa yang abadi, bahkan lupa terhadap kehidupan yang ditunjukkan dalam wacana pada
posisi ini.

Ternyata, jalan hamba ini adalah Jalan Luhur, atau apa yang disebut dengan terlempar ke dalam Lautan
Dzat, lantas ia tiada, lalu dihidupkan dengan kehidupan yang baik, kemudian dipindahkan – tanpa
harus pindah – ke Lautan Sifat, kemudian Lautan Amar Rabbany, kemudian Lautan Sirri, lalu Lautan
al-Qalam yang masih asli , lantas Lautan Ruh, kemudian Lautan Kalbu, lalu Lautan Nafsu, lantas
Lautan Kebajikan , kemudian ia ditemukan dengan Lautan Sirri, lalu dilempar ke Lautan Qolamiyah,
lalu Lautan Lauhiyah, kemudian Lautan Arsyiyah, lantas Lautan Kursy, kemudian Lautan Hijabiyah,
kemudian Lautan Falakiyah. Ia dipertemukan dengan Lautan Sirri yang meliputi, kemudian dilempar
ke Lautan Malakiyah, lalu ke Lautan Abalisah (keiblisan), kemudian Lautan Jinsiyah, baru ke Lautan
Unsiyah.

Disana ia bertemu dengan Lautan Sirri, lalu dilemparkan ke Lautan Syurgawi, lalu Lautan Nirani
(kenerakaan), kemudian dilempar ke Lautan Ihathah (keseluruhan yang meliputi) yaitu Lautan Sirri,
lalu tenggelamlah di sana dalam ketenggelaman yang tidak keluar lagi selama-lamanya kecuali atas
Izin-Nya. Bila Allah menghendaki ia diutus sebagai ganti dari Rasul yang menghidupkan para
hambaNya. Jika Dia berkehendak lain, Dia menutupinya. Dia bertindak sesuai dengan kehendakNya.

Setiap Lautan dari Lautan-lautan itu, meliputi berbagai Lautan di sana, dimana jika orang yang Shaleh
pengganti Rasul masuk di dalam Lautan paling kecil saja dari Lautan-lautan itu, pasti ia tenggelam di
dalamnya dan tidak akan selamat lagi (mentas).

Semua itu merupakan gambaran Thariqat Umum dan Khusus. Hanya Allah Sendiri yang Terpuji.
Proyeksi yang dijadikan ilustrasi di atas sekaligus menggambarkan bagaimana tahapan spiritual, namun
sekaligus juga maqam dan haal ruhani para Sufi. Lebih dari itu menggambarkan peta dunia metafisis
dan struktur Wujud itu sendiri dalam perspektif teosofis.

Tarekat Khalwatiyah

Umumnya, nama sebuah tarekat diambil dari nama sang pendiri


tarekat bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari
Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Tarekat Khalwatiyah justru diambil

dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan
seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan
khalwat di tempat-tempat sepi.

Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari
Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs
Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).

Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya
Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia
mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-
Halabi. Karena pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap
sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran
Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara karyanya yang paling terkenal
adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).

Musthafa al-Bakri sejak kecil dikenal sebagai seorang zahid yang cerdas. Menurut salah satu bukunya,
al-Bakri menceritakan, bahwa dirinya pernah mengalami hidup sebatang kara. Pada waktu kecil,
tepatnya ketika berumur dua tahun, Ayah dan ibunya sempat bercerai. Ia kemudian tinggal bersama
ayahnya setelah ibunya kawin lagi dengan lelaki lain. Al-Bakri juga menyatakan, secara geneologis,
ayahnya masih memiliki nasab sampai kepada Khalifah Abu Bakar r.a. Sedangkan dari sisi ibunya,
nasabnya sampai cucu Rasulullah SAW, al-Husein, putra Khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Hidup al-Bakri suka sekali berkeliling, terutama ke negeri-negeri yang ada di kawasan Timur Tengah.
Hal itu dilakukannya tak lain guna menambah wawasan dan pengetahuan, dan belajar pada guru-guru
yang dianggapnya memiliki ilmu tinggi. Dari Damaskus, kampung halamannya, ia pergi ke kota Quds
di Palestina, kemudian ke Tripoli (Libanon Utara), ke kota Akka dan kemudian singgah di kota Sidon
atau Shaida. Setelah menikah dengan sepupunya tahun 1141 H, ia melanjutnya perjalanannya ke
Mekkah Al-Mukarramah sambil menunaikan ibadah haji. Di sana, ia banyak melakukan kontemplasi
untuk memperdalam pengalaman batinnya.

Setelah tinggal beberapa lama di Mekkah, ia melanjutkan perjalannya ke Mesir. Kemudian kembali ke
Quds dan Irak (Baghdad dan Basrah). Tak lama, ia kembali pergi ke Mekkah untuk berhaji yang
terakhir kalinya. Tahun 1161 H, ia pergi ke Mesir dan menetap di sana hingga akhir hayatnya (1162 H).

Di Mesir inilah, ia banyak berdakwah melalui Tarekat Khalwatiyah yang diambil dari gurunya, Syekh
Abdul Latif bin Husamuddin al-Halabi. Tarekat Khalwatiyah nampaknya telah banyak memberi
pengaruh pada pemikiran maupun amaliyah al-Bakri sehari-hari. Sehingga dari sekitar 200 karya al-
Bakri, sebagian di antaranya banyak berupa amaliyah praktis.

Ajaran dan Dzikir Tarekat Khalwatiyah


Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh
nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik.

Dzikir pertama adalah La ilaaha illallah (pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah). Dzikir pada
tingkatan jiwa pertama ini disebut an-Naf al-Ammarah (nafsu yang menuruh pada keburukan, amarah).
Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang paling terkotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan
perbuatan dosa dan maksiat atau buruk, seperti mencuri, bezina, membunuh, dan lain-lain.

Kedua, Allah (Allah). Pada tingkatan jiwa kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang
menegur). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan
pada pemiliknya dan menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk.

Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang
terilhami). Jiwa ini dianggap yang terbersih dan telah diilhami oleh Allah SWT, sehingga bisa memilih
mana yang baik dan mana yang buruk.

Keempat, Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang).
Jiwa ini selain bersih juga dianggap tenang dalam menghadapi segala problema hidup maupun
guncangan jiwa lainnya.

Kelima, Hay (Maha Hidup). Disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridla). Jiwa ini
semakin bersih, tenang dan ridla (rela) terhadap apa yang menimpa pemiliknya, karena semua berasal
dari pemberian Allah.

Keenam, Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa yang diridlai).
Selain jiwa ini semakin bersih, tenang, ridla terhadap semua pemberian Allah juga mendapatkan
keridlaan-Nya.

Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang sempurna). Dan
inilah jiwa terakhir atau puncak jiwa yang paling sempurna dan akan terus mengalami kesempurnaan
selama hidup dari pemiliknya.

Ketujuh tingkatan (dzikir) jiwa ini intinya didasarkan kepada ayat al-Qur’an. Tingkatan pertama
didasarkan pada surat Yusuf ayat 53: “Sesunguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan”.

Tingkatan kedua dari surat al-Qiyamah ayat 2: “Dan Aku tidak bersumpah dengan jiwa yang menegur”.

Tingkatan ketiga dari surat as-Syams ayat 7 dan 8: “Demi jiwa dan Yang menyempurnakannya. Allah
mengilhami jiwa tersebut kejahatan dan ketakwaannya”.
Tingkatan keempat dari surat al-Fajr ayat 27: “Wahai jiwa yang tenang”.

Tingkatan kelima dan keenam dari surat al-Fajr ayat 28: “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan
keridlaan dan diridlai”.

Sementara untuk tingkatan ketujuh yang sudah sempurna, atau yang berada di atas semua jiwa, secara
eksplisit tidak ada dalam al-Qur’an, karena al-Qur’an seluruhnya merupakan kesempurnaan dari semua
dzikir dan jiwa pemiliknya. Wallahu a’lam.

Tarekat Syattariyah

Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di


India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa
mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.

Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah.
Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.

Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai
cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang
memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.

Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia adalah keturunan Syihabuddin
Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu tempaat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia
ditahbiskan secara resmi menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad Arif.

Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah
dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan
illallah (itsbah), juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang
dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai
Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian
spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hierarki yang sama, kemudian
juga dipakai di dalam Tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah
mampu meniadakan zat, sifat, dan af'al diri (wujud jiwa raga).

Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan
malah semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naksyabandiyah, Abdullah asy-Syattar dikirim
ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota
muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah, ia memperoleh popularitas dan berhasil
mengembangkan tarekatnya tersebut.

Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat
Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di
India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).

Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama


Muhammad A'la, sang Bengali, yang dikenal sebagai Qazan Syattari. Dan muridnya yang paling
berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri
sendiri adalah Muhammad Ghaus dari Gwalior (w.1562), keturunan keempat dari sang pendiri.
Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah, cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik
yoga. Salah seorang penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati di
Gujarat, adalah seorang penulis buku yang produktif dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai
akhir abad ke-16, tarekat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat
Syatttariyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke Indonesia.

Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka,
Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihuddin, dan mendirikan zawiyah di
Madinah. Syekh ini tidak saja mengajarkan Tarekat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarekat lainnya,
sebutlah misalnya Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarekat ini disebarluaskan dan dipopulerkan ke
dunia berbahasa Arab lainnya oleh murid utamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah
seorang khalifahnya, yang kemudian tampil memegang pucuk pimpinan tarekat tersebut, seorang guru
asal Palestina, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661).

Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), asal Turki, tampil
menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan penganjur Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal di
wilayah Madinah.

Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru dari
Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Namun
sebelum Abdul Rauf. Telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran
Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi,
sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat al-wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-
Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang
menguraikan metafisika martabat tujuh ini lebih populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu Arabi
sendiri. Martin van Bruinessen menduga bahwa kemungkinan karena berbagai gagasan menarik dari
kitab ini yang menyatu dengan Tarekat Syattariyah, sehingga kemudian murid-murid asal Indonesia
yang berguru kepada al-Qusyasyi dan Al-Kurani lebih menyukai tarekat ini ketimbang tarekat-tarekat
lainnya yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga oleh Syamsuddin
Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat tujuh, meskipun tidak ada petunjuk atau sumber
yang menjelaskan mengenai apakah Syamsuddin menganut tarekat ini. Namun yang jelas, tidak lama
setelah kematiannya, Tarekat Syattariyah sangat populer di kalangan orang-orang Indonesia yang
kembali dari Tanah Arab.

Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17
ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada
tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan
ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan
tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya
yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan
oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai
Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup
terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).

Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan Sumatera, yang satu
dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang
berpadu dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling "mempribumi" di antara
berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan
berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari
kepercayaan populer orang Jawa.
Ajaran dan Dzikir Tarekat Syattariyah
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang
membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana'.
Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk.
Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum
Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus
mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik)
serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai
tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan
musyahadah.

Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam
ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan
bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum
Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur'an, melaksanakan haji, dan
berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang
keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati.
Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para
tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.

Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk
masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia.
Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat
selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan,
dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas
ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-
kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-
nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke
dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam
hati sanubari.
4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada,
tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu
dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar
pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan
Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa
memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan
kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.

Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat
17: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama
sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)". Adapun
ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:

1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap,
tidak mengetahui Tuhannya.
2. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh,
pamer, 'ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya:
dermawan, sederhana, qana'ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan
menghadapi segala kesulitan.
4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-
sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah
SWT.
5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara', riyadlah, dan menepati
janji.
6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari
segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin,
ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma' al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke
dalam tiga kelompok. Yakni, a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan
keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain; b) menyebut nama Allah
SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-'Alim, dan lain-lain;
dan c) menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti
al-Mu'min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan,
sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang,
sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti
itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.

Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir
hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. Pembimbing
spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas,
tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-
orang yang tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan
wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak
putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai
kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni
mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun
(sempurna dan menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat
menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan haruslah
berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia
terhadap guru atau syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri
dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego
dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari pemberian pelayan;
menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram;
membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang
bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.

Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah


Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para wasithahnya yang
bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi
Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam
melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali
menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian
seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis
keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya
biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi
pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.

Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di
Indonesia:

Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-
Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja'far Syidiq,
kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi,
kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu
Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh
Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada
Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada
Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh
Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus
(Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida' (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di
Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman
(Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi
(Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman
(Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja,
Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo
Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran),
kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad
Munawar Affandi (Nganjuk).

Thoriqoh Tijaniyah

Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad


bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari
gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai
pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu
dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.

At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di 'Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh
tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga
pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia
21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia
kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke
Tilimsan selama lima tahun.

Pada tahun 1186 (1772 - 1773), dia menuju Hijaz untuk menunaikan ibadah haji, dan meneruskan
belajar di Makkah dan Madinah. Di dua kota Haramain ini, dia lebih banyak memfokuskan diri untuk
berguru kepada banyak tokoh tarekat sufi dan mengamalkan ajarannya. Di antara tarekat yang
dipelajarinya, misalnya Tarekat Qadiriyah, Thaibiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Di Madinah dia
belajar langsung kepada seorang tokoh sufi, Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman, pendiri
tarekat Sammaniyah, yang mengajarinya ilmu-ilmu rahasia batin. Kemudian dari Makkah dan
Madinah, dia menuju Kairo dan menetap untuk beberapa lama di sana. Pada tahun 1196 (1781 - 1782),
atas saran dari seorang syekh sufi yang baru dikenalinya, dia kembali ke Tilimsan untuk mendirikan
tarekat sendiri yang independen. Di sana at-Tijani mengadakan khalwat khusus, yakni memutuskan
kontak dengan masyarakat sampai mendapatkan ilham (fath/kasyf).

Dalam fath yang diterimanya, dia mengaku bahwa hal itu terjadi dalam keadaan terjaga. Ketika itu,
Nabi SAW mendatanginya dan memberitahukan bahwa dirinya tidaklah berhutang budi pada syekh
tarekat mana pun.

Karena menurut dia, Nabi sendiri-lah yang selama ini menjadi pembimbingnya dalam bertarekat.
Selanjutnya, Nabi SAW menyuruh dia untuk meninggalkan segala sesuatu yang telah dipelajari
sebelumnya berkenaan dengan tarekat. Bahkan dia juga diberi izin untuk mendirikan tarekat sendiri
disertai wirid yang mesti diajarkan kepada masyarakat, yaitu istighfar dan shalawat yang diucapkan
masing-masing sebanyak 100 kali.

Setelah kejadian itu, ia kembali ber'uzlah di padang pasir dan berdiam di oase Bu Samghun. At-Tijani
tampaknya menghadapi tekanan dari kaum otorita Turki. Di tempat inilah ia menerima ilham yang
terakhir (1200/1786).

Dalam fath ini Nabi SAW memberikan tambahan wirid, yaitu tahlil yang harus diucapkan sebanyak
100 kali. Nabi SAW juga mengatakan bahwa at-Tijani adalah penunggu yang akan menyelamatkan
hamba Allah yang durhaka. Pada tahun 1213/1798, dia meninggalkan 'uzlahnya dari padang pasir dan
pindah ke Maroko untuk memulai menjalankan misi yang lebih luas lagi, dari kota Fes. Di kota ini dia
diterima baik oleh penguasa Maulay Sulaiman dan tetap tinggal di sana sampai wafatnya pada 22
September 1815, dalam usia 80 tahun.

Meskipun dia banyak bertarekat dan menjadi muqaddam khalwatiyah (at-Tijani mempunyai silsilah
Khalwatiyah), tetapi pada perkembangan selanjutnya, yakni setelah menjalani hidup sufistik secara
ketat dan keras, dia kemudian mendirikan tarekat yang independen, yang diyakini atas izin Nabi SAW.

Tarekat yang didirikan at-Tijani ini agak unik dan sedikit banyak berbeda dengan tarekat-tarekat lain
terutama soal silsilahnya. Misalnya dari Syekh Ahmad, sang pendiri, langsung kepada Nabi SAW,
melintas jarak waktu 12 abad. Begitu juga anggota tarekat ini bukan hanya tidak dibenarkan untuk
memberikan bait 'ahd kepada syekh mana pun, tetapi juga melakukan dzikir untuk wali lain dan dirinya
serta wali-wali dari tarekatnya. Menurut at-Tijani, Tuhan tidak menciptakan dua hati dalam hati
manusia, dan oleh karenanya tak seorang pun dapat melayani dua orang mursyid sekaligus.

Lagi pula, bagaimana mungkin seorang salik akan bisa sempurna menempuh suatu jalan, sedangkan
pada waktu bersamaan ia juga sedang menampuh (mengambil) jalan lain?
Sejak tinggal di kota Fes ini, at-Tijani lebih berkonsentrasi pada pengembangan tarekatnya sendiri.
Sebagai seorang syekh tarekat yang berpengaruh dia berkali-kali diajak oleh penguasa negeri itu untuk
bergabung dalam urusan politik. Namun, dia tetap menolak. Sikapnya inilah yang membuat dia
semakin disegani, dicintai, dan dihormati, baik oleh penguasa setempat maupun oleh masyarakat
sekitarnya. Lebih dari itu, pihak penguasa Maulay Sulaiman, meski permintaannya ditolak, tetap
memberikan berbagai hak istimewa kepadanya.

Semula tarekat yang dipimpin at-Tijani ini mendapatkan pengikut di Maghribi karena kecamannya
terhadap ziarah ke makam para wali dan mawsin yang populer pada waktu itu. Namun karena
perekrutan untuk menjadi muqaddam yang ditetapkan oleh at-Tijani agak longgar, misalnya dengan
menunjuk sebagai muqaddam-muqaddam siapa pun yang melakukan bai'at, tanpa mengharuskan
latihan selain dalam hukum dan aturan-aturan ritual, dengan tekanan utama pada ditinggalkannya
semua ikatan dengan syekh-syekh lama kecuali dirinya. Sehingga setelah at-Tijani wafat, agen-agen
tadi telah tersebar luas dan dengan sebuah sistem yang mendukungnya membuat dia mempunyai
kekuatan penuh. Tarekat ini dengan segera menyebar luas dari Maghribi hingga Afika Barat, Mesir dan
Sudan.

Aktivistas gerakan Tarekat Tijaniyah terbukti sangat positif dan militan. Seperti halnya para pengikut
tarekat Qadariyah dan Syadziliyah, para murid tarekat ini berjasa menyebarluaskan Islam ke berbagai
kawasan Afrika.

Menurut Coppolani, mereka menyiarkan Islam di kalangan pemeluk animisme dengan persaudaraan-
persaudaraan sufi lainnya dan berada di garis terdepan dalam melakukan perlawanan terhadap ekspansi
kolonialisme. Dari at-Tijani lalu diwakili oleh tokoh lainnya seperti al-Hajj Umar di Sudan Barat. Di
Republik Turki, sebuah kelompok kecil penganut Tarekat Tijaniyah, adalah orang-orang muslim
pertama yang secara terbuka menetang rezim sekulerisme sekitar tahun 1950.

Tarekat ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1920-an, setelah disebarkan di Jawa Barat oleh
seorang ulama pengembara kelahiran Makkah, Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari, yang telah
menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini dari dua orang syekh yang berbeda. Dan, pada tahun-
tahun berikutnya, beberapa orang Indonesia yang belajar di Makkah menerima bai'at untuk menjadi
pengikut Tarekat Tijaniyah dan mendapat ijazah untuk mengajar dari para guru yang masih aktif di
sana.

Ini terjadi setelah serbuan Wahabi kedua terhadap Makkah pada tahun 1824, dan kebanyakan tarekat
lain tidak dapat lagi menyebarkan ajaran pengkultusan terhadap para wali, tampaknya masih dapat
ditolelir.

Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh tarekat-tarekat lain. Gugatan keras dari kalangan ulama
tarekat itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Tarekat Tijaniyah beserta keturunannya sampai
tujuh generasi akan memperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh
dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih
dari itu, para pengikut Tarekat Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru tarekat
lain, yang dalam pandangan syekh pesaingnya dianggap sebagai praktik bisnis yang culas. Meski
demikian, tarekat ini terus berkembang, utamanya di Cirebon dan Garut (Jawa Barat), Madura dan
ujung Timur pulau Jawa sebagai pusat peredarannya. Penentangan ini baru mereda ketika Jam'iyyah
Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan setelah memeriksa wirid dan wadzifah tarekat
ini. Dan tanpa memberikan pernyataan-pernyataan ekstremnya tarekat ini bukanlah tarekat sesat,
karena amalan-amalannya sesuai ajaran Islam.

Sepanjang tahun 80-an tarekat ini ngalami perkembangan yang sangat pesat, terutama di Jawa Timur.
Respons terhadap perkembangan yang dicapai tarekat ini menyebabkan pecahnya kembali konflik
dengan para guru dari tarekat lain. Akar konflik ini lebih tertuju kepada persaingan keras untuk
mendapatkan murid dan perasaan sakit hati di kalangan sebagian guru yang kehilangan banyak murid
berpindah ke Tarekat Tijaniyah.

Kepindahan murid-murid dari tarekat lain ke Tarekat Tijaniyah ini berarti hilang pula murid-murid dari
tarekat lain. Karena Tarekat Tijaniyah sama sekali tidak membolehkan para pengikutinya untuk
berafiliasi lagi kepada syekh tarekat yang dianut sebelumnya.*** Salahuddin

Ajaran dan Dzikir Tarekat Tijaniyah


Sejauh ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam tarekatnya. Ajaran-
ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya
Jawahir al-Ma'ani wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa
Ma'a at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua kitab yang disebut
pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam
dalam persyaratan masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.

Meskipun at-Tijani menentang keras pemujaan terhadap wali pada upacara peringatan haii tertentu dan
bersimpati kepada gerakan reformis kaum Wahabi, tetapi dia sendiri tidak menafikan perlunya wali
(perantara) tersebut. At-Tijani sangat menekankan perlunya perantara (wali) antara Tuhan dan manusia,
yang berperan sebagai wali zaman. Oleh karena itu, buku panduan Tijani kalimatnya dimulai dengan,
"Segala puji bagi Allah yang telah memberikan sarana kepada segala sesuatu dan menjadikan sang
Syekh perantara sarana untuk manunggal dengan Allah". Dalam hal ini, perantara itu tak lain adalah dia
sendiri dan penerusnya. Dan sebagaimana tarekat-tarekat lain, tarekat ini juga menganjurkan agar
anggota-anggotanya mengamalkan ajaran dengan menggambarkan wajah syekh tersebut dalam ingatan
mereka, dan mengikuti seluruh nasehat syekh dengan tenang.

Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya
terdiri dari Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh
dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istghfar
(astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa hua al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih
(Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir
al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa'ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh al-adzim)
sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak 100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul
Kamal sebanyak 12 kali.

Pembacaan wadhifah ini juga paling sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada sore dan malam hari,
tetapi lebih afdlal dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap hari Jum'at membaca Hayhalah, yang
terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah, setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam. Dalam hal
dzikir ini at-Tijani menekankan dzikir cepat secara berjamaah. Beberapa syarat yang ditekankan tarekat
ini untuk prosesi pembacaan wirid dan wadhifah: berwudlu, bersih badan, pakaian dan tempat,
menutup aurat, tidak boleh berbicara, berniat yang tegas, serta menghadap kiblat.

Satu hal yang penting dicatat dari dzikir Tarekat Tijaniyah -- yang membedakannya dengan tarekat-
tarekat lain -- adalah bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat Idrisiyyah,
lebih menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi SAW, bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal
mana merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena itu, anggota
tarekat ini juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan At-Thariqah Al-Muhammadiyyah atau At-
Thariqah al-Ahmadiyyah, termanya merujuk langsung kepada nama Nabi SAW. Akibatnya, jelas
tarekat ini telah memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak
terhadap asketisme dan lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali dalam
praktik mereka yang tidak terlalu menekankan pada bimbingan yang ketat, dan penolakan atas ajaran
esoterik, terutama ekstatikdan metafisis sufi.

Berikut petikan dari kitab As-sirr al-Abhar Ahmad at-Tijani yang menyangkut berbagai tata tertib,
aturan dan dzikir dalam tarekat ini:

"Anda haruslah seorang muslim dewasa untuk melaksanakan awrad, sebab hal (awrad) itu adalah karya
Tuhannya manusia. Anda harus meminta izin kepada orang tua sebelum mengambil thariqah, sebab ini
adalah salah satu sarana untuk wushul kepada Allah. Anda harus mencari seseorang yang telah
memiliki izin murni untuk mentasbihkan Anda ke dalam awrad, supaya Anda dapat behubungan baik
dengan Allah.

Anda sebaiknya terhindar sepenuhnya dari awrad lain manapun selain awrad dari Syekh Anda, sebab
Tuhan tidak menciptakan dua hati di dalam diri Anda. Jangan mengunjungi wali manapun, yang masih
hidup maupun yang sudah meninggal, sebab tidak seorang pun dapat melayani dua mursyid sekaligus.
Anda harus disiplin dan menjalankan shalat lima waktu dalam jamaah dan disiplin dalam menjalankan
ketentuan-ketentuan syari'at, sebab semua itu telah ditetapkan oleh makhluk terbaik (Nabi SAW). Anda
harus mencintai Syekh dan khalifahnya selama hidup Anda, sebab bagi makhluk biasa cinta semacam
itu adalah sarana untuk kemanunggalan: dan jangan berfikir bahwa Anda mampu menjaga diri Anda
sendiri dari Kreativitas Tuhan Semesta, sebab ini adalah salah satu ciri dari kegagalan.

Anda dilarang untuk memfitnah, atau menimbulkan permusuhan terhadap Syekh Anda, sebab hal itu
akan membawa kerusakan pada diri Anda. Anda dilarang berhenti untuk melantunkan awrad selama
hidup Anda, sebab awrad itu mengandung misteri-misteri Sang Pencipta. Anda harus yakin bahwa
Syekh mengatakan kepada Anda tentang kebijakan-kebijakan, sebab itu semua termasuk ucapan-
ucapan Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir.

Anda dilarang mengkritik segala sesuatu yang tampak aneh dalam thariqah ini, atau Penguasa Yang
Adil akan mencabut Anda dari kebijak-kebijakan.

Jangan melantunkan wirid Syekh kecuali sesudah mendapat izin dan menjalani pentasbihan (talqin)
yang selayaknya, sebab itu keluar dalam bentuk ujaran yang lugu. Berkumpullah bersama untuk
wadhifah dan dzikir Jum'at dengan persaudaraan, sebab itu adalah penjagaan terhadap muslihat syetan.
Anda dilarang membaca Jauharat al-Kamal kecuali dalam keadaan suci dari hadats, sebab Nabi SAW
akan hadir dalam pembacaan ketujuh.

Jangan menginterupsi (pelantunan yang dilakukan oleh) siapa pun, khususnya oleh sesama sufi, sebab
interupsi semacam itu adalah cara-cara syetan. Jangan kendur dalam wirid Anda, dan jangan pula
menundanya dengan dalih apa pun atau yang lain, sebab hukuman akan jatuh kepada orang yang
mengambil wirid lantas meninggalkan sama sekali atau melupakannya, dan dia akan menjadi hancur.
Jangan pergi dan mengalihkan awrad tanpa izin yang layak untuk malakukan itu, sebab orang yang
melakukan hal itu dan tidak bertaubat niscaya akan sampai kepada kejahatan dan kesengsaraan akan
menimpanya. Anda dilarang memberitahukan wirid kepada orang lain kecuali saudara Anda dalam
thariqah, sebab itu adalah salah satu pokok etika sains spiritual".

Setiap tarekat memiliki satu atau lebih doa kekuatan khusus, misalnya Hizb al-Bahr milik Tarekat
Syadziliyah, Subhan ad-Daim Isawiyah, Wirid as-Sattar milik Khalwatiyah, Awrad Fathiyyah milik
Hamadaniyyah, dan lain-lain. Ciri khusu dari dzikir dan wirid yang menjadi andalan milik penuh
tarekat ini adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal. Mengenai Shalawat Fatih, at-Tijani
mengatakan bahwa dirinya telah memperintahkan untuk mengucapkan doa-doa ini oleh Nabi SAW
sendiri. Meskipun pendek, doa itu dianggap mengandung kebaikan dalam delapan jenis: orang yang
membaca sekali, dijamin akan menerima kebahagiaan dari dua dunia; juga membaca sekali akan dapat
menghapus semua dosa dan setara dengan 6000 kali semua doa untuk memuji kemuliaan Tuhan, semua
dzikir dan doa, yang pendek maupun yang panjang, yang pernah dibaca di alam raya. Orang yang
membacanya 10 kali, akan memperoleh pahala yang lebih besar dibanding yang patut diterima oleh
sang wali yang hidup selama 10 ribu tahun tetapi tidak pernah mengucapkannya. Mengucapkannya
sekali setara dengan doa seluruh malaikat, manusia, jin sejak awal penciptaan mereka sampai masa
ketika doa tersebut diucapkan, dan mengucapkannya untuk yang kedua kali adalah sama dengannya
(yaitu setara dengan pahala dari yang pertama) ditambah dengan pahala dari yang pertama dan yang
kedua, dan seterusnya.

Tentang Jauharat al-Kamal, yang juga diajarkan oleh Nabi SAW sendiri kepada at-Tijani, para anggota
tarekat ini meyakini bahwa selama pembacaan ketujuh Jauharat al-Kamal, asalkan ritual telah
dilakukan sebagaimana mestinya, Nabi SAW beserta keempat sahabat atau khalifah Islam hadir
memberikan kesaksian pembacaan itu. Wafatnya Nabi SAW tidaklah menjadi tirai yang menghalangi
untuk selalu hadir dan dekat kepada mereka. Bagi at-Tijani dan anggota tarekatnya, tidak ada yang
aneh dalam hal kedekatan ini. Sebab wafatnya Nabi SAW hanya mengandung arti bahwa dia tidak lagi
dapat dilihat oleh semua manusia, meskipun dia tetap mempertahankan penampilannya sebelum dia
wafat dan tetap ada di mana-mana: dan dia muncul dalam impian atau di siang hari di hadapan orang
yang disukainya.

Akan tetapi kaum muslim ortodoks membantah penyataan Ahmad Tijani dan para pengikutnya yang
menyangkut pengajaran Nabi SAW ini kepadanya. Sebab jika Nabi SAW secara pribadi mengajari at-
Tijani rumusan-rumusan doa tertentu maka itu berarti bahwa Muhammad telah "wafat" tanpa
menyampaikan secara sempurna pesan kenabiannya, dan mempercayai hal ini sama dengan tindak
kekafiran, kufr.

Tentu saja, alasan kaum muslim ortodoks ini masih bisa diperdebatkan, misalnya tanpa bermaksud
membela tarekat ini dengan mempertanyakan kembali, apakah betul pengajaran Nabi SAW melalui
mimpi itu berarti mengurangi kesempurnaan kenabiannya? Bukankah substansi dari pengajaran itu
lebih tertuju kepada perintah bershalawat yang masih dalam bingkai pesan kenabian (syari'at), dan
bukan merupakan hal yang baru? Bukankah Nabi SAW pernah bersabda bahwa mimpi seorang
mukmin seperempat puluh enam dari kenabian? Menyangkut pahala pembacaannya, bukankah rahmat
dan anugerah Allah yang tak terhingga akan tercurahkan kepada umat Islam yang senantiasa
mewiridkan shalawat kepada sang hamba paripurna, kekasih dan pujaan-Nya, Muhammad Rasulullah
SAW?.

http://www.sufinews.com/index.php

Anda mungkin juga menyukai