Anda di halaman 1dari 10

Sepuluh Buku Terbaik Antropologi

Hatib KadirAugust 15, 2016Uncategorized

Keputusan memilah 10 buku antropologi ini


berdasarkan studi literatur yang paling mengesankan
saya secara pribadi yang telah belajar antropologi
selama lebih dari 10 tahun. Sepuluh buku ini juga
sering menjadi bahan perbincangan dikalangan
akademisi dan kolega, baik sejak di strata satu,
antropologi UGM, maupun rekan-rekan doktoral saya
di Amerika.

Selain itu, sepuluh buku paling berpengaruh ini tidak


saja sering dikutip dalam berbagai penelitian, namun
juga telah membangun teori-teori dalam antropologi,
sekaligus mendobrak berbagai pengetahuan umum
yang selama ini sering kita terima begitu saja.

10. The Devil and Commodity Fetishism in South America, Michael Taussig

Jika Gabriel Garcia Marquez adalah salah satu sastrawan paling terkemuka di Amerika
Latin, maka Buku Taussig ini adalah seri antropologi yang menyerupai Marquez. Sudut
pandang yang digunakan oleh Taussig seperti “magic realism”nya Marquez. Taussig
menggabungkannya dengan ide Marx tentang “commodity fethisism” ke dalam dunia
yang sangat surealis. Buruh (labor) adalah pekerjaan baru yang muncul seiring dengan
munculnya perkebunan di Columbia dan pertambangan di Bolivia. Bagi orang Bolivia,
pasar dan kapitalisme adalah magic, karena ia menyebabkan proses pemiskinan yang
tidak dapat dilihat (invisible) namun mereka merasa akibat-akibatnya. Semenjak menjadi
buruh, orang-orang Bolivia, Columbia sangatlah terasing. Mereka tidak lagi mempunyai
tanah seperti sebelumnya. Jikapun ada, tanaman yang ditanam bukan lagi untuk dimakan
melainkan untuk dijual. Mereka terjerat hutang, hidup secara individualis, konsumtif, dan
mengejar komoditas baru yang tak pernah usai jika terus diburu. Komoditas baru tersebut
bernama uang. Hasrat untuk memburunya adalah bagian dari setan tersebut. Rasa tak
pernah puas terhadap komoditas uang adalah sumber baru yang menyebabkan kaum
buruh merasa dirinya selalu miskin.

1
Kesimpulannya, pasar kapitalisme itu seperti Tuhan. Manusia menciptakannya sendiri, ia
merasa sangat senang terhadap ciptaannya sendiri, lantas, ia sendiri akan merasa terasing
dengan ciptaannya…Pada akhirnya, manusia sesungguhnya bermain dengan imajinasi
kolektifnya sendiri. Buku ini sekaligus mengusung ide-ide perjuangan klas tanpa
dimunculkan dengan vulgar dan penuh jargon. Melainkan ia disajikan dengan penuh
metafora-metafora surealis. Seperti yang diinginkan oleh generasi sekarang ….
menampilkan kesedihan tapi dengan penuh keindahan dan metafora…

9. Give a Man a Fish, James Ferguson

Buku ini bukan hanya sekedar teori. Dan


buku ini bukan sekedar kritik terhadap
pembangunan seperti yang telah banyak
dilakukan oleh para antropolog, termasuk
Ferguson sendiri dalam bukunya The Anti-
Politics Machine. Hal terpenting dari
buku Give a Man a Fish adalah menawarkan
bentuk pembangunan yang seharusnya adil
dan merata. Ferguson memberikan contoh-
contoh “Welfare State” yang bukan
dilakukan oleh Negara-Negara Eropa Barat
atau Skandivania, tapi ini di Negara-negara
yang notabene “miskin”, yakni di Afrika
Bagian Selatan, seperti Namibia. Konsep
paling penting dalam buku ini adalah “politik
redistribusi”. Setiap warga Negara adalah
pemegang saham, sehingga mereka berhak
mendapatkan “basic income” sebagai
bantuan tanpa syarat. Bagi hasil tidak
diberikan kepada wage labor (buruh upahan)
yang sudah bekerja, tapi citizen of the
kinship/state (warga Negara) yang begitu lahir sudah harus diberikan haknya. Pandangan
umum yang sinis selalu melihat bahwa penerima bantuan akan menggunakannya untuk
mabuk-mabukkan atau berjudi, namun bukankah pandangan ini sangat bersifat
paternalistik? Persis seperti ketika orang tua memberi uang kepada anaknya, pasti akan
digunakan secara sia-sia. Ternyata tidak, studi-studi etnografis yang ditemukan Ferguson
menunjukkan bahwa transfer uang tanpa syarat justru memunculkan semangat wirausaha
di kalangan masyarakat kecil. Berbeda dengan bantuan Welfare State di Negara Eropa
Barat, pemberian tranpa syarat dalam bentuk uang cash (UCT/unconditional cash
transfer) di Negara-negara bagian Selatan Afrika tidak bersifat patriarkis. Uang tidak
diberikan kepada laki-laki kepala keluarga, tapi juga diberikan kepada istri dan anak. Hal
ini berakibat positif pada kesetaraan gender dan dalam skala luas adalah pengurangan
ketimpangan. UCT juga tidak mengakibatkan inflasi karena uang yang diberikan adalah

2
hasil pajak dari ekstraksi tambang dan pajak progresif dari orang kaya tentunya.
Menariknya, Ferguson menunjukkan bahwa kewajiban dalam melakukan transfer
redistribusi oleh Negara dengan merujuk pada contoh-contoh sistem bagi hasil
masyarakat primitif dari berburu, yang mana sudah dilakukan sebelum adanya Negara.

Berbeda dengan pandangan Marxian yang melihat bahwa produksi adalah hal dominan,
Ferguson melihat justru distribusilah yang menentukan produksi. Dari judul bukunya,
Ferguson membalikkan logika, bahwa hal yang paling manjur justru memberi orang ikan
daripada kail. Dengan memberi ikan, orang justru akan memanfaatkan ikan tersebut
secara baik. Redistribusi “ikan” justru menunjukkan bahwa orang mampu melakukan
reproduksi dengan sangat baik. Jika anda sudah lelah memaki dan mengkritik, buku ini
wajib dibaca sebagai detoks pikiran anda dalam memberikan rekomendasi kepada sistem
pemerintahan yang adil dan merata.

8. Cows, Pigs, Wars and Withces, Marvin Harris

Buku ini menunjukkan bahwa Marvin Harris


bukan seorang Marxis ortodoks. Ia mengga-
bungkan pendekatan ekologi dengan kepercaya-
an/agama. Yang paling mengesankan dalam
buku ini adalah soal teka-teki kebudayaan
mengapa orang di Timur Tengah mengharam-
kan/membenci babi, sedangkan orang di
pegunungan Papua tidak mengharam-an/menyu-
kai babi. Harris melakukan penjelasan melalui
pendekatan ekologi. Di Timur Tengah, babi
adalah binatang yang jorok, selalu mengeluar-
kan keringat dan selalu berkubang di lumpur
karena suhu yang panas. Babi juga tidak
mempunyai fungsi seperti kambing. Ia tidak
menghasilkan susu (tidak ada susu babi) dan
babi adalah binatang yang tidak bisa diajak
melakukan migrasi jauh (pernah lihat film-film
kisah nabi kan, pasti diikuti oleh gembala
kambing-kambing disekitarnya, bukan babi).
Sebaliknya, babi di Pegunungan Papua tidak
mengeluarkan keringat karena suhunya tidak sepanas di Timur Tengah. Di dataran tinggi
Papua, Babi menjadi simbol pertukaran ekonomi yang penting.

3
Harris juga menjawab teka-teki agama mengapa orang Hindu di India menempatkan sapi
sebagai binatang yang suci? Harris berpendapat pemujaan dan pelarangan mengkonsumsi
sapi berkaitan dengan alasan keseimbangan ekologi dan ekonomi. Pelarangan
mengkonsumsi sapi khususnya terjadi pada musim kering, karena masyarakat akan
tergoda untuk menjual atau menyembelihnya. Begitu musim hujan tiba, masyarakat akan
kehilangan sapinya untuk membantu membajak tanah. Sapi juga mempunyai fungsi
beragam, seperti susu, penggembur tanah, samak kulit dll.

Dengan menggunakan penjelasan material ekonologis, buku ini sangat penting untuk
membongkar kesadaran palsu kita dalam beragama. Pengharaman konsumsi babi dalam
Al Quran dan Taurat misalnya, adalah bagian dari kesadaran ekologis dibanding doktrin
semata.

7. Toward an Anthropoligcal Theory of Value, David Graeber

Ini adalah buku yang paling inovatif dalam


membahas soal “teori nilai”. Selain
menggabungkan berbagai penjelasan tentang apa
itu nilai mulai dari pandangan Marx hingga kritik
terhadap Pierre Bourdieu, buku ini juga mensuplai
dengan berbagai kasus etnografi tentang hal-hal
paling bernilai dalam pertukaran dan resiprositas .
Graeber mendefinisikan nilai (value) sebagai
sesuatu yang paling dihasrati/diinginkan oleh
manusia.

Graeber dengan gamblang mendefinisikan nilai


dari tiga kacamata. Pertama, Kaum formalis
Antropo-logis dan kaum libertarian melihat nilai
ada pada objek barang, harta dan properti. Kedua,
nilai juga ada pada hal-hal yang tidak bisa dilihat
seperti relasi sosial, penghormatan, dan rasa
kebahagiaan. Pandangan ini diusung oleh kaum
sosialis dan substantive Antropologis. Ketiga, nilai
juga dapat dilihat pada kata-kata, pidato dan bahasa, do’a, dzikir, jopa-japu dan
sejenisnya. Pandangan ini mengacu pada pendekatan Antropolog Levi-Strauss dan
Saussurian. Sebagai seorang aktivis, Graeber kemudian melangkah lebih jauh bahwa
sesuatu dapat dikatakan bernilai jika ia dimulai dengan praktik. Dengan melalui praktik,
sesuatu menjadi dapat bernilai. Sebagai misal, aksi-aksi manusia melalui transaksi dan
pertukaran membuat sebuah benda maupun kata-kata menjadi bernilai. Dengan melalui
aksi kata-kata yang disampaikan oleh seorang figur yang mempunyai kualitas sebagai

4
manusia, membantu menaikkan nilai (leverage) dari sebuah objek. Graeber tidak sepakat
dengan kaum kognitif bahwa sebuah nilai hanya tertanam dalam kode-kode makna dan
klasifikasi pemikiran. Kategori tidak hanya tertanam dalam otak, tapi dapat
diejawantahkan melalui relasi sosial dan aksi-aksi.

6. Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History, Sidney Mintz

Yang menarik dari buku ini adalah Mintz


menceritakan sejarah gula yang pada awalnya
dipandang eksotis, dan masuk dalam kategori
rempah-rempah yang setara dengan cengkeh,
pala dan lada. Namun sejak diproduksi massal
untuk kebutuhan klas Menengah Eropa yang
meningkat tajam pada abad delapan belas, gula
dikeluarkan dari klasifikasi rempah eksotis.
Secara esensial manusia memang menyukai
rasa manis, yang pada awalnya diproduksi dari
buah dan madu. Semenjak tebu mulai
diproduksi dalam perkebunan yang besar, di
Karibia, di Sumatera, di Jawa dll ia mulai
dikeluarkan dari kategori rempah yang eksotis.

Yang terpenting dari buku ini adalah, Mintz


menunjukkan bahwa produksi tebu datang
bersamaan dengan sejarah penaklukkan dan
kolonisasi. Untuk menekan harga produksi
banyak budak dan buruh murah yang
dilibatkan dalam proses pekerjannya. Mintz,
adalah sejarawan Marxis. Ia percaya bahwa
perkembangan kapitalisme pasti dihasilkan
dari sejarah eksploitasi budak dan buruh murah. Karena itu ia melihat bahwa sejarah tebu
dan gula adalah eksploitasi melalui mekanisasi dan maksimalisasi kekuatan pekerja demi
menghasilkan produksi massal. Produksi gula dihasilkan melalui pembagian divisi kerja
dan konstruksi kesadaran waktu kerja buruh di perkebunan tebu. Karena dieksploitasi
untuk kebutuhan pasar, secara ekologis, tebu sangat menyita air yang banyak dibanding
padi sawah. Karena itu, daerah-daerah di sekitar perkebunan ini sangat rawan dengan
penyakit seperti kolera dan malaria. Penyakit terakhir ini datang karena sifat tebu yang
manis dan mengundang nyamuk.

Buku ini memberikan pelajaran yang sangat baik jika hendak meneliti komoditi yang
sekarang tengah digandrungi klas menengah “ngehek”, seperti kopi misalnya. Periksa
dibalik produksi kopi, ada sejarah eksploitasi buruh yang panjang. Buku ini
menginspirasi banyak karya yang meneliti bagaimana sebuah komoditas dipasarkan tidak

5
lepas dari proses kolonialisasi, pertukaran, pemiskinan Negara-negara di dunia selatan
dan wabah penyakit yang dihasilkan. Para antropolog yang terinspirasi terhadap karya
Mintz tentunya seperti Anna Tsing yang meneliti jamur, Tania Murray Li yang meneliti
coklat/cocoa dan Sarah Besky yang meneliti teh di India. Jika anda hendak meneliti
garam, cengkeh, lada, gandum, padi, atau komoditas lainnya yang kini tengah digemari
secara global, buku ini patut jadi rujukannya!

5. Stone Age economics, Marshall Sahlins

Apa itu kemewahan? Apa itu miskin? Buku


ini memberikan jawaban reflektif dan
philosofis dengan cara memberikan ratusan
contoh etnografis di dalamnya. Jika
indikator kemewahan adalah ketercukupan
kalori, waktu luang yang melimpah dengan
jumlah jam kerja yang tidak banyak
perminggunya, serta kepemilikan ruang/
tanah untuk mata pencaharian, Sahlins
menunjukkan bahwa masyarakat primitif
berburu dan meramu adalah masyarakat
yang hidup dengan penuh kemewahan.
Sahlins melacak asal-usul kemewahan ini
dalam konsep yang ia sebut dengan “the ori-
ginal affluent society”. Masyarakat berburu
dan meramu mempunyai beragam jenis
pangan (diet). Mereka menempatkan bera-
gam cadangan makanan di “alam” sehingga
waktu bekerja untuk mendapatkannya tidak
begitu banyak. Jika dihitung, jumlah waktu
kerja (work) plus kerja di rumah (house-
work) mencapai antara kisaran 20-22
jam/miggu, bandingkan dengan masyarakat modern yang bekerja lebih dari 40 jam
perminggunya. Namun demikian, masyarakat modern memandang mata pencaharian
berburu dan meramu sebagai orang miskin karena mereka hidup secara subsisten dan
tidak melakukan akumulasi sumber daya. Berbeda dengan orang modern yang selama ini
didefinisikan “kaya”, masyarakat berburu meramu tidak mengalami kelangkaan pangan,
kelaparan dan tercerabut dari sumber mata pencahariannya. Melalui buku inilah Sahlins
kemudian disebut sebagai “Zen Marxism”. Sahlins berpendapat bahwa masyarakat
berburu meramu mempunyai hasrat/keingingan yang sedikit dan terbatas, sedangkan
masyarakat modern mempunyai hasrat terhadap berbagai hal yang tidak terbatas. Lantas
jika orang kaya didefinisikan sebagai orang yang merasa dirinya “sudah berkecukupan”
siapakah sebenarnya orang yang kaya tersebut?

6
4. Moral Economy of the Peasants, James Scott

Ini adalah buku yang sangat baik


menggambarkan reaksi petani menghadapi
perubahan besar. Munculnya Negara dan
berubahnya relasi patron klien yang lama.
Munculnya pajak, survey batas
penggunaan lahan, mekanisasi dan
penggandaan produksi (double cropping),
munculnya jenis pekerjaan baru berupa
buruh murah, hingga marketisasi pertanian,
semua ini ditanggapi kaum tani dengan
reaksi keras berupa pemberontakan
dimana-mana. Depresiasi nilai-nilai
tradisional dan munculnya patron baru
menimbulkan banyak ketidakpatuhan dan
perlawanan dimana-mana. Pemiskinan
struktural tengah terjadi pada kaum petani,
sehingga relasi yang dulunya berdasarkan
resiprositas berganti menjadi relasi klas
antara tuan tanah yang makin kaya dengan
petani tak berlahan, pemilik mesin-mesin
produksi tani dan buruh tani. Sistem buruh
upahan membuat kaum tani membutuhkan
uang kas. Petani diperkenalkan dengan
berbagai macam kebutuhan baru, pasca
revolusi hijau. Membaca buku ini, saya berkesimpulan bahwa “we are all peasant, we are
pushed to the limit of consumption”. Kita semua adalah petani yang ditekan hingga batas
konsumsi dan hidup dalam subsisten. Semua kebutuhan dimunculkan, sehingga kita
dibuat seperti petani, hidup dalam keadaan yang pas-pasan. Pemiskinan struktural bukan
terjadi karena rendahnya pendapatan, melainkan karena sistem-sistem baru yang
menyebabkan kita untuk terus harus berbelanja dan berbelanja….purchase and
purchase….sehingga hidup dalam kondisi miskin dan pada akhirnya memberontak
marah….

The Nuer Evans Pritchard

Yang paling impresif dari buku ini adalah di bagian bab pertama ketika Evans Pritchard
pertama kali datang ke Nuer di Sudan Selatan. Penduduk masih trauma dengan orang-
orang kulit putih dan koloni Inggris. Pritchard harus mendirikan tenda berhari hari hingga
akhirnya ia dapat melakukan wawancara. Ia seringkali hanya dimintai rokok, namun
orang Nuer tidak memberikan informasi tentang apapun. Secara teoretik, ini adalah buku
etnografi paling berpengaruh yang pernah diterbitkan dalam dunia antropolog.

7
Pritchard menunjukkan bahwa prototipe dari semua studi
etnografi dapat menghasilkan teori didalamnya. Pritchard
mampu menggambarkan keterkaitan antara mata
pencaharian, kekerabatan dan ekologi dengan abstraksi
tingkat tinggi. Pasang dan surutnya Sungai Nil, denyut
naik turunya sungai tersebut mengakibatkan model
perkumpulan dan persebaran tempat tinggal. Selain itu,
konsep yang menarik adalah orang Nuer mempunyai
pandangan ecological time yang unik. Dalam satu hari,
waktu pagi adalah yang paling panjang dibanding sore,
karena mereka disibukkan dengan mengurus ternak di
pagi hari.

Buku ini menjadi bacaan wajib bagi teman-teman yang


ingin belajar tentang relasi mata pencahariaan dengan
ekologi, dan kekerabatan. Kesimpulan umum dari buku
ini adalah masyarakat yang mempunyai mode produksi
mata pencaharian berbeda akan mempunyai jenis
organisasi sosial dan politik (baca:kekerabatan) berbeda, dan pada akhirnya membentuk
pemikiran yang berbeda pula. Pritchard menggambarkan bahwa ternak menjadi mata
pencaharian paling penting bagi orang Nuer, karena dari hewan ternak, semua pertukaran
dapat dimungkinkan. Namun demikian, akumulasi ternak dipandang tidak ada gunanya,
karena kelebihan ternak patut diberikan pada kerabat untuk digunakan pada pertukaran
lainnya. Dengan demikian, konsep kepemilikan pribadi tidak dijalankan. Masyarakat
hidup secara demokratis, pemimpin hanya muncul pada saat-saat tertentu, misalnya
ketika terjadi konflik antar kerabat.

2. The Great Transformation, Karl Polanyi

Buku ini secara cerdas menunjukkan tiga hal paling penting yang berubah sejak tahun
1900an, yakni uang, tenaga kerja dan tanah. Tiga hal ini mengalami apa yang disebut
Polanyi sebagai “fictitious commodity”. Ia menjadi komoditas yang fiktif karena nilainya
mulai diperdagangkan. Uang misalnya, pada awalnya hanya digunakan sebagai simbol
pembayaran hutang dan alat tukar yang ekuivalen dengan barang lain. Tanah, tenaga
kerja dan uang pada awalnya tidak diciptakan untuk pasar, melainkan untuk memenuhi
kebutuhan pertukaran semata. Tiga hal ini bukan komoditas yang sebenarnya dan tidak
diproduksi untuk dijual. Jika diperluas, pandangan Polanyi ini masih berlaku, dimana kita
mulai menemukan banyak fictitious commodity yang sekarang diperjual belikan di pasar,
seperti pendidikan, kesehatan hingga tempat tinggal.

8
Buku Polanyi ini masih relevan meski ditulis di
penghujung perang dunia kedua. Transformasi
tanah sebagai komoditas misalnya, di beberapa
studi etnografi di Indonesia misalnya
menemukan bahwa konsep tanah tidak dikenal
sebelumnya sebagai komoditas. Orang-orang di
Sulawesi Tengah misalnya, dalam studi Tania
Murray Li menyebut tanah sebagai ruang. Di
penelitian saya di Seram, Maluku, tidak ada
istilah tunggal dalam menyebut tanah. Orang
Seram menyebut tanah dengan dusun, lokasi,
kebun, area, kinta. Sedangkan studi Nancy
Peluso di Kalimantan Barat menyebutkan
bahwa konsep “tuan tanah” baru-baru saja pada
medio 1990. Slain tanah, studi etnografi Webb
Keane menemukan bahwa orang Sumba, NTT,
mulai menggunakan uang sebagai komoditas
sehari-hari baru terjadi pada medio tahun
1995an. Tiga tahun sebelum krisis moneter
1998.

1. The Gift, Marcell Mauss

Apa yang lebih politis dari memberi? Jika asal usul uang adalah dari hutang, maka asal
usul hutang adalah dari memberi. Buku ini menegaskan bahwa tidak ada makan siang
yang gratis bagi orang yang memberi. Memberi adalah asal usul dari sebuah relasi sosial
dan politik. Tribute, adalah memberi dengan rasa hormat adalah asal-usul penjajahan,
dimana bangsa-bangsa Portugis memberi benda-benda kepada kesultanan, sehingga pada
akhirnya terjalin relasi yang asimetris. Demikian pula, dalam pandangan Hobessian, kita
memberikan hak dan kewajiban sebaga warga sehingga tercipta Negara. Kata kuncinya
ada di Memberi.

Orang yang memberi adalah mereka yang merayakan kemenangan karena menerima
berarti harus membayar ulang apa yang telah diberi, demi kelanjutan relasi sosial, bahkan
lebih besar dari yang diterimanya. Karena itu, memberi pada awalnya terlihat tulus dan
membawa kedamaian, namun ia berakhir sangat politis. Mauss memperkenalkan konsep
“hau” dalam bahasa Maori yang berarti spirit dari pemberi yang melekat dalam barang
yang diberikan. Spirit inilah yang kemudian mengharuskan si penerima untuk
mengembalikan pemberian tersebut baik secara spirit, maupun secara fisik.

9
Mengapa kita memberi? Bagi Mauss,
memberi adalah perekat atau pelumas
relasi sosial. Memberi adalah syarat
kohesi sosial yang menjadi kewajiban
dalam hubungan. Untuk mencapai
rekonsiliasi, seseorang harus memberi.
Hukum pertama, untuk menunjukkan rasa
hormat dan kebaikan maka kita harus
memberi. Hukum kedua, seseorang harus
menerima pemberian sebagai pembalasan
rasa hormat. Dan hukum ketiga, si
penerima harus membayar ulang
pemberian. Kegagalan dalam membayar
pemberian sama dengan memutus relasi
sosial. Hukum memberi dan membayar
ulang ini seperti hukum gravitasi yang
secara universal terjadi di semua budaya
manusia.

Mauss, yang merupakan keponakan Emile


Durkheim ini, secara brilian memberikan
contoh pemberian pada masyarakat primi-
tif Melanesia, Polinesia, Alaska hingga
masyarakat modern Jerman. Buku ini me-
njadi salah satu yang kemudian mengins-
pirasi David Graeber dalam bukunya “Debt”. Memberi, selayaknya juga hutang telah ada
sejak jaman paling arkhaik manusia hingga politik modern kita pada saat ini. Dalam
ekonomi modern, pemberian dalam bentuk bantuan, hutang, hingga donor tak bisa lepas
dari pandangan Mauss ini, ia bersifat politis dan menguasai, meski terlihat menawarkan
kebaikan. Bagi saya, The Gift adalah buku antropologi paling penting dan masih
sangatlah relevan hingga abad ini.

Hatib Kadir (hakadir@ucsc.edu)

Sumber
https://econanthro.wordpress.com/2016/08/15/sepuluh-10-buku-antropologi-yang-
patut-anda-baca-sebelum-menghembuskan-nafas-terakhir/
diakses
12/10/2018 3:20:58 AM

10

Anda mungkin juga menyukai