10. The Devil and Commodity Fetishism in South America, Michael Taussig
Jika Gabriel Garcia Marquez adalah salah satu sastrawan paling terkemuka di Amerika
Latin, maka Buku Taussig ini adalah seri antropologi yang menyerupai Marquez. Sudut
pandang yang digunakan oleh Taussig seperti “magic realism”nya Marquez. Taussig
menggabungkannya dengan ide Marx tentang “commodity fethisism” ke dalam dunia
yang sangat surealis. Buruh (labor) adalah pekerjaan baru yang muncul seiring dengan
munculnya perkebunan di Columbia dan pertambangan di Bolivia. Bagi orang Bolivia,
pasar dan kapitalisme adalah magic, karena ia menyebabkan proses pemiskinan yang
tidak dapat dilihat (invisible) namun mereka merasa akibat-akibatnya. Semenjak menjadi
buruh, orang-orang Bolivia, Columbia sangatlah terasing. Mereka tidak lagi mempunyai
tanah seperti sebelumnya. Jikapun ada, tanaman yang ditanam bukan lagi untuk dimakan
melainkan untuk dijual. Mereka terjerat hutang, hidup secara individualis, konsumtif, dan
mengejar komoditas baru yang tak pernah usai jika terus diburu. Komoditas baru tersebut
bernama uang. Hasrat untuk memburunya adalah bagian dari setan tersebut. Rasa tak
pernah puas terhadap komoditas uang adalah sumber baru yang menyebabkan kaum
buruh merasa dirinya selalu miskin.
1
Kesimpulannya, pasar kapitalisme itu seperti Tuhan. Manusia menciptakannya sendiri, ia
merasa sangat senang terhadap ciptaannya sendiri, lantas, ia sendiri akan merasa terasing
dengan ciptaannya…Pada akhirnya, manusia sesungguhnya bermain dengan imajinasi
kolektifnya sendiri. Buku ini sekaligus mengusung ide-ide perjuangan klas tanpa
dimunculkan dengan vulgar dan penuh jargon. Melainkan ia disajikan dengan penuh
metafora-metafora surealis. Seperti yang diinginkan oleh generasi sekarang ….
menampilkan kesedihan tapi dengan penuh keindahan dan metafora…
2
hasil pajak dari ekstraksi tambang dan pajak progresif dari orang kaya tentunya.
Menariknya, Ferguson menunjukkan bahwa kewajiban dalam melakukan transfer
redistribusi oleh Negara dengan merujuk pada contoh-contoh sistem bagi hasil
masyarakat primitif dari berburu, yang mana sudah dilakukan sebelum adanya Negara.
Berbeda dengan pandangan Marxian yang melihat bahwa produksi adalah hal dominan,
Ferguson melihat justru distribusilah yang menentukan produksi. Dari judul bukunya,
Ferguson membalikkan logika, bahwa hal yang paling manjur justru memberi orang ikan
daripada kail. Dengan memberi ikan, orang justru akan memanfaatkan ikan tersebut
secara baik. Redistribusi “ikan” justru menunjukkan bahwa orang mampu melakukan
reproduksi dengan sangat baik. Jika anda sudah lelah memaki dan mengkritik, buku ini
wajib dibaca sebagai detoks pikiran anda dalam memberikan rekomendasi kepada sistem
pemerintahan yang adil dan merata.
3
Harris juga menjawab teka-teki agama mengapa orang Hindu di India menempatkan sapi
sebagai binatang yang suci? Harris berpendapat pemujaan dan pelarangan mengkonsumsi
sapi berkaitan dengan alasan keseimbangan ekologi dan ekonomi. Pelarangan
mengkonsumsi sapi khususnya terjadi pada musim kering, karena masyarakat akan
tergoda untuk menjual atau menyembelihnya. Begitu musim hujan tiba, masyarakat akan
kehilangan sapinya untuk membantu membajak tanah. Sapi juga mempunyai fungsi
beragam, seperti susu, penggembur tanah, samak kulit dll.
Dengan menggunakan penjelasan material ekonologis, buku ini sangat penting untuk
membongkar kesadaran palsu kita dalam beragama. Pengharaman konsumsi babi dalam
Al Quran dan Taurat misalnya, adalah bagian dari kesadaran ekologis dibanding doktrin
semata.
4
manusia, membantu menaikkan nilai (leverage) dari sebuah objek. Graeber tidak sepakat
dengan kaum kognitif bahwa sebuah nilai hanya tertanam dalam kode-kode makna dan
klasifikasi pemikiran. Kategori tidak hanya tertanam dalam otak, tapi dapat
diejawantahkan melalui relasi sosial dan aksi-aksi.
6. Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History, Sidney Mintz
Buku ini memberikan pelajaran yang sangat baik jika hendak meneliti komoditi yang
sekarang tengah digandrungi klas menengah “ngehek”, seperti kopi misalnya. Periksa
dibalik produksi kopi, ada sejarah eksploitasi buruh yang panjang. Buku ini
menginspirasi banyak karya yang meneliti bagaimana sebuah komoditas dipasarkan tidak
5
lepas dari proses kolonialisasi, pertukaran, pemiskinan Negara-negara di dunia selatan
dan wabah penyakit yang dihasilkan. Para antropolog yang terinspirasi terhadap karya
Mintz tentunya seperti Anna Tsing yang meneliti jamur, Tania Murray Li yang meneliti
coklat/cocoa dan Sarah Besky yang meneliti teh di India. Jika anda hendak meneliti
garam, cengkeh, lada, gandum, padi, atau komoditas lainnya yang kini tengah digemari
secara global, buku ini patut jadi rujukannya!
6
4. Moral Economy of the Peasants, James Scott
Yang paling impresif dari buku ini adalah di bagian bab pertama ketika Evans Pritchard
pertama kali datang ke Nuer di Sudan Selatan. Penduduk masih trauma dengan orang-
orang kulit putih dan koloni Inggris. Pritchard harus mendirikan tenda berhari hari hingga
akhirnya ia dapat melakukan wawancara. Ia seringkali hanya dimintai rokok, namun
orang Nuer tidak memberikan informasi tentang apapun. Secara teoretik, ini adalah buku
etnografi paling berpengaruh yang pernah diterbitkan dalam dunia antropolog.
7
Pritchard menunjukkan bahwa prototipe dari semua studi
etnografi dapat menghasilkan teori didalamnya. Pritchard
mampu menggambarkan keterkaitan antara mata
pencaharian, kekerabatan dan ekologi dengan abstraksi
tingkat tinggi. Pasang dan surutnya Sungai Nil, denyut
naik turunya sungai tersebut mengakibatkan model
perkumpulan dan persebaran tempat tinggal. Selain itu,
konsep yang menarik adalah orang Nuer mempunyai
pandangan ecological time yang unik. Dalam satu hari,
waktu pagi adalah yang paling panjang dibanding sore,
karena mereka disibukkan dengan mengurus ternak di
pagi hari.
Buku ini secara cerdas menunjukkan tiga hal paling penting yang berubah sejak tahun
1900an, yakni uang, tenaga kerja dan tanah. Tiga hal ini mengalami apa yang disebut
Polanyi sebagai “fictitious commodity”. Ia menjadi komoditas yang fiktif karena nilainya
mulai diperdagangkan. Uang misalnya, pada awalnya hanya digunakan sebagai simbol
pembayaran hutang dan alat tukar yang ekuivalen dengan barang lain. Tanah, tenaga
kerja dan uang pada awalnya tidak diciptakan untuk pasar, melainkan untuk memenuhi
kebutuhan pertukaran semata. Tiga hal ini bukan komoditas yang sebenarnya dan tidak
diproduksi untuk dijual. Jika diperluas, pandangan Polanyi ini masih berlaku, dimana kita
mulai menemukan banyak fictitious commodity yang sekarang diperjual belikan di pasar,
seperti pendidikan, kesehatan hingga tempat tinggal.
8
Buku Polanyi ini masih relevan meski ditulis di
penghujung perang dunia kedua. Transformasi
tanah sebagai komoditas misalnya, di beberapa
studi etnografi di Indonesia misalnya
menemukan bahwa konsep tanah tidak dikenal
sebelumnya sebagai komoditas. Orang-orang di
Sulawesi Tengah misalnya, dalam studi Tania
Murray Li menyebut tanah sebagai ruang. Di
penelitian saya di Seram, Maluku, tidak ada
istilah tunggal dalam menyebut tanah. Orang
Seram menyebut tanah dengan dusun, lokasi,
kebun, area, kinta. Sedangkan studi Nancy
Peluso di Kalimantan Barat menyebutkan
bahwa konsep “tuan tanah” baru-baru saja pada
medio 1990. Slain tanah, studi etnografi Webb
Keane menemukan bahwa orang Sumba, NTT,
mulai menggunakan uang sebagai komoditas
sehari-hari baru terjadi pada medio tahun
1995an. Tiga tahun sebelum krisis moneter
1998.
Apa yang lebih politis dari memberi? Jika asal usul uang adalah dari hutang, maka asal
usul hutang adalah dari memberi. Buku ini menegaskan bahwa tidak ada makan siang
yang gratis bagi orang yang memberi. Memberi adalah asal usul dari sebuah relasi sosial
dan politik. Tribute, adalah memberi dengan rasa hormat adalah asal-usul penjajahan,
dimana bangsa-bangsa Portugis memberi benda-benda kepada kesultanan, sehingga pada
akhirnya terjalin relasi yang asimetris. Demikian pula, dalam pandangan Hobessian, kita
memberikan hak dan kewajiban sebaga warga sehingga tercipta Negara. Kata kuncinya
ada di Memberi.
Orang yang memberi adalah mereka yang merayakan kemenangan karena menerima
berarti harus membayar ulang apa yang telah diberi, demi kelanjutan relasi sosial, bahkan
lebih besar dari yang diterimanya. Karena itu, memberi pada awalnya terlihat tulus dan
membawa kedamaian, namun ia berakhir sangat politis. Mauss memperkenalkan konsep
“hau” dalam bahasa Maori yang berarti spirit dari pemberi yang melekat dalam barang
yang diberikan. Spirit inilah yang kemudian mengharuskan si penerima untuk
mengembalikan pemberian tersebut baik secara spirit, maupun secara fisik.
9
Mengapa kita memberi? Bagi Mauss,
memberi adalah perekat atau pelumas
relasi sosial. Memberi adalah syarat
kohesi sosial yang menjadi kewajiban
dalam hubungan. Untuk mencapai
rekonsiliasi, seseorang harus memberi.
Hukum pertama, untuk menunjukkan rasa
hormat dan kebaikan maka kita harus
memberi. Hukum kedua, seseorang harus
menerima pemberian sebagai pembalasan
rasa hormat. Dan hukum ketiga, si
penerima harus membayar ulang
pemberian. Kegagalan dalam membayar
pemberian sama dengan memutus relasi
sosial. Hukum memberi dan membayar
ulang ini seperti hukum gravitasi yang
secara universal terjadi di semua budaya
manusia.
Sumber
https://econanthro.wordpress.com/2016/08/15/sepuluh-10-buku-antropologi-yang-
patut-anda-baca-sebelum-menghembuskan-nafas-terakhir/
diakses
12/10/2018 3:20:58 AM
10