Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat-Nya saya bisa menyelesaikan tugas Antropologi ini dengan baik. Dan
saya juga ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak
yang turut membantu memberikan materi dan masukan terhadap penyusunan
tugas makalah ini.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
wawasan bagi para pembaca. Saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Sarolangun, september
2018

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Atropologi sosial adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi adalah
istilah kata bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan
logos. Anthropos berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata. Objek
dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan
dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari
manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk
membangun masyarakat itu sendiri.
Dalam perkembangannya, Antropologi  tak hanya mempelajari budaya
yang ada pada suatu masyarakat. Antropologi telah berkembang menjadi cabang-
cabang ilmu yang mempunyai kaitan erat dengan budaya. Cabang-cabang tersebut
yaitu :
1.       Antropologi Ekonomi
2.       Antropologi Politik
3.       Antropologi Agama
BAB II
PEMBAHASAN

Antropologi ekonomi adalah salah satu bidang kajian dalam Antropologi


sosial-budaya yang memusatkan studi pada gejala ekonomi dalam kehidupan
masyarakat manusia.
Masalah pendekatan dalam Antropologi ekonomi secara sederhana dapat
dinyatakan bahwa di dalam antropologi ekonomi terdapat dua pendekatan, yaitu
pendekatan umum dan pendekatan spesifik. Pendekatan umum adalah aliran teori
yang membahas gejala ekonomi seperti religi, teknologi sampai ke keseluruhan
sistem sosial budaya itu sendiri. Sedangkan pendekatan spesifik adalah aliran teori
yang dikembangkan khusus untuk menyelesaikan problem-problem studi
Antropologi ekonomi. Ada beberapa pendekatan spesifik di dalamnya yaitu
formalisme, subtantivisme, Antropologi ekonomi baru dan ekonomi personalisme.
A.   Evolusi Mata Pencaharian
Masyarakat dan suku-suku bangsa di dunia hampir selalu mengandung
satu bab yang mendiskripsi mata pencaharian hidup mereka. Konsepsi evolusi
kebudayaan pada pertengahan abad ke-10, menghasilkan beberapa konsepsi
mengenai evolusi sistem mata pencaharian hidup yang melampaui tiga tingkat
evolusi.

I. Masa Berburu dan Meramu


Dalam evolusi mata pencaharian hidup para ahli antropologi
memyumbangkan pandangannya antara lain Adam Smith (1976).
Adam Smith menyatakan bahwa mata pencaharian hidup manusia
purba berkembang dari berburu, meramu dan beternak karena manusia
berhasil menjinakkan binatang buruannya. Dari beternak manusia
berevolusi ke bercocok tanam.
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa berburu dan meramu
merupakan dua mata pencaharian hidup yang saling berkaitan.
Masyarakat yang hidup dari berburu biasanya juga melakukan
pengumpulan terhadap tumbuh-tumbuhan dan akar-akaran yang basa
dimakan. Bahkan menangkap ikan juga dilakukan sekaligus sebagai
suatu cara mendapatkan tambahan makanan. Masa berburu dan
meramu pernah menjadi mata pencaharian terpenting dalam
kehidupan masyarakat dari berbagai suku bangsa di dunia.
Berburu dan meramu menjadi mata pencaharian yang lama
dalam sejarah kehidupan manusia. Sejak masa terjadinya manusia
sekitar 2 juta tahun yang lalu sampai sekitar 10 ribu tahun yang lalu
berburu dan meramu merupakan satu-satunya system mata
pencaharian hidup manusia. Sejak akhir abad ke-19 kehidupan
masyarakat dari berburu dan meramu mulai menghilang.
Masyarakat peramu dikenal memiliki ciri positif yaitu sebagai
improvisator, suatu masyarakat yang berimprovisasi melalui tindakan
coba-coba. Mereka banyak melakukan tindakan coba-coba dalam
upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping itu mereka telah
mengembangkan kerjasama. Pada masa itu masyarakat peramu telah
menunjukkan sikap saling menolong, tenggang rasa, dan cara hidup
resiprositas (balas membalas). Ciri kultural dalam kehidupan mereka
adalah pragmatis, keras, dan peka terhadap hasil-hasil usaha, serta
gigih dalam perjuangan hidup.
II. Masa Bercocok Tanam
Bertani mulai dikenal dalam kehidupan manusia sekitar 10 ribu tahun
yang lalu. Berkembangnya mata pencaharian pertanian pada mulanya paling
sedikit terdapat di delapan tempat di muka bumi.  Menurut Vavilov  daerah
asal mula perkembangan bercocok tanam itu yaitu:
1. Daerah sungai-sungai besar di Asia Tenggara seperti: Mekong, Salwin,
Irawadi dll, dan yang menyebar lebih lanjut ke daerah Kepulauan Asia
Tenggara, Indonesia, Filipina dan juga ke daerah Sungai Gangga di India.
Dari pusat ini berasal penanaman padi dan keladi (Colocasia antiquorum).
2. Daerah sungai-sungai di asia timar seperti Yangtse dan Hoangho, yang
berpusat kepada sayur-sayuran Tionghoa, pohon murbei, teh dan kedelai.
3. Asia Barat Daya, termasuk daerah Sungai Tigres dan Sungai Alfurat di Iraq
yang menyebar lebih lanjut ke Iran, Afganistán sampai daerah hulu sungai
Sindu di Pakistan.
4. Daerah Laut Tengah, terutama Mesir, palestina, juga daerah lembah-
lembah sungai di Italia dan Spanyol yang mengembangkan tanaman buah
zait dan ara.
5. Daerah África Timur terutama di Abesinia yang mengusahakan pertanian
gandum
6. Daerah Afrika Barat sekitar hulu Sungai Senegal yang mengembangkan
cocok tanam gandul dan sorghum.
7. Daerah Mexico Selatan yang mengusahakan pertanian jagung, kapas,
kasava dan ubi.
8. Daerah Peru di Amerika Selatan yang mengembangkan budidaya tanaman
kentang, kasava dan ubi.
Masyarakat petani berbeda dengan peramu karena mereka telah
hidup menetap. Mereka bermukim secara berkelompok dan membentuk
tempat tinggal yang berdekatan dengan ladang mereka. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, mereka memproduksi sendiri melalui cara berladang.
Oleh karena itu petani ladang merupakan masyarakat yang bersifat
produktif. Mereka mendirikan desa-desa di pinggir hutan atau dekat dengan
rawa-rawa. Mereka menyukai hidup bermukim secara tetap untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih tenteram.
Menurut ahli Pre Histori masa bercocok tanam dimulai Sejas
zaman Neolitik (Zaman batu Baru). Pada masa sebelumnya yaitu zaman
batu tua manusia hidup dari berburu dan mengumpulkan makanan. Zaman
Neolitik di Indonesia diperkirakan sejak tahun 2000 SM di Asia Tenggara
telah mulai beberapa ribu tahun sebelumnya. Berpangkal dari daerah-
daerah tersebut kepandaian bercocok tanam menyebar ke daerah-daerah
lain di dunia.
B.   PERTUKARAN
Sistem ekonomi dapat didefinisikan sebagai sistem produksi,
distribusi, dan konsumsi barang. Karena orang dalam mengejar sarana
penghidupan tertentu mutlak harus mengadakan produksi, distribusi dan
konsumsi barang-barang, jelaslah bahwa pembahasan kita tentang pola-pola
penghidupan di atas, telah melibatkan kita dalam urusan perekonomian. Akan
tetapi, sistem perekonomian meliputi jauh lebih banyak daripada yang sudah
dibahas. Dalam kajian ini, akan ditinjau aspek-aspek sistem perekonomian
khususnya sistem produksi, tukar-menukar, redistibusi yang memerlukan
pembahasan lebih luas.

            Konsep Resiprositas dan Redistribusi.


            Antropologi ekonomi pada masa awal perkembangannya, lebih banyak
berurusan dengan gejala pertukaran tradisional dan peasant, misalnya
pertukaran hadiah (gift exchange), perdagangan kula dan potltach. Berbagai
pertukaran yang terdapat pada masyarakat tradisional dan pedesaan yang
tidak menggunakan mekanisme uang sering disebut dengan istilah
resiprositas dan redistribusi. Pertukaran dilihat sebagai gejala kebudayaan
yang keberadaannya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi ekonomi,
tetapi juga agama teknologi, ekologi, politik dan organisasi sosial. Dimensi
ini pada mulanya kurang menaruh perhatian terhadap pertukaran yang
menggunakan mekanisme uang atau sistem ekonomi pasar. Sedangkan ilmu
ekonomi paling banyak berurusan dengan masalah pertukaran dalam ekonomi
pasar.
1.     Resiprositas
Secara sederhana resiprositas adalah pertukaran timbal balik antar
individu atau antar kelompok. Tanpa adanya hubungan simetris antar
kelompok atau antar individu maka resiprositas cenderung tidak akan
berlangsung. Hubungan simetris ini adalah hubungan sosial, dengan
masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan
yang sama ketika proses pertukaran berlangsung. Karakteristik lain
yang menjadi syarat sekelompok individu atau beberapa kelompok
dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan
personel diantara mereka di mana anggota-anggotanya menempati
lapangan hidup yang sama. Dalam komunitas kecil itu kontrol sosial
sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk
berbuat guna memenuhi adat kebiasaan. Hubungan inpersonal tidak
bisa menjamin berlakunya resiprositas karena interaksi antarpelaku
kerja sama resiprositas sangat rendah sehingga pengingkaran semakin
musah muncul.
Proses pertukaran resiprositas lebih panjang daripada jual beli.
Proses ini ada yang realatif pendek dan ada yang relatif panjang.
Pendek kalau proses tukar menukar barang dan jasa dilakukan dalam
jangka waktu tidak lama dari satu tahun, misal tolong-menolong petani
dalam mengerjakan tanah. Sedangkan proses resiprositas yang panjang,
jangka waktunya lebih dari satu tahun misalnya sumbang-menyumbang
dalam perkawinan. Proses resiprositas dapat berlangsung sepanjang
hidup seorang individu dalam masyarakat.
Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas
resiprositas adalah berkaitan dengan motif-motif dari pelaku, yaitu
harapan untuk mendapatkan prestis sosial seperti penghargaan,
kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah yang
ditunjukkan tidak hanya kepada pelaku yang melakukan kerja sama
resiprositas tetapi juga lingkungan di mana mereka berada.
Menurut Sahlins ada tiga macam resiprositas, yaitu:
Resiprositas umum : cara tukar menukar di mana yang memberi
maupun yang menerima menentukan dengan pasti nilai barang yang
terlibat dan waktu penyerahannya.
Resiprositas berimbang : cara tukar menukar di mana yang memberi
maupun yang menerima menentukan dengan pasti nilai barang yang
terlibat dan waktu penyerahannya.
Mekanisme pemerataan : kewajiban sosial yang memaksa
keluarga untuk mendistribusikan barang-barangnya sehingga tidak ada
orang yang menumpuk kekayaan lebih banyak daripada orang lain.
2.      Redistribusi
      Redistribusi merupakan salah satu konsep pertukaran yang penting
di dalam leteratus anrtopologi ekonomi. Redistribusi merupakan bentuk
kerja sama individu-individu anggota suatu masyarakat atau suatu
kelompok dalam memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki atau
kuasai. Kerja sama tersebut berkaitan dengan masalah-masalah
meingkatkan kesejahteraan masyarakat atau kelompok dan upaya
individu-individu tertentu untuk berperan dalam kelompok. Diskusi
redistribusi tidak lepas dari dua masalah kepentingan kelompok atau
kepentingan pribadi dan juga dapat mengacu pada pembahasan tentang
bentuk dan peranan model redistribusi yang dapat menentukan
dinamika ekonomi dalam masyarakat.
Redistribusi merupakan suatu pola distribusi dimana pertukaran
tidak diadakan antar individu atau antar kelompok, tetapi sebagian hasil
pekerjaan itu disalurkan ke sebuah sumber, yang kemudian dibagi-
bagikan lagi menurut petunjuk dari administrasi pusat. Pajak adalah
sebuah bentuk redistribusi Amerika Serikat. Rakyat membayar pajak
kepada pemerintah, yang sebagian digunakan untuk keperluan
pemerintah sendiri, sedangkan sisanya diredistribusikan baik dalam
bentuk uang, seperti pembayaran untuk jaminan kesejahteraan atau
pinjaman kepada Chrysler Corporation baru-baru ini agar perusahaan
itu tidak bangkrut, maupun dalam bentuk jasa, seperti pengawasan atas
bahan pangan dan obat-obatan, pembuatan jalan bebas hambatan, dan
sebagainya. Agar proses redistribusi itu dapat terlaksana, di dalam
masyarakat harus ada sistem organisasi politik yang kompleks dan juga
ada surplus ekonomis di samping dan di atas kebutuhan seketika dari
rakyat.
Singkatnya Redistribusi adalah  bentuk pertukaran di mana barang-
barang masuk ke satu tempat pusat, seperti misalnya pasar, dan
kemudian didistribusikan lagi.

C.    TEORI SUBTANTIVIS DAN TEORI FORMALIS

Beberapa ahli antropologi berpendapat bahwa tidak banyak pelajaran


yang dapat ditarik dari studi tentang ekonomi pasar, dimana yang menjadi
motivasi utama adalah keuntungan, kalau kita mempelajari bangsa-bangsa
yang mengadakan tukar-menukar tidak untuk memperoleh keuntungan. Posisi
ini disebut substantivisme.
Ahli antropolgi ekonomi lain yang mengikuti aliran pemikiran yang
dikenal sebagai formalisme, tidak sependapat. Para pengikut aliran
formalisme berpendapat bahwa teori ekonomi sebenarnya adalah mengenai
cara orang mencari kepuasaan pribadi yang sebesar-besarnya dengan
menyimpan barang dan mendistribusikan sumber-sumber daya yang langka.
Kalau ini benar, maka teori ekonomi ini cukup umum sehingga dapat
diterapkan pada semua masyarakat.
1.     Teori Substantivis
Teori  substantif lebih manaruh perhatian terhadap upaya untuk
menghasilkan teori-teori baru yang lebih cocok dengan masalah di
lapangan. Para penganutnya tidak lagi berurusan dengan konsep ekonomi
formal tetapi ekonomi substantif yang melihat gejala ekonomi dari proses
pemberian makna yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumber
daya ekonomi.
Teori substantif menempatkan perekonomian sebagai rangkaian
dari aturan-aturan dan organisasi sosial dimana fenomena ekonomi dalam
masyarakat terikat pada sistem pranata dan norma-norma yang sama.
Konsepsi ini menempatkan individu sebagai pihak yang pasif dalam
aktivitas ekonomi karena ekonomi sebagai suatu sistem menentukan
bagaimana individu bertingkah laku. Cara pandang penganut substantive
tersebut tampak bahwa mereka mengabaikan gejala perubahan ekonomi
dalam masyarakat. Norma-norma ekonomi tidak dipandang sebagai
tujuan yang harus dicapai dengan mematuhi, tetapi sebagai alat dan kalau
alat tersebut tidak mendatangkan keuntungan maka akan diganti dengan
alat lain.
Pandangan subtantiv mengenai fenomena ekonomi yang
memandang individu bersifat statis juga kurang dapat diikuti. Pandangan
ini mempunyai kesejajaran dengan konsep kebudayaan yang melihat
bahwa manusia menerima kebudayaan sebagai sesuatu yang diterima
begitu saja. Kalau gejala kebudayaan dipandang dari tingkat individu
maka akan terlihat bahwa tidak semua individu mempunyai respon yang
sama terhadap sistem sosial budaya yang membelanggu kehidupan
ekonomi mereka. Penganut aliran ini berpendapat bahwa antropologi
ekonomi lebih baik ditempatkan dalam kerangka studi sistem ekonomi
komparatif yang cakupannya meliputi deskripsi dan analisis semua
sistem ekonomi, baik sistem ekonomi industri dan praindustri.
Sifat relativistik terlihat bahwa sistem ekonomi suatu masyarakat
merupakan bagian integral dari kebuydaan masyarakat. Sifat ini melihat
tingkah laku ekonomi sebagai ketergantungan antara manusia dengan
alam sekitar dan sesamanya yang menyebabkan orang melakukan
aktivitas produksi dan pertukaran. aliran substantive melihat
perekonomian sebagai proses pemberian makna material. Konsepsi ini
mengarahkan peneliti untuk melihat gejala ekonomi pada pikiran-pikiran
yang mendasari terhadap terwujudnya barang dan tingkah laku
tersebut.pendekatan ini memperhatikan struktur, fungsi, dan makna
simbolik dari pranata, tingkah laku dan organisasi sosial secara langsung
berhubungan dengan aktivitas ekonomi.

2.     Teori Formalis
Antropologi ekonomi lahir pada awal abad ke-20 berkat
dilakukannya berbagai penelitian etnografi yang memfokuskan pada
aspek ekonomi masyarakat. Para ahli ekonomi menaruh perhatian pada
penelitian etnografi yang fokus pada aspek ekonomi. Dan para ahli
antropologi berusaha mengembangkan pendekatan penelitian dengan
menggunakan teori, konsep dan hukum-hukum ekonomi untuk
menjelaskan gejala ekonomi dalam masyarakat primitif atau peasent.
Pendekatan tersebut kemudian dikenal dengan pendekatan formalis.
Secara konvensional Teori Formalis mengasumsikan bahwa tindakan
manusia bersifat rasional dalam melakukan aktivitas ekonomi.

2. Antropologi Politik
Antropologi politik  adalah suatu cabang studi tentang politik yang
ditinjau dari sudut pandang antropologi, khususnya antropologi  budaya. Hal-
hal yang dibahas dalam antropologi politik meliputi teori-teori mengenai
perwujudan politik dalam kehidupan manusia serta sistem politik pada
masyarakat sederhana dan modern. Selain itu juga membahas pendekatan
antropologi terhadap gejala-gejala politik dalam kehidupan manusia, termasuk
yang tidak terkategori sebagai gejala-gejala politik yang berkaitan dengan
lembaga-lembaga politik formal/pemerintah dalam masyarakat modern.
Dengan demikian, cakupan pembahasan meliputi pula berbagai gejala politik
dan organisasi sosial dalam komunitas-komunitas masyarakat perdesaan/non-
masyarakat kompleks.
Kaitan antara Ilmu Antropologi dengan ilmu politik yaitu ilmu
antropologi memberikan pengertian-pengertian dan teori-teori tentang
kedudukan serta peranan satuan-satuan sosial budaya yang lebih kecil dan
sederhana. Mula-mula Antropologi lebih banyak memusatkan perhatian pada
kehidupan masyarakat dan kebudayaan di desa-desa dan dipedalaman.
Pembahasan tentang antropologi politik tidak bisa dilepaskan dari
pemahaman atas:

1. Ruang lingkup atau batasan yang menjadi "ruang sentuhan" antara


disiplin antropologi dan   ilmu politik. Pengertian dasar mengenai kedua
disiplin ini akan memudahkan perumusan mengenai ruang lingkup
antropologi politik.
2. Pendekatan-pendekatan antropologi politik. Melalui pemahaman atas
kedua aspek ini, suatu kajian dapat secara subyektif menyatakan diri
memakai pendekatan antropologi politik atau secara obyektif ke dalam
subdisiplin ini.

Secara tersirat dari istilah yang dipergunakan yaitu antropologi politik,


subdisiplin ini menempati wilayah kajian yang menjembatani disiplin
antropologi dengan ilmu politik. Ruang jembatan tersebut diisi dengan titik-
titik persentuhan dalam teori, konsep, maupun metodologi dan pendekatan
yang dipergunakan. Dalam hal teori dan konsep, hubungan tersebut dapat
berupa "hubungan antara struktur dan masyarakat dengan struktur dan tebaran
kekuasaan dalam masyarakat" tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa jika
antropologi merupakan kajian atas struktur masyarakat dan pranata sosial,
dan ilmu politik secara umum memfokuskan kajiannya dalam aspek
kekuasaan, maka kajian antropologi politik berusaha menghubungkan kedua
ilmu tersebut menjadi satu wilayah kajian.
Pembahasan dalam antropologi politik bisa berisi beraneka macam
persoalan yang berkaitan dengan deskripsi dan analisa tentang sistem
(struktur, proses, dan perwakilan) yang terdapat dalam masyarakat yang
dianggap "primitif". Lebih jauh lagi, dapat didefininisikan bahwa antropologi
politik merupakan pendekatan antropologi dalam mempelajari proses-proses
dan struktur-struktur politik yang dilakukan melalui metode kajian kasus
yang intensif maupun melalui kajian perbandingan lintas budaya. Namun
dalam kajian-kajian antropologi politik tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
kajian yang terspesialisasi atau terfokus kepada politik sebagai sebuah satuan
analisa yang berdiri sendiri. Kenyataan ini diperkuat oleh pernyataan dan
seorang ahli politik, yaitu David Easton yang menyatakan bahwa antropologi
politik sebenarnya tidak betul-betul ada, karena para ahlinya telah gagal untuk
memperlihatkan batas-batas yang membedakan antara sistem politik dengan
sistem yang ada dalam masyarakat, atau antara pranata politik dengan pranata
lainnya.
Antropologi politik berkembang sesudah tahun 1940, ditandai dengan
terbitnya buku African Political System dari M. Fortos dan E.E. Evan
Pitchard. Redcliffe Brown, penulis kata pengantar dalam buku tersebut
menganggap bahwa: "organisasi politik adalah organisasi yang melaksanakan
aktifitas sosial yang menyangkut penjagaan keteraturan dan stabilitas
masyarakat dalam suatu wilayah tertentu, dengan menggunakan kekuasaan
dan kalau perlu kekerasan secara absah".
 Berdasarkan definisi tersebut, topik-topik yang termasuk dalam
antropologi politik meliputi:
1. masalah-masalah hukum adat
2. organisasi kenegaraan
3. organisasi perang
 4. organisasi kepemimpinan
5. pemerintahan
6. kekuasaan
Namun, karena beberapa persoalan dan kendala topik-topik yang
dikembangkan oleh Ahli antropologi  hanya terbatas pada masalah-masalah:
a. Organisasi kenegaraan: tentang evolusi terjadinya organisasi Negara
 b. Organisasi perang:  tentang sebab timbulnya perang dan akibat timbulnya
perangnya.
 c. Organisasi kepemimpinan, pemerintahan, kekuasaan.
            Pembahasan tentang Antropologi Politik di lndonesia secara
teoritis masih jarang dilakukan. Hal itu dikarenakan belum adanya
kesepakatan bersama di antara para Ahli Antropologi tentang ruang
lingkup kajiannya.
3. Antropologi Agama
            Antropologi Agama adalah ilmu pengetahuan yang berusaha
mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan
budaya, atau disebut jugaAntropologi Religi. Antropologi Agama ini diyakini
oleh banyak pakar sebagai salah satu alat studi yang akurat dalam melihat
reaksi antara agama, budaya, dan lingkungan sekitar
sebuah masyarakat.  Antropologi agama menunjuk kepada suatu
penghubung atas moralitas, hasrat, dan kekuatan dengan dikendalikan dan
kemerdekaan, dengan duniawi dan asketisme, dengan idealis dan kekerasan,
dengan imajinasi dan penjelmaan, dengan imanensi dan transendensi yang
merupakan sisi dunia manusia yang berbeda dengan makhluk
lain.  Tradisi ilmu antropologi memahami dunia-dunia agama tidak sepenuhnya
sebagai fenomena objektif dan juga tidak sepenuhnya sebagai fenomena
subjektif, namun sebagai sesuatu yang berimbang dalam memediasikan
ruangan sosial atau budaya dan sebagai yang terlibat dalam suatu dealiktika
yang memberikan objektivitas sekaligus juga subjektivitas.  Perhatian ahli
antropologi dalam menelitiagama ditunjukan untuk melihat keterkaitan faktor
lingkungan alam, struktur sosial, struktur kekerabatan, dan lain sebagainya,
terhadap timbulnya jenis agama, kepercayaan, upacara, organisasi keagamaan
tertentu.

A.  Kajian Antropologi Agama


Agama yang dipelajari oleh antropologi adalah agama sebagai
fenomena budaya, tidak agama yang diajarkan oleh Tuhan. Maka yang
menjadi perhatian adalah beragamanya manusia dan masyarakat. Sebagai
ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah benarnya agama dan segenap
perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang
sakral. Kajian antropologi terhadap agama meliputi empat masalah pokok,
yaitu:
Dasar-dasar fundamental dari agama dan tempatnya dalam kehidupan
manusia.
Bagaimana manusia yang hidup bermasyarakat memenuhi kebutuhan
religius mereka.
Dari mana asal usul agama.
Bagaimana manifestasi perasaan dan kebutuhan religius manusai.

B.  Pendekatan Antropologi Agama


Pendekatan yang digunakan oleh para ahli antropolog dalam meneliti
wacana keagamaan adalah adalah pendekatan kebudayaan, yaitu melihat
agama sebagai inti kebudayaan. Kajian antropolog yang bernama Geertz
(1963) mengenai agama abangan, santri, dan priyai adalah kajian mengenai
variasi-variasi keyakinan agama dalam kehidupan (kebudayaan)
masyarakatJawa sesuai dengan konteks lingkungan hidup dan kebudayaan
masing-masing bukannya kajian mengenai teologi agama. Berbeda dengan
pendekatan antropolog, sebagai ilmu sosial pendekatan yang dipakai
antropologi agama untuk menjawab masalah yang menjadi perhatiannya
adalah pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah yang dikembangkan dari
pendekatan ilmu alam bertolak dari kenyataan yang mengandung masalah.
Masalah itu diantaranya apa sebab suatu kenyataan jadi demikian, apa faktor-
faktor yang menjadikannya demikian. Sadar bahwa manusia adalah mahluk
budaya, punya kehendak, keinginan, imajinasi, perasaan, gagasan, kajian
yang dikembangkan antropologi tidak seperti pendekatan ilmu
alam.Pendekatan yang digunkan lebih humanitik, berusaha memahami gejala
dari prilaku tersebut yang nota bene punya gagasan, inisiatif, keyakinan, bisa
terpengaruh oleh lingkungan dan mempengaruhi lingkungan. Oleh karena itu,
pendekatan antropologi tidak menjawab bagaimana beragama menurut kitab
suci, tetapi bagaimana seharusnya beragama menurut penganutnya.
 
 
 
 
 C.  Teori Tentang Agama
Teori Rasionalistik
Teori ini diterapkan pada kajian agama mulai abad ke-19. Secara
umum yang dimaksud dengan teori rasionalistik adalah keyakinan ilmuwan
bahwa manusia prasejarah menjelasakan kepercayaan mereka hampir dekat
dengan cara ilmiah, tetapi mereka sampai kepada kesimpulan salah karena
kekurangan pengetahuan dan pengalaman mereka Kecendrungan teori ini
tampak karena dipengaruhi oleh cara berfikir orang Barat, khusunya para ahli
antropologinya.
Teori Linguistik (Bahasa)
Kajian terhadap agama secara ilmiah dimulai sesudah kajian
terhadap bahasa mulai berkemban. Jacob Grimm dan Wilhem Grimm yang
memulai penggabungan kajian mitos dengan bahasa. Mereka mnegumpulkan
sebagian besar lagenda, cerita rakyat, khurafa-khurafa, dan pepatah di
seantero Eropa. Menurut teori ini keagamaan itu adalah carita rakyat modern
yang semula adalah mitos massa lalu yang telah ditambah atau dikurangi.
Teori Fenomenologis
Teori fenomenologis adalah kajian terhadap sesuatu menurut yang
dimaksud sendiri oleh objek yang dikaji. Suatu masyarakat yang menjadi
objek penelitian dengan pendekatan fenomenologis berarti berusaha
memahami maksud simbol, kepercayaan, atau ritual menurut yang mereka
pahami sendiri.
Teori berorientasi kepada Upacara Religi
Robertson Smith (1846-1894), seorang ahli teologi, sastra Semit, dan
ilmu pasti, mengingatkan bahwa disamping sistem kepercayaan dan doktrin,
agama punya sistem upacara yang relatif tetap pada banyak agama, yaitu
upacara keagamaan. Jadi agama muncul dari upacara atau ritual.

D.  Asal Usul Agama


Penelusuran terhadap asal usul agama secara universal tidak akan
mungkin dicapai karena karakteristik ajaran dan umat beragama sangat
banyak dan sangat berbeda satu sama lain. Mendasarkan pendapat tentang
asal-usul agama kepada data keagamaan masyarakat primitif sungguh tidak
resprentatif, bahkan salah kaprah karena agama-agama besar dunia sangat
berbeda dengan agama masyarakat primitif. Kemudian penelusuran secara
ilmiah terhadap kepercayaan beragama, menuntut bukti yang rasional
empirik, dan berikutnya menuntut kesimpulan yang rasional empirik.
Mengatakan agama dari Tuhan tentu tidak empirik. Karena itu, Emile
Durkheimmengatakan bahwa asal-usul agama adalah masyarakat itu sendiri.
M.T Preusz, seorang etnografer Jerman yang ahli
tentang suku Indian di Meksiko, berpendapat bahwa wujud religi tertua
merupakan tindakan-tindakan manusia untuk mewujudkan keperluan
hidupnya yang tidak dapat dicapai dengan akal dan kemampuan biasa. Dia
menegaskan bahwa pusat dari tiap sistem religi adalah ritus dan upacara.
Melalui tindakan terhadap kekuatan gaib yang berperan dalam kehidupan,
manusai mengira dapat memenuhi kebutuhan dan tujuan hidupnya. R.R.
Marett berpendapat bahwa kepercayaan beragama berasal dari kepercayaan
akan adanya kekuatan gaib luar biasa yang menjadi penyebab dari gejala-
gejala yang tidak dapat dilakukan manusia biasa.
Selain itu, asal usul agama tidak lah sesuai dengan apa yang ada dalam keyakinan
dan pikiran umat beragama, karena menurut mereka agama adalah ajaran Tuhan.
Walaupun kemudian disampaikan dan dioleh atau diijtihadkan oleh pemuka
agama, asal bahan yang dioleh dan diijtihadkan itu tetap dari wahyu Tuhan.
Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang diyakini turun kepada
manusia melaui wahyu, dalam arti bahwa ajaran-ajaran itu berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa, karena itu bersifat mutlak benar dan tidak berubah-ubah oleh
perkembangan zaman.
 
BAB III
KESIMPULAN

            Antropologi merupakan adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial


yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Tak hanya
sampai disitu, Antropologi telah berkembang menjadi cabang-cabang ilmu yang
dikembangkan oleh para Antropolog.
            Antropologi Ekonomi mempelajari bagaimana masyarakat terdahulu
memenuhi kebutuhan hidupnya. Beralih ke Antropologi Politik yang lebih
memfokuskan kepada sistem pemerintahan, hukum-hukum adat, dan organisasi
yang digunakan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Dan yang terakhir
Antropologi Agama yang mempelajari bagaimana sebuah agama yang berasal dari
yang sakral bisa hidup bersampingan dengan budaya yang berkembang di dalam
masyarakatnya.
            Antropolgi memang lebih menitik beratkan kepada pembelajaran di masa
lampau. Hal itu bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman kebudayaan yang
berkembang di masa lalu dan mengajak manusia di masa sekarang untuk bisa
belajar dari apa yang telah terdahulu.  
DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat.  (1997). Pengantar Antropolgi.  Jakarta: RINEKA


CIPTA

Haviland, William, Soekardijo, R.G. 2004. Antropologi. Jakarta:


PENERBIT ERLANGGA

Anda mungkin juga menyukai