Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KOLESTEATOMA


INTERNA

Dokter Pembimbing:

dr. Djoko, Sp. THT-KL

Disusun Oleh:

Azmi Kamil 030.12.046


Robert Thiodorus 030.13.171
Dwian Akhmad 030.13.064

Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala Leher


RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Periode 15 Januari 2018- 17 Februari 2018
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Diagnosis dan
Penatalaksanaan Kolesteatoma Interna”.

Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat pemenuhan tugas dalam
menjalankan Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala
Leher di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Djoko, SpTHT-KL selaku


dokter pembimbing dan konsulen yang telah membimbing dalam penyusunan
referat ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman dan
perawat, serta pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang ikut
membantu dalam penyusunan referat ini.

Penulis menyadari jika referat ini masih banyak kekurangan dan tidak
sempurna. Oleh karena itu penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam
penyajiannya dan penulis mengharapkan kritik serta saran demi perbaikan referat
ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.

Semarang, 02 Februari 2018

Penulis

2
PENGESAHAN REFERAT

Judul :

Diagnosis dan Penatalaksanaan Kolesteatoma Interna

Telah diuji dan disajikan di hadapan Pembimbing

RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang

Pada Hari Jum’at, Tanggal 02 Februari 2018

Semarang, 02 Februari 2018

Pembimbing,

dr. Djoko, Sp.THT-KL

3
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................... 2


Lembar Pengesahan.................................................................................................3
Daftar Isi ..................................................................................................................4
Daftar Gambar .........................................................................................................5
Daftar Bagan ...........................................................................................................6
Bab I. Pendahuluan .................................................................................................7
Bab II. Tinjauan Pustaka ........................................................................................8
2.1 Anatomi Telinga ....................................................................................8
2.2 Definisi ................................................................................................11
2.3 Klasifikasi ............................................................................................11
2.4 Patogenesis ..........................................................................................12
2.5 Gejala Klinis ........................................................................................16
2.6 Diagnosis .............................................................................................17
2.7 Tatalaksana ..........................................................................................18
2.8 Komplikasi ..........................................................................................20
2.9 Prognosis .............................................................................................21
Bab III. Kesimpulan ..............................................................................................22
Daftar Pustaka .......................................................................................................23

4
BAB I
PENDAHULUAN

Kolesteatoma adalah lesi kistik yang berasal dari pertumbuhan abnormal


dari epitel skuamosa berkeratin pada tulang temporal yang biasanya
dikarakteristikkan dengan “kulit pada tempat yang salah”. Massa abnormal ini
bersifat invasif secara lokal dan mampu menyebabkan kerusakan pada struktur di
telinga tengah. Epitel skuamosa dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada
kejadian infeksi kronik yang menyebabkan efek osteolitik pada kolesteatoma lebih
kuat. Kejadian kolesteatoma per tahunnya memiliki rentang kasus antara 9 hinnga
12 kasus dari 100.000 orang dewasa dan 3 hingga 15 kasus dari 100.000 anak
kecil. Terdapat dominasi kasus oleh pria dengan perbandingan 1,4:1. 1
Kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu tipe kongenital yang
spesifik terjadi pada masa kanak-kanak dan tipe acquired yang dapat terjadi pada
anak-anak dan dewasa. Kolesteatoma kongenital didefinisikan sebagai massa
putih yang terbentuk sebelum lahir di belakang gendang telinga yang intak dan
tidak terdapat riwayat otitis media ataupun prosedur pada telinga
sebelumnya.Kolesteatoma acquired pada umumnya mulai terjadi setelah lahir
dengan sebuah kantong retraksi pada gendang telinga, biasanya sebagai akibat
dari penyakit telinga tengah kronik. Kolesteatoma anak-anak lebih bersifat agresif,
proliferative, dan diasosiasikan dengan prognosis yang kurang bagus. 1
Diagnosis kolesteatoma dilaksanakan oleh para spesialis menggunakan
beberapa cara termasuk mengumpulkan riwayat yang mengarah ke kolesteatoma,
mencari bukti adanya kolesteatoma saat pemeriksaan fisik pada telinga dan
interpretasi gambaran CT scan maupun MRI. 2
Manajemen pada kolesteatoma merupakan tantangan bagi seluruh
otolaryngologis , bahkan pada negara dengan fasilitas kesehatan yang bagus yang
mampu melaksanakan pemeriksaan fisik rutin, akses spesialis yang luas, dan
tindakan pencegahan yang tinggi tetap dapat ditemukan kejadian kolesteatoma
dan komplikasinya pada dewasa dan anak-anak. 2

BAB II

5
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Gambar 1.
Anatomi
telinga3
Telinga luar
terdiri dari daun
telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin
dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada
sepertiga bagian luar, sedangkan dua per tiga bagian dalam rangkanya terdiri dari
tulang. Panjangnya kira-kira 2,5-3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang
telinga terdapat banyak kelenjar serumen (kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar
keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua per tiga bagian dalam
hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.3

Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar yaitu membran timpani,
batas depan yaitu tuba eustachius, batas bawah yaitu vena jugularis, batas
belakang yaitu aditus ad antrum serta kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas
yaitu segmen timpani (meningen/otak), batas dalam yaitu berturut-turut dari atas
ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval
window), tingkap bundar (round window) dan promontorium. 3
Telinga dalam sangatlah kompleks sehingga disebut labirin. Terdiri dari
koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri 3 buah

6
kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema,
menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibule. 3

Gambar 2. Membran timpani3

Membran timpani adalah membrana fibrosa tipis yang berwarna kelabu


mutiara. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah
liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut
Pars flaksida (Membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa
(membrane propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah
lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia,
seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi
ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang
berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam. 3
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani
disebut umbo. Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier.
Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut.
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah
belakang, untuk menyatakan letak perforasi membrane timpani. Membran

7
tympani sangat peka terhadap nyeri dan permukaan luarnya dipersarafi oleh
N.auriculotemporalis dan ramus auricularis N. vagus. 3

2.2 Definisi
Istilah Kolesteatoma terdiri atas kata “Chole” yang berarti kolesterol,
“Steat” yang berarti lemak , dan “Oma” yang berarti tumor, istilah ini digunakan
untuk menggambarkan tumor yang memiliki tampilan berminyak. Istilah
kolesteatoma merupakan istilah yang paling dominan digunakan dalam dunia
medis , walaupun sebenarnya istilah ini salah karena pada lesi tidak terdapat unsur
kolesterol maupun lemak dan tidak bersifat ganas. Kolesteatoma adalah massa
yang dibentuk oleh epitel skuamosa berkeratin di telinga tengah dan atau mastoid ,
jaringan ikat sub epithelial dan hasil dari akumulasi progresif dari debris keratin
dengan atau tanpa reaksi inflamasi sekitar. Kolesteatoma juga disebut sebagai
proses penyembuhan luka yang kronik dimana mukosa telinga tengah diganti dan
terjadi proses resorbsi pada tulang dibawahnya. 2,4
2.3. Klasifikasi
Klasifikasi kolesteatoma secara umum terbagi atas 2 yaitu kolesteatoma
kongenital dan kolesteatoma yang didapat (acquired). Selanjutnya terdapat
beberapa macam klasifikasi lanjutan. 2

Tabel 1. Tipe-tipe klasifikasi yang sering digunakan


2

Kriteria Classification
Etiologi dan Patofisiologi 1. Kongenital
2. Kelainan didapat
- Primer
- Sekunder

Patofisiologi, 1. Kongenital
lokasi, defek ossicular, 2. Kelainan didapat
dan komplikasi yang terjadi - Primer
- Sekunder
- Tersier

8
Lokasi di Membran Timpani 1.Attic cholesteatoma
2.Pars tensa I
cholesteatoma
(marginal disease)
Pars tensa II
(central disease)
Arah penjalaran penyakit 1. Attic
2. Pars tensa
- Tensa retraction
cholesteatoma
- Sinus cholesteatoma
Lokasi awal penyakit Pars tensa
- Marginal
- Sentral
Kongenital

Luas Daerah yang terlibat Pars tensa

1. Attic
2. Kombinasi attic/
pars tensa

Stastus inflamasi 1. Dengan infeksi


2.Tanpa infeksi

Terdapat juga klasifikasi menurut Japan Otological Society (JOS).


Klasifikasi terbagi menjadi kolesteatoma yang didapat, kolesteatoma kongenital
dan tak terklasifikasi. Kolesteatoma yang didapat (acquired) terdiri dari
kolesteatoma dengan kantong retraksi (primary acquired cholesteatoma) dan
kolesteatoma tanpa kantong retraksi. Kolesteatoma dengan kantong retraksi
sendiri mempunyai 3 bentuk, yang pertama yaitu kolesteatoma pars flaccida
(kolesteatoma attic) yaitu kolesteatoma yang berasal dari kantong retraksi pars
flaccida. Kolesteatoma pars tensa merupakan kolesteatoma yang berasal dari
kantong retaksi pars tensa. Jarak retraksi bervariasi mulai dari kuadran postero-
superior hingga adhesi parsial atau seluruh pars tensa. Dan juga kombinasi dari

9
kolesteatoma pars flaccida dan pars tensa yaitu kolesteatoma yang melibatkan
attic dan pars tensa. Hal ini dapat terjadi secara terpisah atau sebagai suatu
gabungan yang tidak bisa dipisahkan yang dapat menyebabkan defek pada
dinding posterior. Kolesteatoma tanpa kantong retraksi dibagi menjadi 2 bentuk,
yang pertama yaitu kolesteatoma sekunder sampai perforasi tensa kronik
(kolesteatoma sekunder didapat) merupakan kolesteatoma yang berkembang
mengikuti pertumbahan epitel skuamosa beserta perforasi pada pinggiran bawah
pars tensa tanpa membentuk kantung retraksi. Lalu kolesteatoma tertanam akibat
trauma atau prosedur otologik merupakan kolesteatoma yang biasanya
berkembang pada umumnya berupa kista sebagai akibat dari transplantasi epitel
skuamosa pada saat terjadi trauma atau cidera iatrogenic pada membran timpani.5
Kolesteatoma Kongenital sering berkembang di belakang membrane
timpani yang intak. Riwayat seperti otitis media tidak berarti mengekslusi
diagnosa ini dengan pengecualian jika terdapat riwayat tindakan pada telinga
sebelumnya. Sedangkan Kolesteatoma tak terklasifikasi tidak dapat dimasukkan
pada klasifikasi di atas. Gambaran pada telinga dapat berubah mengikuti adanya
perubahan pada membrane timpani akibat infeksi sekunder atau tindakan pada
telinga.5

2.3 Patogenesis
Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis menurut etiologinya yaitu
kolesteatoma kongenital dan akuisital. Yang pertama yaitu kolesteatoma
kongenital. Kolesteatoma kongenital terbentuk sebagai akibat dari epitel
skuamosa terperangkap di dalam tulang temporal selama embriogenesis,
ditemukan pada telinga dengan membran timpani utuh tanpa ada tanda-tanda
infeksi. Penderita sering tidak memiliki riwayat otitis media supuratif kronis yang
berulang, riwayat pembedahan otologi sebelumnya, atau perforasi membran
timpani. Kolesteatoma kongenital paling sering diidentifikasi pada anak usia dini
(6 bulan – 5 tahun). Saat berkembang, kolesteatoma dapat menghalangi tuba
Eustachius dan menyebabkan cairan telinga tengah kronis dan gangguan
pendengaran konduktif. Kolesteatoma juga dapat meluas ke posterior hingga

10
meliputi tulang-tulang pendengaran dengan mekanisme ini dapat menyebabkan
tuli konduktif.6

Selanjutnya kolesteatoma akuisital, jenis ini terbagi dua yaitu primer dan
sekunder. Kolesteatoma Gambar
akuisital3. primer terbentuk
Kolesteatoma tanpa didahului oleh perforasi
kongenital.
Tampak massatimbul
membran timpani. Kolesteatoma putih diakibat
belakang membran
proses invaginasi dari membran
timpani yang intak. 6
tymphani pars flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat
gangguan tuba (teori invaginasi). Kolesteatoma akuisital primer timbul sebagai
akibat dari retraksi membran timpani.6
Kolesteatoma akuisital primer klasik berawal dari retraksi pars flaksida di
bagian medial membran timpani yang terlalu dalam sehingga mencapai
epitimpanum. Saat proses ini berlanjut, dinding lateral dari epitimpani (disebut
juga skutum) secara perlahan terkikis, menghasilkan defek pada dinding lateral
epitimpanum yang perlahan meluas. Membran timpani terus yang mengalami
retraksi di bagian medial sampai melewati pangkal dari tulang-tulang pendengaran
hingga ke epitimpanum posterior. Destruksi tulang-tulang pendengaran umum
terjadi. Jika kolesteatoma meluas ke posterior sampai ke aditus ad antrum dan
tulang mastoid itu sendiri, erosi tegmen mastoid dengan eksposur dura dan/atau
erosi kanalis semisirkularis lateralis dapat terjadi dan mengakibatkan ketulian dan
vertigo.6

Gambar 4. Kolesteatoma pada daerah


atik. Merupakan kolesteatoma 11
akuisital primer pada stadium paling
awal.6
Kolesteatoma akuisital primer tipe kedua terjadi apabila kuadran posterior
dari membran timpani mengalami retraksi ke bagian posterior telinga tengah.
Apabila retraksi meluas ke medial dan posterior, epitel skuamosa akan
menyelubungi bangunan-atas stapes dan membran timpani terteraik hingga ke
dalam sinus timpani. Kolesteatoma primer yang berasal dari membran timpani
posterior cenderung mengakibatkan eksposur saraf wajah (dan kadang-kadang
kelumpuhan) dan kehancuran struktur stapes.6
Sedangkan kolesteatoma akuisital sekunder merupakan kolesteatoma yang
terbentuk setelah adanya perforasi membran timpani. Kolesteatom terbentuk
sebagai akibat masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi
membran timpani ke telinga tengah (teori migrasi) atau terjadi akibat metaplasi
mukosa kavum tymphani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama (teori
implantasi).6
Kolesteatoma akuisital sekunder terjadi sebagai akibat langsung dari
beberapa jenis cedera pada membran timpani. Cedera ini dapat berupa perforasi
yang timbul sebagai akibat dari otitis media akut atau trauma, atau mungkin
karena manipulasi bedah pada gendang telinga. Suatu prosedur yang sederhana
seperti insersi tympanostomy tube dapat mengimplan epitel skuamosa ke telinga
tengah, yang akhirnya menghasilkan kolesteatoma. Perforasi marginal di bagian
posterior adalah yang paling mungkin menyebabkan pembentukan kolesteatoma.
Retraksi yang mendalam dapat menghasilkan pembentukan kolesteatoma jika
retraksi menjadi cukup dalam sehingga menjebak epitel deskuamasi. 6
2.5. Gejala Klinis
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, yang
terus-menerus atau sering berulang. Ketika kolesteatoma terinfeksi, kemungkinan
besar infeksi tersebut sulit dihilangkan. Karena kolesteatoma tidak memiliki
suplai darah (vaskularisasi), maka antibiotik sistemik tidak dapat sampai ke pusat
infeksi pada kolesteatoma. Antibiotik topikal biasanya dapat diletakkan
mengelilingi kolesteatoma sehingga menekan infeksi dan menembus beberapa
milimeter menuju pusatnya, akan tetapi, pada kolestatoma terinfeksi yang besar
biasanya resisten terhadap semua jenis terapi antimikroba. Akibatnya, otorrhea

12
akan tetap timbul ataupun berulang meskipun dengan pengobatan antibiotik yang
agresif.7
Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang umum pada
kolesteatoma. Kolesteatoma yang besar akan mengisi ruang telinga tengah dengan
epitel deskuamasi dengan atau tanpa sekret mukopurulen sehingga menyebabkan
kerusakan osikular yang akhirnya menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang
berat.7
Pusing adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma, tetapi tidak akan
terjadi apabila tidak ada fistula labirin akibat erosi tulang atau jika kolesteatoma
mendesak langsung pada stapes footplate. Pusing adalah gejala yang
mengkhawatirkan karena merupakan pertanda dari perkembangan komplikasi
yang lebih serius.7
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang paling umum dari kolesteatoma adalah
drainase dan jaringan granulasi di liang telinga dan telinga tengah tidak responsif
terhadap terapi antimikroba. Suatu perforasi membran timpani ditemukan pada
lebih dari 90% kasus. Kolesteatoma kongenital merupakan pengecualian, karena
seringkali gendang telinga tetap utuh sampai komponen telinga tengah cukup
besar. Kolesteatoma yang berasal dari implantasi epitel skuamosa kadangkala
bermanifestasi sebelum adanya gangguan pada membran timpani. Akan tetapi,
pada kasus-kasus seperti ini, (kolesteatoma kongenital, kolesteatoma implantasi)
pada akhirnya kolesteatoma tetap saja akan menyebabkan perforasi pada membran
timpani.7
Seringkali satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik adalah sebuah
kanalis akustikus eksternus yang penuh terisi pus mukopurulen dan jaringan
granulasi. Kadangkala menghilangkan infeksi dan perbaikan jaringan granulasi
baik dengan antibiotik sistemik maupun tetes antibiotik ototopikal sangat sulit
dilakukan. Apabila terapi ototopikal berhasil, maka akan tampak retraksi pada
membran timpani pada pars flaksida atau kuadaran posterior.7
Pada kasus yang amat jarang, kolesteatoma diidentifikasi berdasarkan
salah satu komplikasinya, hal ini kadangkala ditemukan pada anak-anak. Infeksi
yang terkait dengan kolesteatoma dapat menembus korteks mastoid inferior dan
bermanifestasi sebagai abses di leher. Kadangkala, kolesteatoma bermanifestasi

13
pertama kali dengan tanda-tanda dan gejala komplikasi pada susunan saraf pusat,
yaitu : trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau meningitis.7
2.6. Diagnosis
Tidak ada tes laboratorium atau biopsi insisi yang pada umumnya
diperlukan untuk diagnosis kolesteatoma, karena diagnosisnya dapat dilakukan
berdasarkan pemeriksaan fisik dan temuan radiologis. Computed tomography
(CT) scanning adalah modalitas pencitraan diagnostik pilihan untuk lesi ini,
karena kemampuannya untuk mendeteksi cacat tulang yang halus.7
Secara histologis, spesimen kolesteatoma yang diangkat dengan operasi
menunjukkan epitel skuamosa yang khas. Histologi tidak dapat dibedakan dari
kista sebaceous atau keratoma yang dikeluarkan dari bagian tubuh lainnya.7
Audiometri harus dilakukan sebelum operasi bila memungkinkan.
Konduksi udara dan tulang, ambang penerimaan ucapan, dan nilai diskriminasi
wicara semua harus ditentukan dalam beberapa minggu setelah prosedur operasi
yang diusulkan.7
Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan saat masalah yang sangat
spesifik, seperti berikut ini, dicurigai terdapat keterlibatan atau invasi dural, abses
subdural atau epidural, herniasi otak ke dalam rongga mastoid, peradangan pada
labirin membranous atau nervus wajah, sigmoid sinus thrombosis dan meningitis.7
2.7. Tatalaksana
Terapi medis bukanlah pengobatan yang sesuai untuk kolesteatoma. Pasien
yang menolak pembedahan atau karena kondisi medis yang tidak memungkinkan
untuk anestesi umum harus membersihkan telinga mereka secara teratur.
Pembersihan secara teratur dapat membantu mengontrol infeksi dan dapat
memperlambat pertumbuhan kolesteatom, tapi tidak dapat menghentikan
ekspansi lebih lanjut dan tidak menghilangkan risiko komplikasi. Terapi
antimikroba yang utama adalah terapi topikal, akan tetapi terapi sistemik juga
dapat membantu sebagai terapi tambahan.7
Antibiotik oral bersama pembersihan telinga atau bersama dengan tetes
telinga lebih baik hasilnya daripada masing-masing diberikan tersendiri.
Diperlukan antibiotik pada setiap fase aktif dan dapat disesuaikan dengan kuman
penyebab. Antibiotik sistemik pertama dapat langsung dipilih yang sesuai dengan
keadaan klinis, penampilan sekret yang keluar serta riwayat pengobatan
sebelumnya. Sekret hijau kebiruan menandakan Pseudomonas , sekret kuning

14
pekat seringkali disebabkan oleh Staphylococcus, sekret berbau busuk seringkali
disebabkan oleh golongan anaerob.7
Kotrimokasazol, Siprofloksasin atau ampisilin-sulbaktam dapat dipakai
apabila curiga Pseudomonas sebagai kuman penyebab. Bila ada kecurigaan
terhadap kuman anaerob, dapat dipakai metronidazol, klindamisin, atau
kloramfenikol. Bila sukar mentukan kuman penyebab, dapat dipakai campuran
trimetoprim-sulfametoksazol atau amoksisillin-klavulanat. Antibitotik topikal
yang aman dipakai adalah golongan quinolon. Karena efek samping terhadap
pertumbuhan tulang usia anak belum dapat disingkirkan, penggunaan ofloksasin
harus sangat hati-hati pada anak kurang dari 12 tahun.7
Pembersihan liang telinga dapat menggunakan larutan antiseptik seperti
Asam Asetat 1-2%, hidrogen peroksisa 3%, povidon-iodine 5%, atau larutan
garam fisiologis. Larutan harus dihangatkan dulu sesuai dengan suhu tubuh agar
tidak mengiritasi labirin setelah itu dikeringkan dengan lidi kapas.7
Pada terapi pembedahan bertujuan untuk mengeluarkan kolesteatoma.
Dalam keadaan tertentu, ahli bedah dapat membuat keputusan untuk
menggunakan teknik canal wall up atau canal wall down. Jika pasien memiliki
beberapa episode kekambuhan dari kolesteatoma dan keinginan untuk
menghindari operasi masa depan, teknik canal wall down adalah yang paling
sesuai. Beberapa pasien tidak dapat menerima tindakan canal-wall down.Pasien
tersebut dapat diobati dengan tertutup (canal wall-up), asalkan mereka memahami
bahwa penyakit lebih mungkin kambuh dan mereka mungkin membutuhkan
beberapa serial prosedur pembedahan.1
Meskipun semua kelebihan dan kekurangan kedua teknik operasi itu
menjadi relatif di tangan ahli bedah yang berpengalaman, tiap ahli bedah telinga
mempunyai alasan sendiri mengapa memilih satu teknik dari teknik yang lain. Hal
yang jelas berbeda adalah bahwa timpanoplasti dinding utuh (canal wall-up)
berusaha maksimal mempertahankan bentuk fisiologis liang telinga dan telinga
tengah.1
Gambar 5. Teknik pembedahan kanal wall down1

Mastoidektomi radikal dengan timpanoplasti dinding runtuh klasik adalah


tindakan membuang seluruh sel-sel mastoid di rongga mastoid, meruntuhkan

15
seluruh dinding kanalis akustikus eksternus posterior, pembersihan total sel-sel
mastoid yang memiliki drainase ke kavum timpani. Inkus dan malleus dibuang,
hanya stapes yang dipertahankan. Begitu pula seluruh mukosa kavum tympani. 1
Timpanoplasti dinding runtuh merupakan modifikasi dari mastoidektomi
radikal, bedanya adalah mukosa kavum timpani dan sisa tulang-tulang
pendengaran dipertahankan setelah proses patologis dibersihkan. Tuba eustachius
tetap dipertahankan dan dibersihkan agar terbuka. Kemudian kavitas operasi
ditutup dengan fasia m.temporalis baik berupa free fascia graft maupun berupa
jabir fasia m.temporalis, dilakukan juga rekonstruksi tulang-tulang pendengaran. 1

Tabel 2. Keunggulan dan kelemahan timpanoplasti dinding utuh dan dinding runtuh 1

Teknik Operasi Timpanoplast Dinding Utuh Dinding Runtuh


Fisiologik Lebih fisiologik Kurang fisiologik
Residivitas Lebih tinggi Lebih rendah
Kesulitan Lebih tinggi Lebih rendah
Komplikasi (iatrogenik) Lebih tinggi Lebih rendah
Perbaikan pendengaran Lebih tinggi Lebih rendah
Keperluan operasi kedua Ya Tidak
Pembersihan spontan rongga ooperasi
Lebih baik Memerlukan lebih sering kontrol
(self cleansing)
Hearing aid Lebih mudah Sukar

2.8 Komplikasi

Komplikasi operasi pada mastoidektomi dan timpanoplasti dibagi


berdasarkan komplikasi segera dan komplikasi lambat. Komplikasi segera
termasuk parese nervus fasialis, kerusakan korda timpani, tuli saraf, gangguan
keseimbangan, fistel labirin, trauma pada sinus sigmoid, bulbus jugularis, likuor
serebrospinal. Infeksi pasca-operasi juga dapat dimasukkan sebagai komplikasi
segera.6
Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren, reperforasi, lateralisasi
tandur, stenosis liangg telinga luar, displasi atau lepasnya prostesis tulang
pendengaran yang dipasang. Pada kebanyakan, kasus trauma nervus fasialis tidak

16
disadari pada waktu operasi. Trauma nervus fasialis yang paling sering terjadi
adalah pada pars vertikalis waktu melakukan mastoidektomi, bisa juga terjadi
pada pars horizontal waktu manipulasi daerah di dekat stapes atau mengorek
daerah bawah inkus baik dari arah mastoid ataupun dari arah kavum timpani.
Trauma dapat lebih mudah terjadi bila topografi daerah sekitarnya sudah tidak
dikenali dengan baik, misalnya pada kelainan letak kongenital, jaringan parut
karena operasi sebelumnya, destruksi kanalis fasialis karena kolesteatoma. 6
Derajat parese harus ditentukan, paling sederhana adalah menurut
klasifikasi House-Bregmann. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan EMG untuk
melihat derajat kerusakan pada saraf dan menentukan prognosis penyembuhan
spontan.6
Trauma operasi terhadap labirin sukar diketahui dengan segera, sebab
vertigo pasca-operasi dapat terjadi hanya karena iritasi selam operasi, belum tentu
karena cedera operasi. Trauma terhadap labirin bisa menyebabkan tuli saraf total.
Manipulasi di daerah aditus ad antrum dan sekitarnya pada lapangan operasi yang
ditutupi oleh jaringan kolesteatoma dan matriks koleteatoma dapat menyebabkan
fistel labirin.6
Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperburuk
sistem konduksi telinga tengah sedapat mungkin langsung rekonstruksi. Trauma
terhadap dinding sinus dan duramater sehingga terjadi perdarahan dan bocornya
cairan otak, bila tidak luas dapat ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan
tandu komposit sampai kebocoran berhenti. Trauma pada sinus lateralis, sinus
sigmoid, bulbus jugularis, dan vena emissari dapat menyebabkan perdarahan
besar.6
2.9 Prognosis
Pada umumnya setiap pasien diharuskan untuk kembali control setelah
mendapatkan terapi pembedahan kolesteatoma. Hal ini disebabkan karena hamper
90% dari kasus mengalami rekurensi yang dideteksi dalam kurun waktu 5 tahun
setelah pembedahan. Tetapi pasien juga bias berada dalam keadaan percaya bahwa
dirinya telah sembuh walaupun sebenarnya masih ada kemungkinan rekurensi
yang tinggi.1
Dalam suatu studi menunjukkan bahwa masa rekurensi terlama adalah
17,2 tahun setelah dilakukannya pembedahan. Hal ini menunjukkan bahwa

17
perjalanan penyakit ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
diidentifikasi, sehingga dibutuhkan masa control yang selama mungkin.1
Namun hal yang perlu diperhatikan adalah kunci untuk meminimalisir
rekurensi adalah dengan eradikasi total dari penyakit dan mempertimbangkan
factor-faktor resiko rekurensi seperti tipe pembedahan, luas penyebaran penyakit,
dan tipe kolesteatoma posterosuperior. 1

BAB III
KESIMPULAN
Dari semua penjabaran mengenai kolesteatom pada bab sebelumnya, maka
dapat ditarik kesimpulan Bahwa meskipun banyak teori yang berusaha
menjelaskan mengenai terbentuknya kolesteatoma, patogenesis dari terbentuknya
kolesteatoma sebenarnya masih belum pasti hingga saat ini. Sangat penting untuk
memiliki pengetahuan dasar yang memadai mengenai karkteristik anatomi dan
fungsional dari telinga tengah untuk mencapai penatalaksanaan yang memuaskan
untuk kolesteatoma. Kunci dari didapatkannya diagnosis dini dan penatalaksanaan
segera yang tepat untuk kolestatoma adalah evaluai yang hati-hati dan menyeluruh
mengenai presentasi klinis hingga ke pencitraannya.
Penatalaksanaan yang paling sesuai adalah pembedahan dengan tujuan
untuk mengeradikasi penyakit dan untuk mencapai kondisi telinga yang kering
dan aman dari infeksi berulang.Pendekatan secara bedah harus disesuaikan pada
masing-masing pasien sesuai dengan keadaan umum dan luasnya penyebaran
kolesteatoma itu sendiri.Ahli bedah harus sangat waspada terhadap komplikasi
pasca-pembedahan yang mengancam nyawa ataupun menyebabkan kondisi serius
terhadap pasien seperti cedera nervus fasialis.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Kuo CL, Shiao AS, Yung M, Sakagami M, Sudhoff H, Hung W, et al. Updates
and Knowledge Gaps in Cholesteatome Research. Biomed Research Hospital.
2015;1-17
2. Rutkowska J, Ozgirgin N, Olszewska E. Cholesteatoma Definition and
Classification: A Literature Review. J Int Adv Otol. 2017;13(2):266-71
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi ke-7 BAB II
Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga oleh Indro Soetirto. Jakarta :
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. hal. 10-3
4. Coman M, Coman A, Gheorghe DC., All About Imagistic Exploration in
cholesteatoma. Maedica- a journal of clinical medicine. 2015; 10(2): 178-84
5. Tono T, Sakagami M, Kojima H, Yamamoto Y, Matsuda K, Komori M, et al.,
Staging and Classification Criteria for Middle Ear Cholesteatoma Proposed by
the Japan Otological Society. Auris Nasus Larynx. 2016
6. Olszewska E, Wagner M, Manuel BS, Ebmeyer J, Dazert S, Hildmann H, et al.
Etiopathogenesis of Cholesteatoma. Eur Arch Otorhunolaryol. 2004; 261:6-24
7. Chang P, Kim S. Cholesteatoma-diagnosing the unsafe ear. Australian Family
Physician. 2008;37(8): 631-8.

19

Anda mungkin juga menyukai