Anda di halaman 1dari 35

SEMINAR AUDIT

“Good Corporate Governance (GCG) dan Komite Audit”


Dosen Pengampu : Dr. Enggar Diah Puspa Arum, SE.Ak. M.si

Di Susun Oleh :
Ade Elmanovita C1C016004
Zulkifli Fadhilah C1C016055
Ayu Azizah C1C016077
Vania Utami P C1C016105

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PRODI AKUNTANSI
TAHUN AJARAN
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “GCG dan
Komite Audit”. Penulis membuat makalah ini dari Buku Auditing dan dari beberapa jurnal
sebagai pedoman membuat makalah. Penyusunan makalah ini untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Seminar Auditing. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah wawasan khususnya dalam bidang auditing, serta pembaca dapat mengetahui
tentang GCG dan Komite Audit.

Menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini, karena itu, kami
sangat mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca untuk melengkapi segala
kekurangan dan kesalahan dari makalah ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang telah membantu selama proses penyusunan makalah
ini.

Jambi, 29 Maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................................

Daftar Isi ..........................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................

1.1 Latar Belakang Munculnya GCG ........................................................................................


1.2 Sejarah Komite Audit ..........................................................................................................
1.3 Rumusan Masalah ................................................................................................................
1.4 Tujuan Penulisan ..................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................................

2.1 Pengertian GCG ...................................................................................................................


2.2 Konsep GCG ........................................................................................................................
2.3 Prinsip-prinsip GCG ............................................................................................................
2.4 Tujuan GCG .........................................................................................................................
2.5 Manfaat GCG .......................................................................................................................
2.6 Organ Khusus dalam penerapan GCG .................................................................................
2.7 Contoh Kasus .......................................................................................................................
2.8 Komite Audit di Indonesia ...................................................................................................
2.9 Komite Audit Sebagai Organ Dewan Komisaris dalam Pemenuhan GCG .........................
2.10 Review Jurnal .....................................................................................................................

BAB III PENUTUP ........................................................................................................................

3.1 Kesimpulan ..........................................................................................................................

3.2 Saran ....................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Munculnya Good Corporate Governance (GCG)

Mulai populernya istilah “tata kelola perusahaan yang baik” atau yang lebih dikenal
dengan istilah asing good corporate governance (GCG) tidak dapat dilepaskan dari maraknya
skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar, baik yang ada di Indonesia
maupun yang ada di Amerika Serikat.

Runtuhnya system ekonomi komunis menjelang akhir abad ke-20, menjadikan system
ekonomi kapitalis sebagai satu-satunya system ekonomi yang paling dominan di seluruh
dunia. System ekonomi kapitalis makin kuat mengakar berkat arus globalisasi dan
perdagangan bebas yang mampu dipaksakan oleh Negara-negara maju penganut system
ekonomi kapitalis. Ciri utama system ekonomi kapitalis adalah kegiatan bisnis dan
kepemilikan perusahaan dikuasai oleh individu-individu/ sector swasta. Dalam perjalanannya,
beberapa perusahaan akan muncul sebagai perusahaan-perusahaan swasta raksasa yang
bahkan aktivitas dan kekuasaannya telah melibihi batas-batas suatu Negara. Para pemilik dan
pengelola kelompok perusahaan-perusahaan raksasa ini bahkan mampu mempengaruhi dan
mengarahkan berbagai kebijakan yang diambil oleh para pemimpin politik suatu Negara
untuk kepentingan kelompok perusahaan mereka dengan kekuatan uangnya.

Sebagiman dikatakan oleh Joel bajan (2002), perusahaan (korporasi) saat ini telah
berkembang dari sesuatu yang relative tidak tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia yang
amat dominan. Kekuatan dan pengaruh perusahaan ini sedemikian besarnya sehingga telah
menjelma menjadi “monster raksasa” yang mendikte hampir seluruh hidup kita, mulai dari
apa yang kia pakai, apa yang kita hasilkan dan apa yang kita kerjakan. Itulah sebabnya, sering
kali terjadi pemerintah suatu Negara yang seharusnya menjadi kekeuatan terakhir sebagai
pengawas, penegak hokum, dan pengendali perusahaan-perusahaan tidak berdaya
menghadapi penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang
berpengaruh tersebut.

Sistem perbankan di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan krisis ekonomi,


politik, dan sosial yang sangat kompleks.Beberapa perusahaan besar di Indonesia ada yang
bermasalah dan bahkan tidak mampu lagi meneruskan kegiatan usahanya akibat menjalankan
praktik tata kelola kerja yang buruk (bad corporate governance).Contohnya antara lain: bank-
bank pemerintah yang telah dilikuidasi/demerger (Bank Pembangunan Indonesia-Bapindo,
Bank Dagang Negara- BDN, Bank Bumi Daya- BBD, Bank Export Import- Bank Exim); PT
Indorayon (Sebuah pabrik kertas di Sumatra Utara); PT Dirgantara Indonesia (Sebuah pabrik
pesawat terbang yang berkantor pusat di Bandung); dan PT Lapindo Brantas (Sebuah pabrik
eksplorasi minyak dan gas di Sidoarjo,Jawa Timur). Kejatuhan bank pemerintah pada awal
abad ke-21 ini lebih disebabkan oleh kebijakan ekspansi kredit direksi bank tersebut yang
tidak bijaksana (imprudential credit policy). Kredit diberikan dalam jumlah besar kepada
beberapa kelompok usaha besar tanpa melalui suatu kajian yang cermat dan objektif atas
studi kelayakan mereka.Akibatnya,bank-bank pemerintah tersebut mengalami kesulitan
keuangan karena kelompok usaha besar ini tidak mampu mengembalikan pinjaman dan
bunganya.

Kebangkrutan PT Indorayon, sebuah perusahaan pabrik kertas yang tergolong


besar,lebih disebabkan oleh tata kelola yang buruk oleh perusahaan tersebut dalam
mengelolah hutan pinus di sekitar danau Toba yang menjadi sumber utama bahan baku kertas
perusahaan ini.Akibat pengelolahan hutan pinus yang buruk itu telah menimbulkan kerusakan
lingkungan htan dan mengganggu system tata air disekitar danau Toba.Permukaan air danau
Toba sempat mengalami penurunan tajam sehingga memengaruhi penghasilan masyarakat
ternak ikan di sekitar danau Toba.Masyarakat sekitar danau Toba menjadi marah dan mereka
menghentikan secara paksa aktivitas perusahaan di sekitar danau Toba tersebut.Akibatnya,PT
Indorayon tidak dapat beroperasi karena hubungan yang tidak baik dengan masyarakat di
sekitar lokasi pasokan bahan baku.

Hal yang sama terjadi pada kasus PT Lapindo Brantas. Kecerobohan PT Lapindo
Brantas dalam melakukan eksplorasi minyak dan gas di Sidoarjo bukan saja menimbulkan
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup pada area yang sangat luas,tetapi juga
mematikan sumber pencarian sebagaian besar masyarakat di daerah yang tercemar
tersebut.Hal ini dapat saja menimbulkan potensi tuntutan hukum dari masyarakat,yang pada
gilirannya dapat mengancam keberadaan perusahaan.

Pada intinya,timbulnya krisis ekonomi di Indonesia ini disebabkan oleh tata kelola
perusahaan yang buruk (bad corporate governance) dan tata kelola pemerintahan yang buruk
pula (bad government governance) sehingga memberi peluang besar timbulnya praktik-
praktik korupsi,kolusi,dan nepotisme (KKN).Hal ini dapat ditunjukan pada beberapa fakta
berikut :

a) Mudahnya para spekulan mata uang untuk mempermainkan pasar valuta asing karena
tidak adanya alat kendali yang efektif.Sifat para spekulan ini selalu mementing diri
sendiri tanpa peduli kepentingan masyarakat ataupun Negara.
b) Mudahnya para konglomerat memperoleh dana pinjaman dari perbankan.Hal ini
dimungkinkan karena para konglomerat itu sekaligus juga menjadi pemilik bank-bank
swasta ternama.Melalui rekayasa studi kelayakan dan laporan keuangan, para
konglomerat ini menarik pinjaman dari bank miliknya untuk membiayai proyek-
proyek usaha yang masih berada dalam kelompok usahanya. Para direksi bank ini
tidak dapat bersikap independen karena ditempatkan di bank tersebut oleh para
konglomerat tersebut. Para konglomerat ini banyak yang sekaligus merangkap fungsi
sebagai pemegang saham,komisaris,dan direksi di kelompok usaha mereka.
c) Banyak direksi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk di bank-bank
pemerintah juga tidak independen. Dalam mengambil berbagai kebijakan selalu ada
campur tangan dari oknum pejabat pemerintahan,Hal ini tidak mengherankan karena
para direksi ini sering kali merupakan kepanjang tangan kepentingan kelompok
oknum pejabat tertentu.Kalaupun mereka bersifat professional,mereka sering
mendapat tekanan oknum pejabat.
d) Para komisaris di BUMN sering kali bukan orang yang professional, melainkan
oknum-oknum birokrasi yang telah memasuki usia pension. Mereka ditempatkan
bukan karena kemampuan dan pengalaman mereka dalam mengelola
perusahaan,tetapi lebih karena sekedar balas jasa setelah memasuki usia pension.
e) Banyaknya profesi yang terkait dengan kegiatan bisnis ini- seperti: akuntan
publik,perusahaan penilai,konsultan keuangan,dan sebagainya- yang mudah diajak
bekerja sama untuk merekayasa laporan audit,laporan keuangan,dan laporan penilaian
harta (asset) perusahaan untuk berbagai keperluan- seperti: tender,aplikasi kredit
bank,penerbitan saham di bursa,dan sebagainya.
f) Pada saat timbul krisis moneter,Bank Indonesia mengucurkan dana berupa bantuan
likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai triliunan rupiah kepada sector
perbankan nasional dalam upaya membantu perbankan agar tidak ambruk akibat
penarikan dana nasabah secara besar-besaran. Namun itikad baik BI ini banyak
disalahgunakan oleh pemilik bank dengan memindahkan dana ini ke rekening
pribadinya dan membiarkan bank mereka sendiri tetap ambruk. Kalaupun para
pemilik bank ini mempunyai itikad baik,merka tidak mampu lagi untuk
mengembalikan dana BLBI tersebut.Sampai saat ini belum ada penyelesaian tuntas
tentang kasus BLBI ini.
1.2 Sejarah Komite Audit

Komite Audit memegang peran penting dalam menciptakan good corporate


governance pada entitas-entitas bisnis. Pada mulanya memang diwajibkan hanya pada
perusahaan yang terdaftar di bursa efek untuk menjaga kepercayaan pasar terhadap kinerja
keuangan dan kepatuhan perusahaan tersebut, saat ini karena dirasa manfaatnya semakin
diperlukan, Komite Audit malah sudah banyak juga dibentuk di entitas Usaha Kecil
Menengah dan Koperasi (UKMK) dan organisasi nir laba. Perkembangan ini membuktikan
bahwa fungsi pengawasan yang diemban Komite Audit terbukti memberikan nilai tambah
bagi entitas/organisasi tersebut.

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut :


1. Apakah pengertian GCG dan Komite Audit?
2. Apa saja konsep dan prinsip GCG ?
3. Apa saja tujuan dan manfaat GCG ?
4. Bagaimana contoh kasus GCG?
5. Bagaimana komite audit di Indonesia ?

1.2 Tujuan Penulisan


Dari uraian yang dikemukakan sebelumnya dan mengingat begitu pentingnya GCG
dan Komite Audit didalam dirumuskan tujuan penulisan makalah ini, yaitu :
1. Menemukan pengertian GCG dan Komite Audit?
2. Mengetahui bagaimana prinsip dan konsep GCG?
3. Mengetahui apasaja tujuan dan manfaat GCG?
4. Memaparkan contoh kasus GCG ?
5. Mengetahui bagaimana komite audit di Indonesia ?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian GCG

Walaupun istilah GCG dewasa ini sudah sangat popular,namun sampai saat ini belum
ada definisi baku yang dapat disepakati oleh semua pihak. Istilah “corporate governance”
pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee,Inggris di tahun 1922 yang
menggunakan istilah tersebut dalam laporannya yang kemudian dikenal sebagai Cadbury
Report (dalam Sukrisno Agoes,2006). Istilah ini sekarang menjadi sangat popular dan diberi
banyak definisi oleh berbagai pihak.DIbawah ini diberikan beberapa definisi dari beerapa
sumber yang dapat dijadikan acuan.

1. Cadbury Committee of United Kingdom:

“A set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors,
the government, employees, and other internal and external stakeholders in respect to their
right and responsibilities,or the system by which companies are directed and controlled.”

[“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,pengurus


perusahaan,pihak kreditur, pemerintah,karyawan,serta para pemegang kepentingan internal
dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka; atau dengan
kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.”]

2. Forum of Corporate Governance in Indonesia – FCGI (2006) – tidak membuat definsi


tersendiri tetapi mengambil definisi dari Cadbury Committee of United Kingdom,yang kalau
diterjemahkan adalah: “seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang
saham,pengurus perusahaan,pihak kreditur,pemerintah,karyawan,serta para pemegangan
kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban
mereka; atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan.”

3. Sukrisno Agoes (2006) mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu
sistem yang mengatur hubungan peran Dewan Komisaris, peran Direksi, pemegang saham,
dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai
suatu proses transparan atas penentuan tujuan perusahaan,pencapaiannya, dan penilaian
kinerjanya.

4. Organization for Economic Coorperation and Development – OECD (dalam tjager


dkk.,2004) – mendefinsikan GCG sebagai: “The structure through which
shareholders,directors,managers,set of the board objectives of the company,the means of
attaining those objectives and monitoring performance.” [“Suatu struktur yang terdiri atas
para pemegang saham,direktur,manajer,seperangkat tujuan yang ingin dicapai
perusahaan,dan alat-alat yang digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.”]

5. Wahyudi Prakasa (dalam Sukrino Agoes,2006) mendefinsikan GCG sebagai : “mekanisme


administrative yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen
perusahaan,komisaris,direksi,pemegang saham,dan kelompok-kelompok kepentingan
(stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk berbagai
aturan permainan dan sistem insentif sebagai kerangka kerja (framework) yang diperlukan
untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan dan cara-cara pencapaian tujuan-tujuan serta
pemantauan kinerja yang dihasilkan.”

Jadi Good governance dapat diartikan sebagai kepemerintahan yang baik atau
penyelenggaraan pemerintahaan yang bersih dan efektif, sesuai dengan peraturan dan
ketentuan yang berlaku. Pemerintahan mencakup ruang lingkup yang luas, termasuk bidang
politik, ekonomi dan sosial mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengmbilan
keputusan hingga pelaksanaan dan pengawasan. Political governance mengacu pada proses
pembuat kebijakan. Economic governance mengacu pada proses pembuatan keputusan di
bidang ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan, pemerataan, penurunan kemiskinan dan
peningkatan kualitas hidup. Administrative governance berarti, bahwa penyelenggara setiap
bidang dan tahapan pemerintahan harus dilakukan dengan bersih, efisien, dan efektif.

Dalam bahasa sederhana, governance berarti proses pengambilan keputusan dan


proses pelaksanaan atau implementasinya. Secara umum dapat dikatakan, bahwa good
governance adalah penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip : partisipasi maksimal
dari semua pemangku kepentingan (stackholder), hukum da aturan (rule of law), transparansi,
responsivitas, orientasi consensus, keadilan dan kewajaran, efisiensi dan efektivitas,
akuntabilitas dan visi strategis.
2.2 Konsep GCG

Wadah terdiri dari :

1. Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan)


2. Model
Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk prinsip-prinsip,
serta nilai-nilai yang melandasi praktik bsnis yang sehat.

Tujuan terdiri dari :

a. Meningkatkan kinerja organisasi


b. Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan
c. Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang signifikan dalam
pengelolaan organisasi
d. Meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan tidak dirugikan

Mekanisme terdiri dari :

Mengatur dan mempertegas kembali hubungann, peran, wewenang, dan tanggung


jawab :

a. Dalam arti sempit : antar pemilik/ pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan
direksi.
b. Dalam arti luas : antar seluruh pemangku kepentingan.

2.3 Prinsip-Prinsip GCG

Penggunaan prinsip good governance dalam dunia usaha disebut Good Corporate
Governance (GCG). Dengan kata lain, bahwa dunia usaha harus juga membangun dan
memelihara prinsip-prinsip good corporate governance yaitu : partisipasi, hukum dan aturan,
transparasi, respontative, orientasi konsesus, keadilan dan kewajarana, efisiensi dan
efektivitas, akuntabilitas dan visi strategis.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, konsep CGC memperjelas dan


mempertegas mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam organisasi.
The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga telah
menciptakan prinsip-prinsip good corporate governance dengan harapan dapat dipergunakan
sebagai bahan acuan internasional (internasional benchmark) bagi para perusahaan Negara,
investor, perusahaan dan para stackeholder perusahaan (termasuk pemegang saham, baik
Negara-negara anggota OECD maupun bagi Negara non-anggota.

Harapan OECD menyajikan bahan acuan internasional tersebut telah membawa hasil.
Pada tahun 2004 Donald J.Johson, OECD Secretary General mengutarakan, sejak beberapa
tahun terakhir para pengusaha, pemerintahan dan madyarakat bisnis di banyak Negara mulai
menyadari bahwa good corporate governance dapat memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap stabilitas perkembangan pasar modal, iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Prinsip-prinsip governance yang diterbitkan OECD itu mencakup hal-hal berikut :

1. Landasan hukum yang diperlukan untuk menjamin penerapan good corporate


governance secara efektif (ensuring the basis for an effective corporate governance
framework); menurut OECD apabila pemerintah suatu negara menginginkan prinsip-
prinsip good corporate governance diterapkan secara efektif dinegaranya, mereka
wajib membangun landasan hukum yang memungkinkan hal itu terjadi.

Tanpa landasan hukum yang kuat salah satu tujuan utama good corporate governance,
yaitu melindungi hak dan kepentingan para pemegang saham dan stakeholders yang lain sulit
dilaksanakan. Landasan hukum tersebut antara lain berupa penciptaan

a. Undang-undang tentang perseroan terbatas (corporate laws),


b. Undang-undang perburuhan,
c. Undang-undang tentang kredit perbankan,
d. Ketentuan tentang standar akuntansi keuangan dan standar audit,
e. Syarat dan prosedur pendaftaran saham perusahaan di bursa efek.

OECD menyarankan dalam menyusun undang-undang atau ketentuan hukum lain yang
bersangkutan dengan penerapam prinsip good corporate governance, pemerintah hendaknya
melakukan komunikasi dan konsultasi dengan perusahan-perusahaan lokal. Di samping itu
pemerintah negara yang menerapkan prinsip-prinsip good corporate governace disarankan
memonitor penerapan prinsip-prinsip tersebut di dunia bisnis negaranya.

2. Hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan (the rights of
shareholders and key ownership function); para pemegang saham mempunyai hak-
hak tertentu. OECD menyarankan hak-hak tersebut dilindungi, baik secara hukum
maupun oleh masing-masing perusahaan.
3. Perlakuan yang adil terhadap para pemegang saham (the equiptable treatment of
shareholders); perusahaan wajib menjamin perlakuan yang adil terhadap semua
pemegang saham perusahaan, termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang
saham asing. Pemegang jenis saham yang sama (misalnya saham biasa) wajib
mendapat jaminan memperoleh pelakuan yang sama. Dalam kaitannya dengan
perlakuan adil itu sebelum menjadi saham yang diperdagangkan di bursa efek, setiap
investor berhak mendapatkan informasi tentang hak dan perlindungan terhadap saham
yang akan mereka beli.
4. Peranan the stakeholders dalam corporate govarnance (the role of stakeholders in
corporate governance); OECD juga menyarankan adanya perlindungan hak dan
kepentingan para anggota the stakeholders non pemegang saham. Hal itu disebabkan
karena keberhasilan operasi bisnis perusahaan ditentukan oleh hasil kerjasama para
anggota stakeholders, termasuk para pemegang saham, karyawan, kreditur pelanggan,
dan para pemasok layanan jasa, baha baku, dan bahan pembantu.
5. Prinsip pengungkapan informasi secara transparan (disclosure and transparency);
Prinsip good corporate governance lain yang disosialisasikan OECD kepada negara-
negara anggota dan negara-negara non-anggota adalah pengungkapan informasi
perusahaan secara transparan. Menurut OECD Board of Directors perusahaan wajib
melaporkan kepada pemegang saham secara akurat, transparan dan tepat waktu, hal-
hal yang bersangkutan dengan kondisi keuangan, perubahan kepemilikan, kinerja
bisnis dan hal-hal penting lainnya yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup
perusahaan.
6. Tanggung jawab Dewan Pengurus (the responsibilities of the Board); Tanggung jwab
dewan pengurus, organisasi dewan pengurus atau Board of Directors di banyak negara
terdiri dari dua lapis. Di Indonesia lapis pertama disebut dewan komisaris, sedangkan
lapis kedua disebut direksi, lapis pertama Board of Directors berfungsi sebagai
pengarah dan pengawas jalannya operasi bisnis perusahaan dan kinerja direksi.

Sedangkan fungsi utama lapis kedua Board of Directors adalah mengelola harta, utang
dan kegiatan bisnis perusahaan sehari-hari. Board of Directors bertanggung jawab atas
kepatuhan perusahaan yang mereka kelola terhadapa undang-undang atau ketentuan hukum
yang berlaku, termasuk undang-undang perpajakan, perburuhan, persaingan, perkreditan,
lingkungan hidup secara lebih rinci fungsi dan tanggung jawab Board of Directors dalam
kerangka corporate governance.
Adapun prinsip Corporate governance yang diterbitkan oleh OECD dalam hubungannya
dengan tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Negara BUMN juga
mengeluarkan keputusan Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan GCG (Tjager
dkk., 2003).

Ada lima prinsip menurut keputusan ini, yaitu :

a. Kewajaran (fairness)
b. Tranparansi
c. Akuntabilitas
d. Pertanggungjawaban
e. Kemandirian

Tranparansi berarti keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dalam


mengemukakan informasi mengenai perusahaan.Kemandirian berarti pengelolaan
perusahaan secara prosfesional sesuai dengan peraturan perundang-undangan tanpa benturan
kepentingan dan tekanan dari pihak lain. Akuntabilitas berarti memberikan pelaporan
pertanggungjawaban pelaksanaan tugas secara periodic, termasuk mengenai penggunaan dan
sumber-sumber dana. Kewajaran (fairness) berarti keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi
hak-hak masing-masing stakeholders sesuai kontribusi yang diberikan kepada perusahaan,
serta perjanjian dengan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan kriteria tersebut, penerapan GCG di lingkungan BUMN diharapkan dapat


mencapai tujuan perusahaan :

a. Memaksimalkan nilai BUMN;


b. Mendorong pengelolaan BUMN secara professional;
c. Mendrong proses pengambilan keputusan berlandakan nilai moral yang tinggi,
kepatuhan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku, pertanggungjawaban
social kepada semua stakeholders, dan kelestarian lingkungan hidup;
d. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional;
e. Meningkatkan investasi nasional;
f. Mensukseskan program privatisasi.
2.4 Tujuan GCG

GCG bukanlah seata-mata persoalan membentuk organ-organ perusahaan seperti


komisaris independen dan komite audit, tapt GCG adalah sebagaimana menciptakan
pengelolaan perusahaan yang professional melalui penerapan system akunting dan keuangan
yang memenuhi standar serta bagaimana manajemen dilengkapi dengan system teknologi
informasi yang mendukung operasional perusahaan.

Good corporate governance mempunyai 5 tujuan utama yaitu :

a. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham;


b. Melindungi hak dan kepentingan stakeholders lainnya;
c. Meningkatkan nilai saham dan perusahaan;
d. Meningkatkan kinerja Dewan Komisaris dan Manajemen;
e. Meningkatkan mutu hubungan Dewan Komisaris dan Manajemen.

Semua kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan diselenggarakan dengan sistem


pengendalian internal yang mencakup :

a) Pengendalian terstruktur terrdiri atas :


1. Intergritas, nilai etika dan kompetensi karyawan
2. Filosofi dan gaya manajemen
3. Keseimbangan tanggung jawab dan kewenangan
4. Pengembangan sumberdaya manusiwa
5. Arahan dari direksi
b) Pengkajian dan pengelolaan resiko Usaha;
c) Pengendalian menyeluruh di setiap unit, aspek dan tingkatan;
d) Ketaatan pada peraturan dalam pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban;
e) System monitoring dengan dukungan audit internal.

2.5 Manfaat GCG

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tujuan penerapan GCG adalah untuk


meningkatkan kinerja organisasi serta mencegah atau memperkecil peluang praktik
manipulasi dan kesalahan signifikan dalam pengelolaan kegiatan organisasi.

Tjager dkk (2003) mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasa mengapa penerapan
GCG itu bermanfaat, yaitu :
1. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh McKinsey&Company menunjukan bahwa
para investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-
perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG.
2. Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya
krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola
perusahaan.
3. Internasioanlisasi pasar termasuk liberalisasi pasar finansial dan pasar modal
menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.
4. Kalaupun GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, system ini dapat menjadi
dasar bagi berkembangnya system nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis
yang kini telah banyak berubah.
5. Secara teoretis, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Indra Surya dan Ivan yustiavandana (2007) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat dari
penerapan GCG adalah :

1. Memudahkan askes terhadap investasi domestic maupun asing


2. Mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah
3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi
perusahaan
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan terhadap
perusahaan
5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntunan hukum.

2.6 Organ Khusus Dalam Penerapan GCG

Meskipun ketentuan mengenai organ perseroan telah diatur dalam undang-undang


perseroan terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dan selanjutnya dituangkan kembali di dalam
anggaran dasar perseroan, namun dalam praktiknya organ ini belum mampu menjamin
terselenggaranya tata kelola perusahaan yang sehat. Hal ini karena sifat undang-undang
mengatur ketentuan-ketentuan secara garis besar saja sehingga ada ketentuan-ketentuan
dalam undang-undang yang memerlukan petunjuk pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis
(juknis) lebih lanjut dalam bentuk peraturan dan pedoman yang dil\keluarkan pleh instansi
pemerintah yang berwenang serta institusi atau organisasi prosfesi terkait.
Indra Surya dan Ivan Yustiavananda (2006) meneyebutkan paling tidak diperlukan organ
tambahan untuk melengkapi penerapan GCG, yaitu :

a. Komisaris dan Direktur Independen

Komisaris dan direktur independen ialah seseorang yang ditunjuk untuk mewakili
pemegang saham independen (pemegang saham minoritas). Sebagaiman diatur dalam
undang-undang perseroan \, anggota Direksi dan Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh
RUPS, sedangkan keputusan yang diambil dalam RUPS didasarkan atas perbandingan jumlah
suara para pemegang saham.

b. Komite Audit

Undang-undang Perseroan Terbatas Pasal 121 memungkinkan Dewan Komisaris untuk


membentuk komite tertentu yang dianggap perlu untuk membantu tugas pengwasan yang
diperlukan. Salah satu komite tambahan yang kini banyak muncul untuk membantu fungsi
Dewan komisaris adalah Komite Audit. Munculnya Komite Audit ini barang kali disebabkan
oleh kecenderungan makin meningkatnya berbagai skandal penyelewengan dan kelalaian
yang dilakukan oleh para direktur dan komisaris perusahaan besar baik yang terjadi di AS
maupun Indonesia yang menandakan kurang memadainya fungsi pengawasan.

Sebagaimana dinyatakan oleh Hasnati (dalam Indra Surya dan Ivan


Yustiavanadana,2006), tugas, tanggung jawab, dan wewenang Komite Audit adalah
membantu Dewan Komisaris, antara lain :

1. Mendorong terbentuknya struktur pengendalian intern yang memadai (prinsip


tanggung jawab);
2. Meningkatkan kualitas keterbukaan dan laporan keuangan (prinsip transparasi);
3. Mengkaji ruang lingkup dan ketepat audit eksternal, kewajaran biaya audit ekternal,
serta kemandirian dan objektivitas audit eksternal (prinsip akuntabilitas);
4. Mempersiapkan surat uraian tugas dan tanggung jawab komite audit selama tahun
buku yang sedang diperiksa eksternal audit (prinsip tanggung jawab).
c. Sekretaris Perusahaan

Jabatan sekretaris perusahaan menempati posisi yang sangat tinggi dan strategis karena
orang dalam jabatan ini berfungsi sebagai penghubung (liason officer) atau semacam public
relation/investor relation antara perusahaan deng pihka luar perusahaan, khususnya bagi
perusahaan-perusahaan besar yang telah mendaftarkan sahamnya di bursa.

2.7 Contoh Kasus

Dugaan Korupsi VLCC

Mantan komisaris Pertamina yang saat ini menjabat Deputi Menteri Negara BUMN,
Roes Aryawijaya kembali diperiksa penyidik bagian Tindak Pidana Khusus kejaksaan agung
sebagai saksi dugaan korupsi dalam penjualan kapal tanker raksasa atau very large crude
carrier (VLCC) Pertamina.

Seusai pemeriksaan, Roes yang ditanya wartawan soal keputusan penjualan dua kapal
tanker raksasa Pertamina tahun 2004 itu menjawab, “Penjualan tersebut sebenarnya ususlan
Direksi Pertamina. Oleh Komisaris dikaji dan dilihat. “kan kalau tidak dijual perusahaannya
bangkrut”, kata Roes. Keputusan menjual VLCC itu melibatkan seluruh direksi dan komisaris
Pertamina. Dalam siaran pers yang dikeluarkan Pusat Penerbangan Hukum Kejaksaan
Agung, disebutkan bahwa direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina, tanpa
persetujuan Menteri Keuangan pada 11 Juni 2004 telah melakukan divestasi dua tanker
VLCC milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541 kepada Frontline dengan harga US$184
juta.

Hal tersebut bertentangan dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun


1991 Pasal 12 ayat 1 karena persetujuan Menteri Keuangan baru terbit 7 Juli 2004. Secara
terpisah, Jaksa Agung Henarman Supandji menyatakan bahwa tersangka kasusu dugaan
korupsi penjualan VLCC itu ternyata banyak dari yang semula disebutkan.

Sumber : Kompas, 3 Oktober 2007

2.8 Komite Audit di Indonesia

Di Indonesia, keberadaan Komite Audit dimulai sejak tahun 2001 melalui Surat
Edaran Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal, sekarang berubah menjadi Otoritas Jasa
Keuangan (OJK)) No: SE-03/PM/2000 yang berisi himbauan perlunya Komite Audit dimiliki
oleh setiap Emiten. Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) selanjutnya
mengeluarkan surat No: Kep. 339/BEJ/07-2001 mengenai kewajiban perusahaan tercatat
untuk memiliki Komite Audit serta jumlah keanggotaan dari komite itu sendiri.
Pada tahun 2003, keberadaan Komite Audit untuk BUMN diatur melalui Keputusan
Menteri BUMN Nomor: Kep-117/M-MBU/2002 yang berisi bahwa dalam membantu
Komisaris/Dewan Pengawas, Komite Audit bertugas :

a. Menilai pelaksanaan kegiatan serta hasil audit yang dilakukan oleh Satuan
Pengawasan Intern maupun Auditor Eksternal sehingga dapat dicegah pelaksanaan
dan pelaporan yang tidak memenuhi standar;
b. Memberikan rekomendasi mengenai penyempurnaan sistem pengendalian manajemen
perusahaan serta pelaksanaannya;
c. Memastikan bahwa telah terdapat prosedur review yang memuaskan terhadap
informasi yang dikeluarkan BUMN, termasuk brosur, laporan keuangan berkala,
proyeksi/forecast dan informasi keuangan lainnya yang disampaikan kepada
pemegang saham;
d. Mengindentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian Komisaris/Dewan Pengawas;
e. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Komisaris/Dewan Pengawas sepanjang
masih dalam lingkup tugas dan kewajiban Komisaris/Dewan Pengawas berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, Bapepam melalui suratnya Nomor: Kep-29/PM/2004 tanggal 24 September


2004 mengeluarkan Peraturan Nomor IX.I.5 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan
Kerja Komite Audit yakni dalam bagian 1.b mengenai definisi Komisaris Independen adalah
anggota Komisaris yang:

Berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik antara lain :

a. Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada Emiten atau
Perusahaan Publik;
b. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan Emiten atau Perusahaan Publik,
Komisaris, Direksi, atau Pemegang Saham Utama Emiten atau Perusahaan Publik;
c. Tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan
dengan kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik.

Pada tanggal 7 Desember 2012, Bapepam dan LK telah menerbitkan satu peraturan yaitu
Peraturan Nomor IX.I.5, lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-
643/BL/2012 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit.
Penerbitan peraturan ini menyempurnakan sekaligus mencabut Keputusan Ketua Bapepam
Nomor: KEP-29/PM/2004 tanggal 24 September 2004 tentang Pembentukan dan Pedoman
Pelaksanaan Kerja Komite Audit.

Penyempurnaan Peraturan ini dimaksudkan untuk meningkatkan independensi, peran dan


kewenangan Komite Audit dalam membantu pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan
Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik. Dalam Peraturan ini diatur mengenai
ketentuan umum, struktur dan keanggotaan, persyaratan keanggotaan, masa tugas, tugas dan
tanggung jawab, wewenang, rapat, dan pelaporan Komite Audit, serta sanksi.

Beberapa pokok penyempurnaan yang diatur dalam peraturan dimaksud antara lain:

a. Penegasan pengertian Komite Audit dan Komisaris Independen dan independensinya


dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab;
b. Kewajiban untuk memiliki piagam Komite Audit (audit committee charter) dan
pemuatannya pada website Emiten atau Perusahaan Publik;
c. Penambahan dan penyempurnaan persyaratan keaggotaan, tugas dan tanggung jawab,
serta wewenang Komite Audit;

Pengaturan mengenai pelaksanaan rapat Komite Audit secara berkala paling kurang satu
kali dalam 3 (tiga) bulan, jumlah quorum peserta rapat, pengambilan keputusan yang
dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat, dan risalah rapat, termasuk penuangan adanya
perbedaan pendapat (dissenting opinions); dan

Pengaturan mengenai sistem pelaporan terkait informasi pengangkatan/ pemberhentian


Komite Audit kepada Bapepam dan LK, yang juga wajib dimuat dalam laman (website) bursa
dan/ atau laman (website) Emiten atau Perusahaan Publik.

2.9 Komite Audit Sebagai Organ Dewan Komisaris dalam Pemenuhan GCG

Komite Audit adalah sebuah komite yang dibentuk oleh Dewan Komisaris. Komite
Audit membantu Dewan Komisaris untuk memenuhi tanggung jawab pengawasannya. Dalam
kapasitasnya, Komite Audit bertanggung jawab untuk membuka dan memelihara/menjaga
komunikasi antara Komite Audit dengan Dewan Komisaris, Direksi, unit audit internal,
akuntan independen dan manajer keuangan. Dilihat dari sisi keanggotaan, Anggota Komite
Audit diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Komisaris dan dilaporkan kepada Rapat
Umum Pemegang Saham.
Selain itu Komite Audit juga membantu Direksi yang memiliki tanggung jawab dalam
hal pengawasan. Komite juga membuat rekomendasi untuk suatu tindakan kepada
keseluruhan direksi, dengan kata lain menyimpan sejumlah tanggung jawab untuk
pengambilan keputusan.

Komite Audit memiliki peran penting untuk membantu direksi dalam hal pemenuhan tata
kelola perusahaan yang baik. Direksi sendiri dibutuhkan untuk menyatakan laporan keuangan
dan catatan-catatan yang mengikuti standar akuntansi serta memberikan pandangan yang
benar dan adil terhadap posisi dan performa keuangan dari sebuah perusahaan.

2.9.1 Audit Committee Charter

Piagam Komite Audit menjadi landasan dan legitimasi bekerjanya Komite Audit
dalam organisasi. Oleh karena itu biasanya dipublikasikan di website organisasi tersebut
sebagai simbol bahwa organisasi tersebut telah menjalankan tata kelola perusahaan yang
baik.

Dalam piagam ini diatur kewenangan yang dimiliki Komite Audit untuk melakukan
atau mengizinkan penyelidikan dalam setiap hal dalam ruang lingkup tanggung jawab yang
dimilikinya, termasuk di dalamnya untuk:

a. Menunjuk, memberikan kompensasi, dan mengawasi pekerjaan auditor eksternal yang


ditunjuk organisasi
b. Menyelesaikan perbedaan yang ada antara management dengan auditor eksternal
terkait dengan pelaporan keuangan
c. Menyetujui penunjukan perikatan jasa audit dan non audit
d. Menyewa penasihat independen, akuntan, atau orang lain untuk menyarankan
pembentukan panitia atau membantu dalam melakukan penyelidikan.
e. Mencari informasi apapun yang diperlukan oleh karyawan, yang semuanya diarahkan
untuk bekerja sama dengan permintaan Komite Audit atau pihak eksternal.
f. Bertemu dengan pejabat perusahaan, auditor eksternal, atau penasihat luar lainnya
yang diperlukan.

Komposisi audit komite juga diatur dalam piagam ini, biasanya terdiri minimal tiga orang
dan tidak lebih dari lima orang, termasuk asalnya dari dalam atau luar organisasi. Setiap
anggota komite haruslah independen dalam hal keuangan, minimal satu orang haruslah ahli
dalam bidang keuangan seperti yang didefinisikan oleh undang-undang dan peraturan yang
berlaku.

Biasanya dalam piagam ini juga diatur rapat minimum yang harus dilakukan oleh Komite
Audit. Termasuk didalamnya cara pengambilan keputusan rapat. Juga diatur rapat-rapat
dengan auditor internal, auditor eksternal atau pihak-pihak lain yang diperlukan.

Terakhir diatur mengenai tugas dan tanggung jawab Komite Audit, bisanya dan tidak
terbatas pada: review laporan keuangan, mempertimbangkan efektifitas pengendalian
internal, mitra internal audit, menunjuk dan mengawasi proses audit oleh eksternal audit,
pelaporan secara regular kepada dewan komisaris dan pemegang saham, dan tanggung jawab
lainnya.

2.9.2 Peran Komite Audit dalam Penerapan Enterprise Risk Management

Komite Audit tidak lepas dari konteks penerapan Enterprise risk management (ERM)
bagi perusahaan. ERM dalam bisnis meliputi metode dan proses yang digunakan oleh
organisasi untuk mengelola risiko dan menangkap peluang yang terkait dengan pencapaian
tujuan mereka. ERM menyediakan kerangka kerja untuk manajemen risiko, yang terkait
dengan tugas dan tanggung jawab Komite Audit diantaranya mengidentifikasi peristiwa
tertentu atau keadaan yang berdampak pada pencapaian tujuan organisasi (risiko dan
peluang), menilai mereka dalam hal kemungkinan dan besarnya dampak, menentukan strategi
respon, dan memantau kemajuan yang dapat menjadi pertimbangan saat akan ada penentuan
keputusan. Dengan mengidentifikasi dan proaktif dalam menangani risiko dan peluang,
perusahaan dapat melindungi dan menciptakan nilai bagi para pemangku kepentingan,
termasuk pemilik, karyawan, pelanggan, regulator, dan masyarakat secara keseluruhan.

Keterkaitan antara ERM yang diterapkan pada perusahaan dengan tugas dan peranan
Komite Audit pada umumnya tertera pada piagam Komite Audit masing-masing organisasi.

2.9.3 Mitra Auditor Internal

Dalam praktiknya Satuan Pengawas Internal (SPI) sering kehilangan “taring” dalam
menjalankan tugasnya. Auditee sering sekali tidak mau bekerjasama dengan auditor internal,
demikian juga jika terjadi temuan, maka temuan itu sering sekali tidak ditindak lanjuti oleh
manajemen karena bersifat korektif terhadap diri manajemen sendiri.
Meski organisasi SPI berada langsung dibawah direksi, namun posisi struktural itu
acapkali masih sering diabaikan oleh manajemen sendiri karena “ke-tidak independenan-nya”
di dalam organisasi. Untuk mengatasi hal ini, maka didalam piagam Komite Audit harus
diatur bahwa Komite Audit harus bermitran dengan SPI. Dimulai dari pengengasan rencana
kerja tahunan internal audit, laporan temuan serta rekomendasi kepada manajemen harus
direview terlebih dahulu oleh Komite Audit. Jika ada beberapa temuan yang tidak
ditindaklanjuti manajemen, maka Komite Audit dapat melakukan eskalasi untuk
mengatasinya, termasuk melalui mekasinisme rapat komisaris.

2.9.4 Nilai Tambah yang diberikan Komite Audit

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Komite Audit memiliki peran yang
sangat besar bagi organisasi. Dimulai dari kebutuhan dibentuknya Komite Audit karena
memang diperlukan organ khusus yang mengawasi pengelolaan organisasi terutama dalam
hal keuangan. Selanjutnya dalam proses pengawasannya diperlukan counterpart bagi auditor
internal, meskipun auditor internal telah diberikan posisi yang pantas di “leher” nya direktur
utama, tetapi tetap saja independensi dan “taring” auditor internal masih dirasa kurang, oleh
karena itu biasanya auditor internal bermitra dengan Komite Audit dalam setiap tugas dan
laporan temuannya.

Demikian juga dengan auditor eksternal, Komite Audit berperan sejak dalam penunjukan
mereka, pengawasan pekerjaan mereka, sampai pada pelaporan laporan keuangan, termasuk
didalamnya jika terjadi dispute/perbedaan dengan manajamen, maka Komite Audit harus
tampil sebagai penengah.

Keahlian spesifik yang dimiliki oleh Komite Audit khususnya dalam bidang akuntansi
dan keuangan menjadi faktor penentu bagi berjalannya proses pengawasan tersebut, oleh
karena itu untuk dapat memberikan nilai tambah bagi organisasi, ada baiknya Komite Audit
diisi oleh para professional handal dibidangnya. Tidak hanya kompeten, tetapi juga
independen, itulah yang diperlukan bagi proses pengawasan.

Hal ini membuka peluang yang begitu bagi para professional untuk mengemban amanah
sebagai komite audit. Kedepannya peran Komite Audit semakin dibutuhkan di seluruh
Organisasi, oleh karena itu semakin dibutuhkan juga para profesional untuk mengemban
amanah
2.10 Review Jurnal

Jurnal 1 :

Judul PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) TERHADAP


MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN PERBANKAN
Jurnal Accounting Analysis Journal
Volume dan Vol 2 hlm 9-18
halaman
ISSN 2252-6765
Tahun 2013
penulis Hikmah Is’ada Rahmawati

Latar - di Indonesia kepemilikan manajerial mampu menjadi mekanisme


belakang good corporate governance yang dapat mengurangi masalah
ketidakselarasan kepentingan antara manajer dengan pemilik atau
pemegang saham (shareholder). Semakin banyak saham yang dimiliki
oleh manajemen maka akan semakin rendah praktik manajemen laba.
- Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/ PBI/2006 menyebutkan bahwa
dalam rangka meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan
stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku
umum pada industri perbankan, maka diperlukan pelaksanaan good
corporate governance pada industri perbankan.
Tujuan Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh mekanisme good corporate
penelitian governance yang diukur dengan dewan komisaris independen, komite audit
independen, dan kepemilikan manajerial terhadap manajemen laba.
Teori - Corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi
peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring
kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap
stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan. Konsep
corporate governance diajukan demi tercapainya pengelolaan
perusahaan yang lebih transparan bagi semua pengguna laporan
keuangan. Bila konsep ini diterapkan dengan baik maka diharapkan
pertumbuhan ekonomi akan terus menanjak seiring dengan
transparansi pengelolaan perusahaan yang makin baik dan nantinya
menguntungkan banyak pihak (Nasution dan Setiawan, 2007).
- Secara global, tuntutan pelaksanaan good corporate governanace
(GCG) semakin menguat setelah runtuhnya beberapa raksasa bisnis
dunia seperti Enron dan Worldcom di AS, serta tragedi jatuhnya HIH
dan One-tel di Australia (Alijoyo, 2003 dalam Ujiyantho, 2006).
-
Metodologi - Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling
penelitian sehingga diperoleh sampel sebanyak 21 perusahaan perbankan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009-2011. Adapun
populasi perusahaan perbankan yang terdaftar dalam Bursa Efek
Indonesia tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 adalah 28 bank.
- Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode dokumentasi.
- Metode Analisis Data ; Analisis Statistik Deskriptif, Analisis
Inferensial,
Variable - Variable dependen : Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
penelitian manajemen laba yang diukur dengan menggunakan proksi
discretionary accruals
- Variable independen : Dewan Komisaris Independen, Komite Audit
Independen, Kepemilikan Manajerial.
-
Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa dewan komisaris independen, komite
penelitian audit independen, dan kepemilikan manajerial secara simultan berpengaruh
terhadap manajemen laba. Pengujian secara parsial menunjukkan dewan
komisaris independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba,
sedangkan komite audit independen dan kepemilikan manajerial tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba
kesimpulan Simpulan dari hasil penelitian ini adalah mekanisme good corporate
governance yang digunakan yaitu dewan komisaris independen, komite audit
independen, dan kepemilikan manajerial secara simultan berpengaruh
terhadap manajemen laba. Pengujian secara parsial menunjukkan bahwa
dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba,
sedangkan komite audit independen dan kepemilikan manajerial tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba.

Jurnal 2 :

No PERIHAL YANG PERLU


JAWABAN
DIIDENTIFIKASI
1 Judul Good Corporate Governance dan Penerapannya
di Indonesia
2 Nama Penulis Thomas S. Kaihatu
3 Nama Jurnal Penerbit dan Tahun Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan
Publikasi Universitas Kristen Petra
4 Isu yang diteliti Perkembangan terbaru membuktikan bahwa
manajemen tidak cukup hanya memastikan
bahwa proses pengelolaan manajemen berjalan
dengan efisien. Diperlukan instrumen baru, Good
Corporate Governance (GCG) untuk memastikan
bahwa manajemen berjalan dengan baik
5 Hal yang melatarbelakangi Sulit dipungkiri, selama sepuluh tahun terakhir
dilakukannya penelitian ini ini, istilah Good Corporate Governance (GCG)
kian populer. Tak hanya populer, istilah tersebut
juga ditempatkan di posisi terhormat. Pertama,
GCG merupakan salah satu kunci sukses
perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan
dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan
persaingan bisnis global. Kedua, krisis ekonomi
di kawasan Asia dan Amerika Latin yang
diyakini muncul karena kegagalan penerapan
GCG
6 Alasan mengapa topik ini penting Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini,
untuk diteliti pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk
memperoleh informasi dengan benar dan tepat
pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan
untuk melakukan pengungkapan (disclosure)
secara akurat, tepat waktu, dan transparan
terhadap semua informasi kinerja perusahaan,
kepemilikan, dan stakeholder.
7 Masalah yang ingin diteliti Dari berbagai hasil pengkajian yang dilakukan
oleh berbagai lembaga riset independen nasional
dan internasional, menunjukkan rendahnya
pemahaman terhadap arti penting dan
strategisnya penerapan prinsip-prinsip GCG oleh
pelaku bisnis di Indonesia. Selain itu, budaya
organisasi turut mempengaruhi penerapan GCG
di Indonesia.
8 Tujuan penelitian Negara-negara di Asia Timur yang sama-sama
terkena krisis mulai mengalami pemulihan,
kecuali Indonesia. Harus dipahami bahwa
kompetisi global bukan kompetisi antarnegara,
melainkan antarkorporat di negaranegara
tersebut. Jadi menang atau kalah, menang atau
terpuruk, pulih atau tetap terpuruknya
perekonomian satu negara bergantung pada
korporat masing-masing. Penelitian ini bertujuan
untuk meneliti tentang bagaimana penerepan tata
kelola perusahaan di Indonesia.
9 Basis teori yang digunakan dalam Dua teori utama yang terkait dengan corporate
penelitian governance adalah stewardship theory dan
agency theory (Chinn,2000; Shaw,2003).
Stewardship theory dibangun di atas asumsi
filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa
manusia pada hakekatnya dapat dipercaya,
mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab,
memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak
lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan fidusia
yang dikehendaki para pemegang saham. Dengan
kata lain, stewardship theory memandang
manajemen sebagai dapat dipercaya untuk
bertindak dengan sebaik-baiknya bagi
kepentingan publik maupun stakeholder.

Good corporate governance (GCG) secara


definitif merupakan sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan yang menciptakan
nilai tambah (value added) untuk semua
stakeholder (Monks,2003). Ada dua hal yang
ditekankan dalam konsep ini, pertama,
pentingnya hak pemegang saham untuk
memperoleh informasi dengan benar dan tepat
pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan
untuk melakukan pengungkapan (disclosure)
secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap
semua informasi kinerja perusahaan,
kepemilikan, dan stakeholder.
10 Hipotesis penelitian (kalau ada) Tidak ada hipotesis karena merupakan penelitian
deskriptif kualitatif
11 Hasil penelitian Terdapat tiga arah agenda penerapan GCG di
Indonesia (BP BUMN, 1999) yakni, menetapkan
kebijakan nasional, menyempurnaan kerangka
nasional dan membangun inisiatif sektor swasta.
Terkait dengan kerangka regulasi, Bapepam
bersama dengan self-regulated organization
(SRO) yang didukung oleh Bank Dunia dan ADB
telah menghasilkan beberap proyek GCG seperti
JSX Pilot project, ACORN, ASEM, dan ROSC.
Seiring dengan proyek-proyek ini, kementerian
BUMN juga telah mengembangkan kerangka
untuk implementasi GCG. Dalam kaitan dengan
peran dan fungsi tersebut, BAPEPAM dapat
memastikan bahwa berbagai peraturan dan
ketentuan yang ada, terus menerus
disempurnakan, serta berbagai pelanggaran yang
terjadi akan mendapatkan sanksi sesuai ketentuan
yang berlaku. Dalam hal regulatory framework,
untuk mengkaji peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan korporasi dan program
reformasi hukum, pada umumnya terdapat
beberapa capaian yang terkait dengan
implementasi GCG seperti diberlakukannya
undang-undang tentang Bank Indonesia di tahun
1998, undang-undang anti korupsi tahun 1999,
dan undang-undang BUMN, serta privatisasi
BUMN tahun 2003.
12 Kesimpulan Penelitian Good corporate governance (GCG) merupakan
sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan guna menciptakan nilai tambah (value
added) untuk semua stakeholder. Konsep ini
menekankan pada dua hal yakni, pertama,
pentingnya hak pemegang saham untuk
memperoleh informasi dengan benar dan tepat
pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan
untuk melakukan pengungkapan (disclosure)
secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap
semua informasi kinerja perusahaan,
kepemilikan, dan stakeholder. Terdapat empat
komponen utama yang diperlukan dalam konsep
Good Corporate Governance, yaitu fairness,
transparency, accountability, dan responsibility.
Keempat komponen tersebut penting karena
penerapan prinsip Good Corporate Governance
secara konsisten terbukti dapat meningkatkan
kualitas laporan keuangan dan juga dapat menjadi
penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang
mengakibatkan laporan keuangan tidak
menggambarkan nilai fundamental perusahaan.
Dari berbagai hasil penelitian lembaga
independen menunjukkan bahwa pelaksanan
Corporate Governance di Indonesia masih sangat
rendah, hal ini terutama disebabkan oleh
kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan di
Indonesia belum sepenuhnya memiliki Corporate
Culture sebagai inti dari Corporate Governance.
Pemahaman tersebut membuka wawasan bahwa
korporat kita belum dikelola secara benar, atau
dengan kata lain, korporat kita belum
menjalankan governansi.

Jurnal 3 :

No PERIHAL YANG PERLU


JAWABAN
DIIDENTIFIKASI
1 Judul Komite Audit, Good Corporate Governance dan
Pengungkapan Informasi
2 Nama Penulis Marta Utama
3 Nama Jurnal Penerbit dan Tahun Departemen Akuntansi FEUI Jurnal Akuntansi
Publikasi dan Keuanqan Indonesia Vol. 1 pp. 61 - 79
4 Isu yang diteliti Perusahaan harus semakin kritis dalam memilih
Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk mengaudit
laporan keuangan perusahaan. Selain digunakan
oleh perusahaan, hasil dari audit juga dapat
digunakan oleh pihak luar perusahaan seperti
calon investor, investor, kreditor, Bapepam dan
pihak lain yang terkait untuk menilai perusahaan
dan mengambil keputusan-keputusan yang
strategik yang berhubungan dengan perusahaan
tersebut
5 Hal yang melatarbelakangi Sejak berlalunya berbagai mega skandal yang
dilakukannya penelitian ini menyangkut praktek transparansi dan
akuntabilitas di dalam perusahaan publik, para
praktisi bisnis dan perusahaan mulai menyadari
adanya sesuatu yang salah dan perlu diperbaiki
dalam proses bisnis perusahaan. Berbagai
tindakan dan aksi yang cenderung bersifat
impulsif mulai dilakukan. Banyak hal yang
dipengaruhi dan banyak pihak yang terkena
dampaknya. Para regulator menjadi lebih
bersikap hati-hati dan skeptis dalam melihat
permasalahan sehingga menghasilkan
regulasiregulasi yang cukup ketat.
6 Alasan mengapa topik ini penting Kesadaran akan pentingnya komite audit seperti
untuk diteliti yang telah disebutkan sebelumnya merupakan
titik tolak mengapa penulis memilih topik ini
sebagai bahan makalah ini. Penulis merasa perlu
mencari tahu apa sebenarnya komite audit itu dan
apa yang ada di balik pemikiran para regulator
sehingga menjadikan komite audit menjadi salali
satu bagian penting dalam mewujudkan good
corporate governance. Lebih khusus lagi, di
dalam makalah ini akan dibahas hubungan antara
komite audit, corporate governance dan
pengungkapan informasi (disclosure) yang
dilakukan oleh perusahaan.
7 Masalah yang ingin diteliti Fakta bahwa auditor, expectation gap terjadi
karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan
yang dimiliki hanya sebatas pada bangku kuliah
saja. Pengalaman audit ditunjukkan dengan jam
terbang dalam melakukan prosedur audit terkait
dengan pemberian opini atas laporan auditnya.
8 Tujuan penelitian Dalam karya ilmiah diperlukan tujuan yang
mendasari alasan dan motif seorang penulis di
dalam membuatnya. Adapun tujuan penulis
dalam menyusun makalah ini adalah untuk
memberikan gambaran kepada pembaca
mengenai salah satu pilar dalam mewujudkan
good corporate governance dalam perusahaan
yaitu mengenai bentuk, fungsi dan peran kom ite
audit serta hubungannya dengan pelaksanaan
corporate governance dan pengungkapan
informasi perusahaan.
Dengan adanya gambaran tersebut, penulis
berkeinginan untuk dapat memunculkan daya
analisa pembaca dalam melihat apa yang
sebenarnya menjadi masalah berbagai mega
skandal akuntansi yang terjadi belakangan ini.
Apakah pemikiran para regulator sudah cukup 62
tepat untuk memberi kemampuan yang lebih
kepada komite audit untuk mencegah terjadinya
skandal sejenis di masa mendatang? Hal ini
dimaksudkan agar tercipta ruang pikir di dalam
melihat apa sebenarnya yang menjadi penyebab
mega skandal tersebut sehingga kita dapat
berperan serta di dalam mewujudkan kondisi
usaha dan praktek bisnis dalam perusahaan yang
lebih baik di masa mendatang.
9 Basis teori yang digunakan dalam Definisi Komite Audit Hingga saat ini masih
penelitian ditemui definisi yang bermacam-macam tentang
komite audit. Namun demikian umumnya
mempunyai maksud dan pengertian yang sama.
Arens dan Loebbecke (2000) dalam buku
Auditing: An Integrated Approach (hal 90-91)
menyatakan bahwa:
An audit committee is a selected number of
members of company’ board of directors whose
responsibilities include helping auditors remain
independent of management. Most audit
committees are made up three to five or
sometimes as many as seven directors who are
not a part of company management.

Davies dan Parker (1995) dalam buku Auditing


Handbook menyatakan bahwa:
“Audit Committee" means a committtee
comprising a majority of independent/non-
executive members of the governing body of an
entity to which has been assigned, among other
functions, the oversight of the financial reporting
and auditing process; "Governing body” means
the entity’s board of directors, trustees or
governors, or other equivalent body or person.
10 Hipotesis penelitian (kalau ada) Tidak ada hipotesis karena penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif kualitatif.
11 Hasil penelitian Hubungan antara keberadaan komite audit dan
konsep good corporate governance (GCG)
dengan mekanisme pengungkapan informasi
(disclosure) yang harus dilakukan oleh
perusahaan. Ketiga hal diatas menurut penulis
memiliki hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi bahkan saling berketergantungan.
Mengapa? Sebab menurut penulis baik tidaknya
pelaksanaan good corporate governance di dalam
perusahaan salah 74 satu diantaranya dipengaruhi
oleh mekanisme disclosure informasi perusahaan
yang memadai. Mekanisme pengungkapan
informasi yang baik dipengaruhi oleh bagaimana
keefektifan kinerja dari komite audit di dalam
memantau kegiatan pemrosesan dan pengolahan
informasi (keuangan) perusahaan sebagai salah
satu fungsinya. Dimana pelaksanaan fungsi
komite audit ini sangat dipengaruhi oleh
kebijakan tata kelola perusahaan yang ada
12 Kesimpulan penelitian 1. Secara umum, komite audit dibentuk untuk
membantu dewan komisaris (dalam two tier
systems) untuk mengawasi kinerja kegiatan
pelaporan keuangan dan pelaksanaan audit
internal dan eksternal di dalam perusahaan. Dan
karenanya untuk mempertahankan 77
independensi, Komite Audit beranggotakan
Komisaris Independen, dan terlepas dari kegiatan
manajemen sehari-hari dan mempunyai tanggung
jawab utama untuk membantu Dewan Komisaris
dalam menjalankan tanggung jawabnya terutama
dengan masalah yang berhubungan dengan
kebijakan akuntansi perusahaan, pengawasan
internal, dan sistem pelaporan keuangan.
2. Corporate Governance adalah seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antara
pemegang saham, pengurus (pengelola)
perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan
serta para pemegang kepentingan intern dan
ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak
dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain
suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan (Cadbury Committee).
3. Menurut OECD (Organization for Economic
Cooperation and Development), ada empat unsur
penting dalam Corporate Governance, yaitu: (1)
Fairness (Keadilan); (2) Transparency
(Transparansi); (3) Accountability
(Akuntabilitas); (4) Responsibility
(Pertanggungjawaban). Prinsip-prinsip Corporate
Governance dari OECD menyangkut hal-hal
sebagai berikut: (1) Perlindungan terhadap hak-
hak para pemegang saham; (2) Perlakuan yang
adil terhadap para pemegang saham; (3) Peranan
semua pihak yang berkepentingan (stekeholders)
dalam Corporate Governance', (4) Transparansi
dan keterbukaan; (5) Peranan Dewan Komisaris
dan Dewan Direksi dalam perusahaan
4. Regulasi yang dihasilkan dalam kerangka GCG
senantiasa memiliki kandungan permintaan
pengungkapan (disclosure) informasi yang kuat.
Dari kedua jenis regulasi yang dihasilkan oleh
kedua regulator yang berbeda yaitu Bapepam dan
BEJ, dapat disimpulkan bahwa dalam pengaturan
pelaksanaan GCG sangatlah berdekatan dengan
sejauh mana informasi itu diungkapkan oleh
perusahaan. Sehingga penulis menyimpulkan
bahwa dimana ada regulasi terkait GCG maka
akan berpengaruh pada mekanisme
pengungkapan informasi perusahaan.
13 Rekomendasi penelitian 1. Konsep dan prinsip yang terkandung dalam
good corporate governance hendaknya tidak lagi
diperlakukan oleh perusahaan (publik) sebagai
perilaku nice to know dan nice to have saja. Akan
tetapi hendaknya telah dijadikan fondasi dari
keberadaan perusahaan dan menjadi elemen yang
tak terpisahkan bagi pengelolaan perusahaan.
2. Komite audit sebagai salah satu elemen dari
corporate governance haruslah dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Jika hal
tersebut tercapai ditambah dengan keberadaan
elemen-elemen lain yang berjalan dengan sama
baiknya maka dapat dikatakan bahwa telah
tercipta keadaan good corporate governance
dalam suatu perusahaan.
3. Keberadaan regulasi-regulasi yang terkait
GCG, yang cukup komprehensif dan memadai,
hendaknya dapat diaplikasikan dengan sebaik-
baiknya agar kem udian tidak menjadikannya
sebagai instrumen yang tanpa pengaruh terhadap
proses pengembangan perwujudan GCG dalam
iklim usaha dan investasi di negara kita.
4. Pengungkapan informasi yang senantiasa
menjadi semangat dalam regulasi-regulasi terkait
GCG yang ada hendaknya tidak saling overlap
antara satu dengan yang lain. Selain itu,
hendaknya dalam melihat setiap konsep dalam
pembuatan regulasi terkait GCG, perlu
diperhatikan aspek-aspek lain yang lebih
komprehensif di masa mendatang.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Good governance dapat diartikan sebagai kepemerintahan yang baik atau


penyelenggaraan pemerintahaan yang bersih dan efektif, sesuai dengan peraturan dan
ketentuan yang berlaku. Pemerintahan mencakup ruang lingkup yang luas, termasuk bidang
politik, ekonomi dan sosial mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengmbilan
keputusan hingga pelaksanaan dan pengawasan. Political governance mengacu pada proses
pembuat kebijakan. Economic governance mengacu pada proses pembuatan keputusan di
bidang ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan, pemerataan, penurunan kemiskinan dan
peningkatan kualitas hidup. Administrative governance berarti, bahwa penyelenggara setiap
bidang dan tahapan pemerintahan harus dilakukan dengan bersih, efisien, dan efektif.

Adapun prinsip Corporate governance yang diterbitkan oleh OECD dalam


hubungannya dengan tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Negara
BUMN juga mengeluarkan keputusan Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan
GCG (Tjager dkk., 2003).

Ada lima prinsip menurut keputusan ini, yaitu :a)Kewajaran (fairness), b)Tranparansi,
c)Akuntabilitas ,d)Pertanggungjawaban ,e)Kemandirian. Banyak sudah terjadi kejahatan
ekonomi dan kecurangan bisnis yang dilakukan oleh banyak korporasi atau pelaku bisnis dan
ekonomi yang telah merugikan warga negara, masyarakat bahkan merugikan Negara,
setidaknya dalam segi finansial (pajak) dan kepercayaan public terhadap peranan Negara
(pemerintah) dalam mengawasi dinamika ekonomi, khususnya proses produksi, eksplorasi,
dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam dan pelestarian lingkungan hidup.

Fenomena ini terjadi karena banyak korporasi, terutama para pimpinanya tidak
memiliki komitmen yang kuat untuk memberantas kejahatan bisnis. Penyelewengan,
penyalahgunaan otoritas, korupsi, dan kolusi juga sulit diatasi. Penipuan sistematis terhadap
masyarakat yang dilakukan beberapa pebisnis juga sering terjadi.
3.2 Saran

Untuk mengatasi kejahatan bisnis atau ekonomi yang terjadi seiring dengan
perkembangan ilmu dan teknologi yang telah melahirkan revolusi industry perdagangan,
perbankan dan khusunya korporasi, dalam skala global, sebaiknya semua Negara
memperkuat komitmen politiknya untuk lebih memartabatkan kegiatan ekonomi dan bisnis.

Dengan begitu, kemakmuran dan kesejahteraan dapat terwujud. Selain itu perlu juga
diperkuat komitmen moralnya untuk tetap konsisten menjalankan sebuah misi penting, yaitu
mewujudkan keadilan, kebenaran, kejujuran, penegak hokum, penegak etika dan peningkatan
ras kompetensi secara fair rasional dan berkemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA

Arens, Alvin A., James K. Loebbecke. 1995. Auditing: Suatu Pendekatan Terpadu. Edisi
Keempat. Erlangga: Jakarta

Guy, Dan. M., Wayne Alderman, Alan J. Winters. 2002. Auditing. Edisi kelima (Alih
Bahasa Sugiyarto). Erlangga: Jakarta

Kieso, Donald E., Jweygandt Jerry, Dwarfield Terry. 2007. Akuntansi Intermediate. Edisi
Kedua Belas. Erlangga: Jakarta

Mulyadi. 2002. Auditing. Edisi Keenam. Salemba Empat: Jakarta

Pieris, John & Wiryawan, N J. 2007. Etika Bisnis dan Good Corporatr Governance.
Jakarta: Pelangi Cendekia.

Anda mungkin juga menyukai