Anda di halaman 1dari 6

Makana Khas Lokal Sebagai Identitas Budaya

(Saksang Makanan Khas Suku Batak)

Oleh Mohamad Agung G.P. – NPM 3112177004


PENDAHULUAN

Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Nama ini merupakan
sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan
berasal dari Pantai Barat dan Pantai Timur di Provinsi Sumatra Utara. Suku bangsa yang
dikategorikan sebagai Batak adalah Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan
Mandailing. Batak adalah rumpun suku-suku yang mendiami sebagian besar wilayah Sumatra
Utara. Namun sering sekali orang menganggap penyebutan Batak hanya pada suku Toba,
padahal Batak tidak hanya diwakili oleh suku Toba. Sehingga tidak ada budaya dan bahasa
Batak, tetapi budaya dan bahasa Toba, Karo, Simalungun dan suku-suku lain yang serumpun.

Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik,
Islam. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tradisional yakni: tradisi Malim (atau
dikenal juga dengan Parmalim) dan juga menganut kepercayaan animisme, walaupun kini
jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

SAKSANG MAKANAN KHAS SUKU BATAK

Saksang adalah masakan khas Batak yang terbuat dari daging babi, daging anjing atau kerbau
yang dicincang dan dibumbui dengan rempah-rempah dan santan, serta dimasak baik dengan
menggunakan darah hasil sembelihan hewan tersebut (margota) ataupun olahan rempah biasa
tanpa darah (na so margota). Rempah yang termasuk dalam bumbu saksang antara lain; jeruk
purut dan daun salam, ketumbar, bawang merah, bawang putih, cabai, merica, serai, jahe,
lengkuas, kunyit dan andaliman.

Meskipun hidangan saksang dikenal secara meluas oleh berbagai puak atau sub-suku Batak,
saksang sering dikaitkan secara spesifik sebagai hidangan tradisional Batak Toba. Saksang
merupakan hidangan penting yang wajib dihidangkan dalam upacara adat Batak, terutama
dalam pesta pernikahan adat.Saksang, bersama dengan panggang, arsik dan daun ubi tumbuk,
adalah hidangan yang populer dalam khazanah masakan Batak, dan lazim disajikan di Lapo,
yaitu kedai makan dan minum tradisional Batak.

Karena mengandung daging babi atau daging anjing, serta darah, maka hidangan ini dianggap
tidak halal dalam ajaran Islam. Biasanya dalam pesta pernikahan adat Batak, tamu undangan
yang Muslim dipisahkan sajian hidangan dan bufet prasmanannya dari hidangan tradisional
ini.
CARA PEMBUATAN SAKSANG

Resep Membuat Saksang Batak Toba

Bahan-bahan:

 1 kg Daging B1(daging anjing), B2(daging babi) atau kerbau yang ada lemaknya,
potong dadu (kecil2 ± 0.5 cm)
 400 cc Gota yang sudah dicampur dengan
 7.5 gram (= 1/2 sdm) gram
 air jeruk dari 1 atau 2 buah jeruk nipis
 Minyak goreng untuk menumis

Bumbu-bumbu:

 10 buah Bawang merah utuh, digongsong (goreng tanpa minyak sampai ada bekas-
bekas gosongnya)
 7 buah Bawang putih utuh, digongsong
 2 cm Jahe, potong kecil2 (sebesar permen pastiles), digongsong
 5cm Laos / Lengkuas, potong kecil2, digongsong
 3 batang Serai, ambil bagian yang putih, potong kecil2, digongsong
 2 cm Kunyit tua, potong kecil2, digongsong
 1 sdm Ketumbar, digongsong hingga harum
 5 buah Cabe merah besar, diiris2 kasar, giling / blender hingga menjadi pasta
 10 buah Cabe rawit (boleh ditambah jika suka pedas), digiling halus
 6 lembar Daun jeruk, biarkan utuh
 2 sdm Andaliman (atau sesuai selera), tidak perlu digongsong, giling halus
 1½ sdt Garam (atau sesuai selera)

Cara Membuat:

1. Giling / ulek satu per satu hingga halus/ lembut benar: bawang merah, bawang putih,
jahe, lengkuas, serai, kunyit, dan ketumbar. Berikutnya masukkan cabe merah dan
cabe merah yang telah halus. Aduk semua bumbu giling, masukkan daun jeruk utuh,
sisihkan.
2. Panaskan minyak goreng, tumis bumbu giling hingga harum dan betul-betul matang.
3. Masukkan daging yang sudah diiris kecil2. Aduk rata supaya daging matang dan
berubah warna. Tidak diperlu ditambah air.
4. Setelah matang, masukkan gota. Aduk2 rata.
5. Masukkan garam. Cicipi dan koreksi rasanya (tambahkan garam atau air jeruk nipis).
6. Matikan api dan angkat.

SEJARAH SAKSANG

Makanan khas saksang boleh jadi berawal dari sini, Sebelum masuknya pengaruh agama
Samawi, suku Batak Toba percaya bahwa tondi adalah tenaga yang menghidupkan segala
sesuatu yang ada di bumi. Keberadaan seseorang di dunia bergantung kepada persediaan dan
kebesaran tondi-nya. Beberapa hewan seperti anjing, babi hutan, dan harimau mempunyai
persediaan tondi yang jauh lebih besar ketimbang hewan lain.

“Anjing mampu berlari cepat karena tondi-nya lebih kuat,” tulis Bisuk Siahaan dalam Batak
Toba: Kehidupan Di Balik Tembok Bambu. “Memakan daging anjing akan menambah
persediaan tondi secara besar-besaran.” Kepercayaan mengenai mustajabnya daging anjing
menghinggap pada diri orang Batak tempo dulu yang gemar berperang. Menurut teolog
Rudolf Pasaribu dalam Agama Suku dan Bataknologi, kebiasaan memakan anjing dalam
tradisi kuno punya maksud agar mereka berani dan gesit dalam peperangan. Dalam tubuh
anjing dipercayai mengandung semacam zat yang merangsang keberanian.

Konsep magis demikian dalam masyarakat modern hari ini tak lebih dari omong kosong
belaka. Kendati demikian, tradisi makan anjing telah terlegitimasi turun-temurun dari
generasi ke generasi. Apalagi daging anjing disebut-sebut berkhasiat untuk menyembuhkan
penyakit lepra yang belum terbukti secara medis– ataupun keluhan seperti keletihan akut.
Dan tentu saja karena faktor rasa, yang katanya enak.

Menurut E.H. Tambunan dalam Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan
Kebudayannya, orang Batak punya tradisi kuat makan daging. Dalam setiap upacara adat
maupun upacara agama di kalangan penganut agama leluhur, daging selalu menjadi hidangan
atau sesajian. Hewan yang disembelih beragam. Mulai dari yang halal seperti kerbau, ayam,
dan kambing hingga non-halal seperti babi atau anjing.

Berbeda dengan babi yang jelas hewan ternak, bagi orang Batak anjing diperlihara sebagai
penjaga rumah atau penjaga ternak. Tapi, ketika di meja makan, keduanya sama saja: menjadi
santapan. Kenapa anjing ikut disantap? Jan Johannes van de Velde, asisten residen Belanda di
Tapanuli, punya jawaban.

Pada 3 Maret 1940, van de Velde mendampingi residen ke dataran tinggi Habinsaran, sebelah
selatan Kota Balige. Tujuan van de Velde dan rombongannya saat itu hendak meninjau huta-
huta (perkampungan) terpencil. Perjalanan dinas ini memberikan van de Velde pengalaman
kuliner dan kultural yang berkesan.

“Pada suatu kesempatan, kami dijamu dengan segelas tuak enak, semacam anggur terbuat
dari nira pohon enau; minuman ini digemari orang-orang Batak dan seminggu sekali bisa
dibeli di pasar besar, di Porsea. Apalagi kalau ditemani sepotong daging anjing, maka mereka
lebih menikmati tuak itu,” kenang van de Velde dalam korespondensinya yang
dibukukan,Surat-surat dari Sumatra 1928-1949.

Van de Velde saat itu merasa enggan menyantap daging anjing karena jijik. Tapi di lain
kesempatan dia mencicipi juga. Pada 17 November 1940, van de Velde kedatangan tamu dari
Yale University, Profesor Karl Peltzer, yang datang untuk meneliti gejala erosi di Balige.
Sebagai jamuan, seorang koki lokal menyajikan sepinggan daging anjing goreng dan rebus
dengan cara khas Batak.

“Kami mencicipi kedua masakan itu dan rasanya lumayan,” kata van de Velde. Namun van
de Velde juga menyaksikan keadaan miris yang dialami oleh anjing-anjing santapan. Mereka
kerap diperlakukan secara kasar dan kurang berharga.

“Kita tak perlu mengasihani anjing-anjing di sini, di huta-huta, mereka sering ditendangi,
dipukul, diusir, lagipula, jumlahnya memang terlalu banyak. Di Pasar Balige pun, bisa dibeli
anjing yang sudah disembelih, juga yang sudah dimasak, dan sering dimakan di tempat,
dengan ditemani segelas dua tuak,” demikian tutur van de Velde.

Rumah-rumah makan Batak ataupun lapo tuak yang menyajikan daging anjing lazimnya
melabelkan kode B1 dalam daftar menu. B1 diambil dari bahasa Batak, biang yang artinya
anjing, untuk membedakannya dari daging babi yang diberi kode B2. Dibandingkan babi,
daging anjing memiliki tekstur keras dan tak berlemak.

Jika menarik lebih jauh akar sejarah dan budayanya, makan daging anjing lebih dari sekedar
penganan pendamping saat minum tuak. Tradisi menyatap anjing punya kaitan dengan
keparcayaan animisme Batak kuno. Mengonsumsi daging anjing diyakini memberikan
kekuatan kepada tondi (roh) manusia.

PRO KONTRA SAKSANG DIKALANGAN MASYARAKAT

Saksang dikalangan masyarakat batak identik dengan olahan daging anjing dan babi, namun
yang tak banyak diketahui orang adalah proses pengolahan daging anjing terbilang sadis.
Investigasi membuktikan, anjing-anjing mengalami penyiksaan sebelum dihidangkan.

Beberapa metode anarkis dipakai dalam menjinakkan anjing untuk kemudian dimasak. Mulai
dari dicekik pakai tongkat, dipukul, digebuk dalam karung, diberi racun, hingga langsung
dibakar atau dikuliti. “Jika penyiksaan dianggap lucu, sudah hancurlah moral bangsa ini.
Jiwanya sudah sakit,” tulis Garda Satwa Indonesia dalam laman Facebook-nya.

Komunitas seperti Garda Satwa Indonesia gencar menyerukan kampanye berhenti makan
anjing. Masalahnya, bagi sebagian kalangan, daging anjing lumrah dimakan, salah satunya
suku Batak.

Anda mungkin juga menyukai